Anda di halaman 1dari 17

2.

1 Kontaminasi hidrokarbon di lingkungan perairan

Kontaminasi hidrokarbon di lingkungan perairan baik perairan tawar

maupun asin, biasanya disebabkan oleh adanya tumpahan minyak oleh kapal

tanker yang tenggelam atau juga karena aktivitas pencucian kapal maupun

pengisian bahan bakar. Oil spill atau tumpahan minyak di laut akibat

tenggelamnya kapal tanker pernah terjadi pada kapal Torrey Canyon dimana

banyak sekali organisme laut yang mati (Mitchell, 1972).

Akibat dari adanya tumpahan minyak di laut adalah rusaknya

lingkungan pantai baik organisme air maupun tumbuhan mangrovenya.

Tumpahan minyak tersebut biasanya akan terbawa oleh arus air dan akan

menyebar. Namun, akibat adanya gerakan ombak maka terkadang minyak

tersebut dapat bercampur dengan air dan terbentuk emulsi (Leahy and Cowell,

1990).

2.2 Substrat

2.2.1 Petroleum

Hidrokarbon merupakan senyawa kimia yang hanya terdiri dari

karbon dan hidrogen (Atlas, 1992). Petroleum dapat disebut juga sebagai

minyak mentah atau minyak bumi (crude oil). Senyawa-senyawa kimia

yang mendominasi susunan dari petroleum yaitu hidrokarbon, sedangkan

penyusun lainnya dapat berupa oksigen, nitrogen serta sulfur (Atlas, 1992).

Hidrokarbon pada dasarnya terbagi dalam beberapa kelompok yaitu

hidrokarbon alifatik, aromatik serta naflenik. Hidrokarbon alifatik relatif lebih

mudah didegradasi daripada hidrokarbon aromatik (Udiharto.,dkk, 2000).


Pencemaran hidrokarbon di lingkungan perairan dapat disebabkan

oleh beberapa faktor, misalnya tenggelamnya kapal tanker pembawa

minyak mentah, pembersihan kapal serta pengobaran minyak lepas pantai

(Fardiaz, 1992).

2.2.2 Minyak solar (Diesel oil)

Minyak solar merupakan hasil dari distllasi minyak mentah (crude oil)

yang memiliki titik didih antara 3000 - 4000 C (Olah and Molnar, 1995). Minyak

jenis ini biasanya digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel baik pada kapal

laut maupun mesin diesel mobil. Minyak solar ini termasuk fraksi minyak

mentah yang memiliki titik didih, sehingga mesin-mesin diesel yang memiliki

kemampuan kerja tinggi diberikan minyak solar sebagai bahan bakarnya.

Apabila dilihat struktur kimianya, minyak solar memiliki jumlah atom C antara 15

– 25 dan jumlah ini juga berlaku untuk minyak pelumas. Minyak solar relatif sulit

didegradasi sebab struktur kimianya yang relatif komplek (Olah &

Molnar ,1995).

2.3 Bioremediasi

Bioremediasi adalah metode pemanfaatan mikroorganisme untuk

detoksifikasi dan degradasi kontaminan dari suatu lingkungan (Baker & Herson,

1994). Penerapan bioremediasi ini sudah mulai menjadi salah satu pemilihan

teknik yang potensial untuk pemulihan lingkungan, terutama di negara-negara

Eropa dan Amerika. Pemilihan metode ini didasarkan atas biaya operasinya
yang relatif murah serta ramah lingkungan dan perlakuannya bisa secara ex-

situ maupun in-situ (Edvantoro).

