Analisis Penerapan Sanksi Pidana Terhadap 3 Pejuang Lingkungan di
Banyuwangi: Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009
Abstrak Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menegaskan bahwa prinsip negara baik “bumi dan air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” Ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi penyelenggaraan pengelolaan linkungan hidup yang bertujuan melestarikan kemampuan lingkungan hidup agar dapat menunjang kesejahteraan dan mutu hidup generasi mendatang. Kemudian ditegaskan pula dalam Pasal 66 UUPLH mengatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata. Namun, realita hari ini masih banyak kasus yang menimpa pejuang lingkungan hidup yang ditangkap dan dipidanakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis putusan hakim terhadap tindak penerapan sanksi 3 pejuang lingkungan di Banyuwangi dihubungkan dengan pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009. Metode Penelitian ini menggunakan tipe penelitianYuridis normatif yaitu mengkaji penerapan yang saling berkaitan, kaidah-kaidah, atau norma- norma yang berlaku yang dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis inti pertauran peundang-undangan, lietaratur yang berkaitan dan bersifat teoritis terhadap pokok permasalahan. Adapun dalam penelitian ini, Penerapan hukum yang digunakan dalam kasus ini sesuai dengan putusan JPU dan majelis hukum dianggap kurang tepat dan sesuai, karena dalam dakwaan dan putusan tidak mempertimbangkan bahwa terdakwa merupakan seorang pejuang lingkugan”. Putusan dalam kasus ini peneliti berpendapat bahwa majelis hakim harus melepas dan putusan bebas mengingat dalam Undang-Undang pejuang lingkungan tidak bisa dijerat pidana maupun perdata Kata Kunci: Pejuang Lingkungan, Penerapan Sanksi Pidana, Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 Pendahuluan Pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara tanpa henti dan tanpa adanya perencanaan yang ramah sosial ekoligi berakibat pada ketidakseimbangan pada fungsi lingkungan, daya dukung, daya tempung dan daya lenting. Hal ini mengakibatkan kerugian dan mneyengsarakan maysarakat. Adanya fenomena-fenomena alam seperti banjir, longsor, kemarau yang Panjang, polusi udara, pemanasan global dan yang lainnya itu disebabkan ada nya kebijakan pemerintah tanpa ada perencanaan sosial ekologis. (hidayat, Akib : 2016) Problem lingkungan hidup bukan sesuatu yang aneh di Indonesia, dinataranya meluapnya lumpur panas sidoarjo, tsunami di Aceh, Pangandaran, Ciamis Jawa Barat, banjir bandang wasior di Papua, banjir bandang di Garut tahun 2011, dan tanah terbis di berbagai daerah seperti di Sumbawa Barat pada bulan Maret 2010 dan Ambon pada bulan Juli 2011. (Akib : 2016) bencan tersebut terus terjadi sampai sekarang dan berulang seperti banjir bandang yang terjadi di garut pada tahun 2016 mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia dan hilang. Hadirnya peristiwa-peristiwa bencana yang muncul di beberapa daerah tidak terlepas dari sikap yang eksploitatif dan kebijakan yang tidak memiliki perencanaan dan peraturan berbasis sosial ekologis Di dalam pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “bumi dan air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal tersebut memberikan dasar hukum untu penggunaan pengelolaan lingkunga hidup yang memiliki tujuan melestarian pengeloaan lingkungan agar menunjang kersejahteraan warga negaranya.Ketentuan ini tidak hanya diamanatkan dalam satu pasal ada beberapa pasal yng lainnya yang saling berkaitan diantaranya pada Pasal 28H Undang-undang 1945 termaktub bahwa “Setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” Indonesia juga sudah memiliki peraturan mengenai perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang diatur dalam Undang—undang Nomor 32 Tahun 2009. Undang- Undnag ini merupakan hukum lingkungan yang cukup baik dan komprehensip yang Menyusun banyak hal yang