Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KOMUNIKASI KEPERAWATAN

DOSEN Ns. Miko Eka Putri, S.Kep, M.Kep

DISUSUN OLEH
ECI MEIRINA
NPM 202122024

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERKUMPULAN


BAITURRAHIM JAMBI
TAHUN 2021
1).Identifikasi artikel di atas:masalah pemerintah dalam menghadapi covid-19 dan
termasuk kedalam level komunikasi Interpersonal

Negosiasi Imajiner dengan Covid-19


Opini: AM Putut Prabantoro
Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana (UMB), Jakarta dan editor buku
“Masyarakat Pancasila” karya Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryahadiprojo.

Jumat, 28 Mei 2021 | 18:28 WIB

Menarik untuk menyimak pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang Covid-19 pada 25
Maret 2021. Menurutnya, Covid-19 itu seperti mahluk halus sehingga tidak bisa diundang ke
meja perundingan dan diajak bernegosiasi. Pernyataan itu disampaikan Sri Mulyani dalam acara
temu stakeholder untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional.

Covid-19 memang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Virus ini baru terlihat ketika
digunakan mikroskop elektron yang mampu memperbesar dua juta kali objek yang diteliti. Foto
virus Covid-19 ini pertama kali dipublikasikan pada 13 Februari 2020, yang dirilis oleh Rocky
Mountain Laboratories (RML), National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID),
Amerika Serikat.

Hingga saat ini, tidak satu negara pun yang dapat memastikan kapan virus ini akan hilang.
Bahkan, banyak pakar mengatakan, Covid-19 tidak akan hilang dan akan terus bersama manusia
sehingga tidak mengherankan jika Presiden Joko Widodo menerapkan new normal atau habitus
baru dalam hidup bersama dengan Covid-19.

Covid-19 memang seperti hantu (ghost), tak terlihat dengan mata telanjang, menakutkan,
mengkhawatirkan, dan sekaligus mengerikan karena meminta banyak korban. Tidak ada satu
negara pun yang siap menghadapi serangan virus ini dan bahkan saat ini virus sudah bermutasi
yang menebarkan kekhawatiran dua kali lipat dibandingkan yang pertama. Protokol kesehatan
yang diterapkan oleh pemerintah, seperti salah satu judul film Mission Impossible: Ghost
Protocol (protokol hantu) dengan tag line-nya, No Plan - No Backup - No Choice.
Menghadapi pandemi Covid-19, tidak ada satu rencana (no plan) yang dapat dibuat oleh negara
kecuali bersifat responsif, menyesuaikan diri, dan bersifat instan. Mengingat semua negara
mengalami situasi dan kondisi sama, sebuah negara harus mampu bertahan dan menghadapi
Covid-19 sendiri dan tidak dapat menggantungkan diri dari bantuan negara lain (no backup).

Semua negara terjebak dalam desentralisasi global dengan fokus mengatasi pandemi dan
dampaknya secara domestik. Bagi setiap negara dan pemerintahannya, menghadapi pandemi
adalah pilihan yang tidak dapat dihindari (no choice). Tidak ada alternatif yang lebih baik
kecuali dengan upaya sendiri sebuah negara harus meyelamatkan bangsa dan segala dampak
yang ditimbulkan terhadap dimensi kehidupan.

Meski seperti hantu, Covid-19 harus diajak bernegosiasi agar kita tidak berlarut-larut dalam
kekhawatiran tiada berujung. Keberhasilan pemerintah dalam bernegosiasi dengan Covid-19
akan menentukan masa depan Indonesia. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin Covid-19
diajak bernegosiasi?

Ada banyak pengertian tentang negosiasi yang dikatakan sebagai metode untuk menyelesaikan
perbedaan dengan mencapai kompromi atau kesepakatan dengan menghindari perselisihan.
Untuk mencapai suatu kesepakatan, negosiasi melewati beberapa tahapan termasuk di dalamnya,
persiapan, diskusi, klarifikasi tujuan dan perundingan dengan hasil yang biasanya adalah win-
win solution.

Tentu, pengertian umum serta tahapan negosiasi yang umum seperti ini tidak tepat mengingat
bahwa Covid-19 itu seperti hantu. Namun, penting bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia
untuk melihat terobosan negosiasi dengan Covid-19 sebagai suatu kemungkinan.

Pada 1977, Christianto Wibisono menerbitkan buku “Wawancara Imajiner dengan Bung Karno”.
Walau Presiden Soekarno sudah meninggal dunia pada 21 Juni 1970, Christianto Wibisono
menyatakan apa yang ditulis merupakan hasil wawancara meski tidak secara “face to face” tetapi
secara imajiner dalam wujud sebuah imajinasi dengan cara membayangkan atau
mengimajinasikan lawan bicara yang sudah tidak ada. Setidaknya pada 14 Juli 2017, Christianto
Wibisono masih melakukan wawancara imajiner dengan Bung Karno mengambil tema “Nobel
untuk Jokowi-Prabowo”. Apa yang dilakukan oleh Christianto Wibisono dibenarkan oleh teori
komunikasi. Kata kunci dalam negosiasi ini adalah komunikasi dan interaksi.