Secara alamiah, proses pemulihan oleh mikroba atau tumbuhan di

suatu area yang tercemar sudah terjadi dengan sendirinya sebagai usaha dari

ekosistem untuk menyeimbangkan siklus ekologi yang ada. Proses pemulihan

ekosistem yang terjadi biasanya sangat lamban dikarenakan kondisi fisik, kimia

serta biologi di lokasi pencemaran kurang atau tidak mendukung aktivitas

makhluk hidup alamiah dalam mengurangi atau melenyapkan kadar bahan

pencemar dari ekosistem. Beberapa parameter seperti misalnya tersedianya

bahan zat makanan dan optimalnya kondisi lingkungan (pH, suhu dan oksigen)

merupakan faktor pembatas yang kerap menghalangi aktivitas mikroba alamiah

dalam melangsungkan proses pemulihan ekologinya (Edvantoro).

Optimalisasi kondisi lingkungan dengan penyediaan unsur hara yang

dapat meningkatkan aktivitas mikroba perombak alamiah merupakan dasar

pemikiran dari pengembangan teknologi bioremediasi ini. Biormediasi adalah

teknologi yang menstimulasi mikroba perombak alamiah untuk lebih aktif

melakukan perombakan bahan pencemar melalui optimalisasi kondisi

lingkungan. Jika jumlah mikroba perombak di alam relatif sedikit, maka perlu

dilakukan penambahan mikroba dengan kemampuan perombakan suatu bahan

pencemar tertentu untuk meningkatkan kecepatan proses pendegradasian

limbah. Keberhasilan dari bioremediasi ini dapat dilihat dari beberapa kasus

pencemaram seperti kasus tumpahnya minyak Exxon pada tahun 1989 di

sekitar lepas pantai Alaska. Pemberian unsur hara dan pengaturan kondisi

lingkungan untuk menstimulasi aktivitas mikroba perombak alamiah dapat


menurunkan kadar petroleum hidrokarbon dengan memuaskan. Kasus lain

yang pernah ditangani dengan menggunakan bioremediasi adalah perombakan

senyawa pestisida organoklorin dan organoposfat, pentaklorofenol, PCB

(polychlorinacid biphenyl) dan kebocoran tangki minyak di media tanah maupun

air tanah. Teknik bioremediasi ini diterapkan untuk mengolah limbah dari bahan

organik, tetapi saat ini pengembangan bioremediasi sudah mulai dilakukan

untuk mengolah bahan pencemar anorganik dan logam berat, walaupun masih

dalam taraf uji coba di laboratorium (Edvantoro).

2.4 Biodegradasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi biodegradasi

Biodegradasi merupakan proses pemecahan ikatan senyawa komplek

menjadi senyawa lebih sederhana oleh mikroorganisme sehingga mudah untuk

digunakan. Urutan pendegradasian senyawa kimia hidrokarbon yang

sederhana sampai yang kompleks, yaitu alkana rantai panjang alkana

rantai bercabang sikloparaffin aromatik aromatik sikloparaffin.

Semua senyawa tersebut merupakan senyawa kimia hidrokarbon yang ada di

dalam minyak mentah (crude oil). (Atlas & Richard, 1993).

Faktor-faktor yang mempengaruhi biodegradasi antara lain : suhu,

oksigen, nutrien, serta pH. Suhu berpengaruh terhadap biodegradasi minyak

bumi melalui pengaruhnya terhadap komposisi minyak bumi baik secara fisik

maupun kimia, kecepatan metabolisme penggunaan hidrokarbon oleh

mikroorganisme serta komposisi dari komunitas mikroorganisme. Pada suhu

yang rendah maka viskositas dari minyak bumi meningkat, volatilitas dari rantai

alkana rantai pendek yang toksik berkurang, dan solubilitas terhadap air
meningkat, terjadi kelambatan pada biodegradasi dan hal tersebut dipercayai

akibat penurunan aktivitas dari enzim. Semakin meningkatnya suhu maka dapat

meningkatkan kecepatan metabolisme mikroorganisme dalam menggunakan

hidrokarbon hingga maksimum, dan suhu yang sesuai adalah antara 30 0 – 400

C, selain itu dengan meningkatnya suhu maka toksisitas hidrokarbon terhadap

membran juga meningkat. Pada kondisi seperti ini bakteri termofilik pengguna

hidrokarbon ada/muncul. Iklim serta musim akan diharapkan untuk menentukan

perbedaan populasi mikroorganisme pengguna hidrokarbon yang mana mampu

untuk beradaptasi dengan temperatur/suhu yang berubah-ubah. (Colwell dalam

Leahy dan Cowell, 1990) menyatakan bahwa peningkatan biodegradasi minyak

bumi oleh konsorsium bakteri perairan asin (laut) terjadi pada temperatur 3 0 C.