berkaitan dengan lingkungan hiduo dinataranya perencanaan, pemanfaatan, pengandalian, pengawasan sampai penegakan hukum. Undang-Undang ini juga menyebutkan dalam salah satu pasal bahwa pejuang lingkungan hidup tidak dapat ditutuntut menurut pidana maupun perdata, sehingga dengan adanya pasal ini memberikan proteksi khusus untuk setiap warga yang memperjuangakan lingkungan atau pejuang lingkungan yang asri dan lestari. Namun terdapat hal yang cukup menarik dibahas oleh penulis yaitu adanya penangkapan dan dijatuhkan hukuman pidana terhadap 3 pejuang lingkungan di banyuwangi diantaranya Ahmad Busin, Sugiyanto dan Abdullah menjadi perhatian tersendiri yang mana 3 pejuang lingkungan tersebut dikenakan pasal 162 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2009 tentang minerba yaitu dianggap merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan PT. Rolas Nusantara Tambang (RNT) dan hal itu dikategorikan sebagai tindak pidana. Padahal sebagaimana tercantum pada pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 pejuang lingkungan dapat proteksi khusus tidak dapat dihukum baik secara pidana maupun perdata, kemudian di dalam Undang-Undang tersebut bahwa msayarakat memiliki hak untuk berperan serta mejaga penyelenggaraan lingkungan hidup. Hak ini diakomodir sebagai cara untuk mendapatakan ha katas lingkungan hidup sehingga waga negara yang ingin memperjuangkan lingkungan hidupnya diberikan jalan masuk untuk berperan pada kegiatan yang dapat atau menimbulkan dampak terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Penagkapan-penangkapan pejuang lingkungan sering terjadi, dalam rilis yang dikeluaran oleh Walhi Jawa Timur telah tejadi 12 kasus besar adanya konflik kepentingan anatara kepentingan industri dangan lingkunga serta kepentingan warga dalam mempertahankan ruang hidup. Sektor pertambangan dan masalah kehutanan menjadi kasus yang paling utama. Konflik tersebut mengakibatkan 87 warga menjadi korban, ada yang mengalami penyiksaann secara fisik, tertembak peluru, bahkan Sebagian dipenjara seperti kasus penangkapan 3 pejuang lingkungan yang telah disebutkan. (Hakim, 2017) Rumusan Masalah Bagaimana analis penerapan Sanksi pidana terhadap 3 pejuang lingkungan di Banyuwangi dikaitan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009? Metode Penelitain Penelitaian ini menggunakan pendekatan konseptual, perundang-undang dan putusan yaitu untuk memproses dan memeccahkan Analisa penerapan sanksi yang sesuai, diperlukan informasi yang jelas, mengidentifikasi masalahnya, mencari aturan-aturan hukum yang berkaitan, pengertianpengertian konsep hukum yang berkaitan dengan pembahsan, maupun dokrin-doktrin hukum untyuk menganalisa permasalahan tersebut. (Marzuki, 2016) Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu yuridis normatif (Ibid : 2016) Yuridis normatif yaitu mengkaji penerapan yang saling berkaitan, kaidah-kaidah, atau norma-norma yang berlaku yang dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis inti pertauran peundang- undangan, lietaratur yang berkaitan dan bersifat teoritis terhadap pokok permasalahan. (Ibid : 2016) Hasil dan Pembahasan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lingkungan adalah keadaan sekitar yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku makhluk hidup. Lingkungan dapat didefinisikan menjadi: (Supardi : 2009) a. Daerah atau lokasi tempat tinggal makhluk hidup b. Keadaan atau kondisi yang mengelilingi makhluk hidup c. Segala keadaan yang meliput suatu makhluk hidup atau sekumpulan makhluk hidup. Emil salim mengatakan, bahwa lingkungan hidup adalah segala benda, keadaan, kondisi dan pengaruh yang terdapat dalam ruang tempat kita hidup, yang mempengaruhi makhluk hidup, termasuk kehidupan manusia. Dari pengertian tersebut, maka batas ruang lingkungan dapat sangat luas, tetapi ruang lingkungan dapat dibatasi oleh factor alam, faktor politik, faktor ekonomi, faktor sosial dan faktor