Anda di halaman 1dari 15

PELESTARIAN BANGUNAN GEREJA IMMANUEL JAKARTA

Muhammad Gardian Novandri, Antariksa, Noviani Suryasari


Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya
Jl. MT Haryono No. 167 Malang Kode Pos-65145
Email: mgnovandri@yahoo.com

ABSTRAK
Gereja Immanuel Jakarta merupakan salah satu gereja tertua di DKI Jakarta yang didirikan pada
tahun 1839. Bangunan tersebut terdaftar menjadi salah satu cagar budaya dari 134 buah dari
jumlah keseluruhan cagar budaya yang ada di DKI Jakarta. Bentuk spasial dari denah dari Gereja
Immanuel memiliki aksis yang simetris dan bertemu pada ruang ibadah sebagai ruang utama pada
bangunan tersebut. Segi visual dari gereja tersebut sangat kental dengan ciri arsitektur kolonial
Belanda dengan adanya pilar kolom dan pilaster berskala monumental di sekeliling gereja yang
menimbulkan kesan vertikalitas. Gereja Immanuel memiliki sistem struktur utama berupa dinding
penopang bermaterial batu bata di seluruh badan bangunannya. Gereja tersebut berada di
Kecamatan Gambir yang berada di dalam zona pemerintahan nasional. Masuknya Kecamatan
Gambir ke dalam zona pemerintahan nasional menyebabkan banyak dibangunnya bangunan
modern di daerah tersebut. Keberadaan bangunan modern dapat berpotensi menggeser
keberadaan bangunan kuno. Hal tersebut menyebabkan perlu adanya pelestarian terhadap
bangunan-bangunan bersejarah yang merupakan cagar budaya. Studi ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menganalisis karakter arsitektural bangunan Gereja Immanuel Jakarta serta
menganalisis dan menentukan arahan pelestarian dari bangunannya. Metode yang digunakan
dalam studi ini adalah metode deskriptif analisis, metode evaluatif, dan metode development.
Arahan pelestarian dari bangunan Gereja Immanuel Jakarta dibagi menjadi tindakan preservasi (56
elemen), konservasi (21 elemen), dan rehabilitasi (4 elemen).
Kata kunci: pelestarian, bangunan kolonial Belanda, bangunan gereja

ABSTRACT
Immanuel Church Jakarta is one of the oldest churches in Jakarta which established in 1839. The
building is registered as one of the cultural heritage building of the 134 pieces in the total number of
cultural heritage building in Jakarta. The spatial shape of the floor plan from Immanuel Church has
a symmetrical axis and that crossed at the worship space as the main space in the building. The
visual aspect of the church is very thick with the characteristics of Dutch colonial architecture with
monumental scale of columns and pilasters around the church that gave the impression of
verticality. Immanuel Church has a primary structural system in the form of bearing wall with brick
as its material. The church is located in Gambir that is in the national government building zone. It
leads to a lot of construction of modern buildings in the area. The existence of modern buildings
can potentially shift the existence of historical buildings. This caused the need for the preservation
of historical buildings. The purpose of this study is to identify and analyze the spatial character,
visual character, and the structural character of the building of Immanuel Church Jakarta as well as
analyze and determine the direction of the preservation of Immanuel Church Jakarta building. The
method that is used in this study is descriptive analysis method, evaluative method, and
development method. A preservation strategy of the building of Immanuel Church Jakarta is divided
into acts of preservation (56 elements), conservation (21 elements) and rehabilitation (4 elements).
Keywords: preservation, Dutch colonial building, church building

arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017 37


Pendahuluan
Bentuk spasial dari denah dari Gereja Immanuel memiliki aksis yang simetris dan
bertemu pada ruang ibadah sebagai ruang utama pada bangunan tersebut. Bentuk ruang
ibadah sebagai ruang utama pada bangunan tersebut adalah lingkaran. Segi visual dari
gereja tersebut sangat kental dengan ciri arsitektur kolonial Belanda dengan adanya pilar
kolom dan pilaster berskala monumental di sekeliling gereja yang menimbulkan kesan
vertikalitas yang kuat kepada fasad bangunan dan gevel yang berada pada bagian pintu
masuk utama. Memiliki atap kubah yang menaungi ruang ibadah di bawahnya memiliki
sistem struktur berupa dinding penopang bermaterial batu bata di seluruh badan
bangunannya. Penggunaan batu bata diaplikasikan pada dinding pembatas maupun pilar-
pilar yang berada di dalam bangunan tersebut. Gereja Immanuel Jakarta merupakan
salah satu gereja tertua di DKI Jakarta yang didirikan pada tahun 1839. Bangunan
tersebut terdaftar menjadi salah satu cagar budaya dari 134 buah dari jumlah keseluruhan
cagar budaya yang ada di DKI Jakarta. Gereja tersebut berada di Kecamatan Gambir
yang berada di dalam zona pemerintahan nasional menurut peraturan daerah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang
dan Peraturan Zonasi di wilayah DKI Jakarta. Kecamatan tersebut mempunyai banyak
bangunan cagar budaya, yaitu sekitar sembilan belas bangunan cagar budaya. Hal
tersebut menjadikan adanya keberagaman gaya dari bangunan-bangunan yang ada di
dalam Kecamatan Gambir. Masuknya Kecamatan Gambir ke dalam zona pemerintahan
nasional menyebabkan banyak dibangunnya bangunan modern di daerah tersebut.
Keberadaan bangunan modern dapat berpotensi menggeser keberadaan bangunan kuno.
Hal tersebut menyebabkan perlu adanya pelestarian terhadap bangunan-bangunan
bersejarah yang merupakan cagar budaya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dijawab dalam
studi ini adalah bagaimana karekter spasial dan karakter arsitektural bangunan Gereja
Immanuel serta bagaimana arahan pelestariannya. Tujuan studi ini adalah untuk
mengidentifikasi dan menganalisis karakter arsitektural bangunan Gereja Immanuel
Jakarta serta menganalisis dan menentukan arahan pelestarian dari bangunannya.

