Anda di halaman 1dari 9

Analisis Penerapan Sanksi Pidana Terhadap 3 Pejuang Lingkungan di

Banyuwangi: Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009


Abstrak
Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menegaskan bahwa prinsip negara baik
“bumi dan air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” Ketentuan
tersebut memberikan dasar hukum bagi penyelenggaraan pengelolaan linkungan
hidup yang bertujuan melestarikan kemampuan lingkungan hidup agar dapat
menunjang kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang. Kemudian
ditegaskan pula dalam Pasal 66 UUPLH mengatakan bahwa setiap orang yang
memperjuangkan lingkungan hidup tidak bisa dituntut secara pidana maupun
perdata. Namun, realita hari ini masih banyak kasus yang menimpa pejuang
lingkungan hidup yang ditangkap dan dipidanakan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis putusan hakim terhadap tindak penerapan sanksi 3
pejuang lingkungan di Banyuwangi dihubungkan dengan pasal 66 UU No. 32
Tahun 2009. Metode Penelitian ini menggunakan tipe penelitianYuridis normatif
yaitu mengkaji penerapan yang saling berkaitan, kaidah-kaidah, atau norma-
norma yang berlaku yang dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis inti
pertauran peundang-undangan, lietaratur yang berkaitan dan bersifat teoritis
terhadap pokok permasalahan. Adapun dalam penelitian ini, Penerapan hukum
yang digunakan dalam kasus ini sesuai dengan putusan JPU dan majelis hukum
dianggap kurang tepat dan sesuai, karena dalam dakwaan dan putusan tidak
mempertimbangkan bahwa terdakwa merupakan seorang pejuang lingkugan”.
Putusan dalam kasus ini peneliti berpendapat bahwa majelis hakim harus melepas
dan putusan bebas mengingat dalam Undang-Undang pejuang lingkungan tidak
bisa dijerat pidana maupun perdata
Kata Kunci: Pejuang Lingkungan, Penerapan Sanksi Pidana, Pasal 66 UU No. 32
Tahun 2009
Pendahuluan
Pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara tanpa
henti dan tanpa adanya perencanaan yang ramah sosial ekoligi berakibat pada
ketidakseimbangan pada fungsi lingkungan, daya dukung, daya tempung dan daya
lenting. Hal ini mengakibatkan kerugian dan mneyengsarakan maysarakat.
Adanya fenomena-fenomena alam seperti banjir, longsor, kemarau yang Panjang,
polusi udara, pemanasan global dan yang lainnya itu disebabkan ada nya
kebijakan pemerintah tanpa ada perencanaan sosial ekologis. (hidayat, Akib :
2016)
Problem lingkungan hidup bukan sesuatu yang aneh di Indonesia, dinataranya
meluapnya lumpur panas sidoarjo, tsunami di Aceh, Pangandaran, Ciamis Jawa
Barat, banjir bandang wasior di Papua, banjir bandang di Garut tahun 2011, dan
tanah terbis di berbagai daerah seperti di Sumbawa Barat pada bulan Maret 2010
dan Ambon pada bulan Juli 2011. (Akib : 2016) bencan tersebut terus terjadi
sampai sekarang dan berulang seperti banjir bandang yang terjadi di garut pada
tahun 2016 mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia dan hilang. Hadirnya
peristiwa-peristiwa bencana yang muncul di beberapa daerah tidak terlepas dari
sikap yang eksploitatif dan kebijakan yang tidak memiliki perencanaan dan
peraturan berbasis sosial ekologis
Di dalam pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “bumi
dan air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal tersebut
memberikan dasar hukum untu penggunaan pengelolaan lingkunga hidup yang
memiliki tujuan melestarian pengeloaan lingkungan agar menunjang
kersejahteraan warga negaranya.Ketentuan ini tidak hanya diamanatkan dalam
satu pasal ada beberapa pasal yng lainnya yang saling berkaitan diantaranya pada
Pasal 28H Undang-undang 1945 termaktub bahwa “Setiap warga negara berhak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”
Indonesia juga sudah memiliki peraturan mengenai perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan yang diatur dalam Undang—undang Nomor 32 Tahun 2009. Undang-
Undnag ini merupakan hukum lingkungan yang cukup baik dan komprehensip
yang Menyusun banyak hal yang berkaitan dengan lingkungan hiduo dinataranya
perencanaan, pemanfaatan, pengandalian, pengawasan sampai penegakan hukum.
