Anda di halaman 1dari 113

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF TAFSIR INDONESIA

(Kajian Terhadap Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah)

Skripsi ini Diajukan


Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Enung Nurlaela
(17210822)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1442 H/2021 M
EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF TAFSIR INDONESIA
(Kajian Terhadap Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah)

Skripsi ini Diajukan


Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Enung Nurlaela
(17210822)

Dosen Pembimbing
Iffaty Zamimah, S. Th,I. M.Ag

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1442 H/2021 M
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Pandangan Mufasir Indonesia Tentang Tindakan


Euthanasia” yang disusun oleh Enung Nurlaela Nomor Induk Mahasiswa:
17210822 telah melalui proses bimbingan dengan baik dan dinilai oleh
pembimbing telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan dalam sidang
munaqasyah.

Jakarta, 24 Agustus 2021


Pembimbing

Iffaty Zamimah, S.Th.I, MA

i
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF TAFSIR
INDONESIA” (Kajian Terhadap Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah) oleh
Enung Nurlaela dengan NIM 17210822 telah diujikan pada sidang
Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ)
Jakarta pada tanggal 26 Agustus 2021. Skripsi telah diterima sebagai salah satu
Syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag).

No Nama Jabatan Tanda Tangan


1 Dr.Muhammad Ulinuha, Ketua Sidang
Lc. MA
2 Upi Zahra, M. Ikom Sekretaris Sidang

3 Ali Mursyid M. Ag Penguji I

4 Sofian Effendi, MA Penguji II

5 Iffaty Zamimah, M.Ag Pembimbing

Ciputat, 31 Agustus 2021


Mengetahui,
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.

Dr. Muhammad Ulinuha, Lc. MA

ii
PERNYATAAN PENULIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Enung Nurlaela

NIM : 17210822

Tempat/Tgl. Lahir : Purwakarta, 03 November 1998

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pandangan Mufasir Indonesia


Tentang Tindakan Euthanasia” adalah benar-benar asli karya penulis kecuali
kutipan-kutipan yang sudah disebutkan. Kesalahan dan kekurangan di dalam
karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 18 Agustus 2021


Saya yang menyatakan

Enung Nurlaela
NIM. 17210822

iii
MOTTO

ِ ِ‫اِجِهِدِِوِلِاِتِكِسِلِِوِلِاِتِكِنِِغِافِلاِِفِنِدِامِتِِالعِقِبِاِلِمِنِِيِتِكِاسِل‬

“Bersungguh-sungguhlah dan jangan bermalas-malasan dan jangan pula


lengah, karena penyesalan itu bagi orang yang bermalas-malasan”.

iv
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua tercinta, Mamah, dan
Alm. Bapak, Serta kakak-kakak yang selalu memberi semangat dan doa yang
tiada henti.

Sekaligus sebagai ungkapan terimakasihku kepada keluarga, guru dan


teman-teman yang senantiasa tulus ikhlas memberi dukungan dan doa.

Semoga semua kebaikan mendapat balasan dari Allah swt. Aamiin.

v
‫ٱلرِنَٰمۡح ه‬ ‫ه‬
‫ٱَّللِ ه‬
‫حي ِم‬
ِ ‫ٱلر‬ ‫ِمۡسِب‬

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah


memberikan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga dengan
izin-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Merupakan suatu
anugerah terindah, rasa lega dan bahagia yang luar biasa yang dirasakan
oleh penulis, semoga apa yang telah penulis kerjakan bisa bermanfaat
khususnya bagi penulis umumnya bagi para pembaca.

Shalawat serta salam, penulis sampaikan kepada Nabi


Muhammad saw junjungan seluruh umat di seluruh dunia. dengan
rahmat serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
skripsi yang berjudul “Pandangan Para Mufasir Indonesia Tentang
Tindakan Euthanasia” dengan mudah walaupun penulis menyadari
skripsi ini masih penuh dengan kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
oleh karena itu penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dan pada intinya untuk memperbaiki kekurangan-
kekurangan agar dimasa yang akan datang lebih baik lagi.

Rasa terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang


telah membantu dan ikut berkontribusi dalam penulisan skripsi ini,
maka perlu kiranya penulis menyampaikan rasa terima kasih secara
khusus. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
terdalam kepada:
1. Alm. Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Lc, MA., selaku Rektor
Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta dan selaku dosen yang telah
memberikan pengetahuan yang berharga.
vi
2. Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA., selaku Dekan dan dosen
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah.
3. Ibu Mamluatun Nafisah, M.Ag. selaku Ketua Program Studi dan
dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, dan pegawai sekretariat Program
Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ)
Jakarta.
4. Ibu Iffaty Zamimah, S. Th,I, MA.g, selaku pembimbing Skripsi dan
Penguji yang telah membagi ilmu dan telah membantu penulis selama
penyusunan skripsi ini yang mana selama kegiatan akademik selalu
memberikan wawasan dan gagasan-gagasan baru.
5. Bapak Ali Mursyid M.Ag. selaku Penguji I, dan Bapak Sofian
Effendi, MA. selaku penguji II yang telah memberikan arahan serta
bimbingannya untuk skripsi ini.
6. Staf pengajar Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir fakultas
Ushuluddin dan Dakwah: KH. Ahsin Sakho Muhammad, Bapak
Abdul Rosyid Masykur, M.A., Bapak Arison Sani, M.A., yang telah
menyumbang andil dan telah membuka wawasan keilmuan bagi
penulis untuk dapat meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai Al-
Qur’an dan Tafsir melalui perkuliahan dengan berbagai pandangan
yang luas.
7. Ucapan Terima kasih kepada Instruktur Tahfidz kak Ayuna yang
telah senantiasa membimbing.
8. Ucapan terima kasih yang dalam dan selamanya kepada keluarga
tercinta ayahanda Alm. Jajang Muhyiddin, ibunda Titin Nuryati,
Kakak-Kakak ku, Teh Imas Siti Maesaroh, Teh Teti Siti Nurbaeti,
Kang Hafidz Utsman Qurnaen, A Agus Zaenal Asiqin, Teh Euis Sri
Mulyati, Teh Yoyoh Khoeriyah, Teh Cucu Siti Nurjanah, dan juga
temanku Anida Sukmawati, Faridhatul Hasanah, Faiz Ulu Rosyad

vii
yang telah mencurahkan kasih sayang, tenaga, pikiran dan motivasi
yang sangat tinggi pada penyusun untuk dapat menyelesaikan skripsi
ini.
9. ucapan terima kasih kepada teman-teman angkatan S1 IIQ Jakarta
2017, khususnya sebagian personil kelas IAT A&B yang telah
menemani selama 4 tahun perkuliahan ini terima kasih atas
kebersamaan dan kekompakkannya.

Dan teruntuk semua pihak yang belum disebutkan, saya


ucapkan terimakasih dan mohon maaf. Semoga Allah memberi
balasan atas segala kebaikan dan kontribusi yang telah kalian berikan.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Namun Penulis


menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis memerlukan saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan.

Jakarta, 18 Agustus 2021

Enung Nurlaela

viii
DAFTAR ISI

SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ i


SURAT PENGESAHAN ...................................................................... ii
PERNYATAAN PENULIS .................................................................. iii
MOTTO ................................................................................................. iv
PERSEMBAHAN ................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... xii
ABSTRAK ............................................................................................. xvi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Permasalahan .............................................................................. 9
1. Identifikasi Masalah ............................................................. 10
2. Pembatasan Masalah ............................................................ 10
3. Rumusan Masalah ................................................................ 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 11
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 11
E. Kerangka Teori ........................................................................... 14
F. Metodologi Penelitian ................................................................ 16
1. Jenis Penelitian ..................................................................... 16
2. Sumber Data ......................................................................... 16
3. Teknik Pengumpulan Data.................................................... 17
4. Metode Analisis Data ........................................................... 17
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 18
BAB II: GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAKAN EUTHANASIA
A. Definisi Euthanasia .................................................................... 20
B. Sejarah dan Fakta Tentang Euthanasia ....................................... 24

ix
C. Klasifikasi Euthanasia ................................................................ 30
D. Penyebab Terjadinya Euthanasia ............................................... 33
E. Euthanasia Dalam Al-Qur’an ...................................................... 35
F. Euthanasia Dalam Kajian Islam ................................................. 40
BAB III: BIOGRAFI MUFASIR DAN KITAB TAFSIR
A. Biografi Prof Dr. Haji Abdul Malik Abdul karim Amrullah
(Hamka) dan Tafsir Al-Azhar
1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan .................... 47
2. Tafsir Al-Azhar ...................................................................... 52
B. Biografi M. Quraish Shihab dan Tafsir Al-Misbah
1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan .................... 54
2. Tafsir Al-Misbah .................................................................... 64
BAB IV: ANALISIS PENAFSIRAN AYAT-AYAT EUTHANASIA
DALAM TAFSIR AL-AZHAR DAN AL-MISBAH
A. Penafsiran Hamka Mengenai QS. Al-Maidah Ayat 32, QS. Al-Isra
Ayat 33, dan QS. Yusuf Ayat 87 ................................................. 63
B. Penafsiran M. Quraish Shihab Mengenai QS. Al-Maidah Ayat 32, QS.
Al-Isra Ayat 33, dan QS. Yusuf Ayat 87 .................................... 72
C. Analisis penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab dalam Q.S Al-
Maidah ayat 32, Q.S Al-Isra ayat 33, dan QS. Yusuf ayat 87 .... 81
D. Relevansi penafsiran terhadap pelaksanaan Euthanasia ............ 85
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 87
B. Saran-saran ................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA

x
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi ini berpedoman pada buku penulisan skripsi, tesis,


dan disertasi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta tahun 2017. Transliterasi
Arab-Latin mengacu pada berikut ini:
1. Konsonan
No Arab Latin No. Arab Latin
1. A 16. Th
‫ا‬ ‫ط‬
2. B 17. Zh
‫ب‬ ‫ظ‬
3. T 18. ‘
‫ت‬ ‫ع‬
4. Ts 19. Gh
‫ث‬ ‫غ‬
5. J 20. F
‫ج‬ ‫ف‬
6. H 21. Q
‫ح‬ ‫ق‬
7. Kh 22 K
‫خ‬ ‫ك‬
8. D 23. L
‫د‬ ‫ل‬
9. Dz 24. M
‫ذ‬ ‫م‬
10. R 25. N
‫ر‬ ‫ن‬
11. Z 26. W
‫ز‬ ‫و‬
12. S 27. H
‫س‬ ‫ه‬
13. Sy 28. ‘
‫ش‬ ‫ء‬
14. Sh 29. Y
‫ص‬ ‫ي‬
15. Dh
‫ض‬

xi
2. Vocal
Vocal Tunggal Vocal Panjang Vokal Rangkap
Fathah :a ‫آ‬:â ‫َي‬.. : ai
Kasrah :i ‫ي‬:î ‫َو‬.. : au
Dhammah :u ‫و‬:û

3. Kata Sandang

a. Kata sandang yang diikuti alif lam (‫ )ال‬qamariyah.

Kata sandang yang diikuti alif lam (‫)ال‬ qamariyah

ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh:

‫ البقرة‬: al-Baqarah ‫ المدينة‬: al-Madinah


b. Kata sandang yang diikuti oleh (‫ )ال‬syamsiah.

Kata sandang yang diikuti alif lam (‫)ال‬ syamsiah

ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan


dan sesuai dengan bunyinya. Contoh :

‫ الرجل‬: ar-Rajul ‫السيدة‬ : as-Sayyidah

‫ الشمش‬: asy-Syams ‫ الدارمي‬: ad-Dârimî


c. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah (Tasydîd) dalam sisitem aksara Arab digunakan lambing

(َََ) sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan cara menggandengkan huruf yang bertanda


tasydîd. Aturan ini berlaku secara umum, baik tasydîd yang berada
di tengah kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiah. Contoh:

ِ ‫ ءامنَّآ ِبا‬: Âmannâ billâhi


‫للا‬ ِ‫الر َّكع‬
ُّ ‫و‬: wa ar-rukka’i
xii
ُّ ‫ءامنَّآ ال‬: Âmannâs-Sufahâ’u ‫أن الذِين‬
‫سفهآء‬ ًّ : Inna al-ladzîna
d. Ta Marbûthah (‫)ة‬

Ta Marbûthah (‫ )ة‬apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh

kata sifat (na’at), maka huruf tersebut diaksarakan menjadi huruf


“h”. Contoh:

ِ‫اْلفئِدة‬ : al-Af’idah

‫امعة ِاِلسَل ِمية‬


ِ ‫االج‬ : al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah

Sedangkan Ta Marbûthah yang diikuti atau sambungkan (di


washal) dengan kata benda (ism) maka dialih aksarakan menjadi
hutuf “t”. Contoh:

ِ ‫املة النَّا‬
‫صب ِة‬ ِ ‫ع‬ : Âmilatun Nâsibah

‫اْلية الكبرى‬ : al-Âyat al-Kubra

e. Huruf Kapital

System penuisan huruf Arab tidak mengebak huruf capital, akan


tetapi apabila telah dialih akrasakan maka berlaku ketentuan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), seperti
penulisan awal kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan,
nama diri, dll. Ketentuan yang berlaku pada PUEBI berlaku pula
pada alih aksara ini, seperti cetak miring (italic) atau cetak tebal
(bold) dan ketentuan lainnya. Adapun nama diri yang diawali
dengan kata sandang, maka huruf yang ditulis capital adalah nama
diri, bukan kata sandangnya. Contoh: ‘Ali Hasan al-‘Âsqallâni, al-
Farmawî dan seterusnya. Khusus untuk kata penulisan Al-qur’an

xiii
dan nama-nama surahnya menggunakan huruf capital. Contoh Al-
Qur’an, Al-Baqarah, Al-Fâtihah dan seterusnya.

xiv
ABSTRAK

Enung Nurlaela (17210822) Euthanasia Dalam Perspektif Tafsir


Indonesia (Kajian Terhadap Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-
Misbah)
Penelitian ini berangkat dari rasa keingintahuan dan ketertarikan
penulis tentang Euthanasia dikarenakan, di era globalisasi sekarang ini
banyak sekali permasalahan manusia yang berkaitan dengan nyawa yaitu
bunuh diri dimana-mana ataupun seseorang yang mengidap penyakit yang
parah dengan keputus asaannya sehingga ia memiliki niat untuk mengakhiri
hidup dengan berbagai cara.
Berangkat dari latar belakang tersebut penulis ingin mengkaji lebih
dalam tentang euthanasia aktif dan berfokus pada rumusan masalah yaitu
bagaimana penafsiran Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir Al-Misbah terhadap
tindakan Euthanasia, dan apa relevansi penafsiran tersebut terhadap
pelaksanaan euthanasia di era saat ini.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan jenis penelitian
kepustakaan, pengumpulan data dokumentatif, analisis data deskriptif
analitis. Kerangka penulisan ini, penulis pertama-tama mendeskripsikan
pengertian euthanasia, klasifikasinya, penyebab terjadinya, Euthanasia
dalam Al-Qur’an dan dalam kajian Islam, kemudian mendeskripsikan
biografi penulis kitab, latar belakangnya, karya-karya, dan pemikirannya.
Setelah itu, penulis melakukan analisis terhadap ayat-ayat yang berkaitan
dengan Euthanasia dalam Al-Qur’an meliputi: QS. Al-Maidah [5]: ayat 32,
QS. Al-Isra [17]: ayat 33, QS. Yusuf [12]: ayat 87.
Adapun hasil penelitian dengan sumber rujukan utama Tafsir Al-Azhar
dan Tafsir Al-Mishbah yaitu, Hamka (W. 1981) Hamka (W. 1981) melarang
tindakan Euthanasia aktif, karena menurutnya memelihara nyawa manusia
menjadi wajib atau fardhu’ain ketika ada seseorang yang nyawanya
terancam. Begitupun Quraish Shihab melarang terhadap Euthanasia aktif,
penafsirannya pada QS. Al-Isra: 33 bahwasanya jangan membunuh jiwa baik
jiwa orang lain maupun jiwa sendiri yang diharamkan Allah melainkan
dengan haq. Untuk relevansinya euthanasia dengan era saat ini adalah
banyaknya kejadian pada kasus tindak kejahatan seperti narkoba, begal,
pembunuhan berencana, pembunuhan bayi, dll. Walaupun tidak ada ayat
yang secara khusus dibahas didalam Al-Qur’an terkait Euthanasia aktif ini,
Namun euthanasia aktif dan pembunuhan mempunyai akibat yang sama
yaitu hilangnya nyawa seseorang. Ayat Al-Qur’an banyak membicarakan
larangan euthanasia, di antaranya pada: QS. An-Nisa : 29-30 mengecam
pasien yang memohon euthanasia aktif apapun alasannya termasuk tidak
tahan dengan ujian sakit. QS. Al-An’am : 151 melarang euthanasia aktif
dengan dalih kemiskinan, dll.

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Euthanasia merupakan suatu persoalan yang dilematik baik di


kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan. Di
Indonesia masalah ini juga pernah dibicarakan, seperti yang
dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminar pada
tahun 1985 yang melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum positif
dan ahli hukum Islam, akan tetapi hasilnya masih belum ada
kesepakatan yang bulat terhadap masalah tersebut.1

Euthanasia menurut pemikir Islam Yusuf Al-Qardawi adalah


tindakan ahli medis untuk mengakhiri hidup seseorang dan
mempercepat kematiannya melalui injeks kematian, kejutan listrik,
senjata tajam dan cara yang lainnya.2

Menurut Abdul Wahid dapat dikatakan bahwa Euthanasia adalah


suatu usaha sengaja mengakhiri kehidupan seseorang atau hewan
karena sedang dalam kondisi yang sangat berat, sehingga dapat
mengakhiri hidupnya dalam keadaan yang tidak sakit. Dalam
pengertian di atas juga diakhiri dengan prinsip kemanusiaan dengan
kata lain, pelaksanaan Euthanasia tersebut baru dapat dilakukan setelah
adanya pertimbangan-pertimbangan sehingga tidak melanggar asas asas

1
Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana
dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T.
Yanggo dan Hafiz Anshary, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 51
2
Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, (Jakarta: PBB UIN dan KAS, 2003),
h. 22
1
2

kemanusiaan. Pertimbangan yang dimaksud menyangkut apakah


pelaksanaan Euthanasia tersebut merupakan solusi yang sangat sulit
untuk dilaksanakan dan sulit juga dalam mempertanggung jawabkannya
baik pada manusia apalagi kepada Allah swt yang Maha menghidupkan
dan Maha mematikan.3

Ditinjau ke belakang masalah Euthanasia sudah ada sejak


kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang sudah tidak dapat
disembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana, putus asa
dan kadang-kadang sekarat. Dalam keadaan seperti ini tidak jarang
pasien memohon agar dapat melepaskan diri dari penderitaan, dan jalan
satu-satunya yang tersisa adalah kematian. Masalah ini semakin sering
dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin banyak
kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama
setelah ada temuan baru didunia pengobatan dengan mempergunakan
teknologi canggih dalam mengatasi keadaan gawat dan mengancam
kelangsungan hidup. Banyak kasus yang dulu sudah tidak dapat
dibantu lagi, namun seiring berkembangnya zaman dan teknologi yang
berkembang pesat, pasien dengan kondisi yang sama dapat
diselamatkan.4

Euthanasia terbagi menjadi dua yaitu aktif dan pasif:

Euthanasia aktif (taisir al-maut al-fa’al) ialah tindakan


memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan
oleh dokter dengan menggunakan instrumen atau alat. Contohnya:

3
Abdul Wahid, “Hadist Nabi dan Problematika masa Kini” (Banda Aceh: Ar Raniry
Press, 2007), h. 46
4
Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4
(Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2007), h. 117
3

seseorang mengalami koma yang sangat lama karena kecacatan otak


yang dialaminya, ia harus menggunakan alat bantu pernafasan agar
tetap hidup, karena alat pernapasan itulah yang memompa udara
kedalam paru-parunya, sang dokter mendiagnosa pasien tersebut tidak
memiliki waktu hidup yang lama, maka satu-satunya cara yang
mungkin dilakukan adalah membiarkan si sakit hidup dengan
mempergunakan alat pernapasan buatan untuk melanjutkan hidupnya,
namun ada yang menanggap bahwa orang sakit seperti itu sebagai
“orang mati” yang tidak dapat melakukan aktifitasnya, sehingga dokter
melepaskan alat pernapasan sang pasien sebagai cara yang positif untuk
memudahkan proses kematian.

