Anda di halaman 1dari 18

Wayang Kulit Palembang Sebagai Media

Pembelajaran Dalam Penanaman Akhlak Budi


Pekerti
Pada Anak di Sekolah Dasar

Disusun Oleh:
Anggun Diah Ayu Ning Tias
(2020143536)

Kelas : 5N
Mata Kuliah : Pedagogik
Dosen Pengampu: Robert Budi Laksana, S.S, M.Sn

Pendidikan Guru Sekolah Dasar


Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas PGRI
Palembang
Wayang Kulit Palembang Sebagai Media
Pembelajaran Dalam Penanaman Akhlak Budi
Pekerti
Pada Anak Sekolah Dasar

Anggun Diah Ayu Ning Tias


Program Studi Pendidikan Guru Sekolah
Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas PGRI Palembang
anggundiah28@gmail.com

ABSTRAK

Wayang kulit sebagai karya seni mengandung nilai-nilai budaya yang universal.
Hal tersebut dikarenakan wayang kulit berbicara tentang kehidupan manusia pada
umumnya. Wayang kulit adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang
pesat di Pulau Jawa dan Bali. Wayang kulit juga berkembang di beberapa daerah
seperti di Sumatera, di antaranya wayang Palembang. Wayang Palembang merupakan
salah satu bentuk kesenian tradisional yang memiliki fungsi sebagai hiburan maupun
untuk ruwatan. Dalam perkembangannya di Jawa, wayang kulit pernah dijadikan
sebagai media untuk berdakwah oleh para Wali Songo dengan tujuan agar ajaran Islam
dapat mudah diterima oleh masyarakat setempat.

Kata Kunci : Wayang Palembang, Budi Pekerti, Pedagogik

A. Pendahuluan

Kesenian tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang tak ternilai


harganya dan perlu dipelihara serta dilestarikan. Wayang kulit merupakan salah satu
bentuk kesenian tradisional di Indonesia, yakni sebuah seni pertunjukan yang
menggunakan media tiruan orang (boneka) yang terbuat dari kulit.Wayang kulit
sebagai karya seni mengandung nilai-nilai budaya yang universal. Hal tersebut
dikarenakan wayang kulit berbicara tentang kehidupan manusia pada umumnya.
Wayang kulit adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau
Jawa dan Bali . Wayang kulit juga berkembang di beberapa daerah seperti di Sumatera,
di antaranya wayang Palembang.

Wayang Palembang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional yang


memiliki fungsi sebagai hiburan maupun untuk ruwatan. Dalam perkembangannya di
Jawa, wayang kulit pernah dijadikan sebagai media untuk berdakwah oleh para Wali
Songo dengan tujuan agar ajaran Islam dapat mudah diterima oleh masyarakat
setempat.
Pertunjukan wayang Palembang tidak jauh berbeda dengan wayang lain.
Wayang Palembang punya tokoh-tokoh pewayangan yang sama dengan wayang Jawa,
cerita wayang merupakan lakon yang disadur dari kisah Ramayana dan Mahabrata dari
India. Khasnya, wayang Palembang terkesan jauh dari sumber aslinya, tetapi ketika
diikuti, lakon atau motif ceritanya tetap saja sama dengan wayang Jawa. Wayang
Palembang diiringi oleh seperangkat gamelan berlaras pelog dengan caturan atau
gendhing yang memiliki bentuk dan harmoni yang telah diolah sesuai budaya
Palembang.

Wayang kulit termasuk kategori kesenian berupa pertunjukan bayangan yang


dihasilkan oleh boneka. Wayang kulit memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang
merupakan kekayaan luhur asli asal Indonesia. Tidak heran UNESCO (United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization) yang merupakan sebuah lembaga
yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang
kulit sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia dan merupakan
sebuah warisan dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur.

Wayang Palembang dikembangkan dan diwariskan turun temurun secara


terbatas di lingkungan keluarga, terutama oleh nenek moyang dari Dalang Kgs Rusdi
Rasyid. Adapun perbedaan antara wayang Jawa dengan wayang Palembang dapat
dilihat dari penggunaan bahasa. Wayang Palembang dimainkan dengan menggunakan
bahasa Melayu Palembang, yang merupakan bahasa asli Palembang dan memiliki
kemiripan dengan bahasa Jawa serta perilaku tokoh-tokohnya lebih bebas.

