Anda di halaman 1dari 3

Dari Rahim Perjumpaan, Lahir Perubahan

“Datang dan Lihatlah”. Bagi saya, sunguh suatu yang luar biasa ketika Paus mengangkat tema
yang menjadi inti pewartaan Injil sepanjang sejarah. Datang dan melihat menuntut orang-orang untuk
berkomunikasi secara langsung. Komunikasi tersebut akhirnya melahirkan perjumpaan, dan
perjumpaanlah yang menjadi fondasi Gereja sejak pertemuan-pertemuan pertama Yesus dengan
rasul-rasul-Nya.
Perjumpaan yang Memberdayakan
Ada banyak kisah bagaimana sebuah perjumpaan mengubah seluruh hidup seseorang. Dalam
pesannya, Paus mengambil contoh perjumpaan Natanael dengan Yesus. Diawali dengan Filipus yang
bercerita tentang pertemuannya dengan Yesus. Natanael dengan skeptis bertanya “Mungkinkah
sesuatu yang baik dating dari Nazaret?”. Filipus tidak menjelaskan dengan panjang lebar tetapi hanya
menjawab “Mari datang dan lihatlah” (Bdk. Yoh 1:45-16) kemudian mengajak Natanael menemui
Yesus. Sejak pertemuan tersebut hidup Natanael berubah.
Perjumpaan dengan Allah selalu membawa daya perubahan. Santo Ignatius Loyola
meninggalkan hidup duniawinya dan menjadi biarawan setelah membaca kisah orang-orang suci.
Santo Paulus menjadi percaya kepada Allah setelah mendapat penglihatan dari Yesus. Orang-orang
yang berjumpa dengan Yesus menjadi percaya kepada-Nya karena mereka tidak hanya mendengarkan
perkataan Yesus, tetapi juga melihat langsung tatapan, sikap, dan tindakan Yesus selaras dengan kata-
kata-Nya. Seperti yang ditulis Bapa Suci bahwa kita tidak berkomunikasi hanya dengan kata-kata,
tetapi dengan mata, dengan nada suara, dan dengan tindakan. Dalam perjumpaan kita bisa menemui
semua itu. Kita bisa melihat langsung sikap lawan bicara kita, tatapan, keyakinan di mata mereka,
bahkan kesaksian yang diungkapkan lewat tindakan-tindakan mereka. Dari Rahim perjumpaanlah
Gereja Perdana lahir dan lewat perjumpaan juga sukacita Injil tersebar ke penjuru bumi.
Perjumpaan masih menjadi cara utama kita untuk mengenal dan membangun relasi dengan
orang lain. Perjumpaan juga menjadi salah satu cara terbaik untuk memahami orang lain. Kita sering
menemukan berita pembunuhan atau tawuran yang disebabkan oleh kesalahpahaman ketika sedang
nge-chat di media sosial. Andaikan pihak-pihak yang terlibat mau berjumpa dan berkomunikasi
secara langsung, kerusuhan-kerusuhan seperti itu tidak perlu terjadi . Kasus-kasus seperti itu
menunjukkan bahwa—meminjam istilah Paus—turun ke jalan, berkomunikasi, dan berjumpa dengan
orang lain sungguh menjadi suatu hal tak tergantikan.
Perjumpaan Sekarang
Rabu, 11 Maret 2021, Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, menyatakan
Covid-19 sebagai pandemi global. Negara-negara di dunia segera mengeluarkan pernyataan darurat
pandemi. Kementerian Kesehatan tiap negara segera membuat SOP untuk menangani pasien Covid-
19. Lockdown dan pembatasan sosial diberlakukan dimana-mana. Kepanikan mulai menyelebungi
masyarakat. Di tengah segala kekalutan tersebut, seluruh aktivitas manusia lumpuh. Perjumpaan-
perjumpaan yang dulu kita lakukan di dunia nyata sekarang berpindah ke dunia digital. Segala sesuatu
yang dulu kita lakukan di dunia nyata, sekarang kita pindahkan ke dunia digital. Mungkin dunia
digital merupakan dunia nyata kita yang baru.
Kita patut berterima kasih kepada developer Zoom, Google Meet, Discord, dan semacamnya,
sebab berkat mereka interaksi, komunikasi, dan perjumpaan kita dengan orang lain tidak serta merta
putus. Kita tentu kehilangan banyak hal dalam perjumpaan virtual. Kita menjadi sulit membaca gerak
tubuh, sikap, mata dan tatapan lawan bicara kita, serta—tentu saja—kendala koneksi internet.
Perjumpaan secara virtual menuntut manusia untuk beradaptasi dengan jenis baru perjumpaan
tersebut. Bahkan mungkin kita perlu mendefinisikan ulang arti perjumpaan karena di internet
perjumpaan tidak terbatas pada video call.
Seperti yang saya katakan tadi, segala sesuatu di dunia nyata kita pindahkan ke dunia digital.
Di dunia nyata kita memiliki supermarket, pasar, dan mall, di dunia digital kita memiliki Shoope,
Tokopedia, Bukalapak, dan semacamnya. Di dunia nyata kita mengunjungi galeri seni, di dunia