Undang-Undang ini juga menyebutkan dalam salah satu pasal bahwa pejuang
lingkungan hidup tidak dapat ditutuntut menurut pidana maupun perdata, sehingga
dengan adanya pasal ini memberikan proteksi khusus untuk setiap warga yang
memperjuangakan lingkungan atau pejuang lingkungan yang asri dan lestari.
Namun terdapat hal yang cukup menarik dibahas oleh penulis yaitu adanya
penangkapan dan dijatuhkan hukuman pidana terhadap 3 pejuang lingkungan di
banyuwangi diantaranya Ahmad Busin, Sugiyanto dan Abdullah menjadi
perhatian tersendiri yang mana 3 pejuang lingkungan tersebut dikenakan pasal
162 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2009 tentang minerba
yaitu dianggap merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan PT.
Rolas Nusantara Tambang (RNT) dan hal itu dikategorikan sebagai tindak pidana.
Padahal sebagaimana tercantum pada pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 pejuang
lingkungan dapat proteksi khusus tidak dapat dihukum baik secara pidana maupun
perdata, kemudian di dalam Undang-Undang tersebut bahwa msayarakat memiliki
hak untuk berperan serta mejaga penyelenggaraan lingkungan hidup. Hak ini
diakomodir sebagai cara untuk mendapatakan ha katas lingkungan hidup sehingga
waga negara yang ingin memperjuangkan lingkungan hidupnya diberikan jalan
masuk untuk berperan pada kegiatan yang dapat atau menimbulkan dampak
terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Penagkapan-penangkapan pejuang lingkungan sering terjadi, dalam rilis yang
dikeluaran oleh Walhi Jawa Timur telah tejadi 12 kasus besar adanya konflik
kepentingan anatara kepentingan industri dangan lingkunga serta kepentingan
warga dalam mempertahankan ruang hidup. Sektor pertambangan dan masalah
kehutanan menjadi kasus yang paling utama. Konflik tersebut mengakibatkan 87
warga menjadi korban, ada yang mengalami penyiksaann secara fisik, tertembak
peluru, bahkan Sebagian dipenjara seperti kasus penangkapan 3 pejuang
lingkungan yang telah disebutkan. (Hakim, 2017)
Rumusan Masalah
Bagaimana analis penerapan Sanksi pidana terhadap 3 pejuang lingkungan di
Banyuwangi dikaitan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009?
Metode Penelitain
Penelitaian ini menggunakan pendekatan konseptual, perundang-undang dan
putusan yaitu untuk memproses dan memeccahkan Analisa penerapan sanksi yang
sesuai, diperlukan informasi yang jelas, mengidentifikasi masalahnya, mencari
aturan-aturan hukum yang berkaitan, pengertianpengertian konsep hukum yang
berkaitan dengan pembahsan, maupun dokrin-doktrin hukum untyuk menganalisa
permasalahan tersebut. (Marzuki, 2016) Tipe penelitian yang digunakan dalam
penulisan ini yaitu yuridis normatif (Ibid : 2016) Yuridis normatif yaitu mengkaji
penerapan yang saling berkaitan, kaidah-kaidah, atau norma-norma yang berlaku
yang dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis inti pertauran peundang-
undangan, lietaratur yang berkaitan dan bersifat teoritis terhadap pokok
permasalahan. (Ibid : 2016)
Hasil dan Pembahasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lingkungan adalah keadaan sekitar yang
mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku makhluk hidup. Lingkungan
dapat didefinisikan menjadi: (Supardi : 2009)
a. Daerah atau lokasi tempat tinggal makhluk hidup
b. Keadaan atau kondisi yang mengelilingi makhluk hidup
c. Segala keadaan yang meliput suatu makhluk hidup atau sekumpulan
makhluk hidup.
Emil salim mengatakan, bahwa lingkungan hidup adalah segala benda, keadaan,
kondisi dan pengaruh yang terdapat dalam ruang tempat kita hidup, yang
mempengaruhi makhluk hidup, termasuk kehidupan manusia. Dari pengertian
tersebut, maka batas ruang lingkungan dapat sangat luas, tetapi ruang lingkungan
dapat dibatasi oleh factor alam, faktor politik, faktor ekonomi, faktor sosial dan
faktor yang lain (Renggong, 2018)
Hukum perlindungan lingkungan tidak hanya mengenai satu bidang tertentu saja.