Metode Penelitian
Terdapat tiga buah metode yang digunakan pada studi ini, yaitu metode deskrptif,
metode evaluatif, dan metode development.
A. Metode Deskriptif Analisis
Metode deskriptif analisis digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
kondisi eksisting dari objek studi. Data yang didapat digunakan untuk mengetahui hal
terkait dengan perubahan elemen-elemen pembentuk karakter bangunan dari elemen
bangunan yang terdapat pada aspek spasial, visual, dan struktural bangunan.
B. Metode evaluatif
Metode evaluatif dilakukan untuk menentukan pembobotan dari nilai makna kultural
bangunan. Antariksa (2011), Nurmala (2003), dan Hastijanti (2008) menjelaskan
mengenai kriteria-kriteria penilaian makna kultural pada suatu bangunan yang meliputi
estetika, keaslian bentuk, kelangkaan, peranan sejarah, keterawatan, dan karakter
bangunan pada semua elemen bangunan yang sudah dianalisis sebelumnya. Dengan
adanya makna kultural maka diharapkan adanya pemahaman akan pentingnya
memahami masa lalu dan memperdalam masa kini sehingga memiliki nilai bagi generasi
selanjutnya (Antariksa, 2012). Kriteria dari penilaian makna kultural ini dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu tinggi, sedang, dan rendah yang disesuaikan dengan kondisi eksisting dari
bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

38 arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017


C. Metode development
Metode development dilakukan untuk mentukan arahan fisik pelestarian. Input dari
metode ini adalah hasil dari metode evaluatif yang telah dilakukan sebelumnya berupa
klasifikasi potensial rendah, sedang, dan tinggi. Setiap dari klasifikasi tersebut kemudian
diarahkan ke dalam tindakan atau strategi pelestarian yang dilakukan pada tiap elemen
bangunan. Strategi pelestarian adalah salah satu bagian mengenai kegiatan pelestarian
(Antariksa, 2012). Bentuk tindakan pelestarian yang ada nantinya akan dibagi dalam tiga
kelas, yaitu preservasi, konservasi, dan rehabilitasi Hal ini dilakukan untuk membatasi
perubahan fisik yang boleh dilakukan pada setiap elemen bangunan. Elemen bangunan
dengan potensial tinggi dapat diarahkan dengan tindakan fisik berupa preservasi untuk
mengembalikan bentuk asli elemen bangunan yang sudah mengalami banyak perubahan
dengan material yang sama atau mirip dengan aslinya untuk memeroleh nilai bangunan
sesuai dengan pertama kali bangunan itu didirikan. Elemen bangunan dengan potensial
sedang diarahkan dengan tindakan pelestarian berupa konservasi dengan melakukan
perawatan secara berkala. Elemen bangunan dengan potensial rendah diarahkan
kedalam tindakan pelestarian berupa rehabilitasi untuk menyesuaikan elemen bangunan
dengan kondisi aslinya.

