Anda di halaman 1dari 61

PENGANTAR REDAKSI

Informasi Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial Volume 12 Nomor 01 tahun 2007 ini menyajikan tulisan-tulisan menarik yang ditulis oleh peneliti, praktisi maupun akademisi di bidang kesejahteraan sosial. Semua manusia mempunyai kesetaraan hak hidup yang terlindungi secara demokratis sebagaimana ditemukan dalam berbagai kearifan lokal, seperti Kitorang Samua BasudaraWorld View Manado, dan Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing - Utopis Pribahasa Nusantara. Sehubungan dengan itu, memaknai kenyataan hidup insan yang berbeda seperti Komunitas Adat Terpencil (KAT), maka diperlukan jembatan persaudaraan guna menempatkan mereka sejajar dengan komunitas lain di negeri ini. Pada KAT yang mendiami daerah perbatasan wilayah NKRI, seperti di perbatasan Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, mereka memerlukan perlindungan karena rentan terhadap masuknya budaya dan ideologi yang tidak menguntungkan bagi mereka sendiri maupun bagi negara. Oleh karena itu, KAT di perbatasan ini perlu memperoleh perhatian khusus dari pemerintah secara lintas sektor. Selain jumlah KAT yang masih banyak, dewasa ini masalah-masalah sosial lain semakin kompleks. Hal ini memerlukan penanganan secara terpadu, mulai dari pemahaman masalah sampai analisis kebutuhan dan strategi yang dikembangkan. Saat ini sudah tidak memungkinkan lagi menyelesaikan masalah-masalah sosial yang kompleks itu dengan satu disiplin dan satu pilihan strategi. Pekerjaan sosial menawarkan model generalis, yang menempatkan masalah sebagai pusat intervensi sosial. Model ini menghendaki adanya sinergi dari berbagai disiplin, sumber daya, pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Konflik antara dunia usaha dan masyarakat dewasa ini masih seringkali terjadi. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perlindungan hak-hak masyarakat atas taraf hidup, pekerjaan dan kepemilikan aset dari dunia usaha. Satu kasus dari fenomena konflik antara masyarakat dan dunia usaha ini, yaitu konflik yang terjadi antara PT Perkebunan Kelapa Sawit dengan petani plasma dan masyarakat sekitar kawasan perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat. Masalah sosial klasik yang juga perlu memperoleh perhatian adalah bencana banjir. Bencana ini menjadi peristiwa bencana tahunan di sebagian besar wilayah negeri ini, tidak terkecuali Ibukota Jakarta. Meskipun terjadi setiap tahun, namun kerugian akibat banjir ini masih cukup besar, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa. Korban yang paling merasakan akibat banjir ini adalah keluarga miskin dan sangat miskin. Mereka yang sehari-hari sudah hidup susah, ditambah lagi dengan hilangnya harta benda, anggota keluarga dan sumber penghidupan.

Masalah sosial kontemporer dewasa ini juga ada kecenderungan semakin meningkat. Perubahan gaya hidup akibat dari transformasi sosial dan budaya yang berlangsung cepat dewasa ini, merupakan situasi yang menyumbang lahirnya masalah sosial kontemporer dan bersifat pathologis. Waria merupakan salah satu komunitas yang cenderung melakukan perilaku menyimpang dari tatanan sosial atau menyandang masalah sosial pathologis. Oleh karena itu, perlu penanganan secara konseptual, sehingga komunitas ini mampu menjalani kehidupan sesuai tatanan sosial.

REDAKSI

ii

LANDASAN FILOSOFIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL


Rusmin Tumanggor
Abstract. Peoples had equality of living right. To moved, to creation, to critics, to request or to reject, obedient or denial, to defend our self in all of situation to fulfill the opinion of living need. This condition must be democratic protection. The bone as much white, the blood as much red, to ramble and to buried around in the surface of the world. World view of Manado, all of peoples always friendship, World view of Melayu The world where to stand, there the sky to uphold. To share joys and sorrows, utopist of Indonesia. The meaning of lived reality everybody separated with the differences, especially for the indigenous people. So, we must build their solidarity to improve their live and leave the backward. The concept of philosophy based on the universe components. Key Words : philosophy, empowerment, indigenous people

I.

PENDAHULUAN

Esensi manusia sama dalam komposisi dasar fisik yang terboboti oleh komponen alam, yaitu air, api, tanah, udara, logam dan tulang. Tersentra dan mensirkulasi pada saripati zat tumbuhan, hewan dan mineral melalui daur hidup seirama hukum rotasi bumi berevolusi terhadap matahari sebagai pusat tata surya dan resiprositas gravitasi antar planet. Dengan kata lain, seluruh problematika kemanusiaan dan bumi berikut segala benda padat, cair, gas dan buatan lainnya merupakan satu kesatuan sistem totalitas, hingga dimensi substansial antara satu dengan lainnya berada dalam keseimbangan (equilibrium). Dalam percepatan buatan manusia merubah posisi sejumlah komposisi alam ke format lain menjadi peralatan hidup manusia itu sendiri berimplikasi kepada perubahan struktur, daya dukung (carrying capacity), produksi dan pergeseran tata kerja alam serta

konsumsi manusia. Rekayasa dan inovasi tadi tidak semata-mata merubah sosial budaya suku bangsa pencipta dan atau pengadopsi rekayasa perubahan (changible engineering), akan tetapi juga mengguncang lingkungan hidup suku bangsa lainnya, karena perubahan itu tidak serta merta memperbaiki kehidupan dan harmoni menyeluruh manusia di permukaan bumi. Dunia manusia adalah alam lingkungan dan harmoni terletak pada keserasiannya. Ketimpangan menjadi sumber malapetaka dan tidak selayaknya terjadi. Jika kita petik makna dari isi tulisan Fritjof Capra dalam bukunya The Web of Life: Jejaring Kehidupan bahwa renungan ilmuan, pengusaha, politisi dan birokrasi harus tertuju pada masalah sistemik yakni semuanya saling terkait dan tergantung satu sama lainnya lewat jejaring kebenaran yakni dunia, manusia, belajar tentang dunia dan hidup di dunia . Kestabilan populasi dunia tercapai tatkala kemiskinan direduksi di seantero dunia.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

Persepsi, pemikiran, dan nilai kita seyogyanya terarah pada pencegahan degradasi ekosistem, pelestarian binatang, tumbuhan dan sumberdaya, manajemen ledakan populasi, pembinaan dan perlindungan komunitas-komunitas lokal dari pengabaian dan pengrusakan, advokasi kekerasan etnis dan ras Capra juga menekankan (the survival of humanity will depend on our ecological literary). Pandangan dunia (world view) yang mengglobal dan berkelanjutan (sustainable) inilah ruh dan paru-paru kesejahteraan (welfare) yang jadi eksistensi kestabilan itu.

II.

PERSPEKTIF SOSIAL

Manusia adalah bentukan baru dari temu kondrati lintas manusia lainnya. Menyebar dan atau mengelompok terbawa kondisi dan situasi hidup serta dikonsepsikan mereka lewat analisa nilai dan norma terbaik bagi hari depannya. Bertolak dari perspektif ini, ada yang menciptakan kehidupan berwujud ciri kehidupan kota, dan ada pula yang menciptakan kehidupan berwujud ciri kehidupan pedesaan yang masih terdapat jejaring komunikasi dengan perkotaan dan ada pula yang relatif terputus sama sekali dengan jejaring desakota, tertinggal dan sederhana dalam penjamahan alam terkait pemenuhan kebutuhan. Sehingga dilabelkan para akademisi dan birokrat sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT). W.W. Rostow dalam bukunya Stages of Economic Growth (1961) menggambarkan membina pembangunan masyarakat seperti tahapan pesawat yang akan take off: (1) traditional society, yaitu masyarakat tradisional yang akan memulai pembangunan; (2) preconditions for take-off, yaitu masyarakat tradisional mempersiapkan diri memasuki tahap industri; (3) take-off, yaitu ekonomi masyarakat sudah cukup kuat untuk tumbuh sendiri; (4) drive to maturity, yaitu ekonomi sudah makmur

untuk kekuatan sendiri; (5) age of massconsumption, yaitu rakyat menikmati hasil produksi massanya sendiri. Memperhatikan lima tahapan ini, dalam memberdayakan KAT perlu dimulai dengan langkah-langkah yang pernah digambarkan Koentjaraningrat (1990), yaitu (1) menggeser hambatan dari aspek kebudayaan menuju keperluan hidup masa kini; (2) surplus produksi diubah menjadi modal kerja; (3) mulai dari padat karya dan mengarah pada padat modal masyarakat lokal; (4) mata rantai hubungan desa-kota tidak menghilangkan filosofi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat; (5) kemajuan yang dicapai tetap dalam kesatuan menuju persatuan Indonesia. Dengan mencermati pendekatan itu, kemajuan pesat pelbagai komunitas yang telah lebih dahulu dapat menikmati perkembangan peradaban baik secara natur dan sosial, layak pula dikomunikasitawarkan kepada KAT, sehingga mereka termotivasi merubah kehidupan sosial budayanya sesuai dengan arah dan proses serta hasil yang mereka inginkan. Parsudi Suparlan dalam tulisannya yang berjudul Pembangunan Komuniti Dan Tanggung Jawab Korporasi menekankan pembangunan komuniti adalah sama dengan sebuah investasi sosialTidak semua komuniti terutama yang ada di daerah pedesaan mampu untuk menciptakan program pembangunan komuniti. Dalam keadaan seperti itu, pihak korporasi dapat memberi stimulasi dengan mengajak warga komuniti untuk berdiskusi mengenai berbagai masalah yang dihadapi . Kornblum mendeskripsikan proposisi reformist movement yaitu gerakan sosial yang hanya bertujuan mengubah sebahagian institusi dan nilai, lawan dari narasi proposisi Aberle transformative movement yakni gerakan untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh (Sunarto, 2000: 210). Berarti mereka (KAT) didekati, dibimbing, diberdayakan (empowerment) dan dilindungi

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

(advocacy) untuk saling memberitahu, mengajak, membantu kebangkitan, memotivasi perubahan, menuntun pengambilan keputusan terbaik kearah pencerahan dengan tidak mengacau apalagi mencabut akar sistem nilai dan norma dasar kehidupannya.

III. FALSAFAH KENEGARAAN


Negara sebagai satuan besar komunitas yang terdukung oleh manajemen desa, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. Aristoteles (w.322 sM) mengutarakan proposisi politike koinonia yaitu masyarakat politik-etik berupa warga Negara yang mempunyai kebebasan serta persamaan dalam sistem kekuasaan berdasarkan hukum. Sementara itu Thomas Hobbe (w. 1676) menekankan pada nilai keadilan merata bagi seluruh rakyat. Hegel (w. 1831) berpandangan, bahwa Negara terbentuk atas pertemuan dua kebebasan yaitu subjektif (subjective liberty) dan objektif (objective liberty) dimana masyarakat sipil menjelma dalam bentuk kehidupan etis, yang lahir dari cita-cita dasar pembentukan Negara dan kehidupan bersama segenap warga Negara. John Lock (w.1704) menyatakan bahwa hubungan Negara dengan masyarakat sipil terikat oleh kontrak sosial politik antara yang berkuasa dengan yang dikuasai. Disini mengedepankan saling keperdulian yang mengikat. Butir kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab serta butir ketiga Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam falsafah Pancasila Bangsa Indonesia merupakan proposisi penting bagi kepedulian terhadap KAT. Diperkuat pada butir (2) pasal 34 Bab XIV Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial dinyatakan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Teks lengkap pada Pembukaan (Preambule) UUD 1945 alinea ke IV dinukilkan kemudian daripada

itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini diperkuat lagi dengan Keputusan Presiden RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia Thn 2004-2009 Pasal 1 butir (1) yang menyatakan Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia yang selanjutnya disebut RANHAM Indonesia adalah untuk menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945. Uraian tadi menjadi landasan utopis bagi upaya kesetaraan, kompetisi dalam memajukan kehidupan warga Negara termasuk KAT bagian tak terpisahkan dari komponen Negara yang perlu dirangkul untuk bahu membahu ke ufuk kompetisi pencerahan membangun manusia Indonesia seutuhnya . Mengacu pandangan ini, kehati-hatian mengolah apalagi larangan menjarah hak ulayat yang mensenjangkan, menjadi keniscayan. Dari data tahun 2004 (Atlas Nasional Persebaran Komunitas Adat Terpencil), di Indonesia KAT terdapat di 2.811 lokasi, 2.67.550 KK dan 1.192.164 jiwa. Sudah diberdayakan 709 lokasi, 51.420 KK, 2.32.874 jiwa. Yang sedang diberdayakan 174 lokasi, 11.101 KK, dan 48.357 jiwa. Belum

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

diberdayakan sebanyak 1.928 lokasi, 2.05.029 KK, 9.10.933 jiwa. Jadi kita masih memiliki 211 Kabupaten, 804 Kecamatan serta 2.328 desa yang didalamnya terdapat KAT sebagai saudara kita sebangsa dan setanah air. Mereka bagaikan mutiara yang terabaikan. Jika diberdayakan akan memperindah bahkan memperkokoh nusantara. Tatkala tak diperhitungkan, deraian air mata tiada berguna lagi apabila mutiara ini menjadi milik orang lain atau hilang tanpa bekas. Rautan wajah kita menentukan kedekatan mereka. Senyum polos bibir kita menyentuh ketersanjungan hati mereka. Uluran tangan kita menghangatkan aliran darah mereka. Kebisuan kita menyayat hati mereka dan mengukir dendam tiada akhir. Saat warga KAT menghembuskan nafas terakhir, mereka meninggalkan kemiskinannya. Warga Komunitas Berperadaban kompleks dan tinggi pun saat menghembuskan nafas terakhir, mereka meninggalkan semua kekayaannya. Di dalam kubur hingga persimpangan jalan ke sorga atau neraka pun sama-sama polos dan saling membisu. Karena itu yang indah adalah selama masih di dunia saling mengisi dan memberi. Kemiskinan dan kekayaan menjadi tali perajut silaturrahim menggapai manusia Indonesia seutuhnya, dibawah Bendera Merah Putih bergandeng tangan berbunga hati menuju sorga.

1. 2. 3.

Hak untuk menentukan nasib sendiri (rights of internal self determination); Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (right of participation); Hak atas pangan, kesehatan, habitat, dan keamanan ekonomi (rights to food, health, habitat, and economic security) Hak atas pendidikan (rights to education); Hak atas pekerjaan (rights to work) Hak anak (rights of children) Hak pekerja (rights of workers) Hak minoritas dan masyarakat hukum adat (rights of minorities and indigenous peoples Hak atas tanah (rights to land)

4. 5. 6. 7. 8.

9.

10. Hak atas persamaan (rights to equality) 11. Hak atas perlindungan lingkungan (rights to environmental protection) 12. Hak atas pelayanan administrasi pemerintahan yang baik (rights to administrative due process) 13. Hak atas penegakan hukum yang adil (rights to the role of law) Dijelaskan pula hak asasi kesenangan dan perlindungan hukum internasional bagi masyarakat asli dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai berikutIndigenous peoples have the right to the full enjoyment, as a collective or as individuals, of all human rights and fundamental freedoms as recognized in the Charter of the United Nations, the Universal Declaration oh Human Rights and international human rights law. Bersamaan dengan itu berlanjut dengan program penguatan di bidang kebudayan, pendidikan, kesehatan, hak asasi manusia, pengembangan lingkungan, sosial dan ekonomi, sebagaimana dinyatakan dalam Programme of Action of the Second International Decade of the Worlds In-

IV. PANDANGAN HIDUP MASYARAKAT INTERNASIONAL


Orientasi pemikiran komunitas global menyatakan pembangunan untuk semua (development for all ). Ini implicit dalam Deklarasi PBB tentang Hak atas Pembangunan tahun 1986 dan Konvensi ILO Tahun 1989 tentang Kelompok Minoritas dan Masyarakat Hukum Adat di Negaranegara Merdeka secara menyeluruh sebagai berikut (Komnas Ham, 2006):

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

digenous People, sebagai berikut: The plan of action for the Second International Decade of the Worlds Indigenous People will rely on five key objectives which cut across the various areas of the goal for the Decade Established by the General Assembly, namely strengthening internation cooperation for the solution of problems faced by indigenous people in the areas of culture, education, health, human rights, the environment and social and economic development. Dengan demikian, filosofi masyarakat internasional adalah kesempurnaan hidup milik bersama dan digapai lewat program kebersamaan di bawah naungan hak asasi dan perlindungan hukum internasional.

Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Pasal 28, Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi . Dan dalam Perjanjian Baru, Surat Paulus Kepada Jemaat di Kolose pasal 3 ayat 12 Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran. 3. Hindudharma menjelaskan dengan Kitab Suci Manawa Dharmacastra (Manu Dharmacastra) atau Weda SMTRI, Manu Smrtih Buku I pasal 106 Mempelajari peraturan-peraturan hidup ini, adalah jalan yang terbaik untuk mendapatkan kesejahteraan hidup, meningkatkan pengertian, menghasilkan kemasyhuran dan umur panjang dan mengantarkan pada kebahagiaan tertinggi. Buddha menjelaskan lewat Kitab Suci Sutta Pitaka Digha Nikaya 31 Ayat 26 Sang Sugata berkata demikian: Sahabat yang menjadi penolong, dan sahabat pada hari-hari terang dan gelap; ia yang menunjukkan apa yang engkau perlukan, dan ia yang bergetar dengan simpati. Untuk dirimu: empat macam ini, seorang bijaksana harus mengenali. Sebagai sahabat-sahabat, dan ia harus membaktikan dirinya kepada mereka. Seperti seorang ibu kepada anaknya sendiri, anak kesayangannya. Kemudian dalam Buku The Teaching of Buddha Bab The Way of Purification (Jalan Pensucian) dinyatakan untuk mencapai pencerahan kebijakan dan kebajikan memerlukan disiplin dan

V.

AJARAN SAKRAL AGAMA-AGAMA

Agama-agama dunia dan yang hidup di Indonesia, menjelaskan asal penciptaan, dasar dan fungsi kehidupan adalah dari Tuhan dan untuk kembali ke Tuhan. Sederajat di mata Tuhan, asal mampu menempatkan diri dengan baik, sesuai wahyu-Nya. Perbedaan suku bangsa hanya menunjukkan variasi alam dan kebesaran Tuhan. Saling menopang dan mengubah secara serius dan ikhlas, merupakan kesucian dalam perilaku dan kebijakan serta investasi keabadian. 1. Islam menjelaskan melalui Kitab Suci Al-Quran Surat Al-Hujurat Ayat 13 Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Kristiani menjelaskan lewat Kitab Suci Alkitab Bijbel Perjanjian Lama Surat Kejadian pasal 27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-

4.

2.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

pengontrolan jiwa, sebagai berikut: To enjoy good health, to bring true happiness to ones family, to bring peace to all, one must first discipline and control ones own mind. If a man can control his mind he can find the way to enlightenment, and all wisdom and virtue will naturally come to him. 5. Khonghucu menjelaskan melalui Kitab Suci SU SI Thai Hak (Ajaran Besar) Bab Utama butir: 1. Adapun Jalan Suci yang dibawakan Ajaran Besar (Thai Hak) ini ialah: menggemilangkan Kebajikan Yang Bercahaya (Bing Tik), mengasihi rakyat, dan berhenti pada puncak kebaikan.4. Orang jaman dahulu yang hendak menggemilangkan Kebajikan Yang Bercahaya itu pada tiap umat di dunia, ia lebih dahulu berusaha mengatur negerinya; untuk mengatur negerinya, ia lebih dahulu membereskan rumah tangganya; untuk membereskan rumah tangganya, ia lebih dahulu membina dirinya, untuk membina dirinya, ia lebih dahulu meluruskan hatinya; untuk meluruskan hatinya, ia lebih dahulu mengimankan tekadnya; untuk mengimankan tekadnya ia lebih dahulu mencukupkan pengetahuannya; dan untuk mencukupkan pengetahuannya, ia meneliti hakekat tiap perkara. 5dengan negeri yang teratur akan dapat dicapai damai sejahtera. 6. Karena itu dari raja sampai rakyat jelata mempunyai satu kewajiban yang sama, yaitu mengutamakan pembinaan diri sebagai pokok.

HAKEKAT ALAM

PERSPEKTIF SOSIAL

UTOPIS NEGARA

KOMITMEN INTERNASIONAL

KAT

WILAYAH IRISAN

KOMUNITAS BIASA

WAHYU AGAMA-AGAMA

Kebersamaan sebagai penghargaan atas awal, proses dan akhir kehidupan semua manusia, merupakan akar pemikiran (landasan filosifis) bagi pemberdayaan KAT sehingga secepatnya harkat kesetaraan tercermin dalam kehidupan mereka, sebagai bagian tak terpisahkan dari motto kesetiakawanan sosial di negeri ini serta utopis hak kemanusiaan dunia internasional. Akhirnya tiada jarak di antara kita selain renik kejasadan.

