Anda di halaman 1dari 33

Praktek Penerapan Pengembangan Ekonomi Lokal saat Menghadapi

Pandemi COVID – 19 dan ERA Digital. Studi Kasus Kecamatan Pontianak


Utara Kota Pontianak
JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

Pengembangan Prasarana Wilayah dan Perkotaan dosen pengampu Dr.Ir.Agus Rachmat, MT

Oleh :

NUR MUHAMMAD FIRDAUS PRATAMA, S.Pd

NPM 2212201001 ( MT18 )

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK SIPIL

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SANGGA BUANA YPKP

2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................................................ 1
1.3 Sistematika Penulisan ................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................... 3
2.1 Defenisi dan Tujuan Ekonomi Lokal .......................................................................................... 3
2.2 Aspek Utama Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) .................................................................. 4
2.3 Prinsip Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) ............................................................................ 6
2.4 Tahapan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) ......................................................................... 6
2.4.1 Tahap I : Persiapan .............................................................................................................. 6
2.4.2 Tahap II : Perencanaan ....................................................................................................... 7
2.4.3 Tahap III : Pelaksanaan ....................................................................................................... 7
2.4.4 Tahap IV : Monitoring dan Evaluasi .................................................................................... 7
2.5 Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) ....................................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................................................... 10
3.1 Gambaran Umum Persoalan Pengembangan Wilayah ........................................................... 10
3.1.1 Gambaran Umum Wilayah Studi ..................................................................................... 11
3.1.2 Gambaran Umum Persoalan Pengembangan Ekonomi Lokal Kec. Pontianak Utara, Kota
Pontianak .............................................................................................................................................. 12
3.2 Indentifikasi Persoalan Pengembangan Wilayah .................................................................... 13
3.3 Analisis Persoalan Pengembangan Wilayah ............................................................................ 14
3.4 Konsep Penanganan Persoalan Pengembangan Wilayah ....................................................... 18
3.4.1 Konsep Penanganan Dengan Analisa SWOT ................................................................... 18
3.4.2 Konsep Penanganan Berdasarkan Best Practice ............................................................. 22
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................................... 29
4.1 Kesimpulan ........................................................................................................................... 29
4.2 Lesson Learned...................................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 30

i
Daftar Tabel
Tabel 1 Analisa SWOT ........................................................................................................................... 18
Tabel 2 Pergeseran Konsep PEL Lama Dan Baru Berdasarkan Komponen ........................................... 25
Tabel 3 Konsep Penanganan dengan Best Practice .............................................................................. 25
Daftar Gambar
Gambar 1 Heksagonal PEL ...................................................................................................................... 4
Gambar 2 Peta Wilayah Studi ............................................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan ekonomi local merupakan salah satu instrument perencanaan wilayah dengan
menjadikan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut sebagai penggerak pengembangan wilayahnya.
Menurut Blakely (1991), pengembangan ekonomi lokal (PEL) adalah proses keterkaitan antara
pemeritah, swasta produsen, dan masyarakat untuk mengoptimalkan dan meningkatkan SDM dan
SDA dalam rangka menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. PEL merupakan konsep
yang bertumpu pada lokalitas dalam melaksanakan pembangunan di suatu wilayah oleh karena itu
konsep PEL sangat sesuai untuk diterapkan di kota-kota Indonesia, salah satunya di Pontianak.
Pontianak selaku ibukota Provinsi Kalimantan Barat terkenal dengan produk lidah buaya.
Lidah buaya merupakan komoditas utama di Pontianak yang telah diekspor ke luar negri. Pemerintah
Kota Pontianak telah memberikan dukungan untuk meningkatkan komoditas Lidah Buaya seperti
penyediaan lahan sebagai Kawasan Sentra Agribisnis.
Selain dukungan dari pemerintah, PEL juga memfokuskan keterkaitan antar sector swasta
dengan kegiatan ekonomi tersebut. Dalam hal ini untuk meningkatkan produktivitas lidah buaya
diperlukan adanya keterkaian antara pertanian lidah buaya dengan kegiatan di sector hulu maupun
hilir. Di waktu yang sama, semua kegiatan tersebut dapat meningkatkan produktivitas yang nantinya
dapat meningkatkan pendapatan dan menyerap tenaga kerja di Kota Paontianak. Hal tersebut sangat
berpotensi untuk mengembangkan perekonomian local.
Namun saat ini, produksi pertanian lidah buaya di Kota Pontianak mengalami penurunan dan
disisi lain rasio tenaga kerja pertanian lidah buaya terhadap sector juga mengalami penurunan. Hal
tersebut mengindikasikan adanya kendala PEL di Kota Pontianak. Oleh karena itu makalah ini
bertujuan untuk mengidentifikasi persoalah pengembangan wilayah dengan mengambil sudi kasus
Pengembangan Ekonomi Local Berbasis Pertanian Lidah Buaya Kecamatan Pontianak Utara, Kota
Pontianak.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi persoalan pengembangan wilayah dalam studi kasus Pengembangan Ekonomi
Local Berbasis Pertanian Lidah Buaya Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak
2. Menganalisis persoalan pengembangan wilayah terkait studi kasus yang diteliti
3. Merumuskan konsep penanganan dalam Mengidentifikasi persoalan pengembangan wilayah
terhadap Pengembangan Ekonomi Local Berbasis Pertanian Lidah Buaya Kecamatan Pontianak
Utara, Kota Pontianak

1
1.3 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut
BAB I PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini berisi latar belakang, tujuan dan manfaat penulisan, serta
sistematika laporan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang terkait konsep pengembangan ekonomi lokal
BAB III PEMBAHASAN
Bab ini berisi bahasan mengenai gambaran umum, identifikasi dan analaisis terkait studi
kasus yang diangkat serta konsep penanganannya
BAB IV PENUTUP
Bab penutup berisi kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab – bab sebelumnya dan
rekomendasi terhadap studi kasus serta lesson learned .

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi dan Tujuan Ekonomi Lokal
Pada masa lalu, pengembangan ekonomi Indonesia bertumpu pada kebijakan dan otoritas
yang dikelola dan dipegang oleh pemerintah pusat dimana berfokus pada pemberian subsidi,
pembebeasan pajak, dan penyediaan infrastruktur murah dalam rangka menarik investasi untuk
sektor industri. Kebijakan - kebijakan ini lebih menakankan kepada industri besar dam kurang berhasil
dalam menanamkan pondasi yang kuat dalam perkonomian Indonesia.

Dalam era otonomi daerah saat ini, konsep PEL yang memberi penekanan pada kekuatan dan
momobilisasi sumber daya, kapasitas dan keterampilan yang dimiliki oleh lokal/ daerah, dapat
dimanfaatkan dan diterapkan untuk tercapainya pembangunan ekonomi daerah yang berkualitas dan
berkelanjutan.
Menurut Blakely (1991), pengembangan ekonomi lokal (PEL) merupakan proses kepentingan
antara pemeritah, swastam produsen, dan masyarakat untuk mengoptimalkan SDM dan SDA dalam
rangka menciptakan pertumbuhan ekonomo dan kesempatan kerja. Tidak jauh berbeda, AHJ Helming
menyatakan PEL adalah suatu proses dimana kemitraan yang mapan antara pemerintah daerah,
kelompok berbasis masyarakat, dan dunia usaha dalam mengelola sumber daya yang ada untuk
menciptakan lapangan pekerjaan dan merangsang pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah
tertentu. PEL menenkankan pada kontrol lokal, dan pengunaan potensi sumber daya manusia,
kelembagaan, dan sumber daya fisik.
Dari kedua definisi mengenai pengembangan ekonomi lokal (PEL) tersebut, maka dapat ditarik
kata kunci yaitu 1) kerjasama antarsemua komponen/ partisipatif dan 2) pemanfaatan sumber daya
lokal secara optimal.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasioanl (Bappenas) memberikan beberapa batasan dari
pengembangan ekonomi lokal, yaitu:
1. PEL tidak hanya merujuk pada batasan wilayah administartif, tetapi lebih pada peningkatan
kandungan komponen lokal maupun optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal ,
2. PEL merupakan inisatif daerah yang dilakukan secara partisipatif ,
3. PEL menekankan pada pendekatan pengembangan bisnis, bukan pada pendekatan bantuan
sosial yang bersifat karikatif ,
4. PEL bukan merupakan upaya penanggulangan kemisikinan secara langsung ,
5. PEL diarahkan untuk mengisi dan mengoptimalkan kegiatan ekonomi yang dilakukan
berdasarkan pengembangan wilayah, pewilayahan komoditas, tata ruang, atau regionalisasi
ekonomi.

