Anda di halaman 1dari 21

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT MITRA IDAMAN

NOMOR: 40/PER/DIR/RSMI/VIII/2018

TENTANG

PANDUAN PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI

DIREKTUR RUMAH SAKIT MITRA IDAMAN

Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada


masyarakat yang baik;
b. bahwa pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat
termasuk kepada individu yang membutuhkan pelayanan yang
beresiko tinggi, perlu ditetapkan pemberlakuan Panduan Pelayanan
Pasien Risiko Tinggi di Rumah Sakit Mitra Idaman;
c. bahwa pemberlakuan Panduan Pelayanan Pasien Risiko Tinggi di
Rumah Sakit Mitra Idaman sebagaimana tersebut pada huruf b perlu
ditetapkan dan diatur dengan peraturan direktur.

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan;
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No:
1691/Menkes/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah
Sakit.
4. Peraturan Direktur Nomor: 03/PER/DIR/RSMI/VII/2018 tentang
Kebijakan Pelayanan Rumah Sakit Mitra Idaman.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR TENTANG PANDUAN PELAYANAN PASIEN


RISIKO TINGGI DI RUMAH SAKIT MITRA IDAMAN.

KESATU : Panduan Pelayanan Pasien Risiko Tinggi sebagaimana dimaksud


Peraturan Direktur ini digunakan untuk pelayanan kepada pasien dan
pelaksanaan upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

KEDUA : Panduan Pelayanan Pasien Risiko Tinggi sebagaimana dimaksud


Peraturan Direktur ini tercantum dalam lampiran peraturan dan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur ini.
KETIGA ; Peraturan Direktur ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya dan kepada
yang bersangkutan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan
penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Banjar
pada tanggal 31 Agustus 2018
DIREKTUR,

SURIPTO

2
Lampiran Peraturan Direktur
Nomor : 40/PER/DIR/RSMI/VIII/2018
Tentang : Panduan Pelayanan Pasien Risiko Tinggi
Tanggal : 31 Agustus 2018

PANDUAN PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI

BAB I
DEFINISI

Dengan adanya perubahan paradigma kesehatan dan penerapan undang-undang


kesehatan, maka keberadaan Rumah Sakit Mitra Idaman harus berupaya untuk melakukan
pengembangan di semua bidang. Peningkatan mutu rumah sakit dilakukan pada bidang
pelayanan yang sesuai standar dan dilakukan di semua instalasi pelayanan rumah sakit.
Era globalisasi membuka kesempatan kepada semua rumah sakit untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang begitu kompleks termasuk
kepada individu yang membutuhkan pelayanan yang berisiko tinggi. Demikian juga dengan
pelayanan di Rumah Sakit Mitra Idaman yang berusaha memberikan pelayanan prima yang
berfokus pada pasien dengan memperhatikan keselamatan pasien dan keselamatan kerja
karyawan juga mulai berbenah untuk menyediakan pelayanan pasien berisiko tinggi yang
prima.
Pelayanan pasien risiko tinggi merupakan pelayanan yang diarahkan bagi pasien-
pasien dengan tindakan darurat, peralatan kompleks, pengobatan yang mempengaruhi
nyawa pasien. Sedangkan pelayanan pasien yang berisiko tinggi, antara lain: pelayanan
emergensi, pelayanan tranfusi darah, pelayanan resusitasi, pengelolaan pasien dengan
penyakit menular, pengelolaan pasien restrain/ pasien yang diberi penghalang, pelayanan
kepada pasien dengan kondisi khusus (cacat, lansia, dan individu yang berisiko disiksa)
serta pelayanan pengobatan yang berisiko tinggi.
Pelayanan risiko tinggi ini merupakan jenis pelayanan yang harus senantiasa
dikembangkan dan ditingkatkan karena berdampak pada nyawa pasien. Sebagai rumah
sakit yang senantiasa berusaha memberikan pelayanan prima, maka Rumah Sakit Mitra
Idaman merasa perlu untuk menyusun panduan pelayanan pasien risiko tinggi.

Definisi Operasional :

1. Pelayanan Risiko Tinggi adalah pelayanan emergensi, pelayanan tranfusi darah,


pelayanan resusitasi, pengelolaan pasien dengan penyakit menular, pengelolaan pasien
restrain/pasien yang diberi penghalang, pelayanan kepada pasien dengan kondisi

3
khusus (cacat, lansia, dan individu yang berisiko disiksa) serta pelayanan pengobatan
yang berisiko tinggi.

2. Pelayanan emergensi adalah asuhan pasien baik keperawatan maupun medis yang
membutuhkan tindakan kegawat daruratan, dalam hal ini tidak hanya di IGD namun di
semua unit pelayanan yang membutuhkan tindakan kegawatdaruratan.

3. Pasien Gawat Darurat adalah Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau
akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi
cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.

4. Pelayanan resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan


kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi
jantung dan paru, yang berorientasi pada otak.

5. Pelayanan bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas
(Airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi darah.

6. Pelayanan pasien koma adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran, yang ditandai pasien tidak dapat dibangunkan
dengan rangsang verbal maupun nyeri.

7. Pelayanan pada pasien dengan penggunaan restrain atau pemasangan penghalang


merupakan pelayanan pada pasien dengan menggunakan alat seperti restrain yang
merupakan salah satu alat untuk immobilisasi pasien. Alat restrain dapat manual
ataupun mekanik, alat ini berguna untuk memberikan batasan agar pasien tidak
mengalami cidera.

8. Pelayanan tranfusi darah adalah pelayanan yang mengarahkan penanganan,


penggunaan, dan pemberian darah dan produk darah.