Dahulu seorang dalang menggunakan bahasa halus, tetapi pada masa kini telah
dicampur dengan menggunakan bahasa Palembang yang umum digunakan sehari-hari.
Sementara itu, wayang Purwa menggunakan bahasa Jawa dan perwatakan tokohnya
menggunakan aturan-aturan klasik yang harus diikuti, warna yang dimiliki wayang
Palembang kuning tembaga, bukan seperti di wayang Jawa yang berwarna keemasan.

Pertunjukan kesenian tradisional wayang Palembang hanya dilakukan selama


kurang lebih 1 hingga 3 jam, sementara wayang Jawa bisa memiliki durasi hingga
semalam suntuk. Musik pengiring wayang Palembang berbeda dengan bunyi-bunyi
yang dikeluarkan gamelan Jawa. Pukulannya bergerak berbeda dengan gamelan Jawa.

Wayang Palembang tidak melibatkan penyanyi sinden (penyanyi tradisional)


saat pementasan. Tokoh dalam pewayangan Palembang mendapat gelar sesuai nama
daerah seperti Wak (paman dalam bahasa Indonesia) atau Raden, contohnya, Gareng
dipanggil Wak. Sementara tokoh Bagong dalam cerita Mahabarata ditiadakan
dalam wayang Palembang. Tokoh khas Palembang lainnya, adanya tokoh Bambang Tuk
Seno, anaknya dari Arjuna.

Wayang Palembang mengalami kemunduran mulai dari tahun 1930. Pada tahun
1978, Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Sumatera Selatan (Sumsel) berusaha
membangunkan dan menampilkan kembali kesenian tradisional wayang Palembang
yang kondisinya sangat memprihatinkan dengan cara membentuk organisasi seni
wayang yang bernama “Sri Palembang”. Sri Palembang diketuai oleh Kgs Abdul Rasyid
Bin Abdul Roni (dalang wayang Palembang yang terkenal pada era 1960-an) pada saat
itu.

Kiprah pertama organisasi Sri Palembang adalah mengikuti Pekan Wayang


Indonesia III di Teater Tertutup TIM pada tahun 1978 dengan menggelar lakon
Bambang Tukseno. Setelah mengikuti Pekan Wayang Indonesia di Jakarta, pagelaran
kesenian tradisional wayang Palembang rutin disiarkan sebulan sekali di RRI
Palembang dengan dalang H. Ahmad Sukri Ahkab (yang bekerja sebagai penyiar RRI
Palembang).

Pada tahun 1983, putera dari Kgs Abdul Rasyid Bin Abdul Roni, Kgs Rusdi Rasyid
menampilkan kembali kesenian tradisional wayang Palembang pada Pekan Wayang
Nasional IV. Pasca tahun 1983 nyaris tidak ada lagi kegiatan seni pedalangan wayang
Palembang. Pada tahun 1988 kesenian tradisional wayang Palembang tampil lagi
dalam rangka promosi wisata daerah Sumatera Selatan.

Kini eksistensi wayang Palembang telah mengalami krisis dan tidak sempurna,
tetapi masih belum mati dan masih ada wujudnya. Upaya untuk menghidupkan kembali
wayang Palembang butuh kerja keras dan perjuangan yang panjang. Tantangan yang
terbesar adalah meninggalnya dalang-dalang senior yang belum sempat mewariskan
wayang Palembang sepenuhnya ke generasi berikutnya.