3
Penerapan konsep PEL tentunya mempunyai sasaran mengapa konsep ini bisa menjadi
pendekatan yang relevan dalam pengembangan wilayah berbasis ekonomi. PEL sendiri memiliki
sasaran jangka panjang untuk penuntasan kemiskinan dan perbaikan yang berkelanjutan dalam
kualitas hidup dari suatu komunitas lokal di suatu wilayah. Selain itu, adapun tujuan yang dimiliki PEL
yaitu:
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan nilai tambah ;
2. Menciptakan dan memeratakan kesempatan kerja di setiap daerah/ wilayah ;
3. Meningkatkan pendapatan dan memperbaiki distribusi pebdapatan masyarakat ;
4. Meningkatkan daya saing ekonomi daerah terhadap daerah atau negara lain ;
5. Membangun dan mengembangkan kerjasama yang positif antar daerah.

2.2 Aspek Utama Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)


Ada enam aspek dalam pengembangan ekonomi lokal yang harus diperahtikan dan diintergarsikan
agar PEL bisa menjadi pengembangan wilayah yang bersifat berkelanjutan. Ke-enam aspek utama
tersebut biasa disebut dengan heksagonal PEL.

Gambar 1 Heksagonal PEL

Heksagonal PEL merupakan alat analisis yang digunakan untuk menggambarkan dan mengukur
kondisi PEL di suatu wilayah. Kemudian dilakukan analisis terhadap komponen heksagonal PEL yang
berperan sebagai factor pengungkit (leverage factor), yaitu faktor yang berpengaruh besar terhadap
pengembangan PEL yang selanjutnya disusun strategi pengembangan PEL (Bappenas, 2006). Setiap
aspek - aspek utama dalam PEL ini mempunyai pilar - pilar yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Kelompok Sasaran
- Pelaku usaha lokal: modal, promosi, peningkatan teknologi, manajamen dan kelembagaan .
- Investor luar: peraturan tentang kemudahan investasi, informasi prospek bisnis, kapasitas
berusaha dan hukum, keamanan, advertasi, pusat pelayanan investasi.

4
- Pelatihan kewirausahaan, pendampingan & monitoring, insentif, dan kecepatan izin.
2. Faktor Lokasi
- Faktor lokasi terukur: aspek ke dan dari lokasi, akses ke pelabuhan laut dan udara, sarana
transportasi, infrastruktur energi, ketersediaan air bersih, tenaga kerja trampil, jumlah
lembaga keuangan lokal.
- Faktor lokasi tidak terukur individual: mengacu pada kualitas pemukiman, lingkungan, fasilitas
pelayanan kesehatan, fasilitas sosial & fasilitas umum, etos kerja sumber daya manusia (SDM).
- Faktor lokasi tidak terukur pelaku usaha: peluang kerjasama, lembaga penelitian.
3. Kesinergian dan Fokus Kebijakan
- Perluasan ekonomi: memberikan kebijakan mengenai investasi, promosi, persaingan usaha,
peran perusahaan daerah, jaringan usaha, informasi tenaga kerja, pengembangan keahlian.
- Pembangunan wilayah: perumusan kebijakan tentang menerima kawasan industri, pusat
pertumbuhan, pengembangan komunitas, kerjasama antar daerah, tata ruang PEL, jaringan
usaha antar sentra, sistem industri berkelanjutan.
- Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan komunitas: kebijakan mengenai
pemberdayaan masyarakat berbasis kemitraan swasta, pengurangan kemiskinan.
4. Pembangunan Berkelanjutan
- Ekonomi: pengembangan industri pendukung, perusahaan dengan business plan, perusahaan
dengan inovasi .
- Sosial: Kontribusi terhadap kesejahteraan PEL dan ada kelembagaan lokal.
- Lingkungan: penerapan amdal, daur ulang, kebijakan konservasi sumber daya alam.
5. Tata Kepemerintahan
- Kemitraan pemerintah dan dunia usaha: kemitraan dalam penyediaan infrastruktur, promosi,
perdagangan, dan pembiayaan.
- Reformasi sektor publik: reformasi dalam sistem insentif, restrukturisasi organisasi
pemerintahan, prosedur pelayanan publik.
- Pengembangan organisasi: asosiasi industri dalam status, peran, dan manfaat.
6. Proses Manajemen
- Diagnosis partisipatif: yaitu analisis dan pemetaan potensi ekonomi, daya saing, kondisi politis
lokal, serta identifikasi stakeholder.
- Monitoring dan evaluasi partisipatif: keterlibatan stakeholder dalam indikator & mone,
frekuensi: monev & diskusi pemecahan masalah, hasil monev dibandingkan dengan
perencanaan yang akan datang.

5
- Perencanaan dan implementasi partisipatif: diagnosis vs perencanaan, jumlah stakeholder,
sinkronisasi (sektoral dan spasial), implementasi vs perencanaan.
2.3 Prinsip Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)
Menurut Abdul Syakur, terdapat 3 prinsip PEL, diantara lain:
1. Prinsip Ekonomi
- Berawal dari permintaan pasar
- Berfokus pada klaster kegiatan ekonomi yang berorientasi ekspor atau sector basis dan
memiliki efek pengganda yang kuat
- Adanya hubungan produsen skala kecil dengan supplier kapada perusahaan pengekspor
2. Prinsip Kemitraan
- Adanya pembagian tanggung jawab terhadap pengambilan keputusan antar pemerintah
dan pihak swasta
- Adan peran aktif dari pihak swasta
- Kemitraan berorientasi sumber daya local
- Pemerintah dituntut untuk aktif merespon
3. Prinsip Kelembagaan
- Mengidentifikasi stakeholder terkait klaster ekonomi yang dikembangkan, baik
pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat
- Adanya fasilitasi berupa forum antar stakeholder tersebut untuk menampung ide dan
inisiatif
2.4 Tahapan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)
Seperti halnya upaya pengembangan lain, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan daerah,
PEL memiliki empat tahapan utama dalam penerapannya yang berada pada satu siklus pengelolaan
PEL yang berkelanjutan, yaitu:
a. Tahap I : Persiapan
b. Tahap II : Perencanaan
c. Tahap III : Pelaksanaan
d. Tahap IV : Monitoring dan Evaluasi
Tahap I adalah tahapan paling awal yang diperlukan oleh daerah ketika mulai menerapkan konsep
PEL untuk pengembangan wilayahnya. Setelah itu, Tahap II hingga Tahap IV yang prosesnya dilakukan
bukan secara linear melainkan dalam satu siklus, sehingga akan menjadi proses yang berlekanjutan.
2.4.1 Tahap I : Persiapan
Tahap ini adalah tahap awal atau disebut dengan persiapan yang perlu dilakukan dalam rangka
memulai menerapkan pedekatan PEL di daerah. Sebagian besar kegiata dalam tahap ini berkaitan
dengan persiapan kelembagaan PEL. Tahap I ini terdiri dari tiga langkah, yaitu:
Langkah 1 :Sosialisasi, melakukan sosialisasi atau penyebarluasan informasi dan propaganda
pendekatan PEL ;
Langkah 2 :Membetuk organisasi pelaksana PEL di daerah ;

6
Langkah 3 :Melakukan Analisis terhadap kondisi aktual sumber daya daerah ;
2.4.2 Tahap II : Perencanaan
Sebelum memulai tahapan PEL sendiri, daerah harus melalui tahap atau melakukan
perencanaan. Tahap ini dilakukan agar daerah mampu merencanakan secara baik dan tepat
pelaksanaan dari PEL. Langkah yang termasuk dalam tahapan ini adalah :
Langkah 4 : Identifikasi dan penentuan kluster ekonomi yang menjadi fokusan PEL ;
Langkah 5 : Membentuk dan mengembangkan forum kemitraan multi stakeholder PEL ;
Langkah 6 : Merumuskan dan menyusun strategi, agenda program dan rencana aksi PEL ;
Langkah 7 : Memastikan terpenuhinya kondisi bagi keberhasilan pelaksanaan PEL.
2.4.3 Tahap III : Pelaksanaan
Yang dimaksud dengan tahap pelaksanaan ini yaitu melaksanakan seluruh strategi dan agenda
yang telah direncanakan pada Tahap II sebelumnya. Langkah - langkah yang dilakukan pada Tahap III
ini lebih ditujukan pada hal - hal yang sebaiknya dilakukan dan tidak ditinggalkan dalam proses
pelaksanaan dari agenda dan program kegiatan yang terkait dengan Tahap II. Sebenarnya langkap
pada Tahap III bersifat fleksibel baik dari jenis dan volume kegiatan, bergantung pada startegi dan
program PEL yang dipilih setiap daerah. Namun secara garis besar tahap pelaksanaan ini mempunyai
enam langkah yaitu:
Langkah 8 :Meningkatkan dan memperkuat kapasitas stakeholder daerah ;
Langkah 9 :Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya investasi baru dan
berkembangnya usaha mikro, kecil, dan menengah ;
Langkah 10 :Mengembangkan, memperluas pasar dan melakukan promosi kluster ekonomi
terpilih ;
Langkah 11 :Memperkuat forum kemitraan PEL yang telah terbentuk ;
Langkah 12 :Mengembangkan dan memperkuat kapasitas, kemampuan, dan keterampilan
produsen/ usaha dan pekerja bagi organisasinya ;
Langkah 13 :Membanbangun kerjasama antar daerah baik secara horizontal maupun vertikal.
2.4.4 Tahap IV : Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi tidak selalu haris diletakkan pada akhir kegiatan. Hal ini
karena penerapan konsep PEL merupakan hal yang bersifat siklus. Kegiatan monitoring dan evaluasi
sangat penting dilakukan sepanjang pelaksanaan PEL. Tahap ini terdiri dari satu langkah yaitu:
Langkah 14 : Membangun sistem dan melaksanakan monitoring dan evaluasi.

