Anda di halaman 1dari 8

TRANSFORMASI PADA PERKEMBANGAN DESAIN

GEREJA SALIB SUCI


(Sebuah Kajian Mengenai Perkembangan Desain Gereja Terbangun Romo Mangun)

Hanni Dewi Artatia dan Andjar Widajanti


Program Studi Arsitektur, Universitas Mercu Buana, Jakarta-Indonesia
e-mail: hannidewiartatia@gmail.com

ABSTRAK

Gereja Salib Suci yang berlokasi di Cilincing, Jakarta Utara disahkan pada tahun 1986
adalah salah satu karya besar Mangunwijaya dan Han Awal. Seiring berjalannya waktu
perkembangan desain dilakukan dengan alasan dari berbagai faktor. Perkembangan yang
terjadi pun memperlihatkan banyaknya perubahan yang terjadi pada gereja. Pertanyaan yang
kemudian timbul adalah bagaimana proses perkembangan tersebut dan perubahan apa saja
yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perkembangan desain dan
melihat perubahan yang terjadi pada gereja. Dengan pendekatan historis yang dikumpulkan
dengan wawancara, observasi lapangan, serta foto yang kemudian disimpulkan dengan
mendeskripsikan secara rinci. Hasil penelitian memperlihatkan perubahan-perubahan pada
gereja dari proses pembangunan 1983 hingga saat ini Juni 2015. Hasil penelitian diharapkan
dapat menjadi pegangan bagi pihak gereja mengenai latarbelakang gereja dan menjadi
pembelajaran tentang sebuah karya arsitektur.

Kata kunci: gereja, Cilincing, Romo Mangun, transformasi, perkembangan desain

ABSTRACT

Holy Cross Church which located at Cilincing, North Jakarta, which was passed in 1986 is
one of the masterpiece from Mangunwijaya and Han Awal. Over time the development of the
design is done with a reason of various factors. The developments also show many changes
in the church. Then the questions have arisen on how the process of development and what
changes were occurred. This study aims to determine the design development process and
see the changes that occur in the church. By historical approach that was collected by
interviews, field observations, and photo and then concluded by describing in detail. The
results showed many changes in the church from the development process in 1983 until
today June 2015. The research is expected to be a guideline for people on the history and
background of the church and become learning material about a work of architecture.

Key words: church , Cilincing , Romo Mangun , transformation , development of design


