Anda di halaman 1dari 5

Pembentukannya sekitar mei tahun kemarin ya. Masih seumur jagung.

Dengan tujuan sebenarnya ya


bagaimana membuat ekosistem film di Riau itu sebagai stimulus. Tapi karena kita bukan
komunitas.tapi jadi memang menciptakan sebuah program yang salah satu programnya yaitu kita
fokus ke soal eduksi dan apresiasi. Jadi kalau kita bisa bilang Gmove itu non komersil aktivitas. Tidak
termasuk produksi. Tapi lebih ke apresiasi. Tapi mungkin banyak gerakan-gerakan di Riau.. di
pekanbaru lah ya kan rata-rata concern nya banyak di produksi. Jadi kami berpikir kenapa ruang-
ruang apresiasinya itu masih sangat minim, itulah sebagai latar belakangnya. Termasuk juga
berbicara soal edukasinya. Karena kalau ngomongin edukasi kan bukan ngomongin soal teknis nya
aja harusnya. Film bagi kami kan sama seperti produk budaya. Apalagi kalau di pandang dari
kacamata seni yang intinya film itu sebetulnya ada cara-cara khsusus atau cara-cara estetik itu kita
tetapkan. Termasuk soal distribusi juga kita ngelihat mungkin beberapa data-data diskusi dengan
temen-temen komunitas.. banyak yang masih belum tahu ketika filmnya udah dibikin gak tau filmnya
mau dikemanain. Selalu stuck-nya disitu. Alhasil cuman jadi penghuni hardisk doang kan.. dan juga
file-nya ketika dicari itu udah gak tau kemana. sayang banget. Sementara ada ratusan festival di
Indonesia. Kalau kita bicara internasional mungkin ada ribuan.. yang mungkin bisa aja ini karya
masuk ke kuratorial program mereka. Nah ini dari kacamata kami mungkin ada kurangnya informasi
soal bagaimana mendistribusikan sebuah karya tadi. salah satunya ya itu tadi lah. Kita menciptakan
ruangnya dulu kan. Sarana dan prasarananya minimal ruang apresiasi akhirnya disitu teman-teman
mendistribusikan film-film nyadan kita juga sekalian sounding gitu bagaimana seharusnya festival
bekerja. Terutama festival film. Dan mungkin literasi kita juga akan mengarah kepada kritik..

Visi besar kedepannya ?

Mungkin kita gak akan produksi. Kalaupun ada mungkin sifatnya akan memiliki judul besar bagian
dari apresiasi. Yang mana mungkin tidak akan menggunakan G-Move juga. Karena kayanya kita
memang akan concern dulu nih ke hal-hal yang fondasinya belum kuat. Karena kan secara ekosistem
film kan itu tadi ada edukasi, ada produksi, lalu ada apresiasi.. sampai nanti ke ranah pengarsipan.
Nah pengarsipan ini masih baru banget kan. Teman-teman mungkin merasa itu kayak gak penting
amat. Padahal sekarang jadi concern. Termasuk di festival JEF 2022, kebetulan saya hadir disana
mewakili G-Move juga. Itu yang jadi concern disana bicara tentang pengarsipan. Jadi istilahnya kita
berusaha selangkah lebih maju. Mungkin orang masih bicara produski, apresiasi.. sedangkan jogja
udah mulai masuk ke ranah arsip. Gimana menjaga film-film yang kayak 20 tahun gitu mereka
membuat arsip.

Di Riau sendiri ada gak gerakan yang sama ?

Kayanya ada. Beberapa komunitas ada. Mungkin belum masif. Kalau yang menjadi catatan kami
sebenarnya belum ada budaya yang namanya ‘kuratorial program’ atau membuat sebuah lingkaran
yang sifatnya memiliki tema-tema tertentu. jadi kita tu kalau di G-Move film tu lebih dibaca daripada
di tonton. Jadi istilahnya membaca film. Jadi istilahnya disitu kenapa setiap bikin screening kita wajib
ada diskusi. Karena disitulah proses membaca filmnya itu.berarti kita masuk ke soal gimana sih kita
melihat film itu ya sebagai produk seni dimana ada ulasan disana, gimana pandangannya director
gitu dengan penonton. Intinya ya kita pengen ruang ini yang ada di pekanbaru.