Menurut James Honeycutt dkk (1990) dalam jurnalnya “Imagined Interactions dan Interpersonal
Communication – Mental Representations of Interpersonal Communication”, interaksi imajiner
adalah representasi kognitif dari percakapan yang dialami sebagai sebuah dialog internal dengan
pihak lain. Istilah interaksi imajiner lebih tepat digunakan dibanding misalnya seperti dialog
internal, atau bincang-bincang imajiner.

Alasannya adalah, interaksi imajiner lebih luas pengertiannya termasuk menyangkut imajinasi
verbal dan nonverbal atau visual dan nonvisual. Imajinasi visual merefleksikan sebuah tempat,
lokasi dari interaksi seperti mobil, kantor, dan lain-lain, serta juga menggambarkan jalur dialog
yang digunakan pribadi dan lawan bicara imajinernya. Interaksi imajiner terkait erat dengan
karakter, gender, perkawinan, dan juga tingkat kualtias hubungan.
Berdasarkan penelitian, Honeycutt menjelaskan ada beberapa kategori penting dalam interaksi
imajiner. Kategori meliputi topik pembicaraan (general topic), lawan bicara secara umum
(general imagined interaction partners), lawan bicara dalam dialog (dialogue partner), topik
pembicaraan (reported topic), jumlah jalur dalam interaksi terkait dengan prosedur dialog (first
line and last line), jumlah jalur komunikasi dalam dialog (self line and other line), jumlah kata
yang dibicarakan (self words and other words) serta jumlah pertanyaan yang diajukan masing-
masing interaktor (self questions and other questions).

Personifikasi
Terkait dengan konteks di atas, dapat dikatakan bahwa dalam interaksi imajiner lawan bicara
dihadirkan secara personifikasi yang dalam kamus Oxford dikatakan sebagai the attribution of a
personal nature or human characteristics to something nonhuman, or the representation of an
abstract quality in human form (Oxford Languages). Personifikasi dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan menjadi pengejawantahan atau perwujudan

Dalam kamus Webster Mirriam, personifikasi dijelaskan sebagai attribution of personal qualities
especially: representation of a thing or abstraction as a person or by the human form atau a
divinity or imaginary being representing a thing or abstraction atau embodiment/incarnation.

Ada juga yang mengartikan personifikasi sebagai a figure of speech in which an idea or thing is
given human attributes and/or feelings or is spoken of as if it were human. Personification is a
common form of metaphor in that human characteristics are attributed to nonhuman things. This
allows writers to create life and motion within inanimate objects, animals, and even abstract
ideas by assigning them recognizable human behaviors and emotions.

Dalam mitos Jawa, ketika pengetahuan belum berkembang, gerhana bulan diceritakan sebagai
situasi di mana bulan ditelan Batara Kala, yang dipercaya sebagai dewa dalam ujud raksasa.
Peristiwa ini kemudian mendorong masyarakat Jawa pada waktu itu mencari solusi agar bulan
tidak habis dimakan Batara Kala dan muncul kembali. Caranya adalah dengan membuah
keriuhan dengan membunyikan lesung (tumbukan padi) agar dewa raksasa itu merasa terganggu
dan segera memuntahkan bulan kembali.

Mitos ini terdapat pada salah satu relief Candi Belahan Sumber Tetek, Desa Belahan,
Wonosunyo, Gempol, Pasuruan, Jawa Timur yang merupakan peninggalan Raja Airlangga pada
Abad 11. Dan pentingnya gerhana bulan bagi masyarakat Jawa tercatan dalam prasasti tertua
yang bertanggal 11 Maret 843 M.

Gerhana Bulan, yang merupakan fenomena alam di mana bumi, bulan dan matahari berada
dalam satu garis lurus, dimaknai sebagai peristiwa dimakannya bulan oleh Betara Kala
merupakan bentuk dari personifikasi. Atau jika dilihat dari jaman sekarang, Batara Kala adalah
personifikasi dari fenomena alam yang tidak dapat dijelaskan pada waktu itu dan tradisi pukul
lesung adalah respon (negosiasi imajiner) atas fenomena alam yang dipersonifikasikan tersebut.

Dalam konteks ini, jika personifikasi sebagai lawan bicara disepakati, Covid-19 dapat diajak
bernegosiasi meski secara imajiner oleh siapapun termasuk Sri Mulyani. Personifikasi sosok
Covid-19 juga diperjelas dengan pendapat dari para ilmuwan, dokter, peneliti, ekonom dan lain-
lain tentang jati diri virus tersebut.

Dengan merujuk pada teori yang ada, keputusan 3M (mencuci tangan, menjaga jarak dan
menggunakan masker), yang diterapkan oleh pemerintah pada awal kemunculan pandemi Covid-
19, tanpa disadari merupakan hasil negosiasi imajiner antara manusia dan covid-19 sebagaimana
yang terjadi dengan fenomena gerhana bulan dalam budaya Jawa.

Pertanyaannya, jika Covid-19 akan terus ada dan berdampingan dengan manusia sepanjang
zaman, kehidupan yang bagaimana dapat dinegosiasikan secara imajiner dengan Covid-19?