1 PENDAHULUAN

Transformasi adalah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada


tahap ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh
unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah
dikenal sebelumnya. Transformasi arsitektur tidak dapat dipisahkan dari pengaruh
berkembangnya fungsi, teknologi konstruksi, material, serta keterkaitan dengan alam
lingkungannya, (Rapoport, 1969).Perubahan bentuk bangunan terdiri dari perubahan pada
wujud (bentuk atap, dinding, lantai, struktur, bentuk pintu, jendela), dan warna (Ching, 2000 &
Habraken, 1978).
Trasformasi dapat juga memberi pengaruh pada fungsi ruang, tergantung seberapa jauh
perubahan dilakukan. Dalam sebuah jurnal VOL 8 No 2 Agustus 2011 mengutip teori dari
Laseau bahwa perubahan bentuk bersifat geometri yang berubah dengan komponen
pembentuk & fungsi ruang yang sama. Esensi yang sama dari beragam transformasi
arsitektur yakni menghadirkan ruang, karena berfungsi atau tidaknya arsitektur terletak pada
fungsi ruang yang terjadi.
Setiap karya arsitektur pasti akan menghasilkan rancangan yang dapat memberikan dan
mencerminkan jati diri para perancangnya, karena setiap arsitek pasti memiliki gaya dan
konsep yang berbeda dalam merancang. Ciri khas atau karakteristik dapat terlihat dari
komponen bangunan yang menjadi wujud dari kreatifitas dalam berfikir seorang perancang.
Setiap ide, ekspresi, dan konsep yang terwujud melalui elemen-elemen bangunan dapat
memberikan informasi mengenai suatu periode perkembangan arsitektur, wilayah tertentu,
atau bahkan akan mengingatkan kita kepada seorang perancang bangunan tersebut
(Tornado Gregorius, 2011).
Dalam buku Watsu Citra karya Romo Mangun, beliau mengatakan bahwa bangunan
gereja karya Romo Mangun umumnya berdenah bujur sangkar, berbentuk pendopo terbuka
tanpa dinding, dengan atap berbentuk limas. Citra dari bentuk biasa dimunculkan dari
pemaknaannya termasuk simbol-simbol yang diwakilinya. Romo Mangun juga berpendapat
bahwa sebuah bangunan gereja harus mencerminkan kultur masyarakat yang berarti selaras
dengan kodrat (nature), dan budaya setempat (culture & civilization), hal ini telah dikaji oleh
Erwinthon, 2009, seorang arsitek yang banyak mendokumentasikan karya Romo Mangun.
Konsep dan bentuk bangunan yang ada di Indonesia sangat berbeda dengan gereja-
gereja yang ada di Eropa, Amerika, atau Afrika, karena memang banyak faktor yang
membuat bentuk ini berbeda. Menurut YBM, konsep gereja untuk Indonesia berdasarkan
kitab suci dan kultur masyarakat Indonesia adalah pelataran orang luar, pelataran para
perempuan, wilayah suci, dan wilayah tersuci. Yang disederhanakan menjadi pelataran
(taman) dan payung ( tenda). Selain sebagai tempat ibadah gereja juga diharapkan mampu
menampung aktifitas harian umat manusia, baik untuk berkumpul ataupun untuk tempat
bermain anak-anak kecil. Apalagi gereja merupakant empat ibadah yang tidak setiap hari
digunakan. Dengan adanya tempat untuk berkumpul dalam keseharian, maka diharapkan
gereja tetap menjadi tempat jemaat untuk melakukan penghayatan pada kehidupan nyata
bersama orang lain (Erwinthon, 2013 “Majalah Rohani No.06, Tahun ke-60”)
Transformasi terjadi pada salah satu gereja yang dirancang oleh Mangunwijaya.
Tranformasi terlihat dengan adanya perkembangan desain pada gereja, mulai dari gereja
terbangun hingga saat ini. Perkembangan desain mulai dilakukan oleh pihak gereja itu sendiri
lalu dengan bantuan seorang arsitek terkenal Yori Antar hingga kembali dilakukan oleh pihak
gereja itu sendiri. Perubahan terjadi tentu dengan alasan dan maksud yang sesuai. Penelitian
ini ditujukan untuk mendeskripsikan perubahan yang terjadi pada Gereja Salib Suci dari awal
dibangun hingga saat ini Juni 2015.
2 TINJAUAN PUSTAKA

