Anda di halaman 1dari 14

Kelompok Melayu Deutero yang termasuk suku Bugis tiba di Nusantara

mengikuti gelombang migrasi awal dari daratan Asia, tepatnya Yunnan. To Ugi

yang berarti Bugis, dari sinilah istilah "Bugis" berasal. Kata "ugi" berhubungan

dengan La Sattumpugi, raja pertama kerajaan Tionghoa yang berpusat di

Pammana, Kabupaten Wajo sekarang. Orang-orang La Sattumpagi menggunakan

nama raja mereka untuk menyebut diri mereka sendiri. Mereka menyebut diri

mereka To Ugi, orang-orang La Sattumpugi, atau pengikutnya. Ayah We Cudai,

La Sattumpugi, ada hubungan dengan ayah Sawerigading, Batara Lattu.

Sawerigading suami We Cudai adalah ibu dari beberapa anak, termasuk La

Galigo, karya sastra terbesar di dunia dengan total sekitar 9000 halaman folio.

Sebuah narasi yang disebut Sawerigading Opunna Ware (Yang Tuan di Ware)

dapat ditemukan dalam buku sastra orang Bugis I La Galigo. Kisah Sawerigading

juga diceritakan dalam adat masyarakat Luwuk, Kaili, dan Gorontalo serta

sejumlah tradisi Sulawesi lainnya, termasuk Buton.

Orang Bugis kuno percaya bahwa nenek moyang mereka adalah penduduk

asli yang telah dikunjungi oleh inkarnasi baik dari "dunia atas" (manurung) atau

"dunia bawah" (tompo') yang "turun" atau "naik" untuk menyampaikan norma-

norma sosial. dan peraturan ke bumi. Karena mayoritas orang Bugis memiliki

kepercayaan yang kuat pada manurung, hanya ada sedikit ketidaksepakatan

mengenai sejarah ini dan setiap orang yang merupakan keturunan Bugis

mengetahui bagaimana kelompok itu terbentuk.

Orang Bugis mengikuti tradisi pada awal pertumbuhan mereka, termasuk

bagaimana membentuk kelompok, tempat tinggal, apa yang dimakan, cara

berpakaian, cara melakukan pemakaman, dan cara memberikan persembahan.


Orang Bugis tidak tahu agama apa yang mereka praktikkan karena pemahaman

mereka yang sangat mendasar, tetapi jika Anda melihat bagaimana mereka

mendekati Hindu dan Budha, Anda dapat mengatakan dari masa lalu awal mereka

bahwa mereka melakukannya. Ujung paling selatan semenanjung Sulawesi

Selatan adalah rumah bagi kapak perunggu, timbangan, banyak patung Buddha di

Bantaeng dan Mandar, serta barang dagangan ekspor lainnya, yang selanjutnya

menunjukkan keahlian berdagang masyarakat Bugis yang luar biasa.

Sulawesi Selatan telah menjadi bagian dari jaringan perdagangan antar pulau

selama beberapa dekade hingga akhir milenium pertama Masehi. Tembikar Cina

dari abad ke-10, bagaimanapun, telah ditemukan di situs arkeologi, yang

menunjukkan intensifikasi atau orientasi baru dalam bidang perdagangan.

Sulawesi tidak secara eksplisit disebutkan dalam literatur Cina, bahkan dalam

buku terkenal Chau-Ju-Kua tentang barang dan jalur perdagangan Cina Selatan.

Tidak adanya sarjana sejarah Bugis yang melakukan penyelidikan ilmiah juga

dapat berkontribusi untuk masalah ini (tertulis). Namun, bukti menunjukkan

bahwa orang Bugis ternyata aktif berdagang. Akibatnya, ucapan dan perilaku

orang Bugis yang keras atau halus dapat terlihat di daerah mereka dan aktivitas

sehari-hari. Hal ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bugis yang membuat

konvensi berdasarkan perilaku yang mereka lakukan (tempat berlindung).

