Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, atas segala nikmat iman, jasmani dan rohani.
Tiada henti kepadaNya penulis meminta agar selalu diberi kesehatan, kemudahan, kesabaran dan
kekuatan dalam menyelesaikan paper ini. Berkat kasih sayang, petunjuk dan rahmat-Nya penulis
dapat megolah data menjadi kata, menjadi kalimat dan menjadi paragraf-paragraf yang berisi ide,
kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah skripsi ini. Tidak lupa
shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Makhluk Istimewa yakni Nabi Muhamad SAW.
susun dalam rangka menyelesaikan tugas panulisan paper yang diberikan oleh bapak M. Husun
Abadi. Dengan kerendahan hati penulis bahwa tidak akan sanggup melewati segala hambatan
dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan paper ini, tanpa adanya bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan
penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada pihak – pihak yang sudah
memberikan motivasi dan bantuan kepada penulis selama pengerjaan paper ini.
Hanya ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya yang dapat peneliti sampaikan, semoga
Allah SWT membalas kebaikan-kebaikan kalian semua. Akhirnya tiada untaian kata yang
berharga selain ucapan Alhamdulillahirabbil ‘Alamiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya, Aamiin. Sekian dan
terimakasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. TINJAUAN TENTANG MATA KULIAH POLITIK HUKUM.........................................1
B. POLITIK HUKUM PRESIDENTIAL THRESHOLD.........................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................5
C. POLITIK HUKUM PRESIDENTIAL THRESHOLD.........................................................7
D. PENDAPAT.......................................................................................................................10
E. KESIMPULAN...................................................................................................................11
BAB III..........................................................................................................................................14
KRITIK TANGGAPAN................................................................................................................14
A. PENDAPAT MAHASISWA..............................................................................................15
B. KRITIK DAN SARAN.......................................................................................................15
BAB V...........................................................................................................................................16
PENUTUP.....................................................................................................................................16
A. KESIMPULAN...................................................................................................................17
F. REKOMENDASI...............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
dari Istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dua kata recht dan
Politiek. Dalam kamus bahasa Indonesia kata recht berarti hukum dan dalam kamus
Bahasa Belanda yang ditulis oleh Van der Tas, kata Politiek mengandung arti beleid.
Kata belied sendiri dalam bahasa indonesia berarti kebijakan (policy). (Imam Syaukani
Dan A.Ahsin Thohari,2015:21) Dari penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum
secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia bearti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan
kata lain , politik hukum adalah serangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak
dalam bidang hukum. (Imam Syaukani Dan A.Ahsin Thohari,2015:24) Padmono Wahojo
yang bersifat mendasar 31 dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang
akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu.
Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum
1
Teuku Mohammad Radhie dalam buku (Imam Syaukani Dan A.Ahsin
berlaku pada saat ini ( Ius Contitutum) dan “mengenai arah perkembangan hukum yang
negara melalui badan – badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan –
apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita – citakan.
Pada Buku Soedarto yang lain yaitu “Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat
Kajian Terhadap Hukum Pidana”, Politik Hukum adalah Usaha untuk mewujudkan
peraturan – peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
masyarakat”bisa ditafsirkan sangat luas sekali dan dapat memasukkan pengertian di luar
hukum, yakni politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam. Sedangkan pernyataan
“untuk mencapai apa yang dicita–citakan “memberikan pengertian bahwa politik hukum
berkaitan dengan hukum yang dicita – citakan (Ius Constituendum). Satjipto Rahardjo
mendifinisikan politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai
2
untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat dan menurut
Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi
1) Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada.
2) Cara – cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai
3) Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara – cara bagimana
4) Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara – cara untuk mencapai tujuan
hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan – badan negara yang berwenang
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita – citakan. Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar
ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu: (Imam Syaukani
3) Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku.