(a) Perkembangan Desain


Setiap desain akan mengalami perkembangan yang disebabkan oleh berbagai macam
faktor. Faktor lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi merupakan alasan sebuah
desain akan mengalami perkembangan. Perkembangan desain pada sebuah bangunan yang
terjadi dapat dilakukan oleh para praktisi arsitek maupun oleh penghuni atau pengguna dari
bangunan itu sendiri.
Perkembangan desain pada suatu bangunan tentu saja akan men”transformasi”kan
bentuk dari bangunan itu sendiri. Transformasi atau perubahan yang terjadi dapat berupa
perubahan pada wujud (bentuk atap, dinding, lantai, struktur, bentuk pintu, jendela, dan
warna), perubahan tampak dan layout bangunan, fungsi ruang, serta material yang
digunakan.
Menurut Luthfiah (2010) yang mengutip teori Habraken (1978), ada 3 aspek yang dapat
dijadikan tolok ukur untuk melihat suatu perubahan:
 Sistem Spasial (Spatial System)
Sistem spasial yaitu yang berkaitan dengan organisasi ruang atau keruangan. Sistem
ini mencakup ruang, orientasi ruang dan pola hubungan ruang.
 Sistem Fisik (Physical System)
Sistem fisik yaitu yang berkaitan dengan konstruksi dan penggunaan material-material
yang digunakan dalam mewujudkan suatu fisik bangunan, seperti struktur konstruksi
atap, dinding, lantai, dan sebagainya.
 Sistem Model (Stylitic System)
Sistem model atau style adalah yang berkaitan dengan yang mewujudkan bentuk
meliputi fasade, bentuk pintu dan jendela serta unsur-unsur lain baik di dalam maupun
di luar bangunan.
Dalam kaitannya dengan elemen pembentuk ruang dalam suatu site, ada tiga dasar yang
dapat dikatakan sebagai indikasi suatu perubahan pada fisik lingkungan (Habraken, 1982).
Ketiga hal tersebut adalah:
 Addition (penambahan)
Addition adalah penambahan suatu elemen dalam suatu site sehingga terjadi
perubahan. Misalnya menambah sekat partisi pada suatu ruang sehingga ruang yang
tercipta bertambah. Menambah elemen fasad (pintu, jendela atau elemen fasad
lainnya) pada bidang pelingkup tertentu dan sebagainya.
 Elimination (pengurangan/membuang)
Elimination adalah pengurangan suatu elemen dalam suatu site sehingga terjadi
perubahan. Misalnya, membongkar salah satu bidang dinding ruangan dengan
maksud memperluas ruang atau menyatukan dua ruangan menjadi satu,
menghilangkan jendela pada fasad dan mengganti model jendela tersebut juga
termasuk perubahan akibat pengurangan elemen pada suatu bagian ruang.
 Movement (pergerakan/perpindahan)
Movement adalah perubahan yang disebabkan oleh perpindahan atau pergeseran
elemen pembentuk ruang pada suatu site. Misalnya memindahkan atau menggeser
posisi bidang dinding pada suatu ruang ke tempat lain atau ke sisi lain, memindahkan
posisi tangga, memindahkan posisi pintu dari satu sisi ke sisi lain pada fasad atau
bidang ruang lainnya juga termasuk pergerakan menyebabkan suatu fisik bangunan
dikatakan berubah.

(b) Arsitektur Gereja


Saat ini juga perkembangan arsitektur pada bangunan gereja masih sangat berkembang.
Arsitektur modern mulai mewarnai bangunan-bangunan gereja di Indonesia, khususnya
Jakarta. Meskipun gereja sudah memiliki satu gaya yang sangat melekat pada
bangunannya, namun tidak sedikit para perancang yang memberikan keunikan desain sesuai
dengan konsep yang mereka miliki yang diterapkan pada bangunan yang mereka rancang
khususnya gereja.
Menurut Windhu dalam Veronica 2008, gereja Katolik memiliki ruang dengan fungsinya
masing-masing. Di Panti Imam terdapat altar, mimbar, kredens, tempat duduk imam serta
para pembantunya (prodiakon paroki, misdinar dan petugas lainnya) dan tabernakel. Tinggi
panti imam dari lantai panti umat untuk gereja yang memiliki jemaat antara 800 sampai 1000
orang, adalah kira-kira 90 cm. Menurut Suptandar (1999) upaya peninggian lantai dilakukan
dengan tujuan dapat menunjang fungsi atau kegiatan yang terjadi dalam ruang dan dapat
memberi karakter yang dapat memperjelas sifat ruang. Adanya perbedaan ketinggian lantai
Panti Imam serta material pada bangunan gereja memberikan kesan kidmat. Sedangkan
untuk menjadikan ruang tampak agung dapat menggunakan warna formal. Fasilitas ibadah
yang harus terdapat pada Panti Imam ini, yaitu altar, mimbar, sedilia, kredens, tabernakel,
lampu Tuhan.
Maka di dalam gereja sendiri pada umumnya memiliki ruang-ruang dengan fungsi yang
berbeda. Dan setiap ruang juga memiliki nilai dan sifat yang saling membedakan antar tiap
ruang.