Sedangkan yang dimaksud dengan euthanasia pasif (taisir al-maut


al-munfa’il) ialah pada praktik ini dokter tidak menggunakan alat-alat
atau langkah-langkah pasif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi
ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang
hidupnya, contohnya adalah seorang anak yang kondisinya sangat
buruk karena menderita tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang
belakang) dan dalam keadaan tersebut si sakit hanya dibiarkan tanpa
diberi pengobatan intensif atau penggunaan alat bantu. Dalam hal ini
penghentian pengobatan merupakan salah satu bentuk euthanasia pasif
atau negatif.5

KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa MUI telah lama


mengeluarkan fatwa yang mengharamkan dilakukannya tindakan
Euthanasia (tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan
sekarat). Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif,

5
DR. Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, Jakarta: Gema Insani,
1995,hlm.750
4

menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan


pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. KH Ma’ruf Amin
mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang
sangat khusus. Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang
tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut
lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat
peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah
kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis
perawatan, tetapi memang harus dimatikan. Mengenai dalil atau dasar
fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan bahwa
dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena
faktor keputus-asaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam.6

Dikutip dari The Week, negara-negara yang melegalkan praktik


ini misalnya Swiss, Belanda, Belgia, Kanada, Australia, Amerika
Serikat, dan Perancis. “Dalam etika kedokteran selalu ada debat antara
pro life dan pro choice. Pro life yaitu mempertahankan kehidupan
dengan berbagai upaya. Pro choice itu mempertimbangkan orang yang
mengalami, karena orang yang mengalami itu memiliki hak terhadap
hidupnya,” jelas Ova. Terlepas dari apa pun itu, Ova menggaris bawahi
euthanasia sebetulnya sama sekali tidak ada kaitannya dengan medis,
namun lebih kepada hak memilih untuk terus hidup atau mengakhirinya.
Pada tahun 2018, 221 orang melakukan perjalanan ke klinik Swiss
Dignitas untuk bunuh diri dengan bantuan. Dari jumlah tersebut, 87

6
https://www.nu.or.id/post/read/2262/fatwa-mui-larang-euthanasia, di akses pada tanggal
30 Agustus 2021
5

berasal dari Jerman, 31 dari Prancis dan 24 dari Inggris. Karena swiss
merupakan negara yang melegalkan praktik ini7

Di Indonesia masalah Euthanasia masih belum mendapatkan


tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam
perkembangan Hukum Positif Indonesia, Euthanasia akan mendapatkan
tempat yang diakui secara yuridis.8 Apabila dilihat secara sepintas,
tindakan euthanasia yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak
termasuk tindakan pembunuhan.9 Hak yang paling utama dan paling
perlu mendapat perhatian adalah hak hidup, karena hak hidup ini
merupakan hak yang paling suci dan Ilahiyah, serta tidak dibenarkan
secara hukum dilanggar kemuliaannya dan tidak boleh dianggap remeh
eksistensinya.10 Oleh karena itu, segala macam yang melanggar hak
hidup seseorang seperti membunuh, menganiaya dan melukai orang lain
sangat dilarang oleh Islam.
Sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an Surat
Al-An`am ayat 151:
ۡ َ ۡ َ
ۡ‫ۡو َٰ ِ ِ ََدن‬ ْ ُ ۡ ُ ‫ُ ۡ َ َ َ ۡ ْ َ ۡ ُ َ َ ه َ َ ُّ ُ ۡ َ َ ۡ ُ ۡ َ ه‬
ِ ِ ‫ۡشكوا بِهِۦ شياۖۡ بب‬
ِ ‫قل تعالوا أتل ما حرم ربكم عليكمۖۡ أَّل ت‬
ْ ُ َ ۡ َ َ َ ۡ ُ ‫ۡ ۡ َِ ه ۡ ُ َ ۡ ُ ُ ُ ۡ ه‬ ُ َ ِ َ َۡ ْٓ ُ ُ َۡ َ َ َِٗ ۡ
‫إِحسناۖۡ بَّل تقتلوا أبلدكم ِم إِمل ٖق َّن نرزقكم ِإَوناهمۖۡ بَّل تقربوا‬
‫َ هَ هُ ه‬ ‫ه‬ ۡ ْ ُ َۡ َ َ َ َۡ
‫ٱَّلل إَِّل‬ ‫ٱوف َِٰحِش َما ظ َه َر م ِۡن َها َب َما َب َط َ ۖۡ َبَّل تق ُتلوا ٱنلهف َس ٱو ِِت حرم‬
َ ُ َ ُ ‫َ ه‬ ُ ُ َ َۡ
١٥١ ‫ق ذِو ِك ۡم َب هصىِكم بِهِۦ و َعلك ۡم ت ۡعقِلون‬ ِّۚ ِ ‫بِۡۡل‬

7
Luthfia Ayu Azanella,
https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/02/144500665/apa-itu-euthanasia-dan-negara-
mana-saja-yang-melegalkan-, diakses pada tanggal 23 Agustus 2021
8
Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014),
h. 208
9
Ahmad Wardi Muslih, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 4
10
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Daar al-Tsakofah al-Islamiyyah, 1998), h. 14
6

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas


kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan
janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan
kepadamu supaya kamu memahami(nya)”. (QS. Al-An’am [6]:151)

Dalil ini sangatlah jelas, yaitu dalil untuk memberikan petunjuk


tentang makna kehidupan bagi manusia sebagai hak yang diberikan
Allah, perbuatan membunuh jiwa manusia sangat diharamkan,
demikian juga dengan pembunuhan tidak boleh dilakukan dengan
semena-mena terhadap jiwa manusia yang boleh dibunuh.

Dalam islam, yang bersumber Al-Qur’an dan Al-Hadits tindakan


membunuh orang diberlakukan hukum qishas dan diyat. Seperti yang
disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 179:
َ ُ ‫ َ َٰٓ ُ ْ ۡ َ ۡ َ ِ َ َ ه ُ ۡ َ ه‬ٞ ِ َ َ َ ‫ك ۡم ِف ۡٱوق‬
ُ ََ
١٧١ ‫ب وعلكم تتقون‬ ِ ‫ب‬ ‫و‬ ‫ٱۡل‬ ‫ِل‬
ِ ‫ب‬‫أ‬ ‫ن‬ ‫ة‬‫و‬ ‫ي‬ ‫ح‬ ِ
‫اص‬ ‫ص‬ ِ ِ ‫بو‬
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS.
Al-Baqarah [2]:179)

Manusia sebagai makhluk sosial selain mampu berfikir untuk maju


juga mempunyai afeksi, simpati atau empati terhadap penderitaan
manusia lainnya yang bisa menyebabkan timbulnya euthanasia. Dalam
hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat
menentang dilakukannya euthanasia. Namun diantara sekian banyak
ulama yang menentang ada beberapa ulama yang menerima.

Menurut Imam Syafi’i (W.820M) pembunuhan sengaja adalah


7

membunuh seseorang dengan sesuatu yang bisa menyebabkan kematian


dan dengan adanya niat untuk membunuh. Dalam kasus ini pembunuh
dikenai qishas tetapi jika keluarga korban memaafkan maka pembunuh
harus membayar diyat besar dan dibayar langsung dari harta pembunuh.
Pembunuhan tidak disengaja adalah melempar sesuatu dan mengenai
orang yang menyebabkan meninggal karena lemparan tersebut dan
tidak ada unsur sengaja. Sedangkan pembunuhan sengaja tetapi ada
unsur kesalahan adalah melempar sesuatu dengan benda yang biasanya
menyebabkan kematian dan membuat seseorang meninggal, dalam
kasus ini tidak ada qisash bagi pembunuh tapi harus membayar diyat
kecil kepada keluarga korban dan dapat diangsur selama 3 tahun.11

Semua itu tergantung intensitas dalam perbuatan pembunuhan


yang dilakukan, demikian juga dari sudut pandang agama, ada sebagian
yang membolehkan dan ada sebagian yang melarang terhadap tindakan
euthanasia, tentunya dengan berbagai argumen atau alasan. Dalam
Debat Publik Forum No 19 Tahun 1V, 1 Januari 1996, Ketua Komisi
Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Prof. KH. Ibrahim Hosen
menyatakan bahwa, Islam membolehkan penderita AIDS dieuthanasia
jika memenuhi syarat-syarat.12

Pendapat Ibrahim Hosen ini disandarkan kepada suatu kaidah


ushul fiqh: Al-Irtifaqu Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan dari
dua mudlarat. Jadi katanya, langkah ini boleh dipilih karena ia
merupakan pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama, penderita

11
Eko Setiawan, “Eksistensi Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam”, (Al-Ahwal,
1 April, 2015), h. 166
12
Masjfuk Zuhdi, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Dalam Mimbar Hukum
No. 6 Tahun VII, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996), h. 28
8

mengalami penderitaan. Kedua, jika menular membahayakan sekali


artinya dia menjadi penyebab orang lain menderita karena tertular
penyakitnya dan beliau bukan hanya menganjurkan euthanasia pasif
tapi juga euthanasia aktif. Sedangkan menurut Hasan Basri pelaksanaan
euthanasia bertentangan, baik dari sudut pandang agama, undang-
undang maupun etik kedokteran. Namun, para ulama sepakat bahwa
apapun alasannya apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif yang
berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang
bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam
mengharamkannya sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli baik
dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun ulama sepakat
membolehkannya.13

Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa sekalipun obat atau vaksin


untuk HIV/AIDS tidak atau belum ada dan kondisi pasien makin parah
tetap tidak boleh di euthanasia sebab hidup dan mati itu di tangan
Tuhan.14 Pendapat tersebut merujuk pada firman Allah SWT dalam
Surat Al-Mulk ayat 2: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Adapun ulama yang berpendapat bahwa penderita yang


berpenyakit menular dan membahayakan orang lain jika dibiarkan
hidup, hendaknya dilakukan alternatif tindakan lain selain euthanasia.
Salah satunya adalah dengan mengisolasi penderita tersebut agar tidak

13
Arifin Rada, “Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal (Volume XVIII
No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei), h. 113
14
Masjfuk Zuhdi, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Dalam Mimbar Hukum
No. 6 Tahun VII, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996), h. 29
9

berinteraksi dengan orang lain selama pengobatannya. Jika memang


dokter menyatakan pasien tidak dapat disembuhkan dengan cara
apapun, hendaknya diserahkan kembali kepada keluarganya bukan
dengan mengakhiri hidupnya. Soal sakit, menderita dan tidak kunjung
sembuh adalah qodratullah. Mempercepat kematian tidak dibenarkan
karena tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh.15

Penulis memilih dua Tafsir untuk penafsiran ayat-ayat tentang


Euthanasia, yaitu Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah. Adapun
alasan mengambil kedua Tafsir ini adalah karena keduanya merupakan
tokoh terkemuka di Indonesia, Hamka (W.1981) dan M. Quraish
Shihab memiliki karya tafsir yang banyak digunakan sebagai rujukan
oleh semua kalangan, kedua tafsir tersebut membawa ciri khas atau
memasukkan unsur-unsur sosial masyarakat.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dibahas oleh penulis, maka


dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
a. Euthanasia adalah upaya secara medis untuk mempercepat
kematian
b. Euthanasia digunakan melalui Tindakan medis untuk
mempercepat kematian orang yang sedang sekarat

15
Indrie Prihastuti, “Euthanasia Dalam Pandangan Etika Secara Agama Islam, Medis
Dan Aspek Yuridis Di Indonesia,” Jurnal Filsafat Indonesia 1, no. 2 (2018), h. 85–90.
10

c. Euthanasia dilakukan karena permintaan pasien dengan alasan


tidak kuat dengan sakit yang diderita dan ingin mempercepat
kematiannya
d. Euthanasia digunakan untuk tujuan bunuh diri
e. Euthanasia dilakukan kepada pasien yang bergantung pada alat
alat kedokteran selama bertahun tahun
f. MUI mengklasifikasikan euthanasia menjadi euthanasia aktif
dan euthanasia pasif

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, agar


pembahasan pada skripsi ini lebih terarah dan terperinci, maka
peneliti membatasi penelitian ini pada “Euthanasia aktif dengan
mengkaji 2 Tafsir saja yaitu Tafsir Al-Azhar karya Prof Dr. Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), dan Tafsir Al-Misbah karya
M. Quraish Shihab.” Yaitu pada QS. Al-Maidah ayat 32, QS. Al-Isra
ayat 33, dan QS. Yusuf ayat 87.

Walaupun banyak artikel atau tulisan yang membahas


euthanasia, di sini penulis mengarah kepada Al-Qur’an dan
tafsirnya. Euthanasia di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara
khusus, tetapi terdapat ayat-ayat yang berkaitan.

3. Rumusan Masalah

Sebagai pembatasan masalah, penulis akan mengarahkan


pembahasan dengan rumusan:
1. Bagaimana penafsiran Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir Al-Misbah
terhadap tindakan Euthanasia aktif?
11

2. Apa relevansi penafsiran tersebut terhadap pelaksanaan


euthanasia di era saat ini?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan akademis dan
tujuan umum. yaitu:
1. Agar mengetahui penafsiran Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir Al-
Misbah.
2. Memberi gambaran terkait relevansinya penafsiran tersebut
terhadap pelaksanaan euthanasia di era saat ini.

Adapun Manfaat Penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini


adalah:

1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan pengetahuan dalam studi tafsir.
b. Menambah kajian Islam dan wawasan pengetahuan tentang
Euthanasia dalam Al-Qur’an.
2. Secara Praktis
a. Sebagai sumbangsi penelitian untuk penelitian yang lebih
baik

b. Agar menambah referensi dan literatur kepustakaan, serta


memberikan informasi kepada peneliti yang ingin
melakukan kajian tentang euthanasia.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan judul ini, peneliti telah melakukan tinjauan


12

terhadap beberapa penelitian yang serupa, namun penulis hanya


menemukan beberapa yang lebih dari 5 tahun karena tidak ada
penelitian lagi maka penulis masukan. antara lain:

1. Euthanasia Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia Dan Hukum


Islam, skripsi ini ditulis oleh Ahmad Zaelani Mahasiswa Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah
Jakarta, 2008.16 Dalam skripsi ini ia membahas tentang
pandangan Hukum Islam dan doktrin Hak Asasi Manusia terhadap
euthanasia, persamaan dan perbedaan pandangan doktrin hak asasi
manusia dan hukum Islam terhadap euthanasia. Perbedaan
Penelitian Ahmad Zaelani dengan penelitian ini adalah penelitian
Ahmad Zaelani lebih banyak membahas tentang hukum sedangkan
penelitian ini lebih mengarah ke pandangan para mufasir.
Persamaannya adalah sama-sama menggunakan jenis penelitian
kualitatif. kontribusi adanya penelitian ini penulis mendapatkan
pemahaman yang luas.

2. Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam, Skripsi ini


ditulis oleh Fajar Nugroho, mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.17 Dalam skripsi ini
membahas tentang kedudukan pelaku Euthanasia dalam hukum
pidana Islam, hubungan eutahanasia dengan jarimah, hukum Islam
bagi pasien yang melakukan euthanasia. Perbedaannya Penelitian
Fajar Nugroho menggunakan metode anilis data kualitatif dengan

16
Ahmad Zaelani, “Euthanasia Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia Dan Hukum
Islam”, Skripsi, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatulah Jakarta, 2008.
17
Fajar Nugroho, “Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam”, Skripsi,
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.
13

cara berfikir induksi yaitu cara berfikir dari doktrin Hak Asasi
Manusia terhadap euthanasia, persamaan dan perbedaan pandangan
doktrin hak asasi manusia dan hukum Islam terhadap euthanasia.
Penelitian yang dilakukan Fajar menjadi salah satu sumber bacaan
dalam menyusun penelitian ini.

3. Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam Dan Supremasi


Hak Asasi Manusia, Skripsi ini Ditulis Oleh Hasriasman Rahmat
H, Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Alauddin
Makassar, 2012.18 Dalam skripsi ini membahas kedudukan pelaku
dan hukum Euthanasia dalam hukum pidana Islam, Bagaimana
Euthanasia menurut hak asasi manusia. Perbedaannya penelitian
Hasriasman lebih mengkaji asas-asas hukum sedangkan penelitian
ini mengkaji ayat-ayat ahkam. persamaannya sama-sama
menggunakan metode penelitian jenis kualitatif. Dalam skripsi nya
penulis mendapatkan informasi tentang Euthanasia menurut Hukum
Positif.

4. Euthanasia Dalam perspektif Hukum Pidana Islam, Skripsi ini


ditulis oleh Akhsanul Khalisin, mahasiswa Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016.19
Dalam skripsi ini menjelaskan konsep kematian bahwa
kepentingan transplantasi tidak menjadi pertimbangan utama lagi
dalam dunia kedokteran tetapi juga tidak dilupakan, kedudukan
Euthanasia dalam persfektif Hukum Pidana Islam. Perbedaannya

18
Hasriasman Rahmat H, “Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam Dan
Supremasi Hak Asasi Manusia”, Skripsi, Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum UIN
Alauddin Makassar, 2012
19
Akhsanul Khalisin, “Euthanasia Dalam perspektif Hukum Pidana Islam”, Skripsi,
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016.
14

dalam penelitian khalisin ia menuliskan beberapa contoh negara


yang melakukan tindakan euthanasia bahkan memperbolehkannya.
sedangkan penelitian ini lebih mengarah pada ayat- ayat ahkam.
Persamaannya adalah membahas tentang pandangan islam terkait
euthanasia. Dalam skripsi ini Penulis mendapatkan wawasan
Pandangan Islam terhadap euthanasia sebagai rujukan penulis.

5. Argumen Qur’ani tentang persoalan euthanasia, Skripsi ini ditulis


oleh Indah Wardatul Maula, mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, 2018.20
Dalam skripsi ini membahas tentang kesesuaian argumen para
ulama berbasis Al-Qur’an tentang euthanasia dengan kitab tafsir
ahkam. Perbedaannya penelitian indah lebih banyak menjelaskan
euthanasia dalam ilmu kedokteran sedangkan penelitian ini lebih
membahas euthanasia dalam pandangan mufasir. Persamaan
penelitian indah dengan penelitian ini adalah mengkaji euthanasia
dalam pandangan para ulama. Kontribusinya skripsi ini adalah
adanya ayat-ayat terkait euthanasia.

E. Kerangka Teori

penulis menggunakan metode tematik (Maudu’i) Al-


Farmawi, dalam kitab “Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al-Maudu’i”.

Metode kajian tafsir menurut bahasa adalah cara yang telah


teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud.
Sedangkan tematik berarti topik-topik atau yang dibicarakan, jadi
metode tafsir adalah cara untuk menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan

20
Indah Wardatul Maula, “Argumen Qur’ani tentang persoalan euthanasia”, Skripsi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, 2018.
15

pokok-pokok masalah.21 Metode tematik dikenal juga dengan

metode maudu’i berasal dari kata bahasa arab ‫وضع‬ yang berarti

meletakan, menjadikan menghina mendustakan dan membuat-buat.

Sedangkan kata ‫ موضع‬merupakan isim maf’ul yang diletakan, yang


diantar, yang dibicarakan yang dihinakan, yang didustakan, yang
dibuat-buat dan yang dipalsukan.22

Sedangkan pengertian metode tafsir maudhu’i metodologi


adalah metode yang ditempuh seorang mufasir dengan cara
menghimpun ayat- ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang satu
masalah tertentu (tema), serta mengarah suatu tujuan, meskipun
ayat-ayat itu cara turunnya berbeda, tersebar dalam beberapa surat
dalam Al-Qur’an dan beda pula waktu dan tempat turunnya.

Topik dan masalah penyusunannya berdasarkan kronologis


serta turunnya ayat-ayat tersebut, kemudian penafsiran memberi
keterangan dan penjelasan yang mengambil kesimpulan secara
khusus.23 Dengan demikian, metode maudhu’i (tematik) adalah
sumber sumber metode tafsir yang berusaha menjalankan berbagai
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan suatu topik tertentu
yang dijelaskan dengan berbagai macam keterangan sehingga
memperjelas dalam memecahkan suatu masalah.24

21
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka
Amani), h.252
22
H. Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada masa kini, Cet ke 1, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1990), h.83
23
Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudlu’I Dirosah, Cet ke 2,
(Jakarta : PT Grafindo Persada, 1996), h. 36
24
H. Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’I pada masa kini, Cet ke 1, (Jakarta: Kalam
16

Dari sini pula para ahli keislaman mengarahkan pandangan


mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk
memberikan jawaban-jawabannya melalui petunjuk-petunjuk Al-
Qur’an, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau penemuan
manusia, baik yang positif maupun yang negatif, sehingga
bermunculanlah banyak karya ilmiah yang berbicara tentang satu
topik tertentu menurut pandangan Al-Qur’an, misalnya Al-Insan Fi
Al-Qur’an, dan Al-Mar’ah fi Al-Qur’an karya Abbas Mahmud Al-
Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Qur’an karya Al-Maududi, dan
sebagainya.25

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

penelitian yang dipilih penulis yaitu penelitian kepustakaan


(library research). Yakni untuk memperoleh informasi dan
mengumpulkan data tentang Euthanasia dengan bantuan
bermacam- macam sumber materi yang terdapat diperpustakaan,
seperti buku-buku, jurnal, dokumen dan lain sebagainya yang
berkaitan dengan pokok permasalahan ini.

2. Sumber Data Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang


relevan dengan tema skripsi. Adapun sumber data yang dipakai
seperti Al-Qur’an, kitab tafsir, jurnal-jurnal yang membahas tentang

Mulia, 1990), h. 98
25
Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudlu’I Dirosah, Cet ke 2,
(Jakarta : PT Grafindo Persada, 1996), h. 45
17

euthanasia.

