Anda di halaman 1dari 6

FORMAT PENULISAN ARTIKEL LAPORAN PPL BERBASIS RISET

1. Judul menyesuaikan dengan bidang keilmuan masing-masing program studi


2. Jumlah 6-8 halaman
3. Font Times New Roman (12) Spasi 1,5, Kertas A4
4. Isi artikel meliputi :

Pendahuluan

- Tinjauan awal

- Teori atau Pendekatan untuk menjelaskan topik

- Dasar atau perspektif argumen

Batang Tubuh

- Sub Argumen
- Bukti Pendukung

Kesimpulan

- Menyatukan berbagai argumen sehingga tampak kesimpulan yang mudah dipahami

Daftar Bacaan
- (dapat mengutip jurnal, buku, media online dll)

Catatan Juknis:
1. Setiap peserta WAJIB menyusun satu artikel, dikumpulkan paling lambat tgl
Rabu, 23 September 2020 (Sebelum penarikan PPL);
2. Peserta yang tidak mengumpulkan artikel, dinyatakan TIDAK LULUS;
3. Artikel karya sendiri, no copy paste, no plagiat.. Panitia akan men-check
menggunakan software TURNITIN; artikel yang melebihi plagiasi diatas 50%
dinyatakan TIDAK LULUS PPL
4. Jika ada foto dalam artikel, maksimal 2 buah.. ukuran tidak terlalu besar
5. Artikel dikirim pada link yang disediakan panitia (menyusul)
CONTOH ARTIKEL

Menggapai Solidaritas ala “Mali Siparappe”


Belajar pada Masyarakat Bacukiki Kota Parepare
Oleh : Mahyuddin
NIM: 15.3500.001
Prodi Sosiologi Agama

Latar Belakang
Benedict Anderson, sejarawan dan ilmuan politik, pernah berucap eksistensi suatu
bangsa berawal dari adanya pikiran-pikiran bersama. Oleh Anderson disebutnya “komunitas-
komunitas terbayang”. Bangsa yang dibayangkan adalah suatu komunitas besar yang selalu
dipahami sebagai kesetiakawanan. Ia merasuk mendalam dan melebar luas hingga pada
akhirnya melahirkan rasa persaudaraan.
Sepintas lalu, Benedict Anderson hendak menegaskan pada kita bahwa imajinasi
bersama adalah tonggak-tonggak persatuan. Imajinasi adalah simpul-simpul yang berperan
sebagai kekuatan pengikat persaudaraan. Ya, pikiran-pikiran bersama menyatukan kita dalam
imajinasi kolektif sebagai suatu bangsa. Dengan perkataan lain, kita bersatu karena kesediaan
kita untuk hidup bersama dan saling merangkul yang terus dirawat melalui imajinasi-
imajinasi kebersamaan.
Perhatian masyarakat Indonesia bahkan dunia saat ini yang masih berjibaku melawan
dan memutus mata rantai virus Corona (Covid-19), adalah waktu yang tepat untuk
menguatkan kembali imajinasi-imajinasi itu. Laksana bumi yang sedang gersang, kita
membutuhkan siraman-siraman air untuk menumbuhkan semangat persaudaraan,
menyegarkan kembali persatuan, dan menyemai lebih erat lagi rasa solidaritas sosial.
Pijakan ini tentu saja sangat beralasan. Selain tidak satu pun negara yang merasa
aman dari ancaman Corona, juga realitas bahwa bumi Indonesia dihuni oleh ratusan juta
penduduk, sehingga rentan diterpa tsunami pasien dan kelaparan. Karena itu, imajinasi
kolektif sebagai kekuatan-kekuatan bangsa hendak terus ditumbuhkembangkan dengan
bergandengan tangan melakukan aksi nyata untuk menghindarkan bangsa ini dari tragedi
kemanusiaan bersebab pandemi Corona.