9. Pelayanan/asuhan pasien dengan penyakit menular merupakan pelayanan yang


diberikan kepada pasien dengan kasus penyakit menular lewat berbagai transmisi.

10. Pelayanan pasien immuno-suppressed merupakan pelayanan kepada pasien yang


mengalami penurunan imunitas.

11. Pelayanan kepada kelompok khusus (pasien yang berisiko dilindungi) merupakan
pelayanan yang diberikan kepada pasien lanjut usia, anak-anak, pasien cacat, pasien
dengan riwayat

4
BAB II
RUANG LINGKUP

Rumah Sakit Mitra Idaman dalam memberikan pelayanan kepada pasien, termasuk
pelayanan pasien risiko tinggi selalu didasarkan pada Undang-Undang ataupun peraturan
perundangan tentang Rumah Sakit maupun Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
Prinsip pelayanan pasien risiko tinggi adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan pasien berisiko tinggi selalu mengutamakan keselamatan pasien dan tetap
memperhatikan keselamatan kerja karyawan.
2. Pelayanan pasien risiko tinggi diberikan di semua unit pelayanan di Rumah Sakit Mitra
Idaman.
3. Pelayanan pasien berisiko tinggi disediakan secara memadai, secara teratur dan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
4. Pelayanan pasien berisiko tinggi tersedia dalam 24 jam termasuk keadaan darurat di
luar jam kerja.
5. Pemberi pelayanan pasien berisiko tinggi adalah tenaga medis, perawat dan tenaga
kesehatan lainnya sesuai SK Direktur Rumah Sakit Mitra Idaman yang senantiasa
mengembangkan kompetensinya sesuai kebutuhan dari pasien.
6. Pemberi pelayanan pasien risiko tinggi harus memberikan asuhan yang seragam sesuai
dengan panduan yang berlaku di masyarakat.
7. Bahwa semua pemberi pelayanan pasien risiko tinggi harus mentaati kebijakan,
pedoman dan standar tentang pelayanan pasien risiko tinggi telah ditetapkan Direktrur
Rumah Sakit Mitra Idaman .
8. Pelayanan pasien berisiko tinggi diberikan sesuai standar keselamatan pasien dan
keselamatan kerja karyawan rumah sakit (K3RS).
9. Pelayanan pasien risiko tinggi yang kita berikan kepada pasien harus
didokumentasikan dalam lembar rekam medik pasien sesuai panduan rekam medik.
10. Sebelum pemberian tindakan petugas harus memberikan informasi dan mendapatkan
persetujuan dari pasien dan atau keluarga.
11. Pelayanan pasien risiko tinggi harus sesuai dengan kaidah moral, sosial budaya,
kepercayaan dan panduan pelayanan di Rumah Sakit Mitra Idaman .
12. Adanya pelaporan apabila mendapatkan pasien dengan riwayat kekerasan misalnya
KDRT, penyiksaan, pemerkosaan kepada petugas yang mendapatkan tugas dari
Direktur Rumah Sakit Mitra Idaman .
13. Apabila ada pasien dengan riwayat mendapat kekerasan, penyalahgunaan obat,
penurunan imunitas (misalkan kasus yang rawan di masyarakat: HIV, AIDS) maka
pasien tersebut harus dirawat di kamar/ruang isolasi untuk menjaga keamanan dan
kenyamanan pasien baik secara psikologi maupun fisiologi.
5
14. Informed Consent yang berkaitan dengan pelayanan pasien yang mendapatkan
kekerasan, penyalahgunaan obat, penurunan imunitas (misalkan kasus yang rawan di
masyarakat: HIV, AIDS) dilakukan oleh petugas yang telah ditunjuk Direktur Rumah
Sakit Mitra Idaman .
15. Apabila mendapatkan pasien dengan riwayat kekerasan, penyalahgunaan obat,
penurunan imunitas (misalkan kasus yang rawan di masyarakat: HIV, AIDS) harus
melaporkan kepada petugas yang ditunjuk direktur dilanjutkan dengan pelaporan
kepada Dinas Kesehatan Kota Banjar.
16. Dalam memberikan pelayanan, privacy pasien dan rasa aman harus tetap terjaga.

6
BAB III
TATA LAKSANA

A. PELAYANAN EMERGENSI/GAWAT DARURAT


Semua masyarakat berhak mendapatkan perawatan kesehatan gawat darurat yang
sama sesuai indikasi, pencegahan, primer, spesialistik serta kronik. Perawatan Gawat
Darurat harus dilakukan tanpa memikirkan kemampuan pasien untuk membayar. Semua
petugas medis harus diberi kompensasi yang adekuat, adil dan tulus atas pelayanan
kesehatan yang diberikannya.
Diperlukan mekanisme pembayaran penggantian atas pelayanan gratis, hingga
tenaga dan sarana tetap tejaga untuk setiap pelayanan. Ini termasuk mekanisme
kompensasi atas penderita yang tidak memiliki asuransi, bukan penduduk setempat atau
orang asing. Semua pasien harus mendapat pengobatan, tindakan medis dan pelayanan
memadai yang diperlukan agar didapat pemulihan yang baik dari penyakit atau cedera akut
yang ditindak secara gawat darurat.
Pelayanan gawat darurat/emergensi merupakan pelayanan kepada pasien yang
membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan lebih lanjut. Sedangkan pasien emergensi adalah pasien yang tiba-tiba berada
dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota
badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum
kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa.Dipandang
dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-
gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus.
Pelayanan yang bersifat emergensi/gawat darurat tidak hanya diberikan di Instalasi
Gawat Darurat (IGD) namun di semua unit pelayanan terhadap pasien dalam kondisi yang
membutuhkan tindakan kegawat daruratan. Dalam penentuan jenis tindakan yang
dibutuhkan pasien merupakan tindakan kegawatdaruratan atau bukan, disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan pasien. Dimana dalam penetapannya :
1. Diputuskan oleh dokter umum setelah konsultasi dengan dokter spesialis atau oleh
DPJP sesuai kewenangannya.
2. Berdasarkan dari hasil triage, pemeriksaan fisik, pengkajian, diagnostik (IGD) atau
kondisi pasien terakhir dimana juga memperhatikan riwayat pemeriksaan dan
diagnostik (ICU).

