Anda di halaman 1dari 6

Kisah Murni si Buruh Pabrik

Sore itu langit terlihat mendung. Hari sudah beranjak malam. Para buruh yang bekerja di pabrik
yang tergolong besar di daerah pinggiran kota itu pun mulai meninggalkan tempat mengais rejeki
mereka.

Pabrik penyedia bibit tanaman itu memang sudah menjadi sebuah tempat kerja yang tergolong
terpercaya dan menjadi incaran anak muda di desa-desa sekitarnya.

Termasuk bagi Murniati. Gadis 20 tahun itu harus mengubur keinginannya dalam-dalam untuk
melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan bekal ijazah SMA, akhirnya dia
diterima menjadi salah satu buruh di bagian produksi, di pabrik tersebut.

Sudah satu tahun ini dia mencoba untuk ikhlas tanpa menuntut apa pun dari orang tuanya.
Malahan, terkadang dengan gajinya yang hanya sebesar Rp 350.000,00 per minggu, Murni,
begitu teman-teman biasa memanggilnya, bisa menutup kebutuhan keluarganya yang pas-pasan.

Murni bukan seperti gadis seusianya yang seringkali membelanjakan uang gajinya untuk
kesenangannya. Sama seperti yang dilakukan oleh teman-temannya. Ia gadis yang sangat
sederhana. Kadang, ia harus mengumpulkan sebagian gajinya hanya untuk membeli buku-buku
yang menarik perhatiannya.

Sore itu, Murni masih di depan pabrik, tempat biasanya minibus yang biasa dinaikinya berhenti
untuk mencari penumpang. Melihat banyak yang telah pulang meninggalkan pabrik itu, hatinya
sangat gelisah. Jarak antara rumahnya dengan pabrik itu cukup jauh. Biasanya butuh waktu tiga
puluh menit untuk sampai ke rumahnya.

"Murni, sudah sore, kamu pulang naik apa?"tanya Pak Nardi, satpam paling tua dan disegani di
pabrik itu. "Bareng sama. Pak Dhe, ya? Sudah mau hujan."

"Ndak usah, Pak Dhe. Ini biar saya nunggu bis saja."

"Sudah sore. Bisnya mungkin sudah habis. Ini mau hujan. Ayo bareng Pak Dhe saja."

Tak lama kemudian Pak Nardi keluar dari pabrik dengan motor bututnya beranjak pergi bersama
Murni.

"Pak Dhe. Tadi itu di pabrik ada ramai-ramai apa, to?"


"Biasalah, Mur. Pak Anwar, manajer kita. Tadi marah-marah sama Mbak Nurul. Itu, masalah si
Janto yang kena mesin sortir benih."

"Lha tapi, kasihan Mbak Nurul lho, Pak Dhe. Tadi saya lihat Mbak Nurul sampai nangis di ruang
medis."

"Nurul itu bagian K3. Keselamatan kerja. Satu orang ngatasi ribuan orang. Dia itu sempat bilang
sama Pak Dhe, kalau mau berhenti kerja saja. Eh, malah ditambah kasus seperti ini."

"Bukannya di atas mesin itu juga sudah dipasang tulisan besar-besar untuk peringatan, Pak Dhe."

"Hmmmh, ya ndak tahu lah. Sudah itu biar jadi urusan para staf kantor. Yang penting, kamu
kerja yang bener. Biar bisa kumpulin uang buat kuliah kamu nanti, Mur."

Murni hanya terdiam. Beberapa kali terdengar helaan nafas panjangnya. Mungkin memang cita-
citanya harus dikubur dalam-dalam.

Atau mungkin dia memang harus menikah saja. Seperti gadis-gadis lain di desanya. Tapi dengan
siapa? Bukannya tidak ada yang mendekatinya. Kemarin, dia baru saja menolak lamaran untuk
menikah dengan pemuda dari desa sebelah. Semua itu, hanya demi mengejar impiannya agar
bisa bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Di hari berikutnya, pagi itu, pukul lima kurang sepuluh menit. Udara begitu dingin. Tetapi
mungkin tidak terasa dingin lagi bagi Murni, yang terbiasa mulai berangkat bekerja jam lima.
Desanya yang terletak diantara gunung Merapi dan Merbabu selalu menyuguhkan hawa dingin di
pagi hari.

Di tangannya ada sekeranjang arem-arem buatan Emaknya. Biasanya Emak yang berjualan di
pasar. Tapi untuk beberapa hari ini sakit asam urat Emak kambuh.

Diletakkannya keranjang berisi arem-arem itu di atas meja saji sebuah warung kelontong milik
Mak Karni. Di pasar tradisional itulah biasanya para supir truk dan pedagang, serta para petani
sayur, berjibaku dengan hawa dingin untuk mendapatkan beberapa keping uang rupiah.

Pasar tradisional itu memang tidak besar. Hanya ramai di waktu-waktu tertentu saja. Ramai oleh
para pedagang, bukan hanya berjualan sayur, tapi juga barang kebutuhan lain, selayaknya pasar
tradisional dimanapun berada.

Waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Pertanda bagi Murni bahwa hari
itu ia terlambat lagi masuk kerja. Apa boleh dikata, Emaknya sakit di rumah. Dan pesanan
makanan harus tetap diantar.
Tiba di pabrik, Murni segera menemui majanernya, karena sudah berulangkali ia terlambat.
Entah umpatan dan kemarahan apalagi yang akan diterimanya dari Pak Anwar kali ini.

Di depan ruang Pak Anwar, Murni berhenti sejenak. Ia tak punya nyali untuk masuk dan bertemu
atasannya itu. Suara Pak Anwar terdengar jelas dibalik pintu ruangan itu. Dilihatnya dari celah
sempit pintu itu, ada Nurul yang berhadapan dengan Pak Anwar.

"Kesalahan Anda ini sudah fatal. Coba, kenapa waktu di rumah sakit itu Anda tidak menunggu
keluarga pasien? Kenapa Anda terburu-buru menandatangani berkas persetujuan operasi atas jari
tangan Janto?"

"Saya sudah mencoba menghubungi keluarganya, tapi belum bisa, Pak. Padahal operasi atas Mas
Janto itu harus segera dilakukan. Iya, saya memang salah dalam hal ini. Saya minta maaf karena
saya teledor. Tapi Mas Janto sendiri sudah dimintai pendapat oleh tim medis rumah sakit. Saya
yakin Mas Janto juga tahu dia harus dioperasi."

"Sekarang nyatanya apa? Keluarga Janto menginginkan ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan
pabrik, karena kejadian itu terjadi di pabrik. Janto juga mengaku kalo ia tak tahu.menahu
mengenai amputasi itu. Dan saya sama Pak Basuki tadi bertemu dengan pihak keluarga Janto
yang sudah melibatkan serikat buruh, sehingga masalah ini masuk ke ranah hukum, Nurul."

Kata-kata Pak Anwar ternyata tidak hanya membuat terkejut Nurul. Bahkan Murni yang dibalik
pintu, ikut hanyut dalam suasana tegang dalam ruangan tersebut.

Diingatnya sore waktu itu. Ya, tentu saja Murni sangat mengingatnya. Saat itu, ia harus
menyelesaikan targetnya, sementara teman-temannya di bagian packing hampir semua pulang.
Seribu bungkus benih cabe harus dia packing ke dalam sepuluh kardus yang sudah berlabel
khusus.

Yang terjadi, Murni secara tidak sengaja telah mendengar rencana Janto dengan salah seorang
temannya, yang tak dikenalnya.

Jantungnya berdegup kencang. Nuraninya sedang berperang melawan keinginan dirinya untuk
mengelak dari kenyataan itu. Tangannya sudah mulai terasa dingin dan kaku.

Dilihat kembali dari celah pintu, Nurul menangis dan tak mampu berkata-kata apa pun. Maka
ibalah hati Murni. Dikumpulkannya keberanian untuk memasuki ruangan itu.

"Maaf, Pak. Permisi...saya Murniati, dari bagian packing, mau minta waktu sebentar."

"Ini lagi. Kamu apa ga tahu. Kami baru ada pembicaraan serius. Ini. Surat ijin terlambat, 'kan?"
sahut Pak Anwar sambil mengulurkan selembar kertas keterangan bagi Murni.
"Iya, Pak terimakasih. Tapi, saya... Saya mau bilang, soal Mas Janto. Saat sebelum kecelakaan
itu terjadi, saya ada di ruang packing, yang dekat mesin itu. Saya mendengar Mas Janto
merencanakan kecelakaan itu dengan salah satu teman nya."

"Rencana? Apa maksudmu? Kecelakaan Janto itu direncanakan? Untuk apa?"

"Untuk dapat uang penggantian dari pabrik. Lalu kalau dapat uang, nantinya akan dibagi berdua
dengan temannya itu."

Dahi Pak Anwar berkerut demi mendengar penuturan Murni. Lain lagi dengan Nurul. Wajahnya
yang dari tadi ketakutan dan tak berani melihat atasannya, akhirnya mulai mendongak ke atas.
Secercah harapan mulai muncul baginya.

"Oke. Tapi, kesaksian tak akan kuat tanpa bukti pendukung."

"Emh... bagaimana kalau dilihat dari CCTV, Pak. Waktu Mas Janto dan temannya ada di dekat
mesin itu, mereka sedang merencanakan kecelakaan itu, Pak. Saya tahu itu, Pak."

"Hmm, ide bagus, Mur. Baik. Nanti saya hubungi pihak keamanan. Secepatnya."

Jantung Murni masih meledak-ledak. Rasanya ingin keluar. Ada ketakutan di benaknya. Selama
ini ia menyembunyikan fakta ini agar ia sendiri terhindar dari celaka. Tapi, apa yang telah
dilakukannya kini membuatnya gelisah. Ada ketakutan muncul dari pikirannya. Melibatkan diri
dengan urusan yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya sendiri. Bagaimana
kalau nanti Janto atau temannya tahu hal ini? Kegelisahan itu semakin membalut benaknya.