(c) Arsitektur Y.B. Mangunwijaya


Humanisme arsitektur dengan pilihan ruang harus menjadi medan karya seorang arsitek,
sehingga prioritas orang-orang kecil mendapatkan rumahnya atau lingkungannya yang
membuat berkembang sebagai manusia.
Visi utama sosok arsitek humanis YBM ini terangkum dalam bukunya Wastu Citra. Wastu
adalah jiwa, roh kreatif penghidup kreasi manusia untuk mencari dan memperjuangkan yang
benar (verum); yang indah asri (pulchrum) serta peziarah pelaku kebaikan (bonum).Semua ini
harus terungkap dalam ekspresi karya yang menjadi gambar langsung (citra) dari kebaikan,
kebenaran dan keindahan.
Dimensi I = humanisme, prioritas orang-orang kecil (kaum papa) mendapatkan rumahnya
atau lingkungannya yang membuatnya berkembang sebagai manusia. Dimensi II = bangunan
harus mempunyai roh persaudaraan dan kasih (roh teologis = wastu) yang memberikan citra
dari kebaikan, kebenaran dan keindahan. Cahaya, rancangan jiwa dan visi mencitrakan
sesuatu, tidak hanya dibangun dengan satu fungsional fisik saja. Dimensi III= cita rasa peka
sejarah (Sebastian, 2009).
Konsep rancangan Romo Mangun dalam desain bangunan gereja:

 Tampak Bangunan

Adanya halaman yang besar merupakan upaya untuk menyesuaikan bangunan terhadap
lingkungan setempat, sehingga dari kegunaannya dengan adanya halaman yang besar
digunakan sebagai lahan parkir.

 Lay Out

Gereja di percayai sebagai rumah Tuhan yang tak terlihat maka gereja menciptakan
nuansa yang damai, religius, agar umat lebih dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.
Menciptakan kesan religius itu dengan cara mendesain gereja apa adanya, sederhana,
jujur dan tidak boros.

 Arah Hadap Bangunan

Arah hadap pada bangunan selalu diusahakan agar mendapatkan cahaya alami yang
masuk namun tidak terlalu menyengat pagi ataupun sore hari, sehingga ruangan tidak
terlalu panas dan terlalu terang.

 Lantai

Pada literatur Gereja Katolik, area yang disakralkan atau dikuduskan biasanya mengalami
kenaikan lantai, sebagai tanda penghormatan. Pada bangunan ibadah, kenaikan lantai
terdapat pada area imam atau pemimpin ibadah, yang diasumsikan agar mempermudah
para umat untuk dapat melihat imam memimpin jalannya ibadah. Jumlah dan tinggi
ukuran anak tangga pada setiap kenaikan area imam tidak terdapat aturan yang spesifik.
Namun karena konsep dari pemikiran romo Mangun yang menyatakan bahwa imam
adalah pelayan Tuhan, maka kenaikan area imam tidak dibuat terlalu tinggi hanya
dikarenakan dipertimbangkan dari sisi fungsinya, agar imam dapat dilihat oleh para umat.
Pemilihan dan penggunaan material digunakan sejujur mungkin dari material alam,
keramik yang digunakan juga menggunakan keramik yang bertekstur kasar atau bercorak
gelap, itu semua di karenakan pemikiran Romo Mangun yang mengatakan bahwa tekstur
kasar membuat ruang lebih religius, dikarenakan tekstur kasar dapat menerima seluruh
manusia.