Pekerjaan yang dilakukan orang Bugis adalah sebagai pedagang, saudagar,

pengusaha, atau apapun sebutannya, dan perantau adalah ciri yang melekat pada

sebagian besar orang Bugis dan Makassar. Ini terutama benar ketika mereka

bermigrasi ke lokasi lain. Tidak diragukan lagi, penduduk Sulawesi Selatan

hampir di setiap provinsi di nusantara, dan sebagian besar dari mereka bekerja
sebagai pedagang atau pemilik usaha. Tercatat ratusan perwakilan Pedagang

Bugis-Makassar baik dari dalam maupun luar negeri menghadiri Temu Pedagang

Bugis-Makassar pada awal November 2013.

Orang Bugis memiliki sejarah panjang dalam menjalani gaya hidup nomaden.

Mereka terkenal memiliki semangat juang dan semangat hidup yang lebih tinggi

di luar negeri. Dari zaman kuno hingga sekarang, mereka biasanya mendominasi

pasar begitu memasuki lokasi baru. penguasaan dalam arti profesi. Mereka

biasanya mulai dengan berdagang di pasar, berdagang tanaman, dan bahkan

membeli tanah untuk bertani atau berkebun. Mereka kemudian mulai

mengoperasikan perusahaan tambahan.

Di mana tanah dipijak, langit dipuja adalah salah satu hal yang membuat

orang Bugis populer di seluruh dunia dan akhirnya agak mencolok ketika sukses

di luar negeri. Jika orang Bugis makmur di luar negeri, mereka akan

membelanjakan uangnya di sana. Plus, mereka membangun rumah mereka di luar

negeri daripada di masyarakat. Kalaupun mereka berinvestasi di desa, biasanya

dalam bentuk proyek-proyek kecil seperti membangun masjid atau rumah orang

tua. Orang Bugis seringkali hidup dengan cita-cita yang membuat mereka merasa

tenang, nyaman, dan termotivasi untuk bekerja keras; inilah yang disebut sebagai

tanah mereka. Hal ini mungkin berbeda dengan suku lain, seperti suku Jawa, yang

membangun di desanya sendiri dan tidak berinvestasi di luar negeri.

Semua ini tampaknya juga mendorong orang Prancis Christian Pelras (Bugis

Man Book) untuk akhirnya melakukan penelitian tentang Bugis dan menghasilkan

buku berjudul The Bugis. Sebenarnya, Pelras awalnya berniat melakukan


penelitian tentang budaya Melayu Malaysia. Orang Bugis sebenarnya adalah

pedagang bukan pelaut. Orang Mandar lebih tepat disebut sebagai pelaut (suku di

Sulawesi Barat). Namun, karena sangat bergantung pada jalur laut untuk

berdagang, orang Bugis kemudian dikenal sebagai navigator yang terampil.

Mereka harus mempelajari alur laut suka atau tidak suka jika ingin sukses sebagai

pedagang. Karenanya mereka terkenal tangguh di laut, menurut Pelras.

Hal ini dikuatkan oleh sejarawan Universitas Hasanuddin Edward

Palimbogang (Wahyuni dalam buku Sosiologi Bugis Makassar). Ia mengatakan,

pentingnya Pelabuhan Makassar dan perdagangan laut pada abad ke-19 sering

disoroti dalam laporan, catatan, dan dokumen dari Belanda. Memancing

merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat Bugis-Makassar yang tinggal di

pemukiman pesisir. Mereka berani mengarungi lautan luas karena sudah terbiasa

dengan laut. Hanya perahu layar yang digunakan untuk menangkap ikan jauh di

laut. Orang Bugis-Makassar mengarungi perairan Nusantara hingga Sri Lanka dan

Filipina dengan perahu layar jenis Pinisi dan Lambo.

Mereka adalah suku bangsa di Indonesia yang memiliki budaya bahari sejak

abad ke-17. Pelayaran dagang yang halal juga telah diselesaikan oleh masyarakat

Bugis-Makassar. Ade'allopiloping Bicaranna Pabbalue, yang ditulis oleh Amanna

Gappa pada Lontara abad ke-17, adalah nama dari undang-undang ini. Orang

Bugis-Makassar melakukan perdagangan ke berbagai lokasi di Indonesia saat

berada di laut. Berbagai jenis makhluk laut ditangkap. Di Kepulauan Tanibar,

Irian Jaya, bahkan Australia, teripang dan holothurioidea (spesies hewan laut)

ditangkap dan dijual ke perantara. Hewan air ini diekspor ke China melalui
perantara. Teknologi ekspor teripang maju secara signifikan antara abad ke-19

dan ke-20.