Hasil dan Pembahasan


A. Karakter spasial bangunan Gereja Immanuel Jakarta
Karakter spasial meliputi orientasi bangunan, fungsi ruang, hubungan ruang,
organisasi ruang, sirkulasi ruang, orientasi ruang serta komposisi spasial bangunan (pusat
perhatian, simetri, proporsi, kesinambungan, perulangan, dan dominasi). Variabel
penelitian tersebut memiiki karakter sebagai berikut (Gambar 1):
a) Orientasi utama bangunan menghadap barat berdasarkan peletakan pintu masuk
utamanya.
b) Fungsi utama dari bangunan masih sama seperti fungsi bangunan pada waktu
pertama kali dibangun, yaitu merupakan tempat ibadah jamaah Kristen Protestan.
c) Hubungan ruang yang ada pada bangunan dihubungkan dengan ruang bersama.
d) Organisasi ruang yang terdapat pada bangunan memusat pada ruang ibadah lantai
satu dan ruang ibadah lantai dua serta hubungan klaster pada ruang konsistori,
ruang pendeta, dan teras sebelah timur bangunan.
e) Terdapat sirkulasi radial yang memusat pada ruang ibadah lantai satu dan ruang
ibadah lantai dua serta terdapat sirkulasi linear pada ruang konsistori, ruang pendeta,
dan teras bangunan sebelah timur.
f) Orientasi ruang pada bangunan dibedakan atas orientasi ruang menurut bukaan
yang sebagian besar berorientasi ke arah ruang ibadah dan luar bangunan serta
orientasi ruang berdasarkan perabot yang menghadap timur sesuai dengan gaya
arsitektur Kristen awal dan juga arsitektur Romanesque.
g) Pusat perhatian terdapat pada ruang ibadah berdasarkan ukuran, letak dan
bentuknya.
h) Simetri ruang pada bangunan merupakan simetri bilateral yang titik pusatnya berada
pada bagian tengah ruang ibadah.
i) Proporsi spasial dari bangunan dilihat dari bentuk dasar denah dari bangunan
tersebut.
j) Kesinambungan spasial di dapat dari bentuk dasar ruang pada lantai satu yang
menerus secara vertikal ke arah ruang-ruang pada lantai dua bangunan tersebut.
k) Perulangan spasial didapat dari perulangan bentuk dasar ruang yang ada di
bangunan, yaitu bentuk lingkaran dan persegi panjang
l) Dominasi spasial dibagi menjadi dua, yaitu dilihat dari segi ukuran dan dari bentuk.
Dari segi ukuran ruang ibadah mendominasi ruang ruang lainnya yang ada pada

arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017 39


bangunan, sementara bentuk lingkaran mendominasi bentuk ruang yang ada pada
bangunan.

Gambar 1. Karakteristik spasial bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

Beberapa karakteristik yang muncul dari aspek spasial bangunan dapat dilihat
terdapat beberapa kesamaan karakteristik di masing-masing variabel. Ruang ibadah
merupakan ruang dengan hirarki paling tinggi dibandingkan ruang lain karena ruang
ibadah merupakan ruang yang digunakan untuk menjalankan fungsi utama dari gereja,
yaitu untuk melakukan ibadah sehingga ruang tersebut memiliki proporsi yang lebih besar
40 arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017
dari ruang lainnya. Ruang ibadah menjadi ruang penghubung ruang lainnya secara umum
dan juga sebagai pusat dari orientasi ruang-ruang lainnya. Ukuran luas yang
mendominasi, peletakkan di tengah bangunan yang menjadi sumbu simetri bentuk dasar
bangunan, dan bentuk dasar lingkaran yang unik menjadikan ruang ibadah menjadi pusat
perhatian secara spasial.

B. Karakter visual bangunan Gereja Immanuel Jakarta


Karakter visual bangunan terdiri atas atap, dinding, pintu, jendela, kolom, gevel,
dormer, lantai, plafon, massa bangunan, serta komposisi fasad dan ruang dalam
bangunan (pusat perhatian, simetri, proporsi, kesinambungan, perulangan, dan dominasi).
Variabel tersebut memiiki karakter sebagai berikut:
a) Massa bangunan terdiri dari beberapa bentuk massa di antaranya balok, silinder,
prisma dan setengah bola. Susunan massa ini membentuk siluet yang simetris yang
formal pada outline bangunan.
b) Gaya bangunan dapat dilihat dari masing-masing elemen bangunan penyusun fasad.
Gaya yang ada pada elemen bangunan tersebut meliputi gaya yang ada pada
arsitektur di abad pertengahan, yaitu arsitektur Kristen awal, arsitektur Byzantium, dan
arsitektur Romanesque. Dari ketiga gaya tersebut, gaya arsitektur Byzantium terlihat
mendominasi bangunan secara keseluruhan.
c) Atap bangunan terdiri dari 6 buah jenis atap, yaitu atap kubah besar sebagai atap
utama, atap kubah kecil, atap setengah pelana, atap setengah pelana melingkar, atap
perisai dan atap datar. Atap miring bermaterial sirap berwarna cokelat dan ada yang
telah diubah menjadi seng berwarna hijau. Atap datar bermaterial batu bata dengan
warna putih (Gambar 2).

Gambar 2. Jenis atap pada bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

d) Dinding bangunan pada fasad terbagi atas dinding badan bangunan utama yang
berskala monumental dan dinding podium. Dinding bagian ruang dalam bangunan
terdapat ornamen tetapi tidak berlebihan jumlahnya. Tidak adanya ornamen yang
berlebihan dimaksudkan agar ornamen tidak menjadi berhala pada bangunan gereja
protestan tersebut. Diniding–dinding tersebut bermaterial batu bata dengan warna cat
putih (Gambar 3).

Gambar 3. Jenis dinding pada bangunan Gereja Immanuel Jakarta

arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017 41


e) Kolom pada eksterior bangunan didominasi oleh kolom dorik dengan ukuran yang
monumental. Terdapat dua gaya kolom yang ada pada ruang dalam bangunan, yaitu
kolom jenis dorik dan corinthian. Kolom yang ada menambah kesan vertikalitas pada
bangunan. Kolom-kolom tersebut disusun atas batu bata dengan finishing cat warna
putih pada bagian badan dan kaki kolom serta warna putih tulang pada bagian kepala
kolom.total jenis kolom yang ada adalah tujuh buah (Gambar 4).