Sumber data tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:


a. Data primer : Tafsir Al-Azhar, Tafsir Al-Misbah, sebagai
pokok analisis dalam skripsi ini.
b. Data sekunder : Bserupa buku-buku, artikel atau bahan yang
diambil dari tulisan yang terkait dengan Euthanasia untuk
melengkapi data-data dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah


Teknik pengumpulan data dokumentatif, yaitu Pengumpulan data
melalui arsip-arsip dan buku-buku tentang pendapat, teori, ahli,
dalil-dalil dan hukum yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Langkah-langkah penelitian ini antara lain:


a. Menghimpun ayat-ayat tentang Euthanasia
b. Membahas ayat tersebut menggunakan kitab tafsir Al-Azhar
dan kitab tafsir Al-Misbah dengan menggunakan teori
maudhu’i.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini


adalah analisis data deskriptif, yakni mendeskripsikan data-data
yang telah dikumpulkan diikuti analisis data dan interpretasi
terhadap data tersebut guna menemukan jawaban dari persoalan.

Analisis deskriptif bertujuan untuk mengubah sekumpulan


data yang masih berupa data mentah menjadi bentuk yang lebih
18

mudah dipahami, yaitu berbentuk informasi yang lebih ringkas.

G. Teknik dan Sistematika Penulisan

Teknik penulisan skripsi yang digunakan oleh penulis merujuk


pada buku Teknis Penulisan Proposal, dan Skripsi Institut Ilmu Al-
Qur’an (IIQ) Jakarta, tahun 2017.26

Selanjutnya untuk pembahasan skripsi dibagi menjadi lima


bab, satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan inti, dan satu bab
penutup.

Bab pertama, berisi pendahuluan, seperti kata pengantar untuk


memberikan gagasan kepada pembaca tentang Euthanasia. Di dalam
bab satu ini kemudia dibagi menjadi beberapa sub, dimulai dengan latar
belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, sampai pada tinjauan pustaka terhadap
karya-karya ilmiah sebelumnya, metodologi penelitian, teknik dan
sistematika penulisan.

Bab kedua, menjelaskan definisi secara umum, Sejarah dan


Fakta Tentang Euthanasia, Klasifikasi dan Penyebab Terjadinya
Euthanasia, dan menganalisis ayat-ayat Euthanasia.

Bab ketiga, membahas tentang biografi mufasir meliputi


riwayat hidup, karya-karyanya, murid-muridnya, dan latar belakang
penamaan tafsir dari kitab Tafsir Al-Qur’anul Majid, Tafsir Al Azhar,
dan Tafsir Al-Misbah.

26
Tim Penulis, “Petunjuk Teknis Penulisan dan Skripsi Institut Ilmu Al-Qur’anJakarta
(IIQ) jakarta”, (Jakarta: LPPI IIQ, 2017), h. 11-13
19

Bab keempat, menganalisis ayat-ayat yang terkait dengan


euthanasia menurut kitab Tafsir Al-Qur’anul Majid, Tafsir Al- Azhar,
dan Tafsir Al-Misbah.

Bab kelima, merupakan penutup yang difokuskan pada


konklusi penelitian dan saran-saran yang direkomendasikan penulis
bagi para peneliti penulis selanjutnya.
BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG EUTHANASIA

Pada bab ini penulis akan memaparkan penjelasan tentang


Euthanasia, penulis menggali informasi dari buku-buku, jurnal, Skripsi
maupun Tesis dalam rangka mendapatkan suatu informasi yang ada
sebelumnya tentang Euthanasia yang kemudian digunakan sebagai
landasan teori dalam penelitian ini.

A. Definisi Euthanasia

Euthanasia secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu ;


“eu” yang berarti baik, dan “thanatos” yang artinya mati. Berdasarkan
penggalan katanya euthanasia berarti kematian secara baik atau
mudah tanpa penderitaan. Secara bahasa kata euthanasia kemudian
dikenal dalam dunia kedokteran dan hukum, karena pada
perkembangannya istilah ini banyak digunakan dalam istilah-istilah
hukum, terutama pada hukum pidana yang menyangkut delik
pembunuhan.1

Euthanasia adalah sikap mempercepat proses kematian pada


penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan melakukan
atau tidak melakukan tindakan medis, dengan maksud membantu
korban untuk menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi
kematiannya dan untuk membantu keluarganya dari penderitaan
korban dalam menghadapi kematiannya.2 Sedangkan dalam Kamus
Inggris-Indonesia euthanasia termasuk kata benda yang berarti

1
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, cet ke-2 (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 135
2
Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru 1983), h. 67
20
21

tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat.3

Menurut Dr. H. Ali Akbar, Euthanasia mempunyai 3 pengertian:


1. Kematian yang mudah dan tanpa sakit
2. Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan
bila perlu untuk mempercepat kematiannya.
3. Keinginan untuk mati dalam arti yang baik.4

Euthanasia Dalam Sudut Pandang Kedokteran yaitu


mempercepat kematian seseorang dengan sebab (penyakit dengan
harapan hidup yang kecil), dimana mati adalah suatu peristiwa yang
pasti terjadi, tetapi tidak pernah diketahui kapan terjadinya.
Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi
pengambilan keputusan, baik oleh dokter maupun keluarganya dalam
kelanjutan pengobatan. Apakah pengobatan perlu dilanjutkan atau
dihentikan yang kemungkinan jika dilanjutkan belum tentu membawa
hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila
dihentikan pasti akan mengakibatkan kematian bagi pasien.
Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk
dari euthanasia.

Berbicara mengenai euthanasia, yaitu khususnya euthanasia aktif,


berarti juga berbicara mengenai pembunuhan, karena antara keduanya
tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam dunia kedokteran, euthanasia
dikenal sebagai tindakan yang dengan sengaja tidak melakukan
sesuatu bertujuan memperpanjang hidup seseorang atau sengaja

3
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cet. V, (Jakarta:
Gramedia, 1978), h. 219.
4
Ali Akbar, Euthanasia Dilihat Dari Hukum Islam (Panji Masyarakat No.453.Th.XXVI,
21 Desember 1984), h. 69.
22

melakukan sesuatu untuk memperpendek atau juga mengakhiri hidup


seorang pasien dan ini semua dilakukan untuk mempercepat
kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik tanpa
penderitaan yang tidak perlu.5

Menyinggung masalah euthanasia tentunya erat sekali dengan


masalah kematian yang secara umum dikenal ada 3 tahap kematian
mengenai bagian-bagian badan , yaitu6

1. Kematian klinis (clinical death), jantung berhenti berdenyut dan


pernafasan spontan berhenti;
2. Kematian otak (brain death), disebabkan kurangnya aliran O2
ke otak
3. Kematian sel (celluler death), jaringan-jaringan badan mati
secara berangsur dengan kecepatan yang berbeda-beda.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dikenal


3 pengertian yang berkaitan dengan euthanasia, yaitu:

1. Berpindah kealam baka dengan tenang dan aman tanpa


penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah dibibir.

2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan


memberikan obat penenang.

3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja


atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Lamerton dan

5
K. Berthens, esai-esai tentang masalah aktual, (Jogyakarta, Kanisius:2001) h. 120
6
Imron Halimy, Euthanasia, Cara Mati Terhormat Orang Modern, (Solo: CV
Ramdhani, 1990), h. 24
23

Thiroux menyusun 4 kategori yang berkaitan dengan euthanasia,


yaitu membiarkan seseorang mati, kematian belas kasihan,
pembunuhan belas kasihan dan kematian otak/batang otak.7

Kematian ialah akhir dari kehidupan di dunia, sesuatu yang


diyakini oleh seluruh umat manusia, dan kedatangannya tak ada satu
orang pun tahu kapan kematian menjemputnya.8

Menurut pendapatnya Syukron Ma’mun bahwa kematian itu


merupakan urusan dari Allah SWT, manusia tidak dapat mengetahui
kapan kematian itu menimpa dirinya. Soal sakit, menderita dan tidak
kunjung sembuh itu adalah qudratullah. Kewajiban kita hanya
berikhtiar. Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter
adalah menyembuhkan, bukanlah membunuh. Kalau dokter tidak
sanggup, kembalikan kepada keluarga.9 Berdasarkan beberapa
pendapat ulama dan juga pembahasan batasan-batasan darurat tidak
ada ditemukan pendapat yang membenarkan euthanasia ini.10

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin


mengatakan bahwa MUI telah lama mengeluarkan fatwa yang
mengharamkan dilakukannya tindakan euthanasia dalam keadaan
aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak
diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau
menghilangkan nyawa orang lain.11

7
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan
Zaman, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2006), h. 181
8
Soenarjo Sstrodinoto, Biologi Umum, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 414
9
Majalah Amanah, No. 27, (16-29 Juni: 1989), h.14
10
Majalah Panji Masyarakat, No. 846, (01-15 Januari: 1996) h. 61
11
Https://www.nu.or.id/post/read/2262/fatwa-mui-larang-euthanasia, diakses pada tanggal
30 Agustus 2021
24

Antara pembunuhan sengaja dengan euthanasia aktif ada suatu


perbedaan yang mendasar, meski secara teknis ada persamaan. Dalam
pembunuhan sengaja, terdapat suatu maksud atau tujuan yang
cenderung pada tindak kejahatan. Sedangkan dalam euthanasia aktif,
pengakhiran hidup pasien dilakukan secara sengaja dan terencana.
Namun pembunuhan ini dilakukan atas kehendak dan permintaan
pasien atau korban kepada dokter yang merawat dan maksud atau
tujuan yang terdapat didalamnya cenderung pada suatu pertolongan,
yang dalam hal ini menolong meringankan beban yang diderita oleh
pasien. Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih
terus berlangsung.12 Mengingat euthanasia merupakan suatu
persoalan yang rumit dan memerlukan kejelasan dalam kehidupan
masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Maka MUI dalam
pengkajian (muzakarah) yang diselenggarakan pada bulan Juni 1997
di Jakarta yang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu
tindakan bunuh diri.13

B. Sejarah dan Fakta Tentang Euthanasia

Perkembangan euthanasia mulai muncul sejak abad ke- 19


dibeberapa negara Eropa dan Amerika. Di Amerika Serikat euthanasia
baru dikenal tahun 1960, hingga mendapat legalisasi hukum. Namun
di Swiss, euthanasia dilarang berdasarkan undang-undang federal
tahun 1960, dengan asumsi bahwa euthanasia melanggar nilai-nilai
kemanusiaan dan menodai hak manusia untuk terus memiliki harapan

12
Aseri, Akh. Fauzi Aser, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum
Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah
T. Yanggo dan Hafiz Anshary, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 51
13
(Forum Keadilan No. 4, 29 April 2001:45)
25

hidup dan melanjutkan kehidupannya. Di Inggris sempat muncul


gerakan yang menamakan dirinya masyarakat euthanasia (euthanasia
society). Gerakan ini berjuang untuk mendapatkan legalitas
euthanasia secara hukum, sehingga tindakan ini bisa dilakukan tanpa
pengajuan ke pengadilan, namun usaha gerakan ini digagalkan,
terutama oleh kalangan agamawan Kristen.14

Dalam perkembangan selanjutnya, kematian harus didiagnosa


secara intensif melalui peralatan kedokteran, karena indikasi kematian
semakin bertambah, yakni dengan menyertakan asumsi kematian
pada jantung, hati, serta tidak berfungsinya otak dan tidak adanya zat
yang menimbulkan aliran listrik. Penambahan indikator kematian ini
pada akhirnya semakin mempersulit tindakan euthanasia, terutama
berkaitan dengan keputusan tentang harapan hidup pasien.15

Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk


menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan rasa sakit pada
umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan
pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia mencakup tiga
kategori yaitu:

a. Pemakaian secara sempit, euthanasia dipakai untuk tindakan


menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi
kematian. Dalam hal ini euthanasia berarti perawatan dokter
yang bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat
dicegah sejauh perawatan itu tidak bertentangan dengan kaidah-

14
Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, (Jakarta: EGC, 2007), h. 180
15
M. Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (
Jakarta; EGC, 1999), h. 105
26

kaidah hukum, etika atau adat yang berlaku.16

b. Pemakaian secara lebih luas, terminologi euthanasia dipakai


untuk perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam
penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.

c. Pemakaian paling luas, Dalam pemakaian yang paling luas ini


euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap
sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk
menghilangkan penderitaan pasien.

Euthanasia sebenarnya bukan masalah baru. Perbuatan ini


sebenarnya sudah lama bahkan sudah sering dilaksanakan sejak
zaman dahulu kala. pada zaman Romawi dan Mesir kuno
euthanasia ini pernah dilakukan oleh dokter Olympus terhadap diri
Ratu Cleopatra dari Mesir, atas permintaan sang Ratu, walaupun
sebenarnya ia tidak sakit. Cleopatra (60-30 SM) seorang ratu yang
cantik dan seksi dapat menundukkan dua pria perkasa pada
zamannya, yaitu Yulius Caesar dan Markus Antonius, penguasa
Imperium Rumawi. Cleopatra mempunyai ambisi yang sangat
besar untuk menaklukkan dan menguasai dunia. Akan tetapi
ambisinya itu tidak tercapai, karena orang yang diharapkan akan
memperjuangkannya melalui senat, yaitu Yulius Caesar, mati
dibunuh sebelum sidang dimulai oleh kelompok, yang antara lain
terdiri dari anak angkatnya sendiri, yaitu Brutus. Orang kedua yang
menggantikan Yulius Caesar, yaitu Markus Antonius, yang juga
bertekuk lutut kepada sang ratu, gagal pula meraih kemenangannya

16
Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia, Cet ke 1,
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2001) h. 26
27

dalam pertempuran, karena ia dikalahkan oleh lawannya, yaitu


Oktavianus, dan kemudian ia mati bunuh diri. Cleopatra yang
merasa kecewa dan putus asa, karena ambisi dan impiannya tidak
terwujud akhirnya meminta kepada dokter Olympus untuk
melakukan euthanasia terhadap dirinya. Dengan patukan ular
beracun yang disiapkan oleh dokter Olympus, Cleopatra akhirnya
pada usia 38 tahun menghembuskan nafasnya yang terakhir
(meninggal dunia).

Sejak zaman dahulu, Euthanasia mengundang perdebatan


antara pro dan kontra yang seakan-akan tiada habisnya. Plato (427-
347 SM) mendukung tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh
orang orang untuk mengakhiri penderitaan dari penyakit yang
mencengkeramnya. Tindakan euthanasia juga banyak didukung
oleh tokoh-tokoh besar dalam sejarah. Menurut Imron Halimy,
Plato misalnya, telah mendukung tindakan bunuh diri yang
dilakukan oleh orang-orang pada masa itu, untuk mengakhiri
penderitaan yang dialaminya. Demikian pula aristoteles telah
membenarkan tindakan “infanticide”, yaitu membunuh anak yang
berpenyakitan sejak lahir dan mereka tidak dapat hidup menjadi
manusia yang perkasa. Tokoh lain yaitu Pythagoras dan kawan-
kawannya juga telah menyokong tindakan pembunuhan terhadap
orang-orang yang mengalami lemah mental dan moral. Euthunasia
juga pernah dilaporkan terjadi di India dan Sardinia. Sekitar tahun
1989, masalah euthanasia ini mencuat lagi ke permukaan, sejak
tersiarnya berita pembunuhan para pasien di rumah sakit Lainz,
Wina, Austria. Sebanyak 49 orang pasien rumah sakit terbesar di
kota Wina tersebut telah dibunuh oleh tiga orang perawat dengan
28

alasan karena kasihan, berhubung pasien-pasien itu menderita sakit


parah.17

Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini


pernah terjadi di penghujung 2004, Jejak perdebatan kontemporer
tentang euthanasia di Indonesia selalu merujuk pada dua kisah.
Pertama, kisah Hasan Kusuma. Pada 22 Oktober 2004, Hasan
Kusuma mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat agar isterinya, Again Isna Nauli, diberi tindakan
euthanasia. Sang isteri sudah tergolek dalam keadaan koma selama
dua bulan, plus kesulitan yang dialami untuk membayar perawatan
medis. Tersiar kabar pada saat itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menolak permohonan euthanasia tersebut.

Kisah kedua merujuk pada Ignatius Ryan Tumiwa. Lulusan


pascasarjana dari salah satu universitas terkemuka ini ingin
mengakhiri hidupnya dengan cara suntik mati. Tetapi
permohonannya terhalang Pasal 344 KUH Pidana, yang
mengancam dokter atau tenaga medis lain yang membantu seorang
pasien mengakhiri hidup. hakim menyimpulkan bahwa euthanasia
merupakan tindakan yang keliru untuk dilakukan seseorang
meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan. Sebab,
penderitaan masih dapat diatasi dengan upaya lain tanpa harus
melakukan suntik mati atau cara euthanasia lainnya. Hakim juga
mengutip pandangan Majelis Ulama Indonesia bahwa euthanasia
dilarang karena keputusasaan, dan tidak diperkenankan dalam
Islam. Kemudian hakim mengutip sejumlah ayat Al-Qur’an dan

17
Ahmad Wardi Muslich, Euthunasia Menurut Pandangan Hukum Positif Dan Hukum
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 15-17
29

Hadits yang pada intinya melarang membunuh diri sendiri.18

Untuk tindakan euthanasia belum diatur secara jelas dalam


peraturan perundang - undangan. Pasal 344 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) hanya mengatur
secara eksplisit tindakan euthanasia atas permintaan sendiri oleh
pemohon euthanasia atau pasien. Pasal 338, 340, 345, dan 359
KUHP juga sering dihubungkan dengan tindakan euthanasia,
meskipun pasal-pasal tersebut belum memberikan batasan yang
tegas mengenai pengaturan euthanasia ini.19

Secara yuridis euthanasia belum diatur dalam hukum


positif di Indonesia termasuk dalam UU Kesehatan dan UU Praktik
Kedokteran, sehingga belum ada batasan yang jelas yang mengatur
mengenai tindakan euthanasia. Terdapat beberapa pasal dalam
KUHP yang sering dikaitkan dengan masalah euthanasia ini, salah
satunya yakni Pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa “barang
siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam
dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun.” Rumusan
pasal ini menyatakan bahwa siapapun termasuk pasien itu sendiri
yang menghilangkan nyawa seseorang dianggap sebagai suatu
kejahatan dan diancam pidana. Rumusan pasal ini menentang
adanya euthanasia aktif. Perkara euthanasia memang belum diatur
secara khusus baik dalam UU Kesehatan, dan UU Praktik

18
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd4f5e2a4f7f/euthanasia-di-indonesia--
masalah-hukum-dari-kisah-kisah-yang-tercatat?page=all, di akses pada tanggal 24 Agustus
2021
19
Jurnal, Tinjauan Yuridis Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana, Ni Gusti
Ayu Agung Febry Dhamayanti, di akses pada tanggal 30 Agustus 2021
30

Kedokteran. Namun selama ini pasal yang paling mendekati


adalah Pasal 344 KUHP yang secara eksplisit melarang adanya
euthanasia aktif. Euthanasia aktif dapat dikategorikan sebagai
malpraktik medis yang dilakukan secara sengaja atau dapat
dikatakan sebagai malpraktik medis Kriminal.20

C. Klasifikasi Euthanasia

Secara garis besar, euthanasia dikelompokkan ke dalam dua


kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Pandangan
yang mengelompokkan euthanasia sebagai aktif dan pasif
mendasarkannya pada cara euthanasia itu dilakukan. Para tokoh Islam
juga sepakat bahwa eutahanasia ada dua macam. Euthanasia aktif
adalah tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang
bersangkutan masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan.21 baik itu
dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat pembantu
medika, seperti saluran asam, melepas pemacu jantung atau
sebagainya. Yang termasuk tindakan untuk mempercepat proses
kematian disini adalah jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan
pengalaman medis itu masih menunjukkan adanya harapan hidup.
Dengan kata lain yaitu tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada
penderita, ketika tindakan itu dilakukan.

Sedangkan euthanasia pasif, baik atas permintaan atau pun tidak


atas permintaan pasein. Yaitu ketika dokter atau tenaga kesehatan lain
secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang mana

20
Sutarno, 2014, “Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan Dan Hukum Positif Di
Indonesia”, Setara Press, h.39
21
Chuzaimah T Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet. II, (Jakarta:
PT. Pustaka Firdaus, 1995), h. 62
31

dapat memperpanjang hidup kepada pasien (dengan catatan bahwa


perawatan rutin yang optimal untuk mendampingi atau membantu
pasien dalam fase terakhirnya tetap diberikan).22

Prof. Suparovic mengungkapkan klasifikasi euthanasia


sebagai berikut:

1. Euthanasia pasif, yakni mempercepat kematian dengan cara


menolak memberikan pertolongan medis, atau menghentikan
proses perawatan medis yang sedang berlangsung, misalnya
dengan memberikan antibiotik pada penderita radang paru-paru
berat (pneumonia) pemberian obat-obatan (drugs) dengan dosis
tinggi dilakukan untuk mempercepat proses penghentian fungsi
anatomi tubuh yang mendukung kehidupan manusia.

2. Euthanasia aktif yakni mempercepat kematian dengan mengambil


tindakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung
mengakibatkan kematian, misalnya dengan memberikan tablet
sianida atau menyuntikan zat-zat yang mematiakan kepada tubuh
pasien. Tindakan ini langsung ditujukan untuk membunuh pasien,
seperti halnya pada hukuman suntik mati, tindakan ini terkesan
memperlakukan pasien sebagai pelaku tindak kriminal.

3. Euthanasia sukarela yakni mempercepat kematian atas


persetujuan atau permintaan pasien. Adakalanya permintaan
tersebut tidak perlu dibuktikan dengan bukti secara tertulis,
selama ada saksi sebagai bukti lain.

