Anda di halaman 1dari 21

PANDANGAN SOSIAL TERHADAP PEREMPUAN SARJANA MENJADI IBU

RUMAH TANGGA (KAJIAN SOSIOLOGI GENDER)

Suci Yaliyani Arsyillah

Abstrak

Di era globalisasi peran ibu rumah tangga seringkali dianggap sebagai pekerjaan remeh dan
dikategorikan sebagai pekerjaan tidak produktif. Ketika seorang perempuan bergelar sarjana
dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga seringkali dianggap telah menyia-nyiakan
pendidikannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan perempuan dan
pilihannya untuk menjadi ibu rumah tangga meskipun bergelar sarjana daripada menjadi
wanita karir, untuk mengetahui pandangan suami terhadap istri yang menjadi ibu rumah
tangga meskipun bergelar sarjana, serta untuk mengetahui pandangan masyarakat (laki-laki
dan perempuan) terhadap perempuan bergelar sarjana yang memilih menjadi ibu rumah
tangga. Ibu rumah tangga dituntut untuk menjadi multitasking dan mampu melakukan
berbagai kegiatan dalam waktu yang bersamaan. Alasan seorang perempuan sarjana menjadi
ibu rumah tangga adalah karena keinginan mengurus anak sendiri dan memastikan keperluan
keluarga terpenuhi dengan baik. Berkaitan dengan pandangan publik terhadap perempuan
bergelar sarjana yang menjadi ibu rumah tangga, baik suami, tetangga maupun perempuan itu
sendiri tidak masalah dan mengangap sebagai hal yang biasa. Karena menjadi ibu rumah
tangga bukan penyebab perempuan tidak bisa mengembangkan keterampilannya. Pendidikan
tinggi yang dimiliki tersebut menjadi salah satu nilai lebih bagi ibu rumah tangga bergelar
sarjana tersebut dalam mengasuh anak dan megelola keperluan ruah tangga.
Kata Kunci : persepsi, perempuan sarjana, ibu rumah tangga

PENDAHULUAN

Di tengah perkembangan globalisasi peran ibu rumah tangga seringkali dianggap


sebagai pekerjaan yang remeh. Seorang perempuan yang memutuskan menjadi ibu rumah
tangga terkadang dipandang sebelah mata, seolah aktivitas yang dilakukan dari pagi hingga
malam bukan sebuah pekerjaan yang layak untuk diapresiasi. Fenomena tersebut telah
banyak ditulis dalam berbagai studi seperti tulisan Fakih (2008) dan Palulungan, dkk (2020).
Selama ini, publik menganggap pekerjaan rumah tangga adalah hal biasa, sebuah kewajiban
yang harus dipenuhi dan dijalankan sebagai seorang istri. Fakih (2008) menyampaikan bahwa
bias gender seringkali menyebabkan adanya pandangan di masyarakat bahwa jenis
“pekerjaan perempuan” seperti semua pekerjaan domestik dianggap lenih rendah dibanding
dengan jenis “pekerjaan lelaki” serta dikategorikan sebagai “tidak produktif”, sehingga tidak
dihitung dalam ststistik ekonomi negara. Pandangan seperti inilah yang membuat ibu rumah
tangga sering mendapat stereotip sebagai seorang pengangguran.

Ketika seorang perempuan lulusan sebuah universitas atau politeknik yang


memutuskan menjadi ibu rumah tangga setelah menikah sering mendapat komentar seperti,
“percuma pendidikan tingginya, jika akhirnya hanya menjadi seorang ibu rumah tangga”.
Selama ini masyarakat berpandangan bahwa mengenyam pendidikan hingga tingkat
perguruan tinggi tujuannya adalah mendapatkan pekerjaan yang layak dengan upah yang
besar. Ada yang menilai bahwa menjadi ibu rumah tangga murni adalah pekerjaan yang
sangat mulia. Ada juga yang berpendapat bahwa untuk apa perempuan sekolah tinggi namun
tidak dapat mengaplikasikan ilmunya dan menjadi ibu rumah tangga. Pendapat ini
mengilustrasikan bagaimana perempuan terus dihadapkan pada persoalan peran kultur
mengenai perempan ideal yang saat ini telah mampu berkontribsi secara nyata dalam
pembangunan (Kusmayadi, 2017). Fokus penelitian ini adalah melihat aktifitas perempuan
bergelar sarjana dalam menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, serta persepsi
mereka terhadap pandangan publik tentang perempuan bergelar sarjana yang menjadi ibu
rumah tangga.

Pendidikan untuk perempuan menjadi hal yang penting dalam upaya meningkatkan
kualitas suatu bangsa, sebab pendidikan pertama dan paling utama bagi anak adalah
lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga ibu menduduki peran utama untuk
mendidik anak. Secara tidak langsung tingkat pendidikan perempuan yang dijadikan bekal
untuk mengasuh anak menjadi salah satu tindakan mempersiapkan generasi-generasi suatu
bangsa di masa depan. Hal ini yang menjadi salah satu alasan semakin banyak perempuan
yang tertarik untuk menamatkan pendidikannya sampai ke jenjang perguruan tinggi di era
modern. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir perempuan
yang menamatkan pendidikannya hingga tingkat SMA/Sederajat dan perguruan tinggi terus
meningkat. Berdasarkan data yang bersumber dari BPS-RI SUSENAS 2009-2021 (2021)
menunjukkan angka 29,21% untuk lulusan SMA/Sederajat dan 9,67% untuk lulusan
Perguruan Tinggi, jumlah ini lebih besar dari pada tahun 2011 yang hanya sebesar 22,72%
untuk lulusan SMA/Sederajat dan 6,73% untuk lulsan Perguruan Tinggi. Maka dari itu topik
ini perlu dikaji lebih lanjut agar pandangan publik terhadap pilihan seorang perempuan untuk
menjadi ibu rumah tangga tidak lagi menjadi perdebatan publik.
Perempuan dan pekerjaan adalah isu yang sangat menarik untuk dibahas. Keberadaan
perempuan di ranah publik sering menjadi perdebatan, sebab konstruksi budaya yang
menempatkan perempuan sebagai pekerja rumah tangga. Pembagian struktur yang
menempatkan perempuan dalam bidang domestik dan laki-laki dalam bidang publik
sebenarnya adalah struktur yang membedakan wilayah kekuasaan antara perempuan dan laki-
laki. Karena bidang publik dianggap lebih penting dari keseluruhan proses sosial maka
perempuan cenderung tersubordinasi karena perempuan menempati bidang yang dianggap
kurang penting (Abdullah, 2001). Perempuan yang bekerja dan tidak terlalu mengurus
keperluan rumah dianggap sebagai istri yang kurang baik dan terlalu mementingkan karir.
Seorang perempuan yang bekerja sekaligus mengurus keperluan rumah tangga akan dianggap
sebagai ketidakadilan gender karena ada beban ganda yang harus diperankan perempuan
sebagai pekerja dan sebagai ibu rumah tangga. Akan tetapi, perempuan yang hanya
memainkan satu peran, yaitu sebagai ibu rumah tangga juga dianggap hanya bisa bergantung
kepada suaminya. Berbeda lagi dengan perempuan lulusan sarjana yang kemudian
memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, mereka sering dianggap telah menyia-nyiakan
pendidikan tinggi yang mereka miliki, sehingga keinginan tersebut sering ditentang oleh
lingkungan sekitar.

Perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja mengandalkan nafkah
yang diberikan oleh suami untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga dianggap terlalu
bergantung kepada suaminya. Berbeda dengan perempuan karir yang mampu hidup mandiri
dari hasil kerjanya sendiri. Hal ini yang menjadikan masyarakat menganggap bahwa
perempuan yang bekerja memiliki posisi lebih tinggi daripada ibu rumah tangga. Akan tetapi,
banyak pula masyarakat yang menganggap pilihan menjadi ibu rumah tangga yang
berpendidikan adalah pilihan yang tepat, sebab dalam mengelola kebutuhan keluarga dan
mengasuh anak tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pengetahuannya.

Kajian menganai topik ini sudah banyak dilakukan, seperti dalam penelitian yang
dilakukan oleh (Limilia & Prasanti, 2016) dalam penelitiannya memaparkan bahwa dalam
media online perempuan yang menjadi ibu rumah tangga cenderung lebih dimarginalkan
sebab digambarkan sebagai orang yang tidak independen, merasa bosan dan jenuh berada di
rumah, sedangkan wanita karir dinilai lebih mandiri sebab tidak menggatungkan diri kepada
suami. Penelitian ini berkaitan dengan persepsi ibu rumah tangga yang bergelar sarjana
tentang kepuusan mereka untuk aktif di sekotor domestik serta tanggapan mereka terhadap
pandangan publik terhadap ibu rumah tangga. (Setiawan, Malihah, & Komariah, 2017) dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi memiliki peran
yang besar dalam menentukan keputusan di keluarga. Pendidikan tinggi yang dimiliki oleh
seorang perempuan itu diperlukan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan perempuan
tidak hanya bermanfaat untuk memenuhi syarat mendapat pekerjaan yang layak saja, namun
dapat membantu perannya sebagai istri yang mendampingi suaminya. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh (Wulantami, 2018) tentang pilihan rasional perempuan sarjana menjadi ibu
rumah tangga. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa alasan internal seorang perempuan
karir menjadi ibu rumah tangga adalah terhindar dari stress bekerja, efektif mengasuh anak,
menghemat biaya dalam mengurus anak, memiliki waktu fleksibel, menjadi lebih mandiri,
serta lebih mengaktualisasikan diri pada hobi.

Berdasarkan pemaparan di atas maka masalah yang muncul dari penelitian ini yaitu
terjadinya ketimpangan pendapat tentang ketidaksetujuan masyarakat terhadap keputusan
perempuan bergelar sarjana yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Selain itu, alasan
perempuan menjadi ibu rumah tangga masih dianggap sebagai bentuk antisipasi laki-laki agar
tidak bersaing dalam mencari nafkah dengan istrinya. Penelitian ini dikaji dan dikembangkan
dengan tujuan untuk mengetahui pandangan perempuan dan pilihannya untuk menjadi ibu
rumah tangga meskipun bergelar sarjana daripada menjadi wanita karir, untuk mengetahui
pandangan suami terhadap istri yang menjadi ibu rumah tangga meskipun bergelar sarjana,
serta untuk mengetahui pandangan masyarakat (laki-laki dan perempuan) terhadap
perempuan bergelar sarjana yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Penelitian ini dilakukan
di Kelurahan Bringin, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang dengan melakukan wawancara
dan pengamatan terhadap dua keluarga ibu rumah tangga bergelar sarjana serta kepada tiga
masyarakat yang bertetangga dengan kedua subjek yang tinggal di kompleks perumahan
Permata Puri.

Gambaran Sosial Masyarakat Desa Bringin

Beringin merupakan salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Ngaliyan, Kota


Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Desa ini berada di jalur yang menghubungkan antara Kota
Semarang dengan Kabupaten Kendal. Wilayahnya didominasi oleh perumahan warga, namun
masih ada beberapa lahan kosong yang dijadikan tempat menanam berbagai tanaman. Akan
tetapi, lahan-lahan kosong tersebut memiliki peluang yang besar juga untuk dijadikan sebuah
mall atau gedung-gedung. Desa ini termasuk tempat yang ramai, apalagi berdekatan dengan
UIN Walisongo, sehingga di sekitar wilayah tersebut terdapat tempat perbelanjaan seperti
Superindo, MC Donald, Pizza Hut, dan beberapa tempat makan lainnya. Desa ini terdiri dari
perkampungan dan perumahan, sehingga kondisi masyarakatnya sangat heterogen.

Kelurahan Bringin meupakan bagian dari 16 Kelurahan di Kecamatan Nyaliyan yang


berada di wilayah Kota Semarang bagian barat dari Kota Semaran dengan batas-batas
wilayah sebelah utara dengan Kelurahan Tambakaji, sebelah timur dengan Kelurahan
Tambakaji dan Kelurahan Ngaliyan, sebelah selatan dengan Kelurahan Paler dan sebelah
barat berbatasan dengan Kelurahan Gondoriyo. Kelurahan Bringin, Kecamatan Ngaliyan,
Kota Semarang berjarak 3 km dari Kecamatan, 11 km dari Kota, dan 11,5 km dari Ibu Kota
Propinsi.

Kelurahan ini memiliki luas wilayah 2,87 km2, terdiri dari 21 RW, 144 RT, 1 Balai
Kelurahan, dan 1 Kantor Kelurahan. Pada tahun 2020 jumlah penduduk di kelurahan ini
sebanyak 18.728 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 3,06 periode tahun 2010-2020.
Dari 18.728 jiwa penduduk 9.303 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 9.425 jiwa berjenis
kelamin perempuan.