Namun sesaat kemudian ia mengingat perkataan Bapaknya, "Mur, orang pintar di luar sana itu,
banyak. Tapi orang jujur itu langka. Sekolah bisa membuat orang tambah pinter. Tapi jujur itu
hanya bisa datang dari dirimu sendiri."

Kata-kata Bapaknya itu memberikan sedikit keyakinan padanya. Meski entah apapun yang
terjadi, tapi hari ini, ia telah memenangkan sebuah perang batin dalam dirinya.

Dua bulan berlalu. Tak ada kabar berita lagi dari kasus kecelakaan itu. Murni juga seperti biasa
mencoba menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah panggilan dari pengeras suara, yang memang disediakan
untuk memberitahukan informasi penting bagi seluruh buruh dan karyawan pabrik.

"Murni, ayo cepet sana. Itu, kamu disuruh menghadap ke Pak Basuki,"kata Yanti, mandor super
cantik yang paling disukai oleh semua anak buahnya, termasuk Murni.
"Tapi, Mbak. Ini nanti target saya gimana? Belum selesai."

"Ya sudah. Sini aku yang bantu. Cepet sana. Pasti penting itu."

Murni segera berlari kecil menuju ke arah ruang Pak Basuki, yang adalah pemilik pabrik
tersebut.

Ruangan ber-AC itu tidak begitu luas. Mungkin sama luasnya dengan ruangan Pak Anwar. Di
dalam ruangan itu, duduk Pak Basuki, seorang laki-laki yang sudah cukup tua. Warna kulitnya
coklat kehitaman. Sama seperti layaknya warna kulit petani sayur di desanya. Senyum ramahnya
menghiasi wajahnya.

"Kamu, Murniati? Maaf ya, Bapak mengganggu pekerjaanmu hari ini. Tapi ada yang ingin
Bapak sampaikan."

Ketakutan akan kehilangan pekerjaannya, mulai membayangi pikiran Murni. Entah mengapa tapi
baginya hanya ada dua hal bila berhadapan dengan atasannya, antara PHK atau kesalahan yang
berkaitan dengan peraturan pabrik. Tapi dia tahu tak ada peraturan pabrik yang dilanggarnya
selama ini. Emaknya sudah sembuh, dan ia sudah tidak pernah terlambat lagi.

"Iya, Pak. Tapi, saya satu bulan ini tidak pernah terlambat, saya juga sudah menyelesaikan target
saya sehari-hari dengan baik. Ada apa memanggil saya, Pak?"

Kembali seulas senyum hadir di wajah tua Pak Basuki melihat salah satu karyawannya yang lugu
itu.

"Dengarkan Bapak dulu. Bapak punya rencana untuk mendirikan pabrik seperti ini di tempat
lain. Masih agak lama. Tapi itu pasti. Jadi, Bapak mungkin butuh orang yang bisa dipercaya. Ada
beberapa pegawai yang akan dipindahtugaskan ke sana. Termasuk Nurul. Nah, Bapak butuh
orang yang bisa dipercaya untuk menggantikan tugas Nurul di sini. Dan, Bapak ingat kamu,
Murni."

"Kok saya, Pak? Saya ndak punya keahlian dan kepandaian seperti Mbak Nurul."

"Nurul itu pintar. Ahli K3. Sudah bersertifikat. Bapak mau kamu seperti dia. Bapak percaya
kamu pasti bisa. Kamu mau sekolah seperti Nurul?"

"Tapi saya ndak punya uang, buat sekolah lagi, Pak."

"Bapak mengerti itu. Jadi, kalau kamu mau, nanti hubungi Bu Endah, bagian administrasi. Biar
dia yang menjelaskan. Apa yang sudah kamu lakukan untuk pabrik kemarin dalam kasus Janto
adalah langkah bagus, Murni. Kamu bisa magang dan berlatih di sini dengan Nurul, sementara
kamu juga bersekolah. Kalau masalah uang, nanti pabrik yang memfasilitasi. Gimana, Mur?"

Bagai petir menyambar di siang bolong, kabar ini sangat mengejutkan Murni. Mimpi yang
selama ini ia kubur dalam-dalam, akhirnya ada di depan matanya. Seakan tak percaya, dia
hampir melompat di depan Pak Basuki.

"Iya, Pak. Saya mau. Saya mau. Terimakasih banyak ya, Pak."

Langkah penuh kegembiraan kini menghiasi jejak-jejak kaki Murni. Hari ini, Murniati bukan
hanya belajar ikhlas. Namun, hari ini ia pun belajar bagaimana berharganya sebuah kejujuran
yang tulus dalam segala hal.

writen by ayudiahastuti

Solo, 1 Mei 2019

salam literasi anak negri

Anda mungkin juga menyukai