Kalau program-programnya ada apa aja ?


Kita pernah pertama kali itu kita launching beberapa film Riau.. terus kita juga pernah bikin
pemutaran film, temanya perempuan. Film-film yang membicarakan isu-isu perempuan. Diskusinya
juga kita ngundang perempuan yang punya kapabilitas lah. Ngomong gitu kan. Dan punya
background film atau minimal punya sense lah sama film, kita ngasih ruang itu karena waktu itu latar
belakangnya juga pada saat itu bicara soal isu-isu perempuan yang banyak masih termarginalkan kita
coba hadirin ruang itu.

Terus kita juga coba pernah bikin program screening spesial fokus on edwin. Jadi ada salah satu
director indonesia yang namanya tuh udah gede banget. Tapi dia masih terkenal sebagai director
yang underground, padahal di dunia itu udah menggaung banget namanya. Terakhir itu dia bikin film
itu seperti Dendam rindu harus dibayar tuntas. Dan dengan film itu menang di lokarno film festival.
Itu pertama kalinya orangg indonesia yang menang. Itu salah satu festival film tertua yang ada di
dunia. Dan dia dapat film terbaik disana. Nah film-film pendek dia, itu kita putarin. Karena kalau
kalangan komunitas, kalau kita bicara segmen ya, itu sebenarnya kita ingin menyasar kalangan film
maker karena rata-rata pasti kenal dengan edwin dan banyak yang gak tau film edwin. Nah ini yang
paling penting sebenarnya kita mencoba memungsikan G-Move sebagai perpanjangan tangan. jadi
film-film edwin ini dipegang oleh distributor, yang mana kadang untuk melakukan kerjasama tu
lumayan kita punya birokasi gitu-gitulah. Nah makanya kadang banyak komunitas-komunitas gak
sanggup, nah kitalah yang mencoba menghadirkan ruang itu. Makanya alhamdulillahnya banyak
berterima kasihlah gitu. Kita muterin edwin, karena mereka ngefens.. ‘oh aku belum nonton film ini
ni’...ya itulah tadi. kita ini kan sebenarnya G-Layar itu kan layar alternatif. Yang dimana kita mutarin
film-film itu gak ada di bioskop. Film-film bagus banget yang gak akan pernah ada di bioskop. Nah
fungsi G-Layar itu kita pengen seperti itu. Baru terakhir itu program Bulan Hari Film Nasional.. kerja
sama dengan.. istilahnya dengan komunitas yang ada di sumtera..Aceh Film Festival.. kita ajak
kerjasama.. meta sinema di padang, terus ada dari batam geta mine studio. Kita ngajak kerjasama
mereka mau.. ngasih filmnya, dan kita bikin 2 malam.

Sejauh ini perkembangan G-Move nya dari awal sampai sekarang bagaimana ?

Kalau sejauh ini ya kalau bicara soal data paling engganya dapat data penonton yang terus
bertambah dan selalu ramai terus ya diskusi yang selalu interaktif, sesi diskusi yang tidak monoton.
Dari diskusi kadang kita sampai terkendala waktu. Pas udah panas diskusinya malah durasi yang gak
cukup. Tapi kita berharap sebenarnya ada budaya diskusi yang terbangun dan gimana kita ,
mendefenisikan kembali soal kritik film. Sebenarnya itu sih pengennya. Makanya mungkin dalam
waktu dekat mungkin kita juga akan mulai menuju ranah ke program kritik film.

Film apa yang ditayangkan dan mengapa film tersebut ?