Aktivitas sosial masyarakat didominasi oleh hubungan interaksi yang terbentuk antar
warga. Aktivitas sosial yang terlihat seperti kegiatan saling mengunjungi tetengga yang
sedang sakit, membantu tetangga yang memiliki hajatan, dan menolong tetangga yang sedang
dalam kesulitan. Selain itu, masyarakat desa sering mengadakan pertemuan bersama di
tingkat RT maupun RW. Kegiatan sosial lainnya seperti arisan atau perkumpulan ibu-ibu
PKK, kerja bakti setiap hari Minggu, senam setiap Minggu pagi, pengajian akbar, dan
kegiatan sosial lainnya yang bertujuan untuk mempererat hubungan antar warga. Masyarakat
Desa Beringin merupakan masyarakat yang heterogen dan berasal dari berbagai latar
belakang suku, agama, dan budaya yang berbeda karena lokasinya yang ada di perumahan.
Sehingga, tidak sedikit masyarakat yang tinggal hanya untuk urusan pekerjaan dan pulang ke
daerah masing-masing di akhir pekan atau pada hari libur nasional. Pola interaksi antara laki-
laki dan perempuan terjalin dengan baik, tidak terlihat pembedaan gender dalam pola
interaksi yang terbentuk. Dalam beberapa kesepatan masih terlihat bapak-bapak membantu
istrinya membersihkan halaman rumah atau menyapu rumah. Selain itu, tampak juga bapak-
bapak yang mengajak bermain anaknya di depan rumah atau berkeliling komplek perumahan,
terutama ketika tanggal merah.
Ibu karir dan ibu rumah tangga dapat saling berinteraksi dengan baik. Meskipun ibu
karir sering tidak berada di rumah, namun mereka biasa menghadiri kegiatan perkumpulan
ibu-ibu RT di pendopo RT. Ibu-ibu yang bekerja dan ibu-ibu rumah tangga dapat berbaur
dengan baik, tidak ada yang merasa dirinya lebih unggul karena bekerja di sektor publik dan
tidak ada yang merasa lebih rendah karena hanya bekerja di sektor domestik. Apabila ada
ibu-ibu yang menghadapi masalah atau kesulitan, baik ibu karir maupun ibu rumah tangga
saling membantu satu sama lain tanpa membedakan status pekerjaan mereka. Selain itu,
meskipun ibu-ibu di komplek tersebut berbeda keyakinan agama, mereka tetap saling
menghargai satu sama lain.

Kebanyakan ibu-ibu yang tidak bekerja menyelesaikan pekerjaan rumah mereka


sendiri. Anak akan diasuh secara mandiri, pekerjaan rumah tangga akan diselesaikan sendiri,
bagi yang merasa kerepotan dalam mengurus pekerjaan rumah dan mengasuh anak akan
menggunakan tenaga tambahan untuk membantunya. Dan untuk ibu-ibu yang bekerja di
sektor domestik sekaligus berkarir di ruang publik lebih banyak memanfaatkan jasa ART dan
baby sitter. Akan tetapi beberapa ada yang meminta bantuan saudara untuk membantu
mengasuh anak, seperti bantuan dari ibu, bibi, adik, sepupu, atau saudara ipar. Dalam
kegiatan membeli bahan makanan, seperti belanja ke pasar atau ke tukang sayur kebanyakan
dilakukan oleh ibu-ibu. Biasanya ibu-ibu menunggu tukang sayur lewat atau pergi berbelanja
sendiri ke pasar dan warung terdekat. Selain mengurus keperluan rumah tangga dan
mengasuh anak, beberapa ibu juga mengisi waktu luang dengan menanam bunga di halaman
depan rumah. Sebagian yang lain memanfaatkan keterampilan memasak mereka sebagai
sarana memperoleh pendapatan dengan membangun bisnis rumahan. Sehingga tidak heran
jika di sekitar kompleks rumah warga banyak dijumpai toko maupun warung yang menjual
makanan, baju, alat tulis dan alat kantor, serta baran-barang kebutuhan rumah tangga lainnya.

Perempuan dalam Kajian Sosiologi Gender

Isu ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan menjadi perbincangan hangat
dalam dua dekade terakhir. Semua orang sepakat bahwa laki-laki dan perempuan berbeda.
Secara umum laki-laki dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan gender. Selama ini
masyarakat menganggap bahwa jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang sama. Akan
tetapi, kedua istilah ini memiliki pengertian dan makna yang berbeda. Kamanto Sunarto
(2004) menyampaikan bahwa konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan
biologis atau kondisi fisik antara laki-laki dan perempuan. Menurut Moore dan Sinclair
dalam (Sunarto, 2004) konsep seks menekankan padaperbedaan kromosom pada janin saat
dalam kandungan. Oleh karena itu, perbedaan seks berkaitan dengan perbedaan bentuk,
tinggi, berat badan, sruktur organ reproduksi dan fungsinya, suara, bulu badan, dan lain
sebagainya. Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan ini tidak dapat dirubah dan
bersifat permanen karena merupakan kodrat yang diberikan Tuhan sejak lahir.

Adapun gender adalah istilah yang digunakan untuk membedakan antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan aspek sosiokultral (Setiadi & Kolip, 2010). Gender merupakan
atribut dan perilaku yang dibentuk berdasarkan proses sosial, sehingga istilah gender merujuk
pada struktur sosial yang berkaitan dengan sikap, perilaku, hak, tugas, peran, dan fungsi yang
dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Susilowati dalam Sulaeman & Homzah
(2010:14) gender bersifat umum atau universal karena dalam masyarakat posisi perempuan
selalu dinomorduakan setelah laki-laki (Asmirah, 2017). Isu gender muncul sebagai akibat
adanya kesenjangan gender dalam masyarakat. Adanya salah satu gender yang dirugikan dan
dianggap lebih rendah menyebabkan ketidakadilan gender.

Gender sering dipahami dari perbedaan non alami seperti diskriminasi atau perbedaan
yang menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi perempuan. Gender secara tidak sadar
telah menempatkan perempuan secara nyata menjadi subordinat laki-laki. Munculnya
persoalan gender berakar pada situasi kultural yang membatasi fungsi dan peran perempuan.
Secara kultural perempuan diidentikkan dengan peran-peran di ranah domestik, sedangkan
laki-laki lebih condong pada peran-peran di ruang publik. Pada umumnya, dalam rumah
tangga beberapa pekerjaan dilakukan oleh laki-laki dan sebagian lainnya dilakukan oleh
perempuan. Pada kenyataanya berdasarkan observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa
hampir 90% pekerjaan domestik dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki hanya mengambil
sebagian kecil saja. Hal ini juga tampak dalam keluarga yang perempuannya juga bekerja,
selain fokus pada pekerjaannya merak juga harus menyelesaikan pekerjaan domestiknya.

Secara biologi, laki-laki dan perempuan memiliki alat dan fungsi reproduksi yang
berbeda. Perbedaan ini juga menimbulkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam
masarakat. Perempuan hamil, melahirkan, dan menyusui, maka perempuan dianggap sudah
seharusnya bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Setelah itu, karena mengurus anak
adalah pekerjaan yang dilakukan di rumah, maka perempuan juga dianggap memiliki
tanggung jawab secara penuh terhadap pekerjaan domestik. Oleh karena itu, perempuan tidak
diwajibkan untuk bekerja di sektor publik dan mencari nafkah bagi keluarganya. Padahal
kenyataannya, bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak,
merawat, dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural
dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, urusan mendidik anak dan merawat
kebersihan rumah tangga dapat dilakukam kaum laki-laki juga (Fakih, 2008).

Ibu rumah tangga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
seorang wanita yang mengatur dan mengelola berbagai pekerjaan rumah tangga dan tidak
diiringi bekerja di ranah publik (kantor). Dwijayanti dalam (Junaidi, 2017) mengartikan ibu
rumah tangga sebagai wanita yang banyak menghabiskan waktunya dirumah dan
memberikan waktunya untuk mengasuh dan mengurus anak-anaknya menurut pola yang
diberikan masyarakat umum. Dan Kartono dalam (Junaidi, 2017) memahami ibu rumah
tangga sebagai perempuan yang sebagian besar waktunya dipergunakan untuk mengajarkan
dan memelihara anaknya dengan pola asuh yang baik dan benar.