Gambar 4. Jenis kolom pada bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

f) Pintu-pintu eksterior dan interior yang terdapat pada bangunan memiliki ukuran yang
besar untuk menguatkan kesan monumental pada fasad bangunan. Pintu terbuat dari
kayu jati yang kuat menahan beban dinding tebal yang terdapat pada bangunan
tersebut. Pintu dicat berwarna putih tulang. Pintu baru yang ada pada ruang konsistori
dan ruang ibadah di cat berwarna cokelat. Terdapat 11 jenis pintu pada bangunan
tersebut (Gambar 5).

Gambar 5. Jenis pintu pada bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

g) Jendela-jendela eksterior yang terdapat pada bangunan berukuran besar sehingga


menguatkan kesan monumental pada fasad bangunan. Jendela terbuat dari kayu jati
yang kuat menahan beban dinding tebal yang terdapat pada bangunan tersebut.
Jendela dicat berwarna putih tulang. Terdapat lima jenis jendela pada bangunan
tersebut (Gambar 6).

42 arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017


Gambar 6. Jenis jendela pada bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

h) Dormer berfungsi sebagai penyalur penghawaan dan pencahayaan alami. Terletak


apda atap bagian timur dan barat. Pada saat ini Dormer digunakan sebagai akses
menuju rooftop. Dormer pada bangunan tersebut menggunakan kayu jati sebagai
material utamanya dan atap sirap sebagai penutupnya (Gambar 7).

Gambar 7. Dormer pada bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

i) Gevel pada bangunan berbentuk pediment diletakkan pada bagian atas area masuk
bangunan. Gevel terbuat dari batu bata yang dicat berwarna putih (Gambar 8).

Gambar 8. Gevel pada bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

j) Lantai pada bangunan terdiri atas tiga jenis lantai, yaitu lantai marmer berwarna abu-
abu, batu alam berwarna abu-abu, dan kayu jati berwarna cokelat tua. Ketiga material
tersebut merupakan material yang ada pada zaman bangunan didirikan (Gambar 9).

Gambar 9. Jenis lantai pada bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

k) Terdapat Sembilan jenis plafon pada bangunan memiliki peletakkan yang sangat
tinggi dari lantai dasarnya. Hal tersebut menambah kesan monumental pada

arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017 43


bangunan. Plafon memiliki material berupa asbes berwana putih dan papan kayu
berwarna cokelat (Gambar 10).

Gambar 10. Jenis plafon pada bangunan Gereja Immanuel Jakarta.

l) Pusat perhatian fasad terletak pada atap kubah yang berukuran besar, berwarna beda
dengan elemen pembentuk fasad lainnya, dan peletakknanya yang membuat kesan
monumental lebih terasa pada bangunan. Ruang ibadah yang merupakan ruang
utama terbentuk atas beberapa elemen ruang yang juga menjadi pusat perhatian
pada ruang dalam bangunan karena elemen bangunan yang ada pada ruang tersebut
memiliki ukuran yang besar sehingga menguatkan kesan monumental.
m) Simetri fasad bangunan membagi secara seimbang geometri dari bentuk fasad
bangunan san memberi kesan formal pada bangunan peribadahan. Garis sumbu
imajiner pada ruang dalam bangunan yang melintang dari barat ke timur dapat
membagi elemen ruang dalam secara simetris. Hal tersebut berhubungan dengan
orientasi utama bangunan yang menghadap barat dan orientasi kegiatan pada saat
melakukan ibadah yang menghadap ke arah timur.
n) Proporsi fasad bangunan panjang: tinggi adalah 9:5, sedangkan lebar: tinggi
bangunan adalah 8: 5. Elemen-elemen bangunan yang terdapat pada bangunan
memiliki ukuran yang monumental jika dibadingkan dengan tubuh manusia sehingga
menguatkan kesan monumental.
o) Kesinambungan fasad terletak pada kesinambungan bentuk silinder pada badan
bangunana dengan lantern dan bentuk setengah bola pada atap kubah besar dengan
atap kubah kecil. Warna dapat berperan sebagai hal yang menyinambungkan elemen
ruang dalam pada bangunan. Warna putih dan putih tulang yang menghubungkan
elemen-elemen ruang dalam bangunan bermakna suci, sesuai dengan fungsi
bangunan sebagai tempat peribadahan.
p) Perulangan bentuk yang terdapat pada fasad dapat dilihat dari perulangan pintu,
jendela, dan kolom yang memeberikan pola tertentu. Perulangan kolom dan pilaster
dapat menambah kesan vertikalitas pada ruang dalam bangunan.
q) Dominasi fasad terletak pada dominasi bentuk dan jumlah dari kolom dorik pada
bangunan yang mengesankan vertikalitas pada bangunan. Dominasi bentuk persegi
dan persegi panjang di bagian ruang dalam bangunan menimbulkan kesan formal.
r) Gaya bangunan dipengaruhi oleh gaya arsitektur abad pertengahan dengan dominasi
gaya arsitektur Byzantium.

