Anda di halaman 1dari 4

Mentahan 1

– Invisible Hand adalah sebuah istilah yang terdapat pada Buku The Wealth of Nation Adam
Smith, lebih lengkapnya Invisible Hand of the Market. Metafora ini, menggambarkan bahwa
pada ekonomi pasar terdapat tangan-tangan tak terlihat yang mengendalikan pasar, dan langkah
terbaik untuk mendapatkan harga terbaik dengan kualitas terbaik adalah dengan membiarkan
permintaan-penawaran berjalan, dan karena sumber daya terbatas, ini akan menghasilkan “value”
karena masing-masing memperkecil biaya dengan untuk mendapatkan hasil semaksimal
mungkin, inilah yang membuat dunia seperti sekarang. Keyakinan inilah yang melatarbelakangi
sistem pasar bebas, atau liberalisme pada kata lainnya.

Maka Invisible ini juga relevan sebenarnya terhadap bidang apapun, termasuk politik,
sebuah bidang yang bisa membuat kawan menjadi lawan, dan sebaliknya. Keyakinan inilah,
yang mendasari bahwa tiada kepastian dalam hubungan politik. Kepercayaan ini yang menjadi
filosofis praktis dunia politik, bahwa “tak ada musuh abadi dalam kepentingan politik”. Maka
hari ini sebagian kita dibuat percaya, bahwa apa yang terjadi di ekonomi kita, apa yang terjadi
terhadap isu-isu dunia, dan apa yang terjadi pada dunia politik khususnya, itu adalah mekanisme
alami, alias berada dalam mekanisme raksasa “Invisible Hand”.

Pertanyaan besarnya, apakah benar-benar ada “Invisible Hand” ini? Umat Muslim meyakini, ada.
Namun ia bukan dibentuk oleh mekanisme sebagaimana disebutkan di atas, namun mekanisme
yang membuat kehidupan manusia itu ada. Lalu bagaimana kita menyikapi teori ini? Sebagai
Muslim, kita harus meyakini, segala yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Namun apakah
selesai? Tentu tidak. Sejujurnya kita amat perlu memahami teori ini dalam-dalam. “Invisible
Hand” sebagai sebuah dasar filosofis, seharusnya kita kritisi.

Kita bisa belajar dari sejarah-sejarah masa lalu, bahwa ada di setiap masa yang di jalankan
dengan cara tirani, selalu dibentuk semacam mitos, sebagaimana Hitler menyemangati
pengikutnya bahwa mereka adalah bangsa Arya dan Bangsa merekalah bangsa yang dipilih
Tuhan untuk menguasai dunia, kita mengenal sejarah Majapahit dengan Panglima Gajah
Madanya, yang bersumpah bahwa kerajaan merekalah yang ditulis oleh kitab mereka akan
menguasai seluruh kerajaan, lebih lama kita mengenal Firaun yang membuat mitos bahwa Firaun
adalah Tuhan, ia bisa menentukan hidup-mati seseorang.

Maka dari sini kita bisa pelajari, bahwa para Tiran, selalu memiliki cara yang sama, yakni gemar
membuat mitos, atau apapun bentuknya, yang mitos ini hidup dalam angan-angan pengikutnya,
bahwa mereka ada di bawah pengaruh dan tidak bisa lepas dari kehebatan Tiran tersebut.
Konteks hari ini, mitos itu, tiada. Namun ada yang sejenis, dan berfrasa sejenis dengan suatu
angan-angan yang hidup dalam benak suatu pengikut maupun rakyat dalam konteks Negara,
yakni opini.

Frasa opini, adalah keyakinan yang terbentuk dalam masyarakat. Ia hidup dalam alam sadar
maupun bawah sadar. Dengan segala teorinya “opini”, bertujuan membentuk terhadap apa yang
di inginkan oleh empunya. Di titik ini, kita bisa melihat, bahwa ada “Invisible” atau yang tak
terlihat kasat mata bisa dikendalikan. Berangkat dari fakta ini, maka secara lebih luas kita bisa
membedahnya terhadap mitos-mitos yang terdapat pada teori-teori ekonomi, politik, social,
keuangan, dan apapun. Segala hal yang terdapat orang yang bekerja pada bidang tersebut, maka
selalu ada kemungkinan mitos “Invisible” ini. Konsekuensi sebenarnya dari “Invisible” ini
adalah, membuat ketidakberdayaan pengikutnya, rakyatnya, bahkan musuh-musuhnya.

Dari kajian beberapa literature, hingga sekarang tak ada Negara dunia manapun, sebegitu besar
kalimnya terhadap demokrasi, secara murni menerapkan ekonomi pasar bebas. Amerika
sekalipun sebagai punggawa kapitalisme, gak kapitalis-kapitalis amat, Bail out FED terhadap
lembaga-lembaga keuangan yang collapse akibat “Subprime Mortagage”, adalah intervensi
Negara, proteksi-proteksi beberapa import barang tertentu adalah intervensi Negara. Maka
Negara-negara penganut Amerika centric, apakah masih yakin dengan buaian “Invisible Hand”
ini.