22
Kartono Muhammad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap Bioetika,
Cet. I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992) h. 31
32

4. Euthanasia tidak sukarela (involuntary) yakni mempercepat


kematian tanpa persetujuan atau permintaan pasien. Bahkan bisa
jadi bertentangan dengan kehendak pasien.

5. Euthanasia nonvoluntary yakni mempercepat kematian atas sesuai


dengan keinginan pasien yang disampaikan melalui pihak ketiga,
misalnya keluarga, atau atas keputusan pemerintah. Biasanya
terjadi pada kasus penderita penyakit menular. Demi untuk
memusnahkan endemik penyakit atau membatasi virus, maka
seseorang berpenyakit menular harus dibunuh, sehingga orang-
orang di sekitarnya tidak tertular penyakit yang diderita pasien.23

Berdasarkan klasifikasi di atas, klasifikasi euthanasia


pada intinya mengacu pada dua jenis tindakan dengan masing-
masing ciri dan asumsi berbeda yaitu: Pertama, Euthanasia pasif,
yakni euthanasia yang dilakukan dengan cara membiarkan
seseorang yang dalam kondisi terkena penyakit, tidak
mendapatkan perawatan sebagaimana pasien seharusnya dirawat.
Perlakuan ini dilakukan secara sengaja untuk mempercepat
terjadinya kematian, misalnya untuk penderita kanker akut yang
sudah dianggap sudah tidak bisa disembuhkan. Tindakan ini pun
dilakukan melalui prosedur pemeriksaan dan diagnosa
kedokteran. Jika secara medis pasien dipandang tidak memiliki
harapan sembuh, maka tindakan euthanasia dilakukan dengan
terlebih dahulu meminta persetujuan dari pengadilan. Kedua,
Euthanasia aktif, yaitu tindakan pembunuhan yang dilakukan
dengan cara menghilangkan nyawa seseorang secara langsung

23
Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, (Jakarta: EGC, 2007), h. 184-185
33

tertuju pada kematian, melalui suntikan atau pemberian obat-


obatan yang mematikan. Tindakan ini jelas-jelas bertujuan untuk
membunuh pasien secara langsung, tanpa proses yang lama.
Tujuan lain dari tindakan ini adalah mempercepat proses
penghentian penderitaaan, dengan asumsi bahwa kematian
merupakan jalan terakhir untuk mengakhiri penderitaan dan
penyebaran penyakit.24

D. Penyebab Terjadinya Euthanasia

Tindakan euthanasia dilakukan, karena penderitaan akibat


penyakit yang sulit disembuhkan. Pilihan untuk melakukan
euthanasia diambil, setelah hasil perawatan pasien tidak menunjukan
jalan lain untuk menghilangkan penderitaanya, tindakan itu sendiri
tidak dilakukan serta merta atau secara sembarangan, melainkan
sebagai akibat dari beberapa sebab sebagai berikut :

1. Kondisi pasien. Kondisi ini dapat diklasifikasikan pada beberapa


kondisi yakni:25

a. Ketidakmampuan pasien untuk bertahan terhadap


penderitaan, yakni ketidakmampuan untuk mengatasi rasa
sakit akibat penyakit berat, rasa sakit yang luar biasa dan
ketakutan terhadap cacat.

b. Kekhawatiran pasien terhadap beban ekonomi yang tinggi


dari biaya pengobatan karena untuk penyakit-penyakit yang

24
Soerjono Sukanto, Segi-Segi Hukum dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum
Kesehatan, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 45-47
25
Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fiqh Kontemporer,
(Bandung; Pustaka Hidayah, 1998), h. 179
34

sulit disembuhkan biaya pengobatannya sangat tinggi,


bahkan tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat bawah.
Bila perawatan terus dibiarkan, maka biaya semakin berat
yang ditanggung oleh pihak keluarga, sementara harapan
untuk sembuh atau hidup pasien sangat tipis, bahkan tidak
ada.

c. Ketakutan pasien terhadap derita menjelang kematian,


karena beban derita fisik dan psikologis sangat berat,
sehingga ada kesan bahwa proses menuju mati akan sangat
sulit dan menyakitkan. Bila ini dibiarkan, maka
diasumsikan bisa terjadi gangguan jiwa pasien.

2. Situasi tenaga medis. Terjadinya tindakan euthanasia bisa juga


didasari oleh situasi tenaga medis yaitu:

a. Tenaga medis memandang proses pengobatan sudah tidak


efektif, yakni sudah melalui proses pengobatan dalam
jangka waktu lama, tetapi kondisi pasien belum
menunjukan perubahan. Hal ini dilakukan dengan hati-
hati untuk menghindari mal praktek yang bisa dituduhkan
kepada tenaga medis.26

b. Perasaan kasihan terhadap penderitaan pasien, biasanya


muncul dari pihak keluarga, mengingat kondisi pasien
yang sulit diobati, kondisinya akan sangat menyedihkan
dan mengingat pula penderitaan luar biasa yang akan

26
Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, (Jakarta: EGC, 2007), h. 188
35

dialami oleh pasien dalam jangka waktu yang panjang.

c. Tenaga medis mengabulkan permintaan pasien atau


keluarga untuk menghentikan pengobatan, penghentian
ini dilakukan karena tenaga medis memiliki pandangan
bahwa pihak keluarga sudah tidak bisa lagi bersabar atas
waktu pengobatan yang lama.

Tindakan dilakukan karena penderitaan akibat penyakit yang


sulit disembuhkan. Setelah melakukan perawatan pasien tidak ada
perubahan lalu tindakan euthanasia diambil untuk menghilangkan
penderitaannya. Di samping itu, permintaan untuk dilakukannya
Euthanasia baik oleh pasien maupun keluarganya, mencerminkan
sikap dan perasaan putus asa. Sikap semacam ini tentu saja tidak
disukai dan dilarang oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam firmannya (QS. Yusuf [17]:87)

‫ه ه‬ ْ َْۡ َ َ َ ُ ُ ْ َ ‫ٱذ َه ُبوا ْ َف َت‬


ۡ ‫ََِ ه‬
‫وسف َبأخِيهِ َبَّل تاي ُسوا ِم هر ۡب ِح ٱَّللِۖۡ إِن ُهۥ‬ ‫ح هس ُسوا ِم ن‬ ‫يب ِِن‬
َ َ ۡ َۡ ‫ه ه‬ ْۡ َ
٧٧ ‫َّل نَاي ُس ِم هر ۡب ِح ٱَّلل ِ إَِّل ٱوق ۡو ُم ٱوٰ ِ ِف ُربن‬

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang


Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf [17]:87)

E. Euthanasia dalam Al-Qur’an

Euthanasia di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit,


namun terdapat ayat-ayat yang berkaitan. Dalam QS. Annisa’ ayat
29 menerangkan bahwa Allah berfirman: untuk tidak membunuh diri
sendiri. Namun, Dengan berkembang pesatnya teknlogi zaman
36

sekarang, banyak sekali kejadian-kejadian aneh yang tak


terkira. seperti tindakan euthanasia (Qatlu Rahmah), yaitu
pembunuhan atas permintaan si pasien karena penyakitnya tidak
mungkin dapat disembuhkan dan kalau hidup hanya merasa sengsara.
Dari hasil pengkajian yang penulis baca dan teliti terhadap
jurnal, skripsi, dll. penulis menemukan beberapa ayat yang ada
relevansinya dengan euthanasia ini, diantaranya yaitu:
1. QS. Al-An’am [6]: 151.

ۡ ‫ه‬ ‫ه‬ ۡ ْ ُ ۡ َ
ُ ‫َبَّل َتق ُتلوا ٱنلهف َس ٱوِت َح هر َم ه‬
َ ‫ٱَّلل إَِّل ب‬
ََ ‫ۡۡل ِ ِّۚق‬ِ ِ

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah


(untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar”. (QS Al-Anaam [6]: 151)

2. QS. Ali-Imran [3]:156.

َ ََُۡ َ ُ‫َ هُ ُۡ َُ ُ َ ه‬
ٞ‫ون بَ ِصي‬ ‫ۡحۦ بي ِميتُۗ بٱَّلل بِما تعمل‬
ِ ‫بٱَّلل ن‬
“Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian
itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati
mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa
yang kamu kerjakan” (QS. Ali-Imran [3]:156)

3. QS. Al-Luqman [31]:34.

ِ‫وماِتدرىِنفسٌِۢبأىِأر ٍضِتموتِِۚإنِٱّللِ عليمِِخِبير‬

“Dan tiada seorangpun yang mengetahui di bumi mana dia akan


mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Luqman [31]:34)

4. QS. Al-Maidah [5]:32


37

ۡ‫سا ب َغ ۡي َن ۡفس أَب‬ َۢ َ ‫ِنل َأنه ُهۥ َم َق َت َل َن ۡف‬


َ ََٰٓ ۡ ٓ َ ِ َ َ َ ۡ َ َ َ ِ َ ۡ َ ۡ
‫ِم أج ِل ذل ِك كتبنا لَع ب ِِن إِسء‬
ٍ ِ ِ
َ َ َ َ َ َۡ ۡ ََ ٗ َ َ ‫َ ََهَ َََ ه‬
َ َۡ
َ‫كأ هن َما ٓ أ ۡحيا‬ ‫ۡرض فكأنما قتل ٱنلاس َجِيعا بم أحياها ف‬ ِ ‫ف َسادٖ ِِف ٱۡل‬
َ
َ َ
‫يا م ِۡن ُهم َب ۡع َد ذِل ِك‬ ٗ ِ ‫ت ُث هم إ هن َكث‬ َ ۡ َُ ۡ ٓ َ ۡ ََ ٗ َ َ
ِ ِ ِ‫ٱنلهاس َجِيعا ۚ َبوقد جا َءت ُه ۡم ُر ُسلنا بِۡۡلَيِن‬
َ ُ ۡ َُ َۡ
٢٣ ‫ۡسفون‬
ِ ‫ۡرض لم‬ ِ ‫ِِف ٱۡل‬

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-
keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka
bumi”. (QS. Al-Maidah [5]:32)

5. QS. Al-Isra [17]:33.


ۡ َ َ ٗ ُ ۡ َ َ ُ َ َ َۡ ‫ََ َۡ ُُ ْ هۡ َ ه َ ه َ هُ ه‬
‫وما فق ۡد َج َعل َنا‬ ‫ٱَّلل إَِّل بِۡۡل ِقِّۗ بم قتِل مظل‬ ‫بَّل تقتلوا ٱنلفس ٱو ِِت حرم‬
ُ ‫ل َِو ِلهِۦ ُس ۡل َطِ ٗنا فَ ََل ي ُ ۡۡسف ِف ۡٱو َق ۡتل إنه ُهۥ ََك َن َم‬
ٗ ‫نص‬
٢٢ ‫ورا‬ ِ ِۖ ِ ِ ِ ِ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan”. (QS. Al-Isra [17]:33)

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi


dokter untuk melakukan euthanasia. Sebab tindakan itu termasuk ke
dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang
merupakan tindak pidana dan dosa besar. Tidak dapat diterima, alasan
euthanasia yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat
38

penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan


kematiannya. mempercepat kematian dengan euthanasia , pasien tidak
mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah
kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa.

ِ‫عنِأبيِهريرةِعنِالنبيِصلىِاّللِعليهِوسلمِقالِماِيصيبِالمسلمِمن‬

ِ‫نص ٍبِولاِوص ٍبِولاِه ٍمِولاِحز ٍنِولاِأذىِولاِغ ٍمِحتىِالشوكةِيشاكها‬

ِ‫إلاِكفرِاّللِبِهاِمنِخطاياه‬

Dari Abu Hurairah Nabi SAW bersabda: “Tidaklah menimpa


kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit,
kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang menimpanya itu”. (HR Bukhari dan Muslim).

Nabi saw bersabda “jika seseorang dicintai Allah maka ia akan


dihadapkan kepada cobaan yang beragam” jika manusia berputus asa
dalam menghadapi penderitaan maka Allah menjanjikan jalan
keluarnya, yaitu dalam QS. Az-Zumar:53 yaitu:

‫ه‬ ‫ه‬ ٰٓ
ِ‫قل ِٰيعبادي ِالذين ِاسرفواِعلىِانفسهم ِلاِتقنطواِمن ِرحمة ِاّلل‬
ِ‫ۗان ِاّلل‬

ٗ ُّ
ِ‫ۗانهِهوِالغفورِالرحيم‬
ِ‫يغفرِالذنوبِجميعا‬

“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas


39

terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari


rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (QS. Az- Zumar [39]:53)

Adapun alasan apabila ada pasien yang masih muda dan


diprediksikan lebih berpeluang untuk sembuh, petugas medis lebih
mengutamakan pasien yang lebih muda tersebut. Namun bagi seorang
muslim, masalah seperti ini tidak diindahkan, hal ini di tegaskan di
dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 145:
ٗ ‫َ َ َ َ َ ۡ َ َ ُ َ ه ۡ ه َ ٗ ُّ َ ه‬
ُۗ ‫بما َكن ِنلف ٍس أن تموت إَِّل بِإِذ ِن ٱَّلل ِ كِتِبا مؤجَل‬

"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin


Allah, sebagai ketetapan yang Telah ditentukan waktunya". (QS. Ali
Imran:145)

Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa pasien yang sakit


ringan mampu hidup lebih lama ketimbang pasien yang sakit parah.
Padahal kematian seseorang tidak akan terjadi kecuali atas kehendak-
Nya.

Sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang boleh
dihabisi. Untuk ini Allah SWT telah berfirman dalam QS. Al-Isra (17)
: 33, Islam menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup)
seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga
sebab yaitu :

a. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.


b. Janda/duda (yang pernah bersuami) secara nyata bertuat zina.
Yang diketahui oleh empat orang saksi (dengan mata kepela sendiri)
c. Orang yang keluar dan agama islam, sebagai suatu sikap
40

menentang jamaah Islam.


Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun
untuk melepaskan nyawanya hanya karena ada suatu bala’ atau
musibah yang menimpanya atau karena gagal dalam cita-cita yang
diimpi-impikan. Sebab seorang mukmin diciptakan justru untuk
berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Sebab setiap mukmin
mempunyai senjata yang tidak bisa sumbing dan mempunyai
kekayaan yang tidak bisa habis yaitu senjata iman dan kekayaan
budi.27

F. Euthanasia Dalam Kajian Islam

Islam sangat menghargai jiwa, khususnya terhadap jiwa


manusia. Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia
adalah anugrah dan rahmat dari Allah SWT. Dimulai sejak terjadinya
pembuahan, tahap penciptaan dan pembuatan manusia. Seseorang
sama sekali tidak berwenang dan dilarang untuk melenyapkannya
tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri. Sebagaimana firman Allah :
QS. Al-Hijr (15) : 23 dan QS. An-Najm (53) :44

Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak memandang rendah


terhadap jiwa manusia, sehingga Allah memberikan ancaman dan
peringatan bagi orang yang meremehkannya. Tindakan merusak
ataupun menghilangkan jiwa dan raga milik orang lain maupun jiwa
dan raga milik sendiri merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan
dianggap melawan kehendak Allah. Adanya peringatan dan ancaman
dari Allah SWT dalam rangka memelihara dan melindungi jiwa

27
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Halal dan Haram dalam Islam, (terj.), (Singapura:
Himpunan Belia Islam, 1980), hal, 452-453
41

manusia secara keseluruhan, sebagaimana firman Alah SWT : QS Al-


Baqarah (2) : 179 Orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa
alasan yang dibolehkan dan dibenarkan agama, menurut Islam sama
halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat seluruhnya
Karena Islam memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap
jiwa manusia.

Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam,


yaitu: Pertama, pembunuhan sengaja (Alqathl al-’amd), suatu
perbuatan yang direncanakan dahulu dengan menggunakan alat
dengan maksud menghilangkan nyawa. Kedua, pembunuhan semi
sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), suatu perbuatan penganiayaan
terhadap diri seseorang tidak dengan suatu maksud membunuhnya,
tetapi mengakibatkan kematian. Ketiga, pembunuhan karena
kesalahan (Al-qathl al-khatta), pembunuhan yang terjadi karena
adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.28

AR. Fachruddin yang dikutip oleh Imron Halimi mengemukakan


bahwa dilihat dari aspek Agama Islam, Euthanasia untuk menolong si
penderita ditolak dengan tegas, sebab orang yang sudah koma tidak
dapat merasakan apa-apa lagi. Mungkin malah justru orang yang
masih hiduplah yang merasa menderita.29

Para tokoh Islam di Indonesia sangat menentang dilakukannya


euthanasia, Prof Dr. Amir syarifuddin menyebutkan bahwa
pembunuhan untuk menghilangkan penderitaan si sakit sama dengan

28
Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000) h. 123
29
Ahmad Wardi Muslich, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif Dan Hukum
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 76
42

larangan Allah membunuh anak untuk tujuan menghilangkan


kemiskinan. Tindakan dokter dengan menggunakan obat atau
suntikan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup pasien adalah
termasuk pembunuhan disengaja. Hal tersebut berarti mendahului
takdir Tuhan, meskipun niatnya adalah untuk melepaskan penderitaan
pasien atau juga melepaskan tanggungan keluarga. Akan tetapi
apabila dokter tidak lagi memberi pasien obat, karena yakin obat yang
ada sudah tidak bisa menolong. Sekalian mengizinkan si pasien di
bawa pulang, andai kata pasien itu meninggal, maka sikap dokter itu
tidaklah termasuk perbuatan pembunuhan.30

Demikian juga dari sudut pandang agama, ada sebagian yang


membolehkan dan ada sebagian yang melarang terhadap tindakan
euthanasia, Islam mengajarkan bahwa jika kematian datang tidak ada
seorang pun yang dapat memperlambat atau mempercepatnya. Allah
menyatakan bahwa kematian hanya terjadi dengan izin-Nya dan
kapan saat kematian itu tiba telah ditentukan waktunya oleh Allah.
Dalam Islam kematian adalah sebuah gerbang menuju kehidupan
abadi (akhirat) dimana setiap manusia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup didunia
dihadapan Allah SWT.31

ِ:ِِِِ‫ِقالِرسولِاّللِصلىِاّللِعليهِوسلم‬:‫ِقال‬،‫عِنِِجندبِبنِعبدِاّلل‬

30
Chuzaimah T Yanggo dan HA Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995) hal. 61
31
https://aul-al-ghifary.blogspot.com/2013/10/hukum-euthanasia-menurut-islam.html,
diakses tanggal 22 Agustus 2021.
43

ِ،‫ِفأخذِسكيناِفحزِبهاِيده‬،‫ِفجزع‬،‫كانِفيمنِكانِقبلكمِرجلِبهِجرح‬

ِِ‫ِحرمت‬،‫ِبادرنيِعبديِبنفسه‬:‫ِقال ِاّلل ِتعالى‬،‫فمارقأ ِالدم ِحتىِمات‬

.ِِ‫عليهِِِالجنة‬

“Dari Jundub bin Abdullah, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada seorang laki-laki sebelum
kamu yang mengalami luka, lalu dia berkeluh kesah, kemudian dia
mengambil pisau, lalu dia memotong tangannya. Kemudian darah
tidak berhenti mengalir sampai dia mati. Allâh Azza wa Jalla
berfirman, ‘Hamba-Ku mendahului-Ku terhadap dirinya, Aku
haramkan surga baginya’. [HR. Al-Bukhâri, no. 3463]

Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa Islam tetap tidak


membolehkan si penderita menghabisi nyawanya, baik dengan
tenaganya sendiri (bunuh diri) dengan minum racun atau
menggantung dirinya dan sebagainya, maupun dengan bantuan orang
lain, sekalipun itu dokter dengan cara memberikan suntikan
mematikan atau obat yang dapat mempercepat kematian (euthanasia
aktif) atau dengan cara menghentikan segala macam pertolongan bagi
si penderita, termasuk kelanjutan proses pengobatannya (euthanasia
pasif).32

Namun Ibrahim Hosen menyatakan bahwa, Islam membolehkan

32
Masjfuk Zuhdi, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Mimbar Hukum No. 6
Tahun VII, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996) h. 157
44

penderita AIDS dieuthanasia bilamana memenuhi syarat-syarat


berikut:

1. Obat atau vaksin tidak ada


2. kondisi kesehatannya makin parah
3. atas permintaannya atau keluarganya serta atas persetujuan
dokter
4. adanya peraturan perundang-undangan yang mana
mengizinkannya.

Pendapat Ibrahim Hosen, disandarkan kepada suatu kaidah


ushul fiqh: Al-Irtifaqu Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan
dari dua mudlarat. Jadi katanya, langkah ini boleh dipilih karena ia
merupakan pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama, penderita
mengalami penderitaan. Kedua, jika menular membahayakan sekali
artinya dia menjadi penyebab orang lain menderita karena tertular
penyakitnya dan beliau bukan hanya menganjurkan euthanasia pasif
tapi juga euthanasia aktif.33

Sedangkan syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif,


karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al
amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan
pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien
sendiri atau keluarganya. Hal itu karena yang berhak mematikan dan
menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia
dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi

33
Masjfuk Zuhdi, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Dalam Mimbar Hukum
No. 6 Tahun VII, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996), h. 28
45

hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).34

Sudah merupakan fitrah manusia selalu ingin hidup sehat, baik


fisik maupun mental. Namun keinginan manusia itu tidak selalu
terpenuhi. Dalam hidupnya manusia terkadang sakit atau menderita
suatu penyakit. Ada yang menderita suatu penyakit yang tergolong
berat dan sukar, ada pula yang menderita suatu penyakit ringan dan
mudah disembuhkan. Dari penyakit-penyakit ini, baik berat maupun
ringan dianjurkan oleh agama untuk mengobatinya, karena sebagai
mana sabda Rasulullah saw yang artinya “Tidaklah Allah menurunkan
suatu penyakit, melainkan ia menurunkan pula obatnya”35

Para Ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama.


Berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat
bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits
Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita
yang ditimpa penyakit, wanita itu meminta kepada Nabi SAW agar
mendoakannya, lalu beliau menjawab “Jika engkau mau bersabar
(maka bersabarlah) engkau akan mendapat surga; jika engkau mau,
maka saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Wanita
itu menjawab aku akan bersabar. Sebenarnya saya tadi ingin
dihilangkan penyakit saja, oleh karena itu doakanlah kepada Allah
agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya. Lalu Nabi
mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya”.

Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya

34
https://naifu.wordpress.com/2010/08/12/euthanasia-dalam-perspektif-al-
qur%E2%80%99an/, diakses tanggal 22 Agustus 2021.
35
Shahih Al-Bukhari, Juz V (Beirut: Dar Al-Fikri, 1992 ), h.11
46

mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang


mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan
Hanabilah, seperti yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.36

Dalam kaitan ini Imam Abu Hamid Al-Ghazali membantah


orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam
keadaan apapun. Pendapat fuqaha yang lebih popular mengenai
masalah berobat atau tidak bagi orang sakit adalah: sebagian besar
diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya
sunat, dan sebagian kecil lagi (lebih sedikit) berpendapat wajib.37

36
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta,
Gema Insani Press: 2003) h.180
37
https://aul-al-ghifary.blogspot.com/2013/10/hukum-euthanasia-menurut-islam.html,
diakses tanggal 22 Agustus 2021.
BAB III

BIOGRAFI MUFASIR DAN KITAB TAFSIR

Pada bab III ini penulis akan mengemukakan mengenai riwayat hidup Hamka
dan Quraish Shihab, Latar belakang pendidikan, karya-karya, riwayat
penulisan tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah, metode, corak penafsiran,
sistematika penulisan tafsir dan sumber rujukan. Karena sebelum ke bab
selanjutnya pembaca perlu mengetahui tentang biografi Hamka dan tafsir Al-
Azhar, biografi Quraish dan Tafsir Al-Misbah.

A. Biografi Buya Hamka (L. 1908-W. 1981) dan Tafsirnya


1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), lahir di sungai


Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Minggu, tanggal 16
Februari 1908 M/13 Muharram 1326 H dari kalangan keluarga yang
taat beragama.1 Beliau merupakan salah satu tokoh pahlawan Nasional
yang juga seorang tokoh Intelektual Islam besar di Indonesia. Karya
serta pemikirannya dapat memberikan dampak baru yang bahkan tak
jarang menjadi perdebatan sengit bahkan diantara kalangan para
pemikir itu sendiri. Baik itu pemikirannya tentang Pluralisme, politik,
pendidikan, Teologi maupun Modernisme, selalu dapat menjadi topik
bahasan dan sumber yang menarik dan Aktual.2

Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal


dengan sebutan Haji Rasul bin Syeikh Muhammad Amrullah (gelar

1
HAMKA, Kenang-Kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 9.
2
Nasruddin, “Sejarah Intelektual Islam Indonesia” Jurnal (Studi Kasus Pemikiran
Nurchalish Madjid dan Buya Hamka), h. 2
47
48

Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdul Saleh. Haji Rasul merupakan salah
seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor
kebangkitan Kaum Mudo, dan tokoh Muhammadiyah di
Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah binti Haji
Zakaria (w. 1934). Dari genelogis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal
dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan
generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan
awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang
menganut sistem matrilinear. Oleh karena itu, dalam silsilah
Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.3

Hamka merupakan anak pertama dan mempunyai tiga orang adik


yaitu, Abdul Kudus, Asma, dan Abdul Muthi.2 Nama lahirnya ialah
Abdul Malik, nama tersebut diberikan oleh ayahnya yang diambil dari
nama anak gurunya, Syeikh Ahmad Khathib di Mekkah yang bernama
Abdul Malik pula, yang di zaman pemerintahan Syarif Husain pernah
menjadi Duta Besar Kerajaan Hasyimiyah di Mesir.4

Menurut Abdul Rouf, nama asli Hamka adalah Abdul Malik. Lalu
diberi gelar buya oleh para penganut faham Muhammadiyah di
Minangkabau, yang menunjukkan bahwa orang itu memiliki
kedalaman ilmu dalam pengetahuan agama. Panggilan tersebut setara
dengan panggilan kyai di Pulau Jawa. Nama Hamka merupakan
singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang juga merujuk
kepada nama ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah.5

3
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA
tentangPendidikan Islam, Cet. I (Jakarta: Kencana, 2008), h. 15-18
4
HAMKA. Ayahku… Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: UMMINDA, 1982), h. 64
5
Abdul Rouf, Tafsir Al Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA, Cet. I, (Selangor: Piagam
49

Hamka mulai mengenyam pendidikan saat usia enam tahun,


ayahnya mengajarkan bagaimana membaca huruf Arab dengan baik
dan benar. Selain itu, Hamka juga mulai diajarkan sholat dan membaca
Al-Qur’an. Dalam hal pendidikan, ayahnya tidak mau menunjukkan
rasa sayang kepada anak-anaknya, hal ini dimaksudkan agar ada rasa
segan anak kepada ayahnya. Maka dari itu, Hamka merasa lebih
sayang kepada kakek dan neneknya dibandingkan terhadap ayahnya.
Hamka disekolahkan di Sekolah Desa ketika ia berumur tujuh tahun.
Pada tahun 1916, Engku Zainuddin Labai mendirikan sekolah Diniyah.
Kegiatan sekolah Diniyah ini dilakukan pada petang hari. Hamka
dimasukkan ke sekolah tersebut pada umur 8 tahun sehingga dia
merangkap di dua sekolah sekaligus. Pagi hari Hamka masuk di
Sekolah Desa dan petangnya masuk di sekolah Diniyah. Hamka hanya
mendapatkan pendidikan selama tiga tahun di sekolah desa.6

Dua tahun kemudian tepatnya pada Februari 1918 setelah


ayahnya pulang dari Jawa, ayahnya bersama dengan para muridnya
mendirikan Thawalib School (Sumatera Thawalib) di Padang Panjang,
sekolah ini diketuai oleh Hasyim Alhusni. Dari Sekolah Desa, Hamka
dicabut dan dimasukkan oleh ayahnya ke Sumatera Thawalib dengan
hasrat agar anaknya kelak menjadi ulama seperti ayahnya.7 Namun
Suasana belajar di Thawalib School tidak menarik perhatiannya,
Hamka malah lebih banyak sibuk membaca secara autodidak
diperpustakaan Zainaro karena perhatiannya tertuju pada buku-buku

Intan SDN.BHD, 2013), h. 19


6
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual (Jakarta: Kencana, 2008), h.
18-19.
7
HAMKA, Mutiara Filsafat, cet. 2, (Jakarta: Widjaya, 1956), h. 7.
50

cerita dan sejarah.8

Hamka aktif mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Organisasi


Sarikat Islam sekaligus menjadi anggota. Hamka berkenalan dan
menimba ilmu tentang pergerakan kepada para aktivis, seperti Haji
Oemar Said Cokroaminoto (Sarekat Islam), Ki Bagus Hadikusumo
(Ketua Muhammadiyah), H. Fakhrudin, K.H. Mas Mansur dan RM
Suryopranoto. Bersama mereka Hamka belajar tentang Islam dan
Sosialisme, Sosiologi dan Ilmu Tauhid. Hamka bersama dengan kaum
muda aktivis, ikut kursus-kursus tentang pergerakan. HAMKA juga
sempat pergi ke Bandung dan bertemu tokoh Masyumi A. Hassan dan
M. Natsir yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam
majalah “Pembela Islam”. Selain aktif mengikuti Sarekat Islam,
Hamka juga aktif sebagai anggota Muhammadiyah. Beberapa bulan
berikutnya ia pergi ke Pekalongan dan mukim di tempat A.R Sutan
Mansyur, tokoh Muhammadiyah Pekalongan yang juga kakak iparnya.
Disini Hamka berkenalan lebih jauh dengan para tokoh
Muhammadiyah dikota batik itu.Seperti Citrosuarno, Mas Ranuwarjo,
Mas Usman Pujotomo dan Mohammad Roem yang kala itu ia hanya
mendengar nama tetapi belum berkenalan.9

Pada tahun 1927 ketika berumur 19 tahun, tanpa pamit Hamka


pergi berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi di
Mekkah untuk belajar mengenai Islam secara mendalam. Di Mekkah,

8
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, cet 1 (Jakarta: kencana,
2014), h. 236
9
Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. HAMKA, cet. 2, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983), h. 2.
51

Hamka bertahan hidup dengan cara bekerja di perusahaan percetakan-


penerbitan milik Tuan Hamid, ipar dari Syeikh Ahmad Khatib.10
Menurut Rusydi Hamka, kegiatan politik Hamka bermula pada
tahun 1925 ketika Hamka menjadi anggota partai politik Sarekat Islam.
Pada tahun 1945, Hamka membantu menentang usaha kembalinya
Penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai geriliya
di dalam hutan Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi
ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau juga menjadi
anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam
Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudian diharamkan oleh
Pemerintah Indonesia pada tahun 1960.11
Menginjak usia 29 tahun, Hamka memulai aktifitas kerjanya
dengan menjadi seorang guru agama di perkebunan Tebing Tinggi.
Hamka kemudian meneruskan karirnya sebagai seorang pengajar di
Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah di Padang
Panjang dari tahun 1957 sampai tahun 1958. Setelah itu dia dilantik
sebagai seorang rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan juga
menjabat sebagai guru besar di Universitas Mustopo Jakarta12

Diantara guru-guru dan teman seperjuangan Hamka antara lain;


Haji Rasul (ayahnya), Syeikh Ibrahim Musa, R.M. Surjopranoto, A.R.
Sutan Mansur (dewan penasehat Muhammdiyah 1962-1980), H.
Fachroedin (wakil ketua P.B. Muhammadiyah), K.H. Mas Mansur,

10
Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah, cet.
1,(Jakarta: YPI Al Azhar, 2008), h. 21.
11
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji
Mas,1989), h. 7
12
Badiatul Razikin (dkk.), 101 Jejak Tokoh Islam, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009) h.
191
52

H.O.S. Cokroaminoto (yang mengajarinya tentang peradaban Barat),


A. Hasan, M. Natsir, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri organisasi
Muhammadiyah), K.H. Ibrahim, K.H. Mukhtar Bukhari, dan K.H.
Abdul Mu’thi.

Di antara karya-karyanya:

Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab, Si Sabariah.


(1928), Pembela Islam “Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq” (1929), Adat
Minangkabau dan agama Islam (1929), Ringkasan tarikh Ummat Islam
(1929), Kepentingan melakukan tabligh (1929), Hikmat Isra' dan Mikraj,
Arkanul Islam (1932) di Makassar, Laila Majnun (1932), Mati mengandung
malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934, Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936),
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937),

2. Profil Tafsir Al-Azhar


a. Latar belakang penulisan

Tafsir Hamka dinamakan Al-Azhar karena serupa dengan nama


masjid yang didirikan di tanah halamannya, Kebayoran Baru.13 nama
masjid itu diberikan oleh syekh Mahmud Syaltout (W. 13 Desember
1963) (yang pada waktu itu beliau menjabat sebagai rektor universitas
al-Azhar) dimaksudkan agar masjid ini menjadi al-Azhar di Jakarta
sebagaimana adanya al-Azhar di Kairo. Diberikan nama tafsir al-
Azhar kerena tafsir ini lahir di masjid al-Azhar. Ada beberapa faktor
yang menjadi niat Hamka dalam pembuatan tafsir al-Azhar ini
diantaranya ingin memudahkan para pemuda yang ingin mengetahui
maksud ayat-ayat Al-Qur’an namun terkendala oleh faktor ketidak

13
HAMKA, Tafsir al-Azhar, 43. Hal ini sebagaimana yang dituliskan dalam tafsirnya:
“Langsung saya berikan nama baginya Tafsir al-Azhar, sebab “tafsir” ini timbul di dalam
mesjid agung al-Azhar, yang nama itu diberikan oleh Syaikh Jami’ al-Azhar sendiri.
53

mampuan mereka dalam memahami bahasa arab, memberikan


kemudahan pada para mubaligh untuk menyampaikan dakwah di
zaman yang semakin berkembang.14

Tafsir Al-Azhar ditulis berasaskan pandangan dan kerangka


manhaj yang jelas dengan merujuk pada kaedah Bahasa Arab, tafsiran
salaf, asbâb al-nuzûl, nâsikh-mansûkh, Ilmu Hadis, Ilmu Fiqh dan
sebagainya. Ia turut men-zahirkan kekuatan dan ijtihad dalam
membandingkan dan menganalisis pemikiran madzhab. Tafsir ini
merupakan pencapaian dan sumbangan terbesar Hamka dalam
membangun pemikiran dan mengangkat tradisi ilmu yang melahirkan
sejarah penting dalam penulisan tafsir di Nusantara.15 Adapun tujuan
terpenting dalam penulisan Tafsir al-Azhar adalah untuk memperkuat
dan memperkukuh hujjah para muballigh dan mendukung gerakan
dakwah.16

Pada dasarnya Hamka tidak bermaksud menuliskan sebuah tafsir


sebagaimana yang telah dinikmati oleh umat Islam di Indonesia
hingga sekarang. Tetapi tafsir tersebut sebenarnya materi-materi
ceramah shubuh di masjid agung di Al-Azhar. Hamka menjadi
penceramah tetap di masjid tersebut sejak tahun 1959, namun masjid
tersebut belum diberi nama Al Azhar. Dalam waktu yang bersamaan,
Hamka bersama KH. Fakih Usman dan H. M. Yusuf Ahmad,
menerbitkan majalah Panji Masyarakat.17

14
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, h.46
15
Hamka, Tafsir Al-Azhar, h.58
16
Hamka, Tafsir Al-Azhar, h.6
17
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Sebuah Telaah Atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam (Jakarta: Penamadani, 2003), h. 55
54

b. Sumber, Metode, Corak, dan Sistematika Penafsiran Al-


Azhar

Tafsir Al-Azhar ditinjau dari sumber atau jenis tafsir, ia


merupakan perpaduan antara tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi.18 Hal
ini dikarenakan ia memulai penafsirannya dengan menjelaskan
munasabah ayat, kemudian menjelaskan kosakata ayat, setelah itu ia
menjelaskannya dengan hadits Rasulullah SAW.
Metode Tafsir Al-Azhar karya Hamka termasuk dalam jenis
metode tahlily, Hamka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ayat demi
ayat, dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf
Utsmany. Selain itu Hamka mencoba menjelaskan munasabah baik
antara satu ayat dengan ayat yang lain maupun antara satu surat dengan
surat yang lain, menjelaskan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) jika
ada, menjelaskan kosa kata dari sudut pandang bahasa arab,
memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya,
menjelaskan i’jaz jika didalamnya terdapat unsur mukjizat,
menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat ayang akan dibahas
khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam.

Metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang digunakan oleh


mufassir untuk menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat al Qur’an dari
berbagai aspek dengan menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan
susunan ayat-ayat yang tedapat dalam mushaf al Qur’an, melalui
pembahsan kosa kata asbab an-nuzul, munasabah ayat, dan menjelaskan
makna yang terkandung dalam ayat-ayat sesuai dengan kecendrungan serta

18
Dewi Murni, “Tafsir Al-Azhar (Suatu Tinjauan Biografis dan Metodologis)”, Jurnal
, (2015), h. 33.
55

keahlian mufassir.19

Dilihat dari latar belakang Hamka sebagai seorang sastrawan


sehingga ia berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang
dipahami semua golongan dan bukan hanya di tingkat akademisi atau
ulama. Di samping itu, ia memberikan penjelasan berdasarkan kondisi
sosial yang sedang berlangsung (pemerintahan Orde Lama) dan situasi
politik waktu itu. Ada beberapa corak yang mendominasi penafsiran
Hamka dalam tafsir al-Azhar, namun yang begitu kental adalah nuansa
sosial kemasyarakatan, Hamka berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an dengan kondisi permasalahan yang sedang dihadapi dan
dibutuhkan oleh masyarakat.

Tafsir al-Azhar karya Hamka ini termasuk dalam corak adabul


ijtima’i. Corak ini menjelaskan ayat Al-Qur’an berdasarkan ketelitian
ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan
menekankan tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an lalu
mengapilkasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-
masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan
perkembangan masyarakat.20

Sistematika yang digunakan Hamka yaitu khusus pada awal surah,


sebelum menguraikan penafsiran terlebih dahulu beliau menulis
pendahuluan yang isinya sekitar penjelasan mengenai surah tersebut
antara lain arti nama surah, sebab surah tersebut diberi nama demikian,
asbabun nuzul ayat termasuk mengenai kontradiksi berbagai pendapat

19
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Mizan, 1993). Hal.
117.
20
M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah & Ulum Al-Qur’an, Cet V, (Jakarta:Pustaka
Firdaus, 2015), h. 18
56

para ulama menyangkut sebab turun surah tersebut. Barulah beliau


menafsirkan ayat-ayat tersebut dahulu memberikan judul pada pokok
bahasan sesuai dengan pokok kelompok ayat yang ditulis sebelumnya.21

c. Rujukan Tafsir Al-Azhar

Sumber rujukan antara lain tafsir al-Manar karya Rashid Ridha


dan gurunya Muhammad Abduh, tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-
Maraghi, tafsir Mahasin al-Ta’wil karya al-Qashimi, tafsir Fi Dzilalil
Qur’an (di bawah lindungan al-Qur‟an) karya Sayyid Quthub, Tasir
ath-Thabari, Ar-Razi, Ruhul Ma’ani, Jalalain, Lubab at-Ta’wil fi
Ma’ani at-Tanzil, Tafsir al-Khazin, Fathul Qadir, Nayl al-Authar,
Irsyad al-Fahul, Al-Baghawi, Fath Al-Bari fi Syarh al-Bukhari, Sunan
Abu Daud, Tafsir Ruh Al-Bayan, Sunan At-Tirmidzi, AT Targhib wa at-
Tarhib, Tafsir al-Manar, al-Jawahir, Tafsir al-Maraghi, Tafsir fi Zhilal
Al-Qur’an, Al-Furqan, al-Majmu’ Syarh Muhazzab Muwaththa’ Malik,
dll.22

Hamka sendiri membuat pengakuan bahwa tafsir yang menarik


hatinya dan dijadikan contoh dalam penulisan Tafsir al-Azhar
adalahTafsir al-Manar karangan Sayyid Rasyid Ridha, berdasar pada
ajaran tafsir gurunya, Syekh Muhammad Abduh.23

B. Biografi M. Quraish Shihab (L. 1944) dan Tafsirnya


1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan

21
Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 73
22
Muhammad Nurhamdi Prasetya, “Bala’ dalam Al-Qur’an Menurut Tafsir Al-Azhar
Karya Buya Hamka”, Skripsi (Medan: UIN Sumatra Utara,2018), h. 37
23
Abdullah Sani Ritonga dkk, “Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Hamka”, Jurnal, h.
530
57

M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari 1944 di kabupaten


si dendeng Rampang, Sulawesi Selatan sekitar 190 Km dari kota Ujung
Pandang,24 Ia termasuk ulama dan cendikiawan muslim Indonesia yang
dikenal ahli dalam bidang tafsir Al-Qur'an. Ayah Quraish Shihab, Prof.
KH Abdurrahman Shihab, seorang ulama dan guru besar dalam bidang
tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh
pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi
Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya
membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas
Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di
kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia
juga tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi
tersebut: UMI 1959 – 1965 dan IAIN 1972 – 1977.25

M. Quraish Shihab dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim


yang taat, pada usia sembilan tahun, ia sudah terbiasa mengikuti
ayahnya ketika mengajar. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986)
merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadian bahkan
keilmuannya kelak. Ia menamatkan pendidikannya di Jam’iyyah al-
Khair Jakarta, yaitu sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia. Ayahnya seorang Guru besar di bidang Tafsir dan pernah
menjabat sebagai rektor IAIN Alaudin Ujung Pandang dan juga sebagai
pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung Pandang.26

M. Quraish Shihab memulai pendidikan di Kampung halamannya

24
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, h. 6
25
Rizki Syahputra, “Prinsip Dan Landasan Ekonomi Islam M. Quraish Shihab”, Jurnal,
(2014), h.70
26
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan,
1999), h. 5
58

di Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikan menengahnya di


Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dar al- Hadist al-Fiqhiyyah.13
Kemudian pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo Mesir untuk
meneruskan pendidikannya di al-Azhar dan diterima di kelas II
Tsanawiyyah. Selanjutnya pada Tahun 1967 dia meraih gelar Lc. (S1)
pada Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadist Universitas Al-Azhar.
Kemudian dia melanjutkan pendidikanya di fakultas yang sama,
sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk spesialis Tafsir Al-
Qur’an dengan judul al- I’jāz al-Tasyri’ li al-Qur’ān al-Karīm27

Di antara karya-karyanya:

Tafsir Al-Manar: Keistimewan dan Kelemahannya (1984),


Filsafat Hukum Islam (1987), Mahkota Tuntunan Illahi: Tafsir Surat
Al- Fatihah (1988), Membumikan Alquran: Fungsi dan Peranan
Wahyu dalam Kehidupan Maysarakat (1994), Studi Kritik Tafsir al-
Manar (1994), Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994),
Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat
(1996), Hidangan Ayat-Ayat Tahlil (1997), Tafsir Alquran Al-Karim:
Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunya Wahyu (1997),
dll.

