Anda di halaman 1dari 28

Nama: Verdy Cendana

NIM: 04011181722012
Kelas: Alpha 2017
LEARNING ISSUES
1. Thalassemia
a. Definisi
Thalassemia, atau secara komprehensif dikenal dengan sindrom thalassemia adalah grup heterogen anemia hemolitik yang diwariskan
dengan ciri-ciri defisiensi atau tidak adanya produksi 1 rantai globin dari hemoglobin. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan sintesis rantai
globin yang merupakan tanda dari semua sindrom thalassemia.
b. Epidemiologi
Thalassemia adalah penyakit gen tunggal yang paling umum di seluruh populasi dunia, dengan estimasi jumlah carrier lebih dari 270 juta,
dan lebih dari 300.000 anak yang lahir setiap tahun dengan 1 sindrom thalassemia atau 1 dari variasi struktur hemoglobin. Frekuensi yang sangat
tinggi dari gangguan hemoglobin dibandingkan dengan penyakit monogenik lain merefleksikan seleksi alamiah dimediasi oleh resistensi relatif
carrier melawan malaria Plasmodium falciparum. Faktor lain yang mungkin terlibat meliputi perkawinan consanguineous (sedarah), peningkatan
usia ibu pada negara lebih miskin, dan gene drift dan efek founder. Untuk alasan ini, thalassemia paling banyak ditemukan pada Asia Tenggara
dan Asia Selatan, Timur Tengah, negara Mediterranea, dan Afrika Utara dan Afrika Tengah. Bagaimanapun, sebagai hasil dari migrasi besar
populasi Afrika dari area yang tinggi angka prevalensinya, thalassemia sekarang ditemukan di seluruh dunia.
c. Patobiologi
Sel darah merah normal mengandung 97% hemoglobin dewasa (HbA: α 2 β 2 ), dengan 2.5% komponen minor HbA2 (α 2 δ 2 ) dan sejumlah
kecil hemoglobin fetal (HbF: α 2 γ 2 ). Karena tetramer stabil α2 β 2 adalah komponen utama hemoglobin setelah lahir, ada 2 bentuk utama
thalassemia: α-thalassemia dan β-thalassemia. Karena sintesis rantai β diaktivasi secara penuh hanya setelah lahir, ini menunjukkan bahwa β-
thalassemia tidak diekspresikan sebagai penyakit pada kehidupan intrauterina; mereka bermanifestasi sebagai sintesis rantai γ menurun selama
tahun pertama kehidupan. Pada kebalikannya, karena rantai α terbagi dalam hemoglobin fetal dan dewasa, thalassemia α bermanifestasi pada
kehidupan fetus dan dewasa.
d. Klasifikasi
Sebagai pengetahuan mengenai basis genetika dan mekanisme patofisiologi thalassemia telah berkembang, sindrom thalassemia sekarang
dapat diklasifikasi pada tingkat genetik dan klinis.
Klasifikasi Genetik Klinis
α-thalassemia α 0 α-Minor
α + Penyakit HbH
Delesi (−α) Hidrops fetalis
Nondelesi (α Τ )
β-thalassemia β 0 β-Minor
β + Thalassemia intermedia
Variasi dengan HbA 2 tinggi Thalassemia mayor
HbA2 normal
Silent
Dominan
Tidak terhubung dengan kluster β
δβ-Thalassemia (δβ) 0 δβ-Minor
(δβ) + Thalassemia intermedia
( A γδβ) 0
HPHF Delesi Peningkatan secara diam-diam HbF
Nondelesi
Tidak terhubung dengan kluster β
Hb A: Hemoglobin dewasa, Hb F: Hemoglobin fetal, HPHF: hereditary persistence of fetal hemoglobin
e. Genetik
6 tipe rantai globin berbeda (α,β,γ,δ,ε,ζ) ditemukan pada hemoglobin manusia normal pada tahap perkembangan berbeda. Pada awal embrio,
sintesis hemoglobin oleh yolk sac dan terjadi produksi hemoglobin Gower 1 (ζ 2 ε 2 ), Gower 2 (α 2 ε 2 ), dan Portland (ζ 2 γ 2 ). Secara berurutan,
sekitar minggu ke 8 gestasi, hati fetus mengambil alih, mensitesis secara dominan HbF (α  2 γ 2 ) dan HbA dalam jumlah sedikit (<10%). Diantara
sekitar minggu ke-18 dan kelahiran, hati secara progresif digantikan oleh sumsum tulang sebagai situs utama produksi sel darah merah; hal ini
ditemani pada tahap lanjut gestasi dengan pertukaran resiprokal dalam produksi HbF dan HbA, dimana berlanjut sampai, akhir tahun pertama,
produksi HbF menurun kurang dari 2%. Gen globin mengkode kluster gen terpisah. Kluster α (ζ,α 2 ,α 1 ) berada pada telomer kromosom 16;
kluster β (ε, G γ dan A γ,δ,β) berada pada kromosom 11p15.5. Pada kedua kluster, gen berarah 5’ ke 3’ agar mereka berekspresi selama
perkembangan. Kedua set gen dibawah regulasi echancer-like elements (situs hipersensitif [HS]-40 untuk kluster α dan daerah kontrol lokus untuk
kluster β) yang terletak jauh pada ujung 5’ kluster. Delesi elemen enhancer ini mengakibatkan inaktivasi gen globin terkait. Ada 2 gen/alel α
(α 2 dan α 1 ) yang membedakan dengan beberapa nukleotida pada intron 2 dan 3 daerah tak diterjemahkan tetapi menghasilkan produk protein
yang identik. Kelebihan gen α 2  dari gen α 1  sekitar 2-3x lipat. Kluster α juga mengandung gen pseudo-ζ dan pseudo-α yang tidak ditranslasi
menjadi protein. Daerah sekitar DNase1 situs hipersensitif pada 40 kilobasa ke hulu dari gen ζ-globin (HS-40) adalah regulator utama ekspresi
gen α-globin. Kluster β mengandung gen tunggal pseudo-β; enhancer kluster β terdiri dari 5 elemen ditandai oleh erythroid-specific DNase1 situs
hipersensitivitas berada pada 6-20 kb ke hulu gen ε-globin, setiapnya dimana mengandung beberapa situs pengikatan untuk erythroid spesifik dan
faktor transkripsi lain. Semuanya, elemen ini diketahui sebagai daerah kontrol lokus, dan setiap elemen berkontribusi ke semua aktivitas daerah
kontrol lokus. Sebagai tambahan, ada erythorid-spesific situs hipersensitivitas sekitar 20 kb ke arah hilir gen β-globin; ketika kluster diaktivasi,
situs hipersensitivitas hulu dan hilir dibawa menuju promoter gen untuk mengaktivasi transkripsi mereka.
Gen individu globin berbagi banyak sifat umum; mereka terdiri dari 3 sekuens kode ekson dipisahkan oleh 2 intron pada posisi identik tetapi
variasi panjang untuk total panjang sekitar 1500 nukleotida. Struktur ini sudah dikonservasi sepanjang evolusi. Daerah hulu mengapit ekson
pertama yang mengandung sekuens motif yang penting untuk pembenaran spesifik inisiasi transkripsi. Kotak TATA ditemukan pada 30 bp hulu
dari situs inisiasi bersamaan dengan 1 atau lebih situs CCAAT pada 70 bp hulu. Promoter gen juga mengandung kotak CACCC atau CCGCCC
yang mengikat erythroid Krüppel-like factor (EKLF) 1, dan beberapa memiliki situs pengikatan untuk faktor transkripsi erythroid GATA-1. Pada
sistem model, mutasi dikenalkan dalam sekuens mengakibatkan reduksi pada tingkatan transkripsi.
Semua thalassemia memiliki pola pewarisan yang sama; pada kebanyakan kasus, defek gen ditrasnmisikan pada cara autosomal Mendelian. Juga,
variasi simptom biasanya hasil dari interaksi lebih dari 1 determinan genetik. Pewarisan α-thalassemia lebih rumit karena melibatkan hasil dari
gen yang berpasangan (αα).
f. Basis molekuler thalassemia
α- dan β-thalassemia dibagi menjadi penyakit dimana tidak ada rantai dihasilkan dari kromosom yang terkena (α 0 and β 0 ) dan mereka yang
keluaran rantainya berkurang (α + and β + ). Untuk α-thalassemia, defek molekuler yang paling sering adalah delesi 1 atau kedua gen α, dimana
didesain –α dan --, masing-masing. Gen tunggal α dipercaya muncul sebagai persilangan antara 2 gen α yang tak selaras pada kromosom
homolog yang bisa memberikan peningkatan ke kromosom baik tunggal (-α) atau triplikasi (ααα) gen α-globin. Tergantung titik penyilangan,
delesi mungkin membuang sekuens antara sekuens 2.5 dan 5.3 kb, dengan kehilangan 3.7 (−α  3.7 ) atau 4.2 (−α 4.2 ) kb paling prevalen. Duplikasi
penuh lokus gen α-globin, meliputi hulu elemen regulator, juga dilaporkan pada subjek beda leluhur, memastikan bahwa tipe rekombinasi
homolog genetik terjadi secara relatif pada loci globin. Sekarang, lebih dari 20 delesi berbeda yang terlibat kedua gen α, menghasilkan dari
rekombinasi illegitimate atau nonhomolog, dilaporkan. Panjang delesi bervariasi dari 5.2 sampai lebih dari 40 kb; paling sering terjadi pada Asia
Tenggara, Mediterranea, dan Filipina. Tipe nondelesi α-thalassemia (α α ) lebih jarang daripada bentuk delesi; pada kebanyakan kasus, mereka
merupakan hasil dari mutasi tunggal oligonukleotida pada daerah sekuens gen α yang penting untuk ekspresi normal. Karena ekspresi dari gen α 2
2-3x lebih besar daripada gen α 1, ini tidak mengejutkan bahwa kebanyakan mutan nondelesi lebih mengenai ekspresi gen α 2. Mutasi mungkin
mempengaruhi kodon inisiasi atau sinyal splicing, menyebabkan pergeseran kerangka, atau mengenalkan kodon stop prematur. Setidaknya 5
variasi nukleotida tunggal mempengaruhi terminasi alami kodon (TAA) dari gen α 2 –globin. Diantara ini, konstanta hemoglobin Spring (α cs α)
adalah yang paling umum dan secara ekstensif dipelajari. Terakhir, ada beberapa varian α-globin yang sangat tidak stabil yang mengalami
degradasi cepat postsintetik. Pada situasi tersebut, rantai β tetap berlebihan di dalam sel darah merah, dan pasien carrier variasi rantai α ini, secara
definitif, memiliki α-thalassemia. Sekarang, 17 varian α tak stabil telah terlihat untuk menghasilkan fenotip α-thalassemia ke tingkatan lebih besar
atau lebih kecil.
Seperti α-thalassemia, β-thalassemia diklasifikasikan sebagai β 0 (dimana tidak ada β-globin dihasilkan) dan β + (dimana beberapa β-globin
dihasilkan tetapi kurang dari normal). Pada beberapa kasus, defek dalam produksi rantai β sangat ringan jadi mereka didesain sebagai β ++. Sejauh
ini, lebih dari 200 mutasi thalassemia dari gen β-globin yang dilaporkan, kebanyakan adalah mutasi titik di dalam gen atau sekuens pengapit awal.
Sedikit mutasi β-thalassemia yang berpisah secara independen kluster gen β-globin digambarkan, melibatkan trans-acting regulatory factor.
Distribusi alel sangat bervariasi dari 1 populasi ke lain, tetapi di dalam setiap populasi, hanya ada beberapa alel yang umum. Tipe nondelesi β-
thalassemia terhitung alel terbanyak untuk β-thalassemia. Mereka meliputi mutasi transkripsi, mutasi memproses RNA, dan mutasi yang
mengenai translasi.
Delesi sederhana gen β-globin jarang, berkisar ukuran 290 pasang basa sampai lebih dari 60 kb. Delesi 619 pasang basa pada ujung 3’ gen β
secara relatif umum pada populasi Sind dan Punjabi di India dan Pakistan. Delesi tersisa terbatas untuk keluarga tunggai, dibutuhkan β 0-
thalassemia dan menariknya terkait dengan kadar HbA 2 tinggi yang tak biasa pada heterozigot. Delesi besar yang mempengaruhi seluruh kluster
gen β-globin (εγγδβ) 0  jarang dan terbatas untuk keluarga tunggal. Terakhir, beberapa varian rantai β tidak stabil mungkin bermanifestasi sebagai
bentuk dominan β-thalassemia.
δβ-thalassemia dan hereditary persistence of fetal hemoglobin (HPHF) adalah hasil dari delesi berbagai bagian locus β-globin. Delesi ini
secara parsial dikompensasi dengan peningkatan ekspresi gen γ yang meningkatkan kadar HbF. Panjang delesi terhitung dari bentuk berbeda dari
δβ-thalassemia, meliputi kedua gen G γ dan A γ atau hanya A γ, dan bervariasi dari 9-100 kb. Hemoglobin Lepore adalah hibrid dari rantai δ dan β
diakibatkan penyilangan antara 2 gen tak selaras; hemoglobin ini disintesis secara inefisien dan peningkatan pembentukan δβ-thalassemia. Delesi
dari gen δ dan β juga basis molekuler untuk banyak bentuk HPHF, bagaimanapun, biasanya memiliki kompensasi tingkat lebih tinggi produksi
HbF daripada δβ-thalassemia. HPHF lain dikarenakan mutasi titik pada daerah promoter hulu dari situs mulai transkripsi pada gen G γ atau A γ
yang merubah pengikatan 1 atau lebih faktor transkripsi; mereka dikenal sebagai nondelesi HPHF. Penelitian genetik telah mengidentifikasi 3 trait
loci kuantitatif utama yang terhitung 20-50% variasi umum pada kadar HbF di pasien β-thalassemia dan penyakit sel bulan sabit sebagaimana
pada dewasa sehat.

g. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis (ekspresi fenotip) dari sindrom thalassemia sangat bervariasi dan tergantung pada derajat ketidakseimbangan rantai globin.
1) α-Thalassemia
Sebagaimana disebutkan, terdapat 2 kelas utama α-Thalassemia: α 0, dimana kedua gen α terinaktivasi (− −/); dan α +, dimana
hanya 1 pasang yang defektif karena delesi gen α atau mutasi (−α atau αα T ). Spektrum klinis α-thalassemia berkorelasi dengan jumlah gen
α yang terkena, dari normal hingga kehilangan 4 gen. Pewarisan alel normal (αα) dengan 1 dari alel α  + atau α 0 paling sering dalam α-
thalassemia minor (− −/αα; −α/αα; −α Τ /αα; α Τ α/−α;−α/−α). Secara umum carrier dari genotip teresebut memiliki kadar hemoglobin total
rendah, mean corpuscular volume, dan mean cell hemoglobin tetapi sel darah merah terhitung dari normal. Perbedaan terbesar terlihat pada
mean cell hemoglobin, dimana biasanya < 26 pg. Pengecatan darah perifer bervariasi, menunjukkan berbagai derajat hipokromia dengan
beberapa sel target dan terkadang pokilosit. Pada carrier α 0 -thalassemia (− −/αα), memungkinkan untuk menghasilkan sedikit inklusi HbH
sel darah merah (β 4 ). Carrier dari bentuk nondelesi (αα Τ /αα) ditandai dengan perubahan hematologi lebih daripada bentuk delesi.
Konstitusi hemoglobin carrier dewasa α + - atau α 0 –thalassemia tidak dapat dibedakan dari normal tetapi memiliki kadar HbA 2 lebih
rendah. Jejak hemoglobin Bart (γ 4 ) pada periode neonatal dapat terdeteksi pada proporsi besar neonatus dengan α-thalassemia, dan mereka
menurun selama 6 bulan pertama setelah melahirkan. α-thalassemia umum di area dimana β-thalassemia ditemukan pada frekuensi tinggi.
Juga, coinheritance α- dan β-thalassemia trait mungkin terjadi dan bahkan mempertajam parameter hematologi. Pada beberapa kasus, untuk
konseling genetika pada keluarga dimana α- dan β-thalassemia ada, penentuan genotip sangat esensial. Mutan tak stabil Hb  CT  menyebabkan
reduksi parah ekspresi α 2 –globin dari kromosom yang terkena; dengan demikian, carrier dan homozigot akan memiliki fenotip lebih parah
dibandingkan α-thalassemia minor tetapi tidak separah pada kasus penyakit HbH.
Penyakit HbH paling sering sebagai hasil dari interaksi α + - and α 0 –thalassemia, dan tidak mengejutkan kebanyakan pasien
berasal dari populasi Asia Tenggara, Mediterranea, dan Timur Tengah. Penyakit HbH adalah diagnosis terhadap subjek > tua dari 6 bulan
mengalami ketidakseimbangan globin untuk menghasilkan kadar HbH detektabel (>1-2%) di permbuluh darah tepi bersama dengan badan
inklusi (tetramer β 4 ) dalam sel darah merah. Fenotip klinis mencakup spektrum luas dari manifestasi klinis ringan hingga thalassemia
intermedia dan mencakup non-transfusion-dependent thalassemia. Sifat khas dominan penyakit HbH adalah anemia hipokrom, mikrositer
dengan jaundice dan hepatosplenomegali. Karena mekanisme utama dari anemia adalah hemolisis dibandingkan diseritropoiesis, hanya
beberapa pasien memiliki bukti klinis dari erythron yang mengembang. Komplikasi paling sering penyakit HbH adalah perkembangan
hipersplenisme karena splenomegali yang parah. Komplikasi lain meliputi batu empedu, ulserasi kaki, peningkatan risiko infeksi, defisiensi
asam folat, dan peningkatan risiko trombosis vena setelah splenektomi. Kadar hemoglobin bervariasi dari 3-12 g/dL, dengan fluktuasi yang
mungkin terjadi setelah paparan obat oksidan, infeksi, atau aplasia transien karena infeksi virus intercurrent. Jarang, pasien dengan penyakit
HbH membutuhkan transfusi darah biasa. Anemia terhubung dengan retikulositosis dan perubahan tipikal sel darah merah thalassemia.
Jumlah HbH bervariasi dari 1-40%. Jumlah HbA 2 selalu berkurang. Pengecatan darah tepi selalu menunjukkan hipokromia dengan
anisopoikilositosis, sel target, dan basophilic stippling. Ciri khas penyakit HbH selalu memungkinkan untuk menghasilkan inklusi multipel
sel darah merah setelah inkubasi dengan brilliant cresyl blue. Sumsum tulang juga menandakan adanya hiperplasia erythroid.
Bentuk paling parah α-thalassemia adalah hidrops fetalis, dimana semua gen α-globin terdelesi (genotip - -/- -). Tidak cocok
dengan kehidupan. Sebagai fakta, karena rantai α-globin tidak ada selama gestasi, hemoglobin Bart (γ 4 ) menjadi hemoglobin dominan.
Karena afinitas oksigennya tinggi, hemoglobin Bart tidak mampu mengantarkan oksigen ke jaringan, dan konsekuensi intrauterina adalah
anemia berat progresif, eritropoiesis inefektif parah dengan ditandai eritropoiesis ekstramedullar, organomegali masif, gagal jantung,
hipoalbuminemia parah, dan edema. Bayi dengan sindrom hidrops fetalis meninggal dalam uterus (30-40 minggu gestasi) atau sebentar
setelah melahirkan. Kadar hemoglobin bervariasi dari 3-20 g/dL; pada pengecatan darah tepi berkarakteristik dengan anidopoikilositosis,
makrosit hipokromik besar, dan banyak sel darah merah berinti. Hemoglobin terdiri hampir semuanya hemoglobin Bart (80-90%), dengan
sisanya HbH dan Portland. Ibu dari bayi memiliki riwayat kematian neonatus sebalumnya. Tanpa perawatan medis, wanita membawa fetus
mungkin mengalami keguguran dan komplikasi postpartum (retained plasenta, eklamsia, sepsis).
Terdapat beberapa laporan yang menggambarkan α-thalassemia yang terkait dengan retardasi mental (juga disebut sindrom ATR-
16). Kondisi ini dikarenakan delesi besar (1 atau 2 megabasa) dari ujung kromosom 16 meliputi kluster gen α-globin. Akan tetapi, beberapa
kasus tidak ada delesi atau abnormalitas lain kluster gen α-globin. Telah dilihat bahwa pasien dengan fenotip ini memiliki karakteristik
retardasi mental parah, facies dismorfik, abnormalitas genital, dan α-thalassemia memiliki kelainan yang memetakan pada kromosom X
(sindrom ATR-X).
2) β−Thalassemia
β−Thalassemia meliputi grup heterogen kelainan sintesis hemoglobin, dimana berkarakteristik kurangnya rantai β hemoglobin
dewasa. Klasifikasi klinis meliputi thalassemia mayor (TM, tergantung transfusi), thalassemia intermedia (TI, keparahan intermediet, tidak
tergantung transfusi), dan thalassemia minor (asimptomatik). Keparahan manifestasi klinis berkorelasi dengan derajat ketidakseimbangan
rantai globin; tergantung pada defek gen β-globin dan interaksinya, produksi rantai β-globin secara kuantitatif dikurangi untuk perbedaan
derajat, dimana sintesis α-globin lanjut seperti normal, menghasilkan akumulasi kelebihan rantai α-globin tidak cocok dalam prekursor
erythroid. Rantai α-globin bebas tidak mampu membentuk tetramer stabil; mereka kemudian mengendap di prekursor erythroid, membentuk
badan inklusi yang merusak membran sel darah merah, dengan demikian menyebabkan destruksi prematur prekursor erythroid di sumsum
tulang (eritropoiesis inefektif). Eritropoiesis inefektif menyebabkan urutan kejadian yang bertanggung jawab untuk ekspansi sumsum tulang,
anemia hemolitik, splenomegali, dan peningkatan absorpsi besi. Berbagai faktor yang mengurangi derajat ketidakseimbangan rantai dan
magnitudo kelebihan rantai α, seperti coinheritance α-thalassemia atau kemampuan bawaan untuk mengurangi hemoglobin fetal, akan
memperbaiki ekspresi klinis penyakit.