2.5 Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)


Ada empat pendekatan strategi pengembangan ekonomi lokal yang bisa dijabarkan sebagai
berikut :

7
2.5.1 Strategi Pengembangan Daerah Setempat
Dengan adanya pengembangan sebuah program untuk meningkatkan industri dan/atau
komersial yang telah ditentukan, pemerintah setempat mendapatkan pengaruh baik dari
pengembangan usaha lokal. Beberapa cara untuk mencapai tujuan pengembangan adalah
sebagai berikut:
1. Pengontrolan, Perencanaan dan Pengembangan
2. Zona ekonomi dan perusahaan
3. Infrastruktur utama dan transportasi
4. Mengembangkan lahan & pembentukan jalan (Land and streetscaping)
5. Peningkatan pelayanan rumah tangga & perumahan (Household service and housing)
2.5.2 Strategi Pengembangan Usaha
Di beberapa tempat, tidak tersedia pekerjaan di perusahaan/usaha untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat lokal. Oleh karena itu, cara baru harus ditemukan untuk mendukung
usaha-usaha baru, untuk menarik usaha-usaha yang telah ada untuk tetap berada di daerah
tersebut, dan untuk menyokong & mengembangkan usaha-usaha lokal yang ada.
Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah :
1. Membuat Pusat Bantuan untuk usaha lokal
2. Usaha & teknologi (Technology and business parks)
3. Memperkirakan keuangan perusahaan
4. Membuat pusat informasi usaha dalam satu tempat (One-stop business information centers)
5. Program usaha skala kecil (Micro-enterprise programs)
2.5.3 Pengembangan Sumber Daya Manusia
Strategi ini adalah sebuah pilihan untuk menurunkan pengangguran di tingkat populasi lokal.
Beberapa metode yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut:
1. Pelatihan khusus untuk para pekerja sesuai bidang dari usaha tersebut
2. Sasaran Penempatan
3. Keselamatan kerja
4. Program Sekolah sambil bekerja (School to work programs)
5. Program ketenagakerjaan lokal (Local employment programs)
2.5.4 Pengembangan Kesempatan Kerja Berbasis Masyarakat
Pilihan ini bertujuan untuk meningkatkan perkembangan ekonomi masyarakat lokal dan
menciptakan kesempatan kerja untuk para pemuda, pengangguran dalam jangka waktu yang
lama. Dasar dari kegiatan ini adalah :
1. Pengembangan Kelompok/organisasi berbasis kemasyarakatan

8
2. Kerjasama
3. Land trust and similar community ownership instrument

9
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Persoalan Pengembangan Wilayah
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2012), kemampuan negara lain untuk menjual
produk bermutu dengan harga murah saat ini memang sudah mengancam bukan hanya produk
industri, tetapi juga produk pertanian. Para pelaku usaha di daerah kini sedang menjerit dan berupaya
melepaskan diri dari berbagai kesulitan, himpitan, dan hambatan dalam menjalankan usahanya.
Ditambah lagi, tuntutan deregulasi juga telah menyebabkan semakin sedikitnya kebijakan yang
mengatur perekonomian dalam negeri termasuk kebijakan yang seharusnya mempengaruhi pasar
besar. Hal ini berdampak pada semakin menurunnya pengendalian harga dan mekanisme subsidi yang
diberikan.

Daya tahan dan dan saing dari pelaku usaha lokal dalam menghadapi liberalisasi ekonomi dan
perdagangan akan sangat bergantung pada dukungan kebijakan nasional dan daerah. Perlu dipahami
bahwa kesejahteraan ekonomi dalam suatu masyarakat bukan diciptakan oleh pemerintah, namun
dilakukan oleh dunia usaha. Dunia usaha yang bisa menciptakan kesejahteraan notabene sangat
bergantung pada adanya kondisi lingkungan usaha yang baik dan menguntungkan. Pemerintah daerah
sesungguhnya hanya memegang peranan kunci dalam menciptakan lingkunagn yang menguntungkan
bagi tumbuh dan berkembangnya dunia usaha dalam menciptakan kemakmuran yang banyak
diharapkan masyarakat. Terutama masyarakat yang berpendapatan rendah.
Pada kenyataanya, walaupun telah dilaksanakan otonomi di banyak darah, hingga saat ini
tidak menunjukkan dampak yang cukup signifikan terhadap dunia usaha dan perdagangan. Dalam
hasil studi yang dilakukan beberapa organisasi, menunjukkan bahwa dunia usaha di Indonesia
menghadapi banyak kendala dan hambatan dalam menjalankan usahanya. Hambatan yang sering
ditemui adalah sulitnya mendapatkan lahan berharga murah, kurangnya ketersediaan infarstruktur
yang memadai, perizinan usaha yang berbelit, akses ke sumber dana yang rendah, hingga sulitnya
memperoleh informasi mengenai pasar dan teknologi. Semua kendala yang telah disebutkan tersebut
pada akhirnya mengganggu perkembangan usaha, menghambat minat investasi yang bermuara pada
ketidak mampuan daerah dalam meningkatkan nilai tambah, menciptakan kesempatan kerja, serta
mengurangi kemiskinan.

10
3.1.1 Gambaran Umum Wilayah Studi
Kota Pontianak secara geografis berada pada 0002’24” Lintang Utara sampai dengan 0005’37”
Lintang Selatan dan 109023’01” Bujur Timur sampai dengan 109016’25” Bujur Timur. Karena terletak
di Lintasan Garis Khatulistiwa, maka Kota Pontianak dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa atau kota
equator. Kota Pontianak merupakan salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan sekaligus menjadi
ibukota Provinsi Kalimantan Barat.
Kecamatan Pontianak Utara merupakan salah satu kecamatan di Kota Pontianak yang
berdasarkan analisis tipologi Klassen Tahun 2012 merupakan wilayah dengan pertumbuhan ekonomi
berkembang dengan perumbuhan cepat dan PDRB dengan kapita kecil. Dimana nilai pertumbuhannya
sebesar 6,07 (RPJMD Kota Pontianak 2015 – 2019). Kecamatan Pontianak Utara memiliki jumlah
petani terbanyak di Kota Pontianak dengan jumlah sebanyak 75.44% dari petani Kota Pontianak atau
799 orang. Berdasarkan RTRW 2013-2003, Kecamatan Pontianak Utara ditetapkan sebagai kawasan
sentra agribisnis dan terdapat aloevera center di kelurahan Siantar Hilir Kecamatan Pontianak Utara
yang telah ditetapkan sebagai kawasan pariwisata minat khusus. Hal tersebut mengakibatkan
Kecamatan Pontianak Utara sebagai ikon pertanian di kota tersebut, bahkan Provinsi Kalimantan
Barat.