Orang Bugis-Makassar bergerak dalam usaha kerajinan rumah tangga selain

menangkap ikan, berlayar dan berdagang untuk menafkahi keluarganya. Mereka

memproduksi berbagai kerajinan dalam negeri. Contohnya adalah sarung tenun

Samarinda dari Bulukumba dan sarung sutra dari Mandar dan Wajo. Pedagang

dari Bugis-Makassar memiliki loji (tempat tinggal, perdagangan, gudang, dan

agen perwakilan) di Manila dan Makau pada abad ke-17. Sejarah menunjukkan

bahwa para pedagang Bugis telah memberikan kontribusi bagi pembangunan

Singapura. Fakta bahwa Kampung Bugis di wilayah Gelam adalah desa pertama

yang dibuat di pulau tersebut menjadi bukti.

Sebenarnya, menengok kembali sejarah dan pengalaman masa lalu—terutama

keuletan dan kegigihan para pendahulu—tidaklah bodoh jika Indonesia dan

rakyatnya ingin maju. Sayangnya, banyak contoh lama yang secara bertahap

mulai menghilang. Suku Bugis sangat mementingkan martabat dan harga diri.

Suku Bugis secara aktif menghindari perilaku yang merendahkan harga diri atau

harga diri seseorang. Seorang anggota keluarga akan dilarang atau dihukum mati

jika dia melakukan sesuatu yang membuat keluarga terlihat buruk. Namun di

zaman modern, praktik ini menjadi kurang umum. Keluarga tidak lagi memiliki

keberanian untuk membunuh orang yang mereka cintai tanpa alasan lain selain

untuk menghindari rasa malu dan, tentu saja, untuk melanggar hukum. Sejak saat

itu, mayoritas masyarakat Bugis tetap mendukung adat malu (siri'). Meski tidak

seketat dulu, setidaknya masyarakat masih mengingat dan mengikutinya.


Keinginan untuk memahami dunia luar lebih berkembang merupakan

penggerak utama perubahan sosial, yang juga mencakup perubahan budaya dan

sistem tatanan daerah, termasuk adat istiadat yang berlaku. Mereka biasanya

memperoleh barang-barang baru ini melalui perdagangan, dan pilihan pakaian

serta spiritualitas mereka akan berubah sebagai akibat dari munculnya agama baru

yang lebih fokus pada gaya hidup moral. sehingga praktik-praktik yang

sebelumnya tidak sesuai dengan agama dapat ditinggalkan. Islam adalah agama

mayoritas yang dianut oleh orang Bugis. Christian Pelras percaya bahwa ini

adalah kesempatan yang sangat penting. Orang Bugis dianggap termasuk orang

Indonesia yang paling kuat dan teguh memeluk doktrin Islam, bersama dengan

orang Aceh, Melayu, Banjar, Sunda, Madura, dan tentu saja Makassar. Kecuali

sebagian kecil pemeluk Kristen di Kecamatan Soppeng dan anggota komunitas

“Tau Lotang” yang tinggal di Amparita, Kabupaten Sidrap, hampir semua orang

Bugis memeluk agama Islam.

Kabupaten Sidenreng Rappang merupakan salah satu daerah tempat tinggal

anggota suku Bugis. Provinsi Sulawesi Selatan Indonesia terdiri dari beberapa

kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Sidenreng Rappang, juga dikenal

sebagai Sidrap. Pangkajene Sidenreng berfungsi sebagai pusat administrasi

kabupaten. Kabupaten ini luasnya 2.506 km2 dan berpenduduk sekitar 264.955

jiwa. Orang Bugis yang masih menjunjung tinggi dan mengikuti adat saling

menghormati dan tolong menolong antar sesama merupakan penduduk asli daerah

tersebut. Seseorang dapat dengan mudah menemukan bangunan masjid yang besar

dan permanen di mana-mana. Namun, banyak daerah di mana penyembahan

berhala masih dilakukan disebut sebagai "Tau Lotang", yang diterjemahkan


menjadi "Manusia Selatan". Orang-orang ini secara teratur melakukan

penyembahan berhala di hutan, gunung, atau gua keramat. Namun, agama Hindu

dicatat sebagai agama mereka di KTP (Kartu Tanda Penduduk). Mereka

menegaskan bahwa mereka berpuasa, shalat lima waktu, dan bersedekah. Meski

animisme masih dipraktikkan di sana, banyak penganut paham ini yang saat ini

tinggal di kawasan Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.