A, Klasifikasi klinis β-thalassemia, dari β-thalassemia minor sampai β-thalassemia mayor, berdasarkan keparahan penyakit. β-thalassemia
minor subjeknya asimptomatik, dimana pada keparahan ekstrim, pasien β-thalassemia mayor tergantung transfusi. Di antara spektrum luas
fenotip klinis ada thalassemia intermedia menyebabkan interaksi berbeda genetik yang berciri anemia tidak tergantung transfusi dari sedang
sampai parah. B, Kriteria tentatif untuk membedakan thalassemia mayor dari presentasi thalassemia intermedia. HbA= hemoglobin dewasa;
HbF= hemoglobin fetal; RBC= sel darah merah

Patofisiologi β-thalassemia dan pemodifikasi ketidakseimbangan rantai globin. Keparahan eritropoiesis inefektif tergantung pada
derajat kelebihan rantai α yang diakibatkan dari 3 mekanisme berbeda: (1) warisan mutasi rantai β parah, ringan atau silent; (2)
coinheritance penentu terkait dengan peningkatan produksi rantai γ; dan (3) coinheritance α-thalassemia. Sebuah fenotip thalassemia
intermedia mungkin berasal dari peningkatan produksi rantai α-globin oleh triplikasi (ααα) atau kuadruplikasi (αααα) genotip α terkait
dengan heterozigositas β. Pewarisan polimorfisme atau mutasi gen yang terlibat pada tulang, besi, dan metabolisme bilirubin sebagaimana
juga infeksi mungkin berkontribusi untuk memodifikasi klinis penyakit. ESR1 = estrogen receptor 1; HbF = fetal hemoglobin; HFE =
hereditary hemochromatosis gene; HLA = human leukocyte antigen; ICAM1 = intercellular adhesion molecule 1; TNF = tumor necrosis
factor; UGT1 = UDP-glucose : glycoprotein glucosyltransferase 1; VDR = vitamin D receptor
Bentuk utama β-thalassemia (terkadang disebut Cooley anemia) adalah kelainan dimana hidup dapat dijaga dengan transfusi
darah berkala. Kondisi ini biasanya hasil dari keadaan homozigot atau dari senyawa keadaan heterozigot untuk mutasi gen β (β 0 ). Bentuk
tipikal TM menjadi bermanifestasi selama tahun pertama kehidupan, dimana rantai γ dimatikan tetapi tidak diganti dengan sintesis rantai β.
Bayi ini, dibiarkan tak dirawat, tidak mampu menjaga kadar hemoglobin di atas 5 g/dL dan menunjukkan deformitas tulang dan retardasi
pertumbuhan. Mereka memiliki facies cooley/thalassemia karena os frontale bossing dan protrusi rahang dan tulang pipi. Magnitudo
peningkatan dalam eritropoiesis mungkin mengakibatkan peningkatan massa ekstramedullar biasanya dari sternum sampai iga.
Hepatosplenomegali progresif adalah temuan yang menuju kepada pansitopenia. Masa anak awal jika tidak dirawat atau tidak cukup dirawat
akan terjadi komplikasi bervariasi meliputi infeksi berulang, fraktur spontan, batu empedu, dan ulserasi kaki. Angka mortalitas pada pasien
seperti itu sangat tinggi sekitar masa pubertas. Untungnya, ini bukan kasus pada anak yang dirawat dengan baik. Anak yang ditransfusi
dengan baik menjaga kadar hemoglobin di atas 8 g/dL memiliki pertumbuhan normal dan perkembangan, dan masa depan mereka
tergantung pada jika mereka menerima iron chelation yang adekuat. Kebanyakan anak yang cukup ditransfusi dan komplian sepenuhnya
dengan terapi iron chelation mungkin berkembang normal, masuk pubertas, dan menjadi matur secara seksual. Pada awalnya, populasi
pasien TM dewasa dilihat yang memiliki efek samping jangka panjang treatment, yang dinamai, infeksi terkait transfusi (hepatitis B dan C,
di beberapa populasi, infeksi HIV) dan kerusakan organ (hati, jantung, kelenjar endokrin) karena ketidakpuasan jangka panjang iron
chelation. Penyebab kematian pada pasien TM masih tetap pada komplikasi jantung, walaupun sirosis hati juga meningkat karena
perpanjangan kehidupan.
Gagal jantung pada pasien ini adalah multifaktorial, meliputi anemia kronis, kelebihan sisa besi, miokarditis, perikarditis, dan
kemungkinan mekanisme lain. Lebih lanjut, selain derajat ketidakseimbangan rantai globin yang tergantung faktor genetik terkait gen globin
(coinheritance α-thalassemia, peningkatan alami sintesis HbF), juga ada pemodifikasi genetik lain pada tingkat sekunder yang mungkin
mempengaruhi keluaran komplikasi pada cara berbeda. Sebagai contoh, adanya varian polimorfisme pada promoter UGT1A1 bertanggung
jawab untuk sindrom Gilbert mungkin meningkatkan predisposisi terhadap cholelitiasis. Dimana sudah menjadi komplikasi umum
thalassemia. Polimorfisme gen terlibat dalam homeostasis besi atau metabolisme tulang mungkin berpengaruh negatif/positif terhadap
derajat kelebihan besi atau osteopenia dan osteoporosis, masing-masing. Faktor lingkungan, meliputi kondisi sosial, nutrisi, dan kesediaan
pelayanan kesehatan, juga menjadi implikasi variasi keparahan manifestasi klinis TM.
TI tergolong grup kelainan non-transfusi-dependen; secara klinis digunakan untuk menggambarkan pasien dengan anemia,
spelomegali tanpa spektrum luas keparahan klinis ditemukan pada TM. Fenotip klinis Ti berada di antara thalassemia minor dan mayor.
Secara ringan mengenai pasien hampir asmptomatik sampai kehidupan dewasa, hanya mengalami anemia ringan dan secara spontan
menjaga Hb pada kadar 7-10 g/dL. Pasien dengan TI lebih parah ada pada usia 2-6 tahun, dan walaupun mereka mampu bertahan tanpa
terapi transfusi berkala, pertumbuhan dan perkembangan mungkin retardasi. Kebanyakan pasien TI adalah homozigot atau heterozigot untuk
mutasi gen β ringan sampai sedang (β + /β + ;β 0 /β + ); agak jarang, hanya 1 gen β-globin yang terkena. Karena keparahan klinis penyakit
didiktat oleh perbedaan ketidakseimbangan rantai globin, setidaknya 3 mekanisme berbeda mungkin merangsang karakteristik klinis TI
dibandingkan TM: pewarisan mutasi gen β ringan atau silent; coinheritance penentu terkait peningkatan produksi rantai γ, dimana
berkontribusi untuk menetralisir proporsi besar rantai α yang tak terikat; dan coinheritance α –thalassemia, dimana mengurangi sintesis
rantai α, dengan demikian mengurangi ketidakseimbangan rantai α/non α.
3 faktor utama yang bertanggung jawab untuk sequelae klinis pada pasien TI: kecepatan eritropoiesis inefektif, anemia kronis,
dan kelebihan Fe. Eritropoiesis inefektif tergantung pada defek molekuler yang mendasar sebagaimana telah dijelaskan dan dikarenakan
presipitasi rantai α bebas pada prekursor erythroid di sumsum tulang, menyebabkan kerusakan membran dan kematian prematur sel di
sumsum. Derajat eritropoiesis inefektif adalah penentu primer anemia pada TI; hemolisis perifer dari sel darah merah matur yang
bersirkulasi dan reduksi keseluruhan dalam sintesis hemoglobin adalah sekunder. Hemolisis dan kerusakan sel darah merah yang
memperlihatkan membran bermuatan negatif residu fosfatidyl-serine sudah dihubungkan dengan perkembangan keadaan hiperkoagulasi dan
peningkatan risiko hipertensi pulmonal pada populasi pasien TI.
Anemia kronis dan eritropoiesis inefektif kronis menyebabkan peningkatan absorpsi besi yang tidak diperlukan menyebabkan
kelebihan besi. Kebalikan, pada TM, kelebihan besi disebabkan oleh transfusi infusi besi. Telah dilihat bahwa anemia kronis dan
eritropoiesis inefektif, dimana karakteristik TI, terkait dengan pengurangan ekspresi hepcidin, peptida hepatik yang memainkan peran
penting dalam homeostasis besi. Lebih lanjut, pertumbuhan dan diferensiasi faktor 15 (GDF15) disekresi oleh prekursor erythroid dan
overekspresi pada keadaan eritropoiesis inefektif mungkin menekan sintesis hepcidin. Lebih lanjut molekul bernama erythroferrone,
disekresi oleh erythroblast, juga sudah diidentifikasi dan mungkin juga memainkan peran dalam regulasi hepcidin di TI. Bersamaan,
eritropoiesis inefektif (menyebabkan peningkatan GDF15) dan anemia kronis/hipoksia mengakibatkan supresi hepcidin, peningkatan
absorpsi besi makanan dari usus, dan peningkatan pelepasan besi daur ulang dari sistem retikuloendothelial, mengakibatkan kelebihan besi
sama dengan pasien sindrom hemokromatosis herediter (dimana berkarakteristik dengan gangguan produksi hepcidin).
Sebagai konsekuensi dari proses patofisiologi, beberapa komplikasi diidentifikasi sebagai ciri khas pasien TI dibandingkan
pasien TM, terutama pada pasien yang telah displenektomi. Kolelitiasis lebih sering pada pasien TI daripada TM karena eritropoiesis
inefektif dan hemolisis perifer. Hematopoiesis ekstramedullar, sebagai mekanisme kompensatori, menyebabkan formasi jaringan massa
eritropoietik yang mempengaruhi lien, hati, limfonodus, dan massa intrathoraks. Ulser kaki yang jarang pada pasien TM well-transfused
sering pada pasien dewasa TI; juga tetap tidak jelas mengapa pada tingkat hemoglobin dan tingkat HbF sama beberapa pasien mengalami
ulserasi kaki dan yang lain tidak. Risiko trombosis meningkat pada pasien TI. Beberapa kasus secara kolektif menunjukkan bahwa insiden
kejadian thromboembolik lebih tinggi pada pasien TI yang telah displenektomi. Walaupun stroke jarang pada TI, kerusakan asimptomatik
otak meliputi iskemia telah didokumentasi dengan magnetic resonance imaging (MRI) dan computed tomography pada pasien TI.
Hipertensi pulmonal prevalen pada pasien TI (Sekitar 60%) dan dipikirkan penyebab gagal jantung pada populasi pasien ini. Penyakit hati
karena infeksi virus juga kurang frekuentif pada TM; akan tetapi enzim hati abnormal ditemukan sering pada pasien TI, karena kerusakan
hepatosit menyebabkan kelebihan besi. Di beberapa pasien tertua dengan TI (>40 tahun), terjadi hepatocellular carcinoma karena akumulasi
besi jangka panjang yang tidak dirawat terdeteksi dengan resultan sirosis hati sebagai hematokromatosis herediter.
Hipogonadisme, hipotiroidisme, dan diabetes mellitus jarang. Walaupun pasien dengan TI secara umum mengalami pada pubertas akhir,
mereka juga memiliki perkembangan seksual normal dan biasanya subur. Wanita dengan TI mungkin memiliki keberhasilan kehamilan,
walaupun komplikasi selama kehamilan mungkin terjadi.
Thalassemia minor adalah keadaan heterozigot β-thalassemia. Subjek dengan thalassemia minor adalah “carrier” defek gen
tunggal β-globin, dan biasanya asimptomatik kecuali untuk anemia ringan kehamilan. Carrier biasanya diidentifikasi sebagai studi keluarga,
secara tidak sengaja selama sakit, atau bagian dari survei populasi. Anemia ringan, mikrositik dan hipokromik, dan terkait dengan
peningkatan kadar HbA2. Apusan darah menunjukkan karakteristik mikrositosis dan hipokromia, dengan beberapa variasi pada ukuran dan
bentuk sel darah merah. Adanya sel target bervariasi. Sifat hematologi hampir mirip pada etnis grup berbeda. Carrier β-thalassemia dengan
HbA2 normal telah diamati pada individu dengan TI ringan ditemukan memiliki 1 orang tua dengan β-thalassemia minor tipikal dengan
elevasi HbA2, dimana yang lain menunjukkan sedikit atau tidak ada kelainan hematologis dan HbA 2 normal. Subjek dengan HbA2 normal
biasanya carrier mutasi silent β ++  (β ++ ). Secara tak sengaja defisiensi besi bisa menurunkan kadar HbA2 ke rentang normal.
3) δβ-Thalassemia dan HPHF
Manifestasi klinis (δβ) 0 –thalassemia mirip dengan TI, dimana heterozigot dibedakan dengan heterozigot β-thalassemiadengan
kadar normal HbA2 bersamaan dengan peningkatan kadar HbF 5-20%. Homozigot untuk Hb Lepore mungkin memiliki fenotip sama baik TM
atau TI. Subjek terkena dengan delesi atau bentuk nondelesi HPHF biasanya asimptomatik.
Berbagai defek β-thalassemia mungkin coinherited dengan varian rantai β (HbS, HbC, HbE) dan menyebabkan fenotip β-
thalassemia dengan perbedaan keparahan. Varian ini mengilustrasikan lebih jauh bahwa sindrom β-thalassemia memiliki spektrum klinis
luas dan pendekatan therapeutik mungkin merubah penilaian klinis dan sejarah alami penyakit ini.
A,  loadingTransfusi kelebihan besi dan beban organ spesifik. B, Keberlangsungan hidup pasien Italia thalassemia mayor dengan cohort of birth. NTBI
= non–transferrin-bound iron.
4) Hemoglobin E dan Thalassemia Hemoglobin E
Hemoglobin E (HbE) disebabkan oleh substitusi asam glutamat oleh lisin pada kodon 26 gen β-globin. Ini adalah mutasi umum,
biasanya pada subkontinen India dan Asia Tenggara dan di antara orang yang bermigrasi dari daerah itu. Frekuensi HbE mendekati 60% di
berbagai regio Thailand, Laos, dan Kamboja. HbE hasil dari pengurangan sintesis rantai β-E dan kemudian memiliki fenotip dari bentu
ringan β-thalassemia. HbE trait memiliki signifikansi klinis; mungkin terkait dengan mikrositosis sedikit tanpa anemia, tetapi dapat disalah
artikan untuk defisiensi besi tanpa tes laboratorium yang diperlukan. HbE homozigot memiliki anemia ringan dan mikrositosis, terkadang
splenomegali, dan apusan darah tepi menunjukkan sel darah merah berubah mirip dengan pola thalassemia, meliputi sel target.
Hb E berinteraksi dengan bentuk lain α-thalassemia untuk menghasilkan variasi luas kelainan klinis. Coinheritance dengan β-
thalassemia, sebuah kondisi dikenal HbE/ β-thalassemia, adalah bentuk paling umum dan parah dari β-thalassemia di Asia dan global
merepresentasi 50% secara klinis β-thalassemia parah.
h. Diagnosis
Diagnosis thalassemia mungkin membutuhkan pasien dengan gambaran klinis sugestif, perlu atau untuk identifikasi subjek heterozigot
sebagai studi keluarga atau program skrining populasi. Pendekatan umum adalah umum untuk berbagai bentuk thalassemia, tidak terkecuali
presentasi. Evaluasi primer berdasarkan perubahan hematologi; sel darah merah indices dengan electronic cell counter dan morfologi sel darah
merah diamati pada apusan darah cukup untuk mengarahkan investigasi lebih lanjut. Individu dengan mean corpuscular volume di bawah 80 fL
dan mean corpuscular hemoglobin dibawah 27 pg dengan parameter besi normal mungkin perlu diinvestigasi lebih lanjut. Jumlah sel darah merah
biasanya lebih banyak dari normal. Adanya anemia degnan perubahan sel darah merah thalassemia, tahap berikutnya evaluasi fraksi hemoglobin
(HbA, HbA2, HbF atau varian hemoglobin) dengan elektroforesis pada asetat selulosa pada pH alkali atau mungkin lebih baik, dengan
kromatografi high-performance liquid yang mampu memberikan ukuran tepat HbA2, HbF, dan HbA dan indentifikasi provisional jumlah besar
varian hemoglobin, meliputi HbE. Kadar HbA2 di atas 3.5% berkaitan dengan sel darah merah hipokrom mikrositik adalah diagnostik β-
thalassemia minor. Nilai HbA2 antara 3.2-3.5% (borderline) harus diinterpretasi dengan hati-hati karena mereka mungkin bisa terjadi karena lebih
dari 1 defek thalassemia (α and β), mutasi silent β, atau defisiensi besi konkomitan. Jika defisiensi besi ada, harus dikoreksi dan estimasi HbA2
diulang. Kebanyakan individu dengan thalassemic red cell indices dengan HbA2 normal atau rendah dan HbF normal akan menjadi carrier α 0 –
thalassemia atau α + -thalassemia homozigot. Carrier α 0 –thalassemia mungkin memiliki sedikit sel darah merah dengan inklusi HbH. Mikrositosis
dengan kadar HbA2 rendah atau normal dengan peningkatan HbF (2-20%) mengindikasikan heterozigositas untuk δβ-thalassemia. Pasien dengan
HPHF biasanya memiliki sel darah merah normal indices tetapi peningkatan kadar HbF dengan distribusi interseluler berbeda (homogen atau
panseluler dengan pengecualian dari heteroseluler HPHF) dibandingkan dengan δβ-thalassemia (uneven atau heteroseluler)
Metode radioaktif untuk pengukuran sintesis rasio α/β-globin dikenalkan pada pertengahan hingga akhir tahun 1960an, dan diarahkan untuk
diagnosis prenatal pada era pre-DNA. Walaupun memberikan penilaian kuantitatif untuk produksi globin, sekarang kegunaannya sangat terbatas
untuk kasus berat karena interaksi defek rantai globin berbeda. Diagnosis definitif sindrom thalassemia melibatkan identifikasi meliputi mutasi
yang mendasari melalui analisis DNA. Terdapat beberapa metode yang tersedia untuk diagnosis mutasi tertentu, seperti polymerase chain reaction
(PCR) restriction enzyme analysis, PCR allele-specific oligonucleotides, gap PCR, dan direct sequencing yang ada dan mungkin metode paling
mudah dan paling terpercaya. Untuk bentuk delesi α-thalassemia, amplifikasi multiplex ligation-dependent probe baru-baru ini dikenalkan,
metode yang berguna.
Selama penilaian klinis, pasien terkena dengan bentuk berbeda thalassemia mungkin dengan komplikasi karena kelebihan besi, dimana
dibutuhkan untuk mengawasi terapi chelasi besi. Prinsip metode menentukan kadar besi tubuh dengan mengukur kadar serum ferritin dan
penilaian konsentrasi besi hati dari jaringan biopsi hati atau sebagai alternatif metode noninvasif, dengan R2 MRI. Kadar serum ferritin tinggi
(>2500 µg/L) dan kadar besi hati (>15 g/berat kering) mengindikasi risiko tinggi signifikan morbiditas dan mortalitas. Besi jantung bisa diukur
dengan prosedur T2* MRI yang memperbolehkan estimasi beban besi jantung. Nilai MRI T2* di bawah 10 ms selalu terkait dengan kelebihan
besi parah dan risiko tinggi gagal jantung dalam 1 tahun. Nilai MRI T2* di atas 20 ms dikategorikan normal, tidak ada besi di jantung.
Echokardiografi mungkin membantu mengevaluasi perubahan fungsional. Untuk komplikasi lain, meliputi endokrinopati, penyakit hati, penyakit
paru, thrombofilia, dan penyakit tulang, pendekatan diagnostik sama untuk mereka yang digunakan dalam praktik klinis; ini dikerjakan dengan
pertimbangan harga, karakteristik performance, dan preferensi pasien, seperti dijelaskan dalam bab koresponden.
i. Treatment
Conventional treatment
Tidak ada treatment spesifik yang dibutuhkan untuk heterozigot α- atau β-thalassemia (carrier, thalassemia minor), akan tetapi mereka harus
menerima konseling genetika. Selama kehamilan, thalassemia, wanita pembawa mungkin lebih anemia, jadi mereka harus diamati hati-hato,
terutama selama trisemester 2 dan 3, dan didukung dengan asam folat. Ketika defisiensi besi terkait pola thalassemia, suplementasi besi harus
diadakan, mengawasi saturasi transferrin dan ferritin. Beberapa kasus transfusi darah in utero telah dilaporkan dengan sindrom hemoglobin Bart
hydrops fetalis; kebanyakan bayi dilahirkan prematur dengan seksio sesar, perkembangan abnormal dan keberlangsungan hidup membutuhkan
transfusi darah setelah lahir. Pasien HbH pada umumnya memiliki kadar hemoglobin tinggi (8-9 g/dL) dan tidak membutuhkan transfusi darah
berkala. Suplementasi dengan asam folat (2-5 mg/hari) secara umum direkomendasi, terutama pasien pediatrik. Komplikasi utama pada penyakit
HbH adalah krisis hemolitik yang mungkin terjadi selama atau setelah infeksi akut; pada kasus, intervensi dini, meliputi transfusi darah dan
treatment untuk infeksi, harus segera dilakukan.
Pengaturan klinis TM dan TI tetap dalam jaringan utama. Kualitas dan durasi kehidupan pasien TM dan TI bertransformasi di abad ini,
dengan ekspektansi kehidupan meningkat menjadi 3-4 dekade. Kehidupan yang berkepanjangan ditemani dengan beberapa komplikasi,
dikarenakan kelainan yang mendasari sebagai bagian konsekuensi treatment dengan transfusi darah dan kelebihan darah. Terlebih lagi, bermula
dengan komplikasi terkait usia dalam konteks penyakit multiorgan yang membutuhkan manajemen oleh tim klinis yang memiliki pengetahuan
pasien thalassemia dewasa, bekerja sama dengan spesialis yang berbeda dan perawat yang terlatih. Treatment konvensional pasien TM meliputi
terapi transfusi berkala dan iron chelation. Definisi optimal transfusi dan regimen iron chelation menjadi paling penting dalam menyelesaikan
pasien TM, dengan objektif primer menjadi kontrol eritropoiesis inefektif, konsekuensinya, beban besi tubuh. Transfusi optimal meliputi transfusi
darah, biasanya diberi setiap 2-5 minggu, untuk menjaga kadar hemoglobin di atas 9-10.5 g/dL. Penentuan inisiasi terapi transfusi jangka panjang
harus berdasarkan diagnosis definitif thalassemia parah, menjadi defek molekuler, keparahan anemia berdasarkan pengukuran berulang, tingkat
eritropoiesis inefektif, dan kriteria klinis (seperti gagal jantung untuk perubahan tulang). Pasien TM yang menerima leukoreduced packed red
cells akan mengurangi reaksi transfusi dan transmisi patogen. Reaksi terhadap transfusi sel darah merah mungkin terjadi atau setelah transfusi dan
bisa hemolitik dan nonhemolitik. Transfusi terkait acute lung injury jarang tetapi parah dan harus segera tatalaksana.
Banyak pasien dengan TM memerlukan splenektomi karena hipersplenisme. Bagaimanapun, pengaturan klinis optimal mungkin terlambat
atau bahkan membutuhkan splenektomi yang umum pada masa lalu. Splenektomi harus dipertimbangkan untuk pasien yang konsumsi darah
tahunan meningkat progresif dan mengalami deposit simpanan besi dengan terapi chelasi baik atau adanya tanda pembesaran lien. Masalah klinis
terkait leukopenia atau trombositopenia karena hipersplenisme bisa menjadi alasan untuk splenektomi. Komplikasi utama splenektomi parah dan
terkadang infeksi yang berlebihan. Karena pembuangan lien mungkin mengurangi respon imun primer organisme berkapsul, ini disarankan untuk
menunda splenektomi sampai pasien kurang lebih 5 tahun. Kecepatan mortalitas untuk infeksi berlebihan postsplenektomi pada pasien
thalassemia sekitar 50% memerlukan perawatan supportif intensif. Dengan demikian, diperlukan untuk mengadopsi pencegahan meliputi
immunoprofilaksis (vaksinasi melawan Streptococcus pneumoniae, pneumococcus, dan meningococcus), kemoprofilaksis, dan edukasi orang tua
dan pasien untuk mengenali dan melaporkan penyakit demam.
Kelebihan besi tidak dapat dihindari dan komplikasi serius dari transfusi jangka panjang dan hiperabsorpsi besi dari makanan yang
memerlukan treatment adekuat untuk mencegah kematian awal, terutama dari penyakit jantung yang diinduksi besi. Terapi optimal chelasi terjadi
komplikasi. Terapi standar chelasi lebih dari 40 tahun deferoxamine (DFO), diberi 10-24 jam sebagai infusi subkutaneus berlanjut 5-7 hari per
minggu. Efikasi jangka panjang DFO telah didokumentasi pada studi kohort pasien di Itali dan tempat lain. Sayangnya, pengembangan dengan
regimen infusi yang teliti subkutan harian adalah faktor penghambat serius, dan kehidupan pasien noncompliant tidak jauh berbeda dengan jaman
pre-DFO. Ini adalah rasionalitas di belakang usaha intensif untuk mengidentifikasi alternatif, iron chelator secara oral efektif. Pada awalnya, 2
iron chelator oral ada di pasar: deferiprone (DFP) dan deferasirox (DFX). DFP ada di Eropa dan lebih baru lagi di US. Dengan panduan negara
EMEA (Eropa, Middle East dan Afrika), treatment dengan DFP pada dosis 75-100 mg/kg/hari dilarang untuk pasien yang tidak mampu
menggunakanDFO atau pasien dengan respon tidak memuaskan terhadap DFO dinilai dengan kadar serum ferritin dan konsentrasi besi hati. Studi
mengindikasikan bahwa DFP mungkin lebih efektif daripada DFO dalam melindungi jantung dari akumulasi besi. Keuntungan potensial
kombinasi terapi (DFO dan DFP) harus dipertimbangkan untuk pasien dengan kadar tinggi besi atau disfungsi jantung. Iron chelator oral yang
baru DFX terlihat bahwa efektif dan aman untuk membuang kelebihan besi dari organ berbeda meliputi jantung. DFX sekarang tersedia di banyak
negara sebagai obat lini pertama. Kegunaanya sudah didemonstrasikan bahwa iron chelation bukanlah treatment standar, tetapi harus
diindividualisasi tergantung usia, sejarah compliance dengan chelasi sebalumnya, dan faktor lain. Pengawasan dan penyesuaian iron chelation
dengan pengukuran berulang ferritin, perhitungan intake besi dengan transfusi dan lebih memungkinkan, pengukuran besi jantung dan hati sekali-
kali dengan MRI dibutuhkan.
Manajemen pasien TI lebih komplikatif karena heterogenitas luas fenotip TI. Opsi treatment diadopsi untuk pasien TI, meliputi terapi
transfusi, splenektomi, modulasi produksi HbF, dan hematopoietic stem cell transplantation (HSCT). Bagaimanapun, peningkatan bukti mencatat
keuntungan transfusi menurunkan insiden komplikasi. Inisiasi terapi iron chelation dalam pasien dengan TI tergantung tidak hanya pada jumlah
kelebihan besi tetapi juga kecepatan akumulasi besi, durasi terpapar kelebihan besi, dan berbagai faktor lain pasien.
Transplantasi sumsum tulang dan Terapi eksperimental
Allogeneic HSCT pada sindrom thalassemia telah berhasil mengatasi selama 2 dekade, terutama β-thalassemia mayor. Prediktor
transplantasi buruk adalah hepatomegali, riwayat chelasi tak teratur, dan fibrosis hepar. Pasien dikategorikan menjadi 3 kelas risiko. Pasien kelas
1 tidak memiliki faktor risiko, pasien kelas 2 memiliki 1 atau 2 faktor risiko, dan pasien kelas 3 memiliki ketiganya. Pada pembaruan terbaru
pengalaman grup Pesaro, kemungkinan thalassemia-free survival untuk pasien lebih muda dari 17 tahun pada waktu menerima HSCT allograf
dari HLA-identical relatif sekitar 87% dan 85%, pada pasien kelas 1 dan kelas 2 pasien yang lebih muda dari pasien kelas 3 muda. Penilaian
progresif regimen kondisi pada pasien kelas 3 dan dewasa (>17 tahun) telah mengurangi secara signifikan insiden kematian akibat transplantasi
pada pasien kelas 3. Hanya 25-30% pasien dengan penyakit secara potensial disembuhkan oleh HSCT memiliki sepupu cocok HLA-compatible.
Transplantasi sumsum tulang dari donor tak berhubungan meningkatkan secara signifikan insiden penyakit akut dan kronis graft vs host, pada
thalassemia. Penelitian dari Eurokord grup kooperatif dilaporkan keluaran 33 pasien dengan thalassemia milik pasien kelas 1 dan kelas 2
(klasifikasi Pesaro) yang menerima cord blood hematopoietic stem cell dari sepupu HLA-identical; tidak ada pasien meninggal terkait komplikasi
transplantasi, menyarankan bahwa cord blood HSCT adalah prosedur aman untuk pasien thalassemia.
Treatment alternatif untuk β-thalassemia terdiri dari stimulasi farmakologi sintesis HbF. Pada manusia, hemoglobin bertukar dari HbF ke
HbA terjadi selama sekitar kelahiran sebagai hasi pertukaran gen γ- ke β. Inhibitor deasetilase histon, dan hidroksiurea. Efek treatment
farmakologi (terutama hidroksiurea) pada pasien sel bulan sabit jelas, keuntungannya pada penilaian klinis β-thalassemia terbatas. Perbedaan
antara 2 kondisi dalam merespon HbF mungkin terkait dengan respon klinis terbatas terhadap γ-globin inducer diamati pada pasien β-thalassemia
mungkin juga refleksi efek tak diinginkan dari agen ini dan gen globin lain (contohnya meningkatnya sintesis α-globin). Molekul baru sotatercept
(ACE-011), sebuah aktivin tipe IIA reseptor protein fusi, telah menunjukkan peningkatan pelepasan eritrosit matur menuju sirkulasi dengan
bekerja pada tahap akhir eritropoiesis. Data klinis pada pasien sukarela telah menunjukkan bahwa treatment dengan sotatercept menghasilkan
peningkatan parameter sel darah merah. Fase Iia, multisenter, penemuan open-label, dose finding untuk menentukan level dosis aktif dan aman
sotatercept pada pasien dewasa dengan β-thalassemia intermedia.
Terapi gen adalah pendekatan untuk sindrom thalassemia, bagaimanapun, strategi ini menjadi tantangan utama dalam mengontrol ekspresi
transgenik, dimana haruslah erythroid spesifik dan dijaga dari waktu ke waktu. Treatment β-thalassemia, penyakit bulan sabit, dan kelainan lain
melalui transfer gen dimediasi lentivirus telah dilaporkan pada model murin dan primata, tetapi sampai sekarang sangat sedikit pasien sehat.

