Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, atas segala nikmat iman, jasmani dan rohani.

Tiada henti kepadaNya penulis meminta agar selalu diberi kesehatan, kemudahan, kesabaran dan

kekuatan dalam menyelesaikan paper ini. Berkat kasih sayang, petunjuk dan rahmat-Nya penulis

dapat megolah data menjadi kata, menjadi kalimat dan menjadi paragraf-paragraf yang berisi ide,

kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah skripsi ini. Tidak lupa

shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Makhluk Istimewa yakni Nabi Muhamad SAW.

Yang telah membawakan cahaya kesempurnaan akhlak bagi umat manusia.

Paper yang berjudul “POLITIK HUKUM PRESIDENTIAL THRESHOLD” penulis

susun dalam rangka menyelesaikan tugas panulisan paper yang diberikan oleh bapak M. Husun

Abadi. Dengan kerendahan hati penulis bahwa tidak akan sanggup melewati segala hambatan

dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan paper ini, tanpa adanya bantuan dan

motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan

penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada pihak – pihak yang sudah

memberikan motivasi dan bantuan kepada penulis selama pengerjaan paper ini.

Hanya ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya yang dapat peneliti sampaikan, semoga

Allah SWT membalas kebaikan-kebaikan kalian semua. Akhirnya tiada untaian kata yang

berharga selain ucapan Alhamdulillahirabbil ‘Alamiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya, Aamiin. Sekian dan

terimakasih.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. TINJAUAN TENTANG MATA KULIAH POLITIK HUKUM.........................................1
B. POLITIK HUKUM PRESIDENTIAL THRESHOLD.........................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................5
C. POLITIK HUKUM PRESIDENTIAL THRESHOLD.........................................................7
D. PENDAPAT.......................................................................................................................10
E. KESIMPULAN...................................................................................................................11
BAB III..........................................................................................................................................14
KRITIK TANGGAPAN................................................................................................................14
A. PENDAPAT MAHASISWA..............................................................................................15
B. KRITIK DAN SARAN.......................................................................................................15
BAB V...........................................................................................................................................16
PENUTUP.....................................................................................................................................16
A. KESIMPULAN...................................................................................................................17
F. REKOMENDASI...............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. TINJAUAN TENTANG MATA KULIAH POLITIK HUKUM

Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia

dari Istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dua kata recht dan

Politiek. Dalam kamus bahasa Indonesia kata recht berarti hukum dan dalam kamus

Bahasa Belanda yang ditulis oleh Van der Tas, kata Politiek mengandung arti beleid.

Kata belied sendiri dalam bahasa indonesia berarti kebijakan (policy). (Imam Syaukani

Dan A.Ahsin Thohari,2015:21) Dari penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum

secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia bearti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar

rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan

kata lain , politik hukum adalah serangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar

dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak

dalam bidang hukum. (Imam Syaukani Dan A.Ahsin Thohari,2015:24) Padmono Wahojo

dalam buku (Imam Syaukani Dan A.Ahsin Thohari“Dasar – Dasar Politik

Hukum”,2015:26) mendefinisikan politik hukum adalah kebijakan penyelenggara Negara

yang bersifat mendasar 31 dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang

akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu.

Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum

yang berlaku dimasa datang (Ius Constituendum).

1
Teuku Mohammad Radhie dalam buku (Imam Syaukani Dan A.Ahsin

Thohari“Dasar – Dasar Politik Hukum”,2015:27) mendefinisikan Politik Hukum adalah

suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku

diwilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Pernyataan

“mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya”mengandung pengertian hukum yang

berlaku pada saat ini ( Ius Contitutum) dan “mengenai arah perkembangan hukum yang

di bangun”mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (Ius

Constituendum). Soedarto dalam buku (Imam Syaukani Dan A.Ahsin Thohari“Dasar –

Dasar Politik Hukum”,2015:28) mendifinisikan politik hukum adalah kebijakan dari

negara melalui badan – badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan –

peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan

apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita – citakan.

Pada Buku Soedarto yang lain yaitu “Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat

Kajian Terhadap Hukum Pidana”, Politik Hukum adalah Usaha untuk mewujudkan

peraturan – peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.

Pengertian politik hukum yang dikemukakan Soedarto atas mencakup pengertian

yang sangat luas. Pernyataan “mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat”bisa ditafsirkan sangat luas sekali dan dapat memasukkan pengertian di luar

hukum, yakni politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam. Sedangkan pernyataan

“untuk mencapai apa yang dicita–citakan “memberikan pengertian bahwa politik hukum

berkaitan dengan hukum yang dicita – citakan (Ius Constituendum). Satjipto Rahardjo

dalam buku (Mohammad Mahfud MD “Politik Hukum Di Indonesia”,2014; 2)

mendifinisikan politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai

2
untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat dan menurut

Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi

politik hukum. yaitu:

1) Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada.

2) Cara – cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai

mencapai tujuan tersebut.

3) Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara – cara bagimana

perubahan itu sebaiknya dilakukan.

4) Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita

memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara – cara untuk mencapai tujuan

tersebut secara baik.

Bedasarkan uraian diatas Penulis setuju dengan Pendapat Soedarto, politik

hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan – badan negara yang berwenang

untuk menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk

mencapai apa yang dicita – citakan. Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar

penyelenggara negera (Republik Indonesia)yang dicita – citakan. Dari pengertian ini

ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu: (Imam Syaukani

Dan A.Ahsin Thohari,2015:58)

1) Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak

2) Penyelenggar negara pembentuk kebijakan dasar tersebut

3) Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku.

3
4) Proses pembentukan hukum

5) Tujuan politik hukum nasional.

B. POLITIK HUKUM PRESIDENTIAL THRESHOLD

Demokrasi adalah prinsip yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Salah satu
prosedur demokrasi tersebut adalah adanya mekanisme Pemilihan Umum (PEMILU)
untuk menentukan wakil - wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen dan juga untuk
memilih calon pemimpin Eksekutif. Hal ini, juga diterapkan di Indonesia dimana rakyat
memilih wakil-wakilnya yang duduk di pemerintahan Legislatif dan Eksekutif. Namun,
didalam perjalanannya adanya Perubahan UUD 1945 (1999-2002) mengakibatkan
perubahan pula mengenai mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)
dalam sistem Presidensial yang kita anut. Semula Pilpres dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung. Pasal 6
Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan , ”Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dengan suara terbanyak”.1
Setelah perubahan UUD 1945, ketentuan Konstitusi tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi, “ Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.2 Hal ini
jugalah yang membawa perubahan ketentuan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di Indonesia. Dalam menyusun artikel ini
digunakan metode Penelitian Yuridis Normatif dengan melakukan suatu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh
hakim melalui proses pengadilan mengenai permasalahan eksistensi Presidential
Threshold (PT) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013 di
Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2014). Dalam sidang itu, MK mengabulkan
permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili Effendi Ghazali bahwa Pemilu
Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) dilakukan serentak yang dilaksanakan
pada tahun 2019.3

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG

Demokrasi adalah prinsip yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Salah satu

prosedur demokrasi tersebut adalah adanya mekanisme Pemilihan Umum (PEMILU)

untuk menentukan wakil - wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen dan juga untuk

memilih calon pemimpin Eksekutif. Hal ini, juga diterapkan di Indonesia dimana rakyat

memilih wakil-wakilnya yang duduk di pemerintahan Legislatif dan Eksekutif. Namun,

didalam perjalanannya adanya Perubahan UUD 1945 (1999-2002) mengakibatkan

perubahan pula mengenai mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)

dalam sistem Presidensial yang kita anut. Semula Pilpres dipilih oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung. Pasal 6

Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan , ”Presiden dan Wakil Presiden

dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dengan suara terbanyak”.

Setelah perubahan UUD 1945, ketentuan Konstitusi tentang Pemilihan Presiden

dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi, “ Presiden dan

Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.Hal ini jugalah

yang membawa perubahan ketentuan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden

dan Wakil Presiden (Pilpres) di Indonesia. Dalam menyusun artikel ini digunakan

metode Penelitian Yuridis Normatif dengan melakukan suatu penelitian yang

5
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh

hakim melalui proses pengadilan mengenai permasalahan eksistensi Presidential

Threshold (PT) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013 di

Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2014). Dalam sidang itu, MK mengabulkan

permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili Effendi Ghazali bahwa Pemilu

Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) dilakukan serentak yang dilaksanakan

pada tahun 2019.

Penyelenggaraan Pilpres di Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 mengenal

ketentuan ambang batas calon Presiden dan Wakil Presiden atau yang biasa di istilahkan

Presidential Threshold. Presidential Threshold ini digunakan sebagai prasyarat dalam

pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pengaturannya pada Pasal 9 UU No.

42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai

pengganti Pasal 101 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan

Wakil Presiden yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden

hanya diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang

memenuhi persyaratan, yakni memperoleh kursi minimal 20% (dua puluh persen) dari

jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional

dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden. “Ketentuan Persentase ambang batas pada UU No. 42 Tahun 2008 merupakan

salah satu bentuk kebijakan hukum (Legal Policy) yang dibuat pemerintah yang

tujuannya untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensial dapat bekerja secara

efektif di Indonesia.

6
Namun, Ketentuan PT tersebut telah menimbulkan permohonan pengujian

(Judicial Review) terhadap pasal tersebut dengan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 ke

Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusipun mengeluarkan putusan-

putusannya beberapa kali hingga terakhir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan Pemilu Serentak di Indonesia pada tahun 2019.

C. POLITIK HUKUM PRESIDENTIAL THRESHOLD

Kita semua mengetahui bahwa pada dasarnya politik adalah sebuah alat untuk
mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Dalam sebuah proses politik, terdapat sebuah
mekanisme lanjutan untuk mengejawantahkan suara rakyat menjadi suatu konsensus yang
kuat dan mengakar. Mekanisme lanjutan itu dinamakan oleh Undang-Undang Dasar
(UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai sebuah Pemilihan Umum
(Pemilu) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam sistem
Pemilu di negara ini, terdapat dua proses Pemilu yang dilaksanakan, yang pertama adalah
Pemilu Legislatif, dan yang kedua adalah Pemilu Presiden. Lebih lanjut dikatakan bahwa
untuk mengajukan calon presiden sendiri dari sebuah partai, maka partai tersebut
diharuskan mendapatkan dua puluh lima persen suara nasional, atau dua puluh persen
kursi yang di peroleh oleh suatu partai politik di parlemen.

Presidential Threshold, atau lebih dikenal sebagai ambang batas pencapresan di


kancah perpolitikan Indonesia, adalah sebuah mekanisme yang dibuat untuk partai politik
yang ingin mengajukan calonnya sendiri, untuk diadu tandingkan di kancah Pemilu
Presiden. Dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden disebutkan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi
paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah
nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. Hal ini menyebabkan tidak semua partai politik peserta Pemilu dapat
mengajukan calon presiden maupun calon wakil presiden yang berasal dari partainya

7
sendiri. 
Di satu sisi, peraturan ini memiliki itikad yang sangat baik, yaitu untuk
memastikan presiden mendapatkan dukungan dari suara mayoritas di parlemen saat dia
menjalankan roda pemerintahan. Selain itu dengan adanya peraturan ini dapat
menguntungkan bagi pemerintah yang akan terbentuk, yaitu :

1. Bagi parpol akan menjadikan koalisi sebagai penyatuan kekuatan atau dengan
kata lain memperkuat parpol dan parlemen, ibarat sapu lidi yang satu demi satu
setelah digabung menjadi satu akan kuat dan kokoh.
2. Akan mampu mewakili berbagai kepentingan di dalam Parpol itu sendiri.
Istilahnya bagi hasil nantinya jika sudah menang. Mungkin keuntungan koalisi ini
hanya mengarah kepada kepentingan parpol itu saja.
3. Dengan adanya koalisi akan mendukung jalanya pemerintahan, yaitu kebijakan-
kebijakan pemerintah akan mudah untuk direalisasikan sehingga tercipta kerja
sama yang baik untuk kemajuan negara.
4. Meningkatkan dan memperbaiki mekanisme serta prosedur rekrutmen pejabat
publik.
5. Memperkuat sistem presidensial setelah terealisasi sistem multi-partai sederhana.

Namun di lain sisi perlu kita sadari bahwa memang peran parlemen di era
reformasi ini sangatlah penting, karena parlemen sangat berperan dalam pembuatan
kebijakan yang bersifat abstrak dan umum, yang kita bersama kenal bernama Undang-
Undang. Namun, alasan yang menyebutkan bahwa posisi presiden sudah aman karena
mendapatkan dukungan besar dari parlemen justru adalah sebuah pernyataan yang kurang
tepat bahkan bisa saja merupakan pernyataan yang salah.

Definisi aman dalam pemerintahan menjadi sangat kabur, karena aman itu sendiri
yang akan menjadi bumerang bagi sang presiden. Di saat presiden merasa aman dan tanpa
kritik dan evaluasi yang berarti, yang akan terjadi berikutnya adalah terhambatnya proses
pembangunan sebuah negara. Dengan segala keadaan dan terlepas dari dukungan
parlemen yang memang penting, posisi presiden yang kuat dan dapat menjadi simbol
negara yang terhormat dan terpandang di wajah internasional adalah suatu hal yang kita
harus perhatikan. Hal ini penting, mengingat negara kita menganut sistem pemerintahan

8
presidensial.6 Adapun kelemahan adanya koalisi besar gabungan dari beberapa partai
yang mendominasi diparlemen jika suatu pemerintahan yang menganut sistem
pemerintahan Presidensial menurut Scott Mainwaring adalah sebagai berikut :

1. Dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya, sementara


partai politik mempunyai komitmen yang rendah dalam mendukung presiden.
2. Anggota legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak
mendukung pemerintah sepenuhnya.
3. Secara umum, keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam
sistem pemerintahan presidensial.
Berawal dari pemikiran tersebut, kami menyatakan bahwa dengan sistem
pemilihan umum yang seperti ini, tidak akan lahir seorang pemimpin negara dari
kalangan negarawan. Sebaliknya, yang ada hanyalah pemimpin negara dari kalangan
politisi. Menurut kami, seorang negarawan sangatlah sulit dicari di era reformasi dan di
tengah dengung demokrasi yang semakin menguat. Calon presiden dari kalangan
independen bisa saja menjadi sebuah oase, namun sistem perpolitikan di negara ini
belumlah menghendaki dan siap menghadapi oase tersebut. Dalam konteks Indonesia,
koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan tujuan
untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi tersebut. Tawar-menawar antar
partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya
tanpa disertai perumusan platform bersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal
dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula.
Sebagai salah satu contoh yaitu banyak pejabat-pejabat yang sejatinya tidak layak
menduduki jabatan tetapi terpilih karena didorong adanya politik transaksional.
Hasilnya seperti terlihat dari evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) di tahun 2012, yang telah diserahkan kepada
Presiden, banyak lembaga Kementerian yang kinerjanya mendapat raport merah. Hal
inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet.
Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri maupun
pejabat-pejabat publik lainya dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi.
Keadaan ini berpengaruh pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi
yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang

9
memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah.
Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan
mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif
serta immobilisasi dalam psoses jalanya penyelenggaraan suatu pemerintahan.
Penghapusan ambang batas pencapresan menjadi salah satu solusi tepat yang
dapat menghadirkan putra-putri terbaik dari setiap partai politik, dengan tidak
mengesampingkan proses berbangsa dan bernegara yang sudah seharusnya kita junjung
tinggi. Kami masih termasuk dalam kalangan orang-orang yang percaya bahwa setiap
partai politik memiliki cita-cita yang sangat tulus untuk bersama membangun bangsa,
namun dengan catatan bahwa pembersihan oknum yang megotori haruslah segera
dilakukan agar nantinya bisa dipilih seorang calon pemimpin yag benar-benar mampu
untuk menjadi pemimpin yang negarawan. 
Sangat disesali jika partai politik telah mendidik warga Indonesia dengan cara
yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada, serta pada praktiknya masih
ditampilkan maraknya money politics, black campaign, dan berbagai istilah lainnya
tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah itu.
Penghapusan ambang batas pencapresan adalah salah satu itikad baik apabila kita
memang ingin memperbaiki bangsa secara bersama-sama. Pakar hukum tata negara
Yusril Ihza Mahendra menegaskan dengan diadakan pemilu serentak, maka ketentuan
pembatasan keterwakilan (Parliamentary Treshold) dan pembatasan dukungan
(Presidential Treshold) tidak ada lagi. Dalam putusan MK, Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan uji materi pasal 3 ayat 5, pasal 12 ayat 1 dan 2, pasal 14 ayat 2
dan 112 UU no 42/2088 tentang Pemilu Presiden dan Wapres (pilpres) Effendi Gazali
dan Koalisi masyarakat sipil bernomor 14/PUU-XI/2013 untuk dilakukan Pemilu
serentak, namun baru akan dilaksanakan pada Pemilu tahun 2019. 8 Dari hasil putusan itu
maka marilah kita sebagai masyarakat Indonesia yang taat hukum dan yang memiliki hak
untuk memilih sama-sama mencari dan memilih calon pemimpin bangsa yang mampu
menyentuh hati dan merangkul nurani tiap-tiap masyarakat Indonesia dan dapat bertindak
arif bijaksana agar dapat tercapai tujuan Bangsa yaitu menuju Indonesia aman sejahtera.

D. PENDAPAT

10
Pakar hukum tata negara Profesor Muhammad Fauzan mengatakan ambang batas

pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT) telah sesuai

Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

"Jadi kalau presidential threshold itu nol persen, nanti pada saatnya akan ada

kesulitan tersendiri bagi presiden terpilih. Kemungkinan dia dicalonkan oleh parpol yang

tidak punya suara dan tidak punya kursi di DPR," kata Fauzan dalam keterangan di

Jakarta, Rabu. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ini

menjelaskan, presiden tetap memerlukan dukungan dari parlemen. Menurut dia, meski

masyarakat mencintai calon presiden tertentu, dukungan partai politik dengan suara yang

cukup di DPR tetap diperlukan. "Jika tak dapat dukungan parlemen, nantinya kebijakan

yang diambil bisa diganggu. Karena parlemen mempunyai fungsi pengawasan. Kalau kita

bicara lembaga politik, idealnya ketika melakukan pengawasan, bagaimana agar

kebijakan-kebijakan yang diambil sesuai dengan yang direncanakan," kata Fauzan.

Fauzan menilai presidential threshold akan tetap ada. Namun dengan persentase yang

lebih kecil sesuai kesepakatan DPR. "Mau 20 persen, 15 persen atau lima persen itu

pilihan. Tetapi kalau sampe nol persen, saya pikir akan ada kesulitan buat presiden

terpilih," ujarnya pula.

E. KESIMPULAN

Keberadaan presidential threshold dalam UU Pilpres, akan memberikan efek

samping atas tersendatnya sirkulasi kepemimpinan nasional. Sebab, mekanisme

pencalonan presiden dan wakilnya, dipersempit hanya pada partai besar saja. Dan ini

menghambat sirkulasi kepemimpinan bangsa ini. Lebih daripada itu, ada beberapa faktor

yang kiranya patut dipertimbangkan untuk menerapkan presidential threshold. (11)

11
Pertama, keberadaan presidential threshold dilihat dari kacamata konstitusi, tidak

memiliki landasannya. Mekanisme pencalonan presiden sebagaimana diatur dalam UUD

1945 Ayat 6A, tidak ada klausul yang mengamanatkan adanya presidential threshold.

Benar adanya bahwa partai politik dimandatkan secara konstitusional untuk mencalonkan

presiden dan wakilnya. Namun tidak demikian halnya dengan penetapan presidential

threshold. Apalagi jika angka presidential threshold ditetapkan hingga 20 persen. Ketika

UU Pilpres menetapkan adanya presidential threshold, maka tidak semua partai politik

atau gabungan partai politik berhak memajukan calonnya sebagai presiden dan wakil

presiden. Dalam hal ini, berarti presidential threshold yang dimuat dalam UU Pilpres

telah melanggar hak konstitusi partai politik yang telah lolos ke parlemen.

Kedua, keberadaan presidential threshold dalam UU Pilpres merupakan sebuah

bentuk penguatan sistemik oligarki partai politik. Tidak dipungkiri, bahwa saat ini partai

politik memiliki lingkup kewenangan politik yang sangat besar. Hal itu sejatinya

bukanlah masalah, sepanjang partai politik yang ada mampu berjalan secara professional

dan modern. Namun kondisi ini belum dijalankan oleh partai politik kita saat ini.

Sebagian besar masih terjangkit problem fundamental, dimana mesin parpol hanya

menjadi loket politik dan bergerak dalam dimensi yang artificial dan belum yang

substansial. Akibatnya sirkulasi kepemimpinan kita tersendat. Demokrasi dijalankan

dengan mempermalukan civil rights, yang akhirnya menghasilkan deffective democracy

(demokrasi yang cacat).(12) Ketika presidential threshold ini diberlakukan, maka hal ini

akan memangkas sirkulasi elit yang sejatinya itu dapat memberikan kesegaran dalam

praktik demokrasi kita.

12
Ketiga, keberadaan presidential threshold dalam regulasi pilpres saat ini, dirasa

kurang cocok dengan desain sistem presidensial yang kita anut. Dalam sistem

presidensial, presiden tidak akan mudah dijatuhkan sebagaimana yang lazim terjadi pada

Negara yang mengadopsi sistem parlementer. Sehingga kewenangan dan kekuatan

seorang presiden dalam mengambil suatu keputusan, tidak terlalu bergantung pada

parlemen.(13) Terlebih pada sistem pemilihan presiden secara langsung saat ini, ketika

presidential threshold diterapkan, maka sebenarnya hanya partai-partai tertentu saja yang

bisa mencalonkan, dan ini artinya memangkas aspirasi sebagian warga Negara terhadap

calon presiden yang tidak dapat bertarung. Lebih-lebih presidential threshold

penerapannya juga sangat jarang ditemukan pada negara demokrasi yang lain. Berbeda

dengan electoral threshold yang telah dipraktikan oleh sebagian besar negara demokratis.

Melihat paparan yang ada, penting kiranya para partai politik dapat segera

membahas dengan bijak dan seksama akan keberadaan presidential threshold dalam UU

Pilpres Jangan sampai penerapan presidential threshold lebih didominasi pada

kepentingan subjektif partai besar, namun menegasikan kepentingan bangsa yang lebih

besar atas pengharapan kehidupan yang lebih baik, yakni dengan menyegarkan sirkulasi

kepemimpinan nasional.

Untuk menghindari berbagai ekses tersebut, maka sistem pemilu yang tepat untuk

Indonesia perlu adanya suatu upaya perbaikan. Upaya perbaikan tersebut meliputi :

pembuatan aturan-atuan baru yang mengatur tentang sistem Pemilu yang lebih baik dan

dirasa lebih dibutuhkan oleh negara ini. Upaya tersebut harus dilakukan melalui

serangkaian tahapan negosiasi formal, pelaksanaan pembuatan kebijakan atau aturan

13
(undang-undang) tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan

pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat.(14)

Desain ketatanegaraan Indonesia perlu dievaluasi dalam rangka mempertegas

sistem presidensial. Komitmen mempertegas sistem presidensial sebagai landasan

kehidupan bernegara harus diikuti dengan keinginan sungguh-sungguh untuk

melaksanakan sistem presidensial secara ajeg, termasuk segala akibat pemilihan sistem

tersebut. Dengan demikian, segala pranata atau instrumen yang memperlemah sistem

presidensial harus dihapuskan, misalnya yaitu dengan penghapusan sistem presidensial

threshold dalam proses pemilihan presiden dan antara pemilihan legislatif dan pemilihan

presiden dilakukan secara serentak dalam satu waktu yang bersamaan yang bertujuan

untuk meminimalisir adanya upaya praktek politik dagang sapi dan transaksi politik.

