Anda di halaman 1dari 6

Sistem Pendidikan di Skotlandia

Oleh
Muh. Wahyu Suryandi Adam, S.Pd., M.Pd.
(Prodi Teknologi Pendidikan)

Sistem pendidikan di Skotlandia didasari pada manifesto utama dari penganut


Protestan di abad ke-16 yang menyatakan dogma bahwa pendidikan dan pengajaran adalah
nilai utama di dalam kehidupan (Houston, 2008:61). Sebagai contoh, telah banyak sekolah
ternama yang berada di Skotlandia sejak jaman silam, seperti sekolah bahasa di Glasgow dan
Dundee yang bahkan telah berdiri sejak abad ke-11. Meski demikian tradisi bebas buta aksara
di Skotlandia baru diawali pada abad ke-18, sebab hal tersebut berkaitan erat dengan
kebiasaan para penduduk, khususnya yang berasal dari daerah Highland. Pada era tahun
1910-11, kuantitas anak yang masuk sekolah dasar di Skotlandia memiliki tingkat yang
sangat tinggi di Eropa dan hanya bisa dikalahkan oleh Prancis pada saat itu (Houston,
2008:63). Bahkan persamaan gender telah terjadi dengan adanya bukti bahwa pada era tahun
tersebut, jumlah guru perempuan telah mencapai angka 70%, di saat negara lain pada saat
yang sama masih banyak yang mengalami ketidaksetaraan gender. Peraturan wajib belajar di
Skotlandia ditetapkan pada tahun 1872, ditandai dengan munculnya Education Scotland Act
(Cohen et al, 2007:94). Dan pada tahun 1890, telah muncul dan diperkenalkan sekolah yang
didalamnya tidak lagi memungut biaya bagi para siswanya (Houston, 2008:163). Hasilnya
pada saat ini dinyatakan bahwa pada tahun 1978 saja tingkat bebas buta aksara di Skotlandia
telah mencapai 99% (Dendinger, 2002:86). Pada tahun 2001, parlemen di Skotlandia
kemudian menyetujui kewajiban pembelajaran bagi para anak mulai dari lahir hingga usia 18
tahun. Keputusan tersebut sebelumnya didahului dengan perdebatan dan diskusi panjang dari
berbagai kelompok masyarakat mengenai perlu tidaknya pendidikan dari usia pra sekolah
(Cohen et al., 2007:105-110).
Saat ini, pendidikan dasar dan menengah di Skotlandia terbagi menjadi 13 level, yakni
level Primary yang diawali dari usia 4 tahun hingga usia 11 tahun. Sedangkan level S terbagi
menjadi enam tingkatan mulai usia 11 hingga 17 tahun (Wikipedia (2), 2012). Pada masa
silam, Skotlandia memiliki beberapa ilmuwan yang menonjol di bidangnya masing-masing.
Dua orang ilmuwan yang disebut paling berpengaruh di dunia pada abad ke-18, Alexander
Graham Bell (penemu telepon) dan John Logie Baird (penemu televisi), merupakan warga
asli dari Skotlandia (Houston, 2008:108). Sistem penyetaraan pendidikan yang terjadi di
Skotlandia, mirip dengan apa yang terjadi di Inggris, dengan menerapakan tingkat standar
standard grade untuk usia 14-15 dan higher untuk usia antara 15 hingga 18 tahun. Bagian
tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kerangka yang dinamakan Scottish Credit and
Qualifications Framework (Houston, 2008: 65). Khususnya untuk level perguruan tinggi,
pada masa silam di abad -13 hampir seluruh pemuda Skotlandia memilih universitas terkenal
di Inggris seperti Oxford dan Cambridge. Namun kemudian pada abad ke-15 telah banyak
yang memilih universitas di kota yang berada di negeri lain seperti di Leiden ataupun Roma
dan Paris. Pada abad yang sama, Skotlandia mulai mendirikan beberapa universitas yang
nantinya akan menjadi universitas ternama di dunia seperti Glasgow dan Aberdeen. Tetapi
universitas yang dianggap paling terkenal dari Skotlandia adalah universitas Edinburgh, yang
pada awalnya hanya dikenal sebagai town college karena keterbatasan yang dimilikinya.