Gambar 2 Peta Wilayah Studi

11
3.1.2 Gambaran Umum Persoalan Pengembangan Ekonomi Lokal Kec. Pontianak Utara,
Kota Pontianak
Pertanian Lidah Budaya (Aloe vera sp) merupakan ikon pertanian Kecamatan Pontianak Utara
(Kota Pontianak). Pertanian Lidah Buaya memiliki potensi yang sangat tinggi untuk mengembangkan
ekonomi lokal. Perkembangan ekonomi lokal yang disebabkan oleh pertanian lidah buaya adalah
akibat adanya kegiatan ekonomi hilir ke hulu yang menyebabkan terciptanya lapangan pekerjaan bagi
masyarakat di Kecamatan Pontianak Utara.
Pertanian lidah buaya merupakan komoditas yang di ekspor ke beberapa negara tetangga
seperti Jepang, Hongkong, Taiwan dan lainnya. Pada tahun 2001, produksi tanaman lidah buaya di
Kecamatan Pontianak Utara sebesar 7.720 ton dan meningkat menjadi 16.156,8 ton pada tahun 2004,
namun pada tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 7.776 ton. Penyebab Utama penurunan
produksi lidah buaya disebabkan oleh dua factor yaitu, faktor produksi dan pasca produksi. Pasca
produksi yang menyebabkan penurunan produksi adalah harga pupuk yang mulai meningkat dari
tahun-tahun sebelumnya sehingga menyebabkan banyak petani yang tidak sangup membeli pupuk
dengan harga yang tinggi.
Penurunan harga jual lidah buaya dan pemasaran juga merupakan persoalan utama yang
dihadapi oleh petani. Secara umum petani lidah buaya menjual hasil pertanian ke pasar lokal, industry
rumah tangga (home industry) dan PT. Niramas yang merupakan industri besar yang mengolah lidah
buaya menjadi minuman kemasan. Penurunan harga jual lidah buaya disebabkan oleh menurunnya
permitaan (demand) akan produk olahan yang dihasilkan oleh pabrik pengolah lidah buaya.
Menurunnya permintaan tersebut juga dapat disebabkan oleh kurang bervariasinya hasil olahan yang
menyebabkan minat pembeli semakin sedikit. Terjadinya penurunan harga menyebabkan kerugian.
Kerugian yang diakibatkan oleh penurunan harga jual tidak hanya dialami oleh para petani lidah buaya
tetapi juga dialami oleh pelaku-pelaku usaha lainnya karena pertanian lidah buaya adalah suatu
industri yang memiliki keterakitan antar sektor baik ke hulu maupun ke hilir.
Pertanian lidah buaya merupakan komoditas unggulan di Kecamatan Pontianak Utara.
Komoditas tersebut menyumbang kontribusi terbesar terhadap PDRB sektor pertanian Kecamatan
Pontianak Utara pada awalnya. Sebagai komoditas unggulan sektor pertanian lidah buaya belum bisa
menyerap banyak tenaga kerja. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pertanian lidah buaya
menyebabkan komoditas unggulan pertanian di Kota Pontiakan tidak berkembang dengan baik.
Terdapat banyak masalah dan kendala dalam pengembangan pertanian lidah buaya maka dari itu
harus adanya kerjasama antara pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk mendukung kegiatan
pertanian lidah buaya.

12
3.2 Indentifikasi Persoalan Pengembangan Wilayah
Dari gambaran umum mengenai banyaknya persoalan pengembangan ekonomi lokal berbasis
lidah buaya di Kota Pontianak maka dapat diindentfikasi persoalan dan masalah dalam pengembangan
wilayahnya sesuai dari akar persoalah adalah sebagai berikut:
1. Penurunan Jumlah Produksi Lidah Buaya
Adanya penurunan jumlah produksi lidah buaya dimana pada tahun 2001, produksinya
mencapai 7.720 ton dan meningkat menjadi 16.156 ton pada tahun 2004. Namun, pada tahun
berikutntya produksi lidah buaya mengalami penurunan menjadi 7.776 ton pada tahun 2006.
Penurunan produksi lidah buaya disebabkan oleh dua faktor utama, yakni faktor produksi dan
pasca produksi.
2. Penurunan Jumlah Produksi Lidah Buaya
Sebelum tahun 2004, harga jual lidah buaya adalah Rp 1.200/kg. namun setelah tahun 2004,
harga jual lidah buaya menurun hingga hanya menjadi Rp 800/ kg. Hal ini terjadi karena
menurunnya permintaan (demand) akan produk olahan yang dihasilkan dari bahan baku lidah
buaya.
3. Keterkaitan pertanian lidah buaya terhadap kegiatan penunjang masih sangat rendah
Keterkaitan yang dimaksud dalam hal ini seperti keterkaitan antara jasa keuangan dan
transportasi. Padahal dalam konsep ekonomi lokal yang telah dipelajari, keterkaitan hulu ke
hilir adalah salah satu prinsip utama pengembangan ekonomi lokal

13
3.3 Analisis Persoalan Pengembangan Wilayah
- Penurunan Jumlah Produksi Lidah Buaya
Pertanian lidah buaya di Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak merupakan produk
unggulan pada wilayah ini dan juga mempunyai kondisi wilayah yang mendukung dan menunjang
untuk pengembangannya. Pada tahun 2001, produksi lidah buaya di kecamatan ini adalah 7.726 ton
dan untuk produksi yang diekspor sebanyak 518 ton. Produksi lidah buaya meningkat hingga 14.346
ton pada tahun 2005 dan yang untuk diekspor sebanyak 1.202 ton. Dari angka tersebut dapat dilihat
bahwa produksi lidah buayanya meningkat hampir dua kali lipat.
Namun pada tahun berikutnya, yaitu pada tahun 2006 terjadi penurunan produksi lidah buaya
ini menjadi 7.776 ton. Penurunan ini terjadi karena kemungkinan dua faktor utama, yakni faktor
produksi dan pasca produksi. Persoalan yang utama dalam kejadian ini adalah harga pupuk yang
meningkat (mahal). Dan untuk pasca produksi, persoalannya adalah keterbatasan pemasaran.
Maka keadaan dalam penurunan hasil produksi ini tentunya memberikan akibat atau dampak
turunan terhadap aspek lainnya dalam ekonomi lokal Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak.
Salah satu akibat dari fenomena ini adalah penurunan kontribusi nilai tambah lidah buaya terhadap
PDRB sektor pertanian wilayah ini. Pada tahun 2002 sendiri nilai kontribusinya mencapai 42,8% dan
hingga tahun 2004 mencapai titik tertingginya yakni 90,1% (pada tahun ini produksi lidah buaya
mencapai puncaknya). Namun tahun berikutnya yaitu tahun 2005 mulai menurun ke angka 80,1%,
hingga akhirnya pada tahun 2006 menurun drastis menjadi 41,6%.
Pertanian lidah buaya yang ditetapkan pemerintah setempat Kecamatan Pontianak Utara,
Kota Pontianak sebagai komoditas unggulannya seharusnya mempunyai peran yang besar terhadap
daerahya. Tetapi bila dilihat pada kenyatannya peran pertanian ini terhadap ekonomi lokalnya masih
masuk dalam kategori yang rendah/ kecil. Maka hal ini tentunya tidak sejalan dengan kebijakan yang
telah ditetapkan.
Dalam pengembangan ekonomi lokal sendiri sebenarnya yang menjadi salah satu prinsipnya
adalah hubungan dari hulu ke hilir dalam klaster. Dimana pertanian lidah buaya memerlukan
penyediaan bahan baku produksi dan untuk ke hilirnya pertanian lidah buaya mendorong
berkembangan industri yang mengolah hasil pertanian lidah buaya dari Kecamatan Pontianak Utara,
Kota Pontianak.
Terkait faktor yang menjadikan fenomena penurunan produksi lidah buaya Kecamatan
Pontianak Utara, Kota Pontianak adalah harga pupuk yang mahal karena pupuk sendiri merupakan
salah satu hulu dari pertanian ini. Maka yang menjadi permasalahan mengapa harga pupuk mahal
yang memberikan akibat pada menurunnya produksi adalah hubungan ke hulu (bahan baku produksi)
yang belum terjalin dengan baik. Padahal adanya hubungan hulu - hilir dalam suatu PEL mempunyai

14
tujuan agar mata rantai produksi hingga pasar terbina secara baik. Bila hubungan ke bahan baku
produksi sudah terjalin kerjasama yang baik maka hal ini tentunya dapat di minimalisir.
Selain hubungan hulu - hilir sebagai prinsip PEL, kemitraan juga merupakan bagian dari prinsip
PEL. Kemitraan yang kurang baik dengan stakeholder yang terkait klaster dapat juga menjadi pemicu
tingginya harga pupuk ini. Pemerintah bersama - sama dengan pihak terkait lainnya harus mampu
mencari solusi atas persoalan ini baik yang berjangka pendek hingga jangka panjang. Pemerintah
seharusnya mengambil kontrol dalam persoalan bahan baku produksi.
Untuk faktor lainnya yang memicu permasalahan menurunnya produksi pertanian lidah buaya
terkait pasca produksi adalah tentang keterbatasan pemasaran. Pemasaran yang dikatakan terbatas
ini karena petani lidah buaya hanya mempunyai kemungkinan untuk menjual hasil produksinya ke
industri rumah tangga, pasar lokal, dan ke perseroan terbatas (PT). Prinsip PEL sendiri adalah
menghubungkan produsen skala kecil dengan yang lebih besar, maka kemungkinan pemasaran ke PT
sudah sesuai dengan prinsip ini. Namun PEL seharusnya lebih memprioritaskan pengembangan
kegiatan yang berorientasi ekspor ke luar daerah, karena permintaan yang lebih besar dan pasar lebih
luas, memberikan tambahan pendapatan/ devisa bagi daerah pengembangan. Kemungkinan
pemerintah setempat belum menjalankan kemitraan dan promosi secara gamblang untuk menarik
investor.