Menjadi ibu rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan yang ringan dan bisa
dilakukan oleh siapa saja. Padahal menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat
berat karena harus bekerja 24 jam setiap hari tanpa digaji, tanpa cuti dan waku istirahat yang
sangat sedikit. Mengurus rumah sendirian, memastikan rumah dalam kondisi bersih, tertata,
dan rapi, menyiapkan makanan dan mencuci pakaian setiap hari bukan pekerjaan yang
mudah. Selain itu, menjadi seorang ibu rumah tangga dituntut untuk menjadi multitasking,
sehingga bisa mengerjakan beberapa pekerjaan dalam waktu bersamaan. Hal ini tentunya
membutuhkan keseimbangan fisik dan mental yang baik. Terlebih lagi, ilmu ini tidak
diajarkan di bangku sekolah. Di bangku sekolah hanya diajarkan untuk melakukan sesuatu
secara bertahap dan fokus pada satu hal saja, sehingga menyelesaikan pekerjaan rumah
tangga yang tidak ada habisnya bukan sebuah perkara yang mudah.

Dalam kajian sosiologi gender, mengerjakan pekerjaan rumah tangga bagi seorang
perempuan yang sudah menikah adalah sebuah peran yang dibentuk oleh struktur sosial
budaya masyarakat. Masyarakat Indonesia yang menganut paham patriarki menempatkan
perempuan di wilayah rumah dengan tanggung jawab mengelola rumah tangga yang meliputi
aspek makanan, kesehatan, dan pendidikan anak (Bukido, 2016). Menurut teori gender,
kedudukan terpenting bagi perempuan dalam keluarga adalah sebagai seorang istri dan ibu
yang merawat anak dan mengatur keperluan rumah tangga. Untuk menjalankan peran
tersebut sebagai seorang istri dan ibu perempuan diharapkan dapat memasak, membersihkan
rumah, menjahit, serta melahirkan.

Latar Belakang Keputusan Perempuan Sarjana Menjadi Ibu Rumah Tangga

Menjadi ibu rumah tangga murni bukan keputusan yang sengaja diambil oleh Dwi
Retno setelah menikah dengan saminya, Wahyu. Pada awal menikah beliau sempat bekerja
sebagai guru di salah satu SMK Swasta selama setahun. Setelah anak pertamanya lahir beliau
memutuskan untuk cuti bekerja terlebih dahulu dan fokus mengurus anaknya yang masih
balita. Keinginan tersebut sangat didukung oleh suaminya karena gaji yang diperoleh
suaminya cukup untuk menghidupi keluarga tanpa bantuan sang istri untuk bekerja.

“Awalnya saya niat berhenti kerja itu cuma sampai anak saya besar, usia 4 atau 5
tahunan terus balik kerja lagi. Tapi, anak belum ada 4 tahun udah ada adek lagi
perempuan, saya nunda lagi. Dua tahun setelah itu ada anak lagi itu yang sekarang
masih kuliah. Ya udah karena anak yang masih kecil dan jarak yang terlalu dekat
saya fokus urusin anak aja.” (wawancara pada 12 Januari 2022)

Berdasarkan hasil wawancara, Dwi Retno menyampaikan bahwa beliau dan suami
tidak berencana untuk menitipkan anak-anaknya pada baby sitter dan memilih membesarkan
ketiga anaknya sendiri dengan alasan agar orang tua tahu perkembangan anak sejak kecil
hingga dewasa. Selain itu, menurut mereka pekerjaan mengasuh dan menanamkan nilai-nilai
sosial pada anak adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh orang tua. Semakin orang tua
dekat dengan anak maka semakin tinggi juga rasa kasih sayang anak terhadap orang tua dan
mampu menghormati orang yang lebih tua.

“Iya, alasan saya fokus jadi ibu rumah tangga terutama karena anak. Anak masih
kecil butuh kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Kalau bapaknya kerja ibunya
kerja terus yang perhatiin anak siapa? Yang nemenin anak belajar siapa? Orang
kalo abis kerja kan capek pasti, jadi pastiya kadang langsung tidur dan nggak sempet
buat nemenin anak. Pake baby sitter bisa sebenernya, uang buat bayar baby sitter
ada pasti, bapak ibu kerja semua. Tapi anak nanti deketnya sama baby sitter
gimana? Malah ga kerasan sama orangnya.” (wawancara 12 Januari 2022).

Mengasuh anak memang sebuah pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh baby sitter
maupun orang lain, akan tetapi mendidik dan memberikan afeksi adalah tugas orang tua yang
tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Karena Dwi Retno menjadi ibu rumah tangga
membuatnya memiliki tanggung jawab yang lebih dalam mengasuh dan mengurus anak-
anaknya sekaligus mengurus keperluan rumah tangga. Akan tetepi, meskipun demikian hal
tersebut tidak membuat sang suami tidak berperan dalam mengasuh anak dan menyelesaikan
pekerjaan rumah. Meskipun tidak banyak tugas rumah tangga yang diselesaikan oleh suami,
Dwi Retno memaklumi karena suaminya juga bekerja. Bagi Dwi Retno yang terpenting
adalah suaminya mau menyisihkan waktu untuk memperhatikan perkembangan anak-anak
mereka.

Berbeda dengan Dwi Retno yang tidak memtuskan menjadi ibu rumah tangga sejak
awal pernikahan, Debby telah sepakat untuk menjadi ibu rumah tangga murni sejak menikah.
Alasan yang membuat Debby memutuskan menjadi ibu rumah tangga adalah karena ingin
fokus membesarkan anaknya kelak. Apalagi beberapa bulan setelah pernikahan Debby
langsung hamil anak pertama dan saat itu kondisi fisik Debby tidak memungkinkan jika harus
bekera dengan keadaan hamil. Untuk menjaga kondisi tubuh dan calon buah hatinya, Debby
dan suami sepakat untuk membiarkan Debby tetap berada di rumah.

“Karena apa ya mbak, saya awal hamil itu kandungannya cukup lemah. Kata
dokternya saya harus banyak istirahat, jangan kerja berat. Selain itu, dari suami juga
memang bilang kalo setelah nikah saya tidak perlu bekerja, gaji dari suami sudah
lebih dari cukup untuk menafkahi saya dan anak saya nanti.” (wawancara 14 Januari
2022)

Sebagai seorang lulusan jurusan farmasi sebenarnya mudah bagi Debby untuk
mendapatkan pekerjaan dan membayar pengasuh atau asisten rumah tangga untuk mengasuh
anak dan merawat rumah. Akan tetapi, karena keinginan suami untuk mengasuh dan
membesarkan anak sendiri agar tahu perkembangan anak mereka sejak kecil suami lebih
menyarankan Debby untuk menjadi ibu rumah tangga murni. Komunikasi antara ibu dan
anak dianggap sebagai indikator untuk mengukur komunikasi orang tua dan anak, karena ibu
yang paling banyak bersinggungan dengan anak bahkan sebelum anak itu lahir. Dengan
komunikasi antara anak dan orang tua secara intensif, maka anak akan mengetahui nilai-nilai
mana yang akan dianggap baik dan nilai-nilai mana yang dianggap tidak baik.

