Anda di halaman 1dari 4

Menyiapkan Diri Menyambut Bulan Muharram

Jamaah yang Dirahmati Allah

Tidak lama lagi umat Islam akan memasuki bulan Muharram 1444 H. Dengan demikian, marilah
kesempatan hadir di masjid ini kita jadikan sarana untuk meningkatkan takwallah. Perwujudannya
adalah dengan menjalankan perintah dan menjauhi yang dilarang. Percayalah, takwa kepada Allah
SWT merupakan bekal terbaik dalam hidup.

Hadirin yang Berbahagia


Tahun hijriah seperti juga tahun masehi merupakan bagian dari fenomena alam biasa. Secara
ringkas, bila kalender masehi mendasarkan penghitungan pada peredaran bumi mengelilingi
matahari, kalender hijriah mengacu pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Karena itulah
kita sering mendengar kalender hijriah disebut pula kalender qamariyah (qamar artinya
bulan), sedangkan kalender masehi dikenal dengan sebutan kalender syamsiyah (syams
artinya matahari).

Namun demikian, di balik posisinya sebagai gejala alam tersebut, terdapat keistimewaan-
keistimewaan karena agama memang menjadikannya demikian. Islam mengajarkan bahwa
ada kelebihan-kelebihan tertentu antara satu bulan dengan bulan yang lain dalam kalender
hijriah. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 36: 
Artinya: Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana)
dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada
empat bulan haram (mulia). Itulah (ketetapan) agama yang lurus.    

Ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak semua bulan berkedudukan sama. Dalam Islam ada
empat bulan utama di luar Ramadhan, yakni Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Karena kemuliaan bulan-bulan itulah, Islam menganjurkan pemeluknya untuk memanfaatkan
momentum tersebut sebagai ikhtiar memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada
Allah. Mereka didorong untuk memperbanyak puasa, dzikir, sedekah, dan solidaritas kepada
sesama. 

Dalam Ihya’ Ulûmid-Dîn, Imam Al-Ghazali mengenalkan istilah al-ayyâm al-fâdhilah atau
hari-hari utama. Menurutnya, hari-hari utama selalu dijumpai dalam tiap pekan dan bulan.
Al-Ghazali juga menyebut istilah al-asyhur al-fâdlilah yakni bulan-bulan utama. Bulan-bulan
utama ini juga selalu dijumpai di tiap tahun.    

Waktu adalah salah satu dari makhluk Allah, seperti juga manusia, jin, dan binatang. Namun,
sebagaimana ada tempat-tempat utama, seperti Multazam, Masjid Nabawi, Masjidil Haram,
dan lainnya, waktu pun demikian. Dalam tiap rentang waktu tertentu yakni hari, pekan, bulan,
dan tahun selalu terkandung bagian waktu yang diistimewakan, misalnya waktu antara
maghrib dan isya, sepertiga malam terakhir, hari Jumat, bulan Ramadhan, bulan Muharram,
dan lain sebagainya. Dalam waktu-waktu spesial itulah pahala bisa dilipatgandakan, dosa-
dosa bisa dihhapus, dan doa-doa kemungkinan besar dikabulkan.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Allah memang telah menganugerahi kita kesempatan emas yang demikian banyak. Allah
mengutamakan waktu tertentu karena hendak memberi keutamaan kepada sejumlah hamba-
Nya. Sebagaimana keterangan Ibnu ‘Asyur saat menafsirkan surat At-Taubah ayat 36 di atas:

Artinya: Ketahuilah bahwa dimuliakannya sejumlah waktu dan tempat tertentu merupakan
kehendak dimuliakannya manusia, melalui perbuatan-perbuatan baik dan akhlak mulia yang
mereka lakukan. (Muhammad Ibnu ‘Asyur dalam At-Tharîr wat Tanwîr)
Hadirin yang Terhormat

Pernyataan Ibnu ‘Asyur mengandung pengertian bahwa kemuliaan bulan tertentu tidak
mutlak berarti kemuliaan umat Islam secara otomatis. Kemuliaan umat Islam mengandung
syarat, yakni ketika mereka mau mengisi waktu-waktu khusus tersebut dengan amal salih dan
akhlakul karimah. Keutamaan bulan-bulan khusus adalah satu hal, dan keutamaan pribadi
orang-orang Islam adalah hal yang lain. Keistimewaan bulan Muharram adalah satu soal,
sementara keistimewaan individu-individu kaum muslimin adalah soal lain. Hal tersebut
sangat tergantung bagaimana kita umat Islam merespons keutamaan-keutamaan yang
diberikan Allah kepada kita: Apakah mengisinya dengan baik atau tidak.

Di antara amalan yang amat dianjurkan di bulan pertama kalender hijriah ini adalah puasa.
Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dijelaskan: Seseorang datang menemui Rasulullah SAW
dan bertanya: Setelah Ramadhan, puasa di bulan apa yang lebih afdhal? Nabi menjawab:
Puasa di bulan Allah, yaitu bulan yang kalian sebut dengan Muharram.

Penyebutan Muharram sebagai bulan Allah atau syahrullâh menunjukkan posisi bulan ini
yang amat spesial. Melalui riwayat Ibnu Majah pula, puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram)
disebut sebagai bagian dari amalan untuk menghapus dosa-dosa setahun yang telah lewat.
Selain 10 Muharram, puasa juga masih dianjurkan pada hari-hari lain di bulan ini.

Amalan lain yang bisa digiatkan adalah meningkatkan solidaritas antarsesama. Kebanyakan
umat Islam, utamanya di Indonesia, menjadikan momen Muharram sebagai lebaran anak
yatim dengan memberikan santunan kepada anak-anak yang kehilangan orang tua dan secara
ekonomi lemah.

KH Shaleh Darat dalam Lathaifut Thaharah wa Asrarus Shalah mengistilahkan 10 Muharram


sebagai bagian dari hari raya umat Islam yang layak diperingati dengan sedekah kepada fakir
dan miskin. Tentu saja menyantuni anak yatim atau membantu siapa pun yang butuh
pertolongan tak terikat dengan waktu. Tapi Muharram adalah momen sangat baik untuk
menunjukkan kepedulian sosial kita.

Bulan mulia harus diisi dengan perbuatan mulia. Al-a‘mâl as-shâlihah wal akhlâq al-karîmah yang
disebut Ibnu ‘Asyur harus hadir jika kita ingin meraih berkah keutamaan bulan Muharram.
Pengertian amal salih dan akhlak mulia amat luas, mencakup ibadah dengan Allah, berhubungan
dengan masyarakat, atau sikap kita terhadap lingkungan alam kita.

Muharram merupakan bulan yang bagus untuk mengawali tahun dengan perbuatan dan
perangai positif. Muharram bisa dikatakan cerminan langkah awal kita untuk menapaki 11
bulan berikutnya di pembukaan tahun baru hijriah ini. Karenanya, khatib mengajak kepada
diri sendiri dan jamaah sekalian untuk memuliakan bulan ini dengan menjernihkan hati,
membenahi perilaku, dan memperindah karakter kepribadian kita.

Anda mungkin juga menyukai