15
- Penurunan harga jual lidah buaya
Sebelum tahun 2004, harga jual lidah buaya adalah Rp 1.200/kg. Sedangkan setelah tahun
2004, harga jual lidah buaya menjadi Rp 800/kg. Hal ini dipicu penurunan permintaan akan produk
olahan yang diproduksi oleh PT yang biasa menjadi sasaran pemasaran hasil produksi lidah buaya. Dari
sisi PT sendiri hal ini terjadi karena harga bahan baku/ lidah buaya mentah yang tinggi ditambah
dengan harga bahan pendukung lainnya (misalkan gula pasir) yang juga meningkat, maka harga jual
produk olahan lidah buaya yang dihasilkan (biasanya minuman kemasan) menjadi tinggi. Harga produk
olahan lidah buaya yang tinggi ini menjadikan produk ini kurang kompetitif.
Padahal jika dimisalkan saja harga rata - rata lidah buaya dari petani seharga Rp 1.000/kg
dengan rata - rata produksi lidah buaya dalam sebulan ±640 ton (data 2004), maka nilai rupiah yang
masuk ke petani bisa mencapai Rp 0,64 Milyar per bulan. Hal ini tentunya akan sangat mendukung
dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah pengembangan setempat.
Penurunan suatu harga komoditas juga tidak lepas dari peran pemerintah, dimana seharusnya
para pemangku kepentingan memberikan perlindungan harga produk atau biasa dikatakan dengan
harga eceran terendah. Kebijakan mengenai penetapan harga eceran terendah (HET) tentunya akan
lebih melindungi dan menjaga stabilitas pasar agar sewaktu - waktu tidak terjadi ‘gulung tikar’ para
petani karena harga dari hasil tanaman yang tidak stabil.
Penurunan harga ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari menurunnya produksi lidah
buaya oleh petani. Tidak hanya sampai di situ, kerugian tidak hanya dialami oleh para petani lidah
buaya saja, tetapi juga dialami oleh seluruh pelaku lain usaha lain yang berkaitan, karena suatu industri
pasti memilki keterkaitan baik ke hulu maupun ke hilir.

16
- Pengembangan ekonomi lokal dengan pertanian lidah buaya Kecamatan Pontianak
Utara, Kota Pontianak belum mampu mendukung sektor lain
Keberhasilan PEL ditentukan oleh kemampuan memobilisasi berbagai komponen lokalnya,
serta pembangunan dilakukan atas didasarkan dari potensi wilayahnya sendiri. Beberapa yang
termasuk komponen penting dalam wilayah adalah transportasi dan keuangan. Bisa dikatakan bahwa
kemampuan pertanian lidah buaya masih kecil dalam mendorong berkembangnya kegiatan
transportasi dan keuangan. Petani dan pemilik industri cenderung menggunakan kendaraan pribadi
dalam memasarkan produk lidah buaya.
Petani dan pemilik industri cenderung menggunakan kendarana pribadi dalam memasarkan
produk lidah buaya mungkin karena infrastruktur yang berkaitan dengan transportasi kurang
mewadahi mobilisasi kebutuhan perjalanan dari petani dan pemilik industri setempat. Infrastrukrur
seharusnya menjadi penyokong keberhasilan suatu pengembangan wilayah.
Kontribusi pertanian lidah buaya masih kecil dalam mendorong berkembangnya kegiatan
keuangan karena pemasaran produksi pertanian lidah buaya banyak ke berlanjut pada industri rumah
tangga, dimana industri rumah tangga hanya dapat mengolah hasil produksi secara terbatas. Kembali
lagi kepada prinsip kemitraan dalam PEL, seharusnya pemerintah menggandeng investor atau pihak
swasta untuk menanamkan modalnya kepada pertanian ini. Pihak yang menjadi sasaran kemitraan
juga tentunya yang membutuhkan bahan baku berupa lidah buaya dan bisa menghasilkan produk
olahan dengan nilai tambah yang tinggi.
Bila kemitraan dengan pihak swasta terjalan dengan baik, tentunya akan lebih banyak dan
lebih bervariasi produk olahan yang dihasilkan dari pertanian lidah buaya. Dengan begitu akan memicu
juga peningkatan permintaan akan lidah buaya dan ikut meningkatkan hasil produksi yang sudah
menjadi masalah di awal.
Lebih jauh lagi peran pertanian lidah buaya terhadap ekonomi lokal masih terbilang kecil dari
sisi penyerapan tenaga kerja. Dimana saat terjadi penurunan produksi lidah buaya, penyerapan tenaga
kerja juga ikut berkurang. Suatu konsep pengembangan ekonomi lokal sesungguhnya tidak akan
berjalan sesuai harapan bila tidak di monitoring secara intensif dari pihak yang seharusnya terlibat.
Banyak kekurangan dari konsep pengembangan ekonomi lokal berbasis lidah buaya di
Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak ini, namun bila pemerintah beserta pihak lainnya yang
terkait mau mencari solusi baik secara jangan pendek, menengah maupun jangka panjang, maka hal
ini bisa menjadi prospek yang sangat menjanjikan mengingat daerah ini mempunyai kondisi yang
sangat menunjuang dalam kegiatan agribisnis

17
3.4 Konsep Penanganan Persoalan Pengembangan Wilayah
3.4.1 Konsep Penanganan Dengan Analisa SWOT
Telah dilakukan identifikasi dari persoalan pengembangan wilayah beserta dengan analisinya, salah satu jalan keluarnya adalah memberlakukan
konsep penanganan. Untuk mendapatkan konsep penanganan persoalan pengembangan wilayah persoalan pengembangan ekonomi lokal berbasis lidah
buaya di Kota Pontianak yang tepat dan sesuai sasaran dengan inti permasalahan serta dapat memberikan strategi nya maka dilakukan analysis SWOT untuk
merumuskannya. Adapun identifikasi SWOT mengenai persoalan pengembangan wilayah persoalan pengembangan ekonomi lokal berbasis lidah buaya di
Kota Pontianak dijabarkan sebagai berikut:
Tabel 1 Analisa SWOT

Strength (S) Weakness (W)