Ruang Lingkup Pelayanan Emergensi :


7
1. Pelayanan Pasien Emergensi IGD :
a. Merupakan pelayanan pasien emergensi yang diberikan karena kondisi pasien
yang membutuhkan tindakan gawat darurat pada saat pasien di IGD.
b. Pemberian pelayanan emergensi sesuai dengan Panduan, Kebijakan Pelayanan, dan
SPO di Instalasi Gawat Darurat.
c. Didasarkan pada hasil skrinning yang meliputi: hasil triage, pemeriksaan fisik,
pengkajian, diagnostik (IGD).
d. Dalam memutuskan tindakan emergensi bisa dilakukan oleh dokter umum ataupun
dengan konsultasi kepada spesialis yang bertanggung jawab.
e. Harus ada kerjasama sebagai tim baik dokter, perawat, pendaftaran/petugas
registrasi, farmasi, analis, apoteker, kamtib, sopir, petugas kebersihan dan
karyawan lain yang terlibat sesuai kompetensinya masing-masing.
f. Pemberi pelayanan emergensi adalah:
1) Dokter umum yang bersertifikat ATLS, ACLS /pelatihan kegawatdaruratan.
2) Dokter spesialis sesuai kewenangannya.
3) Perawat bersertifikat BLS, BTCLS atau ACLS.
4) Farmasi, Analis, Radiografer, sanitarian, Nutrisionist, Sopir, Petugas
keamanan dan ketertiban yang bersertifikat pelatihan bantuan Hidup Dasar
(BHD).
Dimana semuanya memberikan pelayanan emergensi sesuai uraian tugas dan
kewenangannya.
g. Semua tindakan yang dilakukan dalam memberikan pelayanan emergensi harus
didokumentasikan secara tepat sesuai petunjuk pengisian.
Prosedur Pelayanan pasien Emergensi di IGD.
1) Lakukan tindakan penyelamatan hidup (Airway, Breathing, Circulation/
circulation airway breathing sesuai umur dan indikasi pasien).
2) Sambil melakukan tindakan emergensi, dokter umum konsultasi dengan
spesialis konsulen sesuai kasus pasien.
3) Rencanakan tindakan selanjutnya sesuai hasil konsultasi.
4) Stabilkan kondisi pasien di IGD.
5) Dokter dan perawat monitor kondisi pasien setiap 15 menit atau sesuai
kondisi pasien.
h. Pelayanan Emergensi/ Gawat Darurat di IGD meliputi: Gawat darurat bedah, gawat
darurat penyakit dalam, gawat darurat obgyn, gawat darurat anak, gawat darurat
sistem saraf, gawat darurat psikiatri.
i. Pelayanan emergensi di IGD tetap melibatkan unit lain, misalnya IBS, HCU,
Laboratorium cito, Radiologi cito dan Farmasi di IGD.

8
2. Pelayanan Pasien Emergensi di IBS
Instalasi Bedah Sentral (IBS) adalah salah satu instalasi di Rumah Sakit Mitra
Idaman yang memberikan pelayanan pembedahan, dengan mengutamakan patient safety
dan keselamatan kerja karyawan. IBS memberikan pelayanan pembedahan dan anestesi
baik elektif maupun gawat darurat (cito). Tujuan dari pelayanan IBS cito/emergensi adalah
untuk memberikan pelayanan pembedahan dan anestesi secara cepat dan tepat guna
penyelamatan nyawa pasien, mengkoordinasi petugas kamar operasi bila terjadi
keadaan/tindakan darurat di rumah sakit.
a. Pasien sudah di IBS
1) Merupakan pemberian pelayanan dimana pada saat pasien di IBS terjadi situasi yang
memerlukan tindakan emergensi.
2) Pemberian pelayanan ini sesuai dengan panduan, kebijakan dan SPO pelayanan
emergensi di IBS.
3) Kondisi gawat darurat pada saat pasien di meja operasi, maka lakukan tindakan
penyelamatan hidup terlebih dahulu oleh tim operasi tersebut.
4) Tindakan kelanjutan operasi didasarkan pada kondisi pasien dan keputusan operator
dan anestesiolog.
5) Transfer ke HCU jika diperlukan.
6) Dokumentasikan secara tepat.
b. Pasien di luar IBS
1) Pelayanan pada pasien yang membutuhkan tindakan pembedahan/operasi segera
untuk peneyelamatan hidup pasien, misal pada kasus perdarahan pervaginam, fraktur
femur, trauma abdomen dll.
2) Pemberian pelayanan emergensi di IBS ini sesuai dengan panduan, kebijakan dan SPO
yang berlaku di Rumah Sakit Mitra Idaman .
3) Pelayanan emergensi di IBS meliputi bedah umum, ortopedi, obgyn, THT dan mata.
4) Pelayanan emergensi di IBS 24 jam/hari
5) Pasien yang dilakukan tindakan emergensi saat pembedahan harus dilakukan
tindakan seperti EKG, cek laboratorium (darah rutin, elektroliet, Gol darah, HbsAg,
Ureum Kreatinin, GDS), dan persiapan darah untuk tranfusi jika dibutuhkan.
6) Pelayanan emergensi pembedahan dan anestesi bisa dari IGD maupun HCU.
7) Prosedur sesuai dengan SPO pelayanan emergensi/cito IBS, yaitu:
a) Lakukan tindakan awal untuk penyelamatan hidup.
b) Lakukan pemeriksaan lanjutan seperti EKG, cek laboratorium (darah rutin,
elektroliet, Gol darah, HbsAg, Ureum Kreatinin, GDS
c) Setelah pemeriksaan dilakukan Dokter IGD/keliling (sesuai hasil konsul) /
DPJPmelakukan konsultasi kepada spesialis anestesi dan operator.

9
d) Apabila dokter anestesi dan operator menyetujui untuk dilkukan pembedahan
dilanjutkan dengan pemanggilan petugas cito oleh kamtib, Bila pasien yang
memerlukan tindakan pembedahan banyak (lebih dari 3) maka semua petugas
IBS dihadirkan untuk mempercepat penanganan pasien.
e) 30 menit kemudian tim operasi sudah siap melakukan tindakan pembedahan
dan anestesi.
f) Lakukan pendokumentasian sesuai panduan pengisian.

3. Pelayanan Emergensi pasien di Rawat Inap, HCU, Instalasi lainnya


a. Merupakan pemberian pelayanan pada pasien yang membutuhkan tindakan
sesegera mungkin untuk menyelamatkan hidup pasien tersebut.
b. Pemberian tindakan gawat darurat dilakukan oleh petugas yang dinas di ruang
tersebut.
c. Laporkan kondisi pasien kepada DPJP atau dokter umum.
d. Dokter DPJP/dokter jaga datang ke ruang tersebut untuk pengelolaan pasien
tersebut.
e. Jenis tindakan yang diberikan sesuai dengan kondisi dan prosedur yang berlaku.
f. Stabilkan kondisi pasien.
g. Monitor pasien secara intensif, apabila perlu transfer ke PPI (jika dari ICU atau dari
instalasi lainnya saat dilakukan pelayanan).

B. PELAYANAN BANTUAN HIDUP DASAR dan RESUSITASI


1. Bantuan Hidup Dasar
Bantuan Hidup Dasar merupakan usaha yang pertama kali dilakukan untuk
mempertahankan kondisi jiwa seseorang pada saat mengalami kegawatdaruratan. Usaha
yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban
mengalami keadaan yang mengancam jiwa dikenal dengan Bantuan Hidup Dasar/Basic Life
Support(BLS). Sedangkan bantuan yang diberikan pada pasien /korban yang dilakukan
dirumah sakit sebagai kelanjutan dari BHD disebut Bantuan Hidup Lanjut/Advance
Cardiac LifeSupport (ACLS).
TUJUAN
1) Mengetahui resutitasi jantung paru.
2) Mengenali tanda-tanda gangguan airway & breathing pada penderita gawat darurat.
3) Teknik mempertahankan jalan napas.
4) Memberikan bantuan pernapasan.
5) Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi (nafas).
6) Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkukasi (fungsi jantung) dan ventilasi
(fungsi pernafasan/paru) pada pasien/korban yang mengalami henti jantung atau
10
henti nafas melalui Cardio Pulmonary Resuciation(CPR) atau Resusitasi Jantung Paru
(RJP).
Komponen-komponen yang berhubungan dengan sirkulasi adalah:
1) Jantung
2) Pembuluh Darah ( Arteri, Vena, Kapiler)
3) Darah dan komponen-komponennya.

2. Resusitasi
a. Resusitasi Jantung Paru
Pelayanan resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau
memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat
berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak. Pelayanan ini bisa
dilakukan di semua unit pelayanan Rumah Sakit Mitra Idaman terhadap individu yang
membutuhkan tindakan ini.
“Bila Penderita Henti Napas Belum Tentu Henti Jantung. Bila Penderita Henti Jantung Secara
Otamatis Penderita Penderita Mengalami Henti Napas. Lakukan RJP Segera”
Tujuan utama resusitasi kardiopulmoner yaitu melindungi otak secara manual dari
kekurangan oksigen, lebih baik terjadi sirkulasi walaupun dengan darah hitam daripada
tidak sama sekali. Sirkulasi untuk menjamin oksigenasi yang adekwat sangat diperlukan
dengan segera karena sel-sel otak menjadi lumpuh apabila oksigen ke otak terhenti selama
8 – 20 detik dan akan mati apabila oksigen terhenti selama 3 – 5 menit (Tjokronegoro,
1998). Kerusakan sel-sel otak akan menimbulkan dampak negatif berupa kecacatan atau
bahkan kematian.
Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC: airway,
breathing dan chest compressions, yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan
kompresi dada. Saat ini kompresi dada didahulukan, baru setelah itu kita bisa fokus pada
airway dan breathing. Pengecualian satu-satunya adalah hanya untuk bayi baru lahir.
Namun untuk RJP bayi, RJP anak, atau RJP dewasa, harus menerima kompresi dada sebelum
kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas.
Keberhasilan resusitasi tergantung kepada keadaan miokardium, penyebab
terjadinya henti jantung, kecepatan dan ketepatan tindakanmempertahankan penderita di
perjalanan ke rumah sakit, perawatan khusus di rumah sakit, Umur (tetapi tidak terlalu
menentukan), tatalaksana tindakan resusitasi. Untuk penatalksanaan RJP ini sesuai dengan
SPO Pelayanan RJP.

11
b. Resusitasi cairan
Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk multiseluler seperti
manusia atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu. Merupakan pemberian
pelayanan resusitasi cairan kepada pasien secara cepat dalam waktu tertentu yang
diberikan dengan mempertimbangkan penyebab dari kehilangan cairan pasien. Tujuan dari
resusitasi cairan adalah : mengganti kehilangan akut cairan tubuh, untuk ekspansi cepat
dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.
Dilakukan pada pasien dengan kasus:Syok hypovolemi, Syok haemoragik, Luka
bakar, dehidrasi berat. Pelayanan ini bisa dilakukan di semua unit pelayanan, di mana
pasien ditempatkan. Untuk prosedur pelayanan sesuai dengan SPO Pelayanan Resusitasi
Cairan.