digital kita memiliki Instagram dan Pinterest. Di dunia nyata kita pergi ke bioskop untuk nonton film,
di dunia digital kita berlangganan Netflix, iflix, Disney +, dan semacamnya. Perjumpaan-perjumpaan
kita sekarang terjadi di aplikasi-aplikasi tersebut. Mereka membantu kita terhubung dengan orang
lain lewat tulisan, gambar, dan video. Namun, perjumpaan virtual bukan tanpa masalah. Malah,
perjumpaan tersebut memperkeruh masalah yang sudah ada dengan masalah baru yang lebih rumit.
Perjumpaan yang Memperdaya
Berdasarkan hasil identifikasi Sub Direktorat Pengendalian Konten Internet Ditjen Aplikasi
Informatika Kementerian Kominfo, dari pertengahan Maret 2020 hingga 26 Januari 2021 terdapat
1.387 isu hoaks yang tersebar di berbagai platform digital. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes
Pol Yusri Yunus juga menyatakan adanya peningkatan jumlah kasus penyebaran berita hoaks dan
ujaran kebencian di masa pandemi Coivd-19. Hoaks memang sudah ada sejak lama. Namun, di masa
pandemic seperti ini, penyebaran semakin masif. Belum lagi aksi-aksi konyol orang-orang yang
termakan berita hoaks tersebut, seperti menolak vaksin, memunculkan teori konspirasi, menyebut
vaksin haram, bahkan sampai mengutuk pemerintah sebagai antek-antek Yahudi. Hoaks
mengacaukan persepsi masyarakat tentang kebenaran.
Selain hoaks yang secara fisik terlihat jelas, ada masalah-masalah laten yang biasanya luput
dari perhatian masyarakat. Guy Debord, pemikir kontemporer Perancis, mengatakan bahwa terjadi
degradasi nilai masyarakat dari being menjadi having, dan dari having menjadi sekadar appearing.
Dahulu seseorang membeli sepatu bola sesudah ia ahli bermain bola. Sekarang seseorang membeli
sepatu bola dulu, memamerkannya kepada orang lain, baru kemudian berlatih bermain bola. Itulah
degradasi nilai. Seringkali kita mengejar yang namanya gengsi. Kita mengingini ini itu, membeli ini
itu hanya supaya kita diperhatikan orang lain. Jika si A membeli sesuatu, si B—yang tidak mau
kalah—membeli sesuatu yang lebih hebat dari miliknya si A supaya status sosial si B di mata
masyarakat naik. Adanya standarisasi di mayarakat membuat kita hidup dalam ilusi bahwa standar
tersebut harus dikejar dan dipenuhi. Jika ingin disebut sukses, kita harus bekerja sebagai ini. Jika
ingin disebut kaya, kita harus memiliki barang ini. Sebenarnya tidak apapun dibalik standar dan
gengsi selain kesia-siaan. Hidup tidak akan lebih baik ketika bisa memenuhi gengsi, tetapi tidak akan
mejadi lebih buruk ketika kita berhenti mengejarnya.
Individu satu dengan yang lainnya menganggap bahwa hubungan mereka dalam kehidupan
adalah suatu ajang persaingan, di mana suatu persaingan tak akan dapat bersifat adil, sebab akan
selalu ada salah satu pihak yang menang dan ada pihak yang kalah (Suseno, 2007:203). Inilah realita
hidup sekarang. Interaksi dan perjumpaan yang seharusnya memberdayakan, ternyata malah
memperdaya kita. Hoaks, ujaran kebencian, konsumerisme, gengsi-gengsian, ujaran SARA,
diskriminasi, pelanggaran HAM menjadi bukti bahwa manusia satu dengan yang lain berlomba-
lomba untuk saling memperdaya. Kita pasti pernah menjatuhkan orang lain demi keuntungan diri
sendiri, atau malah kita tertawa diatas penderitaan orang lain. Homo homini lupus, kata
Schopenhauer.
Titik Cerah
Datang dan lihatlah. Lalu apa? Setelah datang dan melihat selanjutnya apa? Apakah setelah
datang dan melihat kita hanya diam saja? Tentu tidak senaif itu. Lewat pesannya, Paus mengajak kita
untuk membangun empati terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Paus ingin kita membuka mata
dan hati untuk masalah-masalah di sekitar kita. Terjun ke dalam realitas dan bersentuhan langsung
dengan pengalaman. Keluar dari zona nyaman dan berjumpa dengan orang lain. Sebagai umat
Katolik, hendaknya perjumpaan kita dengan orang lain membawa daya perubahan ke arah yang lebih
baik. Mengembangkan iman, memberdayakan sesama, memberitakan sukacita Injil, memanusiakan
manusia, serta semakin mendekatkan kita pada Tuhan. Kita semua dipanggil menjadi saksi kebenaran
untuk pergi, melihat, dan berbagi.

Anda mungkin juga menyukai