Pertama, kita mutarin, ada 2 program ya pertama Program Sumatera Landscape, sumtera landscape
ini itu kita kerja sama dengan beberapa yang tadi saya bilang komunitas-komunitas yang ada di
Sumatera kebetulan yang mengkurasi itu dari mereka, tapi kita cuman pengen melihat lokalitas dari
tiap-tiap daerah yang ada di Sumatera. Jadi keberagaman budaya yang ada di Sumatera yang mampu
merepresentasikan yang akhirnya menjadi sebuah program. Makanya kita menonton film yang
festival secara tematik kita melihat budaya tempatan. Nah di riau di riau sendiri kita memilih
film2nya yang mana filmnya dari situ ada film dari bengkalis, ada dari rengat,ada dari meranti, dan
ada dari pekanbaru sama dari siak. Nah sama, kita mengambil bicara soal keberagaman tadi.
kebergaman. Jadi sebelum kita ngomong jauh secara indonesia, yang kkta tahu secara melayu aja
ada keberagaman. Nah bagaiaman kita nih membaca keberagaman itu melalui film. Kita melihat ada
berbagai macam keberagaman, dan kita gimana nih cara kita merespon keberagaman itu. Makanya
pas itu kit kerja sama nya sama rumah non blok, dimana nonoblok temen-temen punya concern
ingin kesana juga gitu kan jadinya matching itu. Diskusinya lumayan interaktif. Dan kita juga bikin by
daring juga, dengan filmaker2 dari daerah2 itu. Diskusi2. Dan mungkin alasan terkuat nya yaitu yang
mampu merepresentasikan berbagai daerah yang ada di riau.

(jenis-jenis film ada instagram)

Jadi hari pertama kita menscreening sumatera landscape, malam kedua riau landscape. Salah
satunya juga bagaiamana mungkin ini kayak apa ya gimana sebuah festival bekerja. Cara festival
bekerja tu sebenarnya hampir mirip. Karena berbicara festival berbicara pesta. Ada banyak ruang
atau space gitu ya yang kita di festivalkan itu. Dan kita mencoba itu deh mentransformasikan dalam
bentuk lebih sederhana mungkin. Karena yang dari riau sendiri mungkin itu open submit. Jadi kita
bikin open submit habis itu film2nya itu kan bisa mentranslatekan film mereka dan itu kita kurasi.

Kenapa milih rumah nonblok utk penayangannya?

Pada saat itu.. krn melihat itu tadi, mereka punya sense kesana terus juga pada saat itu kita nanya
pengen membuka kolaborasi dg kawan2 yang mungkin nonfilm. Karean kita percata gerakan2 ini
mestinya gak film aja. di temen2 lain juga ada. Makanya suku seni mungkin kapan2 ya main ke suku
seni kolaborasi.

Kalau antusiasme dari masyarakat umumnya bagaimana ?

So far masih dari kalangan ini sih komunitas ya. nah ini yang masih jadi pr besar kita. Gimana caranya
istilahnya nge triger juga temen2 yang nnon filmaker minimal ya penikmat film ya nah kita pengen ya
mungkin judul besarnya saya ngepandangnya ya menjadi bioskop alternatif yang berfungsi ya itu
tadi. orrang-orang yang pengen datang film2 yang mungkin ini langka banget. Film2 yang mereka
pengen mereka penonton. Yang aksesnya susaah. Makanya kadang banyak orang bilang film
anisaatun / asean /asia gak (?) gak bagus. Sebenarnya banyak yang bagus. Cuman aksesnya yang
susah. Nah akses ini tuh hanay ada di festival-festival. Yang notabene nya ya itu kan festival-festival
terkenal apalagi ke jawa kan. Ya barometernya disana, kiblatnya disana,kita masih ke jawa kita masih
ke jogja. Apalagi kalau akhir tahun sebenarnya, festival film semua d dunia, di jakarta juga ada. J fest.
Di pulau jawa banyak. Terus di berbagai daerah dengan jadwal-jadwal yang sudah tersusun.
Maksudnya pergerakan ini tuh udah jadi maping secara nasional. Sumatera kapan nih? Di sumatera
yang mulai naik itu aceh. Kalau di sumtera barat belum konsisten. Kalau di aceh kalau kita bicara
grafik, itu mereka naik terus. Mereka sudah konsisten. Program2 mereka justru sudah bekerja sama
dengan programer internasional. Nah salah satunya ya kalau kita bicara riau, sebenarnya peluangnya
lebih besar untuk bisa kkerjasama dan kolaborasi secara negara zoom tour (?) hampir sama.
Sebenarnya. Kalau bicara konsistennya tadi.

Kalau sineas2 di acara kemarin hadir gak ?

Ada yang hadir. Ada yang langsung by zoom. Yang jelas kita disitu diskusi. Ya, secara langsung lah.

Kemudian tadi kan ada diskusi ya.. nah dalam diskkusi itu biasanya mereka dari segi apa ?
Sebenarnya ini menarik. Kita ketika apa ya. sebenarnya ini terlepas program terakhir. Kalau scara
general, pentingnya tema tadi. jadi ketika kemarin bikin temanya perepuan. Yang kita bahas justru
bukan ranah teknis. Kalau misalnya edwin tadi itu kita benar-benar bahas teknisnya karena yang
temanya soal estetika. Sebenarnya kita pengen ada keberagaman disana. Jadi mungkin kita bisa
terus merancang program dimana bisa bikin gak bahas tentang teknisnya tadi. tapi yang perlu di
bahas adalah isu, gagasan.

Pada saat diskusi acara ini yang di nonblok itu terjadi diskusi tentang isu dan gagasan tapi belum
seintens yang kayak perempuan itu. Makanyabagaimana kita memilih film itu sangat berpengaruh ke
diskusinya terus juga ditambah memang yang diskusi terakhir ini kita kan langka pembicaraa, diskusi
sebelumnya itu kita memang nyari untuk beberapa orang untuk jadi pembicara. Pake oderator. Yang
terakhir ini memang tidak ada ruang diskusi karena memang wktu juga ya, bulan puasa. Ada
berbagai keterbatasan.

Harapan g-move kedepan?

Yang paling penting sih untuk ngebentuk sebuah ekosistem film yang beneran
solid. Ya itu tadi sih, perlu adanya banyak kolaborasi2 lagi gitu. Yang dimana
mampu menstimulus gerakan-gerakan komunitas lain juga. Yang selama ini
mungkin masih sibuk sendirinya gitu. Akhirnya sekarang gimana bisa ngeklops

Nah yang paling penting lagi ketika akhirnya hadir dengan sebuah festival film
riau.. gitu. Kita juga akhirnya juga siap menjadi sebuah tuan rumah buat
teman2 dari daerah lain yang nanti akan berkunjung ke riau. Nah itu. Jadi
untuk siap menjadi tuan rumah itu kan berarti ya mesti siap dulu secara
fondasinya kita. Bicara pekanbaru apalagi bicara riau. Riau kita tidak bisa bicara
tentang pekanbaru aja tapi juga mesti bicara daerah2 lain yang aksesnya masih
wah minim sekali. Kayak kemarin itu dari meranti sambil dengar curhat itu dia
ngerjain film tu semuanya sendiri. Yang jadi masalah itu kan masih belum
banyak yang masih bellum punya sense terhadap film. Nah yang main sendiri
ini tadi tu agak berbeda nih. Mungkin ada yang misalnya aladh yang berbentuk
komunitas tapi belum mau berbaur. Ada yang dia sebagai filmmaker yang bikin
film tu sendiri. Kek gitu. Karena apa? Keterbatasan SDM.. nah itu kalau
komunitas jadi, udah ada SDM nya tapi belum mau ngajar ?

Kalau yang di daerah itu masih ada keterbatasan SDM. Plus minimnya itu
informasi soal bagaimana mendistribusikan ke tahap yang lebih lanjut. Banyak
temen2 di daerah selalu curhat. Film mereka yang mereka tau Cuma masukin
ke festival.. yang ada di riau ini yang actually sebenarnya itu lomba.. masukin
dan setelah itu masukin ke youtube.. outputnya youtube. Yang notabene nya
sebenarnya youtube itu pilihan terakhir seharusnya. Bagi beberapa filmmaker
karena ada beberapa syarat2 festival itu gak boleh di publish filmnya.
Streaming masih boleh. Makanya sebenarnya yang bisa menjadi concern itu
pelajar. Kalau kita berkacamata pada gerakan teman2 yang di purbalingga.
Keonsistenan. Akhirnya menonton tu balik lagi menjadi sebuah budaya. Dulu
kan layar tancap itu budaya banget. Semua jenis masyarakat itu berkumpul di
satu area. Budaya itu yang mencoba kita hidupkan kembali. Akhirnya
menghapus tu batas eksklusifitas kayak Cuma di bioskop. Bioskop aja belum
merata. Ya itu lah ahrapan kita. Gak Cuma di pekanbaru aja tapi juga merata ke
seluruh riau

Anda mungkin juga menyukai