Faktor ke dua yang mempengaruhi biodegradasi hidrokarbon adalah

ketersediaan oksigen. Langkah awal dari katabolisme senyawa hidrokarbon

alifatik, siklik, dan aromatik oleh mikroorganisme yang penting adalah oksidasi

substrat melalui oksigenase. Kondisi aerob sangat diperlukan dalam oksidasi

hidrokarbon di lingkungan. Kondisi dimana ketersediaan oksigen berkurang

tidak akan terjadi pada lingkungan seperti wilayah perairan laut dan perairan air

tawar. Konsentrasi oksigen sangat berpengaruh terhadap biodegradasi, sebab

di sini oksigen berperan sebagai variabel pembatas kecepatan biodegradasi

hidrokarbon petroleum. Biodegradasi hidrokarbon di lingkungan yang anaerob

oleh mikroorganisme jarang sekali terjadi. Namun, degradasi oleh mikroba

melalui oksidasi senyawa aromatik seperti benzoat dan halogenasi senyawa

aromatik, seperti halobenzoat, khlorofenol dan poliklorinat biphenyl diketahui

terjadi pada kondisi anaerob. Beberapa penelitian juga mengindikasikan bahwa


konsorsium mikroba dari tanah dan lumpur mampu melakukan metabolisme

secara terus-menerus dan senyawa alkil-aromatik, yang terdiri dari toluen,

benzene, xylene, 1,3-dimetilbenzene, asenaphtene dan naftalen, dalam kondisi

anaerob. Hidrooksilasi cincin aromatik dari toluene dan naftalen dipercaya

bergantung pada ketersediaan air sebagai sumber oksigen. Nitrat dapat

berfungsi sebagai akseptor elektron pada proses denitrifikasi. Transformasi

benzene dan toluen secara anaerob pada kondisi methanogenik dapat disebut

juga fermentasi, yang mana substrat tersebut akan dioksidasi sebagian dan

sebagian lainnya direduksi, dan hasilnya adalah karbondioksida dan metana

sebagai produk akhirnya. Jumlah substrat yang digunakan pada biodegradasi

anaerob dapat juga signifikan, dimana setidaknya 50 % benzene dan toluene

dimineralisasi selama 60 hari di bawah kondisi methanogenik, sedangkan

naftalen dan asenaftene terdegradasi namun tak terdeteksi pada tingkatan 45

dan 40 hari untuk masing-masing, melalui denitrifikasi. Pentingnya biodegradasi

hidrokarbon aromatik di lingkungan tidak diketahui secara jelas, dan penelititan

lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan tentang mekanisme anaerobik ini,

sehingga dapat menjelaskan apakah jenis hidrokarbon lainnya , seperti alkana

dan minyak mentah (crude oil), dapat didegradasi secara sempurna melalui

denitrifikasi atau proses methanogenik (Leahy and Cowell, 1990).

Faktor yang ke tiga yang berpengaruh terhadap biodegradasi

hidrokarbon adalah nutrien. Kontaminasi hidrokarbon di perairan yang mana

mengandung inorganik nutrien berkonsentrasi rendah dapat diketahui dari rasio

karbon/nitrogen atau rasio karbon/phospor atau keduanya, yang mana kondisi

tersebut tidak menguntungkan bagi mikroba untuk tumbuh. Dengan perubahan


rasio tersebut maka hal ini membuktikan bahwa ketersediaan nitrogen serta

phospor membatasi aktivitas biodegradasi hidrokarbon di daerah estuari (air

dan sedimen), air laut dan sedimen air laut, air dari perairan tawar, sedimen dari