Namun, merupakan keseluruhan dari macam-macam peraturan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang ada kaitannya dengan lingkungan biotis dan
lingkungan anthropogen. Hukum lingkungan juga bertalian dengan lingkungan
fisik, pertanian, hukum konstruksi dan beberapa bagian tertentu dari hukum
negara, seperti hukum perumahan. (Ibid, 2018)
Hukum lingkungan yaitu hukum yang mengatur tatanan lingkungan meliputi
semua benda dan keadaan, termasuk manusia dan perilakunya dalam lingkungan
manusia, yang mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk
hidup lainnya. (Hidayat : 2015) Terdapat juga hukum lingkungan yang tidak
tertulis diantaranya pranata hukum adat yang berkaitan dengan perlindungan dan
penyelengaraan lingkungan hidup yang dipatuhi oleh kelompok adat di berbagai
wilayah di Indonesia. (Renggong, Op.Cit : 2018)
Urgensi Pengaturan Hukum Lingkungan
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H berbunyi “ Lingkungan hidup
yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia”
kemudian terdapat juga aturan yang berkaitan yaitu Pasal 33 ayat 4 Undang-
Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa” Perekonomian nasional
diselenggatakan berdasarkan atas dasar prinsip kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Maka dari itu
untuk mewujudkan keharmonisan ekologi dengan kepentingan-kepentingan yang
lainnya sepeti pembangunan ekonomi nasioanal membutuhkan beberapa
pendekatan manajeman berbasis lingkungan yang meliputi pemerintah,
pengawasan, peraturan, partisipasi, informasi, serta instrument Pendidikan.
(Irwansyah : 2017)
Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengenai lingkungan untuk
yang pertama termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
1982. Namun, Undang-Undang ini dianggap tidak efektif sehingga direvisi dan
terbentuklah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997, dalam
aturanya hanya memfokuskan tentang pengelolaan lingkungan saja tanpa adanya
aturan yang spesifik mengenai perlindungan lingkungan bagi warga setempat atau
lingkungannya sendiri. Melalui proses yang panjang setelah reformasi
disempurnakan Kembali UUPLH tersebut dengan lahirnya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. (Erwin: 2015)
Prinsip Undang-Undang ini berlandaskan cara mengelola pemerintahan yang vaik
atau good government, Tata Kelola pemerintahan dintegrasikan yang meliputi
keterbukaan, keterlibatan, akuntabiltas, dan keadilan. Keterbukaan sangat
dibutuhkan dalam lingkungan yang bertujuan untuk memastikan apabila ada
pencemaran dan kehancuran lingkungan sehingga semua elemen yang terlibat
dapat berkontribusi dalam mencegah dan controlling terhadap pengelolaan dan
perlindungan lingkungan tersebut. Setelah itu apabila transaparansi dan partisipasi
tersebut sudah dilakukan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dapat
dipertanggungjawabkan (akuntabel) akan mencipptakan keadilan. (Ibid: 2015)
Posisi Hukum Pidana dalam Lingkungan
Hukum pidana dalam hubungan nya dengan lingkungan menjelaskan lebih jauh
tentang hukum pidana lingkungan. Dalam Pustaka hukum pidana belum
ditemukan penjelasan yang sama tentang hukum pidana. Para ahli menguraikan
arti dari hukum pidana pokok pikiran yang mempengaruhi para ahli tersebut
merumuskan pengertian hukum itu sendiri. Lemaire Ketika menjelaskan
pemahamannya tentang hukum pidana mengatakan bahwa kompilasi aturan atau
kaidah yang materi muatannya merupakan sebuah keharusan dan larangan yang
disetai dengan sanksi pidana. (Lamintang: 2011)
Sedangkan Pompe merumuskan pengertian hukum pidana itu sama dengan hukum
tatanegara, hukum perdata, dan lain-lain, elemen dari hukum atau suatu
keseluruhan dari peraturan yang bersifat umum yang disesuaikan dengan
keadaankeadaan yang bersifat konkrit. Sejalan dengan pengertian hukum pidana
yang telah disebutkan simons membagi menjadi dua yaitu hukum pidana dalam
arti subjektif dan objektif yaitu keseluruhan dari larangan dan keharusan yang
pelanggarannya dikaitkan dengan nestafa yang bersifat khusus berupa suatu
hukuman, serta masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri.