Nene Mallomo dari Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang

(Addatuang = salah satu jenis pemerintahan kabupaten di masa lalu) adalah salah

satu tokoh sejarah paling terkenal dari Kabupaten Sidrap. Meski bukan berasal

dari keluarga kerajaan, namanya menjadi terkenal karena pengetahuannya tentang

hukum negara dan pemerintahan. Naiya ade'e de'nakkeambo, de'to nakkeana

adalah ungkapan yang masih muncul dalam kitab undang-undang Sidenreng

(Terjemahan: sebenarnya adat tidak mengenal bapak dan tidak mengenal anak).

Ketika diminta oleh Raja untuk memilih hukuman bagi putra Nene Mallomo yang

telah mencuri alat bajak sawah milik tetangganya, Nene Mallomo memberikan

nasehat yang sangat baik. Nene Mallomo dibandingkan dengan tokoh-tokoh

Bugis-Makassar lainnya dalam Lontara' La Toa, seperti I Lagaligo, Puang

Rimaggalatung, Kajao Lalido, dan lain-lain. Keberhasilan panen padi Sidenreng

merupakan buah dari ketegasan Nene Mallomo dalam menegakkan hukum. Hal

ini terlihat dari kebiasaan masyarakat setempat dalam menentukan musim tanam

melalui musyawarah yang disebut Tudang Sipulung (Tudang = Duduk, Sipulung

= Berkumpul atau bisa diterjemahkan Rapat Umum), yang disaksikan secara ketat

oleh pallontara' (ahli kitab lontara'). ) dan tokoh masyarakat adat. Kabupaten lain
juga mengadopsi tudang sipulung, yang pertama kali diperkenalkan oleh Bupati

kedua, Kolonel Arifin Nu'mang, sebelum tahun 1980.

a. Awal Kedatangan Suku Bugis

Bahasa dan tradisi suku Bugis menunjukkan bahwa Sulawesi Selatan

adalah tempat asal mereka. Masih ada suku Bugis yang bermigrasi ke negara-

negara jauh seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina. Sejarah suku Bugis terjalin

dengan bangsa Melayu yang tiba di Nusantara setelah migrasi awal dari Yunan,

Cina Selatan, 3500 tahun yang lalu. Mereka adalah Melayu Deutero, juga dikenal

sebagai Melayu Muda, yang merupakan Mongoloid Melayu. Mengikuti evolusi

adat suku Bugis, banyak kerajaan seperti Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Sinjai,

Barru, dan banyak lainnya muncul. Saat ini, semua kerajaan ini adalah distrik,

dengan dominasi orang Bugis.

Suku Bugis memiliki tradisi yang khas. Ada kira-kira lima puluh kerajaan

antara tahun 1512 dan 1515 di mana mayoritas penduduknya mempraktikkan

animisme-dinamisme atau penyembahan berhala. Hal ini terlihat dari cara orang

Bugis menguburkan orang mati. Pada saat itu, mereka terus merawat mereka yang

meninggal dengan cara kuno, terutama dengan melakukan perjalanan ke timur dan

barat dan memberi mereka barang-barang seperti mangkuk, guci, tiram,

komoditas yang dibuat di Tiongkok, dan barang-barang tak ternilai lainnya.

Bahkan bangsawan dan orang terkenal memiliki penutup wajah berlapis emas atau

perak. Sebagai bukti status sosial mereka yang tinggi di masyarakat.