Berdasarkan karakteristik yang dominan muncul, maka dapat disimpulkan bahwa


aspek visual pada bangunan menekankan pada kesan monumental dan simetri pada
tampilan bangunan. Kesan monumental berhubungan dengan vertikalitas, hal tersebut
sangat sesuai dengan bangunan peribadahan. Kesan monumental tersebut didapat dari
adanya ukuran yang besar pada elemen pembentuk bangunan pada fasad maupun yang
terletak pada bagian ruang dalam bangunan.

44 arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017


Kesimetrisan bangunan menimbulkan kesan formal pada bangunan. Kesimetrisan
pada bangunan dapat dilihat dari sumbu imajiner yang dapat membagi fasad bagian barat
bangunan yang merupakan fasad orientasi utama bangunan, dan juga sumbu imajiner
yang membagi ruang dalam sehingga terjadi kesimetrisan peletakan elemen pembentuk
bangunan di dalamnya. Kesan formal yang ditimbulkan sesuai dengan fungsi utama
bangunan sebagai tempat peribadahan.

C. Karakter struktural bangunan Gereja Immanuel Jakarta


Terdapat tiga buah sistem struktural, yaitu konstruksi kolom, konstruksi dinding
penopang, dan konstruksi atap. Masing-masing dari sistem struktur tersebut mempunyai
karakteristik tersendiri, yaitu
a) Konstruksi kolom berperan menopang beban bangunan, tetapi hanya dibeberapa titik
bangunan saja dengan cara menyalurkan beban dari titik kolom tersebut berada ke
pondasi (Gambar 11).

Gambar 11. Konstruksi kolom pada Gereja Immanuel Jakarta.

b) Konstruksi dinding penopang berperan sebagai penopang beban yang terdapat pada
keseluruhan bangunan dan mengalirkannya menuju pondasi di bagian bawah
bangunan (Gambar 12).

Gambar 12. Konstruksi dinding pada Gereja Immanuel Jakarta.

arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017 45


c) Konstruksi tersebut digunakan sebagai penopang beban yang dihasilkan oleh material
penutup atap, yang kemudian beban yang ada dialirkan melalui kolom menuju
pondasi di bagian bawah bangunan (Gambar 13).

Gambar 13. Konstruksi atap pada Gereja Immanuel Jakarta.

Konstruksi kolom berperan menopang beban bangunan, tetapi hanya di beberapa


titik bangunan saja dengan cara menyalurkan beban dari titik kolom tersebut berada ke
pondasi. Konstruksi dinding penopang diletakkan pada seluruh badan bangunan. Hal
tersebut menjadikan dinding penopang sebagai penopang beban bangunan secara
keseluruhan. Tebal dari dinding penopang tersebut adalah satu meter. Dinding bangunan
yang tebal tersebut mampu mengalirkan secara keseluruhan beban bangunan menuju
pondasi di bawah tanah. Konstruksi atap bangunan sebagian besar menggunakan
konstruksi atap miring. Konstruksi tersebut digunakan sebagai penopang beban yang
dihasilkan oleh material penutup atap, yaitu sirap dan seng gelombang. Konstruksi atap
terdiri dari kuda-kuda, usuk, dan reng yang berfungsi sebagai penyalur aliran beban
menuju kolom dan pondasi.

D. Penilaian makna kultural dan arahan pelestarian


Penilaian makna kultural dari bangunan Gereja Immanuel Jakarta dilihat
berdasarkan variabel berupa elemen-elemen bangunan yang telah dibahas. Hasil dari
penilaian variabel digunakan sebagai dasar menentukan arahan pelestarian terhadap
bangunan dan elemen-elemen bangunan (Tabel 1). Makna kultural tersebut terdiri atas
estetika (es), keaslian bentuk (kb), kelangkaan (kl), keterawatan (kt), peranan sejarah
(ps), dan keluarbiasaan (k)

Tabel 1. Penilaian makna kultural elemen bangunan Gereja Immanuel Jakarta


Nilai-nilai makna kultural bangunan
No Variabel analisis Total nilai
es kb kl kt ps k
Karakter Spasial
1. Orientasi bangunan 3 3 1 3 3 3 16
2. Fungsi ruang 2 2 3 3 3 3 16
3. Hubungan ruang 2 2 1 3 3 3 14
4. Organisasi ruang 2 2 3 3 3 3 16
5. Sirkulasi ruang 2 2 2 3 3 3 15
6. Orientasi ruang 3 3 3 3 3 3 18
7. Pusat perhatian spasial 3 3 2 3 3 3 17
8. Simetri spasial 3 3 2 3 3 3 17
9. Proporsi spasial 3 3 3 3 3 3 18
10. Kesinambungan spasial 3 3 1 3 1 1 12
11. Perulangan spasial 3 2 3 3 3 3 17
12 Dominasi spasial 3 3 3 3 3 3 18