perairan tawar dan air bawah tanah. Penentuan/pengaturan rasio

karbon/nitrogen/phospor melalui penambahan nitrogen serta phospor dalam

bentuk bubuk (seperti pupuk), yang mengandung parafinned urea,

octhylophosphat, ferric octoate, paraffin-MgNH 4PO4, dan 2-

ethylhexyldipolyehylene oxide phosphat, yang mampu menstimulus

biodegradasi minyak mentah. Garam-garam anorganik yang mengandung

nitrogen dan phospor efektif dalam suatu reaksi tetapi cenderung untuk keluar

dari reaksi tersebut. Nitrogen serta phospor yang ada di tanah terbatas, dan

akselerasi biodegradasi minyak bumi atau mungkin bensin di tanah dan air

bawah tanah melalui penambahan urea-phosphat, pupuk N-P-K, dan garam

amonium dam phospat yang banyak dibahas pada beberapa penelitian. Ada

beberapa peneliti lainnya yang mengamati masalah penambahan substrat daan

hasilnya tidak ada peningkatan kecepatan biodegradasi atau hanya pada waktu

awal-awal saja, seperti misalnya beberapa bulan dalam waktu setahun.

Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi biodegradasi hidrokarbon

adalah salinitas. Sangat jarang publikasi tentang pengaruh salinitas terhadap

biodegradasi. Shiaris melaporkan bahwa ada korelasi yang positif antara

salinitas dengan kecepatan mineralisasi penanthrane dan naphtalene pada

sedimen estuari. Kerr dan Cappone meneliti tentang hubungan antara

kecepatan mineralisasi naphtalene dan salinitas untuk sedimen sungai Hudson

yang terpengaruh salinitasnya oleh daerah estuari. Ward dan Brock


menerangkan bahwa kecepatan metabolisme biodegradasi berkurang seiring

dengan peningkatan salinitas pada range 3,3 % - 28,4 %.

2.5 Mikroorganisme pendegradasi minyak

Mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon banyak berasal dari bakteri

maupun fungi ataupun yeast. Setidaknya ada 22 genus bakteri serta 14 genus

dari fungi yang termasuk dalam golongan mikroorganisme pendegradasi

hidrokarbon. Mikroorganisme hidrokarbonoklastik yang banyak berada di

perairan antara lain : Pseudomonas, Achromobacter, Arthrobacter,

Micrococcus, Nocardia, Vibrio, Brevibacterium, Acinetobacter,

Corynebacterium, Flavobacterium, Candida, Rhodotorula dan Sporobolomyces

(Atlas, 1992).

Bakteri serta yeast merupakan golongan mikroorganisme yang sangat

umum dan banyak berada di lingkungan perairan, dan berperan sebagai

mikroorganisme hidrokarbonoklastik. Sedangkan mikroorganisme yang

berperan sebagai pendegradasi hidrokarbon di tanah antara lain bakteri, yeast

serta fungi, dimana kesemuanya itu merupakan pendegradasi hidrokarbon

utama (Atlas, 1992).

Bakteri memiliki ukuran yang sangat kecil, yaitu sekitar 1 mm untuk

ukuran bakteri secara umum. Jika dibandingkan dengan protozoa atau fungi

sejati, maka bakteri memiliki ukuran lebih kecil dari keduanya. Bakteri memiliki

beberapa bentuk dasar yaitu bulat, batang, koma dan spiral (Volk & Wheeler,

1993).
Bakteri memiliki banyak peranan dalam kehidupan baik yang bersifat

positif maupun negatif. Peranan bakteri yang bersifat positif misalnya dalam hal

pencernaan makanan di organ tubuh hewan dan manusia. Selain itu juga ada

manfaat bakteri bagi lingkungan seperti misalnya bakteri digunakan dalam

proses pendegradasian limbah cair serta logam-logam berat. Di satu sisi bakteri

memiliki peran yang positif, tetapi di sisi lain bakteri juga memiliki peran yang

negatif, misalnya saja banyak penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri seperti :

disentri, pes, tifus serta masih banyak lagi pengaruh negatif dari bakteri.