Artinya, Invisible hand itu tidak ada. Selalu ada tangan-tangan manusia bermain, ada orangnya
dan ada perangkat-perangkat pendukungnya, ini hanya sebuah masalah pemenang dan
pecundangnya. Maka pemenangnyalah yang mengendalikan permainan. Mitos “Invisible Hand”
dipertahankan, untuk membuat sikap menerima dari pihak yang kalah, meredam gejolak, dan
menggetarkan lawan.

Mitos, Opini, “Invisible Hand”, dan apapun bentuk frasanya, adalah alat pengaruh yang harus
kita terus waspada. Lengah, berarti kita di pihak yang akan selalu dikalahkan. Langkah pertama
untuk bisa mengalahkannya, yakni dengan membangunkan alam sadar kita, mengaktifkan lagi
panca indera kita, melihat bahwa segalanya berjalan dengan ada pihak pengendalinya, dengan
memahami itu, akan lebih jelas, lawan yang kita hadapi, tidak terbuai dengan senggolan kecil
opini lain, ketika kita sudah mengetahui, dan memahami cara kerjanya. Selekas itu pula kita akan
menjadi manusia merdeka, kita bisa memilih, bahwa selama pengendalinya manusia, akan selalu
ada cela, dan ada kemungkinan untuk bisa di rubah. “Invisible Hand” dalam ekonomi, politik,
atau apapun, sebuah frasa yang harus kita bongkar, bongkar, dan bongkar!

Mentahan 2

eori invisible hands dikenalkan oleh Adam Smith (1723-1790) di dalam bukunya The Wealth of
Nation (1776). Pandangan tersebut mengatakan bahwa pasar yang baik adalah pasar yang
dibentuk oleh kompetisi antara penawaran dan permintaan. Negara harus tidak boleh
mengintervensi pasar dalam bentuk apapun (semisal penetapan harga barang, upah kejra, dll)
agar tercipta harga yang wajar sebagai wujud keseimbangan dari kompetisi bebas antara
kekuatan penawaran dan kekuatan permintaan. Biarkan pasar digerakkan oleh kekuatan
tersembunyi yang akan menyeimbangkan antara supply dan demand. Peran Negara dianggap
justru akan mengganggun terciptanya efisiensi produksi dan distribusi yang seharusnya terjadi
karena dorongan untuk memenuhi peningkatan permintaan.

Ide invisible hands secara langsung mendorong tuntutan kebebasan berekonomi termasuk
diantaranya adalah kebebasan berproduksi dimana individu individu haruslah dapat
mengembangkan kemampuan dan kuantitas produksinya sehingga diharapkan tercapainya
kemakmuran yaitu kondisi dimana masyarakat bisa mendapatkan barang dan jasa semurah
mungkin. Untuk mewujudkan hal itu maka masyarakat harus bisa mengakses semua bentuk
resources baik itu berupa modal capital, bahan baku industri, mesin, tenaga kerja, dan lain lain
agar tercipta produksi secara missal. Inilah semangat dari kapitalisme klasik yang melahirkan
revolusi industri

Revolusi industri sendiri dalam sejarahnya disamping meninggalkan efek positif berupa inovasi
tekhnologi produk dsb, namun justru lebih banyak efek negatifnya baik dalam aspek sosial
maupun dalam aspek ekonomi itu sendiri. Revolusi industry terbukti justru hanya menciptakan
kemakmuran bagi kalangan kapitalis borjuis saja sementara kalangan masyarakat khususnya
pekerja buruh tidak merasakan hal yang sama. Derita buruh pabrik pada revolusi industry tidak
ada bedanya dengan penderitaan kaum buruh tani pada masa feodalisme merkantilisme.
Ibaratnya, revolusi industri kapitalisme klasik tiada lain sekedar melanjutkan sejarah feodalisme

dan merkantilisme yang menciptakan masyarkat menderita

Karenanya ide invisible hands dikritik habis baik oleh kalangan Marxis mapupun kapitalis
Keynessian yang intinya mengatakan tugas negaralah untuk melindungi warga dari penindasan
sehingga Negara harus intervensi ke pasar. Dan tidak tepat pula untuk mengatakan invisible
hands adalah God’s hand sebagaimana yang disampaikan oleh Adiwarman Karim dalam sebuah
bukunya dimana beliau beralasan bahwa bisa jadi Adam Smith terinspirasi oleh perdagangan
maju bangsa Arab (Islam) dimana Negara dilarang untuk mengintervensi harga di pasar
sebagaimana perintah dari nabi Muhammad SAW terkait hal tersebut. Adiwarman Karim sendiri
sebenarnya juga menggarisbawahi bahwa bedanya Invisible Hands dengan ekonomi Islam adalah
bahwa ekonomi islam sendiri masih mengenal intervensi ke pasar namun bukan berupa
kebijakan penetapan harga, upah dll.

Ternyata ide Invisible hand menurut Adam Smith sendiri juga berbeda dengan pemahaman
invisible hands yang dianut pada masa sekarang dimana faktor kemanusiaan adalah sesuatu yang
diabaikan dalam kegiatan berekonomi dan berproduksi dimana hal tersebut adalah gejala umum
dari liberalisme (klasik) atau neoliberalisme dimana terjadi pemaksaan pembukaan pasar bebas
melalui cara-cara politis, tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer tanpa
memandang kesiapan atau konsukuensi pasar bebas bagi internal Negara bersangkutan.

Memang Adam Smith mengklaim kalau kepentingan pribadi sendiri bisa menuju pada hasil yang
menguntungkan dari segi sosial. Namun yang dimaksud dengan kepentingan pribadi disini
bukanlah keegoisan sempit tetapi sesuatu yang melibatkan simpati sebagaimana disebutkan pada
revisi bukunya Theory of Moral Sentiments (1789) yang terbit setelah The Wealth of Nations.
Adam Smith berbicara mengenai benevolence atau sikap berbuat baik dimana dalam bisnis tidak
patut untuk berbuat egois apalagi keserakahan. Kegiatan bisnis menuntut sikap etis atau
keutamaan. Sikap etis yang penting dalam ekonomi adalah hubungan timble balik (reciprocity),
kerjasama (cooperation) dan terutama adalah keadilan.

Dalam revisi dari Theory of Moral Sentimens Adam Smith menunjukkan kekuatiran terhadap
gejala korupsi moral dimana makin diabaikannya orang miskin dan pinggiran serta makin
diagungkannya kelas orang kaya. Hal ini setidaknya menunjukkan bawha Adam Smith
membayangkan resiko dari suatu pasar bebas yang berjalan tanpa adanya etika dan keadilan bagi
semua kalangan. Karenanya invisible hands yang sebagimana dimaksud Adam Smith haruslah
berupa mekanisme pasar bebas yang beretika dan berkeadilan.

Lalu bagaimana wujud dari ide invisible hands berkeadilan itu dengan sekarang ? Apakah telah
berjalan sesuai dengan maksud Adam Smith diatas ? Tentu sangat jauh … Kekuatiran Adam
Smith terhadap ketidakadilan hanya diwujudkan pada hati manusia dan padapada sebuah benda
abstrak yaitu Etika yang tentu saja pada tiap masa selalu bias pemahamannya.

Dalam masyarakat yang telah luas, keadilan haruslah dan hanya bisa terwujud karena adanya
rule of the game yang adil, bukan sebatas etika bisnis individu pelaku bisnis. Bisnis yang
melegakan adalah bisnis yang saling rela antara penjual dan pembeli. Tetapi bila yang dijual
adalah sabu sabu tentu tidak cukup menyandarkan etika, tapi harus pengaturan jenis benda yang
dijual dan lain sebagainya

Terlebih lagi kesalahan fatal dari Adam Smith yang tidak discover pada kedua bukunya adalah
pandangannya yang membebaskan individu untuk memiliki (menguasai) segala jenis
kepemilikan benda termasuk benda yang secara natural adalah milik bersama seperti sumberdaya
air, mineral tambang, hutan sehingga mengakibatkan ketidak adilan bagi masyarakat untuk
mendapatkan hasil dari sumber sumber milik bersama. Demikian juga menyarankan atau
menjelaskan bagaimana agar modal/kapital untuk berproduksi bisa terdistribusi merata atau
dapat dinikmati oleh semua kalangan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Karenanya keidealan invisible hands Adam Smith + etika bisnisnya tetap tidak akan menjamin
kemakmuran masyarakat sebab ide pasar bebas dalam bayangannya hanya akan menjadi ilusi.
Yang terjadi justru pasar yang tidak bebas dan tidak fair sebab ada hegemoni dari kaum capital
pada pasar dan ketidakmampuan Negara mengatasi pendzoliman itu sebab Negara dilarang
intervensi ke dalam pasar dalam bentuk apapun.

Islam membebaskan individu individu untuk mengembangkan naluri bisnisnya sekaligus


menetapkan batas batas keadilan secara terperinci. Islam mendorong fair trade sekaligus
menentukan apa saja yang boleh didagangkan oleh individu dan mana yang tidak boleh
diperdangangkan. Islam juga mengatur kepemilikan bersama sehingga masyarakat bisa
menikmati hasil kekayaan alam bukan sekedar sebagai tikus yang menonton lumbung padi.
Semua ide tersebut diwujudkant dibakukan dalam bentuk sistem ekonomi Islam. Inilah “Invisible
Hand” atau God’s Hand sesungguhnya yang pernah sukses selama 1300 tahun dan kemudian
pelan tapi pasti runtuh karena dominasi ide ide kapitalisme yang tidak peduli pada akibat
penerapan ekonomi kapitalis yang merusak tersebut

Anda mungkin juga menyukai