46 arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017


Nilai-nilai makna kultural bangunan
No Variabel analisis Total nilai
es kb kl kt ps k
Karakter visual bangunan
13. Bentuk trimatra 2 2 3 3 3 3 16
14. Siluet 2 2 1 3 3 1 16
15. Gaya bangunan 3 3 3 3 3 3 18
16. Atap kubah besar 3 3 3 3 3 3 18
17. Atap kubah kecil 3 3 3 3 3 3 18
18. Atap setengah pelana 3 1 1 3 3 1 12
19. Atap setengah pelana melingkar 3 1 3 3 3 2 15
20. Atap perisai 3 1 1 3 3 1 12
21. Atap datar 3 3 1 3 3 1 14
22. Dinding badan bangunan 3 3 3 2 3 3 17
23. Dinding podium 3 3 3 3 3 3 18
24. Dinding ruang ibadah 3 3 3 3 3 3 18
25. Dinding ruang tangga 3 3 3 2 3 3 17
26. Dinding ruang ibadah bagian 3 3 3 3 3 3 18
Timur dan Barat
27. Dinding ruang konsistori dan 3 3 3 3 3 3 18
ruang pendeta
28. Dinding ruang ibadah sebelah 3 3 3 2 3 3 17
Timur lantai dua
29. Dinding ruang orgel 3 3 3 3 3 3 18
30. Kolom K1.1 3 3 2 2 3 3 16
31. Kolom K1.2 3 3 2 2 3 3 16
32. Kolom K2 3 3 1 3 3 2 15
33. Kolom K3 3 3 2 3 3 3 17
34. Kolom K4 3 3 3 3 1 1 14
35. Kolom K5 3 3 3 3 3 3 18
36. Kolom K6 3 3 3 3 3 3 18
37. Pintu P1 3 3 3 3 3 3 18
38. Pintu P2 3 3 3 3 3 3 18
39. Pintu P3 3 3 1 3 1 1 12
40. Pintu P4 3 3 3 2 3 3 17
41. Pintu P5 3 3 3 3 3 3 18
42. Pintu P6 1 3 1 3 1 1 10
43. Pintu P7 1 3 1 3 1 1 10
44. Pintu P8 3 2 1 3 1 1 11
45. Pintu P9 3 2 3 3 3 3 17
46. Pintu P10 3 2 3 3 3 3 17
47. Pintu P11 3 2 3 1 3 3 15
48. Jendela J1 3 3 3 2 2 3 17
49. Jendela J2 3 3 3 2 2 3 17
50. Jendela J3 3 3 3 2 2 3 17
51. Jendela J4 3 3 3 3 2 3 18
52. Jendela J5 3 3 3 2 2 3 17
53. Dormer 3 3 3 3 3 3 18
54. Gevel 3 3 3 3 3 3 18

55. Lantai jenis 1 3 3 1 3 3 1 14


56. Lantai jenis 2 3 3 2 3 3 1 15
57. Lantai jenis 3 3 3 2 3 3 1 15
58. Plafon jenis 1 3 3 1 3 3 3 17
59. Plafon jenis 2 3 3 1 3 3 3 16
60. Plafon jenis 3 3 3 1 3 3 3 16
61. Plafon jenis 4 3 3 1 3 3 3 16
62. Plafon jenis 5 3 3 3 3 3 3 18
63. Plafon jenis 6 3 3 3 3 3 3 18
64. Plafon jenis 7 3 3 1 3 3 3 16
65. Plafon jenis 8 1 3 1 1 3 3 12
66. Plafon jenis 9 1 3 1 1 3 3 12
67. Pusat perhatian visual fasad 3 3 3 3 3 3 18
68. Simetri visual fasad 3 3 3 3 3 3 18
69. Proporsi visual fasad 2 2 1 3 1 1 10
70. Kesinambungan visual fasad 3 3 3 3 3 3 18
71. Perulangan visual fasad 3 1 1 3 3 1 14

arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017 47


Nilai-nilai makna kultural bangunan
No Variabel analisis Total nilai
es kb kl kt ps k
72. Dominasi visual fasad 3 3 1 3 3 3 16
73. Pusat perhatian visual ruang 3 3 1 3 3 3 16
dalam
74. Simetri visual ruang dalam 3 3 3 3 3 3 18
75. Proporsi visual ruang dalam 3 3 1 3 3 1 14
76. Kesinambungan visual ruang 2 2 1 3 1 1 10
dalam
77. Perulangan visual ruang dalam 3 3 2 3 3 3 17
78. Dominasi visual ruang dalam 3 3 1 3 3 3 16

Karakter struktural
79. Konstruksi kolom 3 3 1 3 3 1 14
80. Konstruksi dinding penopang 3 3 3 3 3 3 18
81 Konstruksi atap 3 3 1 3 3 1 14

Hasil analisis didapatkan bahwa klasifikasi potensial pada elemen-elemen


bangunan berdasarkan pada nilai makna kultural yang terdapat pada masing-masing
tingkatan. Hasil pada penilaian makna kultural pada setiap aspek elemen-elemen
bangunan selanjutnya digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan strategi
pelestarian yang akan diterapkan. Total nilai 6-10 dimasukkan dalam kategori potensial
rendah. Total nilai 11-15 dimasukkan dalam kategori potensial sedang. Total nilai 16-18
dimasukkan dalam kategori potensial tinggi.
Hasil klasifikasi menunjukkan tingkat prioritas pada elemen bangunan serta
menentukan tindakan pelestarian fisik berupa arahan pelestarian. Kebijakan tersebut
meliputi preservasi pada elemen bangunan di kategori potesial tinggi, konservasi pada
elemen bangunan di kategori potesial tinggi atau sedang, rehabilitasi pada elemen
bangunan di kategori potesial sedang atau rendah.