Bioremediasi pada dasarnya sangat bergantung pada aktivitas

mikroorganisme. Mikroorganisme yang biasanya melakukan degradasi

terhadap kontaminan yang ada di lingkungan adalah bakteri serta jamur. Bakteri

memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dengan jalan membentuk suatu

selubung berupa endospora (kista) jika kondisi lingkungan tidak

memungkinkan. Bakteri dapat hidup di mana-mana baik lingkungan udara, air

maupun tanah. Bakteri memiiliki beberapa karekteristik yang mendukung untuk

melakukan berbagai aktivitas yang kompleks (Baker & Herson, 1994).

2.6 Pertumbuhan mikroorganisme

Bakteri merupakan makhluk hidup uniseluler. Perkembangbiakan

bakteri adalah dengan jalan membelah diri dari satu sel menjadi dua sel.

Kemudian dari dua menjadi empat dan seterusnya. Waktu yang diperlukan oleh

sel bakteri untuk membelah diri, sehingga menyebabkan jumlah populasi

bakteri menjadi berlipat, disebut sebagai waktu generasi atau generation time.
Waktu generasi yang dimiliki oleh tiap-tiap bekteri berbeda-beda, yaitu bisa

dalam menit, jam, hari atau minggu (Baker & Herson, 1994).

Tiap jenis bakteri memiliki tempat serta cara hidup yang berbeda-beda.

Apabila suatu jenis bakteri menginvensi lingkungan tertentu dan digunakan

sebagai tempat hidupnya, maka lingkungan tersebut akan diubah sesuai

dengan apa yang diinginkan oleh bakteri tersebut. Oleh karena itu, tiap-tiap

bakteri memiliki kemampuan untuk menghasilkan suatu sekret yang berupa

enzim, sehingga dari sekret tersebut ia dapat mendegradasi suatu ikatan kimia

tertentu dan untuk melindungi koloninya dari koloni bakteri yang lain (Baker &

Herson, 1994).

Bakteri memiliki fase-fase atau tingkatan pertumbuhan dalam

hidupnya. Tingkatan atau fase yang pertama adalah fase dimana sel bakteri

membelah, tetapi tidak banyak atau tidak melakukan pembelahan sama sekali.

Fase yang pertama ini biasanya disebut fase lag. Selama fase ini, bakteri

melakukan sintesis kimia untuk pertumbuhan serta replikasinya, sintesis

metabolik enzim, dan adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Pada fase yang

ke dua, bakteri mengalami pembelahan sampai batas maksimum. Fase ini

biasa disebut dengan istilah fase eksponensial. Bakteri akan menghabiskan

semua nutrien yang tersedia atau akumulasi zat penghambat berupa produknya

sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Aktivitas ini

mengindikasikan bahwa bakteri sudah mulai masuk ke dalam fase stasioner.

Pada fase stasioner kecepatan pertumbuhan bakteri terhambat. Hal ini dapat

terlihat dari tidak adanya penambahan jumlah sel dan toksisitas dari nutrisi
bakteri mulai muncul. Dan pada akhirnya bakteri akan memasuki fase yang

terakhir yaitu fase kematian (Baker & Herson, 1994).

Gambar 2.1. Kurva pertumbuhan bakteri

2.7 Mekanisme biodegradasi substrat hidrokarbon

Dalam bioremediasi hidrokarbon, peran dari mikroorganisme sangat

besar yaitu sebagai pelaku dalam degradasi hidrokarbon. Ada tiga mekanisme

degradasi hidrokarbon oleh mikroorganisme, antara lain : 1) mikroorganisme

akan menggunakan substrat yang telah larut dalam air, 2) mikroorganisme akan

menghasilkan suatu “surface agent” (biosurfaktan) yang mampu

mengemulsikan hidrokarbon dengan air, dan 3) mikroorganisme akan

menempel pada substrat secara langsung (Harrison, 1980).