2. G6PD Deficiency
Kelainan HMP Shunt dan Pathway terkait
Kelainan HMP shunt atau jalur metabolisme glutation mengkompromisasi kemampuan RBC untuk merespon secara adekuat terhadap stress
oksidatif. Pada eritrosit normal, GSH mendetoksifikasi oksidan yang dihasilkan oleh agen bervariasi dan infeksi. Pada eritrosit defisiensi G6PD, karena
ketidakmampuan untuk menghasilkan NADPH, kadar GSH menjadi inadekuat, meninggalkan sel rentan terhadap stress oksidan. Oksidasi Hb grup
sulfhydryl menyebabkan produksi methemoglobin dan Hb intraseluler mengendap disebut Badan Heinz. Badan Heinz, biasanya tervisualisasi pada
apusan darah tepi dengan pengecatan supravital seperti metil violet, melekat dan merusak membran eritrosit. Mereka menginduksi klustering
immunoglobulin dan protein pita 3, menandai eritrosit untuk opsonisasi oleh fagosit dan kemudian membuangnya dari sirkulasi. Badan Heinz “pitted”
dari sel sirkulasi oleh spleen dan lebih sering dijumpai pada pasien setelah splenektomi. “Sel menggigit”, eritrosit dengan invaginasi lokal,
kemungkinan Badan Heinz pada situs luka atau pembuangan, terlihat pada episode acute hemolitik. Sebagai tambahan terhadap kerusakan dari
pembentukan Badan Heinz, Defisiensi GSH eritrosit mengalami peroksidasi membran fosfolipid dan oksidatif cross-linking spektrin, menurunnya
deformabilitas membran dan merangsang splenic trapping lebih lanjut.

a) Glukosa-6-fosfat dehidrogenase defisiensi


G6PD defisiensi adalah penyakit keturunan paling umum dari metabolisme eritrosis, mempengaruhi lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia.
Prevalensi tinggi dari defisiensi G6PD dipikirkan ikut serta terhadap seleksi genetik dikarenakan G6PD defisiensi eritrosit memiliki keuntungan
melawan invasi parasit malaria Plasmodium falciparum.

b) Epidemiologi dan Patobiologi


G6PD adalah tahap pembatasan inisiasi HMP shunt, dimana mengubah NADP menjadi NADPH. NADPH dibutuhkan untuk menghasilkan
glutation, sebuah kontituen penting dalam pencegahan kerusakan oksidatif terhadap sel. Defisiensi G6PD mungkin mengalami anemia hemolitik
akut setelah paparan stress oksidatif. Walaupun G6PD adalah enzim ubiquitous, sel erythroid rentan terhadap stress oksidatif karena HMP shunt
hanyalah sumber untuk mendapat NADPH.
Ratusan varian G6PD telah dijelaskan, tetapi hanya beberapa yang sering. Varian diklasifikasi berdasarkan karakteristik biokimia; mobilitas
elektroforesis; kemampuan untuk menggunakan analog substrat, Km untuk NADP dan G6PD; profil aktivitas pH; dan stabilitas thermal. Enzim
normal, Gd B , ada sekitar 99% orang Amerika putih dan 70% orang Amerika Afrika. Varian normal, Gd A+ , ditemukan pada 20% orang Amerika
Afrika, memiliki mobilitas elektroforesis lebih cepat daripada Gd B. Gd A–, varian paling sering terkait hemolisis, ditemukan pada 10% orang
Amerika Afrika dan banyak di Afrika. Gd A–  telah menurunkan kemampuan katalitik dibandingkan dengan GdA+. India dan di Asia Tengggara,
dengan prevalensi sekitar 5-50%. Gd Med mengekshibisi penurunan aktivitas katalitik. Gd Canton , varian umum pada populasi Asia, menghasilkan
sindrom klinis mirip GdA–. Aktivitas Gd B menurun sebagaimana sel normal menua, dengan separuh hidup sekitar 60 hari. Selain kadar sangat
rendah atau tidak ada G6PD aktif, eritrosit tua menjaga kemampuan untuk menghasilkan NADPH dan menjaga respon GSH terhadap stress
oksidatif. Varian Gd A– hanya memiliki separuh kehidupan hanya 13 hari, jadi sel muda memiliki jumlah normal aktivitas enzim, tetapi RBC tua
mengalami defisiensi. Karena heterogenitas kadar G6PD, individu dengan varian Gd A–mengalami hanya hemolitis terbatas setalah paparan
oksidan.
Lebih dari 100 mutasi pada gen G6PD, terlokalisasi Xq28, telah dijelaskan. Kebanyakan mutasi adalah substitusi asam amino yang
mempengaruhi enzim kinetik, stabilitas, atau keduanya, dengan beberapa delesi jarang dan mutasi splicing dijelaskan. Karena ini X-linked, G6PD
defisiensi mempengaruhi pria. Pria hanya memiliki 1 alel G6PD dan hanya mengekspresikan 1 tipe G6PD. Wanita dapat mengekspresikan 1 atau
2 tipe G6PD. Hipotesis Lyon menyatakan bahwa hanya 1 kromosom X aktif pada setiap sel; juga, setiap sel pada wanita heterozigot dapat normal
atau defisiensi. Pada wanita yang heterozigot untuk defisiensi G6PD, rata-rata aktivitas G6PD mungkin normal atau ringan, sedang, atau
terkurang secara parah, tergantung derajat lyonisasi. Eritrosit defisiensi G6PD pada wanita heterozigot rentan terhadap stress oksidan seperti
defisiensi G6PD pada pria, tetapi secara tipikal, keseluruhan derajat hemolisis kurang dari pria karena populasi lebih kecil sel vulnerable.

c) Manifestasi Klinis
Defisiensi G6PD dibagi menjadi 5 kelas tergantung keparahan klinis dan derajat defisiensi enzim. Kelas 1 berciri dengan CNSHA tanpa
penyebab presipitasi dan defisiensi parah G6PD. Kelas II memiliki ciri hemolisis intermiten dan defisiensi G6PD parah. Kelas III memiliki ciri
hemolisis setelah stress oksidan dan defisiensi G6PD ringan. Kelas II dan III bersama merepresentasikan lebih dari 90% varian G6PD. Kelas IV
dan V secara klinis asimptomatik. Sindrom yang paling signifikan adalah defisiensi G6PD adalah anemia hemolitik akut (AHA); jaundice
neonatus (NNJ); dan jarang, CNSHA.
Anemia hemolitik akut adalah presentasi klinis defisiensi G6PD dengan hemolisis intravaskuler akut setelah terpapar stress oksidan. Stress
oksidatif meliputi ingesti beberapa obat seperti primakuin atau senyawa mengandung sulfa, terpapar naftalena (mothball), ingesti kacang fava,
atau infeksi, merupakan penyebab paling sering hemolisis. Tabel menunjukkan list obat yang harus dihindari pada pasien G6PD. Meliputi
simptom yaitu irritabilitas, demam, mual, nyeri abdomen, dan diare selama 48 jam terpapar oksidan. Hemoglobinuria, jaundice, dan anemia
ensue. Lien dan hati mungkin membesar dan lunak. Kasus dengan anemia parah mungkin menyebabkan gagal jantung kongestif. Penemuan
laboratorium meliputi anemia normokromik, normositik dengan anisositosis dan retikulositosis. Poikilosit dan bite cell mungkin terlihat. Badan
Heinz, penemuan klasik pada defisiensi G6PD, mungkin terlihat tetapi penemuannya inkosisten karena sel yang rusak secara cepat dibersihkan
dari sirkulasi oleh lien. Penemuan laboratorium lain meliputi hemoglobinuria dan adanya Hb bebas dalam darah. 