Universitas Edinburgh sebagai universitas terbesar di Skotlandia, hingga saat ini memiliki 19
ribu mahasiswa strata satu dan lebih dari 7 ribu mahasiswa pasca sarjana yang berasal dari
seluruh dunia.
Pengelolaan sistem pendidikan di Skotlandia dilakukan oleh Departemen Pendidikan
Skotlandia atau SED (Scottish Education Department) dan dikontrol oleh parlemen khusus
yang menangani bidang tersebut. Pengelolaan ini telah dilakukan secara terpisah dari Inggris
Raya sejak tahun 1707 (Clark, 1997:3). Khusus untuk pendidikan tinggi, dikelola oleh
Scottish Higher Education Funding Council dan untuk pendidikan vokasi dikelola oleh
Scottish Office. Data pada tahun 1994, menyatakan bahwa terdapat lebih dari 784 pendidikan
bawah usia, 2.336 sekolah dasar, 405 sekolah menengah dan 318 sekolah khusus (Clark,
1997:4). Namun demikian pihak departemen pendidikan di sana tidak melakukan pencatatan
(tidak mengakui) sekolah yang didalamnya tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa resmi. Akibatnya jumlah dari sekolah tersebut tidak tercatat secara resmi di dalam
data.
Pada tahun 1997, pemerintahan Skotlandia mulai melakukan beberapa perubahan
penting di dalam dunia pendidikan. Perubahan yang sangat signifikan diantaranya adalah
pemisahan antara pre-school education yang ditujukan untuk para keluarga yang kedua
orangtuanya bekerja (umumnya juga berlaku sebagai penitipan anak) serta yang biasa. Selain
itu,untuk level pendidikan tersebut juga telah terdapat campur tangan pemerintah sehingga
diharapkan pada level tersebut, pendidikan dapat lebih merata (Cohen et al, 2007:98). Secara
resmi dinyatakan bahwa tidak terdapat kurikulum yang berlaku secara nasional di Skotlandia
(Clark, 1997:6). Namun demikian, dari hasil survei yang telah dilakukan di era 90-an,
disebutkan bahwa banyak keluhan yang terjadi akibat ketiadaan standar yang terjadi pada saat
para siswa tersebut mulai masuk ke sekolah menengah. Tetapi pihak departemen pendidikan
menetapkan standar kelulusan bagi lulusan prasekolah dengan adanya ketentuan Performance
indicators and self-evaluation for pre-school centres agar sekolah pra-dasar dapat mengatur
sendiri luaran yang diharapkan dari pendidikan yang telah dijalankan bagi murid mereka
(Cohen et al., 2007:115). Sehingga dengan adanya standar tersebut maka diharapkan dapat
terjadi standarisasi untuk masuk ke jenjang berikutnya. Di sisi lain, meski tidak terdapat
kurikulum nasional resmi, tetapi pihak departemen pendidikan mengeluarkan kerangka
kebijakan muatan pendidikan yang wajib terdapat di dalam sebuah sekolah, khususnya
sekolah dasar dan sekolah menengah. Kerangka yang disebut sebagai Scottish Curriculum
Framework tersebut memiliki beberapa komponen penting seperti pendidikan agama, moral,
pengembangan diri, ICT (Information Communication Technology) dan bahasa (Cohen et al.,
2007:115).
Khusus untuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, pihak pemerintah
Skotlandia juga menyediakan kurikulum resmi bagi mereka. Meski pada data resmi tahun
1995 menunjukkan hanya terdapat kurang lebih 9000 siswa berkebutuhan khusus yang
tersebar di 201 sekolah, namun keberadaan mereka sangat dihargai di negara tersebut (Closs,
1997:71). Sedangkan statistik resmi mencatat bahwa jumlah murid sekolah dasar di
Skotlandia sebesar 670.511 dan 90% diantaranya telah bebas biaya sekolah (Scottish
Government, 2011:1-2). Disebutkan pula dari sumber yang sama, bahwa lebih dari 75%
siswa di usia antara 8 tahun telah memiliki kemampuan membaca yang sangat baik. Statistik
lain menyebutkan bahwa hanya 63% dari lulusan sekolah menengah yang melanjutkan ke
perguruan tinggi (Scottish Government, 2011:9). Sedangkan sisanya memilih bekerja dan
bahkan tercatat 9.6% yang dinyatakan sebagai pengangguran. Ini dikarenakan universitas di
Skotlandia memiliki tarif yang tidak terbilang murah bagi para warganya sendiri.