1. Kurangnya pengetahuan petani mengenai
budidaya lidah buaya
Faktor 2. Kurangnya variasi hasil produk olahan lidah
1. Kondisi wilayah yang mendukung kegiatan
buaya atau nilai tambah produk masih
Internal pertanian
rendah
2. Memiliki sentra lidah buaya yang menjadi icon
3. Belum adanya pelatihan/monitoring/evaluasi
pertanian di Kota Pontianak dan Provinsi
terkait pengembangan ekonomi lokal dari
Kalimantan Barat
pemerintah setempat
3. Memiliki jumlah petani terbanyak di Pontianak
4. Kurangnya hubungan kemitraan antara
Faktor 4. Telah terdapat terminal agribisnis yang
pelaku usaha lidah buaya dengan swasta
Eksternal disediakan oleh Pemerintah Kota Pontianak
5. Kurangnya inovasi dan teknologi yang
untuk kebutuhan ekspor
digunakan untuk proses produksi
6. Kurangnya branding terkait kegiatan lidah
buaya
Opportunity (O) S-O W-O
- Mengemas produk olahan menjadi lebih menarik
1. Ditetapkan sebagai kawasan sentra agribisnis
dan mudah diakses ;
dan kawsan pariwisata minat khusus
- Membangun kerjasama dengan penyedia - Membentuk komunitas yang berorientasi pada
berdasarkan RTRW Kota Pontianak 2013-2033
layananan transportasi untuk mempermudah branding dan marketing ;
2. Penetapan lidah buaya sebagai komoditas
kegiatan ekspor pemasaran. - Meningkatkan jumlah acara rutin antara
unggulan wilayah
pemerintah setempat dengan para petani terkait
3. Adanya pasar dari luar negeri yang tertarik
pelatihan dan sosialisasi.
Threat (T) S-T T-O
1. Meningkatnya harga pupuk - Melakukan plotting tenaga kerja dari wilayah
2. Lokasi industri pupuk dan pengolah berada - Pembentukan kawasan pertanian terpadu studi kebeberapa bidang mulai dari pengelolaan
diluar kecamatan sehingga seluruh pelaku kegiatan pertanian lidah pupuk, budidaya bibit, pertanian lidah buaya, dan
3. Menurunnya harga jual lidah buaya buaya berada dalam kawasan yang berdekatan pengolahan hasil pertanian lidah buaya ;
4. Terbatasnya pasar bagi produk olahan lidah secara geografis dan dapat memperkuat - Membentuk UMKM yang bergerak di bidang
buaya di Kota Pontianak seperti pasar lokal, hubungan kemitraan hulu hilir. inovasi dan variasi terhadap pengolahan produk
toko/supermarket, hotel, caf lidah buaya
Dari hasil identifikasi SWOT yang telah dilakukan, maka dirumuskan strategi dan konsep penanganan
yang sesuai dengan aspeknya sebagai berikut:
STRENGTH - OPPURTINITY
- Membangun kerjasama dengan penyedia layananan transportasi untuk mempermudah
kegiatan ekspor pemasaran
Dengan ditetapkannya lidah buaya sebagai komoditas unggulan dan banyaknya pasar luar
negeri yang tertarik maka perlu diberikan infrastruktur yang mewadahi kesempatan ini.
Sebelumnya pemerintah telah menyediakan terminal agribisnis untuk kebutuhan ekspor maka
untuk memperluas pasar bisa dijalin kerjasama dengan bidang pelayaran dimana dalam wilayah
studi terdapat banyak industri dalam bidang ini seperti PT. INDOVITEX dan PT. MENDAWA
ARGAPURA SENTOSA. Dengan kerjasama ini kegiatan ekspor bukan hanya akan terjadi di dalam
pulau namun mencapai luar pulau hingga luar negeri .
WEAKNESS - OPPURTINITY
- Mengemas produk olahan menjadi lebih menarik dan mudah diakses
Dalam keadaan eksisting wilayah studi, produk olahan hanya terbatas pada minuman
kemasan biasa. Namun bila dilakukan strategi memberikan kemasan yang lebih menarik tentunya
akan meningkatkan ‘rasa penasaran’ konsumen sehingga akan berdampak positif pada penjualan
produknya.
- Membentuk komunitas yang berorientasi pada branding dan marketing
Salah satu yang menjadi kelemahan dalam pengembangan ekonomi lokal ini adalah kurangnya
publikasi. Padahal, katakan saja suatu perusahaan akan punya nama ketika mereka mempunyai
konsep branding yang bagus. Maka dari itu dibentuk komunitas atau tim yang diawasi pemerintah
untuk berkutat pada divisi kreatif yang menanungi marketing dan branding hingga memberikan
slogan pengembangan ekonomi ini. Sehingga setiap hasil olahan dari pertanian lidah buaya ini
dapat dikenal secara luas baik dari dalam negeri maupun luar negeri
- Meningkatkan jumlah acara rutin antara pemerintah setempat dengan para petani terkait
pelatihan dan sosialisasi.
Dalam pengembangan ekonomi lokal di Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak
petaninya masih kurang pengetahuan mengenai inovasi maupun budidaya dari lidah buaya
sendiri. Maka perlunya acara rutin antara pemerintah setempat dan petani dimana dalam acara
rutin tersebut dilakukan monitoring serta sosialisasi untuk peningkatan kinerja dari setiap
komponen yang ada dalam PEL di Kota Pontianak ini.

20
STRENGTH - THREAT
- Pembentukan kawasan pertanian terpadu di Kecamatan Pontianak Utara
Pembentukan kawasan pertanian terpadu merupakan proses pertanian yang memanfaatkan
kemitraan antara tanaman dan hewan. Dalam kasus pertanian di Kecamatan Pontianak utara
para petani melakukan pembibitan sendiri bibit lidah buaya kemudian adanya pengolahan pupuk
kompos yang dilakukan oleh masyarakat dan selanjutnya penanaman tanaman lidah buaya
untuk terakhir adalah pengolahan produk lidah buaya yang dilakukan di home industry dan
UMKM. Seluruh kegiatan tersebut berada dalam suatu Kecamatan hingga akhir proses menjadi
produk terdapat dalam suatu lokasi. Adanya kawasan pertanian terpadu sehingga seluruh
pelaku kegiatan pertanian lidah buaya berada dalam kawasan yang berdekatan secara geografis
dan dapat memperkuat hubungan kemitraan hulu hilir.
THREAT - OPPURTINITY
- Melakukan pembagian tenaga kerja untuk bekerja di bidang pengolahan pupuk, pertanian lidah
buaya dan pengolahan lidah buaya.
Pembagian tenaga kerja tersebut bertujuan agar penyerapan tenaga kerja di Kecamatan
Pontianak menjadi lebih tinggi. Dengan adanya pembagian tersebut diharapkan masyarakat di
Kecamatan Pontianak tidak hanya menjadi petani namun juga bisa bekerja sebagai pengolah
pupuk kompos dan juga sebagai pengolah hasil pertanian lidah buaya menjadi produk lidah buaya.
- Membentuk UMKM bergerak di bidang inovasi dan variasi terhadap pengolahan poduk lidah
buaya.
Adanya pembentukan UMKM bertujuan untuk mengolah hasil pertanian lidah buaya agar
lebih bervariasi lagi tidak hanya terbatas pada produk olahan minuman saja tetapi juga ada produk
olahan lain seperti makanan, produk kecantikan, kosmetik, shampoo, lotion dan lainnya

21
3.4.2 Konsep Penanganan Berdasarkan Best Practice

Perumusan konsep penanganan persoalan PEL berdasarkan best practice dari kawasan yang telah
berhasil menerapkan konsep PEL dengan baik dan berkelanjutan. Salah satu kota yang telah berhasil
menerapak konsep PEL dengan baik adalah Uchiko Town, berhasilnya konsep PEL sangat ditentukan
oleh berhasilnya diterapkannya prinsip-prinsip PEL dengan baik, berikut beberapa konsep perumasan
konsep PEL berdasarkan prinsip-prinsip nya :
1. Kemitraan
Salah satu prinsip PEL adalah kemitraan, forum jalinan kerjasama antar stakeholders diantaranya
produsen (petani), pedagang, pengumpul dan grosir, lembaga dan dinas yang terkait dengan claster,
BUMD, lembaga keuangan, pusat pelatihan dan penelitian, KADIN, LSM termasuk pembeli besar dari
luar daerah. Konsep kemitraan yang baik adalah sebagai berikut :
 Sepanjang perjalanan sejarahnya, prinsip kemitraan sudah terlihat jelas pada
pengimplementasian PEL di wilayah ini. Tanggung jawab dari masing-masing stakeholders
(pemerintah, swasta, dan masyarakat) sebagai aktor pengembang dan pengelola ekonomi
lokal sudah terlihat pada periode 1980-1990 ketika pemerintah mulai mendirikan “Intellectual
Rural School”. Masing-masing dari stakeholders berperan aktif dalam bekerjasama untuk
terus merencanakan program-program pengembangan ekonomi yang paling sesuai. Terlebih
lagi, yang paling penting dari semuanya adalah bentuk kemitraan ini mengandalkan sumber
daya lokal, bukan bantuan dari luar atau asing.
 Konsep PEL di Uchiha Town juga melakukan pembangunan ekonomi lokal berbasis partisipasi
masyarakat, pemerintah dan kelompok masyarakat setempat cukup berhasil dalam merubah
paradigma dalam pengembangan sektor unggulan agrikultur. Sektor-sektor lain mulai
dikembangkan untuk mendukung sektor agrikultur, pelatihan-pelatihan pemasaran produk
mulai digalakkan pada masyarakat seiiring persaingan pasar, kelembagaan-kelembagaan baru
yang dapat mendukung aktivitas pembangunan ekonomi lokal dikembangkan sesuai dengan
kapabilitas masyarakat namun tetap fleksibel dalam menerima tantangan perkembangan
masa depan.
 Adanya tanggung jawab dari masing-masing stakeholders (pemerintah, swasta, dan
masyarakat) sebagai aktor pengembang dan pengelola ekonomi lokal.
 Masing-masing stakeholders (pemerintah, swasta, dan masyarakat) berperan aktif dalam
bekerjasama
 Kemitraan mengandalakan sumber daya lokal, bukan bantuan dari luar atau asing
 Inisiatif digerakkan oleh pembeli, pasar, dan permintaan bukan produksi atau supply