Menjadi ibu rumah tangga murni atau menjadi perempuan karir menjadi pilihan yang
cukup sulit diputuskan oleh Debby. Akan tetapi, karena suaminya lebih menyarankan
menjadi ibu rumah tangga dan keluarga tidak mempermasalahkan, Debby memutuskan
menjadi ibu rumah tangga. Di awal pernikahan sebelum ada anak Debby sempat merasa
bosan ketika suaminya bekerja dan harus sendirian di rumah. Untuk mengatasi kebosanan
tersebut Debby menghabiskan waktu dengan melakukan pekerjaan rumah seperti memasak,
membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika, menonton drama, menonton tv atau
youtube, dan membaca buku.

Pandangan Perempuan Sarjana terhadap Keputusan Menjadi Ibu Rumah Tangga

Salah satu perempuan bergelar sarjana yang memilih menjadi ibu rumah tangga
adalah Dwi Retno (50 tahun). Dwi Retno menamatkan Pendidikan Akuntansi S1 di
Universitas Negeri Yogyakarta. Dwi Retno menikah sebelum lulus dari pendidikannya,
tepatnya setelah suaminya menyelesaikan pendidikan D3 di Politeknik Negeri Semarang dan
bekerja di sebuah kantor BUMN. Setahun setelah menikah Dwi Retno lulus dan bekerja
sebagai guru di sebuah SMA Swasta. Setelah bekerja selama setahun, Dwi Retno
memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus mengurus anak serta mendampingi suaminya
yang sering berpindah tugas ke luar daerah. Setelah berhenti bekerja beliau sempat mengikuti
seleksi CPNS beberapa kali karena gagal dan usia sudah melebihi batas minimal pendaftaran,
maka beliau semakin yakin untuk menjadi ibu rumah tangga dan membesarkan ketiga anak
perempuannya serta mendampingi sang suami yang sering dinas keluar kota. Dwi Retno
menyapaikan bahwa keputusan untuk berhenti bekerja dan fokus menjadi ibu rumah tangga
adalah murni keinginan dari dirinya sendiri tanpa ada dorongan dari pihak lain. Berdasarkan
penuturan beliau tidak ada pihak luar seperti suami, keluarga, atau teman yang menentan
keputusannya untuk menjadi ibu rumah tangga.

“Kalau menentang si enggak sebenernya, cuman istilahnya mendorong supaya


sebenarnya suruh mengajar lagi. Tapi sudah terlanjur malas karena sudah kelamaan
nganggur. Dulu pernah daftar-daftar PNS tapi nggak lolos terus udah pas batas
terakhir daftar umur 30 tahun, saya daftar dan tidak keterima ya udah terus
berhenti.”(wawancara pada 13 November 2021)

Sebenarnya setelah berhenti bekerja Dwi Retno pernah berfikir untuk bekerja
kembali, namun karena sudah terlanjut berhenti, suami sering dinas keluar kota dan usia
anak-anak yang masih kecil membuat beliau yakin untuk menjadi ibu rumah tangga.
Berkaitan dengan pandangan publik terhadap ibu rumah tangga bergelar sarjana, Dwi Retno
tidak terlalu peduli karena menurutnya ibu rumah tangga bergelar sarjana dan ibu rumah
tangga bukan sarjana pasti memiliki perbedaan dalam mengelola urusan rumah tangga dan
mendidik anak. Menurut beliau menjadi ibu rumah tangga bergelar sarjana adalah sebuah
kebanggan tersendiri, sebab pola asuh orang tua terhadap anak sangat dipengaruhi oleh
pendidikan yang dimiliki oleh orang tuanya.

“Sebenernya saya dibawah santai aja, cuma saya punya pikiran kalau ibu rumah
tangga yang istilahnya non sarjana mesti ada perbedaan, terutama cara pandang
untuk mendidik anak. Dan saya walaupun memang tidak bekerja, tapi istilahnya tidak
bekerja secara formal (domestik), cuman saya jadinya bisa mendampingi anak-anak
untuk berkegiatan dan belajar sepenuhnya, mendampingi anak-anak di rumah karena
memang suami juga walaupun saya mengikuti ke luar kota tapi akhirnya ya sering
dinas-dinas. Nah, saya merasa kasihan sama anak-anak.”(wawancara pada 13
November 2021)

Dwi Retno mengaku merasa nyaman dengan peran yang dijankannya sekarang.
Dengan menjadi ibu rumah tangga menjadikannya lebih bebas untuk memilih mendampingi
suami atau menemani anaknya. Apalagi, sekarang ketiga anaknya sudah dewasa, anak
pertama dan kedua sudah bekerja di luar kota serta anak ketiga yang masih kuliah di Kota
Semarang. Meskipun demikian, menjadi ibu rumah tangga terkadang menimbulkan
kebosanan tersendiri bagi Dwi Retno, terutama ketika suami pergi bekerja, anak kuliah, dan
semua pekerjaan rumah sudah terselesaikan. Dalam menghilangkan kebosanan tersebut, Dwi
Retno biasanya menyibukkan diri dengan berkebun, belajar membuat kue, menonton TV,
atau berkunjung ke rumah teman dan saudara.

Menjadi ibu rumah tangga setelah menikah juga menjadi pilihan bagi Debby (25)
yang seorang lulusan S1 Farmasi. Keputusan tersebut merupakan hasil kesepakatan dengan
suaminya yang bekerja sebagai karyawan salah satu perusahaan swasta di Semarang. Alasan
suami menginginkan Debby menjadi ibu rumah tangga adalah agar bisa fokus membesarkan
anak pertama mereka yang berusia satu tahun. Keputusan tersebut mendapat banyak
tanggapan dari orang sekitar seperti tetangga, teman, dan saudara. Kebanyakan orang sekitar
memaklumi keputusan tersebut dan mendukung keinginan Debby menjadi ibu rumah tangga.
Keluarga besar keduanya juga sangat mendukung keinginan Debby dan suami serta tidak
mempermasalahkannya.

“Keluarga sih dukung aja, lagi pula tujuannya juga biar bisa merawat baby dengan
fokus. Awalnya masih sempet bingung sama ragu, karena apa ya, kan baru lulus
pinginnya cari pengalaman kerja dulu. Tapi, kata keluarga ga papa ya udah dari
setelah nikah di rumah. Saya juga kan belum setahun ya udah hamil juga, jadi ya
gitu.”(wawancara pada 16 November 2021)

Meskipun mengurus anak dan mengelola keperluan rumah tangga adalah tugas yang
harus dikerjakan Debby sebagai ibu rumah tangga, namun suaminya ikut membantu
meringankan beban pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan Debby. Pada hari
libur suami Debby sering menggantikan tugasnya untuk mencuci dan menjemur pakaian,
khususnya ketika tidak ada tugas kantor yang harus diselesaikan di hari libur. Selain itu,
urusan berbelanja bahan makanan juga dikerjakan oleh suami. Debby mengaku bahwa
semenjak usia kandungannya 7 bulan suaminya tidak mengizinkan untuk keluar rumah
kecuali ada yang menemani, dan kebetulan mereka hanya tinggal berdua sehingga suaminya
mengambil alih pekerjaan yang mengharuskan keluar rumah.