2. Profil Tafsir Tafsir Al-Misbah


a. Latar belakang penulisan

Kitab Tafsir Al-Misbah ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab


di Kairo, Mesir pada tahun 1420 H. Beliau menyelesaikannya di Jakarta

27
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 14
59

pada tanggal 8 Rajab 1432 H28, Nama lengkap karya ini berjudul: Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Kitab tafsir ini
diberi singkatan tafsir al-Misbah yang artinya lampu, pelita, dan lentera
dengan fungsi memberikan penerangan kepada siapa saja yang masih
berada dalam suasana kekelamaan. Pemberian nama pada kitab ini,
beliau berharap supaya karya tulisnya dijadikan sebagai cahaya untuk
mencari petunjuk dan pedoman di dalam kehidupan29 Kata “Pesan”
terdapat makna Al-Qur’an yakni firman-Nya yang berisikan hudan
kepada setiap makhluknya. Kata “Kesan” bermaknakan kutipan-
kutipan berbagai macam tafsir para ulama. Sedangkan kata
“Keserasian” ialah munasabah dan satu surah ke surah lainnya
(berkaitan)30

Penulisan karya tafsir ini, juga disebabkan adanya anjuran teman-


temannya, bahkan salah seorang yang ia tidak kenal pernah mengirim
surat kepadanya untuk menulis tafsir.

b. Sumber, Metode, Corak, dan Sistematika Penafsiran Al-


Misbah

Umumnya para Şāhib al-Tafsīr dalam memahami ayat-ayat Al-


Qur’an menggunakan sumber riwayat yang dikenal dengan Tafsīr bi al-
Ma’śūr atau sumber penalaran yang dikenal dengan Tafsīr bi al-Ra’y.
Dalam Tafsīr al-Misbah, keduanya dipergunakan oleh M. Quraish
Shihab, walau yang agak menonjol adalah penggunaan Tafsīr bi al-

28
Fitri Rohani, Akal Sebagai Instrumen Belajar Manusia Dalam Tafsir Al-Misbah,
Skripsi, (UIN Sumatera Utara Medan, 2018)
29
Badru Tamam, . Corak Pemikiran Kalam Muhammad Quraish Shihab Dalam Tafsir
Al-Misbah, Tesis, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 37-38
30
Nur, Afrizal, Tafsir Al-Misbah dalam Sorotan (Kritik Terhadap Karya Tafsir Prof. M.
Quraish Shihab), (Pustaka AlKausar, Jakarta: 2018) h.3
60

Ra’yi.31

Metode yang digunakan adalah metode tahlili, Dengan metode


tafsirnya ini, M. Quraish Shihab kemudian memasukkan ide-ide dan
gagasan-gagasan intelektualnya. Setelah itu, barulah ia pindah ke ayat
berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surah sesuai yang
termaktub di dalam muşhaf.

Tafsir ini bercorak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i. Corak tafsir ini


terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan Al-
Qur’an, menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam,
memperbaiki tatanan kemasyarakatan umat, dll.

Dalam penyusunan tafsirnya M. Quraish Shihab menggunakan


urutan Mushaf Usmani yaitu dimulai dari Surah alFatihah sampai
dengan surah an-Nass, pembahasan dimulai dengan memberikan
pengantar dalam ayat-ayat yang akan ditafsirkannya. Dalam uraian
tersebut meliputi:

1. Penyebutan nama-nama surat (jika ada) serta alasan-alasan


penamaanya, juga disertai dengan keterangan tentang ayatayat
diambil untuk dijadiakan nama surat.

2. Jumlah ayat dan tempat turunnya, misalnya, apakah ini dalam


katagori sūrah makkiyyah atau dalam katagori sūrah Madaniyyah,
dan ada pengecualian ayat-ayat tertentu jika ada.

3. Penomoran surat berdasarkan penurunan dan penulisan mushaf,

31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 15, 1992: 15).
61

kadang juga disertai dengan nama surat sebelum atau sesudahnya


surat tersebut.

4. Menyebutkan tema pokok dan tujuan serta menyertakan pendapat


para ulama-ulama tentang tema yang dibahas.

5. Menjelaskan hubungan antara ayat sebelum dan sesudahnya.

6. Menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya surat atau ayat, jika


ada.32

c. Rujukan Tafsir Al-Misbah

Sumber penafsiran Al-Mishbah bertumpu pada dua hal:


bersumber dari ijtihad penulis, kedua: dalam rangka menguatkan
ijtihad Quraish Shihab menggunakan sumber-sumber rujukan yang
berasal dari pendapat dan fatwa para ulama, baik yang terdahulu
maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.

Dalam kaitan ini, Quraish Shihab menyatakan: “Apa yang


dihidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil karya
ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pakar
tafsir Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’I (w. 885H/1480M) yang karya
tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi
penulis di Universitas al-Azhar Kairo dua puluh tahun lalu.
Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar, Sayyid
Muhammad Thantawi, juga Syeikh Mutawalli Sya’rawi, dan tidak
ketinggalan Sayyid Quthub, M. Thahir Ibn Asyur, Sayyid

32
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,…., Vol. 14, h. 30.
62

Muhammad Husein Thaba’taba’i, seta beberapa tafsir yang lain.”33

Dari pemaparan diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa


sumber Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah ini sama yaitu bi al-
Ma’tsur dan bi al-Ra’yi, Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah
memiliki corak yang sama juga yaitu menggunakan adabi ijtima’i
lalu dalam menafsirkan ayatnya sama-sama menggunakan metode
tahlili. Sedangkan perbedaan kedua tafsir ini adalah dalam
menguraikan makna lafal. M. Quraish Shihab menguraikan makna
lafal-lafal seperti min ajli, Tahassasu, Tajassasu, ruh, dan
Hardhan. Sedangkan Hamka tidak mengartikan lafal-lafal tersebut
seecara khusus.

33
Iffaty Zamimah, Al-Wasthiyyah dalam Al-Qur’an (Studi Tafsir Al-Maraghi, Al-
Munir, dan Al-Mishbah), (Ciputat: IIQ Press, 2019), h. 95.
BAB IV

ANALISIS PENAFSIRAN AYAT-AYAT EUTHANASIA


DALAM TAFSIR AL-AZHAR DAN AL-MISBAH

Pada bab ini penulis akan menjelaskan penafsiran Hamka, dan M.


Quraish Shihab tentang ayat-ayat Euthanasia dalam karyanya kitab
tafsir Al-Azhar, dan Al-Misbah. Disini penulis akan mengkaji tiga ayat
yang berkaitan dengan Euthanasia, diantaranya yaitu Q.S Al-Maidah
ayat 32, Q.S Al-Isra ayat 33, dan QS. Yusuf ayat 87.

A. Penafsiran Kitab Tafsir Al-Azhar Karya Haji Abdul Malik Abdul


karim Amrullah (Hamka)

1. Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 321

ۡ‫سا ب َغ ۡي َن ۡفس أَب‬ َ َۡ َََ َ‫ِنل َأنه ُهۥ م‬


َ ََٰٓ ۡ ٓ َ ِ َ َ َ ۡ َ َ َ ِ َ ۡ َ ۡ
ٍ ِ ِ َۢ ‫قتل نف‬ ‫ِم أج ِل ذل ِك كتبنا لَع ب ِِن إِسء‬
َ‫ك َأ هن َما ٓ أ َ ۡح َيا ٱنلهاس‬َ َ َ َۡ َ
‫أحياها ف‬ ٗ ‫اس ََج‬
ۡ ‫ِيعا َب َم‬ َ ‫ك َأ هن َما َق َت َل ٱنله‬َ َ َۡ
ِ ‫ف َسادٖ ِِف ٱۡل‬
‫ۡرض ف‬
َ
َ َ ٗ ِ ‫ت ُث هم إ هن َكث‬ ۡ َُ ُ ُ ۡ َُۡٓ َ ۡ َََ ٗ َ
‫يا م ِۡن ُهم َب ۡع َد ذِل ِك ِِف‬ ِ ِ ِ ‫ن‬َ ‫ۡۡلَي‬
ِ ِ ‫َجِيعا ۚ بوقد جاءتهم رسلنا ب‬
َ ُ ۡ َُ َۡ
٢٣ ‫ۡسفون‬ ِ ‫م‬‫ل‬ ِ
‫ۡرض‬ ‫ٱۡل‬
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”. (QS. Al-

1
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, h. 1704
63
64

Maidah [5]:32)

Artinya, oleh karena dosa besar membunuh manusia, yang telah


dimulai teladan buruk itu oleh anak Adam kepada saudaranya itu, maka
Kami pun menentukan suatu peraturan bagi Bani Israil. Bahwa barang
siapa yang membunuh sesamanya manusia, yang bukan karena orang
yang dibunuhnya itu telah bersalah membunuh orang pula, yaitu
dibunuh karena perintah hakim; "Atau berbuat kerusakan di bumi."
Yaitu mengacau keamanan, dll maka seakan-akan adalah dia telah
membunuh manusia semuanya."

Hamka menafsirkan ayat ini bahwa seorang pembunuh dan


perusak ketertiban umum dan keamanan, samalah perbuatannya itu
dengan membunuh semua manusia. Sebab dengan demikian manusia
tidak merasa aman dan tidak merasa terjamin lagi hak hidupnya, lalu
lintas ekonomi dan hubungan antara daerah terputus sendirinya, sebab
orang merasa takut.2

“Dan barangsiapa yang menghidupkannya, maka adalah dia


seakan akan menghidupkan manusia semuanya.” Tegasnya, apabila
setiap kita ini telah menjaga kehidupan orang lain, tentu saja seluruh
masyarakat jadi hidup. Bebas dari rasa takut dan kecemasan. Oleh sebab
itu jika kita melihat mendamaikan orang itu, supaya jangan terjadi
pertumpahan darah, jangan ada yang tercabut nyawanya, hilang
hidupnya di luar ketentuan undang-undang. sehingga di dalam hukum
Agama Islam apabila ada seseorang dikejar oleh orang yang hendak
membunuhnya, lalu orang itu bersembunyi ke dalam rumah kita, dan

2
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, h. 1709
65

kita lindungi. Maka kalau orang yang mengejar itu bertanya apakah dia
bersembunyi di sini, kita boleh berdusta mengatakan dia tidak ada di
sini, supaya nyawa orang yang kita sembunyikan itu terpelihara.
Malahan boleh dipastikan lagi, bahwa bukan saja boleh, bahkan dia
wajib berdusta ketika itu. Dapatlah kita fahamkan pada ayat ini
bahwasanya memelihara nyawa sesama manusia menjadi Fardhu'ain,
menjadi tanggungiawab peribadi bagi masing-masing kita, guna
menjaga keamanan hidup bersama. Mengapa di dalam ayat ini hanya
dikhususkan kepada Bani Israil? Padahal dia adalah untuk seluruh
perikemanusiaan?"

Kalau sudah direnungi lebih dalam, tentu sudah diketahui bahwa


jarak di antara zaman Bani Israil dengan kedua anak Nabi Adam
berkelahi itu sudah sangat jauh, memakan waktu beribu tahun. Tidaklah
mungkin peraturan ini baru berlaku kalau kepada Bani lsrail tersebab
dari kejadian itu. Sudah banyak kejadian pembunuhan kepada sesama
manusia di antara zaman kedua anak Adam dengan Bani Israil. Hal ini
ditekankan kepada Bani lsrail, ialah tersebab Khitab (Tujuan ayat)
sedang dihadapkan kepada mereka. Diperingatkan bahwa membunuh
seseorang, atau membuat kerusuhan di bumi, samalah dengan
membunuh manusia semuanya. Sebab Bani Israil di zaman itu mudah
benar membunuh-bunuh orang karena dengki dan karena melepaskan
sakit hati. Malahan Nabi-nabi sendiri banyak yang mereka bunuh. Nabi
Muhammad s.a.w pun pernah mereka coba hendak membunuh.3

“Di atas bumi ini meliwati batas.” (ujung ayat 32). Dengan
menyebut di dalam bumi ini meliwati batas, Tuhan telah memberikan

3
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, h. 1709
66

isyarat bahwa kekuasaan mutlak diantara bumi ini hanya ada di tangan
Tuhan. Manusia hanya menumpang di atas bumi ini, dan itupun hanya
buat sementara saja. Apabila batas-batas yang ditentukan Tuhan itu
diliwatinya, yang akan ragu bukanlah orang lain, melainkan dirinya
sendiri jua. Karena bagaimanapun dia mencoba hendak meliwati batas
yang ditentukan untuk dirinya sebagai manusia, namun pasti dia
terbentur kepada kekuasaan mutlak kepunyaan Tuhan itu.4

2. Tafsir Surah Al-Isra Ayat 33

ۡ َ َ ٗ ُ ۡ َ َ ُ َ َ َۡ ‫ََ َۡ ُُ ْ هۡ َ ه َ هَ هُ ه‬
‫وما فق ۡد َج َعل َنا‬ ‫ٱَّلل إَِّل بِۡۡل ِقِّۗ بم قتِل مظل‬ ‫بَّل تقتلوا ٱنلفس ٱو ِِت حرم‬
ُ ‫ل َِو ِلهِۦ ُس ۡل َطِ ٗنا فَ ََل ي ُ ۡۡسف ِف ۡٱو َق ۡتل إنه ُهۥ ََك َن َم‬
ٗ ‫نص‬
٢٢ ‫ورا‬ ِ ِۖ ِ ِ ِ ِ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang
yang mendapat pertolongan”. (QS. Al-Isra [17]:33)

“Dan janganlah kamu bunuh diri yang telah diharamkan oleh


Allah.” (pangkal ayat 33). Diri diharamkan oleh Allah, yaitu diberi diri
itu hak asasi untuk dipelihara dan dijaga kehormatan hidupnya oleh
Allah sendiri. Seumpama Tanah Haram Makkah dan Madinah, tumbuh-
tumbuhannya dan binatang buruannya tidak boleh diganggu-gugat.
Rantingnya tak boleh dipatah, binatang blruannya tak boleh diburu.
Demikian pulalah hak hidup yang diberikan Allah bagi nyawa seorang
makhluk. Tegas di sini jaminan hidup atau hak asasi yang diberikan
Tuhan atas diri manusia lebih dari 13 abad sebelum orang

4
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, h. 1709
67

memperkatakan Hak-hak Asasi manusia. "Kecuali dengan hak


(kebenaran)." Yaitu misalnya terjadi peperangan yang tak dapat
dielakkan lagi, niscaya terjadi bunuh-membunuh.

‘Dan barangsiapa yang dibunuh dengan aniaya, maka


sesungguhnya Kami jadikan atas walinya kekuasaan” Artinya, jika
seseorang dibunuh orang dengan aniaya, tindakan sewenang-wenang di
luar hukum, maka wali terdekat atau keluarga yang bertanggungjawab
dari orang yang terbunuh itu berhak menuntut keadilan kepada
penguasa. Bukanlah berarti bahwa keluarga si terbunuh diberi
kekuasaan melakukan tindakan sendiri kepada yang membunuh.
Kekuasaannya hanya, menuntut keadilan kepada penguasa, dan
penguasalah yang mengambil tindakan misalnya mulanya menangkap,
kemudian menjatuhkan hukum, entah dia dibunuh pula, nyawa ganti
nyawa, atau diwajibkan membayar diyot, yaitu hartabenda ganti
kerugian.

Imam Malik menjelaskan bahwa pemegang kekuasaan itu ialah


Sultan. Atau kita bahasakan sekarang pemerintah. Ditegaskan oleh
Imam Malik: 'Assulthqu Amirullahi." Artinya, kekuasaan Sultan itu
adalah pemerintah dari Allah.5

“Dan janganlah dia melewati batas pada membunuh.” Inti ayat


inilah perlakuan perikemanusiaan yang diwajibkan menjaganya.
Artinya, kalau seseorang dihukum mati karena dia telah membunuh
orang lain, lalu dilakukan kepadanya hukum bunuh pula, lakukanlah
hukum itu dengan cepat, ringkas dan menegakkan wibawa hukum.
Kalau nyawanya sudah keluar dari badannya, sudahlah. Janganlah

5
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, h. 4053
68

misalnya setelah orang itu mati dicencang lagi atau dikerati badannya
sebab yang demikian bukan hukum lagi, melainkan balas dendam.

“dan janganlah kamu melewati batas pada membunuh" misalnya,


seorang yang membunuh, lalu dibunuh pula keluarganya yang lain.
Sebab ini dapat memperdalam dendam lagi sebagai permusuhan turun-
temurun di antara keluarga Capulet dengan keluarga Montaque dalam
ceritera Romeo dan Juliet karangan Shakespeare yang terkenal.
Membunuh menurut kebenaran tidak haram, yaitu membunuh
ketika berperang. Membunuh karena mempertahankan diri, yang tidak
disengaja lebih dahulu. Atau seorang algojo diperintahkan pemerintah
menjalankan perintah hukum mati atas seorang yang dapat hukuman
mati. Atau membunuh perampok yang masuk ke dalam pekarangan kita
hendak merampas harta benda kita.6

3. Tafsir Surah Yusuf Ayat 87

‫ه ه‬ ْ َْۡ َ َ َ ُ ُ ْ َ ‫ٱذ َه ُبوا ْ َف َت‬


ۡ ‫ََِ ه‬
‫وسف َبأخِيهِ َبَّل تاي ُسوا ِم هر ۡب ِح ٱَّللِۖۡ إِن ُهۥ‬ ‫ح هس ُسوا ِم ن‬ ‫يب ِِن‬
َ َ ۡ َۡ ‫ه ه‬ ْۡ َ
٧٧ ‫َّل نَاي ُس ِم هر ۡب ِح ٱَّلل ِ إَِّل ٱوق ۡو ُم ٱوٰ ِ ِف ُربن‬
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang
Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir". (QS. Yusuf [17]:87)

Dengan perintah beliau seperti ini kepada anak-anaknya,


bertambah nampaklah kepastian dalam hati beliau bahwa mereka masih
ada. Dan bila dia sebut Yusuf dan saudaranya, padahal Bunyamin terang
tertawan di Mesir, sudah mulai rupanya agak terang-terang remang
dalam fikirannya bahwa Yusuf itu ada di Mesir. Anak-anak yang bukan

6
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, h. 4052
69

Nabi seperti ayahnya niscaya belum juga mengerti akan hal itu, dan
sebagai anak-anak yang patuh kepada orang tua, niscaya akan
melaksanakan apa yang dikehendaki oleh ayah mereka. Dan beliau
tegaskan lagi "Dan janganlah kamu putus asa dari Rahmat Allah,
sesungguhnya tidaklah putus asa dari Rahmat Allah, kecuali kaum yang
tidak berkepercayaan." (ujung ayat 87). Itulah pegangan beliau, dan
pegangan itu pula yang diberikannya kepada anak-anaknya. Jangan
berputusasa dari Rahmat Allah! Carilah terus!7

Mungkin perkataan ayah mereka yang seperti ini mulai


menimbulkan pemikiran di antara mereka masing-masing, sebab
mereka di waktu itu sudah orang-orang yang dewasa, yang telah berusia
lebih 40 tahun pada umumnya, mungkin timbul pertanyaan dalam hati,
barangkali Yang Dipertuan Muda di Mesir itulah agaknya yang Yusuf.

Dalam perasaan yang demikian, mereka berangkat kembali ke


Mesir, melaksanakan kehendak ayah mereka, mencari Yusuf dan
saudaranya. Apalah lagi musim kemarau yang tujuh tahun itu, ketika itu
sudah sampai di puncak sengsaranya, persediaan makanan di dusun-
dusun tambah lama tambah kering dan hartabenda atau uahg untuk
pembeli makanan ke Mesir, makin kurang. Dalam keadaan begitu,
mereka berangkat.

“Maka tatkala mereka masuk kepadanya, mereka berkata:


"Wahai Yang Mulia! Telah ditimpa kami dan ahli kami oleh sengsara.”
(pangkal ayat 88). Persediaan gandum yang kami beli telah habis pula;
"Dan (sekarang) datanglah kami membawa barang yang tidak
berharga." Kami tahu bahwa bagi Yang Mulia barang-barang ini

7
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, h. 3704
70

tidaklah ada harganya, tetapi bagi kami hanya inilah yang tinggal.
"Lontaran itu isilah sukatan kami dan bersedekahlah kepada komi,
sesungguhnya Allah akan membalasi orang-orang yang bersedekah.”
(ujung ayat 88).