C. PELAYANAN PADA PASIEN KOMA


Koma adalah kondisi ketidak sadaran jangka panjang yang penderitanya tidak dapat
terangsang, bahkan dengan stimulus yang paling menyakitkan sekalipun. Namun, koma
bukanlah suatu penyakit. Karena merupakan gejala atau respons dari suatu penyakit
seperti cedera kepala berat atau adanya serangan masalah metabolism. Ketika sedang koma
fungsi otak berada pada titik terendah sehingga orang tersebut tidak bisa merespon
rangsang.
Koma adalah keadaan klinis ketidaksadaran dimana pasien tidak tanggap terhadap
dirinya sendiri dan lingkungan atau merupakan keadaan penurunan kesadaran dan respon
dalam bentuk yang berat, kondisinya seperti tidur yang dalam dimana pasien tidak dapat
bangun dari tidurnya.
Berbagai penyakit, cedera atau kelainan yang serius bisa mempengaruhi otak dan
menyebabkan koma. Koma dapat timbul karena berbagai kondisi antara lain : terjadi
karena cedera kepala ringan atau berat, keracunan, keabnormalan metabolik penyakit
sistem saraf pusat, luka neurologis seperti stroke dan hipoksia, agen farmasentika.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien tidak sadar meliputi gangguan
pernapasan, pneumonia, dekubitus dan aspirasi.Gagal pernafasan dapat terjadi dengan
cepat setelah pasien tidak sadar.Penumonia umumnya terlihat pada pasien yang
menggunakan ventilator atau mereka yang tidak dapat untuk mempertahankan bersihan
jalan napas.
Dekubitus, pasien tidak sadar tidak mampu untuk bergerak atau membalikkan
tubuh, hal ini menyebabkan dalam tetap pada posisi yang terbatas. Keadaan ini akan
mengalami infeksi dan merupakan sumber sepsis. Aspirasi isi lambung atau makanan dapat
terjadi, yang mencetuskan terjadinya pneumonia atau sumbatan jalan nafas.
Dampak koma adalah dibutuhkannya perawatan jangka panjang. Vegetative state
persisten memiliki prognosis yang buruk, prognosis lebih baik dapat terjadi pada kelompok
12
anak-anak dan remaja. Koma metabolik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan koma traumatik. Segala pendapat mengenai prognosis pada orang dewasa,
sebaiknya hanya berupa perkiraan, dan keputusan medis seharusnya disesuaikan dengan
faktor-faktor seperti usia, penyakit sistemik yang ada, dan kondisi medik secara
keseluruhan.
Informasi prognosis dari banyak pasien dengan luka di kepala, dapat dilakukan
dengan GCS. Secara empiris, pengukuran ini dapat memprediksi trauma otak. Hilangnya
gelombang kortikol pada potensi terjadi somata sensori merupakan indikator prognosis
koma yang buruk.
Untuk penatalaksanaan pasien koma (biasanya dirawat di HCU/ secara intensif )
sesuai dengan SPO pelayanan pasien koma. Dalam penatalaksanaan pasien koma harus
tetapa menggunakan INFORMED CONSENT keluarga pasien, dan pendokumentasian secara
tepat.

D. PELAYANAN PASIEN DENGAN BANTUAN ALAT HIDUP


Merupakan pemberian pelayanan pada pasien yang menggunakan alat bantu hidup
seperti ventilator. Pelayanan ini dilakukan di IGD, ICU dan harus mendapatkan perhatian
khusus serta persetujuan dari keluarga pasien.
Ventilator adalah suatu alat system bantuan nafas secara mekanik yang di desain
untuk menggantikan/menunjang fungsi pernafasan.Tujuan Pemasangan Ventilator adalah
memberikan kekuatan mekanis pada sistem paru untuk mempertahankan ventilasi yang
fisiologis, memanipulasi “air way pressure” dan corak ventilasi untuk memperbaiki efisiensi
ventilasi dan oksigenasi, mengurangi kerja miokard dengan jalan mengurangi kerja nafas.
Bagi pasien yang mendapatkan pelayanan ini, termasuk dalam pelayanan yang
berisiko tinggi karena pasien yang menggunakan alat bantu hidup merupakan pasien yang
tidak mampu bernafas secara mandiri dan harus dibantu untuk waktu yang lama.

E. PELAYANAN PASIEN DENGAN RESTRAIN


Teknik pengendalian fisik (restraint) merupakan teknik menahan gerakan pasien
dengan cara mengunci gerakan tangan, kepala, ataupun kaki pasien sehingga memudahkan
perawatan. Tekhnik ini biasanya digunakan pada anak yang mengalami kondisi tertentu,
seperti gangguan kepribadian, tujuan penggunaan teknik ini adalah untuk mencegah
terjadinya luka ataupun hal-hal yang tidak diinginkan pada pasien ataupun orang lain yang
terlibat dalam perawatan.
Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk tindakan
menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang
berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik dan psikologis
individu.Restraint (fisik) merupakan alternative terakhir intervensi jika dengan intervensi
13
verbal, chemInformed consental restraint mengalami kegagalan. Seklusi merupakan bagian
dari restraint fisik yaitu dengan menempatkan klien di sebuah ruangan tersendiri untuk
membatasi ruang gerak dengan tujuan meningkatkan keamanan dan kenyamanan klien.
Sebagaimana diketahui pasien adalah individu yang unik, sehingga kita jumpai
pasien dengan tingkah laku /reaksi yang berbeda pada saat hospitalisasi yang mungkin bisa
menyebabkan trauma bagi pasien, terutama pasien anak, kejiwaan, penurunan
kesadaran.Pemberi pelayanan kepada pasien perlu mengkaji apakah restraint di perlukan
atau tidak. Restrein seringkali dapat dihindari dengan persiapan anak yang adekuat,
pengawasan orang tua atau staf terhadap anak, dan proteksi adekuat terhadap sisi yang
rentan seperti alat infus, perlu mempertimbangkan perkembangan anak, status mental,
ancaman potensial pada diri sendiri atau orang lain dan keamannnya.
Manfaat penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) adalah supaya pasien
yang mengalami gangguan kepribadian ataupun pasien yang tidak dapat menjadi kooperatif
dapat mendapatkan perawatan dengan baik, untuk memastikan keselamatan dan
kenyamanan pasien, memfasilitasi pemeriksaan, membantu dalam pelaksanaan uji
diagnostik dan prosedur terapeutik.
Dalam memberikan pelayanan restrain ini, informed consent mutlak diperlukan, di
mana petugas menginformasikan secara jelas dan harus mendapatkan persetujuan dari
pasien dan atau keluarganya. Pelayanan ini harus dikdokumentasikan secara tepat sesuai
dengan panduan pengisian rekam medik.

F. PELAYANAN PASIEN DENGAN TRANSFUSI DARAH


Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah
manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan
komersial. Darah diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi
criteria seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan pendonor. Darah yang
diperoleh dari pendonor darah sukarela sebelum digunakan untuk pelayanan darah harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium guna mencegah penularan penyakit. Sebelum pasien
terpasang tranfusi terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pasien dan atau
keluarganya dan harus didokumentasikan secara tepat.
Pasien yang mendapatkan pelayanan tranfusi darah bisa berada di ruang perawatan
biasa, di instalasi perawatan intensif, instalasi bedah sentral, instalasi hemodialisa maupun
di instalasi gawat darurat. Pasien yang mendapatkan tranfusi darah merupakan pasien yang
termasuk dalam risiko tinggi karena dampak dari pemasangan tranfusi ini bisa
mempengaruhi kelangsungan hidup pasien. Pemberian transfusi darah mempunyai resiko
penularan penyakit Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD) terutama HIV/AIDS,
Hepatitis C, Hepatitis B, Siphilis serta resiko transfusi lain yang dapat mengancam nyawa.

14
Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan
kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfusi
darah. Penatalaksanaan pelayanan tranfusi darah sesuai SPO pelayanan tranfusi darah.

G. PELAYANAN PASIEN DENGAN PENYAKIT MENULAR


Penyakit menular adalah penyakit yang dapat berpindah dari orang sakit ke orang
lain termasuk ke petugas kesehatan. Cara penularannya ada melalui kontak udara, kontak
darah, kontak kulit, kontak cairan tubuh dan lain-lain. Pelayanan pasien menular ini harus
memperhatikan keselamatan kerja karyawan, dalam hal ini mencegah terjadinya penularan
dari pasien ke pemberi pelayanan dengan pemberian alat pelindung diri (APD) serta
keselamatan pasien, baik pasien yang menderita penyakit menular maupun pasien lain.
Pasien-pasien yang termasuk dalam pasien dengan penyakit menular antara lain: TB
Paru (kontak udara), HIV/Aids (kontak darah/cairan tubuh), Hepatitis (Darah, makanan,
fecal ), scabies, dermatitis (kontak kulit) dan lain-lain. Pasien dengan penyakit menular
menggunakan ruang khusus yang kita sebut ruang isolasi namun kriteria ruang isolasi
berbeda sesuai transmisi penularannya.
Semua pasien yang mempunyai penyakit menular dalam menempatkan ruang
perawatan harus sesuai dengan pedoman dari PPI dan keselamatan kerja karyawan serta
SPO yang berlaku. Pelayanan ini harus tetap melibatkan pasien dan atau keluarga melalui
pemberian Informed consent dan pendokumentasiannya harus tepat. Dalam
penatalaksanaan pasien dengan penyakit menular sesuai dengan SPO pelayanan pasien
dengan penyakit menular, SPO penempatan pasien dengan penyakit menular, SPO
penggunaan APD.

H. PELAYANAN PASIEN DENGAN IMMUNOSSUPPRESSED


Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh seharusnya melindungi tubuh dari zat
berbahaya dari virus, bakteri, racun, dan lainnya. Tapi bila sistem imun mengalami
gangguan, justru akan menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh yang sehat.
Gangguan ini disebut gangguan atau penyakit autoimun. Gangguan autoimun adalah suatu
kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang dan
menghancurkan jaringan sehat.
Immunossupressed/Immunocompromised (imunitas lemah) adalah kondisi abnormal
dimana kemampuan seseorang untuk melawan infeksi menurun. Hal ini dapat disebabkan
oleh proses penyakit, obat-obatan tertentu, atau kondisi yang hadir saat lahir. Sistem
kekebalan tubuh akan membuat antibodi yang menghancurkan zat-zat berbahaya.Tapi
pada pasien dengan gangguan autoimun, sistem kekebalan tidak bisa membedakan antara
jaringan tubuh yang sehat dan antigen.