Debby tidak pernah merasa menyesal dengan keputusannya untuk menjadi ibu rumah
tangga, selama apa yang dilakukan untuk kebaikan suami dan anaknya. Menurutnya tidak ada
salahnya seorang wanita bergelar sarjana menjadi ibu rumah tangga karena apa yang
dilakukan juga salah satu upaya agar anaknya tumbuh dengan baik. Dengan begitu secara
tidak langsung telah berkontribusi dalam mencerdaskan generasi-generasi muda calon
penerus bangsa. Keluarga adalah pendidikan pertama bagi anak dan ibu adalah guru pertama
bagi anak, sehingga cara ibu mendidik anak akan berpengaruh pada kecerdasan anak. Salah
satu unsur yang berpengaruh terhadap pola asuh anak adalah pendidikan yang didapat orang
tua, karena tingkat pendidikan menjadi salah satu unsur yang menentukan pola pikir
seseorang.

Keputusan Dwi Retno dan Debby untuk menjadi ibu rumah tangga bergelar sarjana
menunjukkan bahwa pendidikan yang diperoleh dari bangku perkuliahan tidak hanya sebagai
syarat untuk mendapat pekerjaan saja, namun menjadi bekal dalam mengasuh anak. Selain
itu, perempuan menjadi ibu rumah tangga tidak selamanya berkonotasi pada wujud
ketidaksetaraan gender, sebab menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir bagi wanita
merupakan hak yang dapat mereka pilih. Perempuan sebagai ibu dan istri meskipun menjadi
ibu rumah tangga tidak akan menghalangi mereka untuk berkarya dan mengembangkan
keterampilan yang mereka miliki, sebab waktu luang yang mereka miliki dapat digunakan
untuk mengembangkan skill dan hobi yang dimiliki. Menjadi ibu rumah tangga tidak
menghalangi seorang perempuan lulusan sarjana untuk ikut berkontribusi dalam
meningkatkan kesejahteraan bangsa, karena banyak juga usaha besar yang dimulai dari usaha
rumahan yang dijalankan oleh ibu rumah tangga.

Pandangan Suami terhadap Ibu Rumah Tangga Sarjana

Dalam pandangan gender tugas utama seorang laki-laki yang berstatus suami adalah
mencari nafkah bagi istri dan keluarganya. Perbedaan laki-laki dan perempuan secara gender
mendorong masyarakat berpandangan bahwa peran seorang istri adalah mengurus keperluan
rumah tangga dan tidak memiliki kewajiban bekerja di sektor publik. Oleh karena itu, banyak
juga masyarakat yang masih menganggap bahwa pendidikan tinggi tidak diperlukan bagi
seorang perempuan. Padahal pendidikan tinggi seseorang sangat berpengaruh terhadap
pemikirannya dalam memutuskan suatu kepuusan. Pendidikan tinggi yang dimiliki
perempuan berpengaruh terhadap perannya dalam keluarga dan masyarakat (Setiawan,
Malihah, & Komariah, 2017).

Dalam keluarga perempuan memiliki peran untuk mengambil keputusan dalam


menentukan tugas yang harus dikerjakan oleh anggota kelarga serta segala keputusan yang
berkaitan dengan keperluan anggota keluarga. Dalam pengambilan keputusan keluarga
perempuan berpendidikan tinggi memiliki peran yang besar. Maka, suatu kewajaran jika
perempuan dapat mendominasi laki-laki dalam menentukan keputusan urusan rumah tangga.
Dengan pengetahuan dan wawasan perempuan yang luas, perempuan dapat bertindak sebagai
pengambil keputusan utama dalam rumah tangga. Oleh karena itu, Wahyu (51 tahun) yang
merupakan suami dari Dwi Retno berpendapat bahwa pendidikan seorang perempuan sangat
berpengaruh terhadap kemampuannya dalam mengelola urusan rumah tangga. Dalam
wawancara Beliau mengatakan:

“Meski tidak bekerja perempuan itu wajib memiliki pendidikan yang tinggi, karena
jaman sekarang laki-laki yang menginginkan memiliki istri sebagai ibu rumah tangga
mencari perempuan yang minimal lulusan D3 atau lulusan bangku kuliah.
Perempuan yang lulusan SMA dengan perempuan lulusan kuliah pasti beda pola
pikirnya, beda cara mengelola keperluan keluarganya, beda juga cara mendidik
anaknya. Jadi ya, walaupun nanti tidak bekerja setelah menikah perempuan itu wajib
punya pendidikan yang tinggi. Makanya saya mewajibkan anak-anak saya yang
perempuan untuk kuliah, supaya jadi bekal dia waktu udah menikah nanti.”
(wawancara pada 13 November 2021)
Perempuan memang bukanlah satu-satunya pihak yang memegang peranan utama
dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, pendapat istri sebagai pendamping suami sangat
menentukan pengelolaan urusan rumah tangga yang akan dikerjakan oleh anggota keluarga.
Selain itu, menentukan suatu keputusan suami juga membutuhkan persetujuan istri sebagai
pendampingnya dalam mengelola urusan rumah tangga. Bagi Wahyu keputusan sang istri
untuk menjadi ibu rumah tangga adalah hak yang dimiliki oleh istrinya, sebab perempuan
adalah yang memiliki kendali atas keputusan hidup yang akan mereka jalani.

Dalam pola asuh terhadap anak perempuan bergelar sarjana dan perempuan tidak
bergelar sarjana tentunya memiliki perbedaan pola pikir. Oleh karena itu, hal ini yang
membuat Rayyan (27 tahun) memilih Debby sebagai istrinya sebab menurutnya perempuan
bergelar sarjana tentunya memiliki jalan pemikiran yang lebih terbuka. Hasil belajar yang
didapatkan selama di perguruan tinggi menjadi bekal bagi perempuan dalam mengurus rumah
tangga. Sebenarnya tidak semua materi yang diajarkan di bangku kuliah dapat diprakekkan
dalam kehidupan sehari-hari, namun dengan kuliah akan melatih seseorang untuk berpikir
kritis. Hal ini sangat diperlukan ketika mengambil keputusan dalam keluarga.

Bagi Wahyu maupun Rayyan tidak masalah jika istri mereka yang bergelar sarjana
memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, karena menurut mereka dengan menjadi ibu
rumah tangga perempuan juga dapat mempraktekkan ilmu yang didapat ketika kuliah. Selain
itu, pendidikan perempuan juga berpengaruh terhadap pemilihan keputusan mereka dalam
mengasuh anak. Sebagai contohnya dalam memilih sekolah, universitas, jurusan, dan
pekerjaan yang memberi kebebasan kepada anak untuk memilih, tetapi tetep diarahkan agar
sesuai minat, bakat, dan kemampuan. Perempuan sebagai sekolah pertama bagi anak harus
memiliki cara pandang yang luas, sehingga anak dapat tumbuh dengan karakter yang baik.