yang lain (Renggong, 2018) Hukum perlindungan lingkungan tidak hanya mengenai satu bidang tertentu saja. Namun, merupakan keseluruhan dari macam-macam peraturan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang ada kaitannya dengan lingkungan biotis dan lingkungan anthropogen. Hukum lingkungan juga bertalian dengan lingkungan fisik, pertanian, hukum konstruksi dan beberapa bagian tertentu dari hukum negara, seperti hukum perumahan. (Ibid, 2018) Hukum lingkungan yaitu hukum yang mengatur tatanan lingkungan meliputi semua benda dan keadaan, termasuk manusia dan perilakunya dalam lingkungan manusia, yang mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. (Hidayat : 2015) Terdapat juga hukum lingkungan yang tidak tertulis diantaranya pranata hukum adat yang berkaitan dengan perlindungan dan penyelengaraan lingkungan hidup yang dipatuhi oleh kelompok adat di berbagai wilayah di Indonesia. (Renggong, Op.Cit : 2018) Urgensi Pengaturan Hukum Lingkungan Didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H berbunyi “ Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia” kemudian terdapat juga aturan yang berkaitan yaitu Pasal 33 ayat 4 Undang- Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa” Perekonomian nasional diselenggatakan berdasarkan atas dasar prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Maka dari itu untuk mewujudkan keharmonisan ekologi dengan kepentingan-kepentingan yang lainnya sepeti pembangunan ekonomi nasioanal membutuhkan beberapa pendekatan manajeman berbasis lingkungan yang meliputi pemerintah, pengawasan, peraturan, partisipasi, informasi, serta instrument Pendidikan. (Irwansyah : 2017) Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengenai lingkungan untuk yang pertama termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982. Namun, Undang-Undang ini dianggap tidak efektif sehingga direvisi dan terbentuklah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997, dalam aturanya hanya memfokuskan tentang pengelolaan lingkungan saja tanpa adanya aturan yang spesifik mengenai perlindungan lingkungan bagi warga setempat atau lingkungannya sendiri. Melalui proses yang panjang setelah reformasi disempurnakan Kembali UUPLH tersebut dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Erwin: 2015) Prinsip Undang-Undang ini berlandaskan cara mengelola pemerintahan yang vaik atau good government, Tata Kelola pemerintahan dintegrasikan yang meliputi keterbukaan, keterlibatan, akuntabiltas, dan keadilan. Keterbukaan sangat dibutuhkan dalam lingkungan yang bertujuan untuk memastikan apabila ada pencemaran dan kehancuran lingkungan sehingga semua elemen yang terlibat dapat berkontribusi dalam mencegah dan controlling terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan tersebut. Setelah itu apabila transaparansi dan partisipasi tersebut sudah dilakukan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel) akan mencipptakan keadilan. (Ibid: 2015) Posisi Hukum Pidana dalam Lingkungan Hukum pidana dalam hubungan nya dengan lingkungan menjelaskan lebih jauh tentang hukum pidana lingkungan. Dalam Pustaka hukum pidana belum ditemukan penjelasan yang sama tentang hukum pidana. Para ahli menguraikan arti dari hukum pidana pokok pikiran yang mempengaruhi para ahli tersebut merumuskan pengertian hukum itu sendiri. Lemaire Ketika menjelaskan pemahamannya tentang hukum pidana mengatakan bahwa kompilasi aturan atau kaidah yang materi muatannya merupakan sebuah keharusan dan larangan yang disetai dengan sanksi pidana. (Lamintang: 2011) Sedangkan Pompe merumuskan pengertian hukum pidana itu sama dengan hukum tatanegara, hukum perdata, dan lain-lain, elemen dari hukum atau suatu keseluruhan dari peraturan yang bersifat umum yang disesuaikan dengan keadaankeadaan yang bersifat konkrit. Sejalan dengan pengertian hukum pidana yang telah disebutkan simons membagi menjadi dua yaitu hukum pidana dalam arti subjektif dan objektif