15
Pelayanan pada pasien dengan immunossupressed termasuk dalam pelayanan risiko
tinggi karena pasien dengan gangguan imune mudah terserang penyakit. Sehingga
terkadang memerlukan ruang khusus karena beberapa pasien dengan kasus
immunossuppressed merupakan penyakit menular dan memerlukan pengawasan khusus.
Untuk penatalaksanaan pasien dengan immunosspressed harus sesuai panduan, kebijakan
dan SPO pelayanan pasien dengan immunossupressed, SPO pemberian immunossupresan
yang berlaku.
Dalam kaitannya dengan pelayanan ini, fokus patient safety dan keselamatan kerja
petugas tetap dilaksanakan. Begitu juga dengan pemberian Informed Consent kepada
pasien dan atau keluarga mutlak harus dilakukan dan pendokumentasian yang tepat.
Berikut beberapa contoh penyakit karena serangan sistem imun tubuh sendiri:
1) Hashimoto tiroiditis (gangguan kelenjar tiroid).
2) Pernisiosaanemia (penurunan sel darah merah yang terjadi ketika tubuh tidak dapat
dengan baik menyerap vitamin B12 dari saluran pencernaan).
3) Penyakit Addison (penyakit yang terjadi ketika kelenjar adrenal tidak memproduksi
cukup hormon).
4) Diabetes tipe I.
5) Rheumatoid arthritis (radang sendi).
6) Systema lupus erythematosus.
7) Dermatomyositis (penyakit otot yang dInformed consentirikan dengan radang dan
ruam kulit).
8) Sjorgen sindrom (kelainan autoimun dimana kelenjar yang memproduksi air mata.
9) Multiple sclerosis (gangguan autoimun yang mempengaruhi otak dan sistem saraf
pusat tulang belakang).
10)Myasthenia gravis (gangguan neuromuskuler yang melibatkan otot dan saraf).
11)Reactive arthritis (peradangan sendi, saluran kencing dan mata).
12)Penyakit Grave (gangguan autoimun yang mengarah ke kelenjar tiroid hiperaktif).

Gejala gangguan autoimmune sangat bervariasi dan tergantung pada penyakit


tertentu. Gejala yang umum adalah pusing, kelelahan, sakit, dan demam kelas rendah.
Perawatan yang digunakan tergantung pada penyakit tertentu dan gejala. Misalnya,
pemberian suplemen tiroid, vitamin, suntikan insulin atau transfusi darah. Tidak ada usaha
pencegahan yang bisa dilakukan untuk gangguan.

I. PELAYANAN PASIEN KELOMPOK KHUSUS


Pelayanan kepada kelompok khusus (pasien yang berisiko dilindungi) merupakan
pelayanan yang diberikan kepada pasien lanjut usia, anak-anak, pasien cacat, pasien dengan
riwayat kekerasan/dan pasien dengan gangguan nutrisi.
16
1. Riwayat Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan (KTP):
Segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti
secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan ; termasuk ancaman
dari tindakan tsb, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi
dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti
kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).

Child abused (Penganiayaan anak) (KTA):


Perlakuan dari orang dewasa atau anak yang usianya lebih tua dengan menggunakan
kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya berada
dibawah tanggung-jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan,
kesengsaraan, bahkan cacat. Penganiayaan bisa fisik, seksual maupun emosional.

Kekerasan dalam rumah-tangga (KDRT):


Kekerasan fisik maupun psikis yang terjadi dalam rumah-tangga, baik antara suami-istri
maupun orang-tua-anak.Pada umumnya korban adalah istri atau anak. Sedangkan pelaku
tindak kekerasan terhadap anak biasa ayah atau ibu.

Perkosaan:
Hubungan seksual yang dilakukan seseorang atau lebih tanpa persetujuan korbannya, dan
merupakan tindak kekerasan sebagai ekspresi rasa marah, keinginan/ dorongan untuk
menguasai orang lain dan untuk atau bukan untuk pemuasan seksual. Seks hanya
merupakan suatu senjata baginya untuk menjatuhkan martabat suatu kaum/ keluarga,
dapat dijadikan alat untuk teror dsb. Perkosaan tidak semata-mata sebuah serangan
seksual, tetapi juga merupakan sebuah tindakan yang direncanakan dan bertujuan.
Apabila kita menemukan pasien dengan riwayat kekerasan, maka privasi harus tetap
terjaga baik saat pasien diidentifikasi baik di IGD maupun di HCU. Di mana ruang tersendiri
diperlukan, karena pasien dengan riwayat kekerasan akan mempunyai rasa takut yang
lebih dibandingkan pasien lain. Sehingga rasa aman dan nyaman menjadi fokus utama
dalam pemberian pelayanan pasien dengan riwayat kekerasan.
Penatalaksanaan pasien dengan riwayat kekerasan sesuai panduan, kebijakan dan
SPO yang berlaku. Pendokumentasian juga dilakukan secara tepat.

17
2. Gangguan Nutrisi
Pelayanan pasien dengan gangguan nutrisi merupakan pelayanan kepada pasien
dimana dari pengkajian awal didapatkan adanya gangguan nutrisi yang perlu dilakukan
pengkajian lanjutan di ICU oleh nutrisionis. Dalam pengkajian lanjutan nantinya akan
didapatkan data yang dibutuhkan dalam pengelolaan nutrisi melalui skrinning gizi.
Penatalaksanaan gizi disesuaikan dengan panduan, kebijakan dan SPO yang berlaku.
Informed consent diberikan sebelum dilakukan pentalaksanaan gizi termasuk
pendokumentasiannya. Pengeloaan ataupun asuhan pelayanan nutrisi harus seragam di
semua unit pelayanan rumah sakit.
Gangguan nutrisi bisa berupa kurangnya asupan makanan, yang mungkin
disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang diberikan, kurangnya kualitas makanan
yang diberikan dan cara pemberian makanan yang salah, adanya penyakit: terutama
penyakit infeksi, mempengaruhi jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh
tubuh. Infeksi apapun dapat memperburuk keadaan gizi, malnutrisi walaupun masih
ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Juga ada
gangguan kelebihan asupan, dimana biasanya disebabkan pola makan yang salah dan
gangguan hormon.