Ujian Pandemi Covid-19


Saat ini masyarakat kita dihadapkan pada situasi yang tidak sedang baik-baik saja.
Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di semua negara. Mengutip pernyataan Yuval Noah
Harari, sejarawan yang menulis buku spektakuler Homo Deus Masa Depan Umat Manusia.
Bahwa bangsa manusia sedang menghadapi krisis global. Mungkin krisis terbesar dalam
generasi kita.
Tatkala virus ini telah menyebar ke-202 negara dan menginfeksi 724.945 orang
dengan jumlah kematin 34.041 jiwa (CSSE Jhons Hopkins University per 30 Maret 2020),
seketika rutinitas terhenti dan terjadi gelombang yang berbalik, meminjam istilah Fritjof
Capra, penulis buku Titik Balik Peradaban. Yaitu kita dihadapkan pada situasi krisis yang
serius, suatu krisis yang kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap
aspek kehidupan kita. Ia telah memengaruhi aspek kesehatan dan mata pencaharian,
hubungan sosial, ekonomi, teknologi hingga politik.
Di tanah air, penularan Covid-19 agaknya sudah sampai pada tahap tidak terbendung
lagi. Betapa tidak, hampir di sebagian besar wilayah, telah masuk dalam zona merah lantaran
terjangkit virus ini. Setiap hari banyak korban yang terpapar sampai meninggal. Data
mutakhir menyebutkan, korban telah mencapai 1.677 orang (Detik.com per 1 April 2020).
Tidak berhenti sampai di situ, tenaga medis (tim dokter dan perawat) dan pegiat kemanusiaan
lainnya pun mulai kelagapan. Bahkan mulai bertumbangan menghadang pandemi ini di
lapangan.
Inilah ujian-ujian bangsa kita saat ini. Kita tengah dihadapkan pada suatu kondisi
yang berat dan tidak menentu. Epedimi ini tidak saja mengakibatkan kesehatan masyarakat
Indonesia memburuk, tetapi juga membuat perekonomian nasional melemah, yang
memengaruhi seluruh aspek sosial kehidupan kita. Itu tidak saja di Indonesia, tetapi di
seluruh dunia yang sudah terpapar virus ini. Sampai-sampai negara adidaya seperti Amerika
pun kalang kabut dibuatnya.
Jalan Buntu Phsycal Distancing
Setelah Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan maklumat perihal
pentingnya phsycal distancing (kata ganti social distancing), seluruh dunia yang tengah
menghadapi pandemi ini, menggelorakan kampanye itu. Wacana phsycal distancing kini
begitu menggema di seantero penjuru dunia.
Di lini masa, orang- orang mulai menyuarakan pentingnya menghindari keramaian,
perlunya tidak menjalin interaksi sosial yang intim, serta anjuran berdiam diri di rumah.
Sampai-sampai fenomena ini direspons oleh pemerintah di berbagai negara dengan mulai
menerapkan pembatasan rutinitas manusia. Orang-orang mulai bekerja dari rumah, sekolah-
sekolah diliburkan, rumah-rumah ibadah disterilkan, sampai pada penutupan layanan-layanan
publik.
Namun demikian, krisis phsycal distancing di masyarakat agaknya telah mencapai
titik kulminasi dalam pekan-pekan terakhir ini. Selain pelaksanaanya yang sulit diterapkan,
juga membawa ekses sosial ekonomi tersendiri bagi masyarakat terutama masyarakat kelas
bawah. Bagi masyarakat kelas menengah atas (saya menyebutnya sudah mapan dan bekerja
di lembaga-lembaga formal), barangkali tidaklah menjadi masalah. Mereka bisa saja bekerja
dari rumah, mengurung diri di rumah dengan segala ketercukupan kebutuhan ekonominya
hingga tidak berinteraksi dengan siapa pun selama berhari-hari. Itu sangat memungkinkan.
Tetapi, bagaimana dengan buruh-buruh pabrik yang dilarang berhenti bekerja , para
tukang becak, driver ojek, sopir angkutan umum, penjual-penjual keliling, nelayan dan
buruh-buruh kasar lainnya? Apakah mereka juga bisa menerapkan itu? Jika mereka bertahan
di situasi ini sampai batas waktu yang tidak ditentukan, maka mereka bisa saja kelaparan.
Mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya dalam masa-masa
itu.
Di sinilah jalan buntu itu bermula. Ada dilema tersendiri dari pembatasan sosial
berskala besar. Satu sisi jika tidak diindahkan, maka akan membuat penyebaran pandemi ini
semakin runyam. Seperti yang diungkap Anderson Cooper, penulis buku Dispatches from the
Edge: A Memoir of War, Disasters and Survival dalam sebuah wawancara di sebuah TV.
Bahwa jika kita tidak mengikuti anjuran “stay at home” atau social distancing, maka akan
ada jutaan jiwa melayang sebab penyebaran pandemi ini begitu cepat melesat. Itulah
mengapa physical distancing demikian dibutuhkan.