Manusia masih beranggapan bahwa pandemi ini hanya akan berlangsung sesaat dan akan hilang
oleh vaksin. Namun kasus “tsunami Covid-19” di India pada April 2021, sebagai contoh,
menjelaskan bahwa tidak cukup hanya vaksinasi tetapi juga diperlukan kesadaran baru manusia
(kompromi) untuk mencegah penyebaran dan penularan virus covid-19 melalui menghindari
kerumunan. Ini bukan soal keyakinan, kepercayaan ataupun tradisi tetapi persoalan manusia
dihadapkan pada situasi tanpa ada pilihan (no choice).

Seperti “Mission Impossible”, manusia tidak hanya tidak memiliki pilihan (no choice) tetapi juga
tidak ada bantuan atau dukungan yang dapat diharapkan dari negara lain kecuali berdiri di kaki
sendiri (no backup), dan tidak dapat membuat perencanaan (no plan), seperti sebelum adanya
Covid-19. Hal ini karena manusia tidak tahu kapan pandemi Covid-19 selesai atau malah
menggila. Di India setelah “tsunami Covid-19” muncul ancaman pandemi baru berupa infeksi
baru jamur hitam (black fungus) yang merupakan dampak kesembuhan dari Covid-19.

Dalam bernegosiasi dengan Covid-19 yang dibutuhkan adalah sikap kompromi dan penyesuaian
diri dengan lawan bicara agar manusia dapat meneruskan hidupnya. Bagi Indonesia, di ujung
dari negosiasi imajiner adalah bagaimana mewujudkan amanat Pembukaan UUD 1945 dan
Batang Tubuhnya, seperti membangun bangsa sehat, cerdas dan sejahtera, meski dalam new
normal.

Dalam konteks ini, Indonesia membutuhkan para pemikir visioner dari berbagai disiplin ilmu
untuk menerjemahkan apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia di masa mendatang.
Bagaimanapun juga ketepatan dalam bernegosiasi imajiner dengan Covid-19 akan
menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia melalui perhatian khusus pada generasi yang lahir
dan akan lahir dalam situasi pandemi.
2).identifikasi artikel di atas:menjelaskan bagaimana cara kita untuk menguasai teknologi di era
pandemic

Webinar di Era Pandemi Covid-19

20 Juli 2021 09:51 Diperbarui: 20 Juli 2021 09:53 30 1 0

Lihat foto

Webinar di Era Pandemi Covid-19

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Pandemi covid-19 membuat kita harus beradaptasi dengan era baru termasuk beradaptasi dengan dunia
digital. Adanya teknikogi digital dapat membantu kita menjalankan protokol untuk meminimalisir
bertemu secara langsung dengan orang lain bahkan berkerumun. Untuk itu di masa ini, kita harus dapat
memanfaatkan teknologi sebaik-baiknya agar tetap dapat beraktivitas.

Pada tanggal 27 Juni 2021 lalu, saya bersama beberapa teman saya mengadakan sebuah event webinar
yang bertemakan "Writing is Healing" dengan mengundang narasumber Raddy Ibnu Jihad. Sebagai
panitia, saya akan bercerita mengenai hal-hal teknis dalam webinar tersebut mulai dari persiapan hingga
setelah acara selesai.

Sebagai panitia, tentunya kami dituntut harus dapat menguasai aplikasi zoom meeting, karena kami
memilih aplikasi tersebut sebagai medianya. Kemudian, kami berpikir bagaimana cara untuk
menjangkau target atau peserta sehingga kami memutuskan untuk bekerjasama dengan media untuk
menyebarluaskan poster tentang webinar tersebut.

Peserta pun mulai berdatangan masuk ke link pendaftaran yang telah kami bagikan. Beberapa hari
setelah poster tersebut kami unggah, ternyata ada sponsor yang melihat unggahan poster tersebut dan
menawarkan kerja sama untuk menjadi sponsor diwebinar kami. Setelah diskusi, kami memutuskan
untuk menyetujuinya walaupun kami harus mengubah poster dengan menambahkan logo sponsor
tersebut dan mengunggah ulang.

Setelah semua persiapan selesai, kami melakukan gladi bersih agar seluruh rangkaian acara dapat
berjalan dengan baik. Dan seperti yang kita harapkan, acara berlangsung dengan sangat baik. Kemudian
beberapa hari setelahnya, kami membagikan sertifikat kepada peserta webinar melalui email mereka.
Acara webinar ini dihadiri sekitar 70 peserta.Dengan mengadakan webinar ini banyak pengalaman yang
saya dapatkan, selain bekerja sama dengan tim, juga harus dapat bekerjasama dengan media dan
sponsor serta peserta. Acara webinar ini sangatlah bermanfaat dan efektif dimasa pandemi
sepertisekarang ini, karena kita dapat bertatap muka dengan orang banyak dan bertukar pikiran
walaupun hanya secara virtual saja.

Klik untuk baca:https://www.kompasiana.com/chandradewa/60f63a1eb13fde1a5965ca93/webinar-di-


era-pandemi-covid-19 .

Anda mungkin juga menyukai