Pandangan Masyarakat Terhadap Perempuan Sarjana Yang Menjadi Ibu Rumah


Tangga

Bu Jati adalah salah seorang warga yang bertetangga lama dengan keluarga Bu Dwi
Retno. Sudah hampir 10 tahun lebih mereka bertetangga, sehingga Bu Jati sangat mengenal
keluraga Bu Dwi Retno dengan baik. Menurut Bu Jati sebagai seorang tetangga Bu Dwi
Retno dikenal sangat baik. Selain sangat sopan, santun, peduli, dan sangat menghormati
tetangga, Bu Dwi Retno dikenal aktif mengikuti berbagai kegiatan sosial yang diadakan di
sekitar kompleks perumahan, seperti arisan RT, ibu-ibu PKK, senam bersama, dan ikut
mengunjungi tetangga yang sakit.

“Saya sudah kenal lama sama Bu Wahyu, sejak saya pertama kali pindah ke sini 10
tahun lalu. Beliau orangnya sangat baik, sopan, dan suka berbagi dan suka
menolong tetanga yang lagi butuh bantuan. Kayak kemarin pas suami Bu David
meninggal dan dimakamkan di Bogor, beliau juga ikut ke sana anterin Bu David
bareng sama saya dan beberapa tetangga lainnya.” (wawancara pada 17 Januari
2022).

Bagi Bu Jati tidak masalah seorang perempuan bergelar sarjana memilih menjadi ibu
rumah tangga dan fokus mengurus keluarganya. Menurut beliau pendidikan tinggi yang
dimiliki tersebut mejadi salah satu unsur penting dalam mengelola rumah tangga dan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tempat tinggal. Perempuan yang memtuskan
menjadi ibu rumah tangga sama hebatnya dengan perempuan yang berkarir di ranah publik.
Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi bukan hanya untuk mencari pekerjaan atau
berkarir, tapi untuk mendidik anak-anaknya.

“Walaupun saya hanya lulusan SMA, tapi saya tidak pernah mikir kalau lulusan
sarjana terus jadi ibu rumah tangga itu menyia-nyiakan pendidikannya. Lha
nyatanya ibu adalah pendidikan pertama bagi anak, makanya tingkat pendidikan ibu
juga berpengaruh kepada si anaknya nanti. Bu Wahyu lulusan sarjana bisa mendidik
anak-anaknya dengan baik. Itu anaknya sopan-sopan semua, kalau ketemu saya ya
nyapa dulu.” (wawancara 17 Januari 2022)

Pendapat lain disampaikan oleh Bu David sebagai tetangga yang cukup dekat dengan
Dwi Retno menunjukkan bahwa awalnya beliau juga sempat bertanya kepada Dwi Retno
alasan yang membuatnya menjadi ibu rumah tangga. Karena bagi beliau yang seorang
karyawan sebuah perusahaan swasta dan menyandang gelar sarjana sudah sewajarnya bagi
perempuan yang berpedidikan hingga tingkat perguruan tinggi memilih berkarir di ranah
publik dari pada hanya menjadi ibu rumah tangga. Bagi Bu David yang sejak sebelum
menikah telah bekerja sangat sulit dan sangat disayangkan apabila harus meninggalkan
pekerjaan dan fokus menjadi ibu rumah tangga.

“Tapi saya sendiri, sebagai wanita karir tidak masalah jika ada perempuan yang
sarjana dan jadi ibu rumah tangga saja. Karena ibu rumah tangga itu pekerjaan
yang mulia, tidak semua perempuan bisa.” (wawancara 15 Januari 2022)
Sebagai seorang wanita karir yang juga menjadi ibu rumah tangga, Bu David cukup
menyayangkan jika perempuan berpotensi tidak melanjutkan pekerjaannya, apalagi jika
mendapat ijin dari suami untuk tetap bekerja sambil mengrus keperluan keluarga. Namun, Bu
David tidak menganggap remeh pekerjaan rumah tangga dan memberikan apresiasi kepada
perempuan yang dapat mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian tanpa bantuan asisten
rumah tangga. Ilmu yang didapat di perguruan tinggi juga tidak akan hilang percuma hanya
karena peempuan berhenti bekerja dan memutuskan fokus pada perannya sebagai ibu rumah
tangga. Ilmu yang tinggi itu yang nantinya menjadi bekal bagi perempuan dalam menyikapi
permasalahan rumah tangga yang sangat beragam.

“Pendidikan itu tidak hanya sebagai gelar. Walaupun kuliah tinggi terus nggak
kerja, tapi berhasil membesarkan anak dengan baik, bisa mengurus keperluan rumah
dengan baik artinya sudah bisa mengamalkan ilmu yg didapat dari wakt kuliah
dalam kehidupan sehari-hari. Kan walau jadi ibu rumah tangga Bu Wahyu sama
Mbak Debby nggak nganggur di rumah aja. Mereka juga rawat anak dan ngurus
keperluan rumah, malah kalo Bu Wahyu saya liat kadang suka nanem bunga juga.”
(wawancara 15 Januari 2022)

Pak Jati, suami dari Bu Jati juga tidak merasa keberatan dengan keputusan perempuan
sarjana yang menjadi ibu rumah tangga. Bahkan beliau mengaku akan lebih senang jika
seorang istri lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah untuk mengurus anak dan
menyiapkan makan keluarga. Gelar sarjana yang dimiliki perempuan tersebut bagi Pak Jati
akan menjadi nilai lebih sebagai ibu rumah tangga, sebab tingkat pendidikan dan jumlah ilmu
yang diliki akan berpengaruh terhadap cara pandang menghadapi masalah, cara mengasuh
anak, dan cara mengelola kebutuhan rumah tangga.

Sebagai masyarakat yang bertetangga dekat dengan Debby, Bu Agus menyampaikan


bahwa beliau belum terlalu mengenal dekat Debby sebab baru setahun Debby dan suaminya
tinggal di komplek perumahan tersebut. Akan tetapi, sebagai seorang tetangga Debby cukup
sopan dan baik meskipun jarang berpartisipasi dalam kegiatan RT. Debby dan suaminya
dikenal jarang keluar rumah kecuali untuk kegiatan pekerjaan maupun keperluan lain seperti
membuang sampah, berbelanja, maupun keperluan mendesak lainnya. Walaupun demikian,
setiap Debby dan suaminya pulang kampung halaman mereka berdua membagikan oleh-oleh
kepada tetangga samping dan depan rumah.
“Kalau Mbak Debby sama Mas Rayyan memang jarang keluar rumah. Saya liat
keluar Cuma pas Mas Rayyan pergi kerja waktu pagi, sama Mbak Debby buang
sampah di depan. Itu rumput depan rumah aja sampe panjang-panjang karena ndak
dibersihin. Tapi mereka sopan, Mbak. Kalau pas ketemu ya nyapa ‘bu’ gitu. Pas
mudik kemarin juga saya dibawain kripik. Yah baik orangnya, mungkin masih
sungkan juga ya karena pindah belum lama ini.” (wawancara 18 Januari 2022)