22
2. Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan yang baik adalah sebagai berikut :
 Memberdayakan forum kemitraan untuk saling berbagi dalam merumuskan masalah, solusi
dan tindakan
 Mendelegasikan kewenangan kepada kemitraan dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut dengan kepentingan usaha dan kerjasama antar semua pihak
 Prinsip kelembagaan harus ditandai dengan adanya fasilitas dialog diantara stakeholders
untuk menghasilkan ide dan inisiatif. Forum ini harus terorganisasi guna memfasilitasi
komunikasi antar pemerintah, masyarakat dan stake holders dan berbagai kelompok yang
berkepentingan terhadap penanganan masalah atau pengambilan keputusan. Pada studi
kasus wilayaj Uchiko Town, forum dari “Intellectual Rural School” ini membawa Uchiko
terhadap perubahan pengembangan ekonomi lokal karena terciptanya sebuah diskusi yang
mampu mewadahi berbagai pendapat stakeholder untuk menentukan tujuan arah
pengembangan sektor ekonomi yang lebih baik. Revitalisasi sektor agrikultur yang saat ini
menjadi sektor utama di wilayah studi bahkan bermula dari forum ini. Selain itu
pengembangan kelembagaan didasarkan atas kebutuhan dari kegiatan ekonomi yang sedang
berlangsung. Misalnya ketika dilakukan restorasi sungai Fumamoto yang saat itu dilakukan
oleh organisasi komunitas lokal yang berangkat dari sebuah rencana akan dikembalikannya
kegiatan ekonomi di sektor agrikultur. Selain itu juga dilakukan mobilisasi sumber daya lokal
untuk menunjang inisiatif yang diusulkan.
 Mobilisasi sumber daya lokal untuk menunjang inisiatif yang diusulkan
 Pengembangan kelembagaan didasarkan atas kebutuhan dari kegiatan ekonomi yang sedang
berlangsung

3. Cluster
Cluster merupakan pengelompokan kegiatan ekonomi yang sejenis dari hulu hingga hilir, tujuan
agar mata rantai produski-pasar tidak terputus. Salah satu kabupaten di Indonesia yang telah berhasil
dalam pengembangan ekonomi lokal adalah kabupaten Tanggamus Berikut berupakan konsep cluster
yang baik dalam penerapan PEL berdasarkan best practice dari kabupaten Tenggamus:
 Menfokuskan pada kluster dari kegiatan ekonomi yang ada, yang produksinya dijual ke daerah
luar (economic base) dan multiplier effect di daerahnya kuat
 Pada awal pemilihan klaster dilakukan oleh tim dari Fakultas Pertanian Universitas Negeri
Lampung yang menghasilkan sejumlah rekomendasi komoditas pilihan yang layak dipilih.
Kemudian penentuan komoditas dilakukan dalam forum bersama yang melibatkan seluruh

23
stakeholders yang berkepentingan. Hasilnya disepakati bahwa pengembangan klaster kopi
dipakai untuk menstimulasi perekembangan ekonomi lokal. Untuk mewujudakannya,
terdapat prioritas aksi yang dilakukan, yaitu (a) pembentukan jaringan dan pengembangan
kerjasama antara petani dan pedagang (b) pertukaran informasi dan pengetahuan (c)
memperbaiaki produksi dan pengelolaan pasca panen (d) memperbaiki diversikasi dan (e)
menjamin pemasaran bersama.
Selanjutnya dalam perkembangannya, telah dilakukan kerjasama antara petani kopi
dan PT. Nestle Indonesia yang dikaitkan dengan pemberian bantuan teknik dan kegiatan
kapasitas building. Selain itu, muncul usaha petani kopi untuk melakukan upaya diversikasi
baik dalam rangka meningkatkan keterkaitan ke depan (forward linkages) dan dengan proses
panen menjadi kopi bubuk maupun dengan membudidayakan tanaman lain. Hal ini membuat
kegiatan petani dapat menghasilkan harga yang lebih baik dan tambahnya peluang pekerjaan.
Sebagai hasilnya, kenaikan penjualan kopi petani telah mencapai hingga 300% melalui
penjualan kolektif ke pedagang besar di Kabupaten Tanggamus seperti PT. Indocom, Pabrik
Kopi Intan, Hotel Sartika dan Hotel Marcopolo.
Selanjutnya, petani kopi ini telah merencanakan untuk menambah add value pada
produknya, tidak sebatas biji kopi, tetapi juga menjual kopi bubuk yang diproduksi bersama-
sama oleh seluruh petani. Mereka pun juga berupaya unutk meningkatkan kualitas kopi biji
dengan mengurus berbagai perijinan termasuk sertifikasi dari Dinas Kesehatan setempat.

4. Pemasaran
Pemasaran berhubungan dengan kebutuhan antar sektor, UKM sering kekuran permintaan,
sedangkan usaha menengah-besar
 Mulai dengan kebutuhan pasar
 Menhubungkan produsen skala kecil dengan supplier kepada perusahaan ekspor

5. Ekspor
Ekspor sangat penting untuk meningkatkan devisa bagi daerah, berikut konsep yang berdasarkan
best practice dari daerah yang berhasil :
 Mempriotaskan pengembangan kegiatan yang berorentasi ke luar atau ekspor karena
permintaan yang lebih luas dan pasar yang lebih luas.
 Prinsip ekonomi dalam pengembangan ekonomi lokal berbasis Agri-Touridm di Uchiko Town
dapat terlihat dari beberapa aspek. Yang pertama, Uchiko Town telah menyediakan banyak
produk yang dibutuhkan oleh pasar yaitu berupa bahan baku pertanian. Kedua, seperti yang

24
sudah dipaparkan pada bagian sejarah pengembangan PEL di Uchiko Town, pengembangan
ekonomi dari sektor agrikultur maupun tourism bukan hanya mampu menstimulasi kegiatan
ekonomi di wilayah Uchiko Town saja, namun mampu mendorong kegiatan ekonomi di
wilayah sekitarnya. Hal ini menunjukan bahwa adanya multiplier effect yang berdampak baik
pada berbagai kluster kegiatan ekonomi yang ada
Melihat penjelasan diatas, maka pengimplementasian PEL di Uchiko Town sudah mencapai pada
pergeseran konsep pengembangan ekonomi lokal sebagai yang dikemukakan oleh Blakely (1989),
yang tentunya konsep PEL yang dipegang oleh Uchiko Town berbeda dengan konsep PEL yang masih
dipegang oleh Indonesia. Adapaun pergeseran konsep PEL yang dimaksud bisa dilihat pada tabel
dibawah ini.

Tabel 2 Pergeseran Konsep PEL Lama Dan Baru Berdasarkan Komponen

Komponen Konsep Lama Konsep Baru


Perusahaan yang
Lebih banyak perusahaan = mengembangkan pekerjaan
Lapangan pekerjaan
lebih banyak lapangan kerja berkualitas yang sesuai untuk
penduduk setempa
Pembangunan kelembagaan
Basis pembangunan Pembangunan sektor ekonomi
yang baru
Keuntungan komparatif Daya saing berdasarkan
Aset lokasi
berdasar aset fisik kualitas lingkungan
Pengetahuan sebagai
Sumber daya Ketersediaan lapangan kerja
pembangkit ekonomi
Sumber: Blakely, 1989
Oleh karena itu berdasarkan best practice diatas dan kondisi existing di Pontianak maka
strategi yang dapat diterapkan pada studi kasus PEL Lidah Buaya di Pontianak adalalah sebagai berikur
Tabel 3 Konsep Penanganan dengan Best Practice

Kondisi Wilayah
Prinsip PEL Kondisi Wilayah Best Practice Strategi
Studi
Pemerintah Kota
Adanya Tanggung jawab dari Pontianak Menyediakan wadah
masing-masing stakeholders menyediakan lahan untuk berdiskusi
(pemerintah, swasta, dan seluas 800 Ha sehingga terjalin
masyarakat) sebagai aktor sebagai Kawasan kerjasama antar
pengembang dan pengelola Sentra Agrobisnis, , stakeholder dan
Kemitraan
ekonomi lokal salah, sebagai belum ada badan membentuk lembaga
contoh nya didirikan peminjaman modal sesuaian kebutuhan
“Intellectual Rural School” sehingga petani dan pengembangan lokal
untuk wadah menjalin pemilik industry seperti badan
hubungan antar stakeholder rumah tangga lidah peminjaman modal.
buaya menggunakan

25
Kondisi Wilayah
Prinsip PEL Kondisi Wilayah Best Practice Strategi
Studi
modal sendiri dalam
kegiatan produksinya
Sudah seharusnya
pemerintah di
kawasan Pontianak
mengandalkan
mengandalkan sumber daya Penggunaan pupuk potensi lokal dalam
lokal, bukan bantuan dari luar berlokasi di luar kontek ini
atau asing. kecamatan (pabrik membentuk pabrik
sawmill dan PT Pusri) industri pupuk di
kawasan studi
dengan menjalin
kerjasama dengan
swasta.
melakukan pembangunan
ekonomi lokal berbasis
partisipasi masyarakat melalui
pembangunan sektor-sektor
lain yang mendukung sektor Belum adanya
Mengadakan
agrikultu dan pelatihan- pelatihan-pelatihan
pelatihan-pelatihan
pelatihan pemasaran produk untuk meningkatkan
bagi masyarakat
sehingga pembangunan produktivitas
untuk menigkatkan
ekonomi lokal dikembangkan pertanian dan
produktivitas dan
sesuai dengan kapabilitas pemasaran lidah
pemasaran.
masyarakat namun tetap buaya,
fleksibel dalam menerima
tantangan perkembangan masa
depan.

Diversifikasi produk
Belum adanya
Inisiatif digerakkan oleh hasil olahan sehingga
penjualan produk
pembeli, pasar, dan permintaan menciptakan peluang
pengolahan yang
bukan produksi atau supply demand lebih besar
memperhatikan
salah satunya
permintaan pasar
dijadikan sabun.
Menyediakan wadah
Mendelegasikan kewenangan
untuk berdiskusi
dalam pengambilan keputusan Belum ada
sehingga terjalin
yang menyangkut dengan koordinasi kerja
kerjasama antar
kepentingan usaha dan sama antar pihak
stakeholder dan
kerjasama antar semua pihak swasta dengan
terciptanya
kepada masyarakat petani lidah buaya
koordinasi dangan
Pemberdayaan
pihak swasta
Pengembangan kelembagaan Pembentukan
belum ada lembaga
didasarkan atas kebutuhan dari lembaga sesuai
yang menampung
kegiatan ekonomi yang sedang kebutuhan yang
dan memonitoring
berlangsung, sebagai contoh sedang berlangsung
petani lidah buaya
ketika dilakukan restorasi dalam kontek ini
baik
sungai Fumamoto yang saat itu lembaga yang

26
Kondisi Wilayah
Prinsip PEL Kondisi Wilayah Best Practice Strategi
Studi
dilakukan oleh organisasi menampung dan
komunitas lokal yang berangkat memonitoring petani
dari sebuah rencana akan lidah buaya
dikembalikannya kegiatan
ekonomi di sektor agrikultur.

Mobilisasi sumber daya lokal Meningkat SDM lokal


Sebagian besar
untuk menunjang inisiatif yang dengan
pendidikan petani
diusulkan meningkatkan sarana
adalah kelulusan SD
pendidikan
Pertanian lidah
Pada kawasan best practice buaya terpusat di
Menfokuskan pada kluster dari kecamatan Pontinak
Membentuk cluster
kegiatan ekonomi yang ada, Utara hal ini
industri yang diikuti
yang produksinya dijual ke diwujudkan dengan
Cluster dengan industry
daerah luar (economic base) adanya sentra lidah
pengolah, industry
dan multiplier effect di buaya namun tidak
pupuk
daerahnya kuat diikuti dengan
industry pengolah,
industry pupuk,
Penentuan
penentuan komoditas dilakukan Komoditas utama di komoditas yang akan
dalam forum bersama yang Kota Pontianak , di kembangkan
melibatkan seluruh lidah buaya, sesuai keputusan
stakeholders yang dtetapkan oleh bersama pemerintah,
berkepentingan. pemerintah swasta dan
masyarakat
Tidak adanya kerja Melakukan kerja
Melakukan kerja sama antara sama antara petani sama antara petani
petani dan perusahaan terkait dan pabrik pengolah dan pabrik pengolah
dikaitkan dengan pemberian pupuk dimana pabrik pupuk dimana pabrik
bantuan teknik dan kegiatan sawmill dan PT Pusri sawmill dan PT Pusri
kapasitas building sehingga berada di luar berada di luar
terjadi nya diversifikasi hasil kecamatan sehingga kecamatan sehingga
cluster harga pupuk semakin harga pupuk semakin
mahal murah
Terbatasnya Pasar
Pemasaran di Uchiha Town di produk likdah buaya
Meningkatkan
lakukan dengan kebutuhan di Kota Pontianak,
pemasaran lingkup
pasar supply dan demand meliputi: pasar-pasar
internasional
local, toko, hotel,
cafe
Pemasaran Menhubungkan produsen skala tidak adanya
Menhubungkan
kecil dengan supplier kepada kerjasama yang kuat
petani lidah buaya
perusahaan ekspor hal ini untuk antara petani lidah
dan industry
mengurangi biaya tranportasi buaya dan industry
pengolah sehingga
sehingga biaya produksi pengolah sehingga
terjadinya kenaikan
menjadi murah terjadinya
harga jual dan
penurunan harga jual

27
Kondisi Wilayah
Prinsip PEL Kondisi Wilayah Best Practice Strategi
Studi
pertanian lidah menguntungkan
buaya oleh PT petani
Niramas selaku
industry
pengolah/sector hilir
yang merugikan
petani lidah buaya
Mempriotaskan pengembangan
kegiatan yang berorentasi ke
Hanya sedikit petani
luar atau ekspor karena Meningkatkan jumlah
yang mengekspor ke
permintaan yang lebih luas dan produksi ke luar neeri
luar negri
pasar yang lebih luas.

Prinsip ekonomi dalam


pengembangan ekonomi lokal
Ekspor
di Uchiha Town berbasis Agri-
Tourim sehingga mampu Pegembangan sarana Mengembangakan
mendorong kegiatan ekonomi pendukung orientasi sarana dan prasarana
di wilayah sekitarnya. Hal ini ekspor hanya sesuai kebutuhan
menunjukan bahwa adanya sebatas terminal yang sedang
multiplier effect yang agribisnis belangsung.
berdampak baik pada berbagai
kluster kegiatan ekonomi yang
ada

Berdasarkan konsep PEL dari best practice diatas diharapkan penerapan konsep PEL di kota
Pontianak dapat berjalan dengan lebih baik serta mendukung konsep baru dari pengembangan
ekonomi wilayah serta mengakomodasi berbagai tantangan dan permasalahan dalam implementasi
PEL di masa yang akan datang.

28
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Masalah utama dalam PEL berbasis pertanian lidah buaya di Kec Pontianak Utara adalah
menurunnya produksi pertanian lidah buaya. Dimana hal tersebut disebabkan karena menurunnya
harga jual produk yang diakibatkan karena kurangnya bantuan dari pemerintah untuk melakukan
pelatihan pengolahan dan pemasaran dan meningkatnya harga pupuk yang diakibatkan kurangnya
hubungan kemitraan dengan industry pupuk terkait. Selain itu bahan baku seperti pupuk masih
berasal dari daerah lain, hal ini mengindikasikan bahwa tingkat lokalisasi PEL lidah buaya di Kec
Pontianak Utara masih kurang. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut perlunya
konsep penanganan PEL berupa implementasi strategi-strategi yang telah dirumuskan pdi makalah ini.
Selain itu bila dilihat dari prinsip PEL yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam studi kasus ini
prinsip - prinsip tersebut belum diterapkan secara maksimal dalam wilayah studi. Maka dalam studi
kasus ini diberikan rekomendasi dan konsep penanganan yang mendukung keberlanjutan PEL melalui
prinsip - prinsipnya

4.2 Lesson Learned


Dari studi mengenai PEL berbasis pertanian lidah buaya di Kota Pontianak akan banyak
masalah dan hambatan yang terjadi bila prinsip - prinsip PEL tidak dilaksanakan secara maksimal. Dari
studi kasus PEL Lidah Buaya di Pontianak diketahui bahwa permasalahan-permasalahan yang ada
terjadi karena masih kurangnya hubungan kemitraan antara pemerintah, swasta dan petani lidah
buaya. Oleh karena itu dalam konsep pengembangan ekonomi lokal, salah satu prinsip yang paling
berperan penting dalam keberlanjutan PEL adalah kemitraan. Untuk itu, haruslah dijunjung tinggi dan
di prioritaskan prinsip - prinsip ini agar PEL menjadi berkelanjutan dan meningkatkan taraf hidup
masyarakatnya.

29
DAFTAR PUSTAKA

Dicky Kurniawan. 2010. Alternatif Pengembangan Ekonomi Lokal di Kota Pontianak Studi Kasus
Pertanian Lidah Buaya
Syakur Abdul. 2013. Pengembangan Ekonomi Lokal Partispatif: Masalah, Kebijakan, Panduan
Pelaksanaan Kegiatan.
RPJMD Kota Pontinak 2015-2019
RTRW Kota Pontianak 2013-2033

LINK ACADEMIA
https://www.academia.edu/33237581/Identifikasi_Persoalan_PEL_Kota_Pontianak

30

Anda mungkin juga menyukai