 Dinding

Dinding gereja dibentuk sesuai dengan fungsi dasar utamanya yaitu dinding hanya
berfungsi sebagai elemen pembentuk ruang, penutup ruang dan pelindung ruangan
dalam. Pada umumnya dinding pada gereja Katolik yang lainnya dibuat tinggi menjulang
ke atas, namun pada setiap gereja rancangan Romo Mangun dinding dibuat bersekala
lebih manusiawi, bahkan hampir tidak berdinding karena sebagian besar dinding gereja ini
terdiri dari kaca dan bukaan-bukaan yang besar (citra keterbukaan Romo Mangunwijaya).
Konsep filosofi dari hubungan segitiga ini adalah dimana saat manusia bersinergi dengan
Tuhan melalui gerejanya dan di dalam kehidupan bergereja maka Tuhan akan menurun
kan kasihNya pada umat manusia, disaat manusia terpenuhi oleh kasih Tuhan maka kasih
Tuhan menyebar keluar hingga ke masyarakat dan di kehidupan sehari-hari. Pada dinding
partisi terdapat bayak bukaan, memaksimalkan pencahayaan dan penghawaan alami,
serta memberikan kesan menyatu dengan alam dan keterbukaan pada seluruh mahluk
ciptaan Tuhan. Bentukan dinding partisi yang abstrak menjadikan sebuah perhiasan bagi
gereja yang memiliki nilai seni yang tinggi bukan memiliki nilai nominal yang mahal.

 Plafon

Hubungan vertikal menunjukan bahwa Tuhan adalah yang tertinggi dan layak diagungkan,
maka plafon dibuat mengerucut ke atas dan memusat, sebagai penyampaian keagungan
Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan plafon kembali merendah dan pada area ini terdapat
area imam, menggambarkan bahwa hanya Tuhan yang Mulia dan Agung, sedangkan
imam bukanlah pemimpin, melainkan hamba Tuhan sehingga plafon dibuat lebih rendah.

 Pintu & Jendela

Yang menimbulkan kesan bahwa gereja harus rendah hati.Pintu tidak di buat tinggi,
ukuran pintu yang ada mengikuti bangunan gereja dan efisien untuk dapat dilalui oleh
umat.Ukuran pintu yang tidak besar ini untuk menggambarkan kearifan masyarakat Jawa
yang sopan santun. Bentukan dimaksudkan Romo Mangun menjadi perhiasan dari gereja,
bentukan yang artistik dengan tidak mahal secara materi namun mahal secara desain
karya seni.

 Perabot & Material

Perabot yang dinilai kudus atau sakral, diletakan pada bagian yang terpenting yaitu
diletakan pada bekang gereja (tabernakel). Pada gereja ini tabernakel terletak pada
belakang meja altar di area imam.
Perabot-perabot yang terdapat pada area imam, seperti, tabernakel, meja mimbar, meja
kredens, gong, patung Yesus dan bunda Maria, yang menggunakan bahan dari alam yaitu
kayu dan bahan dari daerah sekitar yang mudah didapat, dan bahan yang dipakai tetap
menjunjung ke jujuran dari material dan finishingnya.
(Sumber: Eko Prawoto oleh Laurentius, 2013)

3 METODE

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Menurut Lexy Moleong (2006),
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek peneliti misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan.
Penelitian akan menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata dan cerita dari orang
yang menjadi sumber wawancara. Laporan penelitian nantinya akan berisi data-data yang
akan memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data berasal dari wawancara, observasi
lapangan, foto, dan dokumen resmi baik dari studi lieratur ataupun dari sumber lain yang
didapatkan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gereja Salib Suci Cilincing, Jakarta Utara dikelompokkan menjadi 3 tahap perkembangan
dengan renovasi berdasarkan sumber dan perubahan bentuk yang dilihat. Berikut uraian
perkembangan desain baik dari sisi luar bangunan maupun sisi dalam bangunan dan
perubahan yang terjadi pada setiap perkembangan:
5 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan, maka transformasi pada perkembangan desain dapat