1. Potensial tinggi
Potensial tinggi terdapat pada elemen-elemen bangunan yang masih dalam
keadaan asli, terawat dan penguat karakter bangunan dari segi bentuk, material maupun
ukuran yang menonjol (Tabel 2).

Tabel 2. Arahan pelestarian elemen bangunan potensial tinggi Gereja Immanuel Jakarta
No Variabel analisis Total nilai Kelas Arahan
Pelestarian
1. Orientasi bangunan 16 Potensial Tinggi Preservasi
2. Fungsi ruang 16 Potensial Tinggi Preservasi
3. Organisasi ruang 16 Potensial Tinggi Preservasi
4. Orientasi ruang 18 Potensial Tinggi Preservasi
5. Pusat perhatian 17 Potensial Tinggi Preservasi
6. Simetri 17 Potensial Tinggi Preservasi
7. Proporsi 18 Potensial Tinggi Preservasi
8. Perulangan 17 Potensial Tinggi Preservasi
9. Dominasi 18 Potensial Tinggi Preservasi
10. Bentuk trimatra 16 Potensial Tinggi Preservasi
11. Siluet 16 Potensial Tinggi Preservasi
12. Gaya bangunan 18 Potensial Tinggi Preservasi
13. Atap kubah besar 18 Potensial Tinggi Preservasi
14. Atap kubah kecil 18 Potensial Tinggi Preservasi
15. Dinding badan bangunan 17 Potensial Tinggi Preservasi
16. Dinding podium 18 Potensial Tinggi Preservasi
17. Kolom K1.1 16 Potensial Tinggi Preservasi
18. Kolom K1.2 16 Potensial Tinggi Preservasi
19. Pintu P1 18 Potensial Tinggi Preservasi
20. Pintu P2 18 Potensial Tinggi Preservasi
21. Pintu P4 17 Potensial Tinggi Preservasi
22. Jendela J1 17 Potensial Tinggi Preservasi
23. Jendela J2 17 Potensial Tinggi Preservasi
48 arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017
No Variabel analisis Total nilai Kelas Arahan
Pelestarian
24. Jendela J3 17 Potensial Tinggi Preservasi
25. Jendela J4 18 Potensial Tinggi Preservasi
26. Jendela J5 17 Potensial Tinggi Preservasi
27. Dormer 18 Potensial Tinggi Preservasi
28. Gevel 18 Potensial Tinggi Preservasi
29. Pusat perhatian 18 Potensial Tinggi Preservasi
30. Simetri 18 Potensial Tinggi Preservasi
31. Kesinambungan 18 Potensial Tinggi Preservasi
32. Dominasi 16 Potensial Tinggi Preservasi
33. Dinding ruang ibadah 18 Potensial Tinggi Preservasi
34. Dinding ruang tangga 17 Potensial Tinggi Preservasi
35. Dinding ruang ibadah bagian 18 Potensial Tinggi Preservasi
Timur dan Barat
36. Dinding ruang konsistori dan 18 Potensial Tinggi Preservasi
ruang pendeta

37. Dinding ruang gudang dan ruang 17 Potensial Tinggi Preservasi


ibadah sebelah Timur lantai dua
38. Dinding ruang orgel 18 Potensial Tinggi Preservasi
39. Kolom K3 17 Potensial Tinggi Preservasi
40. Kolom K5 18 Potensial Tinggi Preservasi
41. Kolom K6 18 Potensial TInggi Preservasi
42. Pintu P5 18 Potensial Tinggi Preservasi
43. Pintu P9 17 Potensial Tinggi Preservasi
44. Pintu P10 17 Potensial Tinggi Preservasi
45. Plafon jenis 1 17 Potensial Tinggi Preservasi
46. Plafon jenis 2 16 Potensial Tinggi Preservasi
47. Plafon jenis 3 16 Potensial Tinggi Preservasi
48. Plafon jenis 4 16 Potensial Tinggi Preservasi
49. Plafon jenis 5 18 Potensial Tinggi Preservasi
50. Plafon jenis 6 18 Potensial Tinggi Preservasi
51. Plafon jenis 7 16 Potensial Tinggi Preservasi
52. Pusat perhatian 16 Potensial Tinggi Preservasi
53. Simetri 18 Potensial Tinggi Preservasi
54. Perulangan 17 Potensial Tinggi Preservasi
55. Dominasi 16 Potensial Tinggi Preservasi
56. Konstruksi dinding penopang 16 Potensial Tinggi Preservasi

2. Potensial sedang
Potensial sedang merupakan potensial yang ditujukan pada elemen bangunan yang
sudah memiliki sedikit perubahan, atau asli namun tidak menjadi unsur pembentuk
bangunan. Penilaian untuk potensi sedang juga dapat dikategorikan sebagai elemen yang
memiliki keterawatan kurang maksimal, sehingga tidak terdapat kaitan dengan karakter
bangunan (Tabel 3).