"Dia berkata: “Adakah kamu tenngat, apa yang telah kamu


perbuat kepada Yusuf dan saudaranya, seketika kamu masih bodoh?”
(ayat 89).

"Mereka berkata: “Apakah kiranya engkau ini Yusuf?” (pangkal


ayat 90). Mulai timbul kesadaran dalam hati, atau lanjutan dari sangka-
sangka yang telah agak tumbuh demi mendengar peringatan bapa
mereka, tetapi niscaya mereka bertanya dahulu, tidak datang berkata
saja: "Engkau rupanya yang Yusuf!" Takut kalau-kalau tidak, dan
mereka bertambah hina.

Allah, Tuhanku! Yang berbicara itu sekarang adalah pertalian


darah, cintakasih yang sebenamya dalam hati sanubari orang
berdunsanak, bila rasa dendam bersaudara, yang cabik-cabik bulu
ayam. Yusuf pun tidak dapat lagi menyembunyikan perasaan lagi, sebab
semuanya ini adalah saudara kandungnya, belahan dirinya: "Dia jawab:
"Akulah Yusuf dan ini adalah saudaraku." Adik kandungku, Bunyamin!
Sesungguhnya Allah telah memberi kumia atas kami. Dan
sesungguhnya barangsiapq yang takwa dan sabar, maka Allah tidaklah
akan menyia-nyiakan ganjaran bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan." (ujung ayat 90).8

Yang berkata itu sekarang bukan lagi Yang Dipertuan Muda

8
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, h. 3706
71

Negeri Mesir saja, dan yang berkata itu sekarang bukan lagi semata-
mata Yusuf yang telah hilang lebih seperempat abad. Yang berkata
sekarang lebih dari keduanya itu, ialah RasulAllah yang yakin akan
pertolongan Allah. Rasul Allah yang empat kali disebut bahwa dia
seorang yang suka berbuat kebaikan (Muhsinin), baik waktu diasuh di
rumah induk semangnya (ayat 27), atau setelah dimasukkan ke dalam
penjara, disaksikan sendiri oleh teman-temannya sepenjara, (ayat 36),
atau setelah dia menjadi Wakil Raja (ayat 56), malahan dirasai
kebaikannya itu oleh saudara-saudaranya itu, sehingga karena itu
memohon mereka agar, demi kebaikannya itu, sudilah melepaskan adik
mereka Bunyamin dan mengambil salah seorang mereka jadi gantinya
(ayat 78).

Sekarang jelaslah sudah, memang dialah Yusuf: Aku Yusuf, ini


adalah saudaraku! Untuk menambahkan yakin, dan saudara-saudaranya
itu pun telah yakin, keraguan telah hilang. Benarlah ayah mereka Rasul
Allah, patutlah beliau tetap merasa Yusuf belum mati, Yusuf masih ada.
Tetapi, alangkah rendah rasanya diri mereka ketika itu. Mereka telah
bersalah besar kepada Yusuf, dan sekarang Yusuf telah bertemu di
dalam keadaan yang berbeda samasekali, telah duduk di atas puncak
singgasana kemuliaan. " Mereka berkata: " Demi Allah! Sesungguhn ya
Allah telah meleb ih-muliakan engkou atas kami, dan meskipun kami
ini adalah bersalah semua." (ayat 91).9

Saudara yang hilang lebih seperempat abad sudah bertemu, dan


ayah mereka telah akan merasa gembira jika mereka pulang kembali,
tetapi mereka sendiri adalah orang-orang yang bersalah, terhadap

9
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, h. 3706
72

saudara kandung yang sekarang telah mencapai kedudukan amat tinggi.


Perhatikanlah susunan Wahyu Ilahi itu, mereka langsung mengaku
salah. Mereka hanya menyerah sekarang! Nasib mereka bergantunglah
kepada kehendak Yusuf saja. Kalau mereka dihukum lantaran itu,
adalah hal yang patut, dan mereka tidak akan menyesal. Tetapi mereka
sudah puas, sebab ayah tidak akan bersusah hati lagi. Tetapi Yusuf,
Rasul Allah, Yang Dipertuan Muda Mesir yang telah banyak menderita
dan banyak merasa bahagia, yang mengakui bahwa semua kebahagiaan
adalah lantaran takwa dan sabar, lantaran sudi selalu berbuat kebaikan,
akan tetaplah melanjutkan takwa dan sabar dan berbuat kebaikan itu.10

B. Penafsiran Kitab Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab

1. Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 32

ۡ َ ۡ َ َۢ َ ۡ َ َ َ َ َ ُ ‫ۡ َ ۡ َ ِ َ َ َ ۡ َ َ َ ِ َ ٓ ۡ ََٰٓ َ َ ه‬
‫ي نف ٍس‬ ِ ‫ِم أج ِل ذل ِك كتبنا لَع ب ِِن إِسءِنل أنهۥ م قتل نفسا بِغ‬
َٓ ‫َ َ َ ََه‬ ٗ ‫اس ََج‬ َ ‫ك َأ هن َما َق َت َل ٱنله‬
َ َ َۡ َ َ
‫ِيعا َب َم ۡ أ ۡح َياها فكأن َما أ ۡح َيا‬ ِ ‫أ ۡب ف َسادٖ ِِف ٱۡل‬
‫ۡرض ف‬
ٗ ِ ‫ت ُث هم إ هن َكث‬ ۡ َُ ُ ُ ۡ َُۡٓ َ ۡ َََ ٗ َ َ ‫ه‬
‫يا م ِۡن ُهم َب ۡع َد‬ ِ ِ ِ َ ‫ۡۡلَي‬
‫ن‬ ِ ِ ‫ٱنلاس َجِيعا ۚ بوقد جاءتهم رسلنا ب‬
َ ُ ۡ َُ َۡ َ َ
٢٣ ‫ۡسفون‬ ِ ‫م‬‫ل‬ ِ
‫ۡرض‬‫ذِل ِك ِِف ٱۡل‬
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah
datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam

10
Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 513
73

berbuat kerusakan dimuka bumi”. (QS. Al-Maidah [5]:32)

Penafsiran M. Quraish Shihab yaitu ayat ini menegaskan


bahwa:11 Oleh karena itu, yakni oleh karena kejahatan yang terjadi
dan dampak-dampaknya yang sangat buruk itu, dan oleh karena
prilaku Bani Isra’il yang telah dipaparkan sekian kali, maka Kami
Yang Maha Agung menetapkan suatu hukum menyangkut satu
persoalan yang besar dan hukum itu Kami sampaikan atas Bani
‘Israil bahwa: Barang siapa yang membunuh satu jiwa salah seorang
putra putri Adam, bukan karena orang itu membunuh jiwa orang
yang lain yang memang wajar sesuai hukum untuk dibunuh, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, yang menurut
hukum boleh dibunuh, seperti dalam peperangan atau membela diri
dari pembunuhan maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, misalnya dengan memaafkan pembunuh keluarganya, atau
menyelamatkan nyawa seseorang dari satu bencana, atau membela
seseorang yang dapat terbunuh secara aniaya maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya.

Kata ( ‫أجل‬ ) dalam kalimat ( ‫ ) من أجل‬oleh karena itu, pada


mulanya berarti kejahatan yang dikhawatirkan terjadi di masa
datang. Kata ini kemudian berkembang maknanya sehingga menjadi
oleh karena atau disebabkan, baik karena adanya kejahatan maupun
tidak.

Ketetapan tersebut sebagaimana redaksi ayat ini adalah atas

11
M. Quraish Shihab, Al-Mishbah, h. 80
74

Bani israil. Penggunaan kata ( ‫على‬ ) ‘aid/atas mengandung makna

kewajiban, dan dengan demikian, ayat ini menginformasikan bahwa


ketetapan hukum tersebut disampaikan kepada Bani Isra’il atas dasar
satu kewajiban bagi mereka.

Penyebutan Bani Isra’il secara khusus dalam ayat ini


mengisyaratkan bahwa kaum tersebut telah mencapai puncak
keburukan dalam pembunuhan karena yang mereka bunuh adalah
manusia-manusia suci yang diutus Allah sebagai nabi dan rasul-
rasul.12

Ayat di atas mempersamakan antara pembunuhan terhadap


seorang manusia yang tidak berdosa dengan membunuh semua
manusia, dan yang menyelamatkannya sama dengan menyelam
atkan semua manusia.

Peraturan baik apapun yang ditetapkan oleh manusia atau oleh


Allah, pada hakikatnya adalah untuk kemaslahatan masyarakat
manusia. Dan kalau kita menyebut kata “masyarakat” maka kita
semua tahu, bahwa ia adalah kumpulan dari saya, Anda dan dia,
kumpulan dari manusia.

Penggunaan kata ‘ibad dalam ayat yang menguraikan keadaan


di akhirat ini mengisyaratkan bahwa walaupun di dunia mereka
bergelimang dalam dosa, enggan sadar dan bertaubat, tetapi di
akhirat sana mereka telah menyadari dosa-dosa mereka dan ingin
bertaubat kendati taubatnya tidak lagi diterima Allah swt.

12
M. Quraish Shihab, Al-Mishbah, h. 81
75

Asy-Sya‘rawi berpendapat bahwa kata ‘ibad ditujukan untuk


menunjuk hamba-hamba Allah yang patuh melaksanakan tuntunan-
tuntunan-Nya, dan karena di akhirat nanti semua manusia patuh,
maka semua dinamai ‘ibad.
Thabathaba’i menguraikan persamaan itu antara lain dengan
menyatakan bahwa setiap manusia menyandang dalam dirinya nilai
kemanusiaan, yang merupakan nilai yang disandang oleh seluruh
manusia. Seorang manusia bersama manusia lain adalah perantara
lahirnya manusia-manusia lain bahkan seluruh manusia. Manusia
diharapkan hidup untuk tidak menganiaya walau menyiksa hamba-
hamba-Nya yang durhaka. Penggunaan kata ‘ibad dalam ayat yang
menguraikan keadaan.
Ayat ini menunjukkan adanya semacam hak prerogatif Allah
swt., serupa dengan hak prerogatif seorang Kepala Negara. Para
hakim harus memutuskan perkara berdasarkan hukum dan undang-
undang yang tertulis, dan setelah menetapkan hukum, terpidana atau
pembelanya dapat mengajukan grasi, dan ketika itu Kepala Negara
berdasarkan wewenangnya dan dengan aneka pertimbangan dapat
memberi pengampunan atau keringanan.13
Ketika Allah swt. kelak di hari Kemudian menetapkan sesuatu
yang berbeda dengan ketetapan tertulis dalam Al-Qur’an,
menunjukkan bahwa Dia Maha Mengetahui lahir dan batin dan
bahwa ketetapan yang dipahami oleh makhluk, hanyalah berdasar
pengetahuan lahiriah mereka yang terbatas. Atas dasar pengetahuan-
Nya yang menyeluruh itulah Allah menetapkan kebijaksanaan-Nya.
Dalam konteks ini kita dapat berkata bahwa boleh jadi sebagian dari

13
M. Quraish Shihab, Al-Mishbah, h. 253
76

orang yang kita nilai, berdasar ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi
saw, adalah seorang yang wajar disiksa. Tetapi ternyata dengan hak
prerogatif yang berdasar pengetahuan dan kebijaksanaan-Nya, yang
bersangkutan tidak jadi disiksa; demikian juga sebaliknya, karena
pada akhirnya kita bukan hanya harus berkata bahwa surga dan
neraka adalah wewenang Allah swt.
Siapa yang masih memiliki kemampuan untuk melakukan
kejahatan, tetapi ia datang menyerah secara sukarela dan menyesali
kesalahannya, maka seluruh sanksi hukum yang disebut oleh ayat ini
gugur baginya. Ketentuan ini merupakan salah satu bukti bahwa
tujuan hukuman dalam tuntunan Al-Qur’an bukan sekedar
pembalasan tetapi bahkan lebih banyak berupa pendidikan.14

2. Tafsir Surah Al-Isra Ayat 33

َ َ ٗ ُ ۡ َ َ ُ َ َ َۡ ‫َ هَ هُ ه‬ ‫ه‬ ۡ ْ ُ َۡ َ
‫وما فق ۡد‬ ‫ٱَّلل إَِّل بِۡۡل ِقِّۗ بم قتِل مظل‬ ‫َبَّل تق ُتلوا ٱنلهف َس ٱو ِِت حرم‬
ُ ‫َج َع ۡل َنا ل َِو ِلهِۦ ُس ۡل َطِ ٗنا فَ ََل ي ُ ۡۡسف ِف ۡٱو َق ۡتل إنه ُهۥ ََك َن َم‬
ٗ ‫نص‬
٢٢ ‫ورا‬ ِ ِۖ ِ ِ ِ ِ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (QS.
Al-Isra [17]:33)

Penafsiran Quraish Shihab, Ayat ini menegasakan bahwa: Dan


janganlah kamu membunuh jiwa baik jiwa orang lain maupun
jiwamu sendiri yang diharamkan Allah melainkan dengan haq yakni

14
M Quraish Shihab, Al-Mishbah, h. 71
77

kecuali dalam kondisi yang dibenarkan agama.

Membunuh diri sendiri pun terlarang keras dalam agama Islam,


Rasul saw. bersabda: “Ada seseorang di antara generasi sebelum
kamu yang menderita luka, (tetapi) ia tidak sabar, maka diambilnya
pisau kemudian ia memotong tangannya yakni urat nadinya sehingga
darah tidak berhenti mengalir sampai ia meninggal. Allah berfirman:
“Aku didahului oleh hamba-Ku sendiri (dalam mencabut
nyawanya), Telah-Ku haramkan untuknya surga.” HR. Bukhari
melalui Jundub Ibn’ Abdillah ra.

Firman-Nya: (‫)ت قتل الن فس‬ membunuh jiwa mencakup

membunuh jiwa orang lain atau membunuh jiwa sendiri, sedang

firman-Nya: ( ‫حرم هللا إالّ ابحلق‬


ّ ‫ ) الّىت‬yang diharamkan Allah melainkan
dengan haq, mengecualikan beberapa jenis pembunuhan.
Pengecualian itu tidak disebut di sini, tetapi dipahami dari ketentuan
yang lain.

Sayyid Quthub menyebut tiga hal. Pertama, atas dasar qishash.


Kedua, diistilahkannya dengan membendung keburukan yang
membunuh akibat tersebarnya kekejian (zina). Dan ketiga,
membendung kejahatan ruhani yang mengakibatkan kekacauan m
asyarakat dan mengganggu keamanannya, yakni terhadap orang
murtad yang meninggalkan agama Islam setelah ia memeluknya
secara sukarela, tanpa paksaan. Dengan masuknya ia dalam
kelompok Islam, maka ia telah mengetahui rahasia-rahasia jamaah
Islamiah sehingga keluarnya dari Islam dapat mengancam jamaah
Islamiah. Seandainya sejak semula ia tidak memeluk Islam, maka ia
78

bebas bahkan dilindungi. Demikian tulis Sayyid Quthub.

Firman-Nya (‫منصورا‬ ‫)إنه كان‬ sesungguhnya ia adalah orang yang

dimenangkan, ada juga yang memahami yang dimenangkan itu adalah


keluarga korban yang memperoleh wewenang untuk menuntut balas atau
diyah!ganti rugi akibat pembunuhan itu.15

3. Tafsir Surah Yusuf Ayat 87

‫ه‬ ْ َْۡ َ َ َ ُ ُ ْ َ ‫ٱذ َه ُبوا ْ َف َت‬


ۡ ‫ََِ ه‬
ِۡۖ‫وسف َبأخِيهِ َبَّل تاي ُسوا ِم هر ۡب ِح ٱَّلل‬ ‫ح هس ُسوا ِم ن‬ ‫يب ِِن‬
َ َ ۡ َۡ ‫ه ه‬ ْۡ َ ‫ه‬
٧٧ ‫إِن ُهۥ َّل نَاي ُس ِم هر ۡب ِح ٱَّلل ِ إَِّل ٱوق ۡو ُم ٱوٰ ِ ِف ُربن‬
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita
tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS. Yusuf [17]:87)

Mendengar keluhan Ya'qub as. di atas, keluarganya anak-


anak dan cucu-cucunya merasa heran dan dongkol dengan sikap
dan ucapannya yang masih terus mengingat Yusuf. Padahal waktu
telah berlalu sekian lama. Mereka berkata: ‘Demi Allah, senantiasa
engkau mengingati Yusuf, sehingga engkau mengidap penyakit
yang berat, yakni badanmu kurus kering dan pikiranmu kacau atau
sampai engkau termasuk orang-orangyang binasa meninggal
dunia.” Dia menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah
saja yang tidak pernah jemu memanjatkan doa dan keluhan, karena
aku yakin bahwa Yang Maha Kuasa itu saja yang mampu
mengatasi semua kesulitan hamba-Nya. Aku bukan mengeluh
kepada kalian, bukan juga kepada siapa pun. Jika aku

15
M. Quraish Shihab, Al-Mishbah, h. 442
79

menyampaikan keluhanku pada kalian, pasti sudah lama aku


berhenti. Ketahuilah bahwa hanya kepada Allah aku mengadukan
kesusahanku yang berat dan kesedihanku walau kecil, dan aku
mengetahui dari A llah apa yang kamu tidak ketahui. Aku adalah
nabi yang memperoleh informasi yang kamu tidak peroleh. Aku
pun mengenal Allah lebih dari kamu semua.16

Kata ( ‫)حرضا‬ digunakan untuk menunjuk seseorang yang

sangat kritis keadaannya. Dia belum mati, tetapi tidak juga dapat
dinilai hidup.

Kata ( ‫حتسس‬
ّ ) terambil dari kata ( ‫حتس‬
ّ ) yang asalnya dari
kata (‫ ) حس‬yang bermakna indera. Yang dimaksud di sini adalah
ّ
upaya sungguh-sungguh untuk mencari sesuatu, baik berita
maupun barang, baik terang-terangan maupun sembunyi-
sembunyi, untuk kebaikan maupun keburukan. Ia berbeda dengan

kata ( ‫جتسس‬
ّ ) yang digunakan untuk memata-matai sesuatu,

mencari beritanya yang buruk secara sembunyi-sembunyi.