(Ibid: 2013)
Loebby Luqman memperkenalkan Istilah hukum pidana lingkungan pada acara
seminar hukum lingkungan yang diadakan oleh Departemen kehakiman.
Meskipun banyak pro dan kontra Ketika menggunakan istilah tersebut. Namun
Lukman memiliki tujuan yakni mempertegas bahwa hukum pidana juga
melingkupi berbagai aspek, diantaranya masalah perlindungan hukum pidana pada
lingkungan hidup (Opcit: 2018)
Sejak lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungdan Hidup, maka fungsi sebagai undang-undang induk (umbrella
provisions) melekat pada UUPPLH 2009. UUPPLH membawa perubahan
mendasar dalam pengaturan tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
(Satmaidi: 2011)
Pada UUPLH 1997 tindak pidana dirumuskan sebagai tindakan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagaimana diatur
dalam Pasal 41 UUPLH 1997. Sedangkan UUPPLH 2009 tindak pidana
dirumuskan sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPPLH 2009. (Supramono: 2013)
Didalam UUPLH 1997 pidana dengan pidana maksimum saja tanpa pidana
minimum, sedangkan UUPPLH 2009 pidana dengan pidana minimum dan
maksimum. Ketiga, UUPPLH 2009 juga mengatur tentang hal-hal yang tidak
diatur di dalam UUPLH 1997 diantaranya yakni pemidanaan bagi pelanggaran
baku mutu sebagaimana diatur dalam Pasal 100, perluasan alat bukti, keterpaduan
penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. (Ibid: 2013)
Pasal 162 UU Minerba, dikaitkan dengan Hukum Lingkungan perlu menjabarkan
dalam beberapa pokok bahasan berikut: (1) Tentang Partisipasi Publik Pasal 2
huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa
negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin hak warga negara atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat merupakan seperangkat hak yang terdiri dari hak substantif dan hak
prosedural. Hak substantif merupakan seperangkat hak yang berkaitan dengan hak
atas kesehatan,
UUPPLH memiliki padangan bahwa hukum pidana berperan sebagai upaya
terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sedangkan tindak
pidana lainnya yang diatur selain dari Pasal 100 UUPPLH berlaku asas premium
remedium, yaitu mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana. Peran
hukum pidana dalam hukum lingkungan harus memperhatikan asas- asas, salah
satunya adalah asas subsidaritas. Berdasarkan pendapat Sudarto bahwa
perlindungan hukum sebagai alat “social control”, fungsi pidana dapat bermakna
sebagai “subsidaritas” artinya hukum pidana hendaknya baru digunakan apabila
usaha-usaha lain seperti hukum administrasi dan/atau hukum perdata kurang
memadai dalam perlindungan hukum. Oleh karena itu, hukum pidana merupakan
senjata pamungkas bagi penegak hukum dalam penegakan hukum lingkungan.
(Ibid: 2013)
Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim adalah hal yang sangat penting untuk menentukan bahwa
putusan yang mengandung nilai keadialan (ex aequeo et bono) dan mengandung
kepastian hukum. Hakim saat melakukan Analisa suatu kasus perlu adanya
pembuktian. Proses dari hasil pembuktian tersebut dipakai salah satu alat untuk
membuktikan dan memutuskan suatu kasus. Pembuktian merupakan hal yang
penting Ketika proses persidangan. (Supramono, Opcit: 2013)
Pertimbangan hakim seharusnya terdiri dari banyak hal yaitu, pokok persoalan,
analisis secara yuridis maupun non yuruidis terhadap putusan dan terdapatnya
setiap bagian dari petitum penggugatharus diidentifikasi dan dianalisa tahap demi
tahap yang bertujuan seorang hakim Ketika menarik sebuah kesimpulan apakah
suatu perkara terbukti atau tidakmya dan dapat dikabulkan/tidaknya putusan
tersebut. (Arto: 2004)
Pada dasarnya petimbangan hakim ketika menajtuhkan suatu putusan hendaknya
memuat tentang pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang
tidak disangkal, adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek
menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan, adanya semua
bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi
satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya dan
dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan, pertimbangan
Hakim adalah argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai
pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. (Ibid: 2004)
Pertimbangan Hakim adalah argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim
sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara.