3. Pasien lanjut Usia


Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, Lansia
adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middleage) 45-59 tahun,
Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua
(veryold) diatas 90 tahun.
Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia. Faktor
kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik terhadap
serangan penyakit. Faktor kesehatan psikis meliputi penyesuaian terhadap kondisi
lanjut usia. Pengkajian pada klien psikogeriatri merupakan proses yang komplek.
Pengaruh aspek biologik, psikologik, dan sosiokultural akibat proses penuaan
menyebabkan kesulitan dalam mengidentifikasi masalah yang muncul. Pengkajian status
mental merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data tentang fungsi
psikososial. Pengkajian ini meliputi: penampilan umum klien, kesadaran, fungsi afektif,
karakteristik bicara, orientasi, perhatian dan konsentrasi, penilaian memori, persepsi , serta
isi dan proses pikir. Pengkajian ini bertujuan untuk menentukan pikiran-pikiran dan proses
mental yang mempengaruhi pada pencapaian tingkat optimal dari fungsi lansia. Pengkajian
ini terintegrasi dalam wawancara dan pemeriksaan fisik.
Pelayanan pasien lansia termasuk dalam risiko tinggi karena pasien lansia risiko
terjadinya cidera fisik yang tinggi, emosi yang labil, dan status mental yang menurun serta
18
mudahnya terjangkit penyakit lain sehingga diperlukan perhatian khusus. Dalam
penatalaksanaan sesuai dengan panduan dan kebijakan serta SPO yang berlaku.
Sebagaimana pelayanan yang lain, pendokumentasian pelayanan pasien lansia ini harus
didokumentasikan secara tepat.

4. Gangguan jiwa, Pasien Cacat, dan Ketergantungan Obat/ Napza


- Pasien dengan gangguan jiwa/mental
Merupakan pasien yang mempunyai gangguan jiwa, di mana pada pasien dengan
gangguan jiwa ini seringkali mempunyai perilaku yang tidak bisa dikendalikan. Sehingga
seringkalai kita memerlukan adanya tindakan seperti restrain untuk membantu proses
penyembuhan. Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk
tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas
individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik dan
psikologis individu.
Untuk mengetahui pasien tersebut mempunyai gangguan mental/jiwa salah satu
caranya dengan melihat mata pasien tersebut saat melihat benda bergerak, di mana pada
pasien gangguan mental sulit mempertahankan pandangan mata dengan stabil. Pelayanan
ini termasuk risiko tinggi karena mempunyai risiko terjadinya cidera sangat tinggi, dan
perilakunya karena membuat pasien lain merasa takut maka diperlukan ruang tersendiri.Di
RSUD RAA Soewondo Pati, pasien dengan gangguan jiwa yang membutuhkan pelayanan
rawat inap dirujuk ke rumah sakit yang lebih tinggi.

- Pasien penyandang cacat


Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik;
b. Penyandang cacat mental;
c. Penyandang cacat fisik dan mental.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.


Disabilitas adalah suatu ketidakmampuan, yang meliputi gangguan, keterbatasan
aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh
atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu
dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan
masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi
disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri
dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.
19
Pasien cacat merupakan pasien yang tidak sempurna kondisi fisiknya dan atau cacat
mental, baik cacat bawaan maupun dapatan. Kondisi cacat ini perlu mendapatkan perhatian
khusus karena risiko terjadinya cidera lebih tinggi dibandingkan pasien yang normal.

PROSEDUR
1. Melakukan tindakan sesuai SPO.
2. Secara umum, setiap pelayanan yang akan kita berikan mempunyai prosedur sbb:
a) Selalu memperkenalkan nama petugas dan memanggil nama pasien untuk
mengetahui apakah pasien tersebut sesuai dengan rekam medik.
b) Menyiapkan lingkungan yang aman bagi pasien pada saat dilakukan asuhan.
c) Memberi informed consent (menjelaskan tentang tindakan yang akan kita lakukan
kepada pasien dan atau keluarga, dan meminta persetujuannya).
d) Laksanakan sesuai prinsip etik, dapat diterima di seluruh budaya, nilai-nilai dan
kepercayaan pasien dan keluarga.
e) Lakukan tindakan sesuai SPO dan catat hasilnya/respon pasien terhadap tindakan
yang kita lakukan dalam catatan perkembangan terintegrasi.
f) Lakukan pengawasan secara lebih intensif.
g) Kolaborasikan dengan semua tim pemberi pelayanan secara komprehensif.
h) Dokumentasikan tindakan/pelayanan serta respon dari pasien secara tepat.

20
BAB IV
DOKUMENTASI

Pemberian pelayanan risiko tinggi merupakan pelayanan yang diberikan kepada


pasien emergensi, dengan resusitasi dan bantuan hidup dasar, pasien dengan tranfusi
darah, pasien koma, pasien immunossupressed, penyakit menular, dan pasien yang
termasuk dalam kelompok khusus (pasien yang berisiko dilindungi) merupakan pelayanan
yang diberikan kepada pasien lanjut usia, anak-anak, pasien cacat, pasien dengan riwayat
kekerasan dan pasien dengan gangguan nutrisi.
Pemberian pelayanan harus seragam di semua unit pelayanan, dan sesuai dengan
panduan, kebijakan dan SPO yang berlaku. Dengan tetap memperhatikan keselamatan
pasien dan keselamatan petugas. Segala tindakan yang kita lakukan kepada pasien harus
kita dokumentasikan.

Ditetapkan di Banjar
pada tanggal 31 Agustus 2018
DIREKTUR,

SURIPTO

21

Anda mungkin juga menyukai