yaitu keseluruhan dari larangan dan keharusan yang pelanggarannya dikaitkan dengan nestafa yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, serta masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri. (Ibid: 2013) Loebby Luqman memperkenalkan Istilah hukum pidana lingkungan pada acara seminar hukum lingkungan yang diadakan oleh Departemen kehakiman. Meskipun banyak pro dan kontra Ketika menggunakan istilah tersebut. Namun Lukman memiliki tujuan yakni mempertegas bahwa hukum pidana juga melingkupi berbagai aspek, diantaranya masalah perlindungan hukum pidana pada lingkungan hidup (Opcit: 2018) Sejak lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungdan Hidup, maka fungsi sebagai undang-undang induk (umbrella provisions) melekat pada UUPPLH 2009. UUPPLH membawa perubahan mendasar dalam pengaturan tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. (Satmaidi: 2011) Pada UUPLH 1997 tindak pidana dirumuskan sebagai tindakan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUPLH 1997. Sedangkan UUPPLH 2009 tindak pidana dirumuskan sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPPLH 2009. (Supramono: 2013) Didalam UUPLH 1997 pidana dengan pidana maksimum saja tanpa pidana minimum, sedangkan UUPPLH 2009 pidana dengan pidana minimum dan maksimum. Ketiga, UUPPLH 2009 juga mengatur tentang hal-hal yang tidak diatur di dalam UUPLH 1997 diantaranya yakni pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu sebagaimana diatur dalam Pasal 100, perluasan alat bukti, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. (Ibid: 2013) Pasal 162 UU Minerba, dikaitkan dengan Hukum Lingkungan perlu menjabarkan dalam beberapa pokok bahasan berikut: (1) Tentang Partisipasi Publik Pasal 2 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan seperangkat hak yang terdiri dari hak substantif dan hak prosedural. Hak substantif merupakan seperangkat hak yang berkaitan dengan hak atas kesehatan, UUPPLH memiliki padangan bahwa hukum pidana berperan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sedangkan tindak pidana lainnya yang diatur selain dari Pasal 100 UUPPLH berlaku asas premium remedium, yaitu mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana. Peran hukum pidana dalam hukum lingkungan harus memperhatikan asas- asas, salah satunya adalah asas subsidaritas. Berdasarkan pendapat Sudarto bahwa perlindungan hukum sebagai alat “social control”, fungsi pidana dapat bermakna sebagai “subsidaritas” artinya hukum pidana hendaknya baru digunakan apabila usaha-usaha lain seperti hukum administrasi dan/atau hukum perdata kurang memadai dalam perlindungan hukum. Oleh karena itu, hukum pidana merupakan senjata pamungkas bagi penegak hukum dalam penegakan hukum lingkungan. (Ibid: 2013) Pertimbangan Hakim Pertimbangan hakim adalah hal yang sangat penting untuk menentukan bahwa putusan yang mengandung nilai keadialan (ex aequeo et bono) dan mengandung kepastian hukum. Hakim saat melakukan Analisa suatu kasus perlu adanya pembuktian. Proses dari hasil pembuktian tersebut dipakai salah satu alat untuk membuktikan dan memutuskan suatu kasus. Pembuktian merupakan hal yang penting Ketika proses persidangan. (Supramono, Opcit: 2013) Pertimbangan hakim seharusnya terdiri dari banyak hal yaitu, pokok persoalan, analisis secara yuridis maupun non yuruidis terhadap putusan dan terdapatnya setiap bagian dari petitum penggugatharus diidentifikasi dan dianalisa tahap demi tahap yang bertujuan seorang hakim Ketika menarik sebuah kesimpulan apakah suatu perkara terbukti atau tidakmya dan dapat dikabulkan/tidaknya putusan tersebut. (Arto: 2004) Pada dasarnya petimbangan hakim ketika menajtuhkan suatu putusan hendaknya memuat tentang pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal, adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan, adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan, pertimbangan Hakim adalah argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. (Ibid: 2004) Pertimbangan Hakim adalah argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Pertimbangan hakim dibagi menjadi 2 yaitu pertama pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktafkata yuridis yang terungkap Ketika proses persidangan seperti dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barangbarang bukti, dan pasal—pasal dalam peraturan hukum pidana. (Supramono, Opcit: 2013) Kedua, pertimbangan non yuridis bisa dilihat apa latar belakang terdakwa melakukan perkara tersebut, kondisi terdakwa dan agama terdakwa. Kemudian dalam Pasal ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kehakiman menyebutkan bahwa “Seorang hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat. Inti dari ketentuan tersebut supaya semua putusan hakim sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa keadilan bagi Masyarakat. Pertimbangan Hukum dikaitkan dengan UUPPLH Penerapan sanksi terhadap pejuang lingkungan, ada beberapa yang seharusnya perlu mendapat perhatian dari penguasa, perlunya kesamaan persepsi tentang penerapan sanksi kasus penerapan sanksi terhadap pejuang lingkungan. Perlunya kesamaan persepsi maksudnya terutama ditingkatkan usaha-usaha perlindungan bagi pejuang lingkungan hidup yang membela dan mempertahankan hak untuk lingkungan baik dan sehat yang diamantkan oleh Undang Undang Dasar. Pada perbuatan yang melanggar Perundang undangan yaitu khususnya bagi pejuangg lingkungan hidup yang sering terkena sanksi pidana atau kriminalisasi oleh pengusaha Ketika mereka membela dan memperjuangkan haknya, maka sebelum menerapkan sanksi bagi pejuang lingkungan tersebut harus terlebih dahulu dilihat unsur-unsumya, apakah termasuk dalam kejahatan merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertamabangan ataukah tidak memenuhi unsur tindak pidana dalam UU minerba tersebut. Unsur tindak pidana tersebut dalam Undang undang terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah hal yang berhubungan dengan keadaan ketika tindak pidana itu dilakukan. Adanya unsur perbuatan kesalahan yang dilakukan oleh si pelaku kejahatan atau terpidana dan juga adanya objek dari tindak pidana yang dilakukan. Unsur subjektif, yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku, dengan adanya unsur alasan atau penyebab perbuatan itu dilakukan oleh pelaku apakah perbuatan tersebut disengaja, tidak disengaja atau tidak ada alasan, sehingga dalam mengambilan keputusan harus dapat dibuktikan kedua-duanya, yang objektif dan yang subjektif secara bersamaan. Achmad Ali berpendapat bahwa dikalangan praktisi hukum terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh denganmuatan normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam kenyataannya justru berbeda sama sekali dengan penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum (normatif). (Siregar: 1989) Bismar Siregar juga menyatakan, seandainya terjadi dan akan terjadi benturan bunyi hukum antara yang dirasakan adil oleh masyarakat oleh masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan. (Ibid: 1989) Menurut M.H.Tirtaamdijaja mengutarakan cara hakim dalam menentukan suatu hukuman kepada si terdakwa, yaitu sebagai hakim ia harus berusaha untuk menetapkan hukuman, yang dirasakan oleh masyrakat dan oleh si terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Untuk mencapai usaha ini, maka hakim harus memperhatikan: (Tirtamidjaja: 1995) a. Sifat pelanggaran pidana (apakah itu suatu pelanggaran pidana yang berat atau ringan). b. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pidana itu. Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu (yang memberikan dan meringankan). c. Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat yang telah berulangulang dihukum atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja, atau apakah ia seorang yang masih muda ataupun muda ataupun seorang yang berusia tinggi. d. Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana. e. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu. Pasal 8 ayat (5)Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentnag Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Pada 9 Juli 2018, ratusan warga unjuk rasa dari Kantor Desa Alasbuluh menuju Kantor Desa Wongsorejo berakhir di Kantor Camat Wongsorejo. Empat organisasi di lingkup Kecamatan Wongsorejo jadi peserta unjuk rasa ini. Aksi mereka untuk menyuarakan penolakan warga atas rencana pembangunan Kawasan Industri Wongsorejo (KIW) dan ekspansi tambang galian C. Juga menyikapi pembahasan dokumen analisis dampak lingkungan (andal) galian C. Polisi keluarkan surat panggilan 25 Juli 2018 meminta keterangan Abdullah. Surat itu ada hubungan dengan aksi warga menghadang truk pengangkut material galian C pada 2 Juni 2018. Ada beberapa warga diantaranya Para Terdakwa dalam melakukan penghadangan kendaraan dump truk yang mengangkut hasil tambang milik PT. Rolas Nusantara Tambang. Perkara penangkapan terhadap 3 pejuang lingkungan tersebut berujung dengan putusana bahwa 3 terdakwa tersebut yaitu H. Ach.Busi’in, H. Sugiyanto dan Abdullah dituntut oleh JPU dengan pidana penjara masing-masing selama 6 (enam) bulan, dengan berupa barang bukti yang telah dimusnakan oleh pengadilan. Ketiga pejuang lingkungan ini terbukti bersalah dan melakukan tindak pidana “merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat” sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 162 UU RI No. 4 Tahun 2009 tentang minerba. Pasal 162 UU Minerba, dikaitkan dengan Hukum Lingkungan perlu menjabarkan dalam beberapa pokok bahasan berikut: (1) Tentang Partisipasi Publik Pasal 2 huruf a Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan seperangkat hak yang terdiri dari hak substantif dan hak prosedural. Hak substantif merupakan seperangkat hak yang berkaitan dengan hak atas Kesehatan. Majelis hakim menggunakan hukuman pokok yakni hukuman penjara terhadap terdakwa. Dalam putusan Nomor: 802/Pid.Sus/2020/PN.Byw memajelis hakim meberikan tuntutan penjatuhan hukuman pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) Bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara. Dalam penjatuhan hukuman pidana penjara yang di berikan oleh JPU dan menjadi keputusan majelis hakim kurang tepat karena tidak mempertimbnagkan bahwa 3 orang terdakwa tersebut sebagai pejunag lingkungan seperti yang tertera dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Majelis hakim dalam pemberian hukuman penjara terhadap kasus ini harus menjatuhkan hukuman pidana bebas. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas bahwa 3 pejuang lingkungan di Banyuwangi terbukti bersalah melakukan tindak pidana merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dengan menggunakan pasal 162 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang minerba dan dijatuhi hukuman pidana penjara 3 bulan. Dalam putusan, tersebut dirasa hakim kurang tepat dalam menggunakan Pasal 162 Undang- Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa, penggunaan Pasal 162 UU Minerba tidaklah berdasar dan merupakan perkara yang dapat dikategorikan sebagai Kriminalisasi. Oleh karena itu, para terdakwa seharusnya mendapatkan perlindungan hukum melalui Pasal 66 UU PPLH karena sejatinya para terdakwa sedang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak saja bagi diri mereka sendiri namun juga bagi warga desa yang lain dan generasi berikutnya di desa tersebut yang juga memiliki hak yang sama atas lingkungan yang berkualitas dipertegas juga oleh pasal 33 Undang-Undang 1945. Kemudian hakim juga harus berusaha untuk menetapkan hukuman, yang dirasakan oleh masyrakat dan oleh si terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil yang mana 3 terdakwa merupakan seorang 3 pejuang lingkungan sehingga harus mengaitkan dengan pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dalam pertimbangan putusan tersebut.