Pertimbangan hakim dibagi menjadi 2 yaitu pertama pertimbangan yuridis adalah
pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktafkata yuridis yang terungkap
Ketika proses persidangan seperti dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan
terdakwa, keterangan saksi, barangbarang bukti, dan pasal—pasal dalam peraturan
hukum pidana. (Supramono, Opcit: 2013)
Kedua, pertimbangan non yuridis bisa dilihat apa latar belakang terdakwa
melakukan perkara tersebut, kondisi terdakwa dan agama terdakwa. Kemudian
dalam Pasal ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kehakiman menyebutkan
bahwa “Seorang hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat. Inti dari ketentuan
tersebut supaya semua putusan hakim sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa
keadilan bagi Masyarakat.
Pertimbangan Hukum dikaitkan dengan UUPPLH
Penerapan sanksi terhadap pejuang lingkungan, ada beberapa yang seharusnya
perlu mendapat perhatian dari penguasa, perlunya kesamaan persepsi tentang
penerapan sanksi kasus penerapan sanksi terhadap pejuang lingkungan. Perlunya
kesamaan persepsi maksudnya terutama ditingkatkan usaha-usaha perlindungan
bagi pejuang lingkungan hidup yang membela dan mempertahankan hak untuk
lingkungan baik dan sehat yang diamantkan oleh Undang Undang Dasar.
Pada perbuatan yang melanggar Perundang undangan yaitu khususnya bagi
pejuangg lingkungan hidup yang sering terkena sanksi pidana atau kriminalisasi
oleh pengusaha Ketika mereka membela dan memperjuangkan haknya, maka
sebelum menerapkan sanksi bagi pejuang lingkungan tersebut harus terlebih
dahulu dilihat unsur-unsumya, apakah termasuk dalam kejahatan merintangi atau
mengganggu kegiatan usaha pertamabangan ataukah tidak memenuhi unsur tindak
pidana dalam UU minerba tersebut. Unsur tindak pidana tersebut dalam Undang
undang terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif.
Unsur objektif adalah hal yang berhubungan dengan keadaan ketika tindak pidana
itu dilakukan. Adanya unsur perbuatan kesalahan yang dilakukan oleh si pelaku
kejahatan atau terpidana dan juga adanya objek dari tindak pidana yang dilakukan.
Unsur subjektif, yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku, dengan adanya
unsur alasan atau penyebab perbuatan itu dilakukan oleh pelaku apakah perbuatan
tersebut disengaja, tidak disengaja atau tidak ada alasan, sehingga dalam
mengambilan keputusan harus dapat dibuktikan kedua-duanya, yang objektif dan
yang subjektif secara bersamaan.
Achmad Ali berpendapat bahwa dikalangan praktisi hukum terdapat
kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya sekedar sebagai
pranata hukum belaka, yang penuh denganmuatan normatif, diikuti lagi dengan
sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam
kenyataannya justru berbeda sama sekali dengan penggunaan kajian moral dan
kajian ilmu hukum (normatif). (Siregar: 1989)
Bismar Siregar juga menyatakan, seandainya terjadi dan akan terjadi benturan
bunyi hukum antara yang dirasakan adil oleh masyarakat oleh masyarakat dengan
apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum
dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan. (Ibid: 1989)
Menurut M.H.Tirtaamdijaja mengutarakan cara hakim dalam menentukan suatu
hukuman kepada si terdakwa, yaitu sebagai hakim ia harus berusaha untuk
menetapkan hukuman, yang dirasakan oleh masyrakat dan oleh si terdakwa
sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Untuk mencapai usaha ini, maka
hakim harus memperhatikan: (Tirtamidjaja: 1995)
a. Sifat pelanggaran pidana (apakah itu suatu pelanggaran pidana yang berat
atau ringan).
b. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pidana itu. Keadaan dan suasana
waktu melakukan pelanggaran pidana itu (yang memberikan dan
meringankan).
c. Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat yang telah berulangulang
dihukum atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja, atau apakah ia
seorang yang masih muda ataupun muda ataupun seorang yang berusia
tinggi.
d. Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana.
e. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu.