Pada masa kejayaannya, banyak dalang wayang Palembang yang terkenal,


seperti Dalang Lot, Dalang Jan, Dalang Abas, Dalang Abdul Rahim Dalang Agus dan
Dalang Ali. Wayang-wayang Palembang yang tersisa banyak yang sudah lapuk dimakan
usia dan banyak peralatan wayang yang tercecer dan hilang. Pada akhirnya di tahun
1985, pemerintah kota (pemkot) Palembang menduplikasi 20 tokoh wayang
Palembang yang telah rusak. Namun, pada tahun 1986, duplikasi 20 tokoh wayang
Palembang mengalami nasib tragis, seluruhnya habis terbakar.
Pada tahun 2004, Kgs Wirawan Rusdi yang merupakan putra pertama Kgs Rusdi
Rasyid, cucu dari Kgs A Rasyid Bin Abdul Roni sebagai ahli waris, sekaligus sebagai
salah satu penyelamat kesenian tradisional wayang Palembang, mendapat sumbangan
dari UNESCO berupa seperangkat wayang Palembang. Wayang ini merupakan hasil
duplikasi wayang Palembang yang berada di Museum Wayang Indonesia. Kehadiran
Kgs Wirawan Rusdi telah menemukan kembali keberadaan wayang Palembang yang
telah lama hilang. Dengan adanya wujud wayang Palembang, Sumsel dapat mengikuti
Festival Wayang Kulit se-Indonesia di Jakarta pada tahun 2012.

Salah seorang budayawan Palembang, Johan Hanafiah menilai bahwa kesenian


tradisional wayang Palembang merupakan kebudayaan yang memiliki karakter khas
dibanding dengan wayang kulit purwa asal Jawa. Seiring perkembangan zaman,
wayang Palembang saat ini mengalami kondisi yang kritis, semakin terpinggirkan dan
menuju kepunahan. Selain Kgs Wirawan Rusdi saat ini tidak ada generasi penerus yang
menguasai wayang Palembang.

Dengan masuknya budaya asing ke Palembang, dampak bagi generasi muda


Palembang di antaranya adalah tidak lagi mengenali, bahkan tidak menyukai lagi
wayang Palembang karena dinilai tidak memiliki daya jual yang menarik. Wayang
Palembang dianggap kuno oleh generasi muda Palembang. Masyarakat umum pun
menganggap menggelar wayang lebih merepotkan, sedikit sekali masyarakat yang
mengapresiasi wayang Palembang.

Pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan perlu memiliki agenda konkret


untuk melestarikan kesenian tradisional seperti wayang Palembang. Harapan kita
adalah nantinya pegiat seni dan budaya Palembang dapat untuk bekerjasama dengan
pemerintah daerah atau pihak ketiga untuk menumbuhkan kepedulian terhadap
wayang Palembang dengan cara mengadakan berbagai kegiatan pelatihan, pertunjukan
dan lomba kesenian tradisional wayang Palembang.

Salah satu upaya yang patut diapresiasi adalah yang dilakukan oleh R. Dalyono
(budayawan Palembang) yang saat ini sedang berusana untuk mewujudkan mimpinya
menghidupkan kembali wayang Palembang. Bantuan yang diperoleh dari UNESCO
berupa seperangkat wayang Palembang merupakan salah satu hasil bentuk dari usaha
beliau. Mari kita bersama selamatkan kesenian tradisional wayang Palembang, jangan
sampai sisa-sisa wayang hanya tersimpan dalam peti semata- mata sebagai warisan
leluhur dan bukti sejarah wayang di Palembang hingga menjadi kusam, kotor, rusak
dan punah.

Kita tunggu saja kembalinya suara aksi ‘sabetan’ yang dilakukan oleh dalang-
dalang wayang Palembang dalam memainkan wayangnya bersama dengan lakon-
lakon wayang Palembang seperti Bambang Tuk Seno, Prabu Indropura, Bambang
Gandawijaya, Pandawa Lebur, Petruk Mungga Ratu, Arjuno Duo dan Semar Kembar.
Lakon Bambang Tuk Seno sendiri merupakan asli cerita dalam wayang Palembang dan
tidak ditemukan di wayang Jawa.

B. Kajian Teori dan Prosedur Penelitian


1. Kajian Teori
a. Wayang Palembang

Wayang Palembang merupakan salah satu bentuk kesenian


tradisional yang memiliki fungsi sebagai hiburan maupun untuk ruwatan.
Dalam perkembangannya di Jawa, wayang kulit pernah dijadikan sebagai
media untuk berdakwah oleh para Wali Songo dengan tujuan agar ajaran
Islam dapat mudah diterima oleh masyarakat setempat.