disimpulkan sebagai berikut :
 Perkembangan desain setelah pembangunan, perubahan yang terjadi belum
terlalu banyak. Perubahan dilakukan ada yang dilakukan sesuai dengan
kebutuhan ada pula yang dilakukan hanya untuk menambahkan keindahan pada
gereja. Perkembangan desain yang pertama ini dilakukan oleh pihak gereja.
 Perkembangan desain yang kedua, perubahan terjadi dapat dikatakan secara
besar-besaran karena berbagai faktor. Faktor utamanya adalah dari lingkungan
sekitar. Banyak perubahan yang terjadi pada tahap renovasi ini. Beberapa elemen
bangunan ada yang diubah dan ada juga yang tetap dipertahankan. Pada
renovasi kedua ini dapat dikatakan kolaborasi dua arsitek besar dengan
latarbelakang gaya berarsitektur yang berbeda.
 Pada perkembangan desain yang ketiga atau hingga saat ini Juni 2015, tidak
banyak perubahan yang terjadi setelah renovasi besar-besaran 2010 lalu.
Perubahan yang terjadi dianggap sesuai kebutuhan dan tuntutan yang
mengharuskan perubahan tersebut dilakukan. Usaha untuk mempertahankan
konsep asli dari bangunan gereja ini pun tetap ada.
Selintas memang akan terlihat sangat berbeda, konsep gereja yang ada saat ini dengan
konsep gereja sebelumnya, namun hal ini dilakukan dengan banyak pertimbangan. Menurut
hasil analisa yang dilakukan, konsep renovasi tidak berusaha mengikuti konsep yang ada
sebelumnya, namun justru memadupadankan dua gaya yang berbeda. Center of attention
tetap berada pada empat kolom utama berbentuk paying tersebut. Setiap desain akan dinilai
bagus pada zamannya, namun seiring berjalannya waktu, perkembangan desain menjadi hal
yang harus dilakukan dengan alasan berbagai faktor.

6 REFERENSI

Ashadi, Perkembangan Arsitektur Mesjid Walisongo di Jawa : Perubahan Ruang dan


Bentuk, JAFT Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Bukit, Elya Santa, dkk (2011), Aplikasi Metode N.J. Habraken pada Studi Transformasi
Permukiman Tradisional, Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia.
Istiqomah, Esti, dan Bambang Setia Budi (2013), Perkembangan Karakteristik Arsitektural
Masjid Agung Bandung 1810 – 1955, Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, Vol. 2 No. 2.
Kusbiantoro, Krismanto (2007), Studi Komparasi Bentuk dan Makna Arsitektur Gereja
W.C.P Schoemaker, Universitas Kristen Maranatha.
Luthfiah, (2010), Perubahan Bentuk Dan Fungsi Hunian Pada Rumah Susun Pasca
Penghunian. Dalam Ruang, Vol.2, No.2.
Napitupulu, Erwinthon P. (2013), Religiositas dalam Arsitektur Gereja Y.B. Mangunwijaya.
Napitupulu, Erwinthon P. (2009), Watsu Citra dan Citra Watsu Y.b. Mangunwijaya.
Paroki Salib Suci (2013), Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Dewan Paroki.
Sardjono, Agung Budi, dan Dhanoe Iswanto (2012), Perubahan Bentuk Rumah
Tradisional Pesisir Jawa-Studi Kasus Rumah Tradisional di Demak dan Kudus, Jurnal
Lingkungan Binaan Indonesia, Vol. 1 No. 1.
Silitonga, Tornado Gregorius (2011), Gaya Bangunan Gereja Pniel di Pasar Baru, Jakarta,
Universitas Indonesia.
Stephanie, dkk (2011), Transformasi sebagai Strategi Desain, Media Matrasain
Sunaryo, Rony Gunawan (2007), Mengikuti Langkah Pikir Romo Mangun, Dimensi Teknik
Arsitektur.
Veronica, Ella (2008), Pengaruh Liturgi Gereja Katolik Roma pada Interior Gereja
Kelahiran Santa Perawan Maria, Dimensi Interior.

Anda mungkin juga menyukai