Kata (‫ )روح‬ada yang memahaminya bermakna nafas. Ini

karena kesedihan dan kesusahan menyempitkan dada dan


menyesakkan nafas. Sehingga, bila seseorang dapat bernafas
dengan baik, maka dada menjadi lapang. Dari sini lapangnya dada

16
M Quraish Shihab, Al-Mishbah, h. 512
80

diserupakan dengan hilangnya kesedihan dan tertanggulanginya


problema. Ada juga yang memahami kata rauh seakar dengan kata
istirdhah, yakni hati beristirahat dan tenang. Dengan demikian,
ayat ini seakan-akan menyatakan jangan berputus asa dari
datangnya ketenangan yang bersumber dari Allah swt.
Ayat di atas menyatakan bahwa:17

َ َ ۡ َۡ ‫ه ه‬ ْۡ َ ‫ه‬
‫إِن ُهۥ َّل نَاي ُس ِم هر ۡب ِح ٱَّلل ِ إَِّل ٱوق ۡو ُم ٱوِٰفِ ُربن‬

“Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah


melainkan kaum yang kafir,” yakni yang mantap kekufurannya. Ini
berarti bahwa keputusasaan identik dengan kekufuran yang besar.
Seseorang yang kekufurannya belum mencapai peringkat itu, maka
dia biasanya tidak kehilangan harapan. Sebaliknya, semakin
mantap keimanan seseorang, semakin besar pula harapannya.
Bahwa keputusasaan hanya layak dari manusia durhaka, karena
mereka menduga bahwa kenikmatan yang hilang tidak akan
kembali lagi. Padahal sesungguhnya kenikmatan yang diperoleh
sebelumnya adalah berkat anugerah Allah jua, sedang Allah swt
Maha Hidup dan terus-menerus wujud. Allah swt dapat
menghadirkan kembali apa yang telah lenyap, bahkan
menambahnya sehingga tidak ada tempat bagi keputusasaan bagi
yang beriman.18

17
M Quraish Shihab, Al-Mishbah, h. 513
18
M Quraish Shihab, Al-Mishbah, h. 488
81

C. Analisis penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab dalam QS.


Al-Maidah ayat 32, QS. Al-Isra ayat 33, dan QS. Yusuf ayat
87

Analisis kedua mufasir ini adalah tidak mendukung terhadap


pembunuhan yang tentu saja berkaitan dengan tindakan euthanasia
aktif, manusia tidak boleh menghilangkan nyawanya karena
termasuk dosa besar. Dari Tsabit bin Adh-Dhohhak, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ‫ِمنِحلفِبمل ٍةِغير‬:‫ِعنِالنبيِصلىِاّللِعليهِوسلمِقال‬،‫عنِثابتِبنِالضحاك‬

ِ‫ِولعن‬،ِ‫ِومنِقتلِنفسهِبشي ٍءِعذِبِبهِفيِنارِجهنم‬،‫الإسلامِكاذباِفهوِكماِقال‬

. ِ‫ِومنِرمىِمؤمناِبكف ٍرِفهوِكقتله‬،‫المؤمنِكقتله‬

Dari Tsâbit bin adh-Dhahhak, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam , beliau bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan agama
selain Islam dalam keadaan dusta, maka dia sebagaimana yang dia
katakan. Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu, dia akan
disiksa dengan sesuatu itu dalam neraka Jahannam. Melaknat
seorang Mukmin seperti membunuhnya. Dan barangsiapa
menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran maka itu seperti
membunuhnya”. [HR. Al-Bukhari, no. 6105, 6652; Ahmad, no.
16391; lafazh ini dari Al-Bukhâri]

Adapun analisa konteksual yang dapat penulis simpulkan


terhadap penafsiran Hamka, pertama pada QS. Al-Maidah ayat 32
yaitu menurut Hamka ayat ini menerangkan bahwa seorang
82

pembunuh dan perusak ketertiban umum, sama perbuatannya itu


dengan membunuh semua manusia. sehingga di dalam hukum
Agama Islam apabila ada seseorang dikejar oleh orang yang
hendak membunuhnya, lalu orang itu bersembunyi ke dalam rumah
kita, dan kita lindungi. Maka jika orang yang mengejar itu bertanya
apakah dia bersembunyi di sini, kita boleh berdusta dan
mengatakan bahwa dia tidak ada di sini, supaya nyawa orang itu
terpelihara. bahkan disebutkan bukan hanya boleh, tapi wajib
berdusta ketika itu. Karena menurutnya memelihara nyawa sesama
manusia menjadi Fardhu'ain, menjadi tanggungjawab pribadi kita
untuk menjaga keamanan hidup bersama. Sedangkan penafsiran
M. Quraish Shihab, pada QS. Al-Maidah ayat 32, yaitu untuk
penyebutan Bani Isra’il secara khusus dalam ayat ini
mengisyaratkan bahwa kaum tersebut telah mencapai puncak
keburukan dalam pembunuhan karena yang mereka bunuh adalah
manusia-manusia suci yang diutus Allah sebagai nabi dan rasul-
rasul. Menurut M. Quraish Shihab ayat ini menunjukkan adanya
semacam hak prerogatif Allah swt., serupa dengan hak prerogatif
seorang Kepala Negara. Pembahasan ayat ini sangat relevan
dengan Euthanasia aktif. Karena Euthanasia aktif merupakan sikap
mempercepat proses kematian pada penderita penyakit yang tidak
dapat disembuhkan, dengan melakukan tindakan medis ataupun
tidak, dengan maksud membantu korban untuk menghindari
penderitaan dalam menghadapi kematiannya. Namun Pro kontra
terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus
berlangsung. Larangan pembunuhan juga dipertegas oleh
Rasulullah SAW melalui hadis nabi SAW yakni:
83

ُّ
ِ‫ِإلِا‬,‫ِيشهد ِأن ِلاِإله ِإلا ِاّلل ِو ِأ ِن ِمحمداِر ِسول ِاِّلل‬,‫لاِيحل ِدمِاِمرئ ِمسل ٍِم‬

ِ‫ ِالترك‬,‫ ِوالمفارق ِلدينه‬,‫ ِو ِالثيب ِالزانى‬,‫ ِا ِلنفس ِبا ِالنفس‬:‫اث‬


ٍ ‫بإحدى ِثل‬

ِ)‫للجماعةِ(رواهِمتفقِعليه‬

“Tidak halal darah seorang yang menyaksikan bahwa tiada


tuhan melainkan Allah dan bahwa saya adalah Rasulullah,
kecuali dengan salah satu dari tiga perkara yaitu janda atau duda
duda yang berzina, orang yang melakukan pembunuhan dan
orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari
jama’ah”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa euthanasia


dilarang dalam hukum Islam terutama euthanasia aktif dimana
seorang dokter membantu untuk mempercepat kematian seseorang
yang menurut perkiraannya sudah tidak dapat bertahan lagi
meskipun atas permintaan pasien atau keluarganya, euthanasia
tetap tidak boleh dilakukan.

Kedua QS. Al-Isra [17]: 33, penafsiran yang dilakukan oleh


Hamka memberikan pandangan bahwa Diri diharamkan oleh
Allah, diberi diri itu hak asasi untuk dipelihara dan dijaga
kehormatan hidupnya. Seumpama Tanah Haram Makkah dan
Madinah, tumbuh-tumbuhannya dan binatang buruannya tidak
boleh diganggu-gugat, Rantingnya tak boleh dipatah, dll. menurut
Hamka jika seseorang dibunuh dengan aniaya, tindakan sewenang-
wenang di luar hukum, maka wali terdekat atau keluarga yang
bertanggung jawab berhak menuntut keadilan kepada penguasa.
84

Tapi Bukan berarti keluarga korban diberi kekuasaan untuk


melakukan tindakan sendiri kepada pembunuh. Kekuasaannya
yaitu dengan menuntut keadilan kepada penguasa, lalu
penguasalah yang mengambil tindakan. untuk penafsiran Quraish
shihab, ia menerangkan bahwa jangan membunuh jiwa, baik jiwa
orang lain maupun jiwa sendiri yang diharamkan Allah melainkan
dengan haq, yaitu kecuali dalam kondisi yang dibenarkan agama,
seperti membunuh ketika berperang. Dalam ayat ini sudah jelas
menunjukan bahwa dengan alasan apapun bunuh diri itu dilarang
keras didalam Al-Qur’an, begitupun juga dengan tindakan
Euthanasia, Islam melarang tindakan euthanasia dilakukan, baik
dengan tangannya sendiri yaitu dengan cara menggantung diri atau
minum racun maupun dengan bantuan orang lain dengan cara
diberi obat over dosis atau suntikan yang mematikan. Adapun
undang-undang yang mengatur tentang larangan yang melakukan
euthanasia yaitu pasal 344 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan


orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Ketiga QS. Yusuf [12]: 87 pada ayat ini Hamka menafsirkan


bahwasanya telah nampak kepastian dalam hati ayah Yusuf bahwa
mereka (Yusuf dan Bunyamin) masih ada. Itulah pegangan beliau,
dan pegangan itu pula yang diberikan kepada anak-anaknya. Jangan
berputus asa dari Rahmat Allah. Menurut Quraish Shihab, semakin
mantap keimanan seseorang, maka semakin besar pula harapannya.
Bahwa keputusasaan hanya layak dari manusia durhaka, karena
mereka menduga bahwa kenikmatan yang hilang tidak akan
85

kembali lagi. ayat ini seakan-akan menyatakan jangan berputus asa


dari datangnya ketenangan yang bersumber dari Allah swt.

Begitupun euthanasia, merupakan salah satu bentuk tindakan


keputus-asaan yang mencelakakan diri sendiri, itu berarti ia
melanggar kehendak tuhan, seharusnya ia bersabar dan tawakal
tidak berputus asa dalam menghadapi ujian ataupun musibah
dengan cara berikhtiar dan berdo’a kepada Allah yang maha kuasa
agar diberi kesehatan kembali seperti sedia kala. seperti do’a yang
diajarkan Rasulullah yaitu:

‫لَّلاِِأِحِيِيِنِيِمِاِكِانِتِِاِلحِيِاةِِخِيِرِاِعِلِيِِوِتِوِفِنِيِإِذِاِكاِِنِتِِالوِفِاةِِخِيِرِالِي‬

Artinya: “Ya Allah, Hidupkanlah aku selagi kehidupan itu


baikuntukku dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik
untukku”.

D. Relevansi penafsiran terhadap pelaksanaan Euthanasia

Relevansi penafsiran tersebut, menurut hemat penulis


sangatlah relevan terhadap pelaksanaan pembunuhan di era saat ini,
yaitu terjadi pada kasus tindak kejahatan seperti narkoba, begal,
pembunuhan berencana, pembunuhan bayi, dll. walaupun tidak ada
ayat yang secara khusus dibahas didalam Al-Qur’an terkait
Euthanasia ini, akan tetapi terdapat beberapa ayat yang ada
relevansinya dengan Euthanasia tersebut. Pada era globalisasi ini
semakin banyak jiwa yang dibunuh atau terbunuh dikarenakan
beberapa faktor termasuk dengan melakukan tindakan euthanasia.
kurangnya pengetahuan seseorang bahwa perbuatan tersebut
adalah haram hukumnya, penafsiran ini sangat berkontribusi untuk
86

memberikan wawasan kepada kita untuk tidak saling membunuh


termasuk dengan melakukan tindakan Euthanasia dan jangan putus
asa atas apa yang terjadi didalam kehidupan. Allah memerintahkan
agar hamba-Nya terus bertawakal dan berusaha tidak boleh putus
asa dalam keadaan seperti apapun.

Tindakan euthanasia ini mendapat pandangan yang berbeda


dari berbagai kalangan, yang pro dengan tindakan euthanasia
berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu tindakan yang
dilakukan dengan persetujuan dan dilakukan dengan tujuan
menghentikan penderitaan pasien. Sedangkan yang kontra dengan
tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan
tindakan pembunuhan, karenanya bertentangan dengan kehendak
Allah Kematian semata-mata adalah hak dari Allah, sehingga
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tidak mempunyai hak
untuk menentukan kematiannya.
BAB V

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan kajian pada bab sebelumnya dapat


diambil kesimpulan bahwa:

1. Hamka (W. 1981) melarang tindakan Euthanasia aktif, karena


menurutnya memelihara nyawa manusia menjadi wajib atau
fardhu’ain ketika ada seseorang yang nyawanya terancam,
menjadi tanggung jawab pribadi kita untuk menolong, dan
menurutnya diri itu hak asasi yang harus dijaga kehormatannya.
sebagai manusia diberi diri oleh Allah adalah untuk dirawat dan
dijaga. Begitupun Quraish Shihab melarang terhadap
Euthanasia aktif, penafsirannya pada QS. Al-Isra: 33
bahwasanya jangan membunuh jiwa baik jiwa orang lain
maupun jiwa sendiri yang diharamkan Allah melainkan dengan
haq. sebaik-baik pemberi keputusan adalah Allah yg berhak
memutuskan kapan seseorang akan hidup dan kapan seseorang
akan mati, Allah memerintahkan agar hamba-Nya terus
bertawakal dan berusaha tidak boleh putus asa dalam keadaan
seperti apapun.

2. Adapun relevansinya euthanasia dengan era saat ini adalah


banyaknya kejadian pada kasus tindak kejahatan seperti
narkoba, begal, pembunuhan berencana, pembunuhan bayi, dll.
Pada era globalisasi ini semakin banyak jiwa yang dibunuh atau
terbunuh dikarenakan beberapa faktor termasuk dengan
melakukan tindakan euthanasia.Walaupun tidak ada ayat yang
secara khusus dibahas didalam Al-Qur’an terkait Euthanasia
87
88

aktif ini, Namun euthanasia aktif dan pembunuhan mempunyai


akibat yang sama yaitu hilangnya nyawa seseorang. Dari
penelisikan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, didapati bahwa Al-
Qur’an banyak membicarakan larangan euthanasia, di antaranya
pada:

QS. An-Nisa : 29-30 mengecam pasien yang memohon


euthanasia aktif apapun alasannya termasuk tidak tahan dengan
ujian sakit. QS. Al-An’am : 151 melarang euthanasia aktif dengan
dalih kemiskinan. QS. An-Nisa : 92 dan QS.Al-Isra : 33 melarang
pihak medis membantu merealisasikan permohonan euthanasia
aktif dengan sengaja. Jika melakukannya, maka akan dikenai
hukuman qishash, diyat atau dimaafkan.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa


tindakan euthanasia aktif menurut perspektif Al-Qur’an adalah
perbuatan haram dan pelakunya mendapatkan dosa yang sama
dengan pembunuhan.

B. Saran-saran

Hasil penelitian ini masih belum sepenuhnya sempurna.


Maka dari itu, penulis mengharapkan adanya penelitian lebih
lanjut, yang tentunya lebih kritis guna menambah pengetahuan
untuk kehidupan dimasa yang akan datang.

Dengan mengetahui dilarangnya tindakan Euthanasia,


pembaca bisa mengambil pelajaran agar tidak terjebak pada
sesuatu yang dilarang oleh Allah swt. Sebaiknya, seseorang bisa
lebih menjaga terhadap kesehatannya serta sisa waktunya yang
89

masih dimiliki. Dan juga bersyukur kepada Allah atas rezeki,


kesehatan, kenikmatan yang telah Allah berikan kepada umatnya.
90

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Ali, Muhammad, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern,


Jakarta: Pustaka Amani.

Akbar, Ali, Euthanasia Dilihat Dari Hukum Islam, Panji Masyarakat


No.453.Th.XXVI, 21 Desember 1984.

Aseri, Akh. Fauzi, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran,


Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum
Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz
Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Al-Farmawi, Abd al-Hayy, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudlu’I


Dirosah, Cet ke 2, Jakarta : PT Grafindo Persada, 1996.

Achadiat, Chrisdiono M, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran


Dalam Tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,
2006.

Achadiat, Crisdiono M, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran


dalam Tantangan Zaman, Jakarta: EGC, 2007.

As-Syaukani, Lutfi, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fiqh


Kontemporer, Bandung; Pustaka Hidayah, 1998.

Al-Bukhari, Shahih, Juz V, Beirut: Dar Al-Fikri, 1992.

Berthens, K esai-esai tentang masalah aktual, Jogyakarta, Kanisius:


2001.

Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Djalal, H. Abdul, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada masa kini, Cet ke 1,


Jakarta: Kalam Mulia, 1990.

Dewi Murni, “Tafsir Al-Azhar, Suatu Tinjauan Biografis dan


Metodologis”, Jurnal, 2015.

Echols , John M, dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cet.


91

V, Jakarta: Gramedia, 1978.

Hamka, Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka,


Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1989.

HAMKA, Kenang-Kenangan Hidup, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

HAMKA, Mutiara Filsafat, cet. 2, Jakarta: Widjaya, 1956.

HAMKA tentang Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Kencana, 2008.

HAMKA. Ayahku… Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah


dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta:
UMMINDA, 1982.

Hanafiah, Jusuf, Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum


Kesehatan Edisi 4, Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2007.

Halimy, Imron, Euthanasia, Cara Mati Terhormat Orang Modern,


Solo: CV Ramdhani, 1990.

Hanafilah, M. Yusuf & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum


Kesehatan, Jakarta; EGC, 1999.

Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, Jakarta: PBB UIN dan


KAS, 2003.

Karyadi, Petrus Yoyo, Euthanasia Dalam Perspektif Hak Azasi


Manusia, Cet ke 1, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001.

Kartono, Muhammad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya


terhadap Bioetika, Cet. I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992.

Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar


Baru 1983.

Muslih, Ahmad Wardi, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum


Positif dan Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, Jakarta:


Kencana, 2008.

Nur, Afrizal, Tafsir Al-Misbah dalam Sorotan, Kritik Terhadap Karya


92

Tafsir Prof. Shihab, M. Quraish, Pustaka AlKausar, Jakarta:


2018.

Qardawi, Syekh Muhammad Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam,


(terj.), Singapura: Himpunan Belia Islam, 1980.

Qardawi, Syekh Muhammad Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid


2, Jakarta: Gema Insani, 1995.

Rouf, Abdul, Tafsir Al Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA, Cet. I,


Selangor: Piagam Intan SDN. BHD, 2013

Razikin, Badiatul, (dkk.), 101 Jejak Tokoh Islam, Yogyakarta: e-


Nusantara, 2009.

Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. HAMKA, cet. 2,


Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Beirut: Daar al-Tsakofah al-Islamiyyah,


1998.

Satrodinoto, Soenarjo, Biologi Umum, Jakarta: Gramedia, 1989.

Setiawan, Eko, “Eksistensi Euthanasia Dalam Perspektif Hukum


Islam”, Al-Ahwal, 1 April, 2015.

Sutarno, “Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan Dan Hukum


Positif Di Indonesia”, Setara Press, 2014.

Sukanto, Soerjono, Segi-Segi Hukum dan Kewajiban Pasien Dalam


Kerangka Hukum Kesehatan, Bandung: Mandar Maju, 1990.

Shihab, Alwi Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama,


Bandung: Mizan, 1999. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-
Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.

Shihab, M. Quraish, dkk, Sejarah & Ulum Al-Qur’an, Cet V,


Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015.

Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim


Amrullah, cet. 1, Jakarta: YPI Al Azhar, 2008.

Tim Penulis, “Petunjuk Teknis Penulisan dan Skripsi Institut Ilmu Al-
Qur’an Jakarta (IIQ) jakarta”, Jakarta: LPPI IIQ, 2017.
93

Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, cet ke-2, Jakarta:


Djambatan, 2005.

Triwibowo, Cecep, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta:


Nuha Medika, 2014.

Utomo, Setiawan Budi, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah


Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press: 2003.

Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, cet ke-2, Jakarta:


Djambatan, 2005.

Yanggo, huzaimah T dan HA Hafiz Anshari AZ, Problematika


Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, cet 1


Jakarta: kencana, 2014.

Yusuf, M. Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Sebuah


Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, Jakarta:
Penamadani, 2003.

Zamimah, Iffaty, Al-Wasthiyyah dalam Al-Qur’an, Studi Tafsir Al-


Maraghi, Al-Munir, dan Al-Mishbah, Ciputat: IIQ Press, 2019.

Zuhdi, Masjfuk, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Dalam


Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam,
1996.

Zaelani, Ahmad, “Euthanasia Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia


Dan Hukum .

B. Jurnal, Skripsi dan Tesis

Fitri Rohani, Akal Sebagai Instrumen Belajar Manusia Dalam Tafsir


Al-Misbah, Skripsi, UIN Sumatera Utara Medan, 2018.

Khalisin, Akhsanul, “Euthanasia Dalam perspektif Hukum Pidana


Islam”, Skripsi, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016.

Maula, Indah Wardatul, “Argumen Qur’ani tentang persoalan


euthanasia”, Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatulah Jakarta, 2018.
94

Nugroho, Fajar, “Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam”,


Skripsi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2008.

Nasruddin, “Sejarah Intelektual Islam Indonesia” Jurnal Studi Kasus


Pemikiran Nurchalish Madjid dan Buya Hamka.

Prihastuti, Indrie “Euthanasia Dalam Pandangan Etika Secara


Agama Islam, Medis Dan Aspek Yuridis Di Indonesia,” Jurnal
Filsafat Indonesia 1, no. 2, 2018.

Prasetya, Muhammad Nurhamdi, “Bala’ dalam Al-Qur’an Menurut


Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka”, Skripsi, Medan: UIN
Sumatra Utara,2018.

Rada, Arifin, “Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal,


Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei

Rahmat H, Hasriasman, “Euthanasia Dalam Perspektif Hukum


Pidana Islam Dan Supremasi Hak Asasi Manusia”, Skripsi,
Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Alauddin
Makassar, 2012.

Ritonga, Abdullah Ritonga dkk, “Pendidikan Akhlak dalam Perspektif


Hamka”, Jurnal.

Syahputra, Rizki, “Prinsip Dan Landasan Ekonomi Islam M. Quraish


Shihab”, Jurnal, 2014, h.70

Tamam, Badru . Corak Pemikiran Kalam Muhammad Quraish Shihab


Dalam Tafsir Al-Misbah, Tesis, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008.

Wahid Abdul, “Hadist Nabi dan Problematika masa Kini”, Banda


Aceh: Ar Raniry Press, 2007. Prihastuti, Indrie “Euthanasia
Dalam Pandangan Etika Secara Agama Islam, Medis Dan
Aspek Yuridis Di Indonesia,” Jurnal Filsafat Indonesia 1, no.
2, 2018.

C. Internet

https://aul-al-ghifary.blogspot.com/2013/10/hukum-euthanasia-
menurut-islam.html, diakses tanggal 22 Agustus 2021.
95

https://naifu.wordpress.com/2010/08/12/euthanasia-dalam-
perspektif-al-qur%E2%80%99an/, diakses tanggal 22 Agustus
2021.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd4f5e2a4f7f/euthanas
ia-di-indonesia--masalah-hukum-dari-kisah-kisah-yang-
tercatat?page=all, di akses pada tanggal 24 Agustus 2021

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2235/euthanasi
a, di akses pada tangal 24 Agustus 2021

https://www.nu.or.id/post/read/2262/fatwa-mui-larang-euthanasia, di
akses pada tanggal 30 Agustus 2021.
96

BIODATA PENULIS

Enung Nurlaela, lahir pada tanggal 03 November


1998 di kota Purwakarta, penulis merupakan anak
terakhir dari 8 bersaudara, dari pasangan Jajang
Muhyidin (Alm) dan Titin Nuryati, Saat ini penulis
bertempat tinggal di Kp. Cianting, Desa Cianting
RT/RW 014/04 Kec. Sukatani Kab. Purwakarta.
Penulis memulai pendidikan di SDN 2
Cianting dan tamat pada tahun 2010, penulis juga
melanjutkan pendidikan MDA (Madrasah
Diniyyah Takmiliyyah Awaliyyah) Al-Hidayah
bersamaan dengan pendidikkan SD, dan tamat
pada tahun 2007, pada tahun 2010 penulis
melanjutkan pedidikan Tsanawiyah di MTS
Assalam tamat pada tahun 2014 kemudian
melanjutkan Aliyah di MA Al-Muthohhar yang
terletak di Legok, Plered dan tamat pada tahun
2017.

Pada tahun 2017, penulis melanjutkan pendidikan di Institut


Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah,
Program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, dan lulus pada tahun
2021.

Anda mungkin juga menyukai