Gambar 2.2 Mekanisme degradasi hidrokarbon (Ni’matuzahroh, 2002)

Bakteri
Misel

Mekanisme 1

Biosurfaktan

Mekanisme 2

Fase air

Fase Hidrofob

Mekanisme 3

2.8 Surfaktan

Surfaktan merupakan singkatan dari “surface active agent”, dimana

fungsinya adalah sebagai penurun tegangan permukaan serta bioemulsifier.

Senyawa surfaktan bersifat amfifatik, yaitu bagian kepalanya bersifat hidrofilik

sedangkan bagian ekornya bersifat hidrofob. Surfaktan dapat dikategorikan


berdasarkan sifat ioniknya, antara lain surfaktan nonionik, ionik, kationik dan

gabungan dari keduanya. Namun, sebagian besar mikroorganisme

memproduksi surfaktannya sendiri yang biasa disebut dengan “biosurfaktan”.

Surfaktan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kelarutan dari

substrat yang tidak larut dalam air sehingga akhirnya mikrooganisme dapat

dengan mudah mendegradasinya. Dalam prosesnya, surfaktan akan berkumpul

membentuk misel. Misel akan terbentuk apabila konsentrasi dari surfaktan telah

melebihi CMC (Critical Micelle Concentration).

Keefektifan surfaktan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain : 1)

konsentrasi surfaktan yang mengarah pada CMC, 2) toksisitas surfaktan, 3)

senyawa kimia surfaktan, solubilitas, konformasi ionik dan sterik, 4) nilai HLB

(hydrophyle-lipophyle balance) dalam hubungannya dengan pengaruh terhadap

biodegradasi, dan 5) kerentanan surfaktan itu sendiri dalam biodegradasi.

2.9 Biosurfaktan, sumber, karakteristik serta jenis

Biosurfaktan adalah senyawa aktif permukaan yang merupakan suatu

metabolit sekunder dari mikroorganisme (Jennings and Tanner, 2000).

Biosurfaktan bersifat amfifatik, dimana senyawanya memiliki gugus polar serta

gugus nonpolar sehingga memungkinkan berada pada “antar permukaan” (cair-

gas, cair-cair dan cair-padat). Gugus hidrofilik merupakan derivat dari ester

yang berfungsi untuk mengikat molekul air. Sedangkan gugus hidrofobnya

biasanya berupa rantai hidrokarbon yang berfungsi untuk mengikat molekul

minyak (Koch, 1991).


Biosurfaktan memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan

permukaan dan memiliki kestabilan emulsi yang tinggi. Pada suhu kamar,

biosurfaktan mampu menurunkan tegangan sampai 25 + 5 N/m bergantung

pada jenis serta konsentrasi biosurfaktan (Gerson, 1993 ; Desai and Banat,

1997). Kemampuan biosurfakan tersebut berlatar belakang sifat-sifat

biosurfaktan seperti, non toksik, tingkat degradasi tinggi dan aktivitas baik pada

suhu, pH serta salinitas ekstrem.

Kinerja dari biosurfaktan ini adalah dengan cara membentuk misel.

Misel tersebut dapat terbentuk apabila konsentrasi biosurfaktan dapat melebihi

Critical Micelle Concentration (CMC) (Ni’matuzahroh, 1998). Kemampuan

biosurfaktan untuk membentuk misel serta menempati antar permukaan

berpengaruh terhadap turunnya nilai tegangan permukaan dan antar

permukaan, adanya busa, terjadinya emulsi hidrokarbon-air serta bersifat

seperti detergent (Puisieux, 1976).