Pasal 8 ayat (5)Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentnag Kekuasaan
Kehakiman, disebutkan bahwa mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Pada 9 Juli 2018, ratusan warga unjuk rasa dari Kantor Desa Alasbuluh menuju
Kantor Desa Wongsorejo berakhir di Kantor Camat Wongsorejo. Empat organisasi
di lingkup Kecamatan Wongsorejo jadi peserta unjuk rasa ini. Aksi mereka untuk
menyuarakan penolakan warga atas rencana pembangunan Kawasan Industri
Wongsorejo (KIW) dan ekspansi tambang galian C. Juga menyikapi pembahasan
dokumen analisis dampak lingkungan (andal) galian C.
Polisi keluarkan surat panggilan 25 Juli 2018 meminta keterangan Abdullah. Surat
itu ada hubungan dengan aksi warga menghadang truk pengangkut material galian
C pada 2 Juni 2018. Ada beberapa warga diantaranya Para Terdakwa dalam
melakukan penghadangan kendaraan dump truk yang mengangkut hasil tambang
milik PT. Rolas Nusantara Tambang.
Perkara penangkapan terhadap 3 pejuang lingkungan tersebut berujung dengan
putusana bahwa 3 terdakwa tersebut yaitu H. Ach.Busi’in, H. Sugiyanto dan
Abdullah dituntut oleh JPU dengan pidana penjara masing-masing selama 6
(enam) bulan, dengan berupa barang bukti yang telah dimusnakan oleh
pengadilan. Ketiga pejuang lingkungan ini terbukti bersalah dan melakukan tindak
pidana “merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari
pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat” sebagaimana
diatur dan diancam dalam pasal 162 UU RI No. 4 Tahun 2009 tentang minerba.
Pasal 162 UU Minerba, dikaitkan dengan Hukum Lingkungan perlu menjabarkan
dalam beberapa pokok bahasan berikut: (1) Tentang Partisipasi Publik Pasal 2
huruf a Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa negara memiliki
tanggung jawab untuk menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan
seperangkat hak yang terdiri dari hak substantif dan hak prosedural. Hak
substantif merupakan seperangkat hak yang berkaitan dengan hak atas Kesehatan.
Majelis hakim menggunakan hukuman pokok yakni hukuman penjara terhadap
terdakwa. Dalam putusan Nomor: 802/Pid.Sus/2020/PN.Byw memajelis hakim
meberikan tuntutan penjatuhan hukuman pidana terhadap terdakwa dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) Bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan
sementara.
Dalam penjatuhan hukuman pidana penjara yang di berikan oleh JPU dan menjadi
keputusan majelis hakim kurang tepat karena tidak mempertimbnagkan bahwa 3
orang terdakwa tersebut sebagai pejunag lingkungan seperti yang tertera dalam
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Majelis hakim dalam pemberian
hukuman penjara terhadap kasus ini harus menjatuhkan hukuman pidana bebas.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bahwa 3 pejuang lingkungan di Banyuwangi terbukti
bersalah melakukan tindak pidana merintangi atau mengganggu kegiatan usaha
pertambangan dengan menggunakan pasal 162 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009
tentang minerba dan dijatuhi hukuman pidana penjara 3 bulan. Dalam putusan,
tersebut dirasa hakim kurang tepat dalam menggunakan Pasal 162 Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dalam menjatuhkan
hukuman terhadap terdakwa, penggunaan Pasal 162 UU Minerba tidaklah
berdasar dan merupakan perkara yang dapat dikategorikan sebagai Kriminalisasi.
Oleh karena itu, para terdakwa seharusnya mendapatkan perlindungan hukum
melalui Pasal 66 UU PPLH karena sejatinya para terdakwa sedang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak saja bagi
diri mereka sendiri namun juga bagi warga desa yang lain dan generasi berikutnya
di desa tersebut yang juga memiliki hak yang sama atas lingkungan yang
berkualitas dipertegas juga oleh pasal 33 Undang-Undang 1945. Kemudian hakim
juga harus berusaha untuk menetapkan hukuman, yang dirasakan oleh masyrakat
dan oleh si terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil yang mana 3
terdakwa merupakan seorang 3 pejuang lingkungan sehingga harus mengaitkan
dengan pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dalam pertimbangan
putusan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai