Anda di halaman 1dari 3

PENDAHULUAN

Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus sejalan dengan perbaikan proses
pembelajaran. Pembelajaran yang baik itu hendaknya dapat memberikan kesempatan kepada
setiap siswa untuk dapat mengembangkan potensi serta keaktifan mereka masing-masing
(Subakti et al., 2021). Tugas seorang guru tidak hanya sekedar memberikan ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga harus mempersiapkan situasi maupun kondisi yang dapat
mengarahkan siswa untuk menanya, mengamati, mencoba, mengasosiasi serta
mengkomunikasikan (Rhosalia, 2017). Selain itu, ada juga berbagai macam keterampilan
yang harus dimiliki oleh siswa seperti berpikir kritis dan pemecahan masalah, kreativitas dan
inovasi, komunikasi, dan kolaborasi. Dengan adanya keterampilan tersebut pada diri siswa
maka hasil belajar yang nantinya didapat juga akan meningkat (Redhana, 2019).
Salah satu keterampilan utama yang sangat dibutuhkan dalam pembelajaran di era
sekarang ini adalah berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan salah satu komponen dari
keterampilan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skill) atau bisa disingkat dengan
sebutan HOTS (Irwanto, Saputro, et al., 2018). Keterampilan berpikir kritis ini mempunyai
berbagai definisi. Nugraha, Hardi & Endang (2017) mejelaskan berpikir kritis sebagai
keterampilan dalam menginterpretasikan, menganalisis serta memberikan alternatif solusi
terhadap suatu permasalahan. Hampir serupa dengan (Haryanti, 2017) yang mendefinisikan
berpikir kritis sebagai keterampilan yang harus dimiliki siswa dalam memberikan jawaban
berdasarkan bukti yang bersifat reflektif, produktif dan evaluatif terhadap suatu kejadian.
Berpikir kritis sering dijadikan sebagai landasan untuk memahami suatu fakta, permasalahan,
dan pengambilan kesimpulan. Bahkan hingga saat ini, pengembangan kemampuan berpikir
kritis menjadi tujuan utama dalam pembelajaran di sekolah dasar. Hal ini sependapat dengan
(Hand et al., 2018) bahwa sangat penting untuk dapat mengembangkan keterampilan yang
dibutuhkan siswa untuk berpikir kritis agar mereka lebih mampu dalam mengerjakan tugas,
menjawab pertanyaan, menanggapi situasi atau tantangan tertentu, termasuk memecahkan
masalah, mengambil kesimpulan, melakukan penyelidikan, dan terlibat dalam suatu
kreativitas.
Berpikir kritis juga merupakan cara untuk dapat memecahkan masalah yang merupakan
keterampilan yang sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah dasar. Pemecahan
masalah didefinisikan oleh (Setiawan et al., 2019) sebagai suatu pemikiran yang terarah
secara langsung untuk dapat menemukan sebuah solusi dari sebuah permasalahan tertentu.
Hal ini sejalan dengan (Asfar & Syarif, 2018) yang meyatakan bahwa ketika siswa
dihadapkan dengan suatu permasalahan, mereka harus dapat melakukan pemecahan masalah
untuk mencari sebuah solusi dan mengembangkannya sehingga memungkinkan mereka
memperluas proses berpikir. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat (Irwanto,
Saputro, et al., 2018) bahwa keterampilan siswa akan meningkat jika mereka terlibat aktif
dalam memecahkan masalah dan berhasil menemukan solusi atas permasalahan tersebut.
Permasalahan yang dapat meningkatkan keterampilan memecahkan masalah siswa adalah
suatu permasalahan yang mampu membuat mereka untuk menganalisis, mensintesis, serta
mengevaluasi situasi atau keadaan tertentu (Ultay, 2017).
Salah satu pembelajaran yang membutuhkan keterampilan berpikir kritis dalam
memecahkan masalah adalah mata pelajaran IPA. Seperti yang kita ketahui, pembelajaran
IPA terkait dengan kegiatan langsung yang membutuhkan keterampilan dalam berpikir kritis
dalam memecahkan masalah melalui pendekatan pengajaran yang tepat. Artinya membekali
siswa dengan hard-skill saja tidak cukup, mereka juga perlu dilatih dengan soft-skill sehingga
mampu mengintegrasikan kedua keterampilan tersebut dalam situasi yang baru (Redhana,
2019).
Dalam konteks pembelajaran IPA, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan konsep
pembelajaran pada mata pelajaran lainnya hanya saja tekanannya harus sesuai dengan hakikat
IPA itu sendiri, bahwa belajar IPA harus terjadi proses sains, menghasilkan produk sains
dengan melakukan percobaan dan terbentuknya sikap ilmiah (Wedyawati & Lisa, 2019).
Mempelajari IPA tidak bisa hanya dengan cara menghafal atau pasif mendengarkan
penjelasan dari guru saja, tetapi siswalah yang harus belajar melalui percobaan, pengamatan
maupun bereksperimen secara aktif yang akhirnya akan terbentuk suatu kreativitas dan
kesadaran untuk menjaga dan memperbaiki fenomena alam yang terjadi (Sulthon, 2017).
Oleh karena itu, tujuan pembelajaran IPA sekarang ini bukan hanya sebatas mentransfer ilmu
pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi juga memfasilitasi keduanya serta menggunakan
pengetahuan baru dalam berpikir kritis dan memecahkan masalah (Irwanto, Rohaeti, et al.,
2018).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru kelas V SD Negeri Pekauman 1
Banjarmasin pada hari Sabtu, 08 Januari 2022, penyebab rendahnya pemahaman siswa akan
materi pembelajaran yang diberikan adalah karena pelaksanaan pembelajaran sebelumnya
dilakukan secara daring dalam kurun waktu yang hampir 2 tahun akibat pandemi covid-19,
kemudian sekarang telah berubah menjadi tatap muka kembali. Siswa juga tidak dapat
bekerja secara mandiri sehingga membuat mereka cenderung menjadi kurang aktif dan takut
salah yang membuat pembelajaran menjadi pasif. Hal tersebut juga menyebabkan siswa
kurang terampil dalam memecahkan masalah sebab tingkat berpikir kritis siswa kurang
karena guru hanya sekedar menjelaskan materi pelajaran dalam artian menggunakan metode
ceramah sehingga pembelajaran hanya bersifat satu arah atau berpusat pada guru.
Selanjutnya, pembelajaran yang masih terpusat pada guru atau yang sering disebut dengan
ceramah serta aktivitas pembelajaran yang dilakukan di kelas cenderung monoton, dan
kurang bervariasi, sehingga membuat siswa cepat bosan dan tidak termotivasi untuk belajar.
Kemampuan pemahaman siswa juga berbeda-beda terhadap pembelajaran yang diberikan
sehingga berakibat pada berbeda-bedanya hasil yang di dapatkan oleh siswa.
Jika permasalahan diatas tidak segera dilakukan tindakan maka bisa berdampak buruk
bagi siswa dalam memahami pembelajaran. Hal tersebut tentunya juga akan berpengaruh
pada hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian dapat
menimbulkan rasa tidak percaya diri terhadap siswa tersebut dan siswa akan lebih sulit untuk
memahami pembelajaran selanjutnya. Bahkan dapat menghambat prestasi siswa ketika
mereka menghadapi materi yang lebih tinggi dan berpengaruh pada tingkat pendidikan
selanjutnya.
Pembelajaran IPA di sekolah dasar bertujuan agar siswa dapat menguasai kompetensi-
kompetensi yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, pembelajaran IPA harus dikemas dengan
menarik dan mudah untuk dipahami siswa. Selain itu, pembelajaran IPA cenderung tidak
disukai siswa sehingga membuat nilai mereka pada muatan pelajaran ini kurang baik
(Prananda, 2019). Mengingat bahwa pembelajaran IPA termasuk salah satu muatan pelajaran
yang diujikan dalam ANBK, seharusnya nilai siswa pada muatan IPA dapat mencapai nilai
standar minimal yang telah ditentukan atau bisa juga melebihi standar yang ditentukan
(Raharjo & Kristin, 2019). Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan sebuah inovasi
dengan melakukan penelitan tindakan kelas (PTK). Dengan melakukan PTK diharapkan
nantinya dapat memperbaiki atau meningkatkan hasil pembelajaran siswa secara
berkesinambungan (Haerullah & Said, 2021) .
Adapun salah satu inovasi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah dengan menerapkan kombinasi model pembelajaran PROTEIN (Problem Based
Learning, Student Team Achievement Division, Inquiri). Esesnsi PROTEIN sendiri adalah
senyawa penting yang memiliki banyak kegunaan terutama bagi anak-anak diusia sekolah
dasar untuk tumbuh kembangnya seperti memperbaiki sel, meningkatkan kekebalan tubuh
dan sebagainya. Kaitannya dengan sintak pembelajaran PROTEIN nantinya juga akan
membantu siswa untuk dapat memperbaiki hasil belajar, meningkatkan keterampilan berpikir
kritis maupun memahami materi pembelajaran dengan mudah.
Dengan penerapan kombinasi model pembelajaran tersebut diharapkan dapat membantu
efektivitas dan efisien dalam proses pembelajaran serta penyampaian pesan dari isi
pembelajaran. Problem Based Learning (PBL) nantinya digunakan sebagai konteks
permasalahan nyata untuk para siswa belajar agar terampil dalam memecahkan masalah dan
memperoleh pengetahuan, dipadukan dengan Student Team Achievement Division (STAD)
yang memacu kerja sama siswa melalui belajar dalam kelompok yang anggotanya beragam
baik dalam kemampuan akademik maupun latar belakang agar tercipta saling mendorong dan
membantu satu sama lain. Lalu, dkombinasikan lagi dengan Inquiri yang menekankan pada
siswa untuk aktif dalam pembelajaran dan dapat berfikir secara kritis untuk mencari dan
menemukan jawaban dari suatu permasalahan. Dengan kombinasi model tersebut siswa secara
maksimal dapat memperoleh pengetahuan dan memahaminya, melatih aktivitas/kerjasama
siswa dalam belajar serta menghasilkan pembelajaran yang bermakna bagi siswa sesuai
dengan materi yang dipelajarinya yang akhirnya mampu menciptakan aktivitas belajar secara
aktif (Ramadhani et al., 2020).
Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis peningkatan keterampilan
berpikir kritis siswa terhadap pembelajaran materi suhu dan kalor menggunakan model
pembelajaran PROTEIN di kelas V SD Negeri Pekauman 1.
Hal ini didukung dengan penelitian relevan oleh (Yunita, 2020: 311) dengan penelitian
yang berjudul “POSTING Sebagai Inovasi Model Pembelajaran dalam Meningkatkan
Aktivitas Belajar, Keterampilan Berpikir Kritis Dan Kolaboratif pada Muatan IPS Tema
Lingkungan Sahabat Kita Kelas V SD Muhammadiyah 5 Banjarmasin”. Kemudian, menurut
(Octavia, 2021: 228) dengan penelitian yang berjudul “Meningkatkan Aktivitas dan Berpikir
Kritis Siswa Menggunakan Model TAMAN CERIA Berbasis Multimedia Interaktif”. Di
lanjutkan oleh (Pratiwi & Nursyidah, 2021: 258) dengan penelitiannya “Implementasi Model
Taman Ceria Berbasis Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir
Kritis”. Serta penelitian (Noorhapizah et al., 2019: 106) yang berjudul “Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Melalui Keterampilan Membaca Pemahaman Dalam
Menemukan Informasi Penting Dengan Kombinasi Model Directed Inquiry Activity (DIA)
Think Pair Share (TPS) dan Scramble Pada Siswa Kelas V SDN Pemurus Dalam 7
Banjarmasin”. Berdasarkan penelitian relevan tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap
pertemuan terjadi peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa.

Anda mungkin juga menyukai