3
4) Proses pembentukan hukum
Demokrasi adalah prinsip yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Salah satu
prosedur demokrasi tersebut adalah adanya mekanisme Pemilihan Umum (PEMILU)
untuk menentukan wakil - wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen dan juga untuk
memilih calon pemimpin Eksekutif. Hal ini, juga diterapkan di Indonesia dimana rakyat
memilih wakil-wakilnya yang duduk di pemerintahan Legislatif dan Eksekutif. Namun,
didalam perjalanannya adanya Perubahan UUD 1945 (1999-2002) mengakibatkan
perubahan pula mengenai mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)
dalam sistem Presidensial yang kita anut. Semula Pilpres dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung. Pasal 6
Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan , ”Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dengan suara terbanyak”.1
Setelah perubahan UUD 1945, ketentuan Konstitusi tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi, “ Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.2 Hal ini
jugalah yang membawa perubahan ketentuan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di Indonesia. Dalam menyusun artikel ini
digunakan metode Penelitian Yuridis Normatif dengan melakukan suatu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh
hakim melalui proses pengadilan mengenai permasalahan eksistensi Presidential
Threshold (PT) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013 di
Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2014). Dalam sidang itu, MK mengabulkan
permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili Effendi Ghazali bahwa Pemilu
Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) dilakukan serentak yang dilaksanakan
pada tahun 2019.3
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG
Demokrasi adalah prinsip yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Salah satu
untuk menentukan wakil - wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen dan juga untuk
memilih calon pemimpin Eksekutif. Hal ini, juga diterapkan di Indonesia dimana rakyat
perubahan pula mengenai mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)
dalam sistem Presidensial yang kita anut. Semula Pilpres dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi dipilih oleh rakyat secara langsung. Pasal 6
Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan , ”Presiden dan Wakil Presiden
dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi, “ Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.Hal ini jugalah
dan Wakil Presiden (Pilpres) di Indonesia. Dalam menyusun artikel ini digunakan
5
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh
Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2014). Dalam sidang itu, MK mengabulkan
permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili Effendi Ghazali bahwa Pemilu
Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) dilakukan serentak yang dilaksanakan
ketentuan ambang batas calon Presiden dan Wakil Presiden atau yang biasa di istilahkan
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pengaturannya pada Pasal 9 UU No.
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai
pengganti Pasal 101 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
hanya diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang
memenuhi persyaratan, yakni memperoleh kursi minimal 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden. “Ketentuan Persentase ambang batas pada UU No. 42 Tahun 2008 merupakan
salah satu bentuk kebijakan hukum (Legal Policy) yang dibuat pemerintah yang
efektif di Indonesia.
6
Namun, Ketentuan PT tersebut telah menimbulkan permohonan pengujian
(Judicial Review) terhadap pasal tersebut dengan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 ke
Kita semua mengetahui bahwa pada dasarnya politik adalah sebuah alat untuk
mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Dalam sebuah proses politik, terdapat sebuah
mekanisme lanjutan untuk mengejawantahkan suara rakyat menjadi suatu konsensus yang
kuat dan mengakar. Mekanisme lanjutan itu dinamakan oleh Undang-Undang Dasar
(UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai sebuah Pemilihan Umum
(Pemilu) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam sistem
Pemilu di negara ini, terdapat dua proses Pemilu yang dilaksanakan, yang pertama adalah
Pemilu Legislatif, dan yang kedua adalah Pemilu Presiden. Lebih lanjut dikatakan bahwa
untuk mengajukan calon presiden sendiri dari sebuah partai, maka partai tersebut
diharuskan mendapatkan dua puluh lima persen suara nasional, atau dua puluh persen
kursi yang di peroleh oleh suatu partai politik di parlemen.
7
sendiri.
Di satu sisi, peraturan ini memiliki itikad yang sangat baik, yaitu untuk
memastikan presiden mendapatkan dukungan dari suara mayoritas di parlemen saat dia
menjalankan roda pemerintahan. Selain itu dengan adanya peraturan ini dapat
menguntungkan bagi pemerintah yang akan terbentuk, yaitu :
1. Bagi parpol akan menjadikan koalisi sebagai penyatuan kekuatan atau dengan
kata lain memperkuat parpol dan parlemen, ibarat sapu lidi yang satu demi satu
setelah digabung menjadi satu akan kuat dan kokoh.
2. Akan mampu mewakili berbagai kepentingan di dalam Parpol itu sendiri.
Istilahnya bagi hasil nantinya jika sudah menang. Mungkin keuntungan koalisi ini
hanya mengarah kepada kepentingan parpol itu saja.