Sebagai contoh pada kasus kabinet Indonesia bersatu Jilid 2, ketika Golkar mendadak

menjadi koalisi instan meski tidak ikut mengangkat SBY ke R1 satu. Upaya ini juga coba

ditujukan kepada PDIP meski gagal, ketika Demokrat mencoba meminang Puan

Maharani menjadi Menteri 15. Yang dimana semua itu akan berdampak kurang baik

nantinya dalam menjalankan pemerintahan.

Apabila hambatan-hambatan hukum tidak dapat diselesaikan melalui perubahan

secara formal, maka praktik ketatanegaraan serta praktik politik yang sehat harus

dikembangkan guna memperkokoh pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia.

Perubahan secara formal tersebut dilakukan terhadap UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya serta mengembangkan

kebiasaan ketatanegaraan. Selain itu, praktik politik perlu didukung oleh tingkah laku

politik yang beretika berlandaskan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.

14
BAB III

KRITIK TANGGAPAN

A. PENDAPAT MAHASISWA

Hukum justru menjadi beku dan pasif, alih-alih responsif dengan tetap

mempertahankan ketentuan presidential threshold. Sepanjang tahun 2021, berbagai

peristiwa, perdebatan, dan isu hukum muncul dan menjadi perhatian publik. Dan baru-

baru ini, di penghujung tahun 2021, salah satu perhatian itu tertuju pada isu hukum

Pemilu, yaitu tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau lebih

familiar dengan sebutan presidential threshold.

Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat ini, yakni UU No. 7 Tahun 2017, telah

mengatur persyaratan pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden. Persyaratan

tersebut diatur dalam Pasal 222, yakni adanya ambang batas yang harus dipenuhi oleh

partai politik untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Perolehan kursi sebanyak 20% di parlemen atau perolehan suara nasional

sebanyak 25% berdasarkan hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya menjadi persyaratan

15
bagi partai politik baik sendiri maupun gabungan untuk bisa mengusulkan calon presiden

dan wakil presiden.

Maka dari itu bagi masyarakat Indonesia politik hukum presidential threshold ini

sangat cocok karena seusia dengann masyarakat yang mufakat

B. KRITIK DAN SARAN

1. Kelebihan Politik Hukum Presidential Threshold

1) Memudahkan dalam pemilihan calon calon perwakilan rakyat

2) Sesuai dengan keadaaan masyarakat Indonesia

3) Rakyat dapat memilih langsung kepala daerahnya sesuai penilaian pribadi.

4) Tokoh bisa terpilih walaupun dukungan partai sedikit. Melalui pemilihan

langsung tokoh-tokoh memungkinkan menang walaupun dengan

dukungan partai yang sedikit. Asalkan bisa mencari dukungan yang besar

dari masyarakat.

5) Masyarakat tergerak untuk ikut serta aktif dalam proses pemilu. Di daerah

yang cukup maju partisipasi aktif masyarakat sangat mendukung untuk

keberlangsungan demokrasi yang baik. Masyarakat yang cerdas dan

mapan lebih bisa menentukan pilihannya tanpa pengaruh parpol apalagi

money politik.

16
2. Kelemahan Politik Hukum Presidential Threshold

1) Tidak tertibnya masyarakat dalam pemilu

2) Kedaulatan milik Pemodal dan Asing

3) Biaya yang dikeluarkan sangat besar

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Politik hukum presidential threshold memiliki karakteristik hukum yang otoriter.

Hal ini dikarenakan dalam pembahasan di rapat Pansus RUU Penyelenggaraan

Pemilu terkait pembentukan presidential threshold, fraksi-fraksi yang ada dalam

rapat Pansus tersebut bukannya menghendaki adanya penguatan demokrasi atau

penguatan sistem presidendil justru mengkerdilkan demokrasi. Dalam

pembahasan rapat pansus tersebut juga terdapat kepentingan politik penguasa

untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki partai penguasa. Politik hukum

penetapan presidential threshold juga bertentangan dengan asas tujuan Pemilu

yang efektif dan proporsional karena dengan adanya presidential threshold dengan

persentase tinggi yang mencapai 20% menciptakan kesenjangan hak politik atau

hak demokrasi antara partai dengan suara mayoritas dengan partai suara

minoritas.