Signifikansi sindrom defisiensi G6PD adalah NNJ. Jaundice jarang pada saat baru lahir, dengan puncak insiden onset antara hari ke 2 dan 3
kehidupan. Keparahan hiperbilirubinemia bervariasi. Mungkin parah, menyebabkan kernikterus atau bahkan kematian. Pada kebanyakan kasus,
bagaimanapun, hiperbilirubinemia secara adekuat diterapi dengan fototerapi. Pada NNJ, ini penting untuk mencatat bahwa anemia adalah kerparahan
yang sangatjarang. Etiologi NNJ tetap kontroversial. NNJ meningkat pada bayi defisiensi G6PD yang juga membawa polimorfisme gen uridin
difosfoglukoronil transferase (UDPGT1) terkait Sindrom Glibert.
Anemia hemolitik kronis nonsferotik terkait dengan varian yang jarang defisiensi G6PD, biasanya enzim mutan tidak mampu menjaga
produksi basal NADPH. Presentasi mungkin terjadi pada periode neonatus ketika NNJ ditemani anemia pada pria. Derajat anemia kronis pada CNSHA
disebabkan oleh defisiensi G6PD bervariasi. Beberapa pasien sudah mengkompensasi hemolisis, tetapi yang lain membutuhkan transfusi intermitten.
Ketergantungan transfusi terjadi pada kebanyakan kasus paling berat.
Diagnosis
Reaksi G6PD (glukosa-6-fosfat + NADP + → 6-fosfoglukonolakton + NADPH + H + ) mereduksi NADP + menjadi NADPH. Pembentukan
NADPH dan NADH dapat diamati secara langsung karena mereka berfluorosensi pada spektrum tampak ketika diiluminasi dengan gelombang panjang
sinar UV. Berdasarkan observasi ini, beberapa tes skrining dilakukan menggunakan sinar gelombang panjang UV tidak mahal telah dilakukan. Tes ini
semikuantitatif, mengkategorikan sampel sebagai normal atau defisiensi. Mereka kurang terpercaya setelah episode akut hemoltik dan tidak terdeteksi
wanita heterozigot. Tes skrining positif haris dikonfirmasi dengan spectrophotometric assay atau studi DNA.
Definitive assay enzim tergantung pengukuran langsung spektrofotometri produksi NADPH. Walaupun lebih senstif daripada tes skrining,
ini masih membutuhkan 20-30% sel defisiensi G6PD untuk mendapatkan hasil abnormal. Sensitivitas dapat meningkat dengan membandingkan kadar
defisiensi G6PD dengan kadar enzim eritrosit tergantung usia. Tes sianida-askorbat mengukur kemampuan eritrosit mencefah oksidasi Hb oleh
askorbat. Menggunakan eritrosit intact, sekiat 10-15% sel defisiensi dapat dideteksi, menggunakan tes ini berguna untuk mendeteksi heterozigot wanita
dan pria setelah episode hemolitik. Tes ini dapat mendeteksi perturbasi HMP shunt atau metabolisme glutation.
3. Pre-marital screening
a. Pengertian Pemeriksaan Kesehatan Pranikah (Premarital Check Up)
Pernikahan merupakan upacara sakral yang selalu dinanti-nantikan oleh tiap calon pasangan pengantin. Berbagai persiapanpun disiapkan guna
menyambut momen bahagia itu. Persiapan-persiapan tersebut tidak lepas dari tujuan pernikahan guna membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warahmat yang menjadi idaman tiap pasang pengantin. Guna mewujudkan tujuan mulia tersebut kita perlu mempersiapkan dengan matang, tidak hanya dari
fisik saja, batin/mental serta modal keuangan yang mencukupi juga harus dipersiapkan.
Persiapan Medis merupakan salah satu dari rangkaian persiapan yang perlu dilakukan, hal ini sangat disarankan oleh kalangan medis serta para penganjur
dan konsultan pernikahan. Karena Sebagian besar masyarakat umumnya tidak sepenuhnya mengetahui status kesehatannya secara detail, apalagi bagi yang
tidak melaksanakan general check up rutin tahunan. Seseorang yang terlihat sehat bisa saja sebenarnya adalah silent carrier/pembawa dari beberapa penyakit
infeksi dan hereditas dan saat hamil dapat mempengaruhi janin atau bayi yang dilahirkannya nanti. Pemeriksaan kesehatan pranikah (premarital check up)
adalah sekumpulan pemeriksaan untuk memastikan status kesehatan kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan yang hendak menikah, terutama untuk
mendeteksi adanya penyakit menular, menahun, atau diturunkan yang dapat mempengaruhi kesuburan pasangan maupun kesehatan janin. Dengan melakukan
pemeriksaan kesehatan pranikah berarti kita dan pasangan dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap masalah kesehatan terkait kesuburan dan penyakit
yang diturunkan secara genetik.
Masih banyak pasangan di Indonesia yang menganggap bahwa pemeriksaan kesehatan sebelum menikah tidaklah penting. Padahal pemeriksaan ini
sangat diperlukan mengetahui kesehatan reproduksi kedua belah pihak, untuk mengetahui kesiapan masing-masing untuk mempunyai anak. Selain itu juga
sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit terutama penyakit keturunan dan penyakit menular seksual (PMS), seperti HIV/AIDS.
Sebagian jenis penyakit keturunan antara lain:
1. Talasemia, yaitu sejenis anemia bersifat haemoglobik yang menurun dan terdapat dalam satu lingkaran keluarga. Dalam penyakit ini, sang ayah dan ibu
bebas dari penyakit, tetapi semua anak-anak terkena pembiakan yang cepat pada butir-butir darah merah. Hal ini menyebabkan mereka kekurangan darah.
Mereka membutuhkan donor secara teratur sepanjang hidupnya. Jenis penyakit ini termasuk berbahaya dan setiap saat membunuh penderita.

2. Hemofilia, yaitu penyakit darah dimana darah kurang mempunyai daya beku, sehingga mudah terjadi pendarahan terus menerus. Luka sedikit saja
mungkin akan banyak menyebabkan pendarahan. Penyakit keturunan ini akan berpindah melalui perempuan, akan tetapi penyakitnya diderita oleh anak laki-
laki dan bukan anak perempuan. Satu bentuk penyakit yang sulit ditemukan obatnya.

3. RH Faktor, yaitu penyakit kekurangan darah. Penyakit keturunan ini akan terjadi jika darah sang ibu yang negatif bertentangan dengan darah sang suami
yang positif. Jika anak lahir dengan selamat, maka bayi itu akan menderita keracunan darah, dan sebagian dari anak-anak tersebut perlu pencucian darah
secara total sekurang-kurang sebulan sekali.
Pemeriksaan kesehatan pranikah dapat juga dimanfaatkan untuk memperoleh kesiapan mental karena masing-masing mengetahui benar kondisi
kesehatan calon pasangan hidupnya.
Pemeriksaan kesehatan pranikah dapat dilakukan kapanpun, selama pernikahan belum berlangsung. Namun idealnya pemeriksaan kesehatan pranikah
dilakukan enam bulan sebelum dilangsungkannya pernikahan. Pertimbangannya, jika ada sesuatu masalah pada hasil pemeriksaan kesehatan kedua calon
mempelai, masih ada cukup waktu untuk konseling atau pengobatan terhadap penyakit yang diderita. Dengan demikian, Jangan sampai timbul penyesalan
setelah menikah, hanya gara-gara penyakit yang sebenarnya bisa disembuhkan jauh-jauh hari. Contohnya, setelah menikah ternyata harus berkali-kali
mengalami keguguran gara-gara toksoplasmosis yang sebenarnya bisa disembuhkan dari dulu.
Hasil dari pemeriksaan tersebut, baik ataupun buruk kembali kepada kedua pasangan tersebut. Dokter hanya akan menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan medis yang akan terjadi bila pasangan tersebut menikah nantinya. Segalanya dikembalikan kepada kedua pasangan tersebut ingin tetap
melanjutkan pernikahannya atau tidak.

b. Macam-Macam Pemeriksaan Kesehatan Pranikah (Premarital Check Up)


Pemeriksaan kesehatan pranikah jenisnya bermacam-macam. Pemeriksaan disesuaikan dengan gejala tertentu yang dialami calon pasangan secara jujur
berani dan objektif. Misalnya, pemeriksaan harus dilakukan lebih spesifik jika dalam keluarga didapati riwayat kesehatan yang kurang baik. Namun jika
semuanya baik-baik saja, maka cukup melakukan pemeriksaan standar saja, yaitu cek darah dan urine.
 Pemeriksaan hematologi rutin (darah) dan analisa hemoglobin
Pengecekan darah diperlukan khususnya untuk memastikan calon ibu tidak mengalami talasemia, infeksi pada darah dan sebagainya. Dalam
pengalaman medis, kadangkala ditemukan gejala anti phospholipid syndrome (APS), yaitu suatu kelainan pada darah yang bisa mengakibatkan sulitnya
menjaga kehamilan atau menyebabkan keguguran berulang. Jika ada kasus seperti itu, biasanya para dokter akan melakukan tindakan tertentu sebagai
langkah, sehingga pada saat pengantin perempuan hamil dia dapat mempertahankan bayinya.
Calon pengantin biasanya juga diminta untuk melakukan pemeriksaan darah anticardiolipin antibody (ACA). Penyakit yang berkaitan dengan hal itu bisa
mengakibatkan aliran darah mengental sehingga darah si ibu sulit mengirimkan makanan kepada janin yang berada di dalam rahimnya. Selain itu jika salah
satu calon pengantin memiliki catatan down syndrome karena kromosom dalam keluarganya, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih intensif lagi. Sebab
riwayat itu bisa mengakibatkan bayi lahir idiot. Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi sebagai media transportasi oksigen
dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Kandungan zat besi yang terdapat dalam
hemoglobin membuat darah berwarna merah.
Dalam menentukan normal atau tidaknya kadar hemoglobin seseorang, harus memperhatikan faktor umur, walaupun hal ini berbeda-beda di tiap
laboratorium klinik, yaitu:17
 Bayi baru lahir : 17-22 gram/dl
 Umur 1 minggu : 15-20 gram/dl
 Umur 1 bulan : 11-15 gram/dl
 Anak anak : 11-13 gram/dl
 Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl
 Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl
 Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl
 Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl
Kadar hemoglobin dalam darah yang rendah dikenal dengan istilah anemia. Ada banyak penyebab anemia diantaranya yang paling sering adalah
perdarahan, kurang gizi, gangguan sumsum tulang, pengobatan kemoterapi dan penyakit sistemik (kanker, lupus, dan lain-lain). Sedangkan kadar
hemoglobin yang tinggi dapat dijumpai pada orang yang tinggal di daerah dataran tinggi dan perokok. Beberapa penyakit seperti radang paru paru, tumor,
preeklampsi, hemokonsentrasi, dan lain-lain.
 Pemeriksaan Golongan Darah dan Rhesus
Rhesus berfungsi sama dengan sidik jari yaitu sebagai penentu. Setelah mengetahui golongan darah seseorang seperti A, B, AB, atau O rhesusnya juga
ditentukan untuk mempermudah identifikasi (+ atau -). Rhesus adalah sebuah penggolongan atas ada atau tiadanya substansi antigen-D pada darah. Rhesus
positif berarti ditemukan antigen-D dalam darah dan rhesus negatif berarti tidak ada antigen-D.19
Umumnya, masyarakat Asia memiliki rhesus positif, sedangkan masyarakat Eropa ber-rhesus negatif. Terkadang, suami istri tidak tahu rhesus darah
pasangannya, padahal perbedaan rhesus bisa memengaruhi kualitas keturunan. Jika seorang perempuan rhesus negatif menikah dengan laki-laki rhesus
positif, janin bayi pertama mereka memiliki kemungkinan ber-rhesus negatif atau positif. Jika janin bayi memiliki rhesus negatif, tidak bermasalah. Tetapi,
bila ber-rhesus positif, masalah mungkin timbul pada kehamilan berikutnya. Bila ternyata pada kehamilan kedua, janin yang dikandung ber-rhesus positif,
hal ini bisa membahayakan. Antibodi anti-rhesus ibu dapat memasuki sel darah merah janin dan mengakibatkan kematian janin.
 Pemeriksaan Gula Darah
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mengatahui adanya penyakit kencing manis (Diabetes Melitus) dan juga penyakit penyakit metabolik tertentu.21 Ibu hamil
yang menderita diabetes tidak terkontrol dapat mengalami beberapa masalah seperti: janin yang tidak sempurna/cacat, hipertensi, hydramnions
(meningkatnya cairan ketuban), meningkatkan resiko kelahiran prematur, serta macrosomia (bayi menerima kadar glukosa yang tinggi dari Ibu saat
kehamilan sehingga janin tumbuh sangat besar).
 Pemeriksaan HBsAG (Hepatitis B Surface Antigen)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi virus hepatitis B, diagnosis hepatitis B, screening pravaksinasi dan memantau clearence
virus. Selain itu pemeriksaan ini juga bermanfaat jika ditemukan salah satu pasangan menderita hepatitis B maka dapat diambil langkah antisipasi dan
pengobatan secepatnya.
 Pemeriksaan VDLR (Venereal Disease Research Laboratory)
Pemeriksaan ini merupakan jenis pemeriksaan yang bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan ada atau tidaknya infeksi penyakit herpes, klamidia,
gonorea, hepatitis dan sifilis pada calon pasangan, sehingga bisa dengan segera menentukan terapi yang lebih tepat jika dinyatakan terjangkit penyakit
tersebut. Selain itu pemeriksaan ini juga berguna untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit yang bisa mempengaruhi kesehatan ibu hamil maupun
janinnya
 Pemeriksaan TORCH
Kasus yang paling banyak terjadi pada calon ibu khususnya di Indonesia dari hasil analisa data medis adalah terjangkitnya virus toksoplasma. Virus ini
biasanya disebabkan seringnya mengkonsumsi daging yang kurang matang atau tersebar melalui kotoran atau bulu binatang peliharaan. Oleh karena itu
diperlukan pemeriksaan toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, dan herpes yaitu yang biasa disingkat dengan istilah pemeriksaan TORCH. Kelompok
penyakit ini sering kali menyebabkan masalah pada ibu hamil (sering keguguran), bahkan infertilitas (ketidaksuburan), atau cacat bawaan pada anak.
 Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mendiagnosis dan memantau kelainan ginjal atau saluran kemih selain itu bisa untuk mengetahui adanya penyakit
metabolik atau sistemik. Penyakit infeksi saluran kemih saat kehamilan berisiko baik bagi Ibu dan bayi berupa kelahiran prematur, berat janin yang rendah
dan resiko kematian saat persalinan.
 Pemeriksaan Sperma
Pemeriksaan sperma dilakukan guna memastikan kesuburan calon mempelai laki-laki. Pemeriksaan sperma dilakukan dalam tiga kategori yaitu jumlah
sperma, gerakan sperma, dan bentuk sperma. Sperma yang baik menurut para ahli, jumlahnya harus lebih dari 20 juta setiap cc-nya dengan gerakan lebih dari
50% dan memiliki bentuk normal lebih dari 30%.
Pemeriksaan Infeksi Saluran Reproduksi atau Infeksi Menular Seksual (ISR/IMS)
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menghindari adanya penularan penyakit yang ditimbulkan akibat hubungan seksual, seperti sifilis (penyakit raja
singa), gonore (gonorrhea, kencing nanah), Human Immunodeficiency Virus (HIV, penyebab AIDS).
 Pemeriksaan Gambaran Tepi Darah
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menunjukkan adanya proses penghancuran darah (hemolitik) dan termasuk salah satu pemeriksaan penyaring untuk
penyakit kelainan darah.
 Foto Thorax dan EKG
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk melihat keadaan jantung dan paru paru serta untuk mendeteksi adanya kelainan jantung.
Perlu diketahui bahwa, untuk mengikuti serangkaian tes kesehatan pranikah, kedua calon pengantin sebaiknya memenuhi syarat berikut ini:
 Sebelum pelaksanan tes dianjurkan untuk puasa 10 sampai 12 jam. Namun, kedua calon pasangan masih diperbolehkan minum air putih.
 Calon pengantin wanita tidak sedang haid.
c. Tujuan dan Manfaat Pemeriksaan Kesehatan Pranikah (Premarital Check Up)
Pemeriksaan kesehatan pranikah tidak hanya bermanfaat bagi calon suami dan istri yang menjalani pemeriksaan tersebut, tapi juga bermanfaat bagi
keturunan mereka guna mencegah penyakit atau kelainan yang mungkin timbul pada keturunan mereka nantinya. Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada
kedua calon pengantin, karena penyakit keturunan dapat diturunkan dari kedua belah pihak, baik dari calon suami maupun calon istri. Meskipun secara fisik
kelihatan baik dan bebas dari penyakit, tetapi masih dimungkinkan salah satu pihak mempunyai gen penyakit keturunan yang akan berpindah kepada anak-
anaknya.
Ilmu kedokteran mengatakan, bahwa rupa dan bentuk janin bergantung pada kualitas sel sperma yang ada pada laki-laki dan kualitas ovum (indung telur)
yang ada pada perempuan tersebut. Kemudian lahirlah anak yang mirip dengan kedua ibu bapaknya, baik tubuh (fisik) maupun akalnya.
Dalam ilmu kedokteran terkait gen ibu, ovum berpengaruh besar terhadap pembentukan janin. Ovum yang sakit akan menghasilkan bayi yang cacat
tubuh. Seorang dokter, Marshan namanya, menyatakan bahwa dampak negatif dari susunan kesehatan ibu jelas memberi pengaruh terhadap ovum sejak
masih dalam ovarium. Melalui ovariumlah segala sifat-sifat ibu berpindah kepada ovum. Kadang-kadang warisan penyakit baru mulai tampak
kecenderungannya ketika ovum itu tumbuh dalam rahim (uterus). Menurut ilmu genetika, kebanyakan penyakit jasmaniah itu berpindah kepada anak dari
garis keturunan. Seperti juling mata, gagap, buta warna, sifilis dan lain-lain.
Tujuan utama melakukan pemeriksaan kesehatan pranikah adalah untuk membangun keluarga sehat sejahtera dengan mengetahui kemungkinan kondisi
kesehatan anak yang akan dilahirkan (riwayat kesehatan kedua belah pihak), termasuk soal genetik, penyakit kronis, penyakit infeksi yang dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan keturunan bukan karena kecurigaan dan juga bukan untuk mengetahui keperawanan.
Manfaat tes kesehatan sebelum menikah antara lain:
 Sebagai tindakan pencegahan yang sangat efektif untuk mengatasi timbulnya penyakit keturunan dan penyakit berbahaya lain yang berpotensi menular.
 Sebagai tindakan pencegahan yang efektif untuk membendung penyebaran penyakit-penyakit menular yang berbahaya di tengah masyarakat. Hal ini
juga akan berpengaruh positif bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
 Sebagai upaya untuk menjamin lahirnya keturunan yang sehat dan berkualitas secara fisik dan mental. Sebab, dengan tes kesehatan ini akan diketahui
secara dini tentang berbagai penyakit keturunan yang diderita oleh kedua calon mempelai.
 Mengetahui tingkat kesuburan masing-masing calon mempelai.
 Memastikan tidak adanya berbagai kekurangan fisik maupun psikologis pada diri masing-masing calon mempelai yang dapat menghambat tercapainya
tujuan-tujuan mulia pernikahan.
 Memastikan tidak adanya penyakit-penyakit berbahaya yang mengancam keharmonisan dan keberlangsungan hidup kedua mempelai setelah
pernikahan terjadi.
 Sebagai upaya untuk memberikan jaminan tidak adanya bahaya yang mengancam kesehatan masing-masing mempelai yang akan ditimbulkan oleh
persentuhan atau hubungan seksual di antara mereka.
d. Prosedur Pemeriksaan Kesehatan Pranikah (Premarital Check Up)
Langkah-langkah melakukan pemeriksaan kesehatan pranikah tak selalu memerlukan biaya besar. Tak perlu langsung ke dokter spesialis, bisa
konsultasi terlebih dahulu ke dokter puskesmas ataupun melalui dokter umum. Biasanya akan dilakukan wawancara singkat tentang riwayat kesehatan yang
bertujuan mengetahui penyakit apa yan pernah diderita, riwayat kesehatan para anggota keluarga (kanker, epilepsi dan diabetes), juga keadaan lingkungan
sekitar dan kebiasaan sehari-hari (merokok, pengguna obat-obatan terlarang).
Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik yang diperlukan untuk mengetahui adanya kelainan fisik seperti tekanan darah, keadaan jantung, paru-paru dan
tanda-tanda fisik dari penyakit seperti anemia, asma, kulit. Barulah jika memang diperlukan dapat dirujuk pemeriksaan ke laboratatorium. Pemeriksaan
kesehatan pranikah sebaiknya meliputi pemeriksaan klinis (fisik) dan laboratorium. Pemeriksaan tersebut lebih diarahkan untuk penyakit yang dapat menular
seperti penyakit menular seksual (PMS), TBC, dan lain-lain.
e. Pemeriksaan Kesehatan Pranikah (Premarital Check Up) di Berbagai Negara
Pemeriksaan kesehatan pra-nikah terhadap penyakit genetik atau keturunan, HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual (PMS) merupakan keharusan di
banyak negara, termasuk beberapa bagian Timur Tengah dan Asia. Di negara-negara Arab, tes kesehatan merupakan salah satu kebijakan otoritas setempat.
Liga Arab merekomendasikan agar tes tersebut dilakukan sebelum kedua calon pasangan suami-istri melangsungkan pernikahan. Kebijakan ini diterapkan di
Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Suriah, Tunisia, dan Maroko. Namun, penggunaan hasilnya opsional. Kedua calon mempelai berhak memilih antara
dua hal setelah mengetahui hasilnya: tetap menikah atau membatalkannya. Di Yordania dan Mesir, hasil tes wajib dijadikan rujukan pertimbangan Walaupun
tidak wajib, pemeriksaan kesehatan pranikah menjadi semakin populer di negara-negara Barat. Dalam bagian hal ini terkait dengan peningkatan kesadaran
kemungkinan dampak penyakit genetis pada tiap anak yang dilahirkan dalam sebuah pernikahan, tapi juga karena perhatian terhadap penyebaran HIV/AIDS
dan PMS.
Negara Malaysia juga merupakan salah satu negara yang memperhatikan penyeberan penyakit HIV/AIDS. Ini dibuktikan dengan adanya kewajiban
bagi setiap muslim di Malaysia wajib menjalani tes HIV saat mengikuti kursus pernikahan, sebelum mereka menikah. Tes HIV yang dilakukan ketika calon
pengantin mengikuti kursus pra nikah adalah demi menekan laju pertumbuhan orang terkena HIV, terutama wanita yang kini menunjukkan peningkatan. Di
Malaysia saat ini ada 12,8 kasus HIV dari 100.000 orang dan diharapkan menurun menjadi 11 kasus dari 100.000 orang pada tahun 2015. Yang menjadi
kekhawatiran ialah pertumbuhan HIV di kalangan wanita telah meningkat dari 5,02 persen tahun 1997 menjadi 16,7 persen pada tahun 2007.
4. Konseling genetik
Konseling genetik merupakan sebuah proses komunikasi yang berhubungan dengan risiko kelainan genetik yang mungkin terjadi dalam sebuah
keluarga, termasuk penjelasan mengenai konsekuensi dan sifat dari kelainan genetik tersebut beserta jalan keluar yang ditawarkan. Konseling genetik
dilakukan oleh seorang konselor genetik, seorang ahli genetika medis dengan gelar master sains yang harus terampil dalam menerjemahkan bahasa
kompleks genom obat ke dalam istilah yang mudah dimengerti. Perlu diketahui bahwa Konseling genetik juga dapat berarti sebuah usaha untuk
membantu mengerti dan beradaptasi dengan pengobatan maupun proses terapi, juga keadaan psikologis pasien dan keluarga pasien yang disebabkan
oleh penyakit genetik. Dalam melakukan konseling genetik, seorang konselor perlu mempertimbangkan aspek psikologis dan emosi yang terkait
dengan diagnosis, memahami berbagai faktor yang berkaitan dengan konseling, membantu keluarga mengatasi rasa bersalah dan malu, membantu
tujuan konseling, serta memahami bisa yang disebabkan oleh konselor.
1. Assessment: Mengumpulkan informasi, mencari informasi mengenai keadaan pasien
a. Alasan mengikuti konseling genetik, pengetahuan mengenai penyakit yang diderita, diagnosis penyakit, kekhawatiran pasien
b. Sejarah kelahiran pasien, sejarah penyakit dan status medis pasien
c. Membuat sejarah keluarga pasien dengan merancang pedigree meliputi:
 First degree (anak, saudara, orang tua) dan second degree (kakek, cucu, tante, paman, sepupu)
 Status kehamilan
 Latar belakang suku, etnis
 Kehadiran consanguinity (sedarah)
d. Melihat rekam medis tambahan yang terbaru, termasuk pasien dan anggota keluarga yang terkena penyakit
e. Meninjau sejarah sosial, edukasi, pekerjaan dan fungsi sosial keluarga
f. Meninjau sumber psikososial keluarga (komunitas, agama)
g. Mengidentifikasi isu etis potensial, seperti confidentiality (kerahasiaan), insurability (dapat dipertanggungjawabkan), discrimination dan
non-paternity
h. Melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien
2. Evaluasi: Menginterpretasikan hasil-hasil yang telah didapatkan dari proses Assessment
a. Merujuk referensi yang relevan
b. Membandingkan riwayat pasien dengan hasil pengujian untuk merancang diagnosis
c. Mendiskusikan hasil diagnosis
i. Diagnosis definitif: berbagi informasi mengenai kondisi
ii. Diagnosis diferensial: menyarankan tes lebih lanjut atau evaluasi
iii. Diagnosis tak diketahui: mendiskusikan untuk mengetahui diagnosis
3. Komunikasi: Membicarakan kondisi keluarga saat ini, memberikan pengetahuan dan informasi yang diperlukan pasien, dalam batas kemampuan
pasien untuk mengerti.
a. Meninjau kembali penyakit yang diderita, termasuk:
a. Harapan perkembangan penyakit
b. Intervensi dan tindakan yang memungkinkan
c. Mencari kemungkinan penyebab genetik yang diketahui
b. Menjelaskan risiko penyakit terhadap anggota keluarga dan masyarakat
c. Mendiskusikan pilihan reproduktif, jika memungkinkan. Termasuk:
a. Kehamilan dengan test prenatal
b. Kehamilan tanpa test prenatal
c. Tidak ada kehamilan lagi
d. Adopsi anak
4. Dukungan terhadap keluarga
a. Meninjau apakah akan ada grief response (respon sedih) yang mungkin membutuhkan dukungan psikososial lebih jauh
b. Merancang strategi untuk pemberitahuan informasi kepada anggota keluarga yang mungkin memiliki risiko yang sama
c. Mengetahui dan mendiskusikan respons keluarga terhadap hasil informasi
d. Memberi rujukan terhadap komunitas yang memiliki kondisi yang sama
5. Follow up
a. Menyusun follow up tes diagnostik atau menyusun jadwal pertemuan berikutnya
b. Mendokumentasikan hasil konseling sebagai rujukan bagi tenaga kesehatan lainnya dan untuk pasien jika diperlukan
c. Menghubungi pasien untuk mengetahui tingkat pemahaman pasien dan pilihan keputusan
d. Memberi saran kepada pasien untuk mengunjungi klinik untuk mendapatkan informasi
e. Bersiap-siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan kemudian
Pada akhirnya, konseling genetik dikatakan berhasil apabila konseling tersebut dapat membantu pasien untuk mengerti sehingga mengambil keputusan
berdasarkan pengetahuan yang benar mengenai penyakit tersebut, dan sesuai dengan norma dan agama yang dianut oleh keluarga tersebut (sesuai tujuan
keluarga) bukan mengurangi jumlah kelahiran dengan kelainan genetik.
5. Mutasi gen (single gene)
MUTASI Pengertian Mutasi adalah perubahan materi genetik (gen atau kromosom) suatu sel yang diwariskan kepada keturunannya. Mutasi dapat
disebabkan oleh kesalahan replikasi materi genetika selama pembelahan sel oleh radiasi, bahan kimia (mutagen), atau virus, atau dapat terjadi selama proses
meiosis. Terdapat dua jenis mutasi, yaitu
1. Mutasi gen (Point mutation) Mutasi gen ialah perubahan kimiawi pada satu atau beberapa pasangan basa dalam satu gen tunggal yang menyebabkan
perubahan sifat individu tanpa perubahan jumlah dan susunan kromosomnya. Mutasi gen dapat terjadi melalui berbagai cara, diantaranya :
Penggantian/substitusi pasangan basa; terjadi karena penggantian satu nukleotida dengan pasangannya di dalam untaian DNA komplementer dengan
pasangan nukleotida lain. Contoh; anemia bulan sabit.