DAFTAR PUSTAKA
Benny Setia Nugraha, Ibnu Hamad, La Tofi (Ed.) 2005. Investasi Sosial. Jakarta: Penerbit La Tofi Enterprise. Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, 2003, Pedoman Sistem Monitoring dan Evaluasi Indikator Kinerja Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Ditjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial RI. Departemen Sosial RI, 2006, Panduan Perlindungan dan Advokasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Ditjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial RI. Bukkyo Dendo Kyokai (Buddist Promoting Foundation). 1985, The Teaching of Buddha . Tokyo Japan: Bukkyo Dendo Kyokai. Eko Wijayanto, dkk 2002 Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra dalam Revolusi Pengetahuan dan Implikasinya pada Kepemimpinan. Jakarta: Penerbit PPM, dan lain-lain.

Filosofi agama-agama dari ajaran tersebut berarti kepedulian antar manusia adalah jalan suci dan keabadian. Dari itu fenomena alam, sosial, negara, komitmen internasional dan agama mengedepankan keperdulian. Kerangka konseptualnya sebagai berikut :

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

G. Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta. 1973, Manawa Dharmacastra (Manu Dharmacastra) atau Weda SMTRI (Compendium Hukum Hindu). Jakarta: Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda. Ignas Tri, dkk. 2006, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat: Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, 9 Agustus 2006 , Jakarta: Terbitan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Koentjaraningrat. 1990, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: UI Press Kamanto Sunarto. Pengantar Sosiologi (Edisi kedua) , Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Lembaga Al Kitab Indonesia. Al Kitab (Old and New Testament). Jakarta: Lembaga Al Kitab Indonesia. Lembaga Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha. 1983, Sutta Pitaka: Digha Nikaya . Jakarta: Terbitan Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha Depag RI. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Tt Su Si (Kitab Yang Empat): Terjemahan Asli dari Su Si berhuruf Han yang telah diperbaiki oleh Team Penyempurna Terjemahan Su Si pada tahun 1970. Tanpa Tempat: Terbitan MATAKIN. M. Junus Melalatoa. 1995, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jld A-Z. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat. 2006, Keputusan Menteri Sosial RI No.12/HUK/2006 Tentang Model

Pemberdayaan Pranata Sosial Dalam Mewujudkan Masyarakat Berketahanan Sosial. Jakarta: Balatbangsos Depsos RI Rahmat Hidayat. 2003, Atlas Nasional Persebaran Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Ditjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial RI. Soraya Devy, dkk, 2004, Politik dan Pencerahan Peradaban, (Editor: Farid Wajdi Ibrahim, Cs), Banda Aceh: ArRaniry Press. T.M. Hasbi Ashshiddiqi, dkk, 1979, Al Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Terbitan Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran. Thohir Luth. 2002, Masyarakat Madani: Solusi Damai Dalam Perbedaan . Jakarta: Penerbit Media Cita. Tim Redaksi Fokusmedia, 2004, UUD 45 Dan Amandemennya. Jakarta: Penerbit Fukusmedia Tebtebba Foundation. 2006, UN Declaration on The Rights of Indigenous Peoles & Programme of The Second International Decade of The Worlds Indigenous People. Baguio City, Philippines: Published by Tebtebba Foundation.

Prof. DR. Rusmin Tumanggor, MA. Guru Besar Antropologi Kesehatan pada Univerasitas Islam Negeri Jakarta. Anggota Tim Pakar pada Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan anggota Panitia Pembina Ilmiah pada Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Konsultan di bidang penelitian dan pemberdayaan sosial di Departemen Sosial dan instansi pemerintah.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

PENDEKATAN KEMANUSIAAN DALAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DI DAERAH PERBATASAN


Kasus di Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur
Bambang Rustanto
Abstract. Our country is bordered with many other countries, such as sea border and also mainland border. Having two territories which extremely dangerous toward security disturbed also social-economy and culture, that is West Kalimantan and East Nusa Tenggara. People who stay in that border, in general are the indigenous people which need attention in order to increase their social welfare. Humanistic approach must first priority compare with militaristic-repressive approach because they are as a border guard of our country. Key Words : humanistic approach, militaristic-repressive approach

I.

PENDAHULUAN

Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) sudah lama dilakukan, yakni sejak tahun 1972. Program pemberdayaan KAT ini akan terus dilakukan sampai KAT terbebaskan dari ketertinggalan menuju kemajuan yang setaraf dengan komunitas-komunitas di wilayah lainnya. Saat ini, KAT di seluruh wilayah Indonesia berjumlah 267.550 KK atau 1.192.164 jiwa yang tersebar 2.811 lokasi di 211 kabupaten/kota di 27 provinsi (Direktorat P-KAT, 2004). Paradigma pemberdayaan KAT saat ini lebih mengedapankan isu global tentang Hak Azasi Manusia (lihat pidato Presiden tahun 2006). Dengan demikian, KAT tidak lagi dipandang semata-mata sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), tetapi juga dipandang sebagai potensi sosial bagi kesejahteraan sosial (PSKS). Pembedaan secara hitam-putih antara PMKS dan PSKS, seringkali

mengkerdilkan kapasistas individu, kelompok, maupun komunitas itu untuk memperjuangkan kesejahteraan sosialnya. Perubahan paradigma ini cukup memberi arti dalam proses pemberdayaan KAT, yang lebih memperjuangkan kepentingan KAT itu sendiri dari pada kepentingan pihak di luar KAT. Selama ini, KAT dipandang sebagai pihak yang lemah, miskin, terisolir dan tidak berdaya. Oleh karena itu, mereka perlu ditolong. Padahal KAT memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri ( improvement ) dan mengubah diri (tranformative). Maka dari itu, menurut Madgley (2003) pemberdayaan KAT diarahkan pada proses pendayagunaan kapasistas mereka untuk perbaikan dan perubahan diri seluruh warga dari komunitas itu sendiri. Mereka mengorganisasikan diri secara berkelompok untuk menyusun kebutuhan-kebutuhan mereka, dengan menggunakan sumber

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

daya yang mereka miliki dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Wacana pemberdayaan KAT dengan pendekatan Hak Azasi Manusia ini lebih mengemuka pada KAT yang mendiami wilayah perbatasan. Hal ini berbeda dengan pemberdayaan KAT yang berada di habitat pegunungan, hutan, rawa, dan pantai serta kepulauan di dalam negara sendiri. Selama ini, ada pandangan yang keliru terhadap mereka yang berada di perbatasan Negara, dimana mereka dipandang sebagai orang-orang yang tidak loyal kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pandangan yang keliru ini diperbaiki setelah Negara merasa melakukan kesalahan-kesalahan dalam penanganan isu-isu separatisme atau pemisahan diri dari NKRI. Idiom lama yang sudah dilakukan sejak Kerajaan Majapahit terhadap kelompok yang ingin melakukan separatisme adalah dengan pendekatan kekuasaan, dengan cara mengirimkan jaladi mantri dengan tugas utama wicirna sahana. Pendekatan ini kemudian ditiru oleh pemerintahan modern setelah Indonesia merdeka, baik pada Pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Pendekatan yang tidak lagi sesuai dengan Hak Azasi Manusia itu, saat ini mulai ditanggalkan dan sekarang saatnya diganti dengan pendekatan yang lebih populis, yaitu pendekatan kemanusiaan (Dakhidae, 2003). KAT di wilayah perbatasan ini memiliki arti penting, terutama terkait dengan isu global tentang pentingnya negara-bangsa. Negara dalam arti teritorial dapat diamati dan dikontrol pemerintah dengan menggunakan peta wilayah yang jelas batas-batasnya secara administratif. Tetapi negara dalam arti bangsa sangat sulit diamati dan dikontrol oleh pemerintah. Negara dalam arti bangsa ini hanya terbayang ( imagined ), hanya ada dan
Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

dimiliki di dalam setiap individu. Arti negara akan muncul menjadi negara secara politis, apabila seluruh individu atau warga bangsa merasakan menjadi satu kesatuan sebagai suatu bangsa (Anderson, 2003). Hasil observasi lapangan terhadap 2 (dua) lokasi percontohan pemberdayaan KAT tahun 2006 di wilayah perbatasan antar negara, yakni di Kalimantan Barat (Kalbar) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), menunjukkan bahwa mereka secara de facto adalah warga-bangsa dari NKRI. Namun secara de jure mereka adalah warga bangsa dari negara tetangga. Hal ini dapat dibuktikan dari salah satu simbol dalam pertukaran uang. Mata uang yang digunakan dalam perdagangan dengan sesama warga KAT atau warga KAT dengan pihak lain sudah tidak lagi menggunakan mata uang rupiah tetapi uang ringgit untuk KAT di Kalbar dan uang dollar untuk KAT di NTT (Laporan Survei KAT, 2006). Kondisi ini apabila dibiarkan akan mempengaruhi seluruh sendi kehidupan mereka, sehingga secara lambat laun mereka akan merasa lebih menjadi wargabangsa lain padahal mereka warga negara Indonesia. Perasaan sebagai warga bangsa lain ini dikawatirkan akan melemahkan rasa memiliki warga bangsa NKRI. Semakin banyak warga bangsa yang merasakan menjadi warga bangsa lain, maka dapat menyebabkan lunturnya rasa nasionalisme dan lambat laun bisa mendorong mereka menjadi bagian dari warga bangsa lain.

II.

KEMANUSIAN DAN KEKUASAAN

Dua kata yang tidak dapat dipisahkan dalam diskusi tentang nasionalisme, yaitu bangsa dan negara. Bangsa atau people yang berasal dari kata populis atau dapat diartikan sebagai warga, sehingga dalam

konteks yang lebih luas digunakan kata warga bangsa. Warga bangsa diartikan sebagai kesatuan kolektif secara sosiologis atau hubungan antar orang dalam aktivitas sehari-hari. Sedangkan negara atau nation berasal dari kata natio yang dapat diartikan kekuasaan politik, dan kemudian dalam arti lebih luas digunakan pemerintahan negara. Negara diartikan sebagai kesatuan kolektif secara politis, dalam arti adanya struktur kekuasaan politik yang mengatur kehidupan warga negara (Dhakidae,2003). Ada 2 pandangan yang berbeda dalam memahami arti warga bangsa ini, yaitu : a. Warga bangsa sebagai ketertundukan warga menjadi penduduk dan diatur oleh kekuasaan negara (Pendekatan Kekuasaan) Dalam pendekatan ini negara mempunyai kekuasaan yang luar biasa dan tanpa batas untuk mengatur warga negaranya, baik dalam urusan publik sampai urusan privat. Instrumen yang digunakan negara untuk mengatur warga bangsa adalah peraturan perundang-undangan (instrumen formal). Selain itu negara juga melengkapinya dengan mesin-mesin pengawasan kekuasaan melalui aparatur negara dalam rangka menegakkan hukum-hukum negara. Kesejahteraan sosial dalam pendekatan kekuasaan ini, berarti negara harus memenuhi seluruh kebutuhan warga negaranya. Negara memberi jaminan sosial bagi seluruh warga yang tidak mampu, maupun kondisi venerable. b. Warga bangsa sebagai kesadaran warga untuk hidup bersama dan diatur oleh kesepakatan antar warga, dan fungsi negara hanya menjadi penjaga (Pendekatan Kemanusiaan)

Dalam pendekatan ini, negara mempunyai kekuasaan yang terbatas dan kekuasaan tertinggi ada di tangan warga negaranya. Negara tidak mengurusi hubungan antar orang, baik yang bersifat privat maupun publik. Negara hanya menjadi penjaga bila terjadi sengketa antar warga negara diakibatkan hubungan yang tidak seimbang atau saling merugikan. Instrumen yang digunakan negara untuk mengatur warga bangsa ini adalah instrumen kontrak sosial dengan menggunakan perjanjianperjanjian antar warga. Negara hanya menjadi lembaga penengah atau arbritase apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak. Kesejahteraan sosial dalam pendekatan kemanusian ini, berarti negara menyerahkan sepenuhnya kepada penggunaan dan memberi peluang kepada setiap orang untuk mengembangkan kapasitas yang dimilikinya guna mencapai kesejahteraan. Hal ini berarti masing-masing individu, kelompok dan komunitas berhak untuk melakukan perbaikan (improvement) dan perubahan (transformative) sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Pendekatan kekuasaan melahirkan kesadaran nasionalisme yang kaku, dimana setiap warga-bangsa dipaksa atau terpaksa mengaku sebagai warga negara. Mereka berani membela negara dengan jiwa dan raga demi kepentingan penguasa, tanpa mengetahui apa yang dituju oleh penguasa. Bahkan mereka membela satu kelompok melawan kelompok lain yang menurut penguasa itu sebagai cara untuk menjaga kestabilan negara dan keutuhan negara. Warga-bangsa atau warga negara adalah milik Negara, atau dalam arti rakyat

10

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

negara yaitu penjelmaan dari kekuasaan negara. Negara mempunyai kekuasaan absolut kepada rakyatnya, rakyat harus mengabdi kepada negara dan menuruti perintah negara. Pihak-pihak yang tidak patuh kepada negara dianggap sebagai pembangkang atau separatisme dan sebagai ganjarannya, hilangnya status kewarganegaraannya. Negara dengan pendekatan kekuasaan ini akan memandang seluruh warganya menjadi kedaulatan wilayah negara, sebagaimana wujud dari simbolisasi tumpah darah tanah dan air. Padahal tanah air dan warga negara dua hal yang berbeda. Tanah air adalah benda mati dan warga negara adalah benda hidup. Kalau kedaulatan negara masuk dalam hubungan antar warga negara maka negara menjadi otoritarian. Kekuasaan yang dimiliki oleh negara ini, akan membawa warga bangsa termasuk KAT untuk mengikuti dan terindoktrinasi oleh aturan-aturan negara, sehingga mereka hanya hidup dengan satu warna, yaitu warna negara dan meninggalkan warna komunitasnya yang selama ini menjadi identitasnya. Berbeda dengan pendekatan kemanusian, identitas dari masing-masing komunitas termasuk KAT sesuai dengan dunianya ( world view ) sangat dihargai. Sehingga negara memiliki berbagai macam identitas dari warga negaranya. Identitas yang bervariasi ini akan menjelma menjadi identitas bersama, apabila seluruh individu merasakan satu kebutuhan yang sama. Untuk menciptakan KAT yang memiliki variasi identitas ini, dan memiliki satu kesatuan world view dengan wargabangsa Indonesia lainnya, maka mereka perlu didudukan sejajar dengan warga bangsa lainnya. Mereka perlu diakui keberadaannya, diakui wilayahnya, dan

diakui aturannya seperti kehidupan komunitas yang lain, meskipun mereka itu berbeda menurut pandangan mereka sendiri. Pemberdayaan KAT dengan pendekatan kemanusian lebih menekankan pemberdayaan dengan basis sosial-budaya masyarakat setempat, dan membuka isolasi mereka dari dunia luar (Budhisantoso dan Jim Ife, 2003). Selain itu, pendekatan kemanusiaan ini lebih menekankan pada pengembangan KAT dengan pembangunan lingkungan ( environment ) dan pembangunan budaya (culture).

III. MODEL PARTISIPATORIS, IMPROVEMENT DAN TRANFORMATIVE


Pendekataan kemanusian, lebih menghargai keberadaan dan inovasiinovasi dari aktivitas KAT itu sendiri. Pekerja sosial memiliki dua alat utama yang dapat digunakan untuk memfasilitasi pemberdayaan KAT di daerah perbatasan antar negara, yaitu pengetahuan dan seni. Pengetahuan pekerjaan sosial terkait dengan pengetahuan profesional pekerjaan sosial yaitu case work, group work dan community organization/community development yang diimplementasikan dalam keterampilan bekerja bersama KAT, sehingga pemberdayaan KAT dilakukan dengan perspektif KAT itu sendiri. Untuk itu pekerja sosial hendaknya mau hidup bersama dengan KAT, dan belajar tentang kearifan-kearifan lokal KAT. Melalui cara itu, maka pekerja sosial akan memiliki awareness atau kesadaran akan kehidupan KAT. Seni pekerjaan sosial terkait dengan strategi-strategi yang disusun oleh pekerja sosial yang diimplementasikan dalam keterampilan bekerja bersama KAT. Untuk

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

11

itu pekerja sosial harus mampu secara bersama dengan KAT menyusun strategistrategi dalam meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Dubois dan Milley (Rustanto 2006) ada 3 strategi sebagai seni pekerja sosial dalam pemberdayaan masyarakat yang dapat diimplementasikan dalam pemberdayaan KAT di daerah perbatasan antar negara, yaitu : Pertama, strategi partisipatoris, dalam arti mampu menyadarkan KAT untuk mengungkapkan kebutuhan dan masalahnya sendiri. Partsipatoris ini penting karena pemberdayaan KAT berbasiskan kearifan lokal dan berasal dari bawah atau bottom up . Sarana yang dapat digunakan oleh pekerja sosial adalah melalui kelompok sosial yang sudah diorganisasi secara baik. Kedua, strategi improvement, dalam arti mampu mengajak KAT untuk mengadakan perbaikan-perbaikan terhadap kondisi kehidupannya. Perbaikan ini terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Improvement ini harus sesuai dengan budaya dan sumber daya yang tersedia di lingkungan tersebut. Sarana yang dapat dipergunakan pekerja sosial adalah melalui kegiatan perubahan perilaku hidup komunitas ( community behavior change ) dengan menggunakan kelompok-kelompok teladan. Ketiga, strategi transformative, dalam arti mampu mengajak KAT untuk mengadakan perubahan hidup sejajar dengan komunitas sekitarnya yang lebih maju. Perubahan ini dengan cara sering bergaul dan berinteraksi sosial dengan komunitas lain, sehingga KAT tidak lagi terisolasi dari dunia luar. Sarana yang dapat digunakan oleh pekerja sosial melalui penyediaan forum tatap-muka dan anjang sana ( community deleberative forum ) dengan menggunakan perwakilan kelompok kepentingan.

IV. KETERPADUAN PROGRAM LINTAS SEKTORAL


Model pemberdayaan KAT yang bersifat partisipatoris, improvement, dan transformative, dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral. Menurut Rossetta Palma (Rustanto, 2006). Meskipun pendekatan kemanusian dalam pemberdayaan sosial lebih mementingkan kekuatan dan inisiatif komuntas itu sendiri, namun ada dua premise yang dapat menjadi pendorong keterpaduan program. Keterpaduan program tersebut disebut dengan pendekatan generalis, yaitu melalui lintas sektoral dalam pemberdayaan sosial. Premise pertama , bahwa perubahan manusia terkait dengan perubahan lingkungan. Artinya, perubahan kehidupan KAT tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perubahan perlu pula dilakukan terhadap lingkungan atau komunitas lain yang bersinggungan dengan KAT. Untuk itu, program pemberdayaan KAT tidak hanya dilakukan di lokasi KAT, tetapi juga komunitas lain di luar KAT. Untuk memberdayakan dua komunitas yang berbeda kebutuhan dan permasalahan ini tidak dapat dilakukan oleh satu instansi atau departemen saja, tetapi perlu melibatkan beberapa pihak atau lintas sektoral. Kasus KAT di Kalbar membutuhkan pasar sebagai tempat untuk jual beli hasil produksi KAT. Karena luasnya area dan besarnya populasi pengguna pasar, maka beberapa instansi dan depar-temen bersinergi untuk mewujdukan pasar tersebut. Premise kedua, manusia yang berubah cenderung mengembangkan pola hubungan mereka dengan lingkungan di sekitarnya. Artinya, bahwa apabila kebutuhan dasar KAT sudah merasa tercukupi, maka mereka cenderung semakin produktif dan memunculkan

12

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

kebutuhan lain dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Untuk memenuhi kebutuhannya yang lebih meningkat tersebut, mereka akan mengembangkan aktivitasnya ke arah yang lebih luas, dan dengan sendirinya akan bertemu dengan komunitas lain di luar KAT. Perubahan hubungan dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi, bahkan mungkin terjadi perkawinan dapat menumbuhkan kehidupan kemasyarakatan yang baru. Meskipun mereka satu sama lain berbeda Negara, tetapi mereka sebenarnya mempunyai world view atau perasaan warga bangsa yang khas. Pada kasus KAT di NTT terjadi perkawinan dengan komunitas di Timur Leste, padahal secara resmi mereka dibatasi oleh aturan keimigrasian. Untuk itu diperlukan kerja sama tidak hanya lintas sektoral di dalam negeri, tetapi juga kerjasama antar Negara. Selain itu, menurut John Rawls (Rustanto, 2006), bahwa hak asasi manusia yang paling mendasar adalah pemenuhan kebutuhan dasar dan relasi sosial. Sehubungan dengan itu, maka program pemberdayaan KAT di wilayah perbatasan antara negara perlu memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, aksesibilitas dan komunikasi. Sebagaimana pada kasus KAT di Kalbar, mereka membutuhkan jalan akses yang lebih dekat ke desa-desa di wilayah Indonesia dari pada ke Malaysia. Begitu pula pada kasus KAT di NTT yang membutuhkan radio dan televisi untuk berkomunikasi dengan warga desa lain di wilayah Indonesia dari pada ke Timor Leste. Berbagai kebutuhan KAT tersebut merupakan kebutuhan yang pemenuhannya memerlukan koordinasi dan keterpaduan program dengan dinas dan instansi lain. Adapun peran pekerja sosial dalam keterpaduan program ini adalah menjadi

fasilitator untuk mengungkapkan kebutuhan dan masalah yang dialami KAT; dan menjadi mediator bagi KAT untuk mampu menghubungkan sistem sumber yang berada di luar komunitasnya. Setelah pekerja sosial menemukan kebutuhan dan masalah yang terkait dengan pendidikan anak, maka pekerja sosial menghubungkannya dengan instansi pendidikan; kebutuhan yang terkait dengan kesehatan ibu dan bayi, menghubungkannya dengan instansi kesehatan, begitu juga dengan kegiatan lainnya.

V.

LANGKAH-LANGKAH PEMBERDAYAAN KAT DENGAN MODEL PARTISIPATORIS, IMPROVEMENT DAN TRANFORMATIVE

Langkah-langkah proses pemberdayaan KAT berdasarkan pendekatan partisipatoris, improvement, dan transformative sebagai berikut : 1. Pergi dan tinggal bersama KAT. Untuk memberdayakan KAT yang bertumpu pada kearifan lokal, pekerja sosial dituntut untuk tinggal bersama KAT selama proyek berlangsung. Memahami kearifan lokal KAT. Partisipasi hanya bisa dilakukan apabila pekerja sosial mampu menggerakan KAT. Untuk menggerakan mereka, perkerja sosial perlu memahami pengetahuan, keterampilan, dan budaya lokal. KAT hanya akan ikut terlibat dalam kegiatan, apabila mereka tahu dan mampu cara mengerjakannya. Mengidentifikasi kebutuhan dan sumber yang dimiliki. Melakukan suatu kegiatan sesuai dengan kebu-

2.

3.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

13

tuhan dan sumber daya yang tersedia di KAT merupakan kunci utama keberhasilan dan keberlangsungan proyek. Pekerja sosial bersama KAT mengidentifikasi kebutuhan yang mereka rasakan dan sumber daya yang mereka miliki 4. Merumuskan prioritas kebutuhan yang perlu segera dipenuhi. Dari sekian banyak kebutuhan yang dirasakan KAT, perlu dipilih salah satu yang diprioritaskan untuk segera ditindaklanjuti dalam suatu kegiatan bersama. Menyusun Kegiatan Bersama. Kegiatan bersama diarahkan dalam memenuhi kebutuhan prioritas. Dalam menyusun kegiatan bersama juga perlu menjadi perhatian faktor keamanan, dan pihak-pihak yang terlibat mengingat yang menjadi pelaksana program adalah KAT di perbatasan antar negara, dan tidak mustahil kegiatan bersama tersebut melibatkan warga atau pihak-pihak dari luar negeri. Merealisasikan kegiatan bersama. KAT adalah pelaku utama pelaksana program, pekerja sosial hanyalah pendamping selama proyek berlangsung. Selama menjadi pendamping pekerja sosial perlu mengkader pendamping lokal, sehingga ketika proyek berlangsung dan pekerja sosial melakukan terminasi secara fungsional, maka pendampingan dilakukan oleh pendamping lokal. Melakukan evaluasi bersama sebagai bahan masukan untuk menyempurnakan kegiatan atau penyusunan kegiatan baru dalam rangka memenuhi kebutuhan yang lain.

Langkah-langkah tersebut dalam pelaksanaannya di lapangan sangat tergantung pada situasi dan kondisi setempat.

VI. PENUTUP
Komunitas Adat Terepencil (KAT) yang mendiami wilayah perbatasan memerlukan perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah, karena berkaitan dengan persoalan politik, budaya dan keutuhan wilayah negara. Memahami permasalahan yang dihadapi KAT di perbatasan tersebut cukup kompleks, maka perlu penanganan dari berbagai instansi. Keberadaan Kelompok Kerja (POKJA) di tingkat provinsi maupun kabupaten perlu dioptimalkan, sehingga penanganan KAT mencapai hasil yang optimal. Sebagai catatan, dalam penanganan KAT perlu memperhatikan isu-isu global tentang HAM dan pendekatan kemanusiaan (humanistic approarch).

5.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terepencil , 2004, Model Pendekatan Sosial Budaya Dalam Persiapan dan Pemantapan Pemberdayaan KAT, Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial RI. - Model Pengembangan Sumber Daya Manusia KAT, Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial RI. Model Perlindungan Pemberdayaan KAT, Jakarta, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial RI. Easwell Roger, 2004 , Ideologi Politik Kotemporer, Yogyakarta : Jendela

6.

7.

14

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

Fitzpatrick Tonys, 2002, Enviromental Issues and Social Welfare, Oxford : Blackwell Ife Jim, 2001, Human Rights and Social Work, Towards Rights Based Practice, Cambridge: University Ife Jim, 2002, Community Development, Creating Community : Alternatif Vision Analysis and Practice , Australia : Longmann Lawang MZ Robert, 2005, Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik, Jakarta : UI Press Migdey James, 2004, Pembangunan Sosial: Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial, Jakarta : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Rustanto Bambang et all, 2006, Dari Kearifan Lokal Menuju Gerakan Self Governance, Bandung : Lemlit STKS The World Bank, 2003, Sustainable Development In Dynamic World, Washington : WB.

Drs. Bambang Rustanto, M.Hum. Dosen Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Kandidat Doktor pada program studi Sosiologi Politik Universitas Indonesia.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

15

PENDEKATAN PEKERJAAN SOSIAL


Relevansi dan Kontribusinya dalam Pembangunan Sosial
Suradi
Abstract. The social problems these days are so complex that it is impossible to solve it only by one elimensional approach since this approach is actually not for used on solving the problems. To solve then social problems, we need to develop multi dimensional approach. Social workers provide that approach. In general, social workers provide social intervansion which is focused on problem solving which implement various approaches comprehensively (from various perspectives). In this generalist model, social intervension is supported by social workers basic system which work sinergically Key Words : social work and social welfare, social problem, social development.

I.

PENDAHULUAN

Perubahan sosial yang terjadi di era modern dewasa ini memerlukan respon dari semua pihak, terutama dari kalangan akademisi, birokrasi maupun praktisi bidang pembangunan sosial. Respon dimaksud tentunya berorientasi pada pencapaian tujuan pembangunan sosial secara tepat guna dan berhasil guna. Sehubungan dengan itu, maka friksi-friksi di dalam ilmu-ilmu sosial dewasa ini sudah tidak mungkin lagi dipertahankan. Prof. Takashi sebagaimana dikutip oleh Robert M.Z Lawang (2005) mengatakan bahwa :pendekatan disipliner seperti sosiologi, politik, psikologi, ekonomi, antropologi atau apapun lainnya, sudah tidak relevan lagi untuk digunakan saat ini. Sebaliknya, pendekatan yang berbasis masalah lebih banyak digunakan. Artinya, kalau dalam kehidupan riil ada masalah, maka konsentrasi kita harus tertuju pada usaha menggunakan ilmu apa saja.

Kemudian dia tambahkan lagi mengenai kekecewaannya tentang ilmu di Asia (terutama ilmu sosial), yang lebih banyak dimengerti dengan menggunakan konsep dari luar, daripada konsep-konsep yang seharusnya dikonstruksikan dari dalam masyarakat Asia itu sendiri. Kalau saja yang merasa terusik dalam menata jalan pikirannya tidak hanya seorang sosiolog, tetapi juga antropolog, psikolog, ekonom, ahli politik dan ahli-ahli lainnya, dan semuanya sepakat bahwa ilmu dan keahliannya berorientasi pada pemecahan masalah, maka ilmu-ilmu yang dikuasainya itu akan lebih memberikan sumbangan nyata dan bermakna dalam pemecahan masalah. Tidak ada lagi batas hitam putih antara disiplin ilmu yang satu dengan disiplin ilmu yang lain. Sebaliknya yang terjadi bahwa antar disiplin ilmu saling bersinggungan dan berinteraksi secara sinergis, sehingga menghilangkan garis batas yang ekstrem antar disiplin ilmu-ilmu tersebut.

16

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

Ilmu pekerjaan sosial tetap sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri karena memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yaitu pada art atau skill. Namun demikian pada prakteknya, tidak dapat dipungkiri ilmu pekerjaan sosial masih meminjam ilmuilmu sosial lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, dan politik dalam melakukan analisis secara obyektif dan mendalam tentang hakikat masalah sosial. Sebagai contoh, pekerja sosial yang akan memberikan intervensi sosial kepada wanita tuna sosial, dimulai dengan melakukan asesmen. Pada kegiatan asesmen ini akan dilakukan pengkajian dan pemahaman masalah wanita tuna susila tersebut dari berbagai perspektif. Sosiologi digunakan untuk memahami bagaimana interaksi sosial didalam keluarga dan lingkungan sosialnya; antropologi digunakan untuk memahami pola kebudayaan pada masyarakat dimana wanita tuna sosial tinggal; ekonomi digunakan untuk memahamai bagaimana kondisi ekonomi rumah tangga dan aksesibilitas terhadap lembaga ekonomi; psikologi digunakan untuk memahami bagaimana kondisi psikologis dan faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya tekanan pada aspek psikologis; serta politik digunakan untuk memahami aspirasi politik dan tekanan politik si wanita tuna susila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, diingatkan oleh Shulman (Tangdilintin, 1998), bahwa meminjam atau mengaplikasikan ilmu lain banyak menolong, tetapi semakin lama semakin terasa, bahwa pada tingkat aplikasi tertentu meminjam dapat menimbulkan kesulitan, dan juga kadang-kadang teori atau konsep yang dipinjam itu tidak sesuai dengan masalah yang menjadi prioritas.

Oleh karena ilmu pekerjaan sosial berorientasi pada pemecahan masalah, maka ilmu pekerjaan sosial menjadi disiplin ilmu utama pada lembaga yang menyelenggarakan pelayanan sosial. Sementara itu, ilmu-ilmu sosial lainnya mendukung ilmu pekerjaan sosial tersebut, terutama didalam melakukan assessment terhadap klien (individu, kelompok, masyarakat) dan aspek-aspek yang mempengaruhi peran sosial klien. Apa yang dimaksud oleh seorang Profesor Takahashi dari Jepang sudah terjawab, bahwa ilmu pekerjaan sosial merupakan ilmu yang relevan dengan situasi saat ini, karena ilmu pekerjaan sosial berorientasi pada upaya pemecahan masalah.

II.

PERDEBATAN TENTANG PEKERJAAN SOSIAL

Perdebatan tentang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial sebagai ilmu atau bukan ilmu masih terjadi di Indonesia. Perdebatan ini terjadi, karena adanya mispersepsi tentang kesejahteraan sosial di kalangan akademisi maupun praktisi. Adanya mispersepsi ini berakibat stigma bagi moral career , yaitu timbulnya kecenderungan untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan pandangan yang menyimpang tentang kesejahteraan sosial. Gejala misinterpretasi ini dapat menjadi sumber distorsi bagi ilmu kesejahteraan sosial (Tangdilintin, 1998). Di negara-negara maju, pekerjaan sosial sudah tidak menjadi perdebatan. Apakah pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial itu dikategorikan ke dalam disiplin ilmu tersendiri atau keterampilan kerja sosial. Maka dari itu, di negara-negara maju, pekerjaan sosial telah mewarnai semua kebijakan pembangunan yang diselenggarakan oleh negara dalam

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

17

berbagai sektor. Sebagian negara-negara maju bahkan menganut welfare state , yaitu suatu negara yang mengembangkan kebijakan bahwa kesejahteraan sosial rakyat merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya. Menurut pendekatan kebijakan intervensionis negara-negara sedang berkembang dan miskin menganut paham sosialisme dimana kepentingan umum harus diutamakan. Negara mengatur banyak hal dan tidak mengenal prinsip kebebasan individu seperti diadopsi dalam sistem pasar bebas. Tetapi negara juga tidak mengadopsi welfare state karena tidak cukup uang. Sementara itu, Indonesia menganut model participatory welfare state atau welfare pluralism, bahwa negara tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial, meskipun dalam opera-sionalnya melibatkan masyarakat (Suharto, 2005) Di kawasan Asia Tenggara kecuali Indonesia, pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial sebagai disiplin ilmu telah berkembang dengan baik yang ditandai dengan dibukanya program studi setingkat magister dan doktoral jurusan pekerjaan sosial. Tidak sedikit warga negara Indonesia dari kalangan akademisi maupun birokrasi menempuh program studi tersebut setingkat magister maupun doktoral. Hal ini menunjukkan, bahwa di Indonesia pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial sudah semakin diterima sebagai ilmu (terutama di kalangan akademisi), walaupun disiplin pekerjaan sosial pada jenjang magister dan doktor tersebut diperoleh di luar negeri. Isbandi dalam bukunya Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial : Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan (2005), berusaha memberikan pencerahan bagi akademisi maupun praktisi bahwa kesejahteraan sosial memenuhi kaidah-kaidah ilmiah sebagai

suatu ilmu. Usaha ini patut dihargai dan diharapkan menjadi gerakan diterimanya kesejahteraan sosial sebagai ilmu di Indonesia. Kembali pada uraian yang dikutip oleh Robert M.Z Lawang (2005) di atas, tanpa ada apriori terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya, bahwa ilmu-ilmu sosial yang ada (sebagai ilmu murni) sudah tidak relevan untuk digunakan secara mandiri pada saat ini. Sebaliknya, pendekatan yang berbasis masalah mestinya akan lebih banyak digunakan. Ilmu pekerjaan sosial adalah jawabanya, karena disiplin ilmu ini menawarkan pendekatan yang berbasis masalah dengan dukungan ilmu-ilmu sosial lainnya. Karena itu di kalangan akademisi, ilmu pekerjaan sosial dikenal dengan disiplin ilmu terapan. Ilmu pekerjaan sosial ada untuk kepentingan pemecahan masalah sosial pada saat ini, dan mengantisipasi terjadinya atau kecenderungan terjadinya masalah sosial di masa depan. Apabila pemikiran Profesor Takahashi dari Jepang tersebut dapat diterima di kalangan administrator dan penyelenggara program pembangunan sosial, maka setiap program sosial tentu akan mempraktekkan pendekatan pekerjaan sosial. Implikasinya adalah diperolehnya informasi yang obyektif, tepat dan lengkap dalam memahami akar masalah sosial dan kebutuhan riil masyarakat. Selanjutnya dapat dirancangkembangkan programprogram sosial yang tepat dan berpihak pada hak-hak dasar dan kebutuhan nyata masyarakat.

III. PEKERJAAN SOSIAL DAN ISUISU PEMBANGUNAN SOSIAL


Pembahasan tentang isu-isu dan masalah sosial di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dengan kondisi kehidupan

18

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

masyarakatnya. Bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan budaya atau dikenal dengan masyarakat majemuk atau multikultur . Kondisi ini di satu sisi merupakan potensi dan sumber daya serta kekayaan sosial budaya masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain, kondisi ini juga merupakan faktor yang dapat memicu dan memacu terganggunya ketahanan sosial masyarakat karena rawan terjadi konflik sosial horizontal maupun vertikal. Terjadinya konflik sosial di beberapa wilayah di Indonesia beberapa tahun terakhir ini, seperti yang dikenal dengan kasus Sambas, Sampit, Poso, Ambon dan Papua, merupakan bukti dari sisi negatif kesukubangsaan Indonesia yang bercorak multikultur. Hal ini terjadi disebabkan oleh belum dihayatinya kehidupan multikultur ini oleh segenap elemen masyarakat. Kondisi multikultur yang masih menimbulkan rawan konflik sosial ini, kemudian ditambah dengan terjadinya transformasi sosial budaya yang berlangsungan sangat cepat dewasa ini. Disadari ataupun tidak, transformasi sosial budaya ini membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi sebagian kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat Indonesia. Konsumerisme, hedonisme, individualisme dan materialisme sebagai ekses globalisasi, kini mulai dirasakan memasuki berbagai aspek kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat. Ekses lainnya yaitu terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat tentang keluarga, rumah tangga dan pola interaksi sosial, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Hawari, 1995). Fenomena sosial ini, kini sudah terjadi secara luas pada semua lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Selain menjadi masalah nasional, berbagai masalah sosial di tanah air juga

menjadi isu global, dan menjadi perhatian penting pada agenda pembangunan millennium III, dikaitkan dengan hak asasi manusia, hak anak, hak asasi komunitas adat dan hak perempuan. Berbagai masalah sosial tersebut telah direspon cukup baik oleh berbagai lembaga multilateral melalui program dan proyek-proyek kesejahteraan sosial. Program dan proyek-proyek tersebut langsung diarahkan untuk mengatasi berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat diberbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain lembaga-lembaga tersebut, World Bank, International Monetere Fund (IMF) dan Asian Development Bank adalah lembaga donor yang juga menaruh perhatian besar terhadap permasalahan pembangunan manusia, khususnya sektor kesejahteraan sosial. Peran aktif lembaga multilateral tersebut didasarkan pada kondisi obyektif yang terjadi di Indonesia dewasa ini, dimana di satu sisi menghadapi skala masalah sosial yang cukup besar, dan di sisi lain kurangnya kemampuan dan sumber daya untuk mengatasi masalah sosial yang dihadapi. Namun demikian, peran aktif lembaga multilateral tersebut bukan bersifat permanen, atau lebih bersifat penguatan terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh Indonesia sendiri. Maka dari itu, peran aktif lembaga multilateral di Indonesia tersebut diharapkan tidak terlalu jauh, yang pada akhirnya menjadikan Indonesia menjadi sangat bergantung untuk jangka panjang (Robert Boyer, 2006). Peran aktif lembaga-lembaga internasional dalam pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia, menunjukkan bahwa program pembangunan kesejahteraan sosial tersebut sudah menjadi isu global. Permasalahan kesejahteraan sosial yang dihadapi oleh Indonesia ikut dirasakan oleh masyarakat

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

19

dunia, dan mendorong mereka untuk melakukan berbagai upaya penyelesaian permasalahan tersebut. Implikasinya bahwa sektor kesejahteraan sosial sebagai bagian dari pembangunan sosial akan sangat terkait dengan dimensi ekonomi maupun politik dalam agenda pembangunan global. Tidak menutup kemungkinan, komitmen suatu negara dalam pembangunan sosial akan menjadi pertimbangan bagi lembaga multilateral, lembaga donor maupun negara maju untuk membangun jaringan kerja secara permanen di bidang ekonomi maupun politik. Isu global masalah sosial tersebut di atas merupakan landasan utama dalam membangun kerangka kebijakan dan program pembangunan sosial di Indonesia. Masalah sosial yang semakin kompleks, kini perlu didekati dengan berbagai disiplin, dan disiplin ilmu yang utama adalah ilmu pekerjaan sosial. Pendekatan disipliner dalam memahami masalah sosial sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dewasa ini. Hal ini didasarkan pada kondisi obyektif, bahwa masalah sosial bersifat kompleks atau multi dimensional (multiple face of social problems). Satu masalah sosial tertentu memiliki dimensi sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi dan politik. Bahkan kompleksitas masalah sosial terjadi disebabkan adanya interaksi yang kuat antar masalah sosial itu sendiri. Dalam kehidupan nyata tidak sedikit masalah sosial disebabkan oleh masalah sosial yang lain, atau mengakibatkan terjadinya masalah sosial yang lain. Oleh sebab itu, seringkali ditemukan pola jejaring masalah sosial yang sangat rumit dan tidak mudah menemukan dari mana dimulai pemecahannya. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi masalah sosial ini sangat penting dalam upaya menemukan akar masalah dan

model-model intervensi sosial yang tepat. Sebagaimana disampaikan oleh Profesor Takahashi dari Jepang pada uraian sebelumnya, kalau dalam kehidupan riil ada masalah, maka konsentrasi kita harus tertuju pada usaha menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Dalam pemecahan masalah sosial, pekerjaan sosial merupakan disiplin ilmu utama yang dikonstruksikan dari kehidupan nyata masyarakat. Oleh karena itu, dewasa ini sudah tidak relevan lagi mempermasalahkan peranan ilmu pekerjaan sosial dalam pembangunan sosial. Sebaliknya, keberadaan ilmu pekerjaan sosial justru sangat diperlukan karena memiliki relevansi dengan kondisi obyektif dinamika masyarakat dengan segala akibatnya. Lebih lanjut ilmu pekerjaan sosial akan memberikan kontribusi yang sangat nyata mulai dari analisis masalah sampai pada menemukan kebutuhan strategis yang diperlukan oleh masyarakat dalam mengatasi masalahnya. Berbeda dengan ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan sosial mengajarkan bagaimana mengembangkan art atau skill dalam membangun relasi sosial dengan penyandang masalah maupun dengan pemilik sumber daya sosial. Hal ini tentu tidak ditemukan oleh ilmu sosial lain, karena mereka tidak berorientasi pada pemecahan masalah. Adanya art atau skill ini menjadikan ilmu pekerjaan sosial sangat dinamis dalam mengikuti perkembangan pemikiran-pemikiran, perubahan sosial, dan dinamika masyarakat pada tingkat lokal, nasional, regional maupun global.

IV. TANTANGAN ILMU PEKERJAAN SOSIAL DEWASA INI


Meskipun secara teoritik ilmu pekerjaan sosial merupakan disiplin utama dalam pelaksanaan program kesejahteraan sosial, namun sampai saat ini masih
Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

20

menghadapi banyak tantangan yang berasal dari masyarakat maupun dari lingkungan birokrasi, antara lain : 1. Masih berkembangnya anggapan bahwa masalah kesejahteraan sosial dapat ditangani oleh siapapun, tanpa memerlukan kompetensi. Hal ini tercermin dari rekruitmen tenaga yang kurang mempertimbangkan kompetensi, dan sebaliknya lebih mempertimbangkan kualifikasi. Pandangan ini juga pernah menimbulkan dampak buruk dan tercatat dalam sejarah tersendiri bagi Departemen Sosial yang dihapuskan dari susunan kabinet pada tahun 2000. Pengisian formasi tenaga di lingkungan birokrasi, terutama untuk bidang teknis pelayanan sosial belum sepenuhnya mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan pengalaman dibidang pekerjaan sosial. Masih berkembangnya pemikiran, bahwa pelayanan sosial tidak memerlukan landasan teoritis. Hal ini dapat dicermati dari produk-produk kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah yang berupa pedoman umum, pedoman operasional dan standardisasi yang masih belum sepenuhnya disusun berdasarkan perspektif pekerjaan sosial. Lemahnya penyajian data permasalahan sosial dan potensi serta sumber kesejahteraan sosial yang terjamin validitasnya. Hal ini dapat dicermati dari ditemukannya data yang berbeda untuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) tertentu pada instansi sosial. Kele-mahan data ini juga disebabkan oleh kurang jelasnya kriteria dan indikator yang digunakan dalam menghimpun data 5.

penyandang masalah kesejah-teraan sosial, maupun kriteria dan indikator potensi dan sumber kesejah-teraan sosial (PSKS). Ahli-ahli pekerjaan sosial yang memiliki latar belakang pendidikan formal pekerjaan sosial, belum mampu membangun kekuatan melalui sebuah organsiasi profesi pekerjaan sosial. Kalaupun di Indonesia pernah ada Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI), namun kiprah organsiasi ini dapat dikatakan belum nyata. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan bagi upaya pengembangan ilmu pekerjaan sosial.

2.

3.

4.

Berbagai tantangan tersebut bukan sesuatu yang mudah dipecahkan. Diperlukan waktu untuk mengatasi tantangan ini dikarenakan banyaknya faktor yang saling berkait. Hal ini antara lain disebabkan oleh persebaran sarjana pekerjaan sosial yang sebagian besar bekerja pada birokrasi pemerintah. Disadari ataupun tidak, sarjana pekerjaan sosial tersebut telah terkooptasi dengan sistem yang berlaku di lingkungan birokrasi pemerintah yang belum sepenuhnya berpihak pada eksistensi mereka. Anehnya, para sarjana pekerjaan sosial menikmati posisi pada jabatan struktural dengan berbagai fasilitas yang diperolehnya pada lingkungan birokrasi pemerintah tersebut. Dibalik berbagai tantangan perkembangan ilmu pekerjaan sosial di kalangan birokrasi pemerintah tersebut, ada gelagat perkembangan ilmu pekerjaan sosial di kalangan Organisasi Non Pemerintah (NGOs). Miskipun secara eksplisit mereka kurang menggunakan teks book pekerjaan sosial, namun psinisp-prinsip dan metode yang dikembangkannya adalah prinsipprinsip dan metode yang berakar pada ilmu

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

21

pekerjaan sosial. Mereka secara aktif dan intensif melakukan kajian-kajian kesejahteraan sosial, penelitian aksi partisipatif, pengorganisasian masyarakat dan pemberdayaan masyarakat berbasis sumber daya sosial lokal. Kiprah berbagai NGOs sangat nyata dalam pembangunan sosial (Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang, 2003). Oleh karena itu, birokrasi pemerintah perlu melakukan reorientasi dalam pengembangan jaringan kerja dengan NGOs tersebut. Pola interaksi yang selama ini terkesan vis--vis perlu diubah menjadi pola interkasi yang kolaboratif. Bagaimanapun perlu diakui, bahwa NGOs memiliki keunggulan dalam praktik pemberdayaan masyarakat karena pada umumnya aksi mereka didasarkan pada komitmen kemanusiaan yang sangat kuat. Komitmen NGOs ini tentu berbeda dengan komitmen yang ada pada birokrasi pemerintah, yang lebih pada menggugurkan kewajiban negara terhadap rakyatnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto, 2005, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial ; Pengantar pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan, Jakarta: UI-Press. Boyer, Robert, Menanam Kembali Ekonomi ke Dalam Proses Sosial, Jakarta : KOMPAS, Jumat, 14 Juli 2006. C. Korten, David, 1982, Pembangunan Berpusat pada Manusia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Departemen Sosial, 2005, Data Penyandang Masalah, Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial, Jakarta : Pusdatin Departemen Sosial RI. Kirdt Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr, 1993, Understanding generalist Practice, Nelson-Hall Publishers : Chicago, USA. Lawang, R.M.Z, 2005, Kapital Sosial : dalam Perspektif Sosiologi Suatu Pengantar . Jakarta : Universitas Indonesia Press. Nuryana, Muman, 2003, Pola Rekonsiliasi Masyarakat Antar Etnis di Daerah Konflik di Indonesia (Seri Penelitian), Jakarta : Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial. Pincus, Allan dan Anne Minahan, 1973, Sosial Work Pratice : Model and Methode, Illinois USA : FE Peacock Phubliser Inc. Suharto, Edi, 2005, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung : Rafika Aditama. Suradi, 2001, Model Generalis dalam Praktek Pekerjaan Sosial : Intervensi Sosial Berpusat pada Masalah , Informasi Kajian Permasalahan dan Usaha Kesejah-

V.

KESIMPULAN

Sebagai ilmu terapan, ilmu pekerjaan sosial memberikan jalan keluar yang realisitis dalam pemecahan masalah sosial. Bersama-sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan sosial dapat menemukenali masalah, kebutuhan dan potensi kesejahteraan sosial secara tepat sebagai dasar dalam pemecahan masalah. Meskipun peran dan kontribusinya cukup nyata, namun ilmu pekerjaan sosial masih belum sepenuhnya menjadi referensi dalam penyelenggaraan program kesejahteraan sosial. Hal ini akan menjadi persoalan jangka panjang, karena apabila hal ini terus berlanjut maka pada saatnya nanti program kesejahteraan sosial akan kehilangan jati diri dan fokus sasarannya.

22

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

teraan Keluarga, Vol 6 Nomor 2, Puslitbang Kesejahteraan Keluarga, Jakarta. Tan, Jo Hann dan Roem Topatimasang, 2003, Pengorganisasian Rakyat : Refleksi Pengalaman Pengorganisasian Rakyat di Asia Tenggara, Kualalumpur - Malaysia : South East Asia Populer Communication Programmes (SEAPCP) dan Research, Education and Dialogue (REaD). Tangdilingtin, Paulus, 1998, Kesejahteraan Sosial : Ilmu yang Terdistorsi, Makalah disampaikan pada Kuliah Perdana Program Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Indonesia, Depok. Kirdt Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr, 1993, Understanding generalist Practice, Nelson-Hall Publishers : Chicago, USA.

Drs. Suradi, M.Si. Sarjana Pekerjaan Sosial dari STKS Bandung dan Magister Sain Prorgam Studi Sosiologi Kekhusussan Ilmu Kesejahteraan Sosial dari Universitas Indonesia. Peneliti Madya bidang Kebijakan Sosial. Aktif mengikuti dan menjadi pembicara dalam seminar dan diskusi ilmiah tentang pembangunan kesejahteraan sosial. Tulisannya sering dimuat pada Jurnal dan majalah ilmiah lain di lingkungan Departemen Sosial. Saat ini menjabat Ketua Dewan Editor INFORMASI, anggota Panitia Penilai Jabatan Peneliti (P2JP) Departemen Sosial dan anggota tim teknis pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

23

RESOLUSI KONFLIK DUNIA USAHA DENGAN MASYARAKAT


Kajian Sosial Budaya Resolusi Konflik antara Perkebunan Kelapa Sawit dengan Petani Plasma dan Masyarakat Dayak di Provinsi Kalimantan Barat
Oetami Dewi
Abstract. Oil-palm estates are believed by the government as a business undertaking to boost the well-being of the peasants and provide job opportunities in rural areas. Oil-palm estates are also believed to be able to boost economic growth of provinces. In establishing oil-palm estates, the government prompts cooperation pattern between the capital holders (private companies) and the local farmers in model called Peoples Nucleus Estates (Perusahaan Inti Rakyat PIR) in which the company provides the capital, technology and the management of marketing, while the local farmers provide the lands and the labour. West Kalimantan is a region preferred to develop oil-palm estates for the vast area of no mans vacant lands and the oil-palm estate companies are expected to conduct the transfer of technology to the local horticulturalists (agriculturalists with Swidden/slash-burn cultivation) so that the well-being of the locals get increased. This paper describes that the plasma smallholding plantation planters need more affirmative from the state to protect not only their land but also their culture to increase economic and social development for their social welfare. The problems started when the communal lands the local communities managed as agricultural lands to sustain their life and as reserves for additional income were taken over by the company. As the population number of the plasma smallholding plantation planters family grew while the oil-palm at their smallholding plantation produced less and less due to the old age, the planters assumed that the company had no attention to the planters economic problems. Key Words : the plasma smallholding plantation, Peoples Nucleus Estates

I.

PENDAHULUAN

Sistem perkebunan besar telah dikenal di Indonesia semenjak abad-19. Seiring dengan perkembangan kapitalisme di Eropa, penetrasi kapitalisme ke dalam pertanian di Indonesia dimulai dari proses kapitalisasi perkebunan. Pada paruh abad19 tumbuh sistem plantation estate company yang kapitalistik di Jawa dan Sumatera. Plantation estate economy tersebut memiliki

ciri-ciri antara lain: (1) sistem ekonomi perkebunan besar ditopang oleh dominasi pemikiran bahwa ekspor komoditi hasil perkebunan harus diprioritaskan demi pertumbuhan ekonomi nasional; (2) perkebunan besar menguasai tanah-tanah yang luas, tak terbatas atau tidak dibatasi; (3) kebutuhan tenaga kerja sangat besar, jauh melebihi suplai tenaga kerja yang tersedia di pasar. Karena itu, diciptakanlah mekanisme ekstra pasar seperti budak

24

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

belian, kuli kontrak, transmigrasi dan sejenisnya; (4) Perkebunan besar dikelola dengan cara sangat ketat, dan tercatat dalam sejarah sebagai cenderung bengis. Birokrasi semacam ini oleh sementara pakar disebut dengan istilah plantokrasi; dan (5) Birokrasi perkebunan besar tidak terjangkau oleh kontrak sosial, karena pada umumnya perkebunan besar merupakan enclave yang terisolasi dari masyarakat kecuali perkebunan tebu di Jawa. Pengembangan sistem plantation estate company ini terkait dengan upaya golongan liberal di Belanda yang tertarik dengan keuntungan yang melimpah yang diperoleh pemerintah melalui sistem tanam paksa, mereka menuntut liberalisasi. Urusan tanah jajahan bukan lagi menjadi monopoli Raja dan Menteri Tanah Jajahan, namun harus berdasarkan undang-undang yang menjamin modal swasta diberi kesempatan untuk menanam modalnya dibidang perkebunan. Kemenangan golongan liberal akhirnya melahirkan Undang-Undang Agraria Kolonial 1870 yang menjadi landasan bagi berkembangnya perkebunanperkebunan besar swasta di Hindia Belanda. Kebijakan pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang mengekploitasi sektor perkebunan bersifat kapitalistik melalui modal swasta Belanda yang merasuk hingga pedalaman pedesaan. Secara historis, hadirnya ratusan pabrik gula di Jawa menandai munculnya perkebunan tebu dalam skala besar. Perkebunan kelapa sawit mulai dikembangkan di Indonesia pada tahun 1911. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh, yang luasnya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negaranegara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai ekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Indonesia mampu menggeser dominasi ekspor negara Afrika pada waktu itu.

Memasuki masa pendudukan Jepang, lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16 persen, sehingga produksi minyak sawit pun hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1958 - 1959. Setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia tahun 1957, pemerintah mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan. Pemerintah menempatkan perwira-perwira militer di setiap jenjang manajemen perkebunan yang bertujuan mengamankan jalannya produksi. Pemerintah juga membentuk buruh militer yang merupakan wadah kerjasama antara buruh perkebunan dengan militer. Perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit mengalami penurunan. Pada periode tersebut, posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar tergeser oleh Malaysia. Kebutuhan minyak kelapa sawit pasar global yang sangat tinggi, mendorong Indonesia untuk memacu ekspansi perkebunan kelapa sawit. Sejak tahun 1980-an, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang memperlancar proses konversi kawasan hutan dan lahan produktif menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar. Sebaliknya, tidak ada kebijakan yang melindungi kepentingan masyarakat lokal dan lingkungan hidup yang termarginalkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit tersebut. Pada pemerintahan Orde Baru, kebijakan perkebunan diarahkan dalam upaya menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan sektor penghasil devisa negara. Pemerintah mendorong dibukanya lahan baru untuk perkebunan melalui program PIR, hingga pada tahun 1980 mencapai 294.560 ha dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

25

Dalam pelaksanaannya, perkebunan besar sebagai sektor yang membina dan menampung hasil perkebunan rakyat di sekitar yang menjadi plasma. Perkembangan perkebunan semakin pesat lagi setelah pemerintah mengembangkan program lanjutan yaitu PIR-Transmigrasi pada tahun 1986. Pada tahun 1990-an, perkebunan kelapa sawit mencapai luas lebih dari 1,6 hektar yang tersebar di sentrasentra produksi, yaitu di Sumatera dan Kalimantan. Antara tahun 1994-1998 konsumsi global minyak kelapa sawit telah meningkat dari 14,5 juta ton menjadi 17,7 ton dan diprediksi akan semakin menguat pasaran global sebesar 50 persen pada tahun 1998-2003.

II.

PERKEBUNAN BESAR DAN PERMASALAHAN SOSIAL

Dua prasyarat utama bagi pembukaan perkebunan besar adalah tersedianya areal tanah yang sangat luas dan tenaga kerja sangat besar. Untuk memenuhi areal tanah yang sangat luas ini pemerintah mengandalkan klaim hukum, bahwa areal hutan sebagai tanah negara dapat dimanfaatkan untuk kepentingan apa saja, termasuk alih fungsi menjadi areal perkebunan. Pemenuhan kebutuhan tenaga kerja yang sangat besar dapat dipenuhi melalui mekanisme transmigrasi, buruh kontrak dan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Landasan hukum pembebasan lahan untuk perkebunan ternyata tidak menyelesaikan masalah konflik agraria antara investor dengan penduduk di sekitar perkebunan. Hal ini terjadi karena masyarakat sekitar memiliki mata pencaharian sebagai peladang berpindah atau petani tradisional. Selain itu, budaya masyarakat peladang agraris biasanya mengembangkan klaim-klaim kultural atas hutan, tanah, air

dan kekayaan alam di sekitar lingkungan mereka. Tanah bagi masyarakat Dayak secara kultural menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat adat setempat. Tanah bagi masyarakat Dayak bernilai lebih dari sekedar faktor produksi pertanian, namun bermakna kultural, sosial, politik, spiritual dan masa depan anak cucu mereka. Tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya dalam tata kehidupan masyarakat Dayak merupakan public goods yang dikelola secara komunal bukan individual. Klaim-klaim kultural atas tanah atau hutan itu diatur dalam institusi adat dan hukum adat. Adat merupakan core culture bagi masyarakat Dayak sekaligus menjadi dasar pembentukan identitas bagi suku bangsa Dayak. Dalam banyak kasus pembebasan lahan untuk perkebunan di Kalimantan Barat, diselesaikan dengan pendekatan simbolis kultural dengan cara merangkul tokoh-tokoh adat dan menyelenggarakan upacara adat. Namun pendekatan dengan cara menginstrumentalisasi adat dan mengkooptasi tokoh-tokoh adat untuk pembebasan lahan hanya mengatasi permasalahan pada tingkat permukaan. Mengabaikan institusi penguasaan sumber daya alam secara adat atau kultural dan tanpa ada pendekatan partisipatoris dengan seluruh warga masyarakat, berimplikasi pada permasalahan yang kompleks, dan dalam jangka panjang akan melahirkan resistensi dari warga masya-rakat terhadap perusahaan. Sebagai contoh, di Kabupaten Landak terdapat belasan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang gulung tikar karena mendapat perlawanan dari masyarakat, selain itu ada dugaan komitmen yang lemah pihak perusahaan kecuali sekedar memperoleh keuntungan dari ijin pemanfaat kayu setelah land clearing.

26

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

Rencana pembangunan sabuk perkebunan di wilayah perbatasan Kalimantan dan Malaysia ditargetkan memerlukan lahan seluas 1,8 juta hektar. Dapat diperkirakan sebagian besar areal perkebunan yang akan dibuka merupakan tanah yang diklaim sebagai tanah tidak bertuan atau tanah negara. Namun dari sudut pandang masyarakat adat Dayak, sebenarnya tidak ada tanah di bumi Kalimantan ini yang tidak bertuan karena hutan merupakan tanah adat yang dikuasai oleh masyarakat adat Dayak. Sebelum perkebunan kelapa sawit dibuka pertama kali di Kabupaten Sanggau pada awal dasa warsa 1980-an, setiap keluarga Dayak mengerjakan tanah rata-rata seluas 40 ha untuk mendapatkan bahan pangan dan non pangan seperti rotan, madu, tengkawang dan lain-lainnya. Luas ini mencakup tanah yang sedang dikerjakan sebagai ladang dan tanah bekas ladang yang sedang diistirahatkan dalam waktu tertentu. Selain tanah yang dikuasai oleh setiap keluarga, pada setiap komunitas adat terdapat tanahtanah komunal yang dikuasai secara kolektif yang lazim disebut tanah adat atau tanah komunal. Oleh karena itu, pemetaan tata guna lahan harus memperhitungkan perspektif warga masyarakat. Rencana pembangunan sabuk perkebunan di perbatasan untuk areal 1,8 juta ha diperkirakan menyerap tenaga kerja 182.700 orang dan petani plasma 216.000 KK. Kebutuhan tenaga kerja dan petani plasma ini sangat besar, jauh melampaui suplay tenaga kerja yang ada di wilayah perbatasan tersebut. Mekanisme ekstra pasar yang biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan petani plasma adalah transmigrasi, tenaga kontrak dan sistem PIR. Mendatangkan orang dari luar daerah dalam jumlah besar

di wilayah perbatasan memiliki konsekuensi demografis yang serius. Pertama, tingkat rata-rata SDM warga pendatang yang jauh lebih tinggi akan mengakibatkan ketimpangan akses dengan penduduk lokal dalam memanfaatkan peluang ekonomi. Kedua, membangun relasi sosial kultural yang harmonis antara komunitas warga pendatang dengan komunitas penduduk lokal di Kalimantan Barat, merupakan permasalahan yang tidak sederhana. Kasus demontrasi atau pengusuran dan pengusiran komunitas orang Cina dari pedalaman Kalimantan Barat pada tahun 1967-1970, konflik antar komunitas etnis Madura dengan komunitas Dayak tahun 1997 serta tahun 1999 konflik antara komunitas Madura dan komunitas Melayu memberikan gambaran tentang kompleksitas permasalahan relasi sosial antar komunitas etnis di Kalimantan Barat. Ketiga, terkait dengan isu tanurial atau penguasaan tanah. Lebih dari 20 tahun terakhir ini di Kalimantan Barat, khususnya pada komunitas-komunitas orang Dayak, terbangun kesadaran identitas etnis yang bertumpu pada adat. Kesadaran identitas etnis ini difasilitasi LSM yang melakukan gerakan reinventing tradition untuk membangun kebanggaan akan identitas berlandaskan adat atau budaya Dayak. Salah satu jargon penting dalam gerakan masyarakat adat di Kalimantan Barat ini adalah tidak ada masyarakat adat kalau tidak ada tanah adat dan hukum adat. Maksudnya, gerakan pemberdayaan masyarakat adat di Kalimantan Barat bertujuan untuk melindungi keberadaan tanah-tanah adat dan mempertahankan institusi adat sebagai institusi yang mengatur masalah sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

27

III. RESISTENSI TERHADAP PERKEBUNAN DAN RESOLUSI KONFLIK


Salah satu tuntutan masyarakat sekitar perkebunan di Kalimantan Barat adalah keterlibatan yang maksimal dalam perkebunan. Michael R. Dove yang menyatakan bahwa orang Dayak di sekitar perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat sebenarnya tidak mempermasalahkan orang pendatang dan bekerja di daerah mereka namun jangan membangun kerajaan serta menjadi raja di tanahnya orang Dayak. Para pendatang boleh kaya asalkan penduduk asli juga ikut menikmati kesejahteraan hidup yang setara. Pada dasarnya, orang Dayak tidak ingin dibodohi dan ditindas di daerahnya sendiri (capacity of Dayak). Perbedaan pandangan tentang SDM orang Dayak antara pihak manager perkebunan dengan masyarakat menjadi salah satu sumber konflik. Pangkal permasalahanya adalah adanya perbedaan keinginan antara pihak manager dengan petani. Petani dianggap irasional oleh manager, sementara manager dianggap petani terlalu banyak keinginan atas mereka dan perkebunan. Source Of Peasant-Planters Conflict, The immediate focus of the peasant planters conflict was rhetorical in nature : it was a battle for the moral high ground. The plantation managerss rhetoric suggested that peasant resistance to plantation plans and policies was due to problem soriginating with the peasants, in particular their irrationality. The peasants rhetoric, in contrast, suggested that their resistance was provoked by problems originating with the managers, such as their desire for too much power. The peasants rhetoric implied that there was a basic difference in self-interest between themselves and the managers, whereas the managers rhetoric rejeced the concept of such difference.

Manager kebun mengeluh bahwa petani tidak selalu siap dan bersedia bekerja di perkebunan, dan petani mengeluh bahwa pekerjaan tidak selalu ada manakala mereka membutuhkannya. Petani tidak mau kehilangan sumber mereka (tanama padi/ berladang, usaha kebun karet). Sehingga petani tidak terlalu besar bergantung kepada perkebunan Para manager perkebunan ingin mereka (petani) bergantung kepada mereka sehingga memudahkan dalam hal pengerahan tenaga pekerja. Tapi mereka (perkebunan) tidak mau bertanggung jawab untuk masalah perumahan dan jaminan sosial. Ini bisa dilihat untuk keadaan perkebunan di Sumatera pada masa kolonial dan post colonial. Petani menginginkan perkebunan memiliki komitmen untuk mensejahterakan mereka, namun petani tidak mau bergantung kepada perkebunan seutuhnya. Kurangnya perhatian manager akan kesejahteraan petani dianggap petani sebagai pembelokkan dari arah kebijakan pembangunan perkebunan dan pihak manager sendiri menganggap itu merupakan kekurangan petani. Any public construal of the conflict as one based on competing interest was inimical to the managers position. The plantations managers, as functionaries in para-statal enterprise needed to act in a manner seen as consistent with state ideology regarding commitment to the welfare of the common citizen. The managers rhetoric preserved the illusion of this commitment by focusing attention on alleged peasant shortcomings and deflecting attention from plantation policies that were not in the peasants best interests. Manager percaya bahwa perlawanan petani atas kebijakan mereka didasarkan atas keterbelakangan budaya dan mental, The managers believe, that peasant resistance to their policies was based on mental and

28

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

cultural backwardness, appeared to be entirely sincerity. This sincerity was made possible by a system of plantation administration that implicity minimized and misconstrued peasant feedback Untuk meredakan perlawanan petani plasma di Kalimantan Barat terhadap perkebunan, Dove mengamati adanya ancaman mental (mental threats), yang tidak hanya dilakukan oleh managemen perkebunan namun juga oleh pemerintahan lokal. Misalnya dengan cara mencegah mereka (petani) untuk bertemu langsung dengan pimpinan perkebunan, atau pimpinan wilayah. Petani tidak bisa menyampaikan secara langsung keluhan mereka terhadap manager atau pimpinan perkebunan. Struktur yang hirarkis ini melindungi pejabat tingkat atas dari kontak dengan petani yang membawa konsekuensi dari keputusan manajemen, sehingga melindungi mereka dari konfrontasi langsung dengan petani. This hierarchical structure shields upper level officials from contact with the peasants who bears the consequences of their management decisions and it thereby shields their views of peasants from confrontation with a contrary peasant reality Para pekerja dan pandangan petani terhadap pegawai perkebunan tidak mencerminkan apa yang dirasakan oleh petani. Mereka takut jika orang Batak jadi raja atas orang Dayak. Workers and peasant views of plantation officials did not mirror the officials views of them: they were structurally dissimilar. In one of the cases examined did peasants impugn the culture. Intelligence or emotions of the officials. The peasants said things like We are afraid that the Batak (managers) will become lords(Kami takut Batak jadi Rajah) or, as some disgruntled plantation workers said to me with regard to Batak officials on a plantation in West Kalimantan,We are

afraid of deception(on the part of the managers)(Kami takut penipuan) Perlawanan dalam komunitas Dayak dilihat dari nilai yang dianut oleh mereka. Contohnya, mereka (orang Dayak) yang tanahnya diambil untuk PIR, menyatakan mau bergabung dengan program perkebunan ini, sepanjang sama-sama kerja dan sama-sama menikmati hasilnya. Ini menunjukkan keadilan yang mereka inginkan di atas tanah mereka. Menjadi kaya adalah kondisi yang bisa diterima oleh orang Dayak. Tetapi jika ada orang luar yang memiliki kekayaan melebihi orang Dayak, maka mereka tidak bisa mene-rimanya. Beberapa bentuk perlawanan petani plasma terhadap perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dapat dikategorikan sebagai resistensi terselubung, seperti pencurian TBS di kebun inti, penanaman bibit sawit tidak bersertifikat, penjualan TBS ke pabrik lain, pembakaran pohon sawit di kebun inti dan reklaiming tanah. Perlawanan terselubung ini dalam pengertian tidak bersifat terbuka, dan tidak menggunakan kekerasan langsung karena mereka tidak akan mampu melawan struktur kekuasaan. Perlawanan petani plasma yang terselubung tersebut bukan untuk menghancurkan perusahaan perkebunan, dan bukan bertujuan untuk mengembalikan sistem perekonomian subsistem, namun didorong untuk memperbesar akses keterlibatan petani plasma dalam sistem perkebunan kelapa sawit. Temuan ini jauh berbeda dengan pernyataan Scott, bahwa petani akan selalu mempertahankan sistem perekonomian subsistem karena sistem ini dianggap memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Petani plasma dalam bertindak lebih mengutamakan kepentingan individual, dan tidak mempertimbangkan kepentingan kolektif seperti

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

29

yang dikatakan oleh para pendukung perspektif teori moral ekonomi. Strategi perusahaan dalam meredam perlawanan dari petani plasma dan warga masyarakat sekitarnya adalah melalui instrumentalisasi adat. Perusahaan mereduksi konflik ekonomi menjadi permasalahan pelanggaran adat dan diselesaikan dengan upacara peradilan adat. Hal ini dapat dilakukan di daerah yang institusi adatnya sudah mulai pudar serta tokoh-tokoh adat yang ada dapat dikooptasi oleh pihak perusahaan. Penyelesaian konflik secara simbolis dengan mereduksi makna dan fungsi adat ini hanya sampai pada tingkat permukaan karena akar konfliknya yakni ketidakadilan dan kemiskinan yang ada pada pihak petani plasma atau warga masyarakat di sekitar perkebunan tidak terselesaikan. Penyelesaian melalui media simbolisasi adat ini ibarat menimbun bara dengan sekam, suatu saat dapat meledak menjadi konflik sosial horisontal sekaligus vertikal yang besar apabila ada momentum dan konteks yang memungkinkan.

IV. STRATEGI RESOLUSI KONFLIK


Strategi yang perlu dilakukan dalam upaya mengatasi terjadinya konflik antara pihak perkebunan dengan petani plasma dan masyarakat adalah : Pertama, dalam pembangunan perkebunan skala besar yang akan merubah struktur perekonomian masyarakat, terutama yang terlibat langsung dalam mode of production perkebunan, perlu dirancang secara khusus proses transformasi sistem perekonomian warga masyarakat. Warga masyarakat perlu dibekali pengetahuan dan kemampuan untuk menghadapi perubahan dari sistem pertanian tradisional yang bersifat multikultur, pertanian subsistem,

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga kemudian berubah menjadi pertanian monokultur, profit oriented , berorientasi pasar, sangat dipe-ngaruhi oleh fluktuasi harga komoditi di pasar nasional maupun internasional. Warga masyarakat yang terlibat dalam proses produksi perkebunan khususnya petani plasma yang seharusnya semenjak awal dipersiapkan untuk dapat menjali proses trsansformasi tersebut secara baik. Penelitian Suta Purwana di Sanggau menggambarkan bahwa para petani plasma dalam perkebunan kelapa sawit setelah tanaman kelapa sawit melampaui batas usia produktif, perekonomian keluarga petani plasma menjadi terpuruk karena pendapatan dari hasil TBS jauh merosot, beban tanggungan keluarga semakin berat dan tidak memiliki cadangan dana untuk melakukan replanting tanaman mereka. Salah satu permasalahannya, ketika kesejahteraan mereka meningkat pesat pada masa tanaman kelapa sawit pada puncak usia produktifnya, mereka meng-habiskan seluruh pendapatannya untuk kebutuhan konsumtif tanpa alokasi atau investasi bagi peremajaan kebun sawitnya. Kedua, pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar tanpa merencanakan model pemberdayaan komunitas di areal perkebunan tersebut dalam jangka waktu panjang akan melahirkan kantong-kantong kemiskinan. Perkebunan-perkebunan besar yang dibangun pada masa Hindia Belanda di Sumatera Utara dengan mendatang ribuan kuli kontrak telah melahirkan kantongkantong kemiskinan di sabuk perkebunan Sumatera Utara, kemiskinan struktural yang berdampak sangat panjang sampai melintasi abad. Ann Laura Stoler menyatakan anak keturunan kuli kontrak itu sampai menjelang akhir abad 20 tetap hidup sebagai buruh perkebunan. Apabila

30

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

pemerintah dan investor menghendaki usaha perkebunan di perbatasan dapat berlangsung lama lebih dari 25 tahun atau bahkan menghendaki adanya HGU 75 tahun seperti yang terjadi di Malaysia maka diperlukan adanya rencana transformasi ekonomi dan sosial budaya yang memberdayakan komunitas perkebunan khusus petani plasma dan buruh di perkebunan. Penjelasannya sederhana, apabila buruh perkebunan dan petani plasma hidup miskin sementara produksi kebun inti melimpah, maka akan tumbuh kecemburuan sosial dan mendorong terjadinya tindak pencurian TBS di kebun inti. Pendekatan represif atau keamanan dalam permasalahan seperti ini tidak menyelesaikan masalah karena petani plasma yang miskin (produksi TBSnya sudah anjlok dan tidak memiliki alternatif pendapatan lain) akan terdorong untuk bertahan hidup dengan mencuri di kebun inti. Ann Laura Stoler memberikan berbagai contoh kasus tentang komunitas-komunitas miskin di sekitar perkebunan. Di Guyana Perancis disebut komunitas maroon yang terdiri dari para budak yang melarikan diri dari perkebunan, kemudian membangun pemukiman desa-desa rimba yang penduduknya hidup dari berburu, merampok, menanam pisang dan mencuri di perkebunan. Di rimba Brazilia, Kolumbia, Kuba, Ekuador, Jamaika, Meksiko dan Suriname, komunitas-komunitas maroon ini menghantam sendi-sendi sistem perkebunan. Ketiga, permasalahan lain yang perlu diperhitungkan adalah kesejahteraan bagi komunitas perkebunan (buruh kebun maupun petani plasma) yang berada di wilayah perbatasan karena mereka bisa dengan mudah membandingkan dengan tingkat kesejahteraan komunitas perkebunan yang ada di Malaysia. Misalnya dibangun areal perkebunan kelapa sawit di

Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu sementara di seberang batas negara yakni wilayah Lubok Antu Malaysia juga terdapat perkebunan kelapa sawit, maka dengan mudah komunitas perkebunan di Badau akan membandingkan tingkat kesejahteraannya dengan komunitas perkebunan yang ada di Lubok Antu Malaysia. Mobilitas penduduk Badau ke Lubok Antu atau sebaliknya cukup tinggi karena sebagian penduduk dua wilayah yang berbeda negara ini memiliki hubungan kekerabatan dan kesamaan kelompok etnis seperti Iban atau Embaloh. Apabila petani plasma atau buruh kebun di Badau merasa lebih rendah tingkat kesejahteraannya dibandingkan yang ada di Lubok Antu tentu akan menyulut permasalahan yang merugikan perusahaan. Misalnya harga TBS di Lubok Antu lebih tinggi dari harga TBS di Badau, maka besar kemungkinannya akan terjadi penye-lundupan TBS ke Malaysia. Keempat, Resolusi konflik yang adil dan partisipatif, seharusnya menjadi bagian integral dari perencanaan pengembangan sabuk perkebunan di perbatasan Kalimantan-Malaysia. Warga masyarakat adat (Dayak) sebenarnya menuntut keadilan, mereka telah mengorbankan tanah-airnya untuk dibuka menjadi lahan perkebunan namun mereka juga menuntut dapat menikmati kesejahteraan hidup sebagaimana yang diperlihatan oleh para tuan kebun. Prinsip yang kedua yang penting adalah partisipatif, warga masyarakat adat (Dayak) jangan hanya dijadikan obyek. Merekalah seharusnya menjadi subyek yang harus diikutsertakan dari tahap perencanaan sampai tahap implementasi program. Melalui pola kemitraan yang sejajar seperti ini akan terbangun usaha perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan karena dilandasi prinsip keadilan sosial yang berkelanjutan (sustainable social justice).

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

31

Kelima, dalam hal membangun pola pemukiman bagi petani plasma khususnya warga masyarakat Dayak, sebaiknya direncanakan secara partisipatoris karena tidak setiap orang Dayak bisa memahami dan menerima pola pemukiman yang biasa dibangun di tempat lain. Warga masyarakat Dayak Iban maupun Embaloh di sekitar Badau sampai saat ini masih lebih senang tinggal dalam rumah panjang meskipun bangunan rumah panjang tersebut mencermin ciri-ciri rumah modern seperti dindingnya menggunakan lapisan semen, atapnya menggunakan seng dan memiliki berbagai peralatan atau atribut yang menyimbolkan modernitas seperti listrik, parabola, pesawat televisi dan lainnya. Oleh karena itu pola pemukiman sebaiknya tidak seragama namun menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Keenam, pemerintah dan investor sebaiknya tidak mengabaikan atau menganggap tidak penting protes dan gerakan anti perluasan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat yang dilakukan oleh jaringan LSM, karena dengan mengabaikan protes tersebut berarti tidak bersedia memahami dinamika sosial politik yang berkembang dalam masyarakat. Beberapa pokok pemikiran dari suara anti perkebunan sawit kalangan LSM dapat disimpulkan menjadi tiga keberatan terhadap pembukaan kebun kelapa sawit yakni dari sisi ekologi, ekonomi dan budaya. Dari sisi ekologi, perkebunan kelapa sawit dianggap merusak keseimbangan ekosistem antara tanaman sawit yang banyak menyerap air sehingga mengancam kelestarian mata air, perkebunan sawit yang luas akan menghancurkan keaneka-ragaman hayati, areal hutan yang diubah menjadi lahan perkebunan sawit akan mengakibatkan erosi dan pendangkalan sungai, pembukaan areal kebun sawit pada tahap land clearing dianggap sebagai

penyebab kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Dari aspek ekonomi, kalangan LSM anti sawit berpendapat bahwa perkebunan kelapa sawit menyebabkan marginalisasi perekonomian masyarakat adat karena basis material perekonomian masyarakat adat berupa tanah dan hutan dirampas oleh perusahaan perkebunan. Selain itu, sistem pertanian multikultur dengan didukung oleh kebun karet rakyat dianggap jauh lebih kuat dan elastis atau liat ketika terjadi krisis moneter, dibanding dengan petani plasma yang bercocok tanam secara monokultur. Dari sisi kultural , perkebunan sawit dianggap bertanggung jawab terhadap gejala tercerabutnya anakanak muda Dayak akar budayanya karena salah satu dampak dari perkebunan sawit adalah merajalelanya perjudian, kebiasaan mabuk-mabukan, pola hidup konsumtif, pelacuran dan aneka kerusakan moral. Hilangnya tanah adat yang beralih fungsi menjadi kebun sawit menyebabkan ritualritual keagamaan asli dan adat istiadat yang terkait dengan tanah adat, hutan, tempat keramat dan lainnya menjadi hilang sehingga identitas budaya Dayak menjadi terkikis habis. Ketujuh, pemerintah dan investor perlu membuktikan bahwa kritik kalangan LSM tersebut tidak terbukti. Dari sisi pertimbangan ekologis, areal perkebunan kelapa sawit di perbatasan seharusnya tidak dibangun di daerah tangkapan air dan hulu dari sungai-sungai besar, proses pembukaan lahan perkebunan tetap menjaga kelestarian lingkungan, yakni tidak melakukan pembakaran lahan dan tetap menyisakan kawasan-kawasan hutan penyangga kelestarian keanekaragaman hayati sekaligus fungsi daerah tangkapan air. Dari sisi ekonomi, sebaiknya petani plasma (yang penduduk asli setempat) tetap dibiarkan mempertahankan ladang dan kebun karetnya sehingga mereka memiliki

32

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

sumber nafkah ganda. Dengan cara demikian, pembukaan perkebunan kelapa sawit bukan merupakan ancaman bagi sistem pertanian subsistem namun bersifat komplementer. Hal ini sekaligus juga merupakan upaya mempertahankan keanekaragaman hayati. Dari sisi kultural, dalam pembukaan areal perkebunan diusahakan tidak menggulung tempattempat keramat, kuburan leluhur, situssitus yang berkaitan dengan mitologi dan tempat-tempat yang dianggap bermakna secara kultural oleh warga masyarakat. Selain itu, otoritas pemerintah setempat dan investor berkewajiban untuk menertibkan segala bentuk tindakan amoral seperti perjudian, kebiasaan mabuk-mabukan, dan pelacuran. Kedelapan , dalam hal pembebasan lahan, pemerintah dan investor perlu melakukan pendekatan partisipatif dengan melibatkan seluas mungkin warga masyarakat dan menghormati institusi adat yang mengatur masalah pemanfaatan tanah atau hutan di wilayah tersebut. Disamping itu, petani plasma yang akan memperoleh jatah atau kapling kebun kelapa sawit sebaiknya warga masyarakat lokal atau warga masyarakat adat Dayak yang masih memiliki keterkaitan kultural dengan hutan atau tanah yang akan dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Mendatangkan transmigran dalam jumlah besar dari Jawa akan memicu gelombang protes dari berbagai organisasi masyarakat adat. Pembangunan infrastruktur di wilayah pemukiman para transmigran telah memicu rasa kekecewaan penduduk asli yang merasa tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Pada masa datang, apabila terjadi konflik horisontal antarkomunitas etnis maka warga transmigran ini akan menjadi korban yang tidak jelas nasibnya. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh pemerintah dan investor adalah

menjaga setiap bentuk aktivitas usaha perkebunan untuk tidak melecehkan adat karena adat merupa core culture bagi masyarakat adat Dayak. Proses pembentukan identitas kolektif masyarakat Dayak sudah mencapai tahap penyadaran rasa senasib-sepenanggungan bahwa masyarakat Dayak adalah korban dari proses marginalisasi dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Elite masyarakat Dayak dari tingkat provinsi sampai kampung di pelosok pedalaman memiliki suara senada, kami orang Dayak selalu ditindas dan dijajah dalam segala hal. Adat sebagai inti identitas menjadi inspirasi perjuangan meraih independensi masyarakat Dayak dalam segala bidang kehidupan. Semakin besar kecenderungan komoditisasi identitas adat untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi dan politik pada masa akan datang. Seandainya secara konstitual memungkinkan terbentuk partai lokal sudah pasti adat akan menjadi simbol pemersatu konstituen partai lokal di Kalimantan, seperti yang terjadi pada masa Orde Lama. Hal seperti ini seharusnya dipahami sebagai ekspresi tuntutan warga masyarakat lokal untuk dapat mengontrol dinamika sosial, ekonomi dan politik di daerahnya. Mendudukan orang Dayak sebagai tuan di negeri sendiri adalah kata kunci dalam resolusi konflik di Kalimantan.

V.

KESIMPULAN

Perkebunan besar sering dibangun dengan lebih mengutamakan manajemen agrobisnis yang bertujuan memaksimalisasikan keuntungan dan kurang memperhitungkan aspek sosial budaya dalam perencanaan dan implementasi usaha perkebunan besar. Namun dasar yang kokoh bagi terciptanya pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan adalah mengutamakan kesejah-

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

33

teraan petani plasma dan mengawal proses transformasi perekonomian yang memihak warga masyarakat. Selama komunitas perkebunan (buruh kebun dan petani plasma) hidup tidak sejahtera dan menderita maka tidak ada resolusi konflik yang memadai kecuali pendekatan represif yang bersifat artifisial.

DAFTAR PUSTAKA
Ann Laura Stoler, 2005, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870-1979. Yogyakarta: KARSA. Bambang H. Suta Purwana, 2005, Babad Babat Sawit di (Hutan) Kalimantan Barat, dalam Budi Susanto, S.J., Ingat (!): Hikmat Indonesia Masa Kini, Hikmah Masa Lalu Rakyat. Yogyakarta: Penerbit Kanisus dan Lembaga Studi Realino. Basrowi & Sudikin, 2003, Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Surabaya: Insan Cendekia. Djuweng, Stepanus, 1997, Indigenous People and Land-Use Policy in Indonesia: A Dayak Showcase. Pontianak: Instute of Dayakology Research and Development. Fauzi, Yan, dkk, 2002, Kelapa Sawit: Budi Daya, Pemanfaatan Hasil & Limbah, Analisis Usaha & Pemasaran. Depok: Penerbar Semangat. Madanika, dan Puti Jaji, 2000, Planting Disaster. Jakarta: Telapak Indonesia.

Michael R. Dove, Michael R., Dove, 1986, Representations of The Others By Others: The Ethnographic Challenge Posed By Planters Views Of Peasants In Indonesia, dalam Tania Murray Li (ed), In Transforming The Indonesian Uplands : Marginality, Power, And Production. Autralia, Canada, China, France, Germany, India, Japan, Luxembourg, Malaysia Normah Jiwan, 2007, Minyak Sawit Berkelanjutan: RSPO antara Produksi dan Eksploitasi, Kalimantan Review No. 137/Th.XVI/Januari. Oetami Dewi, 2006, Resistensi Petani Plasma Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Barat. Depok: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (draft buku monografi). Simarmata, Rikardo, 2002, Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara. Yogyakarta: Insist Press Wiradi, Gunawan, 2002, dalam Rikardo Simarmata, Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara. Yogyakarta: Insist Press

DR. Oetami Dewi, M.Si. lulusan pasca sarjana (S3) jurusan sosiologi dari FISIP - Universitas Indonesia. Aktif mengikuti dan menjadi pembicara dalam seminar dalam dan luar negeri. Saat ini bertugas di Biro Perencanaan, Departemen Sosial RI.

34

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

KONDISI KELUARGA KORBAN BANJIR DAN ANALISA KEBUTUHAN PELAYANAN SOSIAL DI JAKARTA BARAT
Studi di Kelurahan Rawa Buaya - Kecamatan Cengkareng
Anwar Sitepu dan Sugiyanto
Abstract. As the floodwaters, which inundated Jakarta early have caused sorrows to many Jakarta, including in Rawa Buaya, Cengkareng, West Jakarta, have give rise to suffering for many people, like spread throughout the street, made unfit daily activities, and also caused damage for things and forced many people to leaved out from their home. Impacts for this situation, especially for poor and the poorest families in rural area. Their home was broken and loss many materials. This research purposed to assessment and identifies the social aid for the survivors floodwaters. Based on the problems, the survivors need aid for recovery they life, like home, material, etc. Beside the material, they social need therapy for social-psychology to handle traumatic situation and to raise self confidence and spirit for alive. Key Words : floodwaters, survivors

I.

PENDAHULUAN

Banjir besar kembali melanda Kota Jakarta dan sekitarnya selama kurang lebih seminggu, dari hari Jumat, tanggal 2 sampai Jumat, tanggal 9 Feberuari 2007. Menurut berbagai pihak hampir 80% wilayah kota Jakarta tergenang air dengan kedalaman bervariasi (Agnes, Kompas, Rabu 21 Februari 2007). Di wilayah Jakarta Barat genangan tertinggi terjadi hari Selasa, 6 Februari 2007, yaitu di wilayah Kelurahan Semanan Kecamatan Kali Deres dengan kedalaman air mencapai 230 cm (POSKO Banjir Kota Jakarta Barat, 6 Februari 2007). Jalan, lingkungan, perumahan dan fasilitas kota tergenang air. Transportasi kota lumpuh sehingga kegiatan rutin warga terhenti. Banjir menimbulkan kerusakan fisik dan memaksa sejumlah besar pen-

duduk meninggalkan rumah, menjadi pengungsi. Banyak warga terkurung di rumah, selama berhari-hari tidak dapat keluar karena tingginya genangan. Di seluruh Kota Jakarta, dikabarkan sebanyak 80 orang tewas, ribuan orang menderita sakit. Ketika air surut penderitaan warga tidak langsung usai, tetapi sejumlah persoalan masih tersisa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Bagaimana kondisi keluarga korban banjir pasca peristiwa? Tujuannya mendeskripsikan kondisi keluarga korban dan menganalisa kebutuhan keluarga korban dalam melakukan pemulihan (recovery) . Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah DKI Jakarta Barat, Dinas Bina Mental Spiritual dan

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

35

Sosial DKI Jakarta dan unit teknis pada Departemen Sosial guna menetapkan kebijakan dan program pelayanan sosial bagi korban banjir. Penelitian ini merupakan qualitatif quick research, yang dilaksanakan di Kelurahan Rawa Buaya Kecamatan Cengkareng. Wilayah ini dipilih karena paling parah dilanda banjir di wilayah Jakarta Barat. Pengumpulan data lapangan dilakukan tiga hari setelah air surut, mulai tanggal 13 sampai 15 Februari 2007. Data dan informasi dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara dan studi dokumen. Wawancara dilakukan dengan beberapa orang tokoh masyarakat dan korban banjir. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi kehidupan keluarga korban banjir dan masyarakat pada umumnya.

Gambar 1. Peta Wilayah Kelurahan Rawa Buaya

II.
A.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Wilayah

Kelurahan Rawa Buaya adalah salah satu dari enam kelurahan di Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Luas wilayah Kelurahan Rawa Buaya 406 Ha, yang terdiri dari 12 Rukun Warga (RW). Batas wilayah bagian utara adalah Sungai/Kali Cisadane (Kelurahan Cengkareng Timur), di sebelah selatan Sungai/Kali Angke (Kelurahan Kembangan Selatan), di sebelah timur Sungai/Kali Cengkareng Drain (Kelurahan Kembangan Selatan), dan di sebelah barat jalan raya West Jakarta Outer Ring Road (Kelurahan Duri Kosambi). Wilayah Rawa Buaya cukup strategis, mudah dijangkau dari berbagai tempat karena berada disisi dua jalan tersebut di atas, sekitar 1 kilometer dari dan ke Kantor Wali Kota Jakarta Barat di Kembangan.

Peruntukan wilayah, sebagian besar untuk permukiman penduduk, dan sebagian lain untuk jalur hijau, tepatnya di jalur bawah kabel listrik tegangan tinggi milik PLN dan sepanjang sisi 3 sungai/kali dan sepanjang sisi jalan Outer Ring Road. Persoalannya bahwa sebagian terluas dari jalur hijau tersebut telah dipenuhi oleh bangunan rumah illegal. Menurut hasil observasi, perumahan penduduk di wilayah kelurahan ini bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu (1) perumahan biasa, yang dibangun secara swadaya oleh penduduk di lingkungan RW 01 sampai 04, 11 dan 12; (2) kompleks perumahan mewah yang dibangun oleh developer (real estate), Bojong Indah dan Taruma Indah di lingkungan RW 05 sampai 10; (3) perumahan liar yang dibangun oleh penduduk di jalur hijau di bawah kabel tegangan tinggi atau di sisi kali di lingkungan RW 01, 02 dan 04 (pengamatan dan laporan Kelurahan Rawa Buaya, Nopember 2006) (lihat gambar 1). Bangunan lain yang menonjol di wilayah ini adalah tiga pabrik, yaitu pabrik gelas PT Pasir Sari Raya, pabrik mebel Victoria, dan kompleks ruko di lingkungan RW 02. Mungkin karena letaknya strategis, tingkat kepadatan penduduk Rawa Buaya cukup

36

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

tinggi dengan jumlah penduduk 26.244 jiwa, atau 11 ribu KK. Persebaran penduduk di masing-masing RW tidak merata. Penduduk terbanyak di lingkungan RW 04 (lihat tabel 1). Tabel 1. Penduduk dan Kepala Keluarga
RW 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 L 1419 1328 1177 1800 789 672 633 962 1154 1005 1367 1216 13523 Penduduk P Jumlah 872 2291 1192 2518 1080 2257 1210 3010 936 1726 898 1570 945 1578 1159 2121 1161 2315 1061 2066 1166 2533 1023 2242 12703 26226

terendam, yaitu sebagian wilayah RW 03. Dengan demikian, diperkirakan 26.000 jiwa merupakan korban banjir secara langsung. menurut RW dan Jenis Kelamin
L 951 1012 889 1263 517 672 544 557 456 437 698 621 Kepala Keluarga P Jumlah 208 1159 215 1227 295 1184 526 1789 188 705 187 859 184 728 186 743 184 640 158 595 208 906 309 930 11467

Sumber: diolah dari Laporan Kelurahan Rawa Buaya bulan Nopember 2006.

B.

Korban dan Kondisi Pasca Banjir 1. Korban Seluruh penduduk Kelurahan Rawa Buaya merupakan korban banjir, baik langsung maupun tidak langsung. Korban banjir tidak langsung adalah penduduk yang tempat tinggalnya tidak tergenang air, tetapi tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa karena jalanan atau lingkungan tergenang air. Korban langsung adalah penduduk yang tempat tinggalnya tergenang air. Menurut Ketua RW 12 dan Ketua RT 04/02, ketika banjir pada puncaknya hampir seluruh wilayah kelurahan ini terendam air. Hanya sekitar 3 persen wilayah yang tidak

Menurut catatan Posko Banjir Pemerintah Jakarta Barat ketika genangan paling tinggi pada tanggal 6 Februari 2007, jumlah korban mencapai 6.580 jiwa atau 1.377 KK. Ketika itu sebanyak 815 KK atau 2.153 jiwa mengungsi di sejumlah tenda atau bangunan penampungan sementara. Sedangkan penduduk lainnya tetap bertahan di rumah masing-masing dan mengungsi ke rumah kerabat atau menyewa rumah untuk sementara di tempat lain. Ketika penelitian dilakukan sebagian besar penduduk sudah kembali ke rumah masingmasing, kecuali keluarga yang masih bertahan di Gedung Olah Raga Jalan Cendrawasih, Cengkareng.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

37

2.

Kerugian Keluarga

Banjir yang melanda sebagian besar Jakarta, telah menimbulkan kerugian baik harta maupun jiwa. Di wilayah Kelurahan Rawa Buaya korban jiwa sebanyak tiga orang, satu orang di wilayah RW 12 yakni penjaga keamanan, dan dua orang di wilayah RW 02, satu orang jatuh dari atap rumah dan satu orang balita sakit akibat kedinginan. Menurut pengamatan, barang-barang yang banyak rusak dan dibuang adalah kasur, kursi, buku dan peralatan dapur serta bangunan rumah. Berdasarkan nilai kerugian materil secara langsung dapat dikelompokkan menjadi 3 sebagai mana dalam tabel 2.

membesar seluruh mesin jahit langsung dibongkar dan ditempatkan di plafon rumah dan selamat tidak sampai terendam. Ketika air surut dan rumah sudah dibersihkan, mereka dapat langsung memulai usahanya lagi. Sebagai contoh keluarga yang menderita kerugian agak besar, sebagai contoh: Keluarga Romli, warga RT 04/02, tinggal di sebuah rumah petak, 2,5 kali 7 meter, yang merupakan warisan orang tuanya. Kerugian yang dialami sebuah kasur, tikar, pakaian sekolah dua orang anak (SD dan SMP), kerusakan rumah (lantai semen, dinding tripleks

Tabel 2 : Nilai Kerugian Keluarga


No 1 2 3 Keluarga dengan Nilai Kerugian (relatif) Kecil Sedang Besar Prakiraan nilai kerugian (dalam rupiah) > 750.000 750.000 4.500.000 < 4.500.000

Keluarga yang menderita kerugian kecil adalah keluarga yang sempat mengantisipasi datangnya banjir atau keluarga yang memang tidak memiliki harta benda, sebagai contoh: Keluarga mengantisipasi banjir. Sebuah keluarga yang tinggal di rumah kontrakan di RT 04/RW 02. Ketika banjir semakin besar mereka langsung mengangkut harta bendanya, pindah ke tempat lain, meninggalkan rumah kontrakannya. Keluarga X, di RT 04/02, seharihari sebagai pengrajin konveksi. Memiliki mesin jahit besar (high speed) sebanyak 5 buah. Ketika air

dan genteng) serta peralatan dapur. Keluarga Sartono, asal Tegal, warga RT 002/02, pedagang, warung nasi. Kerugian yang dialami sebuah kulkas, majic com dua buah, majic jar satu buah, dispenser satu buah, pompa air listrik satu buah, kerusakan rumah (dinding tripleks).

Keluarga yang menderita kerugian relatif besar, sebagai contoh: Keluarga Budi, warga RT 02/02. Keluarga ini sehari-hari adalah pedagang kebutuhan sehari-hari (warung). Ketika banjir datang dia baru belanja barang dagangan

38

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

senilai sekitar Rp. 20.000.000,- . Ketika banjir datang tidak semua barang dapat diselamatkan. Diperkirakan nilai kerugiannya sekitar Rp. 10 juta. Nilai tersebut setelah dikurangi bantuan (penggantian barang) yang diberikan oleh pabrik mie instan atas semua mie instan produknya yang terendam air. Penelitian ini tidak bermaksud menemukan jumlah kuantitatif masingmasing kategori tersebut, akan tetapi sesuai tujuannya mengidentifikasi kelompok penduduk (keluarga) yang paling menderita dan memerlukan pelayanan atau bantuan sosial. 3. Kondisi Kesehatan Banjir secara langsung atau tidak langsung telah mengganggu kesehatan warga masyarakat, baik anak maupun orang dewasa. Gangguan kesehatan yang dirasakan warga masyarakat seperti penyakit kulit, penyaakit perut (diare), dan demam. Rumah dan lingkungan yang masih sangat lembab dan becek seperti di wilayah RW 02, merupakan kondisi yang menyebabkan gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan lebih serius dialami oleh anggota keluarga miskin, dikarenakan tempat tinggal mereka tidak cukup memberi perlindungan dan mereka tidak memiliki cukup pakaian seperti dialami oleh keluarga Romli. Anak perempuan Romli yang berusia 7 tahun tampak tidur di atas papan yang diletakkan di atas bangku rusak yang dekat dengan lantai rumah yang becek. 4. Aktivitas Ekonomi Pada saat observasi warga masyarakat masih sibuk membenahi rumah dan barang-barang mereka
Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

yang tersisa. Di semua wilayah terlihat warga yang membersihkan dan menjemur barang-barangnya, seperti pakaian, sepatu, buku-buku, kasur, bangku dan perabotan rumah tangga. Di Jalan Raya Rawa Buaya beberapa orang sedang membersihkan mesin foto copy. Sementara itu penduduk setempat yang bekerja di pabrik gelas sudah masuk bekerja, warung kebutuhan rumah tangga dan bengkelbengkel sepeda motor sudah mulai dibuka. Sedangkan bagi warga masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap, mereka belum aktif bekerja, seperti Romli buruh bangunan. Menurut pengakuannyanya : Belum ada kerjaan . Sementara itu, Mas Juki dan isterinya yang membuka Warung Tegal di RT10/RW 11 mengatakan: Saya baru mulai dagang hari ini, itu juga belum semua. Itu belum mulai (sambil menunjuk gerobak rujak/ jualan buah). 5. Aktivitas Anak Anak-anak sekolah sudah masuk sekolah. Berkaitan dengan peralatan sekolah seperti pakaian, sepatu, buku dan alat tulis, menurut Royali, banyak yang yang rusak atau hilang karena banjir. Seperti yang dialami tetangga Romli yang bernama Lilis. Dikatakan oleh Royali (ketua RT 02/04) : Lilis tadi pagi ketika mau berangkat sekolah menangis, karena gak punya sepatu. Meskipun anak-anak tersebut kehilangan perlatan sekolahnya, anakanak tetap masuk sekolah. Dikatakan lagi oleh Romli Sekarang yang penting sekolah dulu, peralatan seadanya, guru juga belum mem-persoalkannya. Selain menghambat aktivitas sekolah, banjir juga meng-hambat aktivitas

39

bermain bagi anak-anak usia pra sekolah Sejumlah anak usia pra sekolah tampak duduk-duduk di sebuah rumah rusak dan kotor dipenuhi lumpur. Situasi tersebut merupakan indikasi betapa kondisi lingkungan pasca banjir menghambat aktivitas mereka bermain. 6. Kondisi Lingkungan dan Rumah Pada saat observasi lumpur masih menempel di badan jalan dan ganggang. Banyak sampah menumpuk di pinggir jalan, gang-gang sempit, sehingga mengganggu lalu lintas warga dan kondisi demikian potensial menjadi sumber penyakit. Pembersihan jalan dan saluran air dilakukan oleh beberapa unsur pemerintah daerah dan satuan TNI. Namun demikian, karena volume sampah sangat besar, maka upaya pembersihan akan membutuhkan waktu lama. Kerusakan rumah paling parah dialami oleh keluarga-keluarga yang tinggal wilayah perkampungan padat, yaitu di wilayah RW 01, 02, dan 04, karena bahan berkualitas rendah dan sudah lapuk. Keluarga-keluarga tersebut terbagi dalam dua kelompok, yaitu pemilik sendiri dan pengontrak. Mereka bertahan di daerah rawan banjir karena lebih ekonomis. 7. Kondisi Sosial Psikologis Warga Berdasarkan observasi banjir tidak sebatas menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga berdampak pada kondisi sosial psikologis warga. Menurut observasi, banjir menimbulkan tekanan psikologis terutama pada keluarga penduduk miskin. Pada umumnya, mereka pasrah dengan kondisi yang dialami (seperti diungkapkan Romli dan Royali).

Berdasarkan wawancara diketahui, bahwa selama banjir mereka merasa kaget, jengkel, ingin marah dan sedih karena tidak memperkirakan banjir separah yang terjadi. Ada rasa jengkel dan ingin marah karena tidak berdaya dengan situasi. Mereka juga mengaku frustrasi karena berharap memperoleh bantuan. Kondisi menunjukkan, bahwa korban banjir tidak saja membutuhkan bantuan materiil tetapi juga bantuan immateriil. Mereka merasa senang ketika diajak ngobrol. Sebagai contohnya, ketika peneliti bertemu dengan ibu-ibu PKK yang tengah sibuk merapikan administrasi kegiatan, mereka memperlihatkan sikap senang dan ada kesan merindukan perhatian dari orang lain. Mereka mengatakan : Terimakasih Pak atas kunjungannya, Pak Lurah saja belum datang, Bapak-bapak dari Departemen Sosial justeru sudah duluan. Pada sisi lain, ketika banjir masih berlangsung ada aksi solidaritas antar sesama warga secara sporadis. Di RT 12/03, misalnya, sejumlah ibu-ibu di bawah koordinasi Bu Minah (isteri ketua RT), secara spontan menyelenggarakan dapur umum. Waktu itu kami mulai dengan sebuah kompor milik warga yang masih bisa dipakai dengan bahan makanan seadanya. Kemudian Pak Haji (salah seorang warga mampu setempat) datang membawa beras dan indomie kata Bu RT 09/02, menjelaskan aktivitas kelompoknya dengan bangga. Kasus lain, sebuah warung tegal di RT 10/11 yang berubah fungsi menjadi penampungan sejumlah warga korban banjir di lingkungannya. Kami

40

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

tampung mereka di atas selama seminggukata Bu Sukiem isteri pemilik warung tegal. Tentang biaya pemenuhan kebutuhan makan selama itu, suaminya yang akrab dipanggil Mas Juki, mengatakan: Tidak banyak, kami hanya menghabiskan sekarung beras (50 kilogram). Suami isteri pemilik warung tegal tersebut tidak merasa dirugikan dengan situasi tersebut. Mereka rela mengorbankan beras bahan dagang guna membantu makan orang-orang yang ditampung di lantai 2 warungnya. Selain aksi solidaritas, banjir juga menimbulkan ketidakpuasan pada sebagian warga, karena merasa diperlakukan tidak adil, mereka menilai bantuan di-salurkan hanya kepada sebagian warga, terutama yang berada di penampungan. 8. Dampak Banjir bagi Keluarga dan Kemampuan Recovery

Salah satunya adalah rumah tempat tinggal Keluarga Rustam Butar-butar di RT 09/02, atap dan dindingnya sudah terbuka, lantai rusak dan lembab. Ironisnya keluarga ini memiliki 8 orang anak yang masih kecil, usia 4 sampai 15 tahun. Kondisi yang nyaris sama dirasakan oleh keluarga Romli di RT 04/02 dan banyak keluarga lainnya. Tabel 3 : Kemampuan Keluarga Mengatasi Dampak Banjir
No 1 2 3 4 5 Kemampuan Keluarga Korban Sangat Kecil Kecil Sedang Agak besar Besar Kategori sosial ekonomi Sangat miskin Miskin Hampir Miskin Tidak miskin Kaya

Walaupun semua keluarga menderita kerugian, tetapi dampak banjir dirasakan berbeda oleh masingmasing keluarga. Terdapat keluarga yang sangat menderita dan terdapat keluarga yang tidak terlalu merasakan dampaknya. Menurut observasi, keluarga yang paling menderita adalah keluarga-keluarga yang sebelum banjir memang sudah mengalami kesulitan ekonomi. Mereka umumnya bertempat tinggal di daerah/per-kampungan kumuh seperti di RW 01 sampai 04 dan RW 11 dan 12, baik yang menempati rumah sendiri maupun yang menempati rumah kontrakan. Banjir membuat tempat tinggal mereka semakin tidak layak serta kehilangan harta benda. Rumah sejumlah keluarga yang sempat diobservasi tampak amat memperihatinkan, banyak diantaranya sudah tidak pantas dihuni.

Menurut kemampuan sosial ekonomi mengatasi dampak banjir, melakukan recovery, keluarga korban secara umum dapat digolongkan sekurang-kurangnya ke dalam lima kategori, sebagai mana terlihat dalam matrik 2 di atas. Terdapat keluarga korban yang memiliki kemampuan relatif sangat kecil, kecil, sedang, besar sampai keluarga dengan kemampuan sangat besar. Keluarga yang memiliki kemampuan sangat kecil adalah keluarga dengan penghasilan minim dan tidak tetap. Mereka adalah keluarga yang dalam istilah BPS dikategorikan sangat miskin dan miskin. Sebelum banjir terjadi pun kehidupan ekonomi mereka sudah berat. Nilai kerugian yang berbeda dan kemampuan yang tidak sama pada akhirnya menyebabkan dampak banjir dirasakan oleh keluarga-keluarga korban dalam intensitas berbeda. Bagi

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

41

Keluarga dengan kemampuan sosial ekonomi besar atau kelas menengah dan atas diduga tidak terlalu merasakan dampak banjir. Mereka pada umumnya berada di perumahan mewah, Bojong Indah dan Taruma Indah (RW 05 sampai 10). Sementara bagi keluarga kelas sosial ekonomi bawah dan paling bawah dengan kemampuan sangat kecil, dampak banjir dirasakan dalam intensitas tinggi. Walaupun nilai kerugiannya kecil, tetapi bagi mereka sangat sulit melakukan pemulihan. Royani, Ketua RT 04/02, menunjuk salah satu warganya, seorang janda tua yang tinggal sendiri. Rumahnya rusak diterjang banjir. Dia mengatakan: Saya tidak tahu bagaimana nenek ini bisa memperbaiki rumahnya. Sementara anak-anaknya semua juga orang tidak punya. Ilustrasi lain: Keluarga Romli. Ketika dikunjungi Romli berulang kali mengatakan: Saya tidak tahu kapan saya sanggup memperbaiki rumah ini. Makan sehari hari saja sudah susah, apa lagi buat betulin rumah.

Keluarga dengan kondisi sosial ekonomi rendah, secara ekonomis hanya menderita kerugian kecil karena mereka tidak memiliki banyak harta. Akan tetapi dampak yang dirasakan tentu sangat berat (Lihat ungkapan spontan Romli). Sementara itu, nilai kerugian yang sama bagi keluarga mampu tentu tidak berdampak seserius yang dirasakan keluarga miskin. Salah satu contoh dialami keluarga Budi seorang pemilik warung. Ia menderita kerugian sekitar Rp.20.000.000,-, tetapi setelah banjir ia dapat memulai usaha lagi.

IV. KESIMPULAN
A. Kesimpulan Banjir telah menyebabkan penderitaan penduduk. Dampak banjir di Jakarta Barat dirasakan berbeda oleh masing-masing keluarga. Keluarga ekonomi rendah (miskin dan sangat miskin), merasakan dampak banjir sebagai beban berat. Bagi mereka banjir mengganggu kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh karena itu, mereka memerlukan bantuan pihak lain pemulian ( recovery). Khusus bagi anak-anak, banjir dapat berdampak buruk karena berkaitan dengan kesehatan, pendidikan dan situasi psikologis anak. Sedangkan bagi keluarga ekonomi menengah dan atas, mereka dapat mengatasi sendiri dampak banjir. Bagi kelompok ini banjir tidak sampai mengurangi kemampuan memenuhi kebutuhan keluarga. B. Rekomendasi Pemerintah (Departemen Sosial atau Pemerintah DKI Jakarta) perlu sesegera mungkin memberikan bantuan (pelayanan) sosial bagi keluarga korban banjir, terutama keluarga ekonomi lemah atau keluarga miskin dan sangat miskin, baik mereka yang menempati rumah sendiri maupun kontrak. Bantuan ditujukan untuk

III. ANALISIS KEBUTUHAN PELAYANAN SOSIAL


Bantuan dan pelayanan sosial bagi korban banjir tentunya diberikan kepada orang yang tepat. Berdasarkan observasi, ada dua variabel yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan sasaran pendistribusian bantuan dan pelayanan sosial, yaitu (1) kemampuan sosial ekonomi dan (2) nilai kerugian. Berdasarkan uraian sebelumnya, keluarga yang paling membutuhkan bantuan sosial adalah keluarga sangat miskin dan miskin (Tabel 3). Mereka ini sebelum terjadi banjir, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja cukupberat, dan dengan adanya banjir maka beban hidup mereka bertambah lagi.

42

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

memelihara dan melindungi kesejahteraan keluarga, mencegah kondisi keluarga jatuh lebih buruk. Jenis-jenis bantuan sosial yang diperlukan, adalah: (a) Bantuan perbaikan rumah (dinding, atap, lantai); (b) Bantuan peralatan pokok rumah tangga (kompor, tempat tidur, kasur); (c) Bantuan kebutuhan pokok (pakaian, permakanan); dan (d) Bantuan peralatan sekolah (buku, alat tulis, pakaian, sepatu). Teknik pemberian bantuan dilakukan secara partisipatif di tingkat Rukun Tetangga (RT), yaitu melibatkan warga dan tokoh setempat sejak identifikasi dan seleksi sampai distribusi agar bantuan efektif, tepat sasaran dan tidak me-nimbulkan kekisruhan. Pemberian bantuan materiil sebaiknya diiringi dengan bantuan sosialpsikologis. Setelah bantuan darurat, disusul dengan bantuan untuk pember-dayaan keluarga untuk menggalang swadaya masyarakat memperbaiki kualitas hidupnya yang meliputi perbaikan kondisi ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kesiapsiagaan menghadapi banjir be-rikutnya. Khusus bagi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial dipandang tepat menggunakan momentum ini untuk mengembangkan teknik pemberdayaan masyarakat korban bencana. Agar intensitas kegiatan Puslitbang dapat optimal, kegiatan dilakukan di beberapa kelurahan sebagai laboratorium sosial.

Fahrudin, Adi. Menangani Trauma Pasca Bencana, Republika, 3 Januari 2005. KOMPAS, Membangun Sistem yang Sigap Haapi Bencana, 12 Januari 2005. Soetarso. 1980. Kesejahteraan Sosial, Pelayanan Sosial dan Kebijakan Sosial, Bandung : KOPMA STKS. Titmus, Richard M, 1974, Social Policy : An Introduction, George Allen an Uwin Ltd : London.

Drs. Anwar Sitepu, MP, Magister Pembangunan Masyarakat (S2) dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung bekerjsama dengan Institut Pertanian Bogor. Berbagai artikelnya telah dimuat di Jurnal dan Informasi Litbang Kesos. Saat ini sebagai Peneliti Muda bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Sugiyanto , S.Pd, M.Si . Magister Sains Program Studi Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Publik, Kekhususan Pengembangan Masyarakat (S2), diperoleh dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2005) dan S1 (Sarjana Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara) diperoleh dari Sekolah Tinggi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (STPIPS) YAPSI Jayapura (1994). Saat ini sebagai Peneliti Muda bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial) Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

DAFTAR PUSTAKA
Aristiarini Agnes; Setelah banjir Usai; dalam Harian Kompas, Rabu 21 Februari 2007 halaman 1 dan 15. Anonim, 2006, Laporan Pemerintahan Kelurahan Rawa Buaya. Bulan Nopember. -Laporan POSKO Banjir Kota Jakarta Barat, Selasa, 6 Februari 2007 Monografi Data Kelurahan Rawa Buaya, Tahun 2006.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

43

PENYIMPANGAN IDENTITAS DAN PERAN JENDER


Pendekatan Penelitian Masalah Kesejahteraan Sosial Waria
Nina Karinina
Abstract. This paper discusses the problem of gender identity and role which concerns to sociopsychological deviations. The focus of discussion relates to socio-psychological deviation in the scope of transsexual social welfare. That deviation may develop many problems in the societal life, particularly for the transsexuals themselves. The problems which are experienced by transsexuals rooted on gender identity and roles, and this impact on their daily behaviour and avtivities. As the consequencies, the others who live arroud them look their behaviour as a deviation. Among other things which become problems to transexuals are related to job, the style of dressing, Haj pilgrim for Moslems, public toilet usage etc. There are many efforts done by transexuals to obtain their gender identities for legally acception from the government. Nevertheless, the proposal for their gender identities has not been accepted yet, as it is unline with the Indonesian legislation both formal and informal. The scientists, including researchers have roles on policies and programs formulation inputs in order to empowering transexuals to become a potential human resources. On the other hand, through experimental research the concept are tested through experimental research to obtain medical psychiatric and social psychological theories. Key Words : gender identities and roles, social psychological deviations, human resources empowerment.

I.

PENDAHULUAN

Masalah Waria (Wanita-Pria) di Indonesia memerlukan penanganan oleh Pemerintah bersama masyarakat maupun oleh kelompok Waria itu sendiri. Waria adalah individu yang memiliki bentuk fisik tubuh laki-laki, sedangkan jiwa dan perasaannya wanita, sehingga mereka bertingkah laku seperti wanita. Kondisi tersebut dianggap penyimpangan baik secara sosial, budaya, maupun psikologis. Menurut Soesilo Soepeno dalam makalahnya berjudul Wanita Pria, suatu Uraian Tentang Peran Departemen Sosial Dalam Penanganan Masalah Sosial Waria. Secara

fisik Waria memiliki tubuh laki-laki sempurna di mana tanda-tanda anatomis bagian tubuhnya seperti bentuk raut muka dan postur tubuh laki-laki, termasuk otot, kumis, janggut, bentuk dada, bulu badan,jakun, bentuk pinggul, suara, khususnya alat kelamin yang benar-benar berbentuk penis dan testis yang sempurna. Selanjutnya dikatakan bahwa permasalahan Waria pada dasarnya merupakan permasalahan global, baik secara psikologis, sosial maupun psikiatris. Dengan demikian, penanganan permasalahannya perlu pendekatan sosial psikologis dan medis psikiatris (Nina K,1993 : 31 - 32).

44

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

Ditinjau dari segi kesejahteraan sosial, Waria mempunyai permasalahan yang sangat kompleks, sehingga diperlukan suatu penanganan terpadu. Masalah kesejahteraan sosial Waria belum dapat terpecahkan sepenuhnya, khususnya yang menyangkut identitas gender, dimana mereka menginginkan pengakuan secara hukum, baik dari masyarakat maupun Pemerintah. Dalam kaitan dengan kesejahteraan sosial, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974, bab I pasal 1 disebutkan bahwa: setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial seperti dikemukakan di dalam bab I pasal 2 ayat (1) pada Undang-Undang tesebut, ialah: suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir bathin yang memungkinkan bagi setiap warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hakhak azasi serta kewajiban manusia sesuai Pancasila. Sedangkan usaha kesejahteraan sosial yang dimaksud Undang-Undang tersebut pada bab I pasal 2 ayat (2) ialah:semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut, dikemukakan yang dimaksud dengan usaha-usaha kesejahteraan sosial mempunyai ruang lingkup yang khusus tertuju kepada manusia sebagai perorangan, manusia dalan kehidupan masyarakat, yang karena faktor-faktor dalam dirinya sendiri atau faktor-faktor dari luar, mengalami kehilangan kemampuan melakukan peranan

sosialnya, memerlukan bantuan untuk membangun dirinya kembali sebagai manusia yang berguna dalam masyarakat Pancasila. Secara budaya, identitas dan peran jender dibentuk secara bertahap selama proses enkulturasi dimana seseorang mempelajari dan menyesuaikan diri dengan adat istiadat, aturan-aturan, pendidikan dan anggapan hidup dalam lingkungan sosial dan kebudayaannya, serta melalui proses sosialisasi di mana seseorang belajar mengenal, berhubungan, menyesuaikan diri terhadap norma-norma dalam masya-rakat sekitar (Koentjaraningrat, 1974 : 127). Proses tersebut berlangsung sejak masa kecil. Dengan demikian, peran jender terbentuk secara bertahap melalui penga-laman dan perbuatan, pendidikan baik secara formal maupun informal. Oleh karena itu, anakanak mengembangkan identitas jender sesuai dengan jenis kelamin dan pendidikan yang diperolehnya. Di lingkungan budaya tertentu terdapat peran-peran yang disepakati untuk masingmasing jender, misalnya anak laki-laki tidak diharapkan bersikap seperti perempuan, atau sebaliknya anak perempuan tidak bersikap seperti anak laki-laki. Masyarakat memiliki sistem nilai tentang peran-peran sosial, yang membedakan peran seharusnya dilakukan laki-laki dan peran yang dilakukan perempuan. Pada tahun 1978, komunitas Waria menyampaikan surat kepada Presiden Republik Indonesia, DPR RI, Menteri Kehakiman Republik Indonesia, Sekretaris Jenderal PBB, dan Paus di Roma tentang status hukum dan permasalahan Waria. Oleh DPR RI pada waktu itu telah dijawab, bahwa hal itu masih dipelajari, sedangkan yang lainnya belum memberikan tanggapan (Nina K., 1993 : 3).

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

45

Fokus bahasan dalam tulisan ini adalah eksistensi Waria yang tidak perlu dipaksakan menjadi wanita, karena menurut komunitas Waria tidak dapat menyelesaikan masalah mereka. Dengan demikian, diperlukan suatu upaya pembinaan dan rehabilitasi sosial, yang bertujuan agar mereka memiliki kesadaran dan kemauan untuk menerima keberadaannya secara fisik, serta mampu melaksanakan fungsi sosialnya. Namun demikian kiranya belum ada solusi konseptual untuk mengatasi permasalahan sosial Waria berdasarkan hasil penelitian eksperimen. Oleh karena itu, permasalahan yang dipertanyakan dalam tulisan ini adalah: Bagaimana solusi mengatasi masalah sosial Waria dan mengembalikan mereka pada posisi yang sebenarnya? Adapun tujuan tulisan ini adalah memberi gambaran permasalahan sosial Waria dan upaya penanggulangannya.

II.

KONDISI DAN MASALAH SOSIAL WARIA

Masalah Waria sangat kompleks karena menyangkut masalah biologis, psikologis, sosial budaya dan kesejahteraan. Ditinjau dari segi kesejahteraan sosial Waria antara lain terkait pada masalah identitas dan peran jender, serta berbagai hambatan sosial di dalam masyarakat. Data aktual tentang insidensi gangguan identitas dan peran jender tidak tersedia, bahkan program penyandang masalah kesejahteraan sosial Waria secara khusus sudah tidak tercantum lagi di dalam program operasional Rehabilitasi Sosial. 1. Permasalahan Identitas dan Peran Jender Pada hakikatnya Waria sudah muncul sejak adanya peradaban manusia. Dari pengalaman perkem-

bangan masyarakat, Waria pada masyarakat yang homogen seperti di daerah pedesaan, pada umumnya tidak begitu nampak dan bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada. Namun demikian pada daerah yang heterogen, seperti di perkotaan mereka menampakkan identitas diri dengan jelas sebagai Waria. Menurut Louis Gooren (Kit, 2006: 36), kebudayaan di seluruh dunia memiliki stigma yang sama terhadap jenis kelamin seseorang. Kalau seseorang memiliki testis, ya disebut laki-laki. Bila memiliki vagina, ya perempuan. Seorang transeksual sering menderita atas stigma budaya masyarakat tersebut. Berbagai tekanan psikologis dialaminya sehingga hidupnya tidak bahagia karena tidak sesuai dengan jiwanya. Selanjutnya dikatakan bahwa saat ini di beberapa negara mereka mem-perjuangkan undang-undang yang memberikan kebebasan bagi tran-seksual untuk menentukan hidupnya. Seorang lakilaki yang merasa dirinya perempuan diperjuangkan untuk bisa menikahi seorang laki-laki yang dicintai. Waria memiliki permasalahan identitas dan peran jender yang cukup banyak. Ditinjau dari aspek identitas dan peran jender, Waria memiliki kodrat hidup yang tidak lazim. Sementara itu, masyarakat pada umumnya hanya mengakui jenis perempuan dan jenis laki-laki secara utuh. Oleh karena itu, Wanita-Pria merupakan penyimpangan secara sosial psikologis yang sering menjadi ejekan. Adanya Waria memunculkan masalah yang bertentangan antara kodrat seseorang yang terlahir sebagai Waria dengan konsep publik tentang jender dalam kehidupan sosial di masyarakat. Permasalahan yang

46

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

timbul mengusik ketentraman lahir bathin bagi yang terlahir sebagai Waria, antara lain dari pihak masyarakat ada yang mengejek dan memperolok-olok karena perasaan kewanitaannya dimanifestasikan dengan sikap dan bertingkah laku seperti wanita seperti dalam hal berpakaian bersolek, dan melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Di lain pihak, Waria ada yang merasa rendah diri dan memberontak bilamana ada warga masyarakat yang antipati kepada mereka. 2. Hambatan Sosial Yang Dialami Waria Berbagai hambatan yang dialami oleh penyandang Waria meliputi hampir di seluruh aspek kehidupan sosial seperti dalam hal kesempatan pendidikan, kesempatan bekerja, kesempatan dalam kegiatan keagamaan, kesempatan kehidupan keluarga,hambatan kesempatan perlindungan hukum, dan sebagainya. a. Hambatan Dalam Pendidikan Pada usia masa bersekolah di Sekolah Dasar, Waria anak belum mempunyai permasalahan untuk memperoleh pendidikan dasar. Hal ini karena munculnya gejala atau perasaan bahwa dirinya perempuan pada umunya sekitar usia 10 tahun. Pada saat itu perasaan untuk menyenangi sesama jenis kelamin tidak banyak mempengaruhi kehidupan sosialnya, sehingga tidak menimbulkan permasalahan bagi mereka untuk memperoleh pendidikan dasar.

Pada masa usia pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Atas sebagian Waria remaja mulai mempunyai masalah dalam pergaulan di lingkungan mereka, karena mulai merasa terganggu dengan dorongan perasaannya, termasuk dorongan libidonya yang mendorong keinginan untuk lebih dekat bergaul dengan lakilaki (sesama jenis kelamin). Keadaan ini menimbulkan penolakan dari teman-teman sebayanya di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Keadaan ini menimbulkan hambatan bagi kelanjutan belajar di Sekolah Menengah hingga ke perguruan tinggi. b. Kesempatan Bekerja Rendahnya taraf pendidikan dan kemampuan keterampilan mengakibatkan kesempatan perolehan bekerja menjadi terbatas. Jenis pekerjaan yang disukai pada umumnya termasuk bidang pekerjaan wanita, sehingga masyarakat merasa aneh dan akan sulit untuk memberikan pekerjaan pada Waria. Waria yang mempunyai keterampilan kerja di salon kecantikan atau gunting rambut, termasuk merias pengantin nampaknya menjadi salah satu alternatif untuk memperoleh peluang pekerjaan yang dapat diterima oleh masyarakat. Beberapa peluang kerja dengan keterampilan mengetik, menjahit, merangkai bunga, tata boga, perancang mode, penyanyi,

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

47

pekerjaan sekretaris dan tata administrasi diperkirakan akan menjadi peluang kerja yang dapat mengakomodasi permasalahan kejiwaan wanita pada Waria. Kesulitan dalam perolehan kesempatan bekerja mengakibatkan kesulitan untuk memperoleh penghasilan untuk menghidupi dirinya. Akibatnya, sekelompok Waria adakalanya mencoba mencari nafkah dengan melakukan prostitusi. Cara lain untuk memperoleh uang adalah mengamen. Beberapa Waria dapat memperoleh status ekonomi tinggi dan normatif dimana dapat berbaur dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pria, baik pada tingkat pekerjaan kasar maupun pekerjaan intelektual . c. Kesempatan Melaksanakan Kegiatan Keagamaan Pada dasarnya kesempatan Waria untuk melaksanakan ibadah keagamaan khususnya bagi mereka yang muslim dilaksanakan secara perorangan tidak menjadi masalah. Akan tetapi pada kegiatan-kegiatan keagamaan yang harus dilaksanakan secara bersama-sama bagi Waria tersebut akan mengalami masalah. Sebagai contoh, Waria muslim yang secara fisik harus ikut kelompok laki-laki tetapi karena ber-perasaan wanita dan berpakaian wanita menjadi bermasalah pula untuk mengikuti sholat berjamaah di tempat wanita. Demikian pula pada kesempatan melakukan Ibadah Haji akan mendapat masalah d.

apakah masuk dalam kelompok laki-laki atau perempuan. Pada prakteknya beberapa Waria menyembunyi-kan identitas fisik laki-laki dan masuk rombongan wanita. Kesempatan Menikmati Kehidupan Keluarga Pada masa balita sampai usia Sekolah Dasar pada umumnya Waria tidak mengalami hambatan dalam kehidupan keluarga bersama saudara dan kedua orang tuanya.Tetapi setelah menunjukkan sifat, sikap dan tingkah laku yang dianggap aneh, antara lain senang bersolek, memakai pakaian wanita, dan sebagainya, maka mulailah lingkungan keluarga kurang menyenanginya bahkan ada yang sampai dengan sikap menolak kehadirannya dalam keluarga. Pada saat seperti itu, Waria mulai mencari berbagai penyaluran dan perhatian berbagai pihak di luar lingkungan keluarganya, dan mencari kelompok senasibnya. Kegiatan di luar lingkungan keluarga justru sering menimbulkan hal-hal yang kurang baik bagi diri Waria itu sendiri. Pada saat tiba membangun keluarga, Waria mengalami kesulitan karena tidak mungkin membangun keluarga dengan seorang wanita. Demikian juga keinginan membangun keluarga dan menikah dengan seorang lakilaki sebagai suami istri pada umumnya tidak memungkinkan. Walaupun pada kenyataannya ada Waria yang menikah dengan lakilaki yang dicintainya.

48

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

e.

Hambatan Kesempatan Perlindungan Hukum Ditinjau dari status hukum, pada waktu dilahirkan bilamana seorang bayi secara lahiriah berjenis kelamin laki-laki, maka statusnya laki-laki yang tertulis secara resmi dan sah dalam Akte Kelahiran. Demikian juga saat itu diberi nama untuk laki-laki. Di Indonesia, jenis kelamin yang diakui dalam Kartu Tanda Pengenal (KTP) adalah laki-laki dan perempuan. Masalah yang timbul di kemudian hari setelah merasa dirinya perempuan dan ingin mengganti jenis kelamin melalui operasi, bukanlah hal yang mudah. Untuk melakukan operasi jenis kelamin tersebut akan menyangkut berbagai faktor seperti kejiwaan, medis, dan hukum. Waria yang berganti jenis kelamin melalui operasi terlebih dahulu harus diputuskan melalui keputusan Hakim, keputusan keluarga, dan pertimbangan Hukum Agama.

III. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA DEVIASI SOSIAL PSIKOLOGIS


Kasus-kasus penyimpangan identitas dan peran jender di Indonesia dikenal sejak lama. Hukum dan norma masyarakat pada umumnya hanya mengakui jender sebagai laki-laki dan sebagai perempuan. Louis Gooren seorang ahli seksologi dari Vrije Universiteit Amsterdam, dalam suatu simposium internasional yang berjudul : Better Sexual Life for Best Quality of Life yang diselenggarakan di Hotel Hyat Surabaya tanggal 12 Agustus 2006: Ditinjau dari segi biologis, transeksual terjadi karena adanya

kelainan kromosom. Kromosom laki-laki adalah xy , sedangkan perempuan xx . Namun dalam perkembangannya kromosom tersebut mengalami perubahan. Misalnya, kromosom laki-laki xy bisa berubah menjadi xyy dan dapat menjadi xxx. Oleh karena itu, meskipun berjenis kelamin laki-laki, sifat-sifat keperem-puannya lebih dominan disebabkan terjadi transseksual dari laki-laki. Selanjutnya dikatakan oleh Gooren, bahwa kenya-taannya perkembangan alat genital seseorang tidak selalu berjalan sempurna karena dipengaruhi oleh hormon seks yang turut menentukan pertumbuhan alat kelamin seseorang. Bila terjadi gangguan terhadap fungsi hormon ini, karena suatu penyakit yang diderita, pertumbuhan alat kelamin seseorang akan turut terpengaruh yang menyebabkan terjadinya kelainan pada perkembangan seksual ( Kit, 2006 : 33 - 36). Mengenai postur tubuh atau kondisi fisik Waria, menampilkan ciri-ciri fisik lakilaki sebesar 7,29 persen, sedikit berkesan seperti wanita 28 persen, lebih berpenampilan seperti wanita 43 persen, lebih banyak berpenampilan seperti wanita 19 persen, berpenampilan seperti wanita sepenuhnya 1,09 persen, dan tidak tercatat 1,2 persen. Ukuran penis mereka adalah kecil 13 persen, sedang 72 persen, besar 14 persen, dan tidak tercatat 1 persen. Adapun ukuran buah dada mereka adalah sama sekali tidak nampak pembesaran sebesar 36 persen, sangat kecil 41 persen, sedang 17 persen, nyata besar 8,92 persen, dan tidak tercatat 5,28 persen (Nina K, 1993 : 50 - 51). Dengan demikian nampak secara fisik tubuh seorang Waria lebih banyak menunjukkan sifat dan ciri-ciri fisik seorang pria normal. Hanya dengan bersikap dan tingkah laku serta polesan bersolek seperti wanita, maka secara sepintas mengesankan kondisi fisik Waria seperti seperti fisik wanita.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

49

Menurut Yahya Lengkong dalam makalahnya berjudul Aspek Mediko Sosial Waria , penyimpangan seksual tampaknya lebih banyak dijumpai di kalangan kaum pria. Lebih dari 50 persen dari penyimpangan seksual mulai timbul sebelum usia 18 tahun. Puncaknya antara 15-25 tahun, dan sesudah itu secara bertahap menurun. Selanjutnya dikemukakan ada dua pokok penyebab gangguan identitas jender tersebut yaitu dari sudut pandang biologis dan dari sudut pandang psikososial. Dari sudut biologis, antara lain keadaan dasar dan jaringan mamalia pada mulanya adalah wanita. Selama perkembangan fetus akan berkembang menjadi laki-laki bilamana ditambah hormon endrogen yang dicetuskan oleh kromosom y. Maskulinitas dan feminitas serta identitas jender lebih merupakan hasil dari kejadian-kejadian pasca natal daripada organisasi hormon pra natal. Dari perspektif psikososial, diketahui bahwa anak-anak memperkembangkan identitas jender yang sesuai dengan jenis kelamin didikan mereka (disebut sebagai assigned seks ) yang didasarkan atas temperamen anak, ciri-ciri lain orang tua, serta interaksi diantara mereka (Nina K., 1993 : 20 25 dan 26).

IV. UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL WARIA


Masalah sosial Waria perlu di-tangani secara bersama antara pemerintah dan masyarakat. Departemen Sosial R.I. adalah instansi yang diserahi tugas untuk melaksanakan Pembangunan Nasional di bidang Kesejahteraan Sosial, termasuk menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk menangani berbagai masalah sosial, antara lain masalah sosial Waria.

Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial, Pemerintah telah menyusun Pola Dasar Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pola Operasional yang menerapkan garis-garis kebijakan, antara lain mengenai Waria. Ada dua kebijakan yang diterapkan mengenai Waria, yaitu: (1) Peningkatan mutu dan jangkauan usaha rehabilitasi sosial bagi Waria dengan upaya berbasiskan masya-rakat; dan (2) Pengarahan dan bimbingan terhadap Waria dan masyarakat untuk melaksanakan kebijakan tersebut strategi yang diterapkan meliputi: (1) Pemantapan dan penyempurnaan data dan informasi tentang penyandang masalah Waria; (2) Peningkatan dan pemantapan program pelayanan rehabilitasi sosial bagi Waria; (3) Peningkatan dan pemantapan keterpaduan dan kerjasam intra dan intersektoral; (4) Peningkatan dan pemantapan partisipasi masyarakat; (5) Bantuan usaha/ kerja bagi Waria; (6). Penyaluran; dan (7) Pembinaan lanjut adapun programprogram yang yang ditetapkan dalam upaya rehabilitasi sosial Waria meliputi pendataan, penyuluhan dan bimbingan sosial, pelatihan petugas pelayanan rehabilitasi sosial, Bantuan usaha/kerja bagi Waria, penyaluran dan bimbingan lanjut. Mekanisme pelaksanaan rehabilitasi sosial terkoordinasikan mulai dari tingkat Pemerintahan Nasional, Pemerintah tingkat Provinsi, Kotamadya dan Kabupaten, Kecamatan sampai di tingkat Desa (Anonim,1993 b : 105). Dengan adanya perubahan dibidang tata kerja pemerintahan, dalam Pola Dasar Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pola Operasionalnya yang tertuang di dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 25/HUK/2003 tentang Pola Pembangunan Kesejahteraan, tidak tercantum lagi penanganan masalah sosial Waria. Padahal permasalahan yang

50

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

dihadapi Waria cukup kompleks di satu sisi, dan sisi lain mereka adalah warga negara yang memiliki hak yang sama sebagaimana warga negara pada umumnya. Berdasarkan permasalahan dan hak dasar yang dijamin undang-undang, maka mestinya Waria memperoleh akses pelayanan dan perlindungan sosial dari negara.

V.

KEBUTUHAN RISET MASALAH SOSIAL WARIA


2.

eksistensi sebagai Waria bukanlah kelainan yang didapat, tetapi merupakan kodrat yang menjadi nasib seseorang sejak dilahirkan. Oleh karena, itu agar statusnya (secara fisik laki-laki) jangan dipaksakan harus menjadi perempuan, tetapi diupayakan pembinaan dan atau rehabilitasi sosial, sehingga memiliki kesadaran dan kemauan untuk menerima keberadaannya serta mampu melaksanakan fungsi sosialnya (Nina K, 1993 : 2). Menurut Nurlela (yang terlahir sebagai Waria) dalam makalahnya berjudul Permasalahan-permasalahan Pokok Yang Berkaitan Dengan Waria: pada kenyataannya ada seorang Waria yang berumah tangga, yaitu punya istri dan punya anak, namun masih berdandan dan bersolek seperti wanita dan berkencan dengan pria. Di sini timbul masalah, Waria tersebut tidak mau mengaku kepada istrinya bahwa dirinya adalah Waria. Selanjutnya dikemukakan, bahwa bila meninggal dunia rata-rata Waria diperlakukan sebagai pria karena dilahirkan secara fisik sebagai pria. Jarang sekali Waria itu sebagai wanita saat akhir hayatnya (Nina K,1993 : 9 - 15). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan, bahwa Waria dapat memiliki identitas jender dan berperan jenis sebagai laki-laki asli. Khususnya di dalan Agama Islam, ada Hadis Nabi saw, yang mengatakan bahwa laki-laki berperilaku dan berpenampilan seperti wanita (dengan sengaja), demikian juga sebaliknya, hukumnya adalah haram dan dilarang agama. Hadis menegaskan: Dari Ibn Abbas, ia berkata: Nabi saw, melaknat lakilaki yang berpenampilan perempuan dan perempuan yang berpenampilan lakilaki(HR. Bukhari).

Para ilmuwan dibidang kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya para peneliti, mempunyai peran untuk memberikan masukan terhadap perumusan kebijaksan program kesejahteraan sosial. Masukan dalam perumusan kebijakan dimaksud akan lebih efektif bilamana berupa informasi hasil penelitian. Saat ini dapat dikatakan, belum ada hasil penelitain tentang Waria yang menyangkut upaya pencegahan maupun rehabilitasi sosial yang berbasis penelitian eksperimen. Melalui metode eksperimen, akan diperoleh informasi guna menjawab masalah sosial psikologis, sikap-sikap, dan perilaku Waria yang akan bertahan dan tidak akan bertahan dalam kondisi masyarakat yang terus berubah. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan baik dalam suatu penelitian eksperimen, dimana didalam proses ini dilakukan intervensi dengan sasaran kondisi dan respons Waria terhadap input-input pada proses penelitian eksperimen. Beberapa anggapan dasar untuk menerapkan penelitian eksperimen dalam penanganan Waria adalah : 1. Dari hasil diskusi antara kelompok Waria dengan Direktur Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial di Palembang tanggal 20 Februari 1993, salah satu masalah yang dibahas adalah bahwa

3.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

51

Berdasarkan pada Hadis tersebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa dengan Surat Keputusan Fatwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: B-679/MUI/XI/1997, tanggal 1 Nopember 1997 yang ditetapkan di Jakarta : (a) Waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri; (b) Segala perilaku Waria yang menyimpang adalah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula. Majelis Ulama Indonesia juga menghimbau pemerintah yang dalam hal ini Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk mem-bimbing para Waria agar menjadi orang yang normal dengan menyertakan para ahli kejiwaan. Menurut MUI, Waria adalah laki-laki yang bertingkah laku (dengan sengaja) seperti wanita. Oleh karena itu menurut MUI, Waria bukanlah Khunsa sebagaimana dimaksud dalam hukum Islam. Khunsa, menurut hukum Islam, adalah orang yang memiliki dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali (wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adilatuh, VIII: 426). Penelitian eksperimen dalam upaya mencegah timbulnya masalah sosial pada Waria sebaiknya memfokuskan pada polapola perilaku, sikap-sikap, dan aspirasiaspirasi dalam situasi mereka yang sebenarnya. Bagaimana pola-pola perilaku, sikap-sikap yang terkait pada masalah kesejahteraan sosial Waria yang akan bertahan dalam berbagai situasi yang berubah. Sikap-sikap yang bagaimana yang menghalangi potensi mereka untuk keluar dari masalah kesejahteraan sosial? Adakah aspirasi-aspirasi yang berkait pada polapola perilaku yang memberikan dorongan untuk keluar dari permasalahan kesejahteraan sosial Waria?

VI. KESIMPULAN
Masalah penyimpangan identitas dan peran jender pada Waria, hakikatnya dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari segi antropologis, Waria ditinjau sebagai makhluk biologis, sosial, budaya, psikologis dan religius. Dari segi biologis, maskulinitas dan feminitas serta identitas jender lebih cenderung merupakan hasil dari kejadiankejadian pasca natal dibanding dengan organisasi hormon pra natal. Dengan demikian ini, berarti bahwa identitas jender lebih ditentukan oleh faktor-faktor eksternal yang terkait dengan sosial, budaya, lingkungan yang dipelajari melalui proses enkulturasi dan sosialisasi serta pengalaman lainnya melalui interaksi di antara mereka. Kemudian dari segi religius, Waria adalah manusia yang memiliki keyakinan pada agama tertentu, sehingga akhirnya akan menerima keadaannya sesuai dengan keyakinan agamanya. Berbagai masalah kesejahteraan sosial yang dialami Waria berdasarkan pada argumentasi tersebut pada dasarnya dapat diatasi dengan menempatkan Waria pada posisi yang sebenarnya, yaitu secara lahiriah adalah laki-laki. Hal ini me-merlukan suatu proses rehabilitasi dan pembinaan. Untuk mengetahui bagaimana proses perubahan dari sikap-sikap dan pola-pola perilaku mereka berlangsung dapat diketahui secara ilmiah melalui suatu penelitian pekerjaan sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1974, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial R.I., Jakarta.

52

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

Anonim, 1993.a, Pola Dasar Pembangunan Kesejahteraan Sosial , Departemen Sosial R.I. Jakarta. Kit, 2006, Transeksual Seperti Orang Terperangkap, Madura : Radar. Koentjaraningrat, 1974, Pengantar Antropologi, Cetakan Kelima, Jakarta : Aksara Baru. Nina Karinina, 1993, Risalah Diskusi Panel Permasalahan Waria, Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial, Departemen Sosial R.I.

Dra. Nina Karinina. Sarjana Sastra jurusan Antropologi dari Universitas Pajajaran Bandung. Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Sebanyak 32 karya tulis yang telah dihasilkan, antara lain berkaitan dengan pembinaan masyarakat Suku Anak Dalam, Penanganan masalah Wanita Tuna Susila, Konseling HIV/AIDS dalam Pelayanan Rehabilitasi Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

53

INDEKS
A
Aberle, 2 Aceh, 25 Advocacy, 3 Afrika, 25 Age of massconsumption, 2 Anderson (2003), 9 Ann Laura Stoler, 30 Anonim (1993), 50 Anwar Sitepu, 43 Arbritase, 10 Aristoteles (w.322 Sm), 3 Community Deleberative Forum, 12 Community Development, 11 Community Organization, 11 Core Culture, 26, 33

D
Dakhidae (2003), 9, 10 Dayak, 29 De Facto, 9 De Jure, 9 Development For All, 4 Drain, 36 Drive to maturity, 2 Dubois dan Milley, 12

B
Bambang Rustanto, 8, 15 Bottom up, 12 Budhisantoso dan Jim Ife (2003), 11

E
Ekologi, 32 Empowerment, 2 Enclave, 25 Environment, 11 Equilibrium, 1 Eropa, 24

C
Carrying capacity, 1 Case work, 11 Changible Enggineering, 1 Community Behavior Change, 12

54

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

F
Fetus, 50 Floodwaters, 35 Fritjof Capra, 1

Khunsa, 52 Koentjaraningrat, 2, 45 Komunitas Adat Terpencil (KAT), i, 1, 2, 6, 8, 9, 11, 12, 13, 14 Kondusif, 25 Kontemporer, ii Kornblum, 2

G
Group work, 11

H
Hawari (1995), 19 Hegel (w.1831), 3 High speed, 38 Humanistic Approach, 8, 14

L
Land Clearing, 26, 32 Landasan Filosofis, 6 Louis Gooren (Kit, 2006; 36), 46

M
Madgley, 8 Madura, 27 Malaysia, 13, 25, 27, 31 Maroon, 31 Mental threats, 29 Michael R. Dove, 28 Militaristic Approach, 8 Mitologi, 33 Monokultur, 32 Moral career, 17 Multikultur, 19 Multiple face of social problems, 20

I
Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI), 21 Imagined, 9 Implicit, 4 Improvement, 8, 10, 12, 13

J
Jaladi mantri, 9 Jepang, 25 Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang (2003), 22 John Lock (w.1704), 3

K
Kalimantan Barat, i, 8, 9, 13, 24, 27, 32, 33 Kelompok Kerja (POKJA), 14

N
Nina Karinina, 44, 49, 51, 53 Nusa Tenggara Timur, 8, 9

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

55

O
Objective Liberty, 3 Observasi, 36 Oetami Dewi, 34 Organisasi Non Pemerintah (NGOs), 21, 22 Outer Ring Road, 36

R
Reduksi, 1, 30 Reformist movement, 2 Reinventing Tradition, 27 Replanting, 30 Represif, 31 Repressive Approach, 8 Resiprositas, 1 Right of internal self determination, 4 Right of participation, 4 Rights of children, 4 Rights of minorities and indigenous peoples, 4 Rights of workers, 4 Rights to administrative due process, 4 Rights to education, 4 Rights to environmental protection, 4 Rights to equality, 4 Rights to food, health, habitat, and economic security, 4 Rights to land, 4 Rights to the role of law, 4 Rights to work, 4 Robert Boyer (2006), 19 Robert M.Z Lawang (2005), 16, 18 Rossetta Palma, 12 Rusmin Tumanggor, 7 Rustanto (2006), 12, 13

P
Palembang, 51 Parsudi Suparlan, 2 Participatory Welfare State, 18 Partisipatoris, 12, 13, 32 Pathologis, ii Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), 8, 21 Perkebunan Inti Rakyat (PIR), 26, 29 Perspektif, 21 Plantation Estate Company, 24, 25 Plantokrasi, 25 Post Colonial, 28 Potensi Sosial Kesejahteraan Sosial (PSKS), 8, 21 Preconditions for take off, 2 Profit oriented, 30 Public Goods, 26

Q
Qualitatif quick research, 36

56

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

S
Sanggau, 30 Scott, 29 Seantero, 1 Separatisme, 9 Shulman, 17 Simbolis, 30 Social Development, 16 Social Problem, 16 Social Welfare, 16 Social Work, 16 Soesilo Soepeno, 44 Subjective liberty, 3 Sugiyanto, 43 Suharto (2005), 18 Sumatera Utara, 30 Sunarto, 2 Suplay, 27 Suradi, 16, 23 Survivors, 35 Sustainable Social Justice, 31 Sustainable, 2 Suta Purwana, 30

T
Takashi, 16 Take off, 2 Tangdilintin (1998), 17 Thomas Hobbe (w.1676), 3 Timor Leste, 13 Traditional society, 2 Transformative, 8, 10, 12, 13

V
Venerable, 10

W
W.W. Rostow Welfare pluralism, 18 Welfare state, 18 Wicirna sahana, 9 World view, 2, 11, 13

Y
Yahya Lengkong, 50

Informasi, Vol. 12, No. 01, tahun 2007

57

Anda mungkin juga menyukai