Pertunjukan wayang Palembang tidak jauh berbeda dengan


wayang lain. Wayang Palembang punya tokoh-tokoh pewayangan yang
sama dengan wayang Jawa, cerita wayang merupakan lakon yang
disadur dari kisah Ramayana dan Mahabrata dari India. Khasnya, wayang
Palembang terkesan jauh dari sumber aslinya, tetapi ketika diikuti, lakon
atau motif ceritanya tetap saja sama dengan wayang Jawa. Wayang
Palembang diiringi oleh seperangkat gamelan berlaras pelog dengan
caturan atau gendhing yang memiliki bentuk dan harmoni yang telah
diolah sesuai budaya Palembang.

Wayang kulit termasuk kategori kesenian berupa pertunjukan


bayangan yang dihasilkan oleh boneka. Wayang kulit memiliki gaya tutur
dan keunikan tersendiri, yang merupakan kekayaan luhur asli asal
Indonesia. Tidak heran UNESCO (United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization) yang merupakan sebuah lembaga yang
membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan
wayang kulit sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari
Indonesia dan merupakan sebuah warisan dunia yang tak ternilai dalam
seni bertutur.

Wayang Palembang dikembangkan dan diwariskan turun temurun


secara terbatas di lingkungan keluarga, terutama oleh nenek moyang dari
Dalang Kgs Rusdi Rasyid. Adapun perbedaan antara wayang Jawa
dengan wayang Palembang dapat dilihat dari penggunaan bahasa.
Wayang Palembang dimainkan dengan menggunakan bahasa Melayu
Palembang, yang merupakan bahasa asli Palembang dan memiliki
kemiripan dengan bahasa Jawa serta perilaku tokoh-tokohnya lebih
bebas.

Dahulu seorang dalang menggunakan bahasa halus, tetapi pada


masa kini telah dicampur dengan menggunakan bahasa Palembang
yang umum digunakan sehari-hari. Sementara itu, wayang Purwa
menggunakan bahasa Jawa dan perwatakan tokohnya menggunakan
aturan-aturan klasik yang harus diikuti, warna yang dimiliki wayang
Palembang kuning tembaga, bukan seperti di wayang Jawa yang
berwarna keemasan.

Pertunjukan kesenian tradisional wayang Palembang hanya


dilakukan selama kurang lebih 1 hingga 3 jam, sementara wayang Jawa
bisa memiliki durasi hingga semalam suntuk. Musik pengiring wayang
Palembang berbeda dengan bunyi-bunyi yang dikeluarkan gamelan Jawa.
Pukulannya bergerak berbeda dengan gamelan Jawa.

Wayang Palembang tidak melibatkan penyanyi sinden (penyanyi


tradisional) saat pementasan. Tokoh dalam pewayangan Palembang
mendapat gelar sesuai nama daerah seperti Wak (paman dalam bahasa
Indonesia) atau Raden, contohnya, Gareng dipanggil Wak. Sementara
tokoh Bagong dalam cerita Mahabarata ditiadakan dalam wayang
Palembang. Tokoh khas Palembang lainnya, adanya tokoh Bambang Tuk
Seno, anaknya dari Arjuna.

Wayang Palembang mengalami kemunduran mulai dari tahun


1930. Pada tahun 1978, Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI)
Sumatera Selatan (Sumsel) berusaha membangunkan dan menampilkan
kembali kesenian tradisional wayang Palembang yang kondisinya sangat
memprihatinkan dengan cara membentuk organisasi seni wayang yang
bernama “Sri Palembang”. Sri Palembang diketuai oleh Kgs Abdul Rasyid
Bin Abdul Roni (dalang wayang Palembang yang terkenal pada era 1960-
an) pada saat itu.

b. Budi Pekerti

Pengertian Budi Pekerti ditinjau secara Etimology, Terminology


dan Para Ahli.Secara Etimology. Istilah budi pekerti, merupakan
gabungan dari 2 kata yakni budi dan pekerti. Kata budi memiliki makna
sadar, nalar, pikiran dan watak. Kata pekertimemiliki makna perilaku,
perangai, tabiat, perbuatan dan watak.