3. Dengan adanya koalisi akan mendukung jalanya pemerintahan, yaitu kebijakan-
kebijakan pemerintah akan mudah untuk direalisasikan sehingga tercipta kerja
sama yang baik untuk kemajuan negara.
4. Meningkatkan dan memperbaiki mekanisme serta prosedur rekrutmen pejabat
publik.
5. Memperkuat sistem presidensial setelah terealisasi sistem multi-partai sederhana.
Namun di lain sisi perlu kita sadari bahwa memang peran parlemen di era
reformasi ini sangatlah penting, karena parlemen sangat berperan dalam pembuatan
kebijakan yang bersifat abstrak dan umum, yang kita bersama kenal bernama Undang-
Undang. Namun, alasan yang menyebutkan bahwa posisi presiden sudah aman karena
mendapatkan dukungan besar dari parlemen justru adalah sebuah pernyataan yang kurang
tepat bahkan bisa saja merupakan pernyataan yang salah.
Definisi aman dalam pemerintahan menjadi sangat kabur, karena aman itu sendiri
yang akan menjadi bumerang bagi sang presiden. Di saat presiden merasa aman dan tanpa
kritik dan evaluasi yang berarti, yang akan terjadi berikutnya adalah terhambatnya proses
pembangunan sebuah negara. Dengan segala keadaan dan terlepas dari dukungan
parlemen yang memang penting, posisi presiden yang kuat dan dapat menjadi simbol
negara yang terhormat dan terpandang di wajah internasional adalah suatu hal yang kita
harus perhatikan. Hal ini penting, mengingat negara kita menganut sistem pemerintahan
8
presidensial.6 Adapun kelemahan adanya koalisi besar gabungan dari beberapa partai
yang mendominasi diparlemen jika suatu pemerintahan yang menganut sistem
pemerintahan Presidensial menurut Scott Mainwaring adalah sebagai berikut :
9
memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah.
Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan
mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif
serta immobilisasi dalam psoses jalanya penyelenggaraan suatu pemerintahan.
Penghapusan ambang batas pencapresan menjadi salah satu solusi tepat yang
dapat menghadirkan putra-putri terbaik dari setiap partai politik, dengan tidak
mengesampingkan proses berbangsa dan bernegara yang sudah seharusnya kita junjung
tinggi. Kami masih termasuk dalam kalangan orang-orang yang percaya bahwa setiap
partai politik memiliki cita-cita yang sangat tulus untuk bersama membangun bangsa,
namun dengan catatan bahwa pembersihan oknum yang megotori haruslah segera
dilakukan agar nantinya bisa dipilih seorang calon pemimpin yag benar-benar mampu
untuk menjadi pemimpin yang negarawan.
Sangat disesali jika partai politik telah mendidik warga Indonesia dengan cara
yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada, serta pada praktiknya masih
ditampilkan maraknya money politics, black campaign, dan berbagai istilah lainnya
tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah itu.
Penghapusan ambang batas pencapresan adalah salah satu itikad baik apabila kita
memang ingin memperbaiki bangsa secara bersama-sama. Pakar hukum tata negara
Yusril Ihza Mahendra menegaskan dengan diadakan pemilu serentak, maka ketentuan
pembatasan keterwakilan (Parliamentary Treshold) dan pembatasan dukungan
(Presidential Treshold) tidak ada lagi. Dalam putusan MK, Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan uji materi pasal 3 ayat 5, pasal 12 ayat 1 dan 2, pasal 14 ayat 2
dan 112 UU no 42/2088 tentang Pemilu Presiden dan Wapres (pilpres) Effendi Gazali
dan Koalisi masyarakat sipil bernomor 14/PUU-XI/2013 untuk dilakukan Pemilu
serentak, namun baru akan dilaksanakan pada Pemilu tahun 2019. 8 Dari hasil putusan itu
maka marilah kita sebagai masyarakat Indonesia yang taat hukum dan yang memiliki hak
untuk memilih sama-sama mencari dan memilih calon pemimpin bangsa yang mampu
menyentuh hati dan merangkul nurani tiap-tiap masyarakat Indonesia dan dapat bertindak
arif bijaksana agar dapat tercapai tujuan Bangsa yaitu menuju Indonesia aman sejahtera.