Departemen pendidikan di Skotlandia juga mengadakan penelitian mengenai jumlah
pelanggaran yang banyak terjadi di sekolah dasar dan menengah. Tercatat paling banyak
pelanggaran yang terjadi adalah berbicara di dalam kelas, sedangkan pelanggaran yang
terendah adalah pelanggaran terhadap guru ataupun pelanggaran terhadap teman sebaya yang
berbau rasis (Scottish Government, 2011:14). Di Skotlandia, khususnya untuk sekolah dasar
dan menengah, disediakan sebuah fasilitas yakni makanan gratis bagi para siswanya. Namun
demikian survei membuktikan bahwa hanya 48% dari para siswa yang memanfaatkan
fasilitas ini (Scottish Government, 2011:20). Hal tersebut dikarenakan kondisi ekonomi di
Skotlandia yang saat ini semakin membaik, terlebih dengan adanya peningkatan pendapatan
negara di satu dekade terakhir. Dari tinjauan mengenai profesi guru, dijelaskan bahwa
terdapat lebih dari 77 ribu guru yang seluruhnya tergabung ke dalam asosiasi bernama GTC
(General Teaching Council). GTC sendiri merupakan badan resmi yang juga melegalisasi
profesi guru di Skotlandia, sehingga guru yang tidak terdaftar di GTC dinyatakan ilegal untuk
mengajar (Clark, 1997:8). GTC sendiri berdiri secara independen dan didanai tidak dari
pemerintah melainkan dari iuran tahunan yang wajib dibayarkan oleh tiap guru yang terdaftar
di Skotlandia (Clark, 1997:80). Tetapi yang ditekankan di dalam GTC adalah bahwa badan
tersebut bukan badan yang menangani tentang guru, tetapi mengenai pengajaran. Sehingga
didalamnya tidak hanya terdapat para guru sebagai anggota tetapi juga komunitas yang peduli
akan proses pengajaran di lingkup Skotlandia. Kekuasaan GTC, selain sebagai sebuah
wahana asosiasi juga berhak melakukan evaluasi terhadap kemampuan pengajaran seorang
guru di sekolah. Selain itu juga berkewajiban untuk menjaga profesionalisme para guru di
sekolah sehingga tetap terjaga kualitasnya. Gaji standar guru di Skotlandia untuk pembayaran
minimum per tahun disebut memiliki kisaran nilai antara 22.877 Euro hingga 85.800 Euro,
atau sekitar 275 juta rupiah per tahun minimum atau rata-rata memiliki penghasilan per bulan
lebih dari 22 juta (Cohen et al., 2007:119). Ini berarti bahwa gaji guru di Skotlandia telah
memiliki standar yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara kita. Selain standar gaji
yang tinggi, rasio dari tiap guru dengan jumlah siswa yang ada di dalam kelas cukup baik.
Tercatat di tahun 2011 bahwa rasio jumlah siswa di dalam kelas untuk sekolah dasar adalah
16, atau satu guru hanya menangani rata-rata 16 siswa. Sedangkan untuk sekolah menengah
bahkan lebih rendah yakni 12.3 (Scottish Government, 2011:13 ).
Pendidikan khusus untuk menjadi seorang guru diwajibkan dengan menempuh
program setara S1 dengan gelar B.Ed (Bachelor of Education) atau dengan melanjutkan ke
level pascasarjana dengan jalur yang sama. Selain itu juga diberlakukan assesmen untuk para
calon guru dengan standar tertentu sebelum mereka memulai proses belajar mengajar. Di
Skotlandia, hanya terdapat enam universitas yang menawarkan pendidikan keguruan yakni di
Universitas Paisley, Universitas Strathclyde, Moray House Institute of Education, Akademi
Aberdeen, Akademi Dundee dan Universitas St Andrews (Clark, 1997:85). Selain
menawarkan program kependidikan, juga ditawarkan jalur kependidikan khusus untuk seni,
teknologi kependidikan sekolah menengah. Namun untuk keilmuan yang lain, gelar yang
diperoleh oleh sarjana lulusan Skotlandia berupa M.A, yang sesungguhnya setara dengan B.A
jika disamakan dengan lulusan dari universitas di Inggris. Hal tersebut terjadi karena di
Skotlandia menganut sistem pemberian gelar honour dibandingkan strata sehingga terlihat
berbeda dengan negara yang lain (Redlich, 1957:133).