Secara Terminology. Budi pekerti ialah nilai-nilai perilaku manusia


yang diukur menurut kebaikan dan keburukan-nya. Yaitu melalui ukuran
norma agama, norma hukum, tata krama, sopan santun atau norma
budaya atau adat istiadat suatu masyarakat atau bangsa. Menurut Para
Ahli. Para ahli diantaranya: Ki Sugeng Subagya, Haidar, Ensiklopedia
Pendidikan dan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional adalah
sebagai berikut:
Menurut Ki Sugeng Subagya (2010). Budi pekerti ialah perbuatan
yang dibimbing oleh pikiran, perbuatan yang merupakan realisasi dari isi
pikiran atau perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran.

Menurut Haidar (2004). Budi pekerti ialah usaha sadar yang


dilakukan dalam rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-
nilai moral ke dalam sikap dan prilaku peserta didik, agar memiliki sikap
dan prilaku yang luhur “ber-akhlakul karimah” dalam kehidupan sehari-
hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia
maupun dengan alam/lingkungan.

Menurut Ensiklopedia Pendidikan. Budi pekerti ialah kesusilaan


yang mencakup segi-segi kejiwaan dan perbuatan manusia, sedangkan
kesusilaan ialah manusia yang sikap lahiriyah dan batiniyahnya sesuai
dengan norma etik dan moral.

Menurut Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1997). Budi


pekerti ialah sikap dan perilaku sehari-hari, baik individu, keluarga,
masyarakat, maupun bangsa yang mengandung nilai-nilai yang berlaku
dan dianut dalam bentuk jati diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas
dan berkesinambungan kemasa depan dalam suatu sistem moral dan
menjadi pedoman prilaku manusia Indonesia untuk bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, dengan bersumber pada falsafah Pancasila
dan diilhami oleh ajaran agama serta budaya Indonesia.

Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Yaitu


suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia. Dari Akhlak lahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melalui proses pemikiran,
pertimbangan atau penelitian. Keadaan tersebut melahirkan perbuatan
yang baik dan terpuji, menurut pandangan akal dan syara’, maka disebut
ber-akhlak baik. Sebaliknya, jika yang timbul adalah perbuatan yang tidak
baik, tidak terpuji, maka disebut ber-akhlak buruk.

Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq atau al-
khulq, secara etimologis berarti: (1) tabiat, budi pekerti, (2) kebiasaan
atau adat, (3) keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, (4) agama, dan (5)
kemarahan (al-gadab). Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang
melekat di dalam jiwa, ditampilkan dalam bentuk mimik dan gerak gerik
(perbuatan), maka suatu perbuatan tersebut disebut berakhlak bila
memenuhi beberapa syarat, yaitu:

(1) Perbuatan itu dilakukan secara berulang-ulang. Bila dilakukan


sesekali saja, maka tidak dapat disebut akhlak.
(2) Perbuatan itu timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau
diteliti lebih dulu, sehingga benar-benar telah menjadi suatu kebiasaan.

c. Pedagogik

Pedagogik merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki


guru dan dosen sebagai modal utama dalam menjalankan profesinya.
Mudahnya, konsep dasar pedagogi atau pedagogic terkadang disebut
pedagogika pula merupakan pengetahuan dan kemampuan untuk
mendidik dan menyelenggarakan pembelajaran.

Definisi pedagogik telah tertuang dalam undang-undang No.14


tahun 2005 tentang guru dan dosen yang mengemukakan bahwa
kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik”. Secara yuridis definisi pedagogi tampaklah cukup jelas
dan singkat. Namun, mengelola pembelajaran itu sangatlah kompleks
dan tidak mengenai kegiatan pengajaran dan belajar semata.

Menurut Payong (2011, hlm. 28-20) pedagogi berarti segala usaha


yang dilakukan oleh pendidik untuk membimbing anak muda menjadi
manusia yang dewasa dan matang. Di sini tampak jelas bahwa ternyata
pedagogik justru lebih mengutamakan pembimbingan karakter anak
untuk menjadi lebih dewasa.