D. PENDAPAT
10
Pakar hukum tata negara Profesor Muhammad Fauzan mengatakan ambang batas
pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT) telah sesuai
"Jadi kalau presidential threshold itu nol persen, nanti pada saatnya akan ada
kesulitan tersendiri bagi presiden terpilih. Kemungkinan dia dicalonkan oleh parpol yang
tidak punya suara dan tidak punya kursi di DPR," kata Fauzan dalam keterangan di
Jakarta, Rabu. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ini
menjelaskan, presiden tetap memerlukan dukungan dari parlemen. Menurut dia, meski
masyarakat mencintai calon presiden tertentu, dukungan partai politik dengan suara yang
cukup di DPR tetap diperlukan. "Jika tak dapat dukungan parlemen, nantinya kebijakan
yang diambil bisa diganggu. Karena parlemen mempunyai fungsi pengawasan. Kalau kita
Fauzan menilai presidential threshold akan tetap ada. Namun dengan persentase yang
lebih kecil sesuai kesepakatan DPR. "Mau 20 persen, 15 persen atau lima persen itu
pilihan. Tetapi kalau sampe nol persen, saya pikir akan ada kesulitan buat presiden
E. KESIMPULAN
pencalonan presiden dan wakilnya, dipersempit hanya pada partai besar saja. Dan ini
menghambat sirkulasi kepemimpinan bangsa ini. Lebih daripada itu, ada beberapa faktor
11
Pertama, keberadaan presidential threshold dilihat dari kacamata konstitusi, tidak
1945 Ayat 6A, tidak ada klausul yang mengamanatkan adanya presidential threshold.
Benar adanya bahwa partai politik dimandatkan secara konstitusional untuk mencalonkan
presiden dan wakilnya. Namun tidak demikian halnya dengan penetapan presidential
threshold. Apalagi jika angka presidential threshold ditetapkan hingga 20 persen. Ketika
UU Pilpres menetapkan adanya presidential threshold, maka tidak semua partai politik
atau gabungan partai politik berhak memajukan calonnya sebagai presiden dan wakil
presiden. Dalam hal ini, berarti presidential threshold yang dimuat dalam UU Pilpres
telah melanggar hak konstitusi partai politik yang telah lolos ke parlemen.
bentuk penguatan sistemik oligarki partai politik. Tidak dipungkiri, bahwa saat ini partai
politik memiliki lingkup kewenangan politik yang sangat besar. Hal itu sejatinya
bukanlah masalah, sepanjang partai politik yang ada mampu berjalan secara professional
dan modern. Namun kondisi ini belum dijalankan oleh partai politik kita saat ini.
Sebagian besar masih terjangkit problem fundamental, dimana mesin parpol hanya
menjadi loket politik dan bergerak dalam dimensi yang artificial dan belum yang
(demokrasi yang cacat).(12) Ketika presidential threshold ini diberlakukan, maka hal ini
akan memangkas sirkulasi elit yang sejatinya itu dapat memberikan kesegaran dalam
12
Ketiga, keberadaan presidential threshold dalam regulasi pilpres saat ini, dirasa
kurang cocok dengan desain sistem presidensial yang kita anut. Dalam sistem
presidensial, presiden tidak akan mudah dijatuhkan sebagaimana yang lazim terjadi pada
seorang presiden dalam mengambil suatu keputusan, tidak terlalu bergantung pada
parlemen.(13) Terlebih pada sistem pemilihan presiden secara langsung saat ini, ketika
presidential threshold diterapkan, maka sebenarnya hanya partai-partai tertentu saja yang
bisa mencalonkan, dan ini artinya memangkas aspirasi sebagian warga Negara terhadap
penerapannya juga sangat jarang ditemukan pada negara demokrasi yang lain. Berbeda
dengan electoral threshold yang telah dipraktikan oleh sebagian besar negara demokratis.
Melihat paparan yang ada, penting kiranya para partai politik dapat segera
membahas dengan bijak dan seksama akan keberadaan presidential threshold dalam UU
kepentingan subjektif partai besar, namun menegasikan kepentingan bangsa yang lebih
besar atas pengharapan kehidupan yang lebih baik, yakni dengan menyegarkan sirkulasi
kepemimpinan nasional.