Di sisi lain, pemerintahan Skotlandia juga melakukan sebuah proses penjaminan mutu
untuk sekolah dasar dan menengah dengan menyatakan bahwa penjaminan mutu yang paling
efektif adalah melalui evaluasi terhadap kinerja diri sendiri dan berusaha untuk melakukan
perubahan yang dianggap perlu (Munn, 1997:93). Hal ini berarti bahwa penjaminan mutu
seharusnya menjadi tanggung jawab dari tiap sekolah dan menjadi sebuah perhatian khusus
untuk menjamin kualitas dari luaran yang dihasilkan.

Komparasi Skotlandia – Indonesia


Pendidikan yang terjadi di Skotlandia memang tidak bisa dibandingkan secara vis-à-
vis dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti
faktor pemerintahan, faktor budaya dan juga sejarah. Selain itu, pencitraan dari negara
Skotlandia yang telah melahirkan beberapa tokoh terkemuka di bidang sastra ataupun
teknologi serta beberapa universitas yang telah menasbihkan dirinya sebagai perguruan tinggi
kelas dunia, memang bukan bandingan yang setara bagi Indonesia. Sebagai contoh adalah
ketentuan mengenai wajib belajar yang telah diawali sejak abad ke-18, di saat yang sama
Indonesia masih berkutat dengan perlawanan dengan penjajah dari daratan Eropa. Namun
Skotlandia yang di saat sama sesungguhnya masih berjuang untuk mencari bentuk
pemerintahan yang mandiri dan pada akhirnya gagal. Tetapi mereka jauh lebih peduli dengan
kondisi pendidikan yang dipercaya akan membawa negara mereka ke jalan yang lebih baik di
masa mendatang.
Di sisi lain, sistem pendidikan di Skotlandia juga banyak terbantu dengan sistem
pendidikan yang ada di UK. Sebagai salah satu bagian dari UK, tak dapat dipungkiri bahwa
sebagian besar sistem yang ada di Skotlandia masih dipengaruhi keputusan yang dibuat oleh
parlemen Inggris Raya dan Kerajaan Inggris. Meski sejak tahun 1999, pihak pemerintahan
Skotlandia berusaha untuk menonjolkan muatan lokal sebagai identitas bangsa dan masih
terus berusaha mencari ciri dari kurikulum nasional mereka sendiri. Perbandingan lain dapat
dilihat dari tingkat persentase bebas buta aksara yang mencapai 99%, seperti halnya yang
terjadi di banyak negara maju di Eropa. Meski secara ekonomi, disebutkan bahwa Skotlandia
tidak termasuk negara kaya sebab masih bergantung kepada subsidi yang diberikan oleh
Inggris. Tetapi kepedulian mengenai pendidikan sangat tinggi dijalankan oleh pihak
pemerintah Skotlandia. Dari tingkat ekonomi, Indonesia sendiri sesungguhnya jauh lebih
peduli terhadap pendidikan dengan adanya ketentuan minimal 20% anggaran harus
diperuntukkan ke bidang pendidikan. Namun pada kenyataan yang terjadi masih terjadi
kesimpangsiuran ataupun penyelewengan yang mengakibatkan kurang meratanya pendidikan
yang terjadi di negeri ini. Bahkan sistem pendidikan usia pra sekolah dan sekolah dasar-
menengah juga menjadi perhatian khusus, mengingat merekalah generasi tumpuan bangsa di
masa depan. Kepedulian tersebut telah terjadi sejak masa silam, berbeda dengan Indonesia
yang baru lima tahun terakhir berusaha menggiatkan dan melegalkan keberadaan PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini). Sayangnya pula peraturan tersebut juga tidak disertai dengan
adanya ketersediaan infrastruktur seperti yang terjadi di Skotlandia. Ditinjau dari sisi sejarah,
keheroikan yang terjadi di Indonesia di masa lampau kurang lebih sama dengan apa yang
terjadi di Skotlandia. Begitu pula dengan peninggalan sejarah yang terdapat di Indonesia,