Istilah pedagogik (bahasa Inggris: pedagogy) berasal dari dua kata


dalam bahasa Yunani kuno, yaitu paedos yang berarti “anak” dan agogos
yang berarti “mengantar”, “membimbing” atau “memimpin”.

Dari dua kata tersebut terbentuk beberapa istilah yang masing-


masing memiliki arti tertentu. Istilah-istilah yang dimaksud yakni
paedagogos, pedagogos (paedagoog atau pedagogue), paedagogia,
pedagogi (paedagogie), dan paedagogik yang berarti membimbing anak
-anak. Pedagogik juga dapat digunakan secara spesifik untuk target anak
atau yang lebih muda dari pendidik. Karena terdapat pendekatan lain
yakni andragogik sebagai pendekatan pendidikan terhadap sejawat atau
bahkan yang lebih berumur dari pendidiknya sendiri.

Menurut Langeveld (dalam Kurniasih, 2017, hlm. 8) pendidikan


dalam arti yang hakiki ialah proses pemberian bimbingan dan bantuan
rohani kepada orang yang belum dewasa dan mendidik adalah tindakan
dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan
sendiri berarti memberikan perubahan (transformative) agar peserta
didik dapat memaksimalkan potensi diri baik secara kognitif maupun
karakter.

Di sinilah titik di mana pengelolaan pendidikan menjadi hal yang


tidak sesederhana itu. Sehingga kompetensi pedagogi tidak hanya
melibatkan keprofesionalan guru dalam menyelenggarakan kegiatan
pendidikan saja. Akan tetapi, seorang guru harus ikut terlibat pula dalam
pembangunan mental, karakter, dan perilaku dari peserta didik itu sendiri.

Seperti yang diungkapkan Sadulloh (2018, hlm. 1-2) bahwa


pedagogik adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke
arah tujuan tertentu agar mampu mandiri untuk menyelesaikan masalah
dalam hidupnya atau dalam kata lain mengembangkan kepribadiannya
sebagai salah satu tugas besar guru selain menyampaikan dan
mentransformasikan pengetahuan dalam pembelajaran. Sehingga dapat
diartikan bahwa membimbing anak didik layaknya seperti orangtuanya
sendiri merupakan salah satu kemampuan yang dibutuhkan oleh seorang
guru. Membimbing dan mendidik di sini bukan berarti guru harus
menggurui anak didiknya. Justru pendekatan pembelajaran sekarang
lebih menengahkan murid sebagai pusat utama dalam pembelajaran,
termasuk dalam ranah pedagogis. Artinya, kini guru membiarkan anaknya
untuk mengkesplorasi sesuatu, namun tetap menjaga, memperhatikan,
dan membimbingnya dari belakang.

Selain itu, pendekatan pedagogi hari ini lebih fokus terhadap


bagaimana cara untuk menyampaikan berbagai bimbingan tersebut lewat
berbagai aktivitas yang lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan
hanya sekedar ceramah atau menasihati. Hal ini karena dalam masalah
kepribadian yang menyangkut perilaku, omongan semata terkadang tidak
akan cukup. Apalagi jika anak didik telah memiliki keterbatasan sendiri di
rumahnya; tidak semua anak memiliki keluarga yang ideal.

Dapat disimpulkan bahwa pedagogik adalah segala usaha yang


dilakukan oleh pendidik untuk membimbing peserta didik yang lebih
muda untuk memaksimalkan potensi diri baik secara kognitif atau
kemampuan nalar dan ilmu pengetahuan, maupun dari sisi karakter agar
menjadi pribadi yang lebih baik. Usaha tersebut termasuk pengelolaan
pembelajaran, bahasa atau cara menyampaikan materi supaya mudah
dipahami dan diserap oleh peserta didik, penguasaan kelas, dan
sebagainya.
2. Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengkajian Pedagogik, dimana seni


wayang kulit palembang di jadikan media pembelajaran dalam
penanaman akhlak budi pekerti pada anak Sekolah Dasar , dengan
menumbuhkan rasa keingintahuan yang tinggi , juga melalui metode
ceramah yang di sampaikan saat wayang di mainkan dengan isi
pembelajaran akhlak budi pekerti.