Produk biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri sangat banyak

jenisnya. Oleh karena itu, Fiechter (1992) membagi biosurfaktan menjadi 3

kelompok besar berdasarkan struktur kimianya, antara lain surfaktan glikolipid

(saphorosa, rhamnosa, trehalosa, sukrosa dan fruktosa), asam amino dan

polisakarida-lemak . Selain itu, Cooper (1986) dalam Willumsen (1997) dengan

membagi biosurfaktan menjadi 2 kelompok berdasarkan berat molekulnya : (1)

surfaktan dengan berat molekul rendah (glikolipid, soforolipid, trehalolipid, asam

lemak dan fosfolipid), (2) polimer dengan berat molekul besar yang dikenal

sebagai “bioemulsifier polisakarida amfifatik”.


Biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri memiliki karakter serta sifat

yang berbeda-beda. Pada umumnya, biosurfaktan tersebut memiliki struktur

ampifilik, dimana salah satu ujungnya berupa asam lemak yang berantai

panjang, asam lemak hidroksi, atau mungkin juga berupa asam amino,

karbohidrat, rantai peptida, phospat, asam karboksilat, alkohol serta lainnya.

Keunggulan biosurfaktan bukan semata-mata hanya berasal dari rantainya,

namun sebenarnya dilihat dari kemampuannya untuk menurunkan tegangan

permukaan, tinggi serta kemampuan emulsifikasinya tinggi (Rouse dkk., 1994).

Berdasarkan mikroorganisme penghasilnya, maka biosurfaktan dapat dibagi

menjadi 5 jenis, yaitu glikolipid, pospolipid dan asam lemak, lipopeptida,

surfaktan polimerik dan biosurfaktan partikulat.

Tabel 2.1 Tipe-tipe biosurfaktan berdasarkan mikroorganisme penghasilnya.

No. Tipe biosurfaktan Mikroorganisme

1. Glikolipid

a. Trehalosa mikolat Rhodococcus erythropolis

Arthrobacter paraffineus

Mycobacterium phlei

b. Trehalosa ester Mycobacterium fortinum

Micromonospora spp

Mycobacterium smegmatis

Mycobacterium paraffinicum

Rhodococcus erythropolis
c. Mikolat mono-, di- dan trisakarida Corynebacterium diptheriae

Mycobacterium smegmatis

Arthrobacter spp

d. Rhamnolipid Pseudomonas spp

e. Sophorolipid Torulopsis bombicola

Torulopsis petrophilum

Torulopsis apicola

Candida spp

2. Phospolipid dan asam lemak

a. Phospolipid dan asam lemak Candida spp

Corynebacterium spp

Micrococcus spp

Acinetobacter spp

b. Phospolipid Thiobacillus thiooxidans

Aspergilus spp

3. Lipopeptida dan lipoprotein

a. Gramiciden Bacillus brevis

b. Polimiksin Bacillus polymyxa

c. Ornithine-lipid Pseudomonas rubescens

Thiobacillus thiooxidans

d. Cerilipin Gluconobacter cerinus

e. Lisin-lipid Agrobacterium tumefaciens

Streptomyces sioyaensis
f. Surfaktin, subtilisin Bacillus subtilis

g. Peptida0lipid Bacillus licheniformis

4. Surfaktan polimerik

a. Lipoheteropolisakarida Arthrobacter colcoaceticus RAG-1

b. Heteropolisakarida Arthrobacter Calcoaceticus A2

c. Polisakarida-protein Arthrobacter calcolaceticus strain

Candida lipolytica

d. Manno-protein Saccharomyces cerevisiae

e. Karbohidrat-protein Candida petrophilum

Endomycopsis lipolytica

f. Mannan-kompleks liopid Candida tropicalis

g. Mannosa/erythrose-lipid Shizonella melanogramma

Ustilago maydis

h. Karbohidrat-protein-komplek lipid Pseudomonas spp

Pseudomonas fluorescens

5. Biosurfaktan partikulat

a. Vesikel membran Acinetobacter sp. Ho1-N

b. Fimbriae Acinetobacter calcoaceticus

c. Keseluruhan sel macam-macam mikroba

Anda mungkin juga menyukai