Untuk menghindari berbagai ekses tersebut, maka sistem pemilu yang tepat untuk
Indonesia perlu adanya suatu upaya perbaikan. Upaya perbaikan tersebut meliputi :
pembuatan aturan-atuan baru yang mengatur tentang sistem Pemilu yang lebih baik dan
dirasa lebih dibutuhkan oleh negara ini. Upaya tersebut harus dilakukan melalui
13
(undang-undang) tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan
melaksanakan sistem presidensial secara ajeg, termasuk segala akibat pemilihan sistem
tersebut. Dengan demikian, segala pranata atau instrumen yang memperlemah sistem
threshold dalam proses pemilihan presiden dan antara pemilihan legislatif dan pemilihan
presiden dilakukan secara serentak dalam satu waktu yang bersamaan yang bertujuan
untuk meminimalisir adanya upaya praktek politik dagang sapi dan transaksi politik.
Sebagai contoh pada kasus kabinet Indonesia bersatu Jilid 2, ketika Golkar mendadak
menjadi koalisi instan meski tidak ikut mengangkat SBY ke R1 satu. Upaya ini juga coba
ditujukan kepada PDIP meski gagal, ketika Demokrat mencoba meminang Puan
Maharani menjadi Menteri 15. Yang dimana semua itu akan berdampak kurang baik
secara formal, maka praktik ketatanegaraan serta praktik politik yang sehat harus
Perubahan secara formal tersebut dilakukan terhadap UUD Negara Republik Indonesia
kebiasaan ketatanegaraan. Selain itu, praktik politik perlu didukung oleh tingkah laku
14
BAB III
KRITIK TANGGAPAN
A. PENDAPAT MAHASISWA
Hukum justru menjadi beku dan pasif, alih-alih responsif dengan tetap
peristiwa, perdebatan, dan isu hukum muncul dan menjadi perhatian publik. Dan baru-
baru ini, di penghujung tahun 2021, salah satu perhatian itu tertuju pada isu hukum
Pemilu, yaitu tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau lebih
Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat ini, yakni UU No. 7 Tahun 2017, telah
tersebut diatur dalam Pasal 222, yakni adanya ambang batas yang harus dipenuhi oleh
partai politik untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden.
sebanyak 25% berdasarkan hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya menjadi persyaratan
15
bagi partai politik baik sendiri maupun gabungan untuk bisa mengusulkan calon presiden
Maka dari itu bagi masyarakat Indonesia politik hukum presidential threshold ini
dukungan partai yang sedikit. Asalkan bisa mencari dukungan yang besar
dari masyarakat.
5) Masyarakat tergerak untuk ikut serta aktif dalam proses pemilu. Di daerah
money politik.
16
2. Kelemahan Politik Hukum Presidential Threshold
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
yang efektif dan proporsional karena dengan adanya presidential threshold dengan
persentase tinggi yang mencapai 20% menciptakan kesenjangan hak politik atau
hak demokrasi antara partai dengan suara mayoritas dengan partai suara
minoritas.
17
2. Adanya relasi politik hukum terhadap penerapan hukum presidential threshold
dalam Pemilu serentak Mengakibatkan dampak yang buruk bagi sistem Pemilu
hal: pertama besaran angka presidential threshold yang telah ditentukan sebelum
menimbulkan tingginya intensitas politik. Hal tersebut muncul sebagai akibat dari
sedikitnya jumlah calon yang bisa ikut serta dalam kontestasi Pemilu Presiden.
threshold.
F. REKOMENDASI
2. Membentuk aturan terkait koalisi. Dalam hal ini dibuat suatu pelembagaan koalisi
terkait pelembagaan koalisi, membuat para pihak yang berkoalisi tidak mudah
berpindah koalisi. Ketika suatu koalisi menjadi bagian dari oposisi, koalisi
tersebut akan menjadi bagian dari pengawasan kinerja dan sikap pemerintah. Hal
18
dan parlemen terkait dalam pembentukan undang-undang, karena sistem
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bakti, 2004.
Abercrombie, Hill, dan Turner dalam Sukmana Oman, Konsep dan Teori
Press, 2016.
19
Arsil, Fitra, Pemilihan Umum Serentak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”
2005.
2008.
Bastian, Sunil dan Robin Luckham, Can Democracy be Designed?, The Politics
WEB
20
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51875/1/AHMAD
wib )
https://e-journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/download/316/190 ( di
21