C. Pembahasan

Wayang adalah seni pertunjukan asli Indonesia yang berkembang


pesat di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan ini juga populer di beberapa
daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malayayang juga memiliki
beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan
Hindu.UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7
November2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan
boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang
tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible
Heritage of Humanity).

Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia


karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan boneka.
Namun pertunjukan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki
gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari
Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar
Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia pada tahun 2003.

Tak ada bukti yang menunjukkan wayang telah ada sebelum


agama Hindu menyebar di Asia Selatan. Diperkirakan seni pertunjukan
dibawa masuk oleh pedagang India. Namun, kejeniusan lokal dan
kebudayaan yang ada sebelum masuknya Hindu menyatu dengan
perkembangan seni pertunjukan yang masuk Sampai saat ini, catatan
awal yang bisa didapat tentang pertunjukan wayang berasal dari Prasasti
Balitung di Abad ke 4 yang berbunyi si Galigi mawayang. Ketika agama
Hindu masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan yang sudah
ada, seni pertunjukan ini menjadi media efektif menyebarkan agama
Hindu. Pertunjukan wayang menggunakan cerita Ramayana dan
Mahabharata.Demikian juga saat masuknya Islam, ketika pertunjukan
yang menampilkan “Tuhan” atau “Dewa” dalam wujud manusia dilarang,
munculah boneka wayang yang terbuat dari kulit sapi, dimana saat
pertunjukan yang ditonton hanyalah bayangannya saja. Wayang inilah
yang sekarang kita kenal sebagai wayang kulit. Untuk menyebarkan
Islam, berkembang juga wayang Sadat yang memperkenalkan nilai-nilai
Islam. Kesenian tradisional wayang kulit Palembang, Sumatera Selatan,
sekarang ini sudah punah karena tidak ada lagi generasi baru yang
meneruskannya. Para dalang tua yang menguasai wayang dengan dialog
berbahasa khas Melayu Palembang itu sudah tiada lagi.

Sementara pemerintah dan lembaga kebudayaan tidak memiliki


agenda konkret untuk melestarikan kekayaan tradisi itu.Wayang
Palembang, yang diperkirakan tumbuh sejak pertengahan abad ke-19
Masehi, memiliki bentuk fisik dan sumber cerita yang sama dengan
wayang purwa dari Jawa. Bedanya, wayang Palembang dimainkan
dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang, dan perilaku tokoh-
tokohnya lebih bebas. Adapun wayang purwa menggunakan bahasa
Jawa dan perwatakan tokohnya ketat dengan pakem-pakem klasik
budaya-budaya luar membuat generasi penerus tak mengenali dan tak
menyukai budaya leluhur. Termasuk diantaranya, wayang Palembang
yang kini telah semakin terpinggir dan mulai punah tergeser oleh
dominasi seni pop modern yang dinilai lebih menghibur. Berbagai hajatan
rakyat, yang puluhan tahun lalu menjadi ruang pagelaran wayang
Palembang, kini telah disergap pertunjukan organ tunggal yang marak di
manamanamemberi warna tersendiri pada seni pertunjukan di Indonesia.

Wayang Palembang sebenarnya kebudayaan yang memiliki


karakter khas dibanding dengan wayang kulit purwa asal Jawa. Namun
sayang, wayang Palembang sudah kehilangan generasi penerus karena
dalang terakhir wayang Palembang dengan menggunakan dialog bahasa
Melayu.

Muatan Pendidikan Karakter dalam Pementasan Wayang


Palembang Karakter dapat dipahami sebagai sifat dasar, kepribadian,
perilaku atau tingkah laku, dan kebiasaan yang berpola (Suriani, 2011 :
23). Pemerintah Republik Indonesia (2010 : 10) dalam Kebijakan
Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010 – 2025
mendefinisikan karakter yaitu nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai
kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak
baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan
dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir,
olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa
seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan,
kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan
tantangan. Dennis Coon dalam Introduction To Psychologi; Exploration
and Aplication mendefinisikan Karakter sebagai suatu penilaian subyektif
terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut
kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Karakter menurut bahasa adalah sifat dasar, kepribadian, perilaku atau
tingkah laku dan kebiasaan yang berpola.