Gambar 1. Mutasi yang terjadi karena adanya penggantian basa Timin oleh adenine sehingga terjadi penggantian satu tempat yaitu asam amino glutamat
digantikan oleh valin. Mutasi ini menyebabkan hemoglobin bulan sabit (Sumber: Campbell I).
Insersi dan delesi; Insersi merupakan penyisipan atau penambahan satu atau lebih nukleotida ke dalam rantai polinukleotida. Delesi adalah pengurangan satu
atau lebih pasangan nukleotida pada suatu gen saat replikasi DNA.

2. Mutasi Kromosom Mutasi kromosom adalah perubahan yang terjadi pada kromosom yang disertai dengan perubahan struktur dan jumlah kromosom.
Mutasi kromosom dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu :
a). Perubahan struktur kromosom (aberasi kromosom). Mutasi ini menyebabkan kerusakan (aberasi) pada bentuk kromosom, diantaranya:
1. Translokasi adalah pemindahan sebagian dari segmen kromosom ke kromosom lainnya yang bukan kromosom homolognya
3
2. Duplikasi terjadi karena adanya segmen kromosom yang mengakibatkan jumlah segmen kromosom lebih banyak dari kromosom aslinya. Berikut ini
contoh duplikasi.

3. Delesi adalah mutasi yang terjadi karena sebagian segmen kromosom lenyap sehingga kromosom kekurangan segmen.

4. Inversi adalah mutasi yang terjadi karena selama meiosis kromosom terpilin dan terjadinya kiasma, sehingga terjadi perubahan letak/kedudukan gen-gen.

b). Perubahan Jumlah Kromosom


Mutasi yang terjadi ditandai dengan perubahan jumlah kromosom individual atau dalam jumlah perangkat kromosom.

Euploid terjadi karena adanya penambahan atau pengurangan perangkat kromosom (genom). Contoh: haploid, diploid, triploid, tetraploid, poliploid dll.

Aneuploid terjadi karena adanya perubahan salah satu kromosom dari genom individu Contoh; monosomik, Nullisomik Trisomik dan Tetrasomik

Mutasi Alami dan Mutasi Buatan


1. Mutasi alam atau mutasi spontan biasanya terjadi karena kesalahan pemasangan basa pada waktu proses replikasi, perbaikan, atau rekombinasi DNA
sehingga mengarah pada terjadinya substitusi, insersi atau delesi pasangan basa. Selain itu mutasi secara alami dapat terjadi karena radiasi radioaktif alam,
sinar kosmis dan sinar ultraviolet.

2. Mutasi buatan, yaitu mutasi yang ditimbulkan akibat campur tangan manusia (telah direncancanakan). Dengan memperlakukan sel menggunakan zat-zat
kimia, sinar-X, sinar gamma, sinar alfa, dan beberapa jenis radiasi hasil sampingan tenaga nuklir
Implikasi Mutasi Alami dan Buatan
1. Sindrom Down, terjadi ketidaknormalan pada kromosom autosom, sindrom ini terjadi karena adanya tiga kromosom pada kromosom no.21 (trisomi). ciri-
ciri sindrom ini
- Kariotipe 47 XX atau 47XY.

- IQ rendah (± 40)

- Mata sipit, gigi keci-kecil dan jarang, liur selalu menetes, daya tahan terhadap penyakit menurun

- Mongolism, bertelapak tebal seperti telapak kera.


2. Sindrom Klinefelter, terjadi ketidaknormalan pada kromosom seks dan biasanya diderita oleh laki-laki. Ciri-cirinya :
- mempunyai kelebihan kromosom seks-X, sehingga kariotipenya 47 XXY.

- Lelaki dengan testis kecil, gagal menghasilkan sperma.

- Rambut dada tidak tumbuh.

- Suara dan dada seperti wanita, memiliki tangan dan kaki yang panjang.
3. Sindrom Turner, terjadi ketidaknormalan pada kromosom seks yaitu adanya pengurangan satu kromosom seks dan biasanya diderita oleh wanita. Ciri-
cirinya :
- Hanya mempunyai satu kromosom seks, dengan kariotipenya 45X0.

- Perempuan mandul, bentuk kaki X, dada dan ovarium tidak berkembang.

- Tidak mengalami haid.

- Ukuran tubuh kecil, IQ rendah.

Selain merugikan beberapa mutasi dapat berguna bagi manusia, diantaranya :


a. Mutasi pada mikroorganisme dapat meningkatkan hasil antibiotika, misalnya mutan Penicillium penghasil antibiotik penisilin.

b. Meningkatkan hasil panen produksi pangan dengan membuat hasil panen poliploid dengan mutasi induksi.

c. Mutasi melalui radiasi menggunakan radioisotop dapat digunakan untuk memeriksa proses biologi, misalnya transfer elektron pada fotosintesis.

6. Pola pewarisan sifat


PENURUNAN SIFAT (HEREDITAS)
Masalah penurunan sifat atau hereditas mendapat perhatian banyak peneliti. Peneliti yang paling popular adalah Gregor Johann Mendel yang lahir tahun
1822 di Cekoslovakia. Pada tahun 1842, Mendel mulai mengadakan penelitian dan meletakkan dasar-dasar hereditas. Ilmuwan dan biarawan ini menemukan
prinsip-prinsip dasar pewarisan melalui percobaan yang dikendalikan dengan cermat dalam pembiakan silang. Penelitian Mendel menghasilkan hukum
Mendel I dan II. Mendel melakukan persilangan monohibrid atau persilangan satu sifat beda, dengan tujuan mengetahui pola pewarisan sifat dari tetua
kepada generasi berikutnya. Persilangan ini untuk membuktikan hukum Mendel I yang menyatakan bahwa pasangan alel pada proses pembentukkan sel
gamet dapat memisah secara bebas. Hukum Mendel I disebut juga dengan hukum segregasi. Mendel melanjutkan persilangan dengan menyilangkan tanaman
dengan dua sifat beda, misalnya warna bunga dan ukuran tanaman. Persilangan dihibrid juga merupakan bukti berlakunya hukum Mendel II berupa
pengelompokkan gen secara bebas saat pembentukkan gamet. Persilangan dengan dua sifat beda yang lain juga memiliki perbandingan fenotip F2 sama,
yaitu 9 : 3 : 3 : 1. Berdasarkan penjelasan pada persilangan monohibrid dan dihibrid tampak adanya hubungan antara jumlah sifat beda, macam gamet,
genotip, dan fenotip beserta perbandingannya. Persilangan monohibrid yang menghasilkan keturunan dengan perbandingan F2, yaitu 1 : 2 : 1 merupakan
bukti berlakunya hukum Mendel I yang dikenal dengan nama Hukum Pemisahan Gen yang Sealel (The Law of Segregation of Allelic Genes). Sedangkan
persilangan dihibrid yang menghasilkan keturunan dengan perbandingan F2, yaitu 9 : 3 : 3 : 1 merupakan bukti berlakunya Hukum Mendel II yang disebut
Hukum Pengelompokkan Gen secara Bebas (The Law Independent Assortment of Genes). Dengan mengikuti secara saksama hasil percobaan Mendel, baik
pada persilangan monohibrid maupun dihibrid maka secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa gen itu diwariskan dari induk atau orang tua kepada
keturunannya melalui gamet. Persilangan monohibrida adalah persilangan sederhana yang hanya memperhatikan satu sifat atau tanda beda. Sedangkan
persilangan dihibrida merupakan perkawinan dua individu dengan dua tanda beda. Persilangan ini dapat membuktikan kebenaran Hukum Mendel II yaitu
bahwa gen-gen yang terletak pada kromosom yang berlainan akan bersegregasi secara bebas dan dihasilkan empat macam fenotip dengan perbandingan 9 :
3 : 3 : 1. kenyataannya, seringkali terjadi penyimpangan atau hasil yang jauh dari harapan yang mungkin disebabkan oleh
beberapa hal seperti adanya interaksi gen, adanya gen yang bersifat homozigot letal dan sebagainya.
Hukum Pewarisan Mendel
Alel/gen dominan dan resesif pada orang tua (1, P), anak (2, F1) dan cucu (3, F2) menurut Mendel. Hukum Pewarisan Mendel adalah hukum mengenai
pewarisan sifat pada organisme yang dijabarkan oleh Gregor Johann Mendel dalam karyanya “Percobaan mengenai Persilangan Tanaman”. Hukum ini terdiri
dari dua bagian: 1. Hukum pemisahan (segregation) dari Mendel, juga dikenal sebagai Hukum
Pertama Mendel, dan 2. Hukum berpasangan secara bebas (independent assortment) dari Mendel, juga dikenal sebagai Hukum Kedua Mendel.
Hukum Segregasi (Hukum Mendel I)
Perbandingan antara B (warna coklat), b (warna putih), S (buntut pendek), dan s (buntut panjang) pada generasi F2. Hukum segregasi bebas menyatakan
bahwa pada pembentukan gamet (sel kelamin), kedua gen induk (Parent) yang merupakan pasangan alel akan memisah sehingga tiap-tiap gamet menerima
satu gen dari induknya. Secara garis besar, hukum ini mencakup tiga pokok:
1. Gen memiliki bentuk-bentuk alternatif yang mengatur variasi pada karakter turunannya. Ini adalah konsep mengenai dua macam alel; alel resisif (tidak
selalu nampak dari luar, dinyatakan dengan huruf kecil, misalnya w dalam gambar di sebelah), dan alel dominan (nampak dari luar, dinyatakan dengan huruf
besar, misalnya R).
2. Setiap individu membawa sepasang gen, satu dari tetua jantan (misalnya ww dalam gambar di sebelah) dan satu dari tetua betina (misalnya RR dalam
gambar di sebelah).
3. Jika sepasang gen ini merupakan dua alel yang berbeda (Sb dan sB pada gambar 2), alel dominan (S atau B) akan selalu terekspresikan (nampak secara
visual dari luar). Alel resesif (s atau b) yang tidak selalu terekspresikan, tetap akan diwariskan pada gamet yang dibentuk pada turunannya.
Hukum Asortasi Bebas (Hukum Mendel II)
Hukum kedua Mendel menyatakan bahwa bila dua individu mempunyai dua pasang atau lebih sifat, maka diturunkannya sepasang sifat secara bebas, tidak
bergantung pada pasangan sifat yang lain. Dengan kata lain, alel dengan gen sifat yang berbeda tidak saling mempengaruhi. Hal ini menjelaskan bahwa gen
yang menentukan e.g. tinggi tanaman dengan warna bunga suatu tanaman, tidak saling mempengaruhi. Seperti nampak pada Gambar 1, induk jantan (tingkat
1) mempunyai genotipe ww (secara fenotipe berwarna putih), dan induk betina mempunyai genotipe RR (secara fenotipe berwarna merah). Keturunan
pertama (tingkat 2 pada gambar) merupakan persilangan dari genotipe induk jantan dan induk betinanya, sehingga membentuk 4 individu baru (semuanya
bergenotipe wR). Selanjutnya, persilangan/perkawinan dari keturuan pertama ini akan membentuk indidividu pada keturunan berikutnya (tingkat 3 pada
gambar) dengan gamet R dan w pada sisi kiri (induk jantan tingkat 2) dan gamet R dan w pada baris atas (induk betina tingkat 2). Kombinasi gamet-gamet
ini akan membentuk 4 kemungkinan individu seperti nampak pada papan catur pada tingkat 3 dengan genotipe: RR, Rw, Rw, dan ww. Jadi pada tingkat 3 ini
perbandingan genotipe RR , (berwarna merah) Rw (juga berwarna merah) dan ww (berwarna putih) adalah 1:2:1. Secar fenotipe perbandingan individu
merah dan individu putih adalah 3:1. Kalau contoh pada Gambar 1 merupakan kombinasi dari induk dengan satu sifat dominan (berupa warna), maka contoh
ke-2 menggambarkan induk-induk dengan 2 macam sifat dominan: bentuk buntut dan warna kulit. Persilangan dari induk dengan satu sifat dominan disebut
monohibrid, sedang persilangan dari indukinduk
dengan dua sifat dominan dikenal sebagai dihibrid, dan seterusnya. Pada Gambar 2, sifat dominannya adalah bentuk buntut (pendek dengan genotipe SS dan
panjang dengan genotipe ss) serta warna kulit (putih dengan genotipe bb dan coklat dengan genotipe BB). Gamet induk jantan yang terbentuk adalah Sb dan
Sb, sementara gamet induk betinanya adalah sB dan sB (nampak pada huruf di bawah kotak). Kombinasi gamet ini akan membentuk 4 individu pada tingkat
F1 dengan genotipe SsBb (semua sama). Jika keturunan F1 ini kemudian dikawinkan lagi, maka akan membentuk individu keturunan F2. Gamet F1nya
nampak pada sisi kiri dan baris atas pada papan catur. Hasil individu yang terbentuk pada tingkat F2 mempunyai 16 macam kemungkinan dengan 2 bentuk
buntut: pendek (jika genotipenya SS atau Ss) dan panjang (jika genotipenya ss); dan 2 macam warna kulit: coklat (jika genotipenya BB atau Bb) dan putih
(jika genotipenya bb).
Perbandingan hasil warna coklat:putih adalah 12:4, sedang perbandingan hasil bentuk buntut pendek:panjang adalah 12:4. Perbandingan detail mengenai
genotipe SSBB:SSBb:SsBB:SsBb: SSbb:Ssbb:ssBB:ssBb: ssbb adalah 1:2:2:4: 1:2:1:2: 1.
7. Pemeriksaan penunjang (molekuler dan laboratorium thalassemia)
Hemoglobin

Nilai normal :

Pria : 13 - 18 g/dL SI unit : 8,1 - 11,2 mmol/L

Wanita : 12 - 16 g/dL SI unit : 7,4 – 9,9 mmol/L

Kira-kira telah diidentifikasi 300 jenis hemoglobin yang berbeda dalam kode genetik dan urutan asam amino. Walaupun demikian, hanya beberapa jenis
hemoglobin yang dapat menyebabkan morbilitas dan mortalitas yang bermakna. Abnormalitas pada hemoglobin dapat diidentifikasi dengan elektroforensis.
Berbagai jenis hemoglobin bergerak dangan kecepatan berbeda melintasi kertas atau jeli padi, berdasarkan muatan listriknya. Hemoglobin dapat diidentifikasi
dengan huruf atau letak atau tempat ditemukannya (Anderson,2014).