Bu Agus dan Pak Agus sangat mendukung keputusan seorang perempuan yang ingin
menjadi ibu rumah tangga meskipun bergelar sarjana. Menurut mereka jika suami dapat
mencukupi kebutuhan keluarga lebih baik perempuan fokus pada perannya sebagai istri dan
ibu. Keputusan tersebut bukan berarti adanya diskriminasi pekerjaan publik bagi perempuan
karena dalam agama pun telah dijelaskan bahwa mencari nafkah adalah kewajiban bagi
suami. Akan tetapi, jika suami dan istri setuju jika perempuan juga bekerja serta keperluan
rumah tangga dan pengasuhan anak terpenuhi dengan baik tidak salah juga bagi perempuan
untuk bekerja. Pak Agus juga menambahkan bahwa pendidikan memeng tidak menjamin
seseorang akan bersikap dewasa atau bersikapbaik, namun dengan pendidikan yang tinggi
tersebut dapat dijadikan bekal ketika berumah tangga. Selain itu, meskipun tidak dapat
bekerja di sektor publik ibu rumah tangga dapat memperoleh penghasilan sendiri dengan
membuka usaha rumahan maupun berdagang online. Kemudian menurut Pak Agus dan Bu
Agus menjadi ibu rumah tanga bukan pekerjaan yang mudah dan tidak dapat digolongkan
sebagai pengangguran sebab sudah jelas bahwa pekerjaan rumah tangga sebenarnya tidak ada
habisnya dan tidak ada liburnya.

Kesimpulan

Stereotype publik terhadap pendidikan perempuan menjadi salah satu alasan masih
banyak perempuan yang tidak menamatkan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.
Konstruksi sosial akan peran perempuan yang lebih didominasi pekerjaan rumah tangga
adalah salah satu produk budaya patriarki yang masih melekat dalam masyarakat. Akan
tetapi, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mulai banyak perempuan yang sadar akan
pentingnya pendidikan, hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah perempuan
yang lulus dari tingkat SMA/Sederajat dan tingkat Perguruan Tinggi. Selain itu, dari masa ke
masa tingkat partisipasi perempuan dalam dunia publik juga semakin meningkat. Sejalan
dengan hal tersebut, banyak perempuan yang mengejar pendidikan sampai tingkat perguruan
tinggi dengan harapan mendapat pekerjaan yang layak. Di samping itu, masyarakat juga ada
yang beranggapan bahwa pendidikan perempuan menjadi sia-sia apabila hanya menjadi ibu
rumah tangga.

Berdasarkan hasil penelitian di Desa Bringin tepatnya di Perumahan Permata Puri,


masih ada perempuan bergelar sarjana yang memilih menjadi ibu rumah tangga dari pada
berkarir untuk mencari nafkah. Keputusan menjadi ibu rumah tangga ada yang berdasarkan
keinginan sendiri dan ada yang didorong oleh keinginan suami. Bagi mereka menjadi ibu
rumah tangga tidak termasuk dalam pembatasan terhadap perempuan karena baik suami
maupun istri telah mendiskusikan keputusan tersebut sebelumnya. Pandangan publik terhadap
peran perempuan yang identik dengan pekerjaan domestik menjadi bagian dari budaya
patriarki yang masih melekat hingga saat ini.

Ada banyak faktor yang menyebabkan perempuan memilih menjadi ibu rumah
tangga, salah satunya adalah karena ingin terlibat secara langsung dalam pengasuhan anak.
Selain itu, ada juga yang mengikuti dinas suami keluar kota sehingga kesulitan untuk
mendapat pekerjaan. Keputusan menjadi ibu rumah tangga tidak menghalangi perempuan
untuk mengembangkan keterampilan dan hobi yang dimiliki. Selain itu, perspektif tentang
ibu rumah tangga seorang pengangguran perlu dirubah sebab meskipun tidak bekerja di
publik perempuan menyelesaikan pekerjaan domestik yang berat dan tidak mendapat bayaran
apapun. Berkaitan dengan keputusan perempuan menjadi ibu rumah tangga bukan sebuah
bentuk subordinasi suami terhadap istri apabila keputusan tersebut berdasarkan kesepakatan
dari kedua belah pihak. Banyak yang setuju apabila pendidikan tinggi yang dimiliki oleh ibu
rumah tangga memberikan nilai tambah dalam mengurus keperluan rumah tangga dan
berpengaruh positif terhadap pola asuh terhadap anak. Oleh karena itu, baik perempuan
sarjana tersebut, suami, maupun lingkungan tidak mempermasalahkan keputusan perempuan
berpendidikan sarjana untuk mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga.

Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2021. Satatistik Pendidikan 2021 (Katalog 4301002). Jakarta:
Badan Pusat Statistik. https://wwwbps.go.id [diakses pada 21 Januari 2022]
Abdullah, I. (2001). Seks, Gender, & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: TARAWANG
PRESS.

Ainiyah, Q. (2017). Urgensi Pendidikan Perempuan Dalam Menghadapi Masyarakat Modern.


Halaqa: Islamic Education Journal 1 (2), 97-109.

Asmirah. (2017). Sosiologi Wanita, Gender, dan Ketenagakerjaan. Makassar: Pena Indis.

Bukido, R. (2016). Dikotomi Gender (Sebuah Tinjauan Sosiologis). Jurnal Al-Syi'ah Vol. 4
No. 2.

Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress.

Junaidi, H. (2017). Ibu Rumah Tangga: Streotype Perempuan Pengangguran. An Nisa'a,


12(1), 77-88.

Kusmayadi, R. C. (2017). Proses Pengambilan Keptusan dalam Kelarga (Studi Mengenai


Pekerja Wanita Dalam Industri Pengolahan Tembakau Pr. Tali Jaaddi Desa
Gondowangi Kecamatan Wagir Kabuaten Malang). Gender Equality: International
Journal of Child and Gender Studies, Vol.3, No. 1, 1-10.

Limilia, P., & Prasanti, D. (2016). Representasi Ibu Bekerja Vs Ibu Rumah Tangga di Media
Online. Kafa'ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender, 133-154.

Palulungan, L., Ghufran, M., K, K., & Ramli, M. T. (2020). Perempuan, Masyarakat
Patriarki & Kesetaraan Gender. Makassar: Yayasan bursa Pengetahuan Kawasan
Timur Indonesia (BaKTI).

Setiadi, E., & Kolip, U. (2010). Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial, Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana.

Setiawan, E., Malihah, E., & Komariah, S. (2017). Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perempuan Berpendidikan Tinggi Berperan sebagai Pengambil Keputusan dalam
Keluarga di Kelurahan Isola. Sosietas, Vol 7, No 1, 329-334.

Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia.

Wulantami, A. (2018). Pilihan Rasional Keputusan Perempuan Sarjana Menjadi Ibu Rumah
Tangga. Dimensia, Vol 7, No 1, 1-22.

Anda mungkin juga menyukai