Menurut pandangan lain karakter berbeda dengan kepribadian.


Kepribadian adalah pemberian Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta
yang di dapat oleh manusia sejak lahir. Kepribadian tidaklah tetap, dan
juga memiliki kelemahan dan kelebihannya pada kehidupan sosial.
Karakter juga diartikan sebagai pembelajaran manusia pada saat
mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta menimbulkan
kebiasaan positif yang baru. Karakter mampu merubah kepribadian
seseorang melalui pembelajaran yang terarah dan terorganisir, dan juga
didasarkan pada kesadaran diri seseorang.

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran


pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan
norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan,
dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata
dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu


penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui
pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilainilai karakter dan akhlak
mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Melalui program ini diharapkan setiap lulusan memiliki keimanan


dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu,
sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan
budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter
nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.

Menurut Hasan (2010:7) berdasarkan keempat sumber nilai itu,


teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter
bangsa sebagai berikut ini :

1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan


ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya


sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan.

3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan


agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh


pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-


sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajardan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan


cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada


orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai


sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar.

10. Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan


berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik
bangsa.

12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong


dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat/ Komunikti Tindakan yang memperlihatkan rasa


senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang


menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran
dirinya.

15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk


membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya


mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi.

17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk


melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

D. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk


memajukan bangsa kita perlu bekerja sama dan memupuk kembali karakter bangsa
yang merupakan ciri khas dari bangsa ini. Intinya adalah karakter manusia Indonesia
yang unggul. Pentingnya Pendidikan Karakter Manusia Indonesia bukan saja
menciptakan peserta didik yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi atau karya
cipta yang dihasilkan, sikap yang senantiasa menjadi penurut dan manut terhadap
semua anjuran dan ajakan saja. Melainkan lebih dari itu pendidikan yang elegan akan
mengutamakan aspek nilai dan moral yang sesuai dengan tuntunan Tuhan Yang Maha
Esa guna mendukung terciptanya pribadi yang handal dan mantap dalam setiap
mengambil keputusan dan bersikap, baik dalam kehidupan pribadi, sosial,
bermasyarakat dan berbangsa. Wayang Palembang, sebagai salah satu kesenian
daerah yang terlupakan oleh warganya sendiri, menjadi medium penanaman
nilai-nilai pendidikan karakter bagi semua orang. Guru dan siswa tersentuh secara
mendasar dari muatan pesan yang disampaikan dalam setiap pementasannya.

Kekurang cintaan warga Palembang, termasuk ketidaktahuan mereka terhadap


kesenian wayang Palembang ini, menjadi pekerjaan rumah bagi pegiat seni wayang
dan pemerintah daerah, khususnya dinas pendidikan pemuda dan olahraga untuk mulai
melirik wayang Palembang sebagai salah satu sarana penguatan pendidikan karakter.
Pembentukan Karakter yang diharapkan menjadi tiga bagian yang terkait , yaitu
pengetahuan tentang moral, perasaan, dan berperilaku bermoral. Karakter yang baik
akan mengetahui kebaikan, mencintai dan menginginkan kebaikan, dan yang paling
penting adalah melakukan kebaikan. Sehingga keberhasilan Pendidikan karakter
sebagai perwujudan lahirnya manusia – manusia yang bermartabat dengan terbentuk
keagungan peradaban bangsa. Nilai-nilai yang diharapkan tumbuh dalam karakter
bangsa Indonesia adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan tanggung jawab.
Daftar Pustaka

http://majalah1000guru.net/2017/05/wayang-palembang/

https://serupa.id/pedagogik-pengertian-kompetensi-manfaat-
fungsi- tujuan/

https://jurnal.univpgri-
palembang.ac.id/index.php/prosiding/article/view/1215/1077

http://palembangbari.blogdetik.com/2009/03/

Anda mungkin juga menyukai