Hb dewasa (Hb A) = 2 α and 2 β

HbA1 adalah bentuk utama dari Hb pada orang dewasa dan anak di atau 7 bln

HbA2 (2 α, 2 δ) adalah bentuk minor dari Hb pada dewasa. Ia hanya membentuk 2-3% dari total HbA.

Hb Fetal (Hb F) = 2 α and 2 γ

Pada fetus dan bayi HbF berikatan dengan O2 pada tekanan rendah daripada Hb A -> HbF memiliki afinitas tinggi ke O2.

Setelah lahir, HbF diganti HbA selama beberapa bulan kehidupan.

Hb S, pada rantai β-globin Glu digantikan Val = Hb abnormal untuk anemia bulan sabit
Nilai normal Hemoglobin:

Hb A1c 0%-5% total

Hb A2, berdasarkan kolom 2%-3% total

Hb F <1% total

Hb Plasma 0%-5% total

Hb Serum 2-3 mg/ml

(Anderson, 2014)

Hematokrit (Hct)

Nilai normal:

Pria : 40% - 50 % SI unit : 0,4 - 0,5


Wanita : 35% - 45% SI unit : 0.35 - 0,45

Deskripsi:

Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah total.

Implikasi klinik:

 Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia (karena berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid.
Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah.
 Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan paru-paru kronik, polisitemia dan syok.
 Nilai Hct biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada ukuran eritrosit normal, kecuali pada kasus anemia makrositik atau mikrositik.
 Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merah lebih kecil), nilai Hct akan terukur lebih rendah karena sel mikrositik terkumpul pada
volume yang lebih kecil, walaupun jumlah sel darah merah terlihat normal.
 Nilai normal Hct adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin.
 Satu unit darah akan meningkatkan Hct 2% - 4%.

Mean Corpuscular Volume(MCV) (Volume eritrosit rata – rata)

Perhitungan : MCV (femtoliter) = Hematokrit (vol % x 10) / jumlah eritrosit (juta/mm 3)

Nilai normal : 80 – 100 (fL)

Deskripsi :

MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV menunjukkan ukuran sel darah merah tunggal apakah sebagai Normositik (ukuran normal),
Mikrositik (ukuran kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran kecil >100 fL).

Implikasi klinik :

 Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi, anemia pernisiosa dan talasemia, disebut juga anemia mikrositik.
 Peningkatan nilai MCV terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi antimetabolik, kekurangan folat/vitamin B12, dan terapi valproat, disebut juga anemia
makrositik.
 Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang abnormal.
 MCV adalah nilai yang terukur karenanya memungkinkan adanya variasi berupa mikrositik dan makrositik walaupun nilai MCV tetap normal.
 MCV pada umumnya meningkat pada pengobatan Zidovudin (AZT) dan sering digunakan sebagai pengukur kepatuhan secara tidak langsung.

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration(MCHC) (Konsentrasi Hemoglobin ertirosit rata – rata)

Perhitungan : MCHC = hemoglobin (g/dl x 100) /hematokrit (vol %)

Nilai normal : 32 – 36 g/dL

Deskripsi:

Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam sel darah merah; semakin kecil sel, semakin tinggi konsentrasinya. Perhitungan MCHC tergantung pada
Hb dan Hct. Indeks ini adalah indeks Hb darah yang lebih baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC, hal ini tidak berlaku pada MCH.

Implikasi Klinik:

 MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik, anemia karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik.
 MCHC meningkat pada sferositosis, bukan anemia pernisiosa.

Mean Corpuscular Hemoglobin(MCH) (Hemoglobin eritrosit rata – rata)

Perhitungan : MCH (picogram/sel) = hemoglobin (g/dl x 10) /jumlah eritrosit (juta/mm3)

Nilai normal : 28– 34 pg/ sel

Deskripsi:
Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel darah merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna (normokromik,
hipokromik, hiperkromik) sel darah merah. MCH dapat digunakan untuk mendiagnosa anemia.

Implikasi Klinik:

 Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik


 Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik.
(Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, 2011)

Apusan darah tepi pada enzimopati eritrosit. A, Pyruvate kinase deficiency. B, Pyrimidine 5′-nucleotidase deficiency; C, Glucose-6-phosphate dehydrogenase
(G6PD) deficiency. D, Heinz bodies in G6PD deficiency.
Pemeriksaan Molekuler: PCR
DEFINISI
Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada
tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan diketemukannya
teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit
genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular.
PRINSIP-PRINSIP UMUM PCR
Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan
nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl 2) dan
enzim polimerase DNA. Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada
templat (annealing); (4) pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan (postextension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus),
di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA. Tahapan proses PCR dapat dilihat pada gambar 1.

PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai
ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi
waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers)
dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 – 40 siklus. Target DNA yang
diinginkan (short ”target” product) akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier
seperti tampak pada bagan di atas (Newton and Graham, 1994). Jumlah kopi fragmen DNA target (amplicon) yang dihasilkan pada akhir siklus PCR dapat
dihitung secara teoritis menurut rumus:
Y = (2n – 2n)X
Y : jumlah amplicon
n : jumlah siklus
X : jumlah molekul DNA templat semula
Jika X = 1 dan jumlah siklus yang digunakan adalah 30, maka jumlah amplicon yang diperoleh pada akhir proses PCR adalah 1.074 x 109 . Dari fenomena ini
dapat terlihat bahwa dengan menggunakan teknik PCR dimungkinkan untuk mendapatkan fragmen DNA yang diinginkan (amplicon) secara eksponensial dalam
waktu relatif singkat. Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus. Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan
meningkatkan jumlah amplicon secara bermakna dan memungkinkan peningkatan jumlah produk yang non-target. Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR
effisiensi amplifikasi tidak terjadi 100 %, hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah polimerase DNA terbatas dan kemungkinan terjadinya
reannealing untai target.
PELAKSANAAN PCR
Untuk melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen seperti yang telah disebutkan di atas. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci kegunaan dari
masing-masing komponen tersebut.
1. Templat DNA
Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa 2
DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA templat tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju. Penyiapan DNA
templat untuk proses PCR dapat dilakukan dengan menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA
plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada. Pemilihan metode yang digunakan di dalam penyiapan DNA templat tergantung dari tujuan
eksperimen. Pembuatan DNA templat dengan menggunakan metode lisis dapat digunakan secara umum, dan metode ini merupakan cara yang cepat
dan sederhana untuk pendedahan DNA kromosom ataupun DNA plasmid. Prinsip metode lisis adalah perusakan dinding sel tanpa harus merusak DNA
yang diinginkan. Oleh karena itu perusakan dinding sel umumnya dilakukan dengan cara memecahkan dinding sel menggunakan buffer lisis.
Komposisi buffer lisis yang digunakan tergantung dari jenis sampel. Beberapa contoh buffer lisis yang biasa digunakan mempunyai komposisi sebagai
berikut: 5 mM Tris-Cl pH8,5; 0,1 mM EDTA pH 8,5; 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis
ini umumnya digunakan untuk jenis sampel yang berasal dari biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut. Contoh lain dari buffer lisis adalah buffer lisis
K yang mempunyai komposisi sebagai berikut: buffer PCR (50mM KCl, 10-20mM Tris-Cl dan 2,5mM MgCl2 ); 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL
Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis K ini biasanya digunakan untuk melisis sampel yang berasal dari sel darah dan virus.
Selain dengan cara lisis, penyiapan DNA templat dapat dilakukan dengan cara mengisolasi DNA kromosom ataupun DNA plasmid menurut metode
standar yang tergantung dari jenis sampel asal DNA tersebut diisolasi. Metode isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid memerlukan tahapan yang
lebih kompleks dibandingkan dengan penyiapan DNA dengan menggunakan metode lisis. Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah
pemecahan dinding sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom / DNA plasmid dari komponen-komponen lain. Dengan demikian akan
diperoleh kualitas DNA yang lebih baik dan murni.
2. Primer
Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Di dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA
target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA.
Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau
protein bisa didapatkan dari database GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju belum diketahui maka perancangan primer
dapat didasarkan pada hasil analisis homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan kekerabatan yang terdekat.
Dalam melakukan perancangan primer harus dipenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Panjang primer
Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan dipilih. Umumnya panjang primer berkisar antara 18 –
30 basa. Primer dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk ukuran primer yang
pendek kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan
menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses
PCR. Sedangkan untuk panjang primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna dan ini
akan menyebabkan lebih mahal
b. Komposisi primer.
Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan nukleotida yang sama perlu dihindari, hal ini dapat
menurunkan spesifisitas primer yang dapat memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain. Kandungan (G+C)) (% jumlah
G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C) DNA target. Sebab primer dengan % (G+C) rendah
diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif pada tempat yang dituju dengan demikian akan
menurunkan efisiensi proses PCR. Selain itu, urutan nukleotitda pada ujung 3’ sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T lebih
toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan demikian akan dapat menurunkan spesifisitas primer.
c. Melting temperature (Tm)
Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting
karena Tm primer akan berpengaruh sekali di dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan dengan komposisi
primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) + 4(C+G)].
Sebaiknya Tm primer berkisar antara 50 – 65oC.
d. Interaksi primer-prime
Interaksi primer-primer seperti self-homology dan cross-homology harus dihindari. Demikian juga dengan terjadinya mispriming
pada daerah lain yang tidak dikehendaki, ini semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi rendah dan di samping itu
konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang selama proses karena terjadinya mispriming. Keadaan ini akan
berpengaruh pada efisiensi proses PCR.
3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates) dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin trifosfat), dTTP (deoksitimidin
trifosfat) , dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP (deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block DNA yang
diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer
dengan untai DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan.
4. Buffer PCR dan MgCl2 Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan
buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+, ion tersebut berasal dari
berasal MgCl2 . MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan
meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR konsentrasi MgCl2
berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses. Umumnya buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan. Tetapi disarankan
sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang diperlukan.
5. Enzim Polimerase DNA Enzim polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA. Pada proses PCR enzim ini diperlukan
untuk tahap ekstensi DNA. Enzim polimerase DNA yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari bakteri termofilik atau hipertermofilik oleh karena
itu enzim ini bersifat termostabil sampai temperatur 95 oC. Aktivitas polimerase DNA bergantung dari jenisnya dan dari mana bakteri tersebut diisolasi .
Sebagai contoh adalah enzim Pfu polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitas spesifik 10x lebih kuat dibandingkan
aktivitas spesifik enzim Taq polimerase (diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis polimerase DNA berkaitan erat dengan buffer
PCR yang dipakai. Dengan menggunakan teknik PCR, panjang fragmen DNA yang dapat diamplifikasi mencapai 35 kilo basa. Amplifikasi fragmen
DNA pendek (kurang dari tiga kilo basa) relatif lebih mudah dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang (lebih besar dari tiga kilo basa)
memerlukan beberapa kondisi khusus, di antaranya adalah diperlukan polimerase DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR dengan pH dan
kapasitas tinggi (High-salt buffer).
OPTIMASI PCR
Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi proses PCR. Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara
memvariasikan kondisi yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti jenis polimerase DNA;
suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu.
1. Jenis polimerase DNA
Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR yang terjadi pada tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan berbeda
dengan untuk DNA rantai pendek. Penggunaan jenis DNA polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk
panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga kilobasa akan memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.
2. Konsentrasi dNTPs, MgCl2; polimerase DNA
Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA yang diamplifikasi. Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa
biasanya digunakan konsentrasi dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan untuk panjang target DNA lebih besar dari satu kilobasa diperlukan
konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM. Umumnya konsentrasi optimal MgCl2 berkisar antara 1,0 – 1,5 mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu
rendah akan menurunkan perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan akumulasi produk non target yang
disebabkan oleh terjadinya mispriming. Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan
diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 – 2 unit per 50 uL campuran reaksi, sedangkan untuk
panjang fragmen DNA lebih besar dari dua kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi.
3. Suhu Pemilihan
suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu
berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat berkisar antara 93 – 95 oC, ini
semua tergantung pada panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi
akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu juga dapat merusak DNA templat, sedangkan
suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang digunakan
adalah 94oC. Secara umum suhu annealing yang digunakan berkisar antara 37 - 60o C. Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer
yang digunakan untuk proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm – 5) oC sampai dengan (Tm + 5)o C. Dalam
menentukan suhu annealing yang digunakan perlu diperhatikan adanya mispriming pada daerah target dan nontarget, dan keberhasilan suatu
proses PCR akan ditentukan oleh eksperimen. Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu 72 oC karena suhu tersebut
merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa digunakan untuk proses PCR.
4. Buffer PCR
Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas buffer nya. Dalam perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-salt buffer”
(pH 8,75 dan kapasitas buffer rendah) dan “High-salt buffer” (pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR tersedia sesuai dengan
jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini tergantung pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang DNA target antara 0
– 5 kilobasa biasanya diperlukan “low-salt buffer” sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari lima kilobasa digunakan “high-salt
buffer”.
5. Waktu Pemilihan
waktu yang digunakan berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA templat
umumnya dilakukan selama 30 – 90 detik, ini semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu denaturasi yang terlalu lama akan
merusak templat DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas polimerase DNA. Sedangkan waktu denaturasi yang terlalu pendek akan
menyebabkan proses denaturasi tidak sempurna. Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan panjang primer. Untuk panjang
primer 18 – 22 basa cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60 detik waktu
ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo basa DNA
diperlukan waktu 30 – 60 detik. Pada setiap melakukan PCR harus dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan untuk memudahkan pemecahan
masalah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan terhadap kontrol negatif untuk menghindari kesalahan positif
semu.
ANALISIS MASALAH
1. Adik Ayahnya menderita Thalassemia. Sementara kakak Ayahnya menderita G6PD.
a. Bagaimana klasifikasi thalassemia?
Klasifikasi anemia menurut Hoffbrand, 2015
Klasifikasi Mikrositik hipokrom Normositik normokrom Makrositik
Indikator VER <80 fl VER 80-95 fl VER >95 fl
HER <27 pg HER > 27 pg
Penyakit  Defisiensi besi  Anemia hemolitik  Megaloblastik: defisiensi
 Talasemia  Anemia penyakit vitamin B12 atau folat
 Anemia penyakit kronik  Nonmegaloblastik:
kronis  Setelah pendarahan alkohol, penyakit hati,
 Keracunan timbal akut mielodisplasia, anemia
 Anemia sideroblastik  Penyakit ginjal aplastik
 Defisiensi campuran
 Kegagalan sumsum
tulang
Berdasarkan jenis subunit globin yang mengalami defek terdiri dari:
 Thalassemia alfa
 Thalassemia beta
 Thalassemia delta beta
 Thalassemia delta
Sindrom Dasar molekuler Hasil laboratorium Gejala klinis
Talasemia alfa
Karier talasemia alfa silent Delesi satu gen alfa (-a/aa) Tidak ada kelainan morfologi sel Asimtomatik
darah merah dan tidak ada anemia;
Kadar Hb Bart: 1-2 % ketika lahir
Talasemia alfa trait (minor) Delesi dua gen alfa (--/aa) bentuk Anemia ringan, mikrositosis, Asimtomatik
heterozigot hipokrom; Kadar Hb Bart: 4-6%
Delesi dua gen alfa (-a/-a) bentuk ketika lahir
homozigot
Penyakit HbH Delesi tiga gen alfa (--/-a) Anemia sedang, mikrositosis, Jaundice, batu empedu,
hipokrom, Presipitasi dalam splenomegali, bila kondisi parah
eritrosit (badan inklusi), basophilic dibutuhkan transfusi
stippling dan retikulositosis
Sindrom hidrops fetalis HbBart Delesi empat gen alfa (--/--) Anemia berat, terdapat HbH, Meninggal dalam rahim atau
bentuk homozigot HbBart (delta4) dan HbPortland setelah lahir
Talasemia beta
Talasemia beta trait (minor) Mutasi titik Heterozigot talasemia Anemia ringan, hipokrom dan Asimtomatik
Betao heterozigot talasemia beta+ mikrositosis; morfologi eritrosit
abnormal; peningkatan kadar HbA 2
dan HbF
Talasemia beta intermedia Mutasi titik Anemia sedang, mikrositosis dan Mempertahankan kadar Hb hingga
Talasemia Betao/talasemia beta+ hipokrom; morfologi eritrosit 7 g/dL tanpa transfusi, gejala klinis
talasemia HbEB+ abnormal; peningkatan HbA dan thalsemia B intermedia bisa terlihat
HbF; penurunan sampai tidak dengan kondisi yang hampir
adanya produksi HbA seberat thalasemia Beta, dengan
anemia berat dan gangguan
pertumbuhan, sampai kondisi yang
hampir seringan karier thalasemia
beta.
Talasemia beta mayor Mutasi titik Talasemia B o
Anemia berat, mikrositosis dan Hidupnya sangat bergantung pada
homozigot hipokrom; eritrosit fragmentosit transfusi darah, sehingga
dan dalam berbagai ukuran, menghasilkan penimbunan besi
makrosit yang hipokromik; pada tubuh dan menimbulkan
peningkatan HbA2 dan HbF; gangguan endokrin (hipertiroid dan
berkurangnya kadar atau tidak hipoparatiroid), gagal hati secara
adanya produksi HbA progresif dan jantung secara
kronis;
Adolescent growth spurt tidak akan
tercapai. Tanda-tanda seks
sekunder akan terlambat atau tidak
timbul; Splenomegali, infeksi
berulang; perluasan sumsum tulang
yang mengakibatkan deformitas
tulang kepala, dengan zigoma
menonjol memberikan gambaran
khas mongoloid (Facies cooley).
Gambaran radiologis yang khas
termasuk penipisan dan
peningkatan trabekulasi tulang-
tulang panjang termasuk jari-jari,
serta gambaran hair on end pada
tulang tengkorak

b. Bagaimana etiologi thalassemia?


Disebabkan oleh adanya defek genetik pada rantai globin. Semua thalassemia memiliki pola pewarisan yang sama; pada kebanyakan kasus, defek
gen ditrasnmisikan pada cara autosomal Mendelian. Juga, variasi simptom biasanya hasil dari interaksi lebih dari 1 determinan genetik. Pewarisan
α-thalassemia lebih rumit karena melibatkan hasil dari gen yang berpasangan (αα).
c. Bagaimana epidemiologi thalassemia?
Terdapat lebih dari 200 mutasi pada talasemia beta, walaupun kebanyakan jarang terjadi. Sekitar 20 alel umum membuat 80% talasemia
tersebar di seluruh dunia; 3% dari populasi dunia membawa gen talasemia beta, dan di Asia Selatan terdapat 5-10% populasi membawa gen
talasemia alfa. Di daerah tertentu, terdapat sedikit alel yang termutasi. Di Amerika Serikat, diperkirakan 2000 orang mengalami talasemia beta.
Pada studi penelitian Li pada tahun 2014 di provinsi Guangdong, Cina dengan metode potong lintang pada 21 kota di provinsi Guangdong
melaporkan bahwa terdapat 23 tipe mutasi gen alfa dan beta pada total 14.230 ibu hamil dan 14.249 suami. Terdapat angka kejadian sebesar
16.45% talasemia dari 28.479 individu.
Studi penelitian Lithanatudom pada tahun 2016 mengatakan bahwa di Thailand Utara adalah salah satu area dengan angka kejadian
talasemia alfa tertinggi dengan 30-40% dari populasi adalah pembawa gen globin alfa.
Talasemia alfa banyak ditemukan pada penduduk di negara Asia dan Afrika. Talasemia a o ditemukan terutama di Asia Tenggara dan
kepulauan Mediterania, talasemia a + tersebar di Afrika, Mediterania, Timur Tengah, India dan Asia Tenggara. HbE yang merupakan varian
talasemia sangat banyak dijumpai di India, Birma dan beberapa negara Asia tenggara. Adanya interaksi HbE dan talasemia B menyebabkan
talasemia HbE sangat tinggi di wilayah ini.
d. Bagaimana patogenesis thalassemia?

Patofisiologi β-thalassemia dan pemodifikasi ketidakseimbangan rantai globin. Keparahan eritropoiesis inefektif tergantung pada derajat
kelebihan rantai α yang diakibatkan dari 3 mekanisme berbeda: (1) warisan mutasi rantai β parah, ringan atau silent; (2) coinheritance penentu
terkait dengan peningkatan produksi rantai γ; dan (3) coinheritance α-thalassemia. Sebuah fenotip thalassemia intermedia mungkin berasal dari
peningkatan produksi rantai α-globin oleh triplikasi (ααα) atau kuadruplikasi (αααα) genotip α terkait dengan heterozigositas β. Pewarisan
polimorfisme atau mutasi gen yang terlibat pada tulang, besi, dan metabolisme bilirubin sebagaimana juga infeksi mungkin berkontribusi untuk
memodifikasi klinis penyakit. ESR1 = estrogen receptor 1; HbF = fetal hemoglobin; HFE = hereditary hemochromatosis gene; HLA = human
leukocyte antigen; ICAM1 = intercellular adhesion molecule 1; TNF = tumor necrosis factor; UGT1 = UDP-glucose : glycoprotein
glucosyltransferase 1; VDR = vitamin D receptor
e. Bagaimana manifestasi klinis thalassemia?
Sindrom Dasar molekuler Hasil laboratorium Gejala klinis
Talasemia alfa
Karier talasemia alfa silent Delesi satu gen alfa (-a/aa) Tidak ada kelainan morfologi sel Asimtomatik
darah merah dan tidak ada anemia;
Kadar Hb Bart: 1-2 % ketika lahir
Talasemia alfa trait (minor) Delesi dua gen alfa (--/aa) bentuk Anemia ringan, mikrositosis, Asimtomatik
heterozigot hipokrom; Kadar Hb Bart: 4-6%
Delesi dua gen alfa (-a/-a) bentuk ketika lahir
homozigot
Penyakit HbH Delesi tiga gen alfa (--/-a) Anemia sedang, mikrositosis, Jaundice, batu empedu,
hipokrom, Presipitasi dalam splenomegali, bila kondisi parah
eritrosit (badan inklusi), basophilic dibutuhkan transfusi
stippling dan retikulositosis
Sindrom hidrops fetalis HbBart Delesi empat gen alfa (--/--) Anemia berat, terdapat HbH, Meninggal dalam rahim atau
bentuk homozigot HbBart (delta4) dan HbPortland setelah lahir
Talasemia beta
Talasemia beta trait (minor Mutasi titik Heterozigot talasemia Anemia ringan, hipokrom dan Asimtomatik
Betao heterozigot talasemia beta+ mikrositosis; morfologi eritrosit
abnormal; peningkatan kadar HbA 2
dan HbF
Talasemia beta intermedia Mutasi titik Anemia sedang, mikrositosis dan Mempertahankan kadar Hb hingga
Talasemia Beta /talasemia beta
o +
hipokrom; morfologi eritrosit 7 g/dL tanpa transfusi, gejala klinis
talasemia HbEB+ abnormal; peningkatan HbA dan thalsemia B intermedia bisa terlihat
HbF; penurunan sampai tidak dengan kondisi yang hampir
adanya produksi HbA seberat thalasemia Beta, dengan
anemia berat dan gangguan
pertumbuhan, sampai kondisi yang
hampir seringan karier thalasemia
beta.
Talasemia beta mayor Mutasi titik Talasemia Bo Anemia berat, mikrositosis dan Hidupnya sangat bergantung pada
homozigot hipokrom; eritrosit fragmentosit transfusi darah, sehingga
dan dalam berbagai ukuran, menghasilkan penimbunan besi
makrosit yang hipokromik; pada tubuh dan menimbulkan
peningkatan HbA2 dan HbF; gangguan endokrin (hipertiroid dan
berkurangnya kadar atau tidak hipoparatiroid), gagal hati secara
adanya produksi HbA progresif dan jantung secara
kronis;
Adolescent growth spurt tidak akan
tercapai. Tanda-tanda seks
sekunder akan terlambat atau tidak
timbul; Splenomegali, infeksi
berulang; perluasan sumsum tulang
yang mengakibatkan deformitas
tulang kepala, dengan zigoma
menonjol memberikan gambaran
khas mongoloid (Facies cooley).
Gambaran radiologis yang khas
termasuk penipisan dan
peningkatan trabekulasi tulang-
tulang panjang termasuk jari-jari,
serta gambaran hair on end pada
tulang tengkorak

f. Bagaimana pola pewarisan thalassemia?


Ilmu genetika sangat perlu untuk dipelajari guna mengetahui sebab kelainan genetik yang terjadi terutama pada manusia. Pewarisan
penyakit secara dominan, resesif atau terangkai kelamin dikaitkan dengan hal-hal penting tentang sifat-sifat kromosom dan diagram kromosom.
Maka dari itu perlu diketahui substansi-substansi genetik dimulai dari gen, kromosom hingga seluruh genom yang terdapat dalam tubuh manusia.
Dengan mengetahui hal ini, fenomena pewarisan sifat dari suatu generasi ke generasi selanjutnya dapat dimengerti. Kelainan genetik yang terjadi
pada suatu individu harus dikaji mulai dari tingkat gen, sehingga pemahaman tentang kromosom merupakan modal untuk memahami sistematika
pewarisan.
Tjio dan Levan pada tahun 1956 berhasil membuktikan melalui teknik pemeriksaan kromosom, bahwa nukleus sel tubuh manusia
mengandung 46 kromosom. Kromosom manusia dibedakan atas 2 tipe:
 Autosom, ialah kromosom biasa, yang tidak berperan menentukan jenis kelamin. Dari 46 kromosom di dalam nukleus sel tubuh manusia,
maka yang 44 buah (22 pasang) merupakan autosom.
 Gonosom, ialah seks kromosom (kromosom kelamin), yang berperan dalam menentukan jenis kelamin. Biasanya terdapat sepasang
kromosom. Melihat macamnya dapat dibedakan atas kromosom X dan kromosom Y.
Tahun 1910, Thomas Hunt Morgan menunjukkan pada kromosom terdapat gen. Gen berperan sebagai faktor keturunan yang tersimpan di
dalam lokus. Lokus adalah lokasi yang diperuntukan bagi gen dalam kromosom. Gen menyampaikan informasi genetis dari generasi ke generasi
berikutnya.
Bentuk alternatif dari gen yaitu alel berperan sebagai ekspresi suatu sifat (fenotipe). Pada individu pasangan alel menentukan genotipe dari
individu yang bersangkutan. Alel merupakan sepasang gen yang terletak pada lokus yang sama pada kromosom yang homolog, yang bertugas
membawa suatu sifat. Tidak semua gen mempunyai 2 alel ada juga yang lebih dari 2 disebut alel ganda, contohnya gen yang mengatur protein
darah. Berikut bentuk pasangan alel:
 Homozigot (AA atau aa): alel dengan pasangan kedua gen pada suatu individu sama (simbolnya sama/genotipenya sama)
 Heterozigot (Aa): alel dengan pasangan kedua gen tidak sama (simbolnya berbeda/genotipenya sama)
Berdasarkan sifat alelnya maka kelainan genetika dapat digolongkan sebagai berikut:
 Kelainan genetika oleh faktor alel dominan autosomal
 Kelainan genetika oleh faktor alel resesif autosomal
 Kelainan genetika oleh faktor alel tertaut dengan kromosom seks
 Kelainan genetika oleh faktor pengaruh aberasi kromosom
Alel yang menyebabkan kelainan genetika akan mengkode protein yang tidak berfungsi atau tidak mengkode protein sama sekali. Dengan
demikian, suatu penyakit yang diwarisi secara resesif, hanya muncul pada individu yang homozigot atau yang memiliki alel homozigot resesif.
Kita dapat melambangkan genotipe penderita sebagai aa dan individu yang tidak memiliki kelainan dengan AA dan Aa. Namun bentuk
heterozigot (Aa) yang secara fenotipe normal akan disebut karier secara genotipe, karena karier dapat menurunkan salah satu gen resesifnya
kepada keturunan mereka. Sebagian orang yang memiliki kelainan resesif lahir dari orang tua yang bergenotipe karier (Aa x Aa) ataupun
dihasilkan dari perkawinan (Aa x aa) serta (aa x aa).
Pola pewarisan oleh Mendel biasanya dikaitkan dengan penyakit gen tunggal pada manusia dapat juga disebut Mendelian atau penyakit
monogenik. Penyakit mendelian ialah jenis penyakit yang disebabkan oleh mutasi 1 gen dan biasanya diwariskan oleh keluarga. Pedigree dapat
menjadi sebuah metode analisis untuk melihat adakah individu yang terkena penyakit pada keluarga besar. Hal ini dapat juga menentukan apakah
penyakit ini autosomal atau sex chromosome dan apakah berhubungan dengan fenotipnya yaitu dominan atau resesif.
Jenis pewarisan talasemia adalah secara resesif autosomal. Normalnya gen harusnya berpasangan. Pada kondisi resesif, kedua pasangan gen
individu termutasi. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Satu dari
orang tua menderita talasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat dan 50% thalasemia trait. Bila kedua orang tua talasemia trait maka
kemungkinan 25% anak sehat, 25% anak talasemia mayor dan 50% anak talasemia trait.

g. Bagaimana etiologi G6PD deficiency?


Lebih dari 100 mutasi pada gen G6PD, terlokalisasi Xq28, telah dijelaskan. Kebanyakan mutasi adalah substitusi asam amino yang
mempengaruhi enzim kinetik, stabilitas, atau keduanya, dengan beberapa delesi jarang dan mutasi splicing dijelaskan. Karena ini X-linked, G6PD
defisiensi mempengaruhi pria. Pria hanya memiliki 1 alel G6PD dan hanya mengekspresikan 1 tipe G6PD. Wanita dapat mengekspresikan 1 atau
2 tipe G6PD. Hipotesis Lyon menyatakan bahwa hanya 1 kromosom X aktif pada setiap sel; juga, setiap sel pada wanita heterozigot dapat normal
atau defisiensi. Pada wanita yang heterozigoit untuk defisiensi G6PD, rata-rata aktivitas G6PD mungkin normal atau ringan, sedang, atau
terkurang secara parah, tergantung derajat lyonisasi. Eritrosit defisiensi G6PD pada wanita heterozigot rentan terhadap stress oksidan seperti
defisiensi G6PD pada pria, tetapi secara tipikal, keseluruhan derajat hemolisis kurang dari pria karena populasi lebih kecil sel vulnerable.
h. Bagaimana epidemiologi G6PD deficiency?
G6PD adalah tahap pembatasan inisiasi HMP shunt, dimana mengubah NADP menjadi NADPH. NADPH dibutuhkan untuk menghasilkan
glutation, sebuah kontituen penting dalam pencegahan kerusakan oksidatif terhadap sel. Defisiensi G6PD mungkin mengalami anemia hemolitik
akut setelah paparan stress oksidatif. Walaupun G6PD adalah enzim ubiquitous, sel erythroid rentan terhadap stress oksidatif karena HMP shunt
hanyalah sumber untuk mendapat NADPH.
Ratusan varian G6PD telah dijelaskan, tetapi hanya beberapa yang sering. Varian diklasifikasi berdasarkan karakteristik biokimia; mobilitas
elektroforesis; kemampuan untuk menggunakan analog substrat, Km untuk NADP dan G6PD; profil aktivitas pH; dan stabilitas thermal. Enzim
normal, Gd B , ada sekitar 99% orang Amerika putih dan 70% orang Amerika Afrika. Varian normal, Gd A+ , ditemukan pada 20% orang Amerika
Afrika, memiliki mobilitas elektroforesis lebih cepat daripada Gd B. Gd A–, varian paling sering terkait hemolisis, ditemukan pada 10% orang
Amerika Afrika dan banyak di Afrika. Gd A–  telah menurunkan kemampuan katalitik dibandingkan dengan GdA+. India dan di Asia Tengggara,
dengan prevalensi sekitar 5-50%. Gd Med mengekshibisi penurunan aktivitas katalitik. Gd Canton , varian umum pada populasi Asia, menghasilkan
sindrom klinis mirip GdA–. Aktivitas Gd B menurun sebagaimana sel normal menua, dengan separuh hidup sekitar 60 hari. Selain kadar sangat
rendah atau tidak ada G6PD aktif, eritrosit tua menjaga kemampuan untuk menghasilkan NADPH dan menjaga respon GSH terhadap stress
oksidatif. Varian Gd A– hanya memiliki separuh kehidupan hanya 13 hari, jadi sel muda memiliki jumlah normal aktivitas enzim, tetapi RBC tua
mengalami defisiensi. Karena heterogenitas kadar G6PD, individu dengan varian Gd A–mengalami hanya hemolitis terbatas setalah paparan
oksidan.
i. Bagaimana patogenesis G6PD deficiency?
Lokus genetik untuk G6PD pada manusia dan semua mamalia terletak pada band Xq28-Xq27.3. Hal ini berhubungan erat dengan lokus
untuk buta warna, hemofilia A,diskeratosis bawaan dan buta warna. Gen ini terdiri dari 13 ekson dan 12 intron, yang mencakup hampir 20 kb
total. Mengkode 515 asam amino dan daerah promoter yang kaya GC (lebih dari 70%) (Cappellini,2008). Kelompok-kelompok ini hubungan
sangat stabil dan sama pada semua mamalia. Karena sex-linked ada lima kemungkinan genotip pada populasi di mana lokus G6PD adalah
polimorfik. Frekuensi dari kondisi defisiensi yang lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, karena laki-laki yang ujung-izygous, hanya
perlu satu salinan alel untuk mengekspresikan kondisi defisiensi penuh sedangkan perempuan perlu dua alel (Greene,1993).
Laki-laki defisiensi hemizigot dan perempuan defisiensi homozigot mengekspresikan derajat yang sama defisiensi enzim, sedangkan laki-
laki hemizigot normal dan perempuan homozigot normal juga memiliki tingkat enzim sebanding. Disebabkan karena deaktifasi acak dari satu
kromosom-X selama perkembangan embriologis pada perempuan, perempuan heterozigot benar-benar memiliki dua populasi eritrosit (G6PD
normal dan defisiensi G6PD) dengan berbagai aktivitas G6PD tergantung proporsi dari kedua kelompok eritrosit. aktivitas G6PD perempuan
heterozigot bisa berkisar dari hampir normal hingga mendekati-defisiensi
j. Bagaimana manifestasi klinis G6PD deficiency?
Defisiensi G6PD dibagi menjadi 5 kelas tergantung keparahan klinis dan derajat defisiensi enzim. Kelas 1 berciri dengan CNSHA tanpa
penyebab presipitasi dan defisiensi parah G6PD. Kelas II memiliki ciri hemolisis intermiten dan defisiensi G6PD parah. Kelas III memiliki ciri
hemolisis setelah stress oksidan dan defisiensi G6PD ringan. Kelas II dan III bersama merepresentasikan lebih dari 90% varian G6PD. Kelas IV
dan V secara klinis asimptomatik. Sindrom yang paling signifikan adalah defisiensi G6PD adalah anemia hemolitik akut (AHA); jaundice
neonatus (NNJ); dan jarang, CNSHA.
Anemia hemolitik akut adalah presentasi klinis defisiensi G6PD dengan hemolisis intravaskuler akut setelah terpapar stress oksidan. Stress
oksidatif meliputi ingesti beberapa obat seperti primakuin atau senyawa mengandung sulfa, terpapar naftalena (mothball), ingesti kacang fava,
atau infeksi, merupakan penyebab paling sering hemolisis. Tabel menunjukkan list obat yang harus dihindari pada pasien G6PD. Meliputi
simptom yaitu irritabilitas, demam, mual, nyeri abdomen, dan diare selama 48 jam terpapar oksidan. Hemoglobinuria, jaundice, dan anemia
ensue. Lien dan hati mungkin membesar dan lunak. Kasus dengan anemia parah mungkin menyebabkan gagal jantung kongestif. Penemuan
laboratorium meliputi anemia normokromik, normositik dengan anisositosis dan retikulositosis. Poikilosit dan bite cell mungkin terlihat. Badan
Heinz, penemuan klasik pada defisiensi G6PD, mungkin terlihat tetapi penemuannya inkosisten karena sel yang rusak secara cepat dibersihkan
dari sirkulasi oleh lien. Penemuan laboratorium lain meliputi hemoglobinuria dan adanya Hb bebas dalam darah. 

Signifikansi sindrom defisiensi G6PD adalah NNJ. Jaundice jarang pada saat baru lahir, dengan puncak insiden onset antara hari ke 2 dan 3
kehidupan. Keparahan hiperbilirubinemia bervariasi. Mungkin parah, menyebabkan kernikterus atau bahkan kematian. Pada kebanyakan kasus,
bagaimanapun, hiperbilirubinemia secara adekuat diterapi dengan fototerapi. Pada NNJ, ini penting untuk mencatat bahwa anemia adalah
kerparahan yang sangatjarang. Etiologi NNJ tetap kontroversial. NNJ meningkat pada bayi defisiensi G6PD yang juga membawa polimorfisme
gen uridin difosfoglukoronil transferase (UDPGT1) terkait Sindrom Glibert.
Anemia hemolitik kronis nonsferotik terkait dengan varian yang jarang defisiensi G6PD, biasanya enzim mutan tidak mampu menjaga
produksi basal NADPH. Presentasi mungkin terjadi pada periode neonatus ketika NNJ ditemani anemia pada pria. Derajat anemia kronis pada
CNSHA disebabkan oleh defisiensi G6PD bervariasi. Beberapa pasien sudah mengkompensasi hemolisis, tetapi yang lain membutuhkan transfusi
intermitten. Ketergantungan transfusi terjadi pada kebanyakan kasus paling berat.
k. Bagaimana pola pewarisan G6PD deficiency?
G6PD deficiency termasuk X-linked resesif.
l. Apakah ada hubungan thalassemia dengan G6PD deficiency?
Thalassemia dan G6PD defisiensi adalah penyakit genetik yang sama-sama menyebabkan anemia hemolitik. Pada area dengan frekuensi tinggi
kedua kelainan hematologi ini, coinheritance defisiensi G6PD dengan thalassemia bisa ditemukan. Baik Defisiensi G6PD, berkoinheritansi
dengan thalassemia, meningkatkan anemia parah masih belum jelas.
2. Dongsaeng melakukan pre-marital screening dan counselling sebelum menikah
a. Apa tujuan pre-marital screening?
Pernikahan merupakan upacara sakral yang selalu dinanti-nantikan oleh tiap calon pasangan pengantin. Berbagai persiapanpun disiapkan
guna menyambut momen bahagia itu. Persiapan-persiapan tersebut tidak lepas dari tujuan pernikahan guna membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warahmat yang menjadi idaman tiap pasang pengantin. Guna mewujudkan tujuan mulia tersebut kita perlu mempersiapkan dengan
matang, tidak hanya dari fisik saja, batin/mental serta modal keuangan yang mencukupi juga harus dipersiapkan.
Persiapan Medis merupakan salah satu dari rangkaian persiapan yang perlu dilakukan, hal ini sangat disarankan oleh kalangan medis serta
para penganjur dan konsultan pernikahan. Karena Sebagian besar masyarakat umumnya tidak sepenuhnya mengetahui status kesehatannya secara
detail, apalagi bagi yang tidak melaksanakan general check up rutin tahunan. Seseorang yang terlihat sehat bisa saja sebenarnya adalah silent
carrier/pembawa dari beberapa penyakit infeksi dan hereditas dan saat hamil dapat mempengaruhi janin atau bayi yang dilahirkannya nanti.
Pemeriksaan kesehatan pranikah (premarital check up) adalah sekumpulan pemeriksaan untuk memastikan status kesehatan kedua calon
mempelai laki-laki dan perempuan yang hendak menikah, terutama untuk mendeteksi adanya penyakit menular, menahun, atau diturunkan yang
dapat mempengaruhi kesuburan pasangan maupun kesehatan janin. Dengan melakukan pemeriksaan kesehatan pranikah berarti kita dan pasangan
dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap masalah kesehatan terkait kesuburan dan penyakit yang diturunkan secara genetik.
Masih banyak pasangan di Indonesia yang menganggap bahwa pemeriksaan kesehatan sebelum menikah tidaklah penting. Padahal
pemeriksaan ini sangat diperlukan mengetahui kesehatan reproduksi kedua belah pihak, untuk mengetahui kesiapan masing-masing untuk
mempunyai anak. Selain itu juga sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit terutama penyakit keturunan dan penyakit menular seksual
(PMS), seperti HIV/AIDS.
b. Apa tujuan counselling sebelum menikah?
Konseling genetik merupakan sebuah proses komunikasi yang berhubungan dengan risiko kelainan genetik yang mungkin terjadi dalam
sebuah keluarga, termasuk penjelasan mengenai konsekuensi dan sifat dari kelainan genetik tersebut beserta jalan keluar yang ditawarkan.
Konseling genetik dilakukan oleh seorang konselor genetik, seorang ahli genetika medis dengan gelar master sains yang harus terampil dalam
menerjemahkan bahasa kompleks genom obat ke dalam istilah yang mudah dimengerti. Perlu diketahui bahwa Konseling genetik juga dapat
berarti sebuah usaha untuk membantu mengerti dan beradaptasi dengan pengobatan maupun proses terapi, juga keadaan psikologis pasien dan
keluarga pasien yang disebabkan oleh penyakit genetik. Dalam melakukan konseling genetik, seorang konselor perlu mempertimbangkan aspek
psikologis dan emosi yang terkait dengan diagnosis, memahami berbagai faktor yang berkaitan dengan konseling, membantu keluarga mengatasi
rasa bersalah dan malu, membantu tujuan konseling, serta memahami bisa yang disebabkan oleh konselor.
c. Bagaimana cara melakukan pre-marital screening?
Langkah-langkah melakukan pemeriksaan kesehatan pranikah tak selalu memerlukan biaya besar. Tak perlu langsung ke dokter spesialis,
bisa konsultasi terlebih dahulu ke dokter puskesmas ataupun melalui dokter umum. Biasanya akan dilakukan wawancara singkat tentang riwayat
kesehatan yang bertujuan mengetahui penyakit apa yan pernah diderita, riwayat kesehatan para anggota keluarga (kanker, epilepsi dan diabetes),
juga keadaan lingkungan sekitar dan kebiasaan sehari-hari (merokok, pengguna obat-obatan terlarang).
Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik yang diperlukan untuk mengetahui adanya kelainan fisik seperti tekanan darah, keadaan jantung,
paru-paru dan tanda-tanda fisik dari penyakit seperti anemia, asma, kulit. Barulah jika memang diperlukan dapat dirujuk pemeriksaan ke
laboratatorium. Pemeriksaan kesehatan pranikah sebaiknya meliputi pemeriksaan klinis (fisik) dan laboratorium. Pemeriksaan tersebut lebih
diarahkan untuk penyakit yang dapat menular seperti penyakit menular seksual (PMS), TBC, dan lain-lain.
d. Bagaimana cara counselling sebelum menikah?
Assessment: Mengumpulkan informasi, mencari informasi mengenai keadaan pasien
 Alasan mengikuti konseling genetik, pengetahuan mengenai penyakit yang diderita, diagnosis penyakit, kekhawatiran pasien
 Sejarah kelahiran pasien, sejarah penyakit dan status medis pasien
 Membuat sejarah keluarga pasien dengan merancang pedigree meliputi:
 First degree (anak, saudara, orang tua) dan second degree (kakek, cucu, tante, paman, sepupu)
 Status kehamilan
 Latar belakang suku, etnis
 Kehadiran consanguinity (sedarah)
 Melihat rekam medis tambahan yang terbaru, termasuk pasien dan anggota keluarga yang terkena penyakit
 Meninjau sejarah sosial, edukasi, pekerjaan dan fungsi sosial keluarga
 Meninjau sumber psikososial keluarga (komunitas, agama)
 Mengidentifikasi isu etis potensial, seperti confidentiality (kerahasiaan), insurability (dapat dipertanggungjawabkan), discrimination dan
non-paternity
 Melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien
Evaluasi: Menginterpretasikan hasil-hasil yang telah didapatkan dari proses Assessment
d. Merujuk referensi yang relevan
e. Membandingkan riwayat pasien dengan hasil pengujian untuk merancang diagnosis
f. Mendiskusikan hasil diagnosis
i. Diagnosis definitif: berbagi informasi mengenai kondisi
ii. Diagnosis diferensial: menyarankan tes lebih lanjut atau evaluasi
iii. Diagnosis tak diketahui: mendiskusikan untuk mengetahui diagnosis
Komunikasi: Membicarakan kondisi keluarga saat ini, memberikan pengetahuan dan informasi yang diperlukan pasien, dalam batas kemampuan
pasien untuk mengerti.
d. Meninjau kembali penyakit yang diderita, termasuk:
a. Harapan perkembangan penyakit
b. Intervensi dan tindakan yang memungkinkan
c. Mencari kemungkinan penyebab genetik yang diketahui
e. Menjelaskan risiko penyakit terhadap anggota keluarga dan masyarakat
f. Mendiskusikan pilihan reproduktif, jika memungkinkan. Termasuk:
a. Kehamilan dengan test prenatal
b. Kehamilan tanpa test prenatal
c. Tidak ada kehamilan lagi
d. Adopsi anak
Dukungan terhadap keluarga
e. Meninjau apakah akan ada grief response (respon sedih) yang mungkin membutuhkan dukungan psikososial lebih jauh
f. Merancang strategi untuk pemberitahuan informasi kepada anggota keluarga yang mungkin memiliki risiko yang sama
g. Mengetahui dan mendiskusikan respons keluarga terhadap hasil informasi
h. Memberi rujukan terhadap komunitas yang memiliki kondisi yang sama
Follow up
f. Menyusun follow up tes diagnostik atau menyusun jadwal pertemuan berikutnya
g. Mendokumentasikan hasil konseling sebagai rujukan bagi tenaga kesehatan lainnya dan untuk pasien jika diperlukan
h. Menghubungi pasien untuk mengetahui tingkat pemahaman pasien dan pilihan keputusan
i. Memberi saran kepada pasien untuk mengunjungi klinik untuk mendapatkan informasi
j. Bersiap-siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan kemudian
e. Bagaimana prinsip counselling genetika bagi pasien Thalassemia?
Pada akhirnya, konseling genetik dikatakan berhasil apabila konseling tersebut dapat membantu pasien untuk mengerti sehingga mengambil
keputusan berdasarkan pengetahuan yang benar mengenai penyakit tersebut, dan sesuai dengan norma dan agama yang dianut oleh keluarga
tersebut (sesuai tujuan keluarga) bukan mengurangi jumlah kelahiran dengan kelainan genetik.
3. Berikut adalah hasil pemeriksaan hematologi khusus Dongsaeng dan juga Noona.
Hasil elektroforesa Hb Dongsaeng
Hb A 96.7
Hb A2 2.5
Hb F 0.8
Hb S 0.0
Hb E 0.0
Hasil elektroforesa Hb Noona
Hb A 97.3
Hb A2 2.1
Hb F 0.6
Hb S 0.0
Hb E 0.0
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan elektroforesa Hb Dongsaeng dan Noona?
Interpretasi hasil pemeriksaan elektroforesa normal sesuai dengan indikator.
Nilai normal Hemoglobin:

Hb A1c 0%-5% total

Hb A2, berdasarkan kolom 2%-3% total

Hb F <1% total

Hb Plasma 0%-5% total

Hb Serum 2-3 mg/ml

b. Bagaimana alur pemeriksaan untuk mendiagnosis thalassemia?


Diagnosis thalassemia mungkin membutuhkan pasien dengan gambaran klinis sugestif, perlu atau untuk identifikasi subjek heterozigot
sebagai studi keluarga atau program skrining populasi. Pendekatan umum adalah umum untuk berbagai bentuk thalassemia, tidak terkecuali
presentasi. Evaluasi primer berdasarkan perubahan hematologi; sel darah merah indices dengan electronic cell counter dan morfologi sel darah
merah diamati pada apusan darah cukup untuk mengarahkan investigasi lebih lanjut. Individu dengan mean corpuscular volume di bawah 80 fL
dan mean corpuscular hemoglobin dibawah 27 pg dengan parameter besi normal mungkin perlu diinvestigasi lebih lanjut. Jumlah sel darah merah
biasanya lebih banyak dari normal. Adanya anemia degnan perubahan sel darah merah thalassemia, tahap berikutnya evaluasi fraksi hemoglobin
(HbA, HbA2, HbF atau varian hemoglobin) dengan elektroforesis pada asetat selulosa pada pH alkali atau mungkin lebih baik, dengan
kromatografi high-performance liquid yang mampu memberikan ukuran tepat HbA2, HbF, dan HbA dan indentifikasi provisional jumlah besar
varian hemoglobin, meliputi HbE. Kadar HbA2 di atas 3.5% berkaitan dengan sel darah merah hipokrom mikrositik adalah diagnostik β-
thalassemia minor. Nilai HbA2 antara 3.2-3.5% (borderline) harus diinterpretasi dengan hati-hati karena mereka mungkin bisa terjadi karena lebih
dari 1 defek thalassemia (α and β), mutasi silent β, atau defisiensi besi konkomitan. Jika defisiensi besi ada, harus dikoreksi dan estimasi HbA2
diulang. Kebanyakan individu dengan thalassemic red cell indices dengan HbA2 normal atau rendah dan HbF normal akan menjadi carrier α 0 –
thalassemia atau α + -thalassemia homozigot. Carrier α 0 –thalassemia mungkin memiliki sedikit sel darah merah dengan inklusi HbH. Mikrositosis
dengan kadar HbA2 rendah atau normal dengan peningkatan HbF (2-20%) mengindikasikan heterozigositas untuk δβ-thalassemia. Pasien dengan
HPHF biasanya memiliki sel darah merah normal indices tetapi peningkatan kadar HbF dengan distribusi interseluler berbeda (homogen atau
panseluler dengan pengecualian dari heteroseluler HPHF) dibandingkan dengan δβ-thalassemia (uneven atau heteroseluler)
Metode radioaktif untuk pengukuran sintesis rasio α/β-globin dikenalkan pada pertengahan hingga akhir tahun 1960an, dan diarahkan untuk
diagnosis prenatal pada era pre-DNA. Walaupun memberikan penilaian kuantitatif untuk produksi globin, sekarang kegunaannya sangat terbatas
untuk kasus berat karena interaksi defek rantai globin berbeda. Diagnosis definitif sindrom thalassemia melibatkan identifikasi meliputi mutasi
yang mendasari melalui analisis DNA. Terdapat beberapa metode yang tersedia untuk diagnosis mutasi tertentu, seperti polymerase chain reaction
(PCR) restriction enzyme analysis, PCR allele-specific oligonucleotides, gap PCR, dan direct sequencing yang ada dan mungkin metode paling
mudah dan paling terpercaya. Untuk bentuk delesi α-thalassemia, amplifikasi multiplex ligation-dependent probe baru-baru ini dikenalkan,
metode yang berguna.
Selama penilaian klinis, pasien terkena dengan bentuk berbeda thalassemia mungkin dengan komplikasi karena kelebihan besi, dimana
dibutuhkan untuk mengawasi terapi chelasi besi. Prinsip metode menentukan kadar besi tubuh dengan mengukur kadar serum ferritin dan
penilaian konsentrasi besi hati dari jaringan biopsi hati atau sebagai alternatif metode noninvasif, dengan R2 MRI. Kadar serum ferritin tinggi
(>2500 µg/L) dan kadar besi hati (>15 g/berat kering) mengindikasi risiko tinggi signifikan morbiditas dan mortalitas. Besi jantung bisa diukur
dengan prosedur T2* MRI yang memperbolehkan estimasi beban besi jantung. Nilai MRI T2* di bawah 10 ms selalu terkait dengan kelebihan
besi parah dan risiko tinggi gagal jantung dalam 1 tahun. Nilai MRI T2* di atas 20 ms dikategorikan normal, tidak ada besi di jantung.
Echokardiografi mungkin membantu mengevaluasi perubahan fungsional. Untuk komplikasi lain, meliputi endokrinopati, penyakit hati, penyakit
paru, thrombofilia, dan penyakit tulang, pendekatan diagnostik sama untuk mereka yang digunakan dalam praktik klinis; ini dikerjakan dengan
pertimbangan harga, karakteristik performance, dan preferensi pasien, seperti dijelaskan dalam bab koresponden.
c. Bagaimana pemeriksaan molekuler lain yang harus dilakukan untuk diagnosis thalassemia?
Pemeriksaan Molekuler: PCR
DEFINISI
Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan
oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam
beberapa jam. Dengan diketemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains
dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular.
PRINSIP-PRINSIP UMUM PCR
Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang
mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR;
magnesium klorida (MgCl2) dan enzim polimerase DNA. Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2)
denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada templat (annealing); (4) pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan
(postextension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA.
Tahapan proses PCR dapat dilihat pada gambar 1.
d. Bagaimana permeriksaan laboratorium untuk diagnosis thalassemia?
Hemoglobin
Nilai normal :
Pria : 13 - 18 g/dL SI unit : 8,1 - 11,2 mmol/L
Wanita : 12 - 16 g/dL SI unit : 7,4 – 9,9 mmol/L

Kira-kira telah diidentifikasi 300 jenis hemoglobin yang berbeda dalam kode genetik dan urutan asam amino. Walaupun demikian, hanya
beberapa jenis hemoglobin yang dapat menyebabkan morbilitas dan mortalitas yang bermakna. Abnormalitas pada hemoglobin dapat
diidentifikasi dengan elektroforensis. Berbagai jenis hemoglobin bergerak dangan kecepatan berbeda melintasi kertas atau jeli padi, berdasarkan
muatan listriknya. Hemoglobin dapat diidentifikasi dengan huruf atau letak atau tempat ditemukannya (Anderson,2014).
Hematokrit (Hct)
Nilai normal:
Pria : 40% - 50 % SI unit : 0,4 - 0,5
Wanita : 35% - 45% SI unit : 0.35 - 0,45
Deskripsi:
Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah total.
Mean Corpuscular Volume(MCV) (Volume eritrosit rata – rata)
Perhitungan : MCV (femtoliter) = Hematokrit (vol % x 10) / jumlah eritrosit (juta/mm 3)
Nilai normal : 80 – 100 (fL)
Deskripsi :
MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV menunjukkan ukuran sel darah merah tunggal apakah sebagai Normositik
(ukuran normal), Mikrositik (ukuran kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran kecil >100 fL).
Implikasi klinik :
 Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi, anemia pernisiosa dan talasemia, disebut juga anemia mikrositik.
 Peningkatan nilai MCV terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi antimetabolik, kekurangan folat/vitamin B12, dan terapi valproat,
disebut juga anemia makrositik.
 Pada anemia sel sabit, nilai MCV diragukan karena bentuk eritrosit yang abnormal.
 MCV adalah nilai yang terukur karenanya memungkinkan adanya variasi berupa mikrositik dan makrositik walaupun nilai MCV tetap
normal.
 MCV pada umumnya meningkat pada pengobatan Zidovudin (AZT) dan sering digunakan sebagai pengukur kepatuhan secara tidak
langsung.
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration(MCHC) (Konsentrasi Hemoglobin ertirosit rata – rata)

Perhitungan : MCHC = hemoglobin (g/dl x 100) /hematokrit (vol %)

Nilai normal : 32 – 36 g/dL

Deskripsi:

Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam sel darah merah; semakin kecil sel, semakin tinggi konsentrasinya. Perhitungan MCHC
tergantung pada Hb dan Hct. Indeks ini adalah indeks Hb darah yang lebih baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC, hal ini tidak
berlaku pada MCH.

Implikasi Klinik:

 MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik, anemia karena piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik.
 MCHC meningkat pada sferositosis, bukan anemia pernisiosa.

Mean Corpuscular Hemoglobin(MCH) (Hemoglobin eritrosit rata – rata)

Perhitungan : MCH (picogram/sel) = hemoglobin (g/dl x 10) /jumlah eritrosit (juta/mm3)

Nilai normal : 28– 34 pg/ sel

Deskripsi:
Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel darah merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna
(normokromik, hipokromik, hiperkromik) sel darah merah. MCH dapat digunakan untuk mendiagnosa anemia.

Implikasi Klinik:

 Peningkatan MCH mengindikasikan anemia makrositik


 Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik.
(Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, 2011)

e. Apakah sewaktu-waktu orang yang normal dapat terkena thalassemia?


Iya dapat terjadi thalassemia namun hanya pada yang minor, biasanya pada ibu hamil akan mengalami gejala anemia ringan. Biasanya onset
terkena talasemia adalah saat baru lahir sudah mengalami thalassemia. Akan tetapi ada yang bersifat minor sehingga gejala klinis tampak
asimtomatik, namun dalam beberapa insiden seperti ibu hamil bisa menglami anemia ringan pada trait talasemia minor.

DAFTAR PUSTAKA
Cappellini,M.D. and Fiorelli,G.. 2008. Glucosa-6-Phosphate Dehidrogenase Deficiency. Lancet 371: 64-74.

Greene,L.S..1993. G6PD Deficiency as Protection Against falciparumMalaria: An Epidemiologic Critique of Population andExperimental Studies . Yearbook Of
Physical Anthropology 36:153—178.

Murray, Robert K. 2014. Biokimia Harper. Jakarta: EGC.

http://aulanni.lecture.ub.ac.id/files/2012/04/G6PD1.pdf

Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia.

Anderson, Sylivia Price dan Lorraine McCarty Wilson. 2014. Patofisiologi. Edisi 6.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Anda mungkin juga menyukai