1. Budaya Lokal

Budaya adalah konsep abstrak dalam kehidupan sehari-hari karena

merupakan sistem pengetahuan yang berisi sistem ide atau pemikiran yang ada

dalam pikiran manusia. Benda-benda yang dihasilkan oleh manusia sebagai

makhluk yang berkembang secara budaya, seperti pola perilaku, bahasa,

instrumen kehidupan sehari-hari, struktur sosial, agama, dan karya seni,

merupakan perwujudan budaya. Benda-benda ini semua berfungsi untuk

mendukung orang dalam menjalani kehidupan sosial. Oleh karena itu, budaya

suatu masyarakat dapat didefinisikan sebagai seperangkat nilai tertentu yang

dianut oleh anggotanya. Budaya memiliki kecenderungan untuk menjadi tradisi

dalam masyarakat karena digunakan sebagai kerangka acuan untuk bertindak dan

berperilaku. Karena tradisi sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat,

sulit untuk mengubahnya. Akibatnya, tampak bahwa tradisi telah menjadi norma

dalam kehidupan masyarakat (Ghazali, 2011: 32).

Ritual lokal yang bersifat spiritual dan material sangat menentukan kehidupan

sosial lingkungan masyarakat desa. Budaya lokal yang ada di masyarakat biasanya

tercipta dari dorongan spiritual masyarakat. Masyarakat yang hidup di lingkungan

dengan segala kondisi alamnya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan

budaya setempat.

Budaya lokal masyarakat Indonesia sangat beragam. Sama seperti pemerintah

tidak menunjukkan minat untuk mengatur budaya lokal secara sensitif dan hati-

hati, nasibnya berfluktuasi. Banyak budaya lokal dari berbagai suku bangsa di

negeri ini yang tidak dipublikasikan oleh negara pada masa Orde Baru karena
dikhawatirkan akan mengancam “kebudayaan nasional” dan keutuhan negara,

serta karena sebagian budaya lokal tersebut tidak sesuai dengan aturan resmi.

doktrin agama. Ini adalah penggambaran perilaku yang menyembunyikan

kekayaan warisan budaya negara.

Ketika era reformasi diimplementasikan, angin segar bagi budaya lokal mulai

berhembus. Sistem otonomi daerah mendukung reformasi dengan membuka ruang

yang luas bagi pembentukan ragam budaya daerah di ranah publik. Budaya lokal

telah dipandang sebagai aset daerah oleh pemerintah daerah. Perbedaan utamanya

adalah sekarang lebih sulit di era otonomi daerah karena hanya aspek positif dari

budaya lokal yang dipublikasikan. Pemerintah daerah belum melakukan upaya

maksimal untuk memberikan kebebasan kepada setiap pemilik budaya untuk

mengekspresikan keunikan budayanya. Kebijakan multikulturalisme berupaya

mengembangkan kebudayaan nasional lebih sebagai sebuah mozaik budaya,

bukan sebagai satu kesatuan dan utuh, bukan menghancurkan banyak kebudayaan

atau menggabungkannya menjadi satu (Budiman dan Nurkhoiron, 2005: 8).

Terlepas dari persoalan yang masih melingkupi budaya lokal, setidaknya

tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat bahwa semua nilai budaya lokal harus

dihargai dan diekspresikan tanpa tekanan dari luar. Pengetahuan tentang adanya

berbagai budaya etnis yang masing-masing memiliki identitas dan kelebihannya

sendiri, serta keterbukaan pikiran untuk menghormati dan berusaha memahami

budaya kelompok etnis selain budaya sendiri, atau kemauan untuk mengenal satu

sama lain. , adalah ciri-ciri kesadaran budaya. Memahami bahwa selain merawat

dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia

yang bersatu juga sedang mengembangkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan


nasional yang dapat bersumber dari mana saja, terutama dari warisan budaya kita

sendiri atau dari budaya asing yang ada. pemikiran untuk meningkatkan harkat

dan martabat bangsa. Pengetahuan tentang berbagai sejarah perkembangan budaya

pada berbagai tahap masa lalu.

Kini terbuka peluang bagi budaya lokal untuk dilihat berdampak pada

kehidupan masyarakat. Budaya lokal atau disebut juga kearifan lokal mengacu

pada berbagai sumber daya budaya yang muncul dan berkembang dalam suatu

masyarakat dan dipandang sebagai komponen penting yang mampu

menumbuhkan kohesivitas sosial di antara tetangga (Abdullah dan Mujid, 2008:

7).