tidak akan ada yang mampu mengingkari bahwa negara kita adalah negara yang sangat kaya
akan berbagai jenis peninggalan sejarah. Perbedaan utama yang terjadi adalah bahwa di
Skotlandia, segala jenis peninggalan tersebut benar-benar dihargai dan dirawat serta dijadikan
sebagai sebuah senjata untuk meningkatkan penghasilan melalui sektor pariwisata. Bahkan
keheroikan pahlawan masa silam mereka seperti Rob Roy atau William Wallace (Braveheart)
benar-benar menjadi sebuah figur pahlawan bagi para generasi muda di sana. Mereka benar-
benar terinspirasi dengan semangat para pahlawan di masa lalu dan mengaplikasikannya
sebagai sebuah semangat nasionalisme, sehingga menjadikan ciri khas penduduk Skotlandia
yang dikenal pantang menyerah di segala kondisi. Sisi lain yang sangat berbeda dan dapat
dijadikan sebuah wawasan kependidikan bagi warga negara Indonesia adalah adanya sebuah
badan independen yang mengurusi bidang pengajaran dan guru atau GTC. Dengan
melakukan pendanaan mandiri dan mengadakan penjaminan mutu secara mandiri dengan
bekerja sama melalui berbagai komunitas, maka profesi guru menjadi sebuah prestise
tersendiri di negara tersebut. Belum lagi dengan adanya gaji yang cukup menggiurkan bagi
seorang guru jika dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia.
Hal ini tentu saja berbeda dengan di negara kita yang sepenuhnya ditangani
pemerintah, sedangkan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) tak lebih dari sekedar
asosiasi yang tidak memiliki wewenang di dalam melakukan penjaminan mutu. Bahkan untuk
dosen tidak memiliki asosiasi khusus yang mampu memperjuangkan hak dan kewajibannya.
Akibatnya permasalahan yang terjadi semakin banyak dan menumpuk, mulai dari proses
sertifikasi guru dan dosen ataupun proses pengangkatan guru di berbagai daerah. Begitu pula
dengan pemerataan pendidikan yang pasti akan berimbas terhadap pemerataan kualitas
daerah itu sendiri. Tidak seperti di Indonesia yang memiliki lebih dari 3000 perguruan tinggi
dan ratusan diantaranya telah memiliki program studi di bidang kependidikan, Skotlandia
hanya memiliki enam perguruan tinggi yang membuka program studi di bidang
kependidikan. Tetapi hal tersebut bukan berarti bahwa guru yang ada di Skotlandia memiliki
mutu lebih jelek, sebab sebelum mereka mengajar telah terlebih dulu menjalani proses seleksi
yang adil oleh GTC.

Clark, Margaret. 1997. Education in Scotland: Setting the Scene dalam Education in
Scotland: Policy and Practice from pre-school to secondary (ed. Margaret M. Clark &
Pamela Munn). Routledge:London
Closs, Allison. 1997. Special Education Provision dalam Education in Scotland: Policy and
Practice from pre-school to secondary (ed. Margaret M. Clark & Pamela Munn).
Routledge:London
Cohen, Bronwen et al. 2007. A New Deal for Children ? Reforming Education and Care in
England, Scotland and Sweden. The Policy Press:Bristol
Dendinger, Robert. 2012. Scotland:Modern World Nations Series. Infobase Publishing:New
York
Houston, Rab. 2008. Scotland: A Very Short Introduction. Oxford University Press:Oxford
Munn, Pamela. 1997. Standard and Quality dalam Education in Scotland: Policy and Practice
from pre-school to secondary (ed. Margaret M. Clark & Pamela Munn).
Routledge:London
Wikipedia. 2012. Scottish People. http://www.wikipedia.org/scottish_people (akses terakhir
12 Februari 2012).
Wikipedia. 2012. Education in Scotland. http://www.wikipedia.org/education_in_scotland
(akses terakhir 12 Februari 2012).

Anda mungkin juga menyukai