Tabel 3. Arahan pelestarian elemen bangunan potensial sedang Gereja Immanuel Jakarta
No Variabel analisis Total nilai Kelas Arahan
Pelestarian
1. Hubungan ruang 14 Potensial Sedang Konservasi
2. Sirkulasi ruang 15 Potensial Sedang Konservasi
3. Kesinambungan 12 Potensial Sedang Konservasi
4. Atap setengah pelana 12 Potensial Sedang Konservasi
5. Atap setengah pelana melingkar 15 Potensial Sedang Konservasi
6. Atap perisai 12 Potensial Sedang Konservasi
7. Atap datar 14 Potensial Sedang Konservasi
8. Kolom K2 15 Potensia Sedang Konservasi
9. Pintu P3 12 Potensial Sedang Konservasi
10. Perulangan 14 Potensial Sedang Konservasi
11. Kolom K4 14 Potensial Sedang Konservasi
12. Pintu P8 11 Potensial Sedang Konservasi

arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017 49


No Variabel analisis Total nilai Kelas Arahan
Pelestarian
13. Pintu P11 15 Potensial Sedang Konservasi
14. Lantai jenis 1 14 Potensial Sedang Konservasi
15. Lantai jenis 2 15 Potensial Sedang Konservasi
16. Lantai jenis 3 15 Potensial Sedang Konservasi
17. Plafon jenis 8 12 Potensial Sedang Rehabilitasi
18. Plafon jenis 9 12 Potensial Sedang Rehabilitasi
19. Proporsi 14 Potensial Sedang Konservasi
20. Konstruksi kolom 16 Potensial Sedang Konservasi
21. Konstruksi atap 14 Potensial Sedang Konservasi

3. Potensial rendah
Elemen dengan potensial rendah merupakan elemen yang hampir seluruh
bentuknya diganti dengan elemen yang baru. Elemen bangunan dapat dikategorikan
sebagai elemen yang memiliki tingkat keterawatan rendah dan tidak memiliki kaitan
dengan sejarah (Tabel 4).

Tabel 4. Arahan pelestarian elemen bangunan potensial rendah Gereja Immanuel Jakarta
No Variabel analisis Total nilai Kelas Arahan
Pelestarian
1. Proporsi 10 Potensial Rendah Rehabilitasi
2. Pintu P6 10 Potensial Rendah Rehabilitasi
3. Pintu P7 10 Potensial Rendah Rehabilitasi
4. Kesinambungan 10 Potensial Rendah Rehabilitasi

Kesimpulan
Terdapat beberapa kesamaan karakteristik yang muncul pada karakter spasial
bangunan Gereja Immanuel Jakarta yang membuat ruang ibadah menjadi ruang dengan
hirarki paling tinggi dibandingkan ruang lain. Karakteristik visual pada bangunan
menekankan pada kesan monumental dan simetri pada tampilan bangunan. Hal tersebut
yang sesuai diterapkan pada bangunan peribadahan karena kesan monumental
menguatkan vertikalitas pada visual bangunan sedangkan simetris menekankan kesan
formal pada visual bangunan. Konstruksi kolom berperan menopang beban bangunan,
tetapi hanya di beberapa titik bangunan saja dengan cara menyalurkan beban dari titik
kolom tersebut berada ke pondasi. Konstruksi dinding menopang beban bangunan secara
keseluruhan. Konstruksi atap bangunan sebagian besar menggunakan konstruksi atap
miring. Konstruksi tersebut digunakan sebagai penopang beban yang dihasilkan oleh
material penutup atap, yaitu sirap dan seng gelombang. Konstruksi atap terdiri dari kuda-
kuda, usuk, dan reng yang berfungsi sebagai penyalur aliran beban menuju kolom dan
pondasi.
Strategi pelestarian yang didapatkan meliputi 56 elemen bangunan yang tergolong
potensial tinggi dengan teknik pelestarian preservasi. Kategori potensial sedang meliputi
21 elemen dan digunakan teknik pelestarian konservasi pada arahan pelestariannya.
Potensial rendah terdiri dari 4 elemen bangunan dan memiliki teknik pelestarian
rehabilitasi.

Daftar Pustaka
Antariksa, 2011. Metode Pelestarian Arsitektur.
http://antariksaarticle.blogspot.com. (diakses pada tanggal, 10 Februari 2016)
Antariksa, 2012. Makna Kultural Bangunan dan Strategi Pelestarian.
http://antariksaarticle.blogspot.com. (diakses pada tanggal, 10 Februari 2016)

50 arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017


Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kawasan Pecinan-
Pasar Baru Bandung. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. 14(3):73-93.
Hastijanti, R. 2008. Analisis Penilaian Bangunan Cagar Budaya.
http://saujana17.wordpress.com/2008/analisis-penilaian-bangunan-cagar-
budaya.html (diakses pada tanggal 10 Februari 2016).

Antariksa©2017

arsitektur e-Journal, Volume 10 Nomor 1, Juni 2017 51

Anda mungkin juga menyukai