17
2. Adanya relasi politik hukum terhadap penerapan hukum presidential threshold

dalam Pemilu serentak Mengakibatkan dampak yang buruk bagi sistem Pemilu

dan demokrasi di Indonesia. Hal ini dapat tergambarkan berdasarkan beberapa

hal: pertama besaran angka presidential threshold yang telah ditentukan sebelum

diadakannya rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu mengenai presidential

threshold. Kedua besarnya presentase presidential threshold hingga 20%

menimbulkan tingginya intensitas politik. Hal tersebut muncul sebagai akibat dari

sedikitnya jumlah calon yang bisa ikut serta dalam kontestasi Pemilu Presiden.

ketiga terdapat inkonsistensi political wealing (kehendak politik) dalam rapat

Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu terkait penetapan presentase presidential

threshold.

F. REKOMENDASI

1. Revisi undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan Pemilu yang

berkaitan dengan Pemilu serentak dan presentase presidential threshold yang

mencapai 20%. Presentase presidential threshold yang mencapai 20% dikurangi

menjadi 5-10%, pengurangan presentase tersebut membuka peluang terciptanya

lebih banyak pilihan calon terbaik dalam kontestasi Pemilu presiden.

2. Membentuk aturan terkait koalisi. Dalam hal ini dibuat suatu pelembagaan koalisi

sebelum diselenggarakan Pemilu. Adanya suatu aturan khusus yang mengikat

terkait pelembagaan koalisi, membuat para pihak yang berkoalisi tidak mudah

berpindah koalisi. Ketika suatu koalisi menjadi bagian dari oposisi, koalisi

tersebut akan menjadi bagian dari pengawasan kinerja dan sikap pemerintah. Hal

tersebut dapat menyeimbangkan suara antara kepentingan yang ada di eksekutif

18
dan parlemen terkait dalam pembentukan undang-undang, karena sistem

pengawasan berjalan efektif dan sejatinya undang-undang yang diciptakan demi

kemaslahatan serta kepentingan masyarakat bukan golongan tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir, Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2004.

Abercrombie, Hill, dan Turner dalam Sukmana Oman, Konsep dan Teori

Gerakan Sosial, Malang: Intrans Publishing, 2016.

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2000.

Almond dalam Hijri S Yana, Politik Pemekaran Di Indonesia, Malang: UMM

Press, 2016.

19
Arsil, Fitra, Pemilihan Umum Serentak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”

Jakarta: Djokosoetono Research Centre FHUI, 2014.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Konstitusi Press,

2005.

…, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: BIP,

2008.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional

2015-2019, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012.

Bastian, Sunil dan Robin Luckham, Can Democracy be Designed?, The Politics

of Institutional Choice in Conflict-torn Societies, London & Newyork:

Zed Books, 2003.

BAWASLU 2019, Laporan Kinerja Pemilu 2019, Menegakkan Keadilan Pemilu:

Memaksimalkan Pencegahan, Menguatkan Pengawasan, 2019.

BAWASLU 2014, Laporan Hasil Pengawasan Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden Tahun 2014, Jakarta: Bawaslu RI, 2014

WEB

20
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875/1/AHMAD

%20FADOLIY-FSH.pdf ( di akses hari kamis tanggal 21 April 2022 jam 20.00

wib )

https://www.academia.edu/26004946/Presidential_Treshold ( di akses hari kamis

tanggal 22 April 2022 jam 20.00 wib )

http://repository.unissula.ac.id/15380/7/Bab%20I.pdf ( di akses hari kamis

tanggal 22 April 2022 jam 21.45 wib )

https://e-journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/download/316/190 ( di

akses hari kamis tanggal 22 April 2022 jam 23.45 wib )

http://e-journal.uajy.ac.id/16880/3/MIH025522.pdf ( di akses hari kamis tanggal

23 April 2022 jam 09.30 wib )

21

Anda mungkin juga menyukai