Sisi lain, jika pembatasan gerak ini tidak dibarengi dengan perlindungan sosial dan
keberpihakan terhadap masyarakat kelas bawah (rakyat miskin), maka hal ini berbahaya bagi
kelangsungan hidup mereka. Memperkeruh lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of
poverty), meminjam istilah sosiolog Unair Bagong Suyanto. Ini bisa menimbulkan agresivitas
masyarakat yang berbahaya bagi stabilitas negara. Mengapa? Sebab dalam kondisi ini
masyarakat kelas bawah (terutama kaum miskin) berharap banyak pada kebaikan orang lain
(uluran tangan) terlebih pada negara (insentive kebutuhan) untuk sekadar bertahan hidup.
Saatnya Kibarkan Gotongroyong
Ada secercah harapan tatkala para anggota parlemen yang terhormat di senayan sana,
mulai terpanggil untuk berbagi. Di sebuah sidang paripurna pekan lalu, beberapa fraksi
menginisiasi agar ada pemotongan gaji untuk membantu mereka yang membutuhkan semasa
pemberlakukan phsycal distancing. Semoga usulan itu bukan sekadar wacana. Saatnya belajar
pada negara jiran Malaysia yang memangkas gaji para petinggi negaranya selama dua bulan.
Pun bisa belajar dari negara Taiwan dan Korea Selatan bagaimana mendorong keterlibatan
berbagai pihak seluas-luasnya untuk membasmi wabah. Kita bisa melihat bagaimana para
pejabat memotong gajinya dan para artis berdonasi secara bersama-sama diikuti masyarakat
umum.
Fenomena sosial di atas adalah gambaran dari apa yang disebut sosiolog Manuel
Castells sebagai “network society” atau yang dinamakan Robert Putnam sebagai “modal
sosial”. Yaitu solidaritas individu atau jalinan hubungan sosial yang dimanfaatkan dalam
jangka pendek maupun jangka panjang untuk mencapai tujuan bersama.
Itu saya kira tidaklah sulit untuk ditiru. Kerangka Yuval Noah Harari juga telah
memberi penegasan kepada kita bahwa penangkal sesungguhnya dari epidemi bukanlah
segregasi (jarak sosial), melainkan kerja sama. Apalagi kita memang memiliki warisan
budaya “gotongroyong”. Seberat apapun permasalahan yang kita hadapi saat ini dalam masa
perang melawan virus, akan menjadi ringan tatkala kita berjuang bersama.
Saya teringat tuturan tokoh bangsa kita Bung Hatta tentang cita-cita tolong-menolong
rakyat Indonesia dalam buku Kumpulan Karangan. Menurutnya, sanubari rakyat Indonesia
itu penuh dengan rasa bersama, kolektiviet. Kalau seseorang di desa hendak membuat rumah
atau mengerjakan sawah ataupun ditimpa bala kematian, maka ia tak perlu membayar tukang
atau menggaji kuli untuk menolongnya. Karena dia akan ditolong bersama oleh warga sedesa.
Merphin Panjaitan dalam bukunya “Peradaban Gotongroyong” juga memberi ulasan
panjang tentang itu. Bahwa gotongroyong telah menjadi cara hidup bersama bangsa
Indonesia untuk bertahan hidup dan melanggengkan keberadaannya dari generasi ke generasi.
Ia telah menjadi kebutuhan bersama masyarakat sejak dahulu kala.
Pada masa ini, gotongroyong dapat menjadi jawaban terhadap beban berat
menyingkirkan wabah ini. Kita bisa bangkit dari serangan epidemi ini jika memulai tindakan
nyata yang didorong oleh rasa kemanusiaan untuk menolong yang menderita dan
meringankan beban sesama tanpa pamrih. Kita bisa belajar dari bangsa lain bagaimana
menggalang solidaritas dan saling bertukar informasi tentang cara efektif menghentikan
Corona. Bahwa untuk mengakhiri pendemi ini, kita perlu bergandengan tangan
mengumpulkan segala daya kita untuk memenangkan pertarungan ini.
Oleh karena itu, solidaritas sosial menjadi tumpuan kita untuk bertahan saat ini. Dan
bergotongroyong saya kira adalah salah satu jalan terbaik dalam menjawab tantangan itu.
Untuk kebaikan bersama. Kita butuh kesukarelaan dalam semangat persaudaraan jika kita
tidak ingin peradaban-peradaban yang selama ini kita semai berhenti berkembang, dan
kemudian hilang ditelan waktu.
Daftar Bacaan
Anderson, Benedict R. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread
of Nationalism. London: Verso.
Cafra, Fritjof. 2007. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat. dan Kebangkitan Kebudayaan
(Terjemahan). Bandung: Nuansa Cendekia.
Hatta, Mohammad. 1967. Kumpulan Karangan. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Panjaitan, Merphin.2013. Dari Gotongroyong ke Pancasila. Jakarta: Jala Permata Aksara.
Panjaitan, Merphin.2016. Peradaban Gotongroyong. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Anda mungkin juga menyukai