Kearifan lokal kini dipandang sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah

di lingkungan sekitar, termasuk untuk perkembangan awal akhlak anak. Moralitas

anak-anak semakin banyak dipertanyakan di masyarakat saat ini, mulai dari kasus

pelanggaran aturan adat setempat, tawuran antar sekolah, penggunaan narkoba,

pencurian, dan kejahatan lainnya. Untuk itu perlu dirumuskan kembali model

pembentukan akhlak anak sejak dini dengan melibatkan seluruh pelosok tanah air,

termasuk budayawan. Kearifan lokal yang selama ini tumbuh dan berkembang

dalam kehidupan masyarakat sehari-hari merupakan salah satu unsur yang dapat

dimanfaatkan.

Penulis memusatkan perhatian pada salah satu bagian dari kearifan lokal suku

Bugis, yaitu budaya “pamali” yang juga dikenal sebagai pemmali dalam bahasa

Bugis. Hal ini dilakukan tanpa meniadakan kearifan lokal yang dimiliki oleh
setiap suku di Indonesia. Orang Bugis menganggap Pemmali memiliki prinsip

moral yang mempengaruhi perilaku sejak kecil.

1. Pamali

a. Pengertian Pamali

Pamali melarang tidak hanya penggunaan bahasa yang menghina

tetapi juga melakukan tindakan yang dianggap tabu dalam masyarakat dan yang

jika dilakukan akan berdampak buruk bagi pelaku dan masyarakat secara

keseluruhan.

Menurut Danadibrata (2009), pamali adalah aturan yang jika dilanggar

akan mengakibatkan malapetaka.

Ika (2014) menjelaskan pamali sebagai pedoman yang harus diikuti

untuk menghindari melakukan atau berbicara sesuatu yang bertentangan dengan

norma masyarakat Bugis. Ketika norma atau praktik dilanggar, pelaku akan

menerima hukuman atau kecaman.

Pamali memiliki dua bentuk yaitu pamali dalam bentuk kata-kata dan

pamali dalam bentuk perbuatan, Imran (2017). Pamali biasanya berupa kata-kata

yang dilarang untuk diucapkan atau yang tidak boleh diucapkan. Tabu adalah

kata-kata yang tidak boleh diucapkan, sedangkan tabu dalam bentuk perilaku

adalah kegiatan yang tidak boleh dilakukan untuk menghindari bahaya atau

kutukan.

Menurut Zaenal, Sabri, dan Moh (2019), pamali dalam masyarakat

Bugis mengacu pada larangan atau tabu untuk bertindak dengan cara yang

bertentangan dengan tradisi dan praktik yang mereka warisi dari nenek moyang
mereka. Pamali secara halus telah berkembang menjadi budaya dalam peradaban

Bugis.

LANJUTAN PARAFRASE

Metode analisis data ini diperlukan untuk membantu dan memudahkan

peneliti dalam analisis data interaktif atau terkait. Analisis data dimulai dengan

penelaahan terhadap semua data yang tersedia dari berbagai sumber, dilanjutkan

dengan reduksi data, kompilasi dalam bentuk unit, klasifikasi, dan validasi data.

Setelah membaca, mempelajari, dan meninjau semua data yang dapat diakses,

proses analisis data dimulai dengan melihatnya. Peneliti memanfaatkan analisis

data dengan model air untuk meneliti datanya. Empat tahapan membuat analisis

ini, yaitu :

a. Pengumpulan data merupakan tahap awal dari proses analisis data. Seperti

yang telah disebutkan sebelumnya, analisis data dilakukan secara terus

menerus sejak awal pengumpulan data.

b. Dengan memilih atau mengisolasi data yang diterima dan

menyesuaikannya dengan topik yang sedang dibahas, reduksi data dapat

dipahami sebagai proses pemilihan, pemusatan, dan penyederhanaan data.

c. Setelah kegiatan reduksi data dan penyajian data dilakukan penarikan

kesimpulan atau verifikasi, khususnya kesimpulan atau verifikasi persepsi

masyarakat yang ada pada budaya pamali di Desa Pao-Pao Kecamatan

Tanete Rilau Kabupaten Barru. Kesimpulan adalah hasil dari

menghubungkan upaya perumusan masalah penelitian.


BAB IV

Penulis penelitian ini menggunakan informasi yang dikumpulkan dari para

informan untuk mengkaji bagaimana masyarakat memandang dan

menginterpretasikan budaya pamali di suku Bugis dan memberikan temuan

analisis data mereka dalam penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai