Anda di halaman 1dari 27

SINTESIS POLIOL DARI MINYAK BIJI LABU SPONS

(Luffa aegyptiaca), DAN PRODUKSI BUSA POLIURETAN

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh
DIEN NOVITA
NIM : G1C020016

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
2023
SINTESIS POLIOL DARI MINYAK BIJI LABU SPONS
(Luffa aegyptiaca), DAN PRODUKSI BUSA POLIURETAN

PROPOSAL PENELITIAN

Proposal penelitian sebagai salah satu syarat


untuk melakukan penelitian

Oleh
DIEN NOVITA
NIM : G1C02016

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
2023

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : SINTESIS POLIOL DARI MINYAK BIJI LABU SPONS


(Luffa aegyptiaca) DAN PRODUKSI BUSA POLIURETAN

Penyusun : DIEN NOVITA

NIM : G1020016

Disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Maria Ulfa, S, Si., M, Si Dr. Emmy Yuanita, S, Si, M, Si


NIP. 196905321000032001 NIP.198105242008012013

Mengetahui:

Ketua Program Studi Kimia


Fakultas MIPA Universitas Mataram

Dr. Maria Ulfa, S, Si, M, Si


NIP: 196905321000032001

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v
DAFTAR TABEL...................................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................8
1.1. Latar Belakang.........................................................................................................8
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................10
1.3. Tujuan Penelitian...................................................................................................10
1.4. Manfaat Penelitian.................................................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................11
2.1 Labu Spons (Luffa aegyptiaca)............................................................................11
2.2 Metode Ekstraksi Minyak Biji Labu Spons........................................................11
2.2.1 Soxhlet.................................................................................................12
2.3 Karakteristik Minyak Biji Labu Spons................................................................12
2.3.1 Epoksidasi...........................................................................................12
2.3.2 Hidroksilasi.........................................................................................14
2.4 Transesterifikasi.....................................................................................................15
2.5 Poliol.......................................................................................................................16
2.6 Busa Poliuretan......................................................................................................18
BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................20
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................................20
3.2 Alat dan Bahan.......................................................................................................20
3.3 Prosedur Penelitian................................................................................................20
3.3.1 Preparasi sampel.................................................................................20
3.3.2 Ekstraksi soxhlet.................................................................................20
3.3.3 Reaksi epoksidasi...............................................................................20
3.3.4 Uji epoksidasi.....................................................................................21
3.3.5 Reaksi hidroksilasi.............................................................................22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Reaksi Epoksidasi13
2.2 Reaksi Tranesterifikasi Minyak Nabati16
2.3 Reaksi Tranesterifikasi16
2.4 Struktur Poliol17
2.5 Mekanisme Pembentukan Senyawa Poliol Melalui Reaksi Epoksidasi17
2.6 Mekanisme Pembentukan Poliuretan18
2.7 Struktur Sel pada Plastik berpori (a) Sel Terbuka; (b) Sel Tertutup19

v
DAFTAR TABEL

vi
DAFTAR LAMPIRAN

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berkembangnya industri plastik di Indonesia, menyebabkan
bertambah pula kebutuhan bahan-bahan untuk industri plastik, baik itu
bahan baku maupun bahan penolongnya, seperti senyawa poliol dari reaksi
epoksi yang merupakan bahan intermediet pembuatan poliuretan. Poliuretan
adalah suatu termoset plastik yang mudah dibentuk dan dapat dibuat
selembut bubble gum atau sekeras soft metal. Senyawa poliol dibuat dari
bahan baku minyak bumi. Menipisnya persediaan minyak bumi di
indonesia, maka dilakukan pengkajian dan pengembangan poliol untuk
pembuatan poliuertan berbahan baku minyak nabati, seperti minyak kedelai,
minyak kelapa sawit (CPO), minyak biji karet, minyak jarak pagar dan lain-
lain (Abdullah, 2012).
Lemak dan minyak merupakan sumber daya terbarukan yang dapat
diolah secara kimiawi atau enzimatis untuk menghasilkan bahan yang
seringkali dapat bertindak sebagai pengganti bahan yang berasal dari
minyak bumi. Asam lemak dapat digunakan secara langsung sebagai
plastisin yang kompartebel dengan polyvinyl chloride (PVC) dan stabilizer
untuk resin PVC guna meningkatkan fleksibilitas, elastisitas, dan
ketangguhan serta memberikan stabilitas polimer terhadap panas dan radiasi
UV. Epoksida juga bertindak sebagai bahan mentah untuk berbagai bahan
kimia, seperti alkohol, glikol, amina alkanol, senyawa karbonil, dan polimer
seperti poliester, poliuretan, dan resin epoksi karena reaktivitas cincin
oksiran yang tinggi. Minyak epoksidasi dengan nilai oksiran yang lebih
tinggi dan nilai yodium yang lebih rendah dianggap memiliki kualitas yang
lebih baik (Dinda, dkk., 2018).
Lemak dan minyak sangat bermanfaat dalam berbagai bidang. Minyak
tersusun dari campuran ester, asam lemak dan gliserol, berdasarkan
sumbernya minyak dapat dibedakan menjadi minyak nabati dan hewani.
Minyak nabati diperoleh dari hasil pengolahan bagian tanaman yang telah

8
melalui proses ekstraksi. Penggunaannya cukup luas dalam makanan,
seperti sebagai perisa rasa, menggoreng, dan memasak. Bidang kosmetika
juga memiliki beberapa peranan penting. Asam lemak hasil hidrolisis
minyak nabati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun.
Sumber minyak nabati sudah banyak diketahui oleh masyarakat dan
pencarian terhadap sumber alternatif dari minyak nabati masih terbuka lebar
mengingat semakin meningkatnya suplai minyak nabati di pasaran
(Abdullah, 2012).
Peningkatan akan suplai minyak nabati terus mengalami peningkatan,
pada tahun 2011 hingga 2012 konsumsi dari minyak nabati tercatat
mencapai ±150 juta ton dengan rincian 35,8 juta ton di sektor non pangan
dan 114,2 juta ton pada sektor pangan. Sumber minyak nabati yang sudah
diketahui adalah minyak sawit, jarak pagar, minyak kelapa, kacang kedelai,
bunga matahari, dan biji-bijian. Tanaman masih belum dieksplorasi sebagai
sumber alternatif minyak nabati, salah satunya adalah famili Cucurbitaceae
mrupakan salah satu sumber alternatif minyak nabati terkhusus pada bagian
bijinya. Labu spons (Luffa aegyptiaca) merupakan salah satu anggota
Cucurbitaceae (Meliano, dkk., 2017).
Minyak nabati dari biji labu spons menurut (Sule, dkk., 2020) masih
kurang diteliti di Indonesia. Penelitian yang telah dilakukan umumnya
menggunakan minyak kasar, sehingga dirasa perlu dilakukan sintesis
terhadap minyak biji labu spons. Sintesis produk poliol dari biji labu spons
melibatkan dua langkah reaksi utama, yaitu reaksi epoksidasi diikuti dengan
hidroksilasi. Langkah kedua optimasi kondisi reaksi, yaitu minyak biji labu
spons yang terepoksidasi diubah menjadi poliol. Reaksi hidroksilasi
dilakukan dalam reaktor batch menggunakan campuran alkohol (metanol
dan isopropanol) dengan asam sulfat sebagai katalis. Reaksi konversi
minyak biji Luffa aegyptiaca terepoksidasi menjadi produk poliol
bergantung pada waktu reaksi dan suhu. Kondisi optimal dihasilaknnya
poliol dicapai selama 3 jam pada suhu 50 °C. Berdasarkan pemaparan diatas
maka akan dilakukan penelitian guna mengetahui potensi poliol yang

9
terdapat pada minyak biji labu spons sebagai bahan baku kimia dalam industri
poliuretan.

I.1. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah poliol minyak biji labu spons berpotensi sebagai bahan baku
kimia dalam industri poliuretan?
2. Bagaimanakah performa poliol dari minyak biji labu spons sebagai
poliuretan?
I.2. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu:
1. Mensintasis minyak biji labu spons sebagai bahan baku kimia dalam
indistri poliuretan.
2. Menganalisis performa poliol dari minyak biji labu spons sebagai
poliuretan?
I.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
performa poliuretan berbasis poliol dari minyak biji labu spons sehingga
dapat dijadikan sebagai salah satu refrensi untuk penelitian mendatang.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Labu Spons (Luffa aegyptiaca)


Labu spons merupakan tanaman asli Asia dan Afrika. Tanaman ini
tidak hanya dikonsumsi buah mudanya, melainkan juga pucuk, berikut daun
muda dan bakal bunga. Buah yang sudah tua akan menghasilkan spons dan
biji. Labu spons merupakan bahan pembersih badan maupun cucian di
dapur, yang belakangan ini popular karena merupakan bahan organik. Buah
ini di AS dibudidayakan secara besar-besaran untuk diekpor sponsnya ke
jepang. Biji buahnya yang cukup besar, menghasilkan lemak nabati yang
bisa dijadikan minyak goreng (Purba, 2018).
Labu spons memiliki kandungan kimia seeperti karbohidrat, protein,
lemak asam amino, alanin, arginin, glisin, sistein, asam glutamat,
hidroksiprolin, leusin, serin, triptofan, flavonoid dan sapionin. Biji buah ini
selain mengandung minyak seperti minyak palmitat, stearat, dan asam
miristat juga bermanfaat sebagai perawatan kulit. Indonesia sendiri
menggunkan buah ini sebagai sayuran dan dikeringkan sebagai pengganti
spons (Meilano, dkk., 2017).
Penelitian tentang labu spons dan aplikasinya telah banyak dilaporkan.
(Purwaningsih, 2018) melaporkan dalam penelitiannya mengenai pengaruh
biji labu spons pada mancit betina galur swiss webster terhadap lama siklus
estrus dan jumlah folikel mudanya. Penelitian mengenai minyak dari biji
buah ini di Indonesia masih sangat minim, selain itu penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya masi menggunakan minyak kasar sehingga perlu
dilakukan pemurnian dari minyak biji labu spons ini.

2.2 Metode Ekstraksi Minyak Biji Labu Spons


Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan yang didasarkan pada
perbedaan kelarutan. Ekstraksi senyawa kimia dari bahan alam, pada
dasarnya menggunakan metode yang sangat bervariasi, salah satunya yaitu
metode sokletasi (Atun, 2014).

11
2.2.1 Soxhlet
Soxhlet adalah teknik ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang
sesuai dengan titik didihnya sebagai ekstraktor. Cara ini dapat digunakan
jika menggunakan pelarut yang memiliki titik didih rendah. Titik didih yang
rendah memungkinkan senyawa yang terekstrak tidak mengalami
kerusakan. Ekstraksi beberapa senyawa metablit skunder dapat juga
dilakukan dengan cara ini, karena senyawa tersebut cukup tahan terhadap
suhu tinggi (Saidi, dkk., 2018).
Soxhlet termasuk kedalam metode ekstraksi panas. Proses
ekstraksinya terjadi saat proses perendaman pada sampel setalah sampel
mengalami kondensasi. Pelarut pada labu yang dipanaskan akan menguap
menuju kondensor kemudian berubah menjadi cair dan menetes ke dalam
thimble, sehigga simplisia di dalam thmble akan terendam. Simplisia pada
proses soxhlet akan terendam pelarut dan mengalami hipertonis
(Rosita, dkk., 2017). Penelitian (Ravensca, dkk., 2017) melaporkan bahwa
hasil ekstraksi biji ketapang menggunakan metode sokletasi dengan pelarut
n-heksan menghasilkan rendemen minyak sebesar 51, 9 % .

2.3 Karakteristik Minyak Biji Labu Spons


Karakteristik minyak biji labu spons dilakukan sebagai uji
pendahuluan. Pengujian yang dilakukan diantaranya, uji epoksidasi, yang
meliputi nilai iodium dan oksiran serta uji hidroksilasi meliputi nilai
hidroksil dan viskositas.

2.3.1 Epoksidasi
Epoksidasi merupakan metode sederhana yang efesien untuk
memperoleh senyawa baru yang reaktif dan banyak digunakan dengan
mengubah ikatan rangkap yang terdapat dalam asam minyak atau lemak.
Senyawa epoksidasi dapat digunakan sebagai bahan baku sintesis bahan
kimia. Diantaranya alcohol, glikol, alkanolamine, karbonil, poliester,
poliuretan dan resin epoksi (Ghozali, dkk., 2018).
Epokisda minyak dapat digunakan secara langsung sebagai pemlatis
yang sesuai seperti untuk polivinil klorida (PVC) dan sebagai penstabil resin
PVC agar lebih fleksibilitas, elstisitas, dan untuk mempertahankan stabilitas

12
perpindahan panas dan radiasi UV. Reaktivitas cincin oksiran yang tinggi
menyebabkan epoksi dapat digunakan sebagai bahan baku untuk beberapa
bahan kimia, seperti alcohol, glikol, alkanolamin, senyawa karbonil,
senyawa olefin, dan polimer seperti poliester, poluretan, dan resin epoksi
(Sasongko dan Dea, 2018).
Asam lemak umumnya bersifat reaktif terhadap oksigen dengan
bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul. Satu molekul
oksigen bereaksi dengan ikatan jenuh menghasilkan oksida lemak dan
secara simultan membebaskan atom oksigen aktif yang akan menyerang
trigliserida. Proses oksidasi tanpa melalui tahap pembentukan peroksida
merupakan oksidasi langsung terhadap ikatan rangkap, sehingga
menghasilkan peroksida siklis dan senyawa ini digolongkan dalam grup
epoksida.

Gambar 2.1 Reaksi Epoksidasi


Reaksi epoksidasi diatas menggunakan proses in situ, dimana asam peroksi
dibuat persamaan sehingga lebih mudah (Abdullah, 2012).
A. Nilai iodium
Nilai iodium adalah sifat penting dalam karakterisasi minyak nabati
terepoksidasi. Nilai iodium menunjukkan ketidak jenuhan yang tersisa
setelah terjadi reaksi epoksidasi. Hasil epoksidasi dalam pembuatan
senyawa polimer diharapkan menghasilkan nilai iodium lebih rendah.
Rendahnya nilai iodium nenunjukkan tidak hanya menunjukkan tingkat
ketidak jenuhan melainkan juga mewakili konversi gugus epoksi karena
degradasi cincin epoksi menghasilkan produk samping. Penelitian
(Sule, dkk., 2020) melaporkan bahwa pengaruh waktu dan suhu terhadap
nilai iodium dan konversi minyak biji labu spons meningkat secara linear
seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu reaksi.
B. Nilai oksiran
Aktivitas yang tinggi dari cincin oksiran menyebabkan epoksida yang
bertindak sebagai bahan mentah dapat diaplikasikan menjadi berbagai

13
bahan kimia seperti alkohol, glikol, amina alkanol. Senyawa karbonil, dan
polimer sama seperti poliester, dan poliuretan. Minyak epoksidasi dengan
nilai oksigen oksiran yang lebih tinggi dan nilai iodium yang lebih rendah
dianggap memiliki kualitas yang lebih baik (Goud, dkk., 2007).
Penelitian (Sule, dkk., 2020) melaporkan bahwa minyak biji labu
spons pada kondisi optimal (4 jam, 60 °C), waktu dan suhu reaksi saat
maksimum menyebabakan kandungan oksiran menurun. Temuan ini
mendukung penelitian sebelumnya dengan memanfaatkan minyak biji
kapas sebagai bahan baku pembuatan minyak epoksidasi (Dinda, dkk.,
2008). Hasil ini dapat dijelaskan bahwa melalui rekasi eposidasi ikatan
rangkap dari minyak diubah menjadi minyak epoksidasi. Kandungan
oksiran maksimum 2,88 % dicapai pada (4 jam, 60 °C).

2.3.2 Hidroksilasi
A. Nilai hidroksil
Hidroksilasi merupakan reaksi penambahan gugus hidroksi pada
suatu senyawa organik. Reaksi ini, bisa disebut juga dengan reaksi
pembukaan cincin oksiran pada senyawa epoksida. Suatu cincin epoksida,
seperti cincin siklopropana, tidak dapat memiliki sudut ikatan sp3 sebesar
109º, sudut antar inti hanya 60°, sesuai dengan persyaratan cincin tiga
anggota. Orbital yang membentuk ikatan cincin tidak dapat mencapai
tumpang-tindih maksimal; oleh karena itu cincin epoksida mengalami
tarikan. Polaritas ikatan–ikatan C-O, bersama dengan cincin ini,
mengakibatkan reaktivitas tinggi. Pembukaan cincin tiga anggota
menghasilkan produk yang lebih stabil dan berenergi lebih rendah. Reaksi
khas epoksida adalah reaksi pembukaan cincin, yang dapat berlangsung
pada suasana asam ataupun basa (Said, dkk., 2017).
Kandungan hidroksil dari minyak terhidroksilasi (poliol) ditentukan
karena nilai hidroksil adalah ukuran utama dari kualitas busa poliuretan
yang dihasilkan. Penelitian (Sule, dkk., 2020) menunjukkan bahwa nilai
hidroksil akan meningkat saat waktu dan suhu reaksi mengalami kondisi
optimum (3 jam, 50 °C).

14
B. Viskositas
Viskositas merupakan gesekan yang terjadi diantara lapisan-lapisan
yang bersebelahan dalam suatu fluida. Viskositas pada gas disebabkan
tumbukan antar molekul gas sedangkan viskositas pada zat cair terjadi
akibat adanya gaya kohesi antar molekul zat cair. Suhu merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhui terjadinya viskositas
(Damayanti, dkk., 2018).
Viskositas merupakan tingkat kekentalan suatu minyak terhadap
perubahan suhu, semakin besar kemampuan minyak untuk mengalir maka
kekntalan minyak akan semakin tinggi begitu juga sebaliknya. Semakin
tinggi indeks minyak maka akan semakin kecil perubahan viskositasnya
terhadap perubahan suhu. Nilai viskositas yang diperoleh dari ekstraksi
minyak biji labu spons sebesar 224, 86 detik (sule, dkk., 2020).

2.4 Transesterifikasi
Esterifikasi adalah reaksi antara asam karboksilat dengan alkohol
yang membentuk suatu ester. Reaksi esterifikasi yang dihasilkan dengan
katalis asam merupakan reaksi reversibel. Reaksi esterifikasi merupakan
perlakuan awal untuk megurangi kandungan asam lemak bebas dengan
mengubah asam lemak bebas menjadi alkil ester. Cara untuk memperoleh
rendemen ester yang besar adalah dengan pergesera kesetimbangan reaksi
ke arah sisi ester melalui penambahan alkohol berlebih (Sahubawa dan
Indun, 2020).
Reaksi transesterifikasi (alkoholisis) adalah reaksi antara ester dan
alkohol yang menghasilkan ester baru dan alkohol baru. Reaksi
transesterifikasi juga disebut reaksi alkoholisis dari ester karena reaksi
tersebut diserai dengan pertukaran bagian alkohol dari suatu ester
(Sahubawa dan Indun, 2020). Transesterifikasi merupakan reaksi antara
trigliserida yang terkandung dalam minyak nabati atau lemak hewan
dengan alkohol untuk membentuk alkil ester (Megawati, dkk., 2022). Dari
proses transesterifikasi diperoleh dua fasa, yaitu metil ester pada bagian
atas, gliserol pada bagian bawah kemudian redemen biodiesel dihitung dari

15
onversi metil ester berdasarkan variasi konsentrasi katalis (Suleman, dkk.,
2019).
Proses transesterfikasi baik dalam suasana asam maupun suasana
basa harus dihindari air karena akan menghidrolisis ester. Suasana asam
dan suhu tinggi ester akan terhidrolisis menjadi asam karboksilat dan
alkohol sedangkan dalam suasana basa, ester akan terhidroliss menjadi
sabun (Susilo, dkk., 2017). Peilihan jenis katalis yang sesuai sangat
penting dalam proses transesterifikasi. Bahan baku yang memiliki Asam
Lemak Bebas (ALB) tinggi akan lebih efektif menggunakan katalis asam
dari pada atalis basa. Hal ini karena ALB akan bereaksi dengan katalis
basa dan membentuk sabun yang mengakibatkan menurunya rendemen
(Paseae, 2020). Katalis yang digunakan bisa berupa katalis basa, asam,
maupun enzimatik (Wibisono, 2017). Reaksi umum untuk proses
transesterifikasi yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi Minyak Nabati


Reaksi transesterifikasi sebenarnya berlangsung dalam tiga tahap yaitu
sebagai berikut:

Gambar 2.3 Reaksi Transesterifikasi (Hartono, dkk., 2014).

16
2.5 Poliol
Poliol atau polialkohol adalah suatu polimer atau monomer dengan
dua gugus fungsi hidroksi atau lebih. Polimer poliol dapat berupa polieter
seperti polietilen glikol, dan polipropilen glikol.

Gambar 2.4 Struktur Poliol


Poliol dapat digunakan sebagai bahan baku poliuretan karena
memiliki fungsionalitas (jumlah gugus OH dalam satu molekul) lebih dari
satu. Dua komponen poliol mengandung gugus fungsi yang dapat
direaksikan dengan isosianat, gugus fungsi tersebut biasanya mengandung
atom hidrogen aktif. Reaktan yang biasa digunakan yaitu alkohol
polifungsional atau poliol yang direaksikan dengan isosianat menghasilkan
ikatan karbamat atau uretan (Cheremisinoff, 1989).
Poliol dalam kimia polimer adalah senyawa yang mengandung gugus
fungsi hidroksil yang dapat digunakan untuk reaksi kimia lainnya. Aplikasi
utama poliol yaitu sebagai reaktan untuk membuat polimer. Poliol juga
dapat digunakan dalam formulasi kosmetik, pelumas, dan sebagai bahan
kimia antara (chemical intermediets)

17
Gambar 2.5 Mekanisme Pembentukan Senyawa Poliol melalui Reaksi
Hidroksilasi (Danova, dkk., 2018).
Poliol dapat disintesis dari minyak nabati melalui epoksidasi dengan
pembukaan cincin epoksida. Pembuatan poliol dari minyak nabati
melibatkan pengubahan ikatan rangkap pada rantai samping trigliserida
menjadi gugus hidroksil. (Suderajat, dkk 2017) menkonversi minyak jarak
pagar dari bentuk epoksi menjadi hidroksi dengan katalis asam (metanol).
Penelitian ini menghasilkan nilai konversi yang cukup tinggi, yaitu 93 %
dengan bilangan hidroksil mencapai 199, sedangkan nilai konversi asam
klorida 94 % dan bilangan hidroksil mencapai 197.

2.6 Busa Poliuretan


Poliuretan merupakan bahan polimer yang mengandung gugus fungsi
uretan (-NHCOO- ) dalam rantai molekulnya. Gugus fungsi ini terbentuk
sebagai hasil reaksi antara gugus isosianat dengan gugus hidroksi. Reaksi
pembentukan poliuretan dapat dituliskan sebagai berikut:

18
Gambar 2.6 Mekanisme Pembentukan Poliuretan
Poliuretan dapat disintesis dengan densitas yang bervariasi mulai dari 6
3 3
kg / m hingga 1220 kg /m serta kekuatan yang bervariasi pula mulai dari
elastomer yang sangat fleksibel plastic kaku dan rigid. Produk poliuretan
dapat berupa elastomer termoplastik linear yang lunak sampai busa termost
yang keras (Rohaeti, 2017).
Aplikasi poliuretan 70 % dimanfaatkan sebagai busa, elastomer, lem,
dan pelapis. Poliuretan dalam dunia industri berbentuk busa-busa yang kuat
dan fleksibel dengan konduktivitas yang rendah sehingga dapat digunakan
sebagai bahan isolator panas. Bidang kedokteran poliuretan digunakan
sebagai bahan pelindung muka, kantung darah dan sebagai bahan pelapis
serta pembungkus (Nofiyanti dan Nida, 2018).
Busa Poliuretan diklasifikasikan ke dalam 3 tipe, yaitu busa fleksibel,
busa rigid dan foam semi rigid. Perbedaan sifat fisik dari 3 tipe busa
poliuretan tersebut didasarkan kepada perbedaan berat molekul dengan berat
fungsionalitas poliol serta tipe fungsionalitas isosianat. Struktur busa
poliuretan dibedakan menjadi dua, yaitu tipe sel tertutup dan sel terbuka. Sel
tertutup (closed cell) merupakan sel-sel yang terpisah sehingga fase gas
pada satu sel tidak dapat berhubungan dengan fase gas pada sel lainnya. sel
terbuka (opened cell) yaitu sel-sel yang saling berhubungan mengakibtkan
gas dapat lewat dari satu sel ke sel yang lainnya. Struktur sel terbuka dan sel
tertutup tampak seperti pada gambar dibawah ini:

(a) (b)
19
Gambar 2.7 Struktur Sel pada Plastik Berpori (a) Sel Terbuka; (b) Sel
Tertutup

Busa dengan struktur sel tertutup merupakan jenis busa rigid


sedangkan busa dengan struktur terbuka adalah busa fleksibel. Busa-busa ini
dapat dibuat dengan menggunakan poliol dengan berat dan fungsionalitas
yang tepat, dan poliisosianat akan bereaksi dengan poliol untuk membentuk
busa poliuretan. Poliuretan yang lembut, elastis dan flexibel dihasilkan jika
dua gugus fungsi polietilen glikol yang biasa disebut polieter poliol
digunakan untuk menghubungkan uretan. Strategi ini digunakan untuk
membuat serat elastomer spandex dan bagian karet yang lembut seperti busa
karet. Produk poliuretan yang keras dihasilkan jika yang digunakan
polifungsional poliol (Cheremisinoff, 1989).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga April 2023 di
laboratorium Kimia lanjut, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Mataram.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan meliputi, rotary evaporator, flask reactor batch
(500 mL) dilengkapi, agitator, refluks, kondensor dan termokopel,
timbangan analitik, reactor gelas (1000 mL), oven, stirrer, mortal, alu, labu
leher tiga, pipet tetes, gelas kimia, dan alat-alat gelas standar laboratorium
lainnya.
Bahan yang digunakan berupa biji labu spons, HCl (0,2 M dan 0,5 M),
KOH (0,5 M), H2 SO 4 (0,1 M), CH 3 COOH (0,1 M), CCl3 (0,1 M), KI

20
(0,2 M), Na 2 S2 O3 (0,2 M), Na 2 S O4 (0,1 M) anhidrat, indikator kanji,
aquades, reagen hidrokloronasi, dan Fenolftalein.

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Preparasi sampel
Biji labu spons, dicuci dengan air, dikeringkan (37 °C) dan dihaluskan
dengan menggunakan alu dan mortal kemudian disimpan di dalam wadah
tertutup.

3.3.2 Ekstraksi soxhlet


Serbuk biji labu spons (20 g) diekstrak menggunakan rotary
evaporator dengan pelarut dietil eter (±6 jam) hingga semua minyak
terekstrak.

3.3.3 Reaksi epoksidasi


Labu leher tiga direndam dalam pemanas yang suhunya dikontrol
(50 °C) sebelum dilakukan reaksi epoksidasi. Metode tahapan epoksidasi
diadaptasi dari Goud, dkk., (2007) adalah minyak biji labu spons (200 mL),
ditempatkan dalam labu leher tiga dilengkapi pendingin refluks. Asam
asetat dan asam sulfat ditambahkan tetes demi tetes ke dalam minyak agar
tempraturnya tidak melonjak naik karena reaksi epoksidasi bersifat sangat
esotermik. Larutan dihomogenkan (1600 rpm) dibawah suhu dan waktu
yang bervariasi. Produk hasil reaksi kemudian didinginkan dan didekantasi
agar terjadi pemisahan senyawa organik terlarut (minyak terepoksidasi) dari
fase terlarutnya. Minyak terepoksidasi kemudian dihilangkan sisa
kontaminannya dengan aquades dan dianalisis untuk menentukan nilai
yodium serta kandungan oksirannya.

3.3.4 Uji epoksidasi


Metode yang digunakan bertujuan untuk mengevaluasi hasil dari reaksi
epoksidasi dalam dua variabel kunci, yaitu nilai iodium dan kandungan
oksiran.
A. Analisis nilai iodium

21
Nilai Iodium ditentukan dengan metode Wiji (Ketaren, 2005), adalah
minyak biji labu spons (0,5 g) dilarutkan dengan karbon tetraklorida (20
mL) dalam labu (500 mL). Pelarut wiji (25 mL) dicampurkan dalam larutan
minyak, dan kedalam dua labu (tanpa minyak) sebagai blanko. Ketiga labu
ini kemudian disimpan ditempat gelap (1 jam) pada suhu kamar. Larutan
potassium iodida (20 mL) dan air (100 mL) ditambahkan kedalam masing-
masing labu dan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat sampai titik akhir
titrasi, ditandai dengan perubahan warna menjadi kuning pucat. Titrasi
dilanjutkan dengan larutan indikator kanji (2mL) sampai warna biru hilang.
Nilai titrimetri yang diamati digunakan untuk menghitung nilai iodium.
1. Persiapan larutan potassium iodida
Larutan kalium iodida dibuat dengan melarutkan pelet KI (150 g)
dalam aquades pada labu ukur (1 L) sampai tanda batas. Larutan natrium
tiosulfat pentahidrat dibuat dengan melarutkan Na 2 S2 O3 (2,5 g) kedalam air
dan diencerkan (1 menit) dalam labu ukur (1 L).
B. Analisis oksigen oxiran
Kandungan oksiran dari minyak terepoksidasi harus dihitung untuk
menentukan jumlah ikatan tak jenuh dalam minyak biji labu spons menjadi
gugus oksiran. Prosedurnya diadaptasi dari Sigga, (1962) adalah minyak
terepoksidasi (0,2 g) ditambahkan dengan etil eter (5 mL). Reagen
hidroklorinasi dan HCl dalam etil eter (10 mL; 0,2 M) ditambahkan
kedalam labu. Campuran ini di diamkan (3 jam), kemudian dititrasi dengan
larutan natrium NaOH (0,1 M). Fenolftalein digunakan sebagai indikator.

3.3.5 Reaksi hidroksilasi


Reaksi hidroksilasi dilakukan dalam rekator gelas (1000 mL).
Reaktor kemudian diletakkan diatas pelat pemanas dengan suhu yang telah
diatur. Prosedur reaksi hidroksilasi diadaptasi dari Petrovic, dkk., (2003)
adalah Minyak terepoksidasi (150 mL) dihidroksilasi menggunakan
campuran alkohol (methanol dan isopropanol), air dan katalis asam ke
dalam reaktor. Reaksi dilakukan pada suhu dan waktu yang bervariasi.
Poliol yang dihasilkan dari reaksi ini dihilangkan kontaminannya dengan

22
aquades kemudian dianalisis dengan menggunakan parameter nilai hidroksil
dan viskositas.
A. Analisis nilai hidroksil
Kandungan hidroksil dari poliol minyak biji labu spons harus
ditentukan karena merupakan kunci kualitas dari produk poliol yang
dihasilkan. Prosedurnya diadaptasi dari Kataren (2005) yakni, nilai
safonikasi sampel ditentukan sebelum dan sesudah peroses asetilasi. Gugus
hidroksil dalam minyak pada proses asetilasi diubah menjadi ester kemudian
dianalisis nilai penyabunannya untuk menentukan jumlah gugus hidroksil.
Sampel minyak (20 mL) pada proses asetilasi dicampur asetat anhidrat
(20 mL) ke dalam labu. Campuran ini kemudian dipanaskan (2 jam),
ditambahkan aquades (50 mL) dan dipanaskan kemabali (15 menit) hingga
seluruh aquades menguap. Campuran dibiarkan dingin agar terjadi
pemisahan. Porses ini diulangi beberapa kali hingga campuran bebas
kontaminan. Minyak asetilasi kemudian dikeringkan dengan natrium sulfat
anhidrat, kemudian disaring.
1. Nilai safonikasi
Larutan kalium hidroksida alkoholik dibuat dengan melarutkan pelet
KOH (14 g dalam 100 mL methanol). Sampel minyak (5,0 g) dipindahkan
kedalam larutan kalium hidroksida (50 mL) pada labu (250 mL). Campuran
direfluks sampai minyak larut sepenuhnya. Pemanasan dilakukan (1 jam)
kemudian dititrasi dengan asam klorida (0,5 M) dan indikator Fenolftalein
sampai titik akhir titrasi yang ditandai dengan perubahan warna dari merah
muda menjadi tidak berwarna. Titrasi blanko dilakukan menggunakan
larutan kalium hidroksida dengan jumlah dan kondisi yang sama.
B. Viskositas
Viskositas minyak biji labu spons ditentukan dengan menggunakan
viskometer sederhana. Sebuah tabung dihubungkan ke lengan viskometer
(bola lampu yang lebih kecil). Viskometer kemudian direndam dalam
rektor, aquades dimasukkan kedalam viskometer sebagai standar melalui
lengan viskometer (bola lampu besar). Pipa meyedot air kedalam bola kecil
dengan laju waktu aliran tertentu.

23
24
DAFTAR PUSTAKA

Ade Danova, D. T. (2018). Pembuatan Senyawa Poliol sebagai Bahan Dasar


Pelumas melalui Reaksi Epoksidasi dan Hidroksilasi Minyak Biji
Kelor(Moringa oleifera). Jurnal UNMUL, 1(1), 51-56.

Antonius Rizky Meilano, H. S. (2017). Pengaruh Proses Degumming dan


Netralisasi Terhadap Sifat Fisiko Kimia dan Profil Asam Lemak Penyusun
Minyak Biji Gambas (Luffa acutangula Linn.). Jurnal Chica et Natura
Acta, 5(2), 50-56.

Atun, S. (2014). Metode Isolasi dan Identifikasi Struktural Senyawa Organik


Bahan Alam. Jurnal Borobudur, 8(2), 53-61.

Cheremisinoff, N. P. (1989). Handbook of Polymer and Science Thecnology. New


York: CRC Press.

Eli, R. (2018). Kajian Tentang Sintesis Poliuretan dan Karakterisasinya. Jurnal


Kimia FMIPA UNY2, 1(1), 1-9.

Hartono, R., F. A. Pitaloka dan M. M. Karina. (2014). Pembuatan Biodiesel dari


Minyak Biji Kepuh (Sterculia Foetida L.) dengan Proses Transesterifikasi.
Jurnal Untirta: 9-18.

Mariam, E. N. (2018). Sintesis dan Karakterisasi Busa Poliuretan dari Minyak


Goreng Bekas dan Toluen Diisosianat dengan Penambahan PEG-400.
Chemical Engineering Research Articles, 1(1), 21-25.

Megawati, E., Ardiansyah, A., Mukminin, A., Ariyani, D., Yuniarti, Y., & Lutfi,
M. (2022). Analisis Sifat Fisika dan Nilai Keekonomian Minyak Goreng
Bekas Menjadi Biodiesel Dengan Metode Transesterifikasi. al-Kimiya:
Jurnal Ilmu Kimia dan Terapan, 9(1), 48-54.

Muhammad Ghozali, Y. M. (2018). Sintesis Asam Oleat Terepoksidasi dengan


Katalis Asam Asetat. Jurnal Kimia dan Kemasan, 40(2), 63-70.

Pasae, Y. 2020. Biodiesel dari Asam Lemak Bercabang. Makasar: CV Nas Media
Pustaka.

Purba, E. (2018). Respon Penambahan NPK Granul dan POC Rebung Bambu
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Gambas (Luffa
acutangula). Jurnal Agroteknologi, 1(1), 18-29.

Purwaningsih, E. (2018). Pengaruh pemberian ekstrak biji Luffa acutangula Roxb


pada mencit betina galur swiss webster terhadap lama siklus estrus dan
jumlah folikel muda. Jurnal YARSI, 16(3), 198-205.
25
Ravensca, I., Saleh, C., dan Daniel, D. (2017). Pembuatan Surfaktan Berbahan
Dasar Minyak Biji Ketapang Terminalia Catappa Dengan
Trietanolamina. Jurnal Atomik, 2(2), 183-189

Rosita, J. M., Taufiqurrahman, I., dan Edyson, E. (2019). Perbedaan Total


Flavonoid Antara Metode Maserasi dengan Sokletasi pada Ekstrak Daun
Binjai (Mangifera caesia)(Studi Pendahuluan terhadap Proses Pembuatan
Sediaan Obat Penyembuhan Luka). Dentin Journal, 1(1), 100-105.

S., Abdullah. (2012). Pengaruh Waktu ReaksiI Terhadap Bilangan Hidroksil pada
Pembentukan Poliol dari Epoksidasi CPO dan Curas Oil. Jurnal
KONVERSI, 1(1), 15-26.

Saidi, N. B. (2018). Analisis Metabolisme Skunder. (S. Kuala, Ed.) Banda Aceh:
University Press.

Sahubawa, L., dan Indun, D. P. 2020. Manajemen Limbah Industri


Prikanan.Yogyakarta: Gajah Maa University Press.

Srikanta Dinda, A. V. (2018). Epoxidation of cottonseed oil by aqueous hydrogen


peroxide catalysed by liquid inorganic acids. Journal Science Direct, 1(1),
3737-3744.

Suderajat, R. I. (2018). Pembuatan Poliol dari Minyak Jarak Pagar sebagai Bahan
Baku Poliuretan. Jurnal Penel

Sule, S. Isah, M. dan Mohammed, F.G. (2020). Syinthesis of Polyol From Sponge
Gourd (Luffa aegyptiaca) Seed Oil and Production of Polyurethane Foam.
International Journal for Reserch and Technology. 2(2): 41-47.

Suleman, N., Abas, dan Paputungan, M. (2019). Esterifikasi Dan Transesterifikasi


Stearin Sawit Untuk Pembuatan Biodiesel. Jurnal Teknik, 17(1), 66-77.

Susilo, B., Retno, D., dan Ni’matul, I. 2017. Teknik Bioenergi. Malang: Tim UB
Press.

Yanisa Damayanti, A. D. (2018). Kajian Pengaruh Suhu Terhadap Viskositas


Minyak Goreng Sebagai Rancangan Bahan Ajar Petunjuk Praktikum
Fisika. Jurnal Pembelajaran Fisika, 7(3), 307-314

26

Anda mungkin juga menyukai