Anda di halaman 1dari 10

Al-‘Afuw, Yang Maha Pemaaf

oleh Abdullah Taslim, Lc., MA.

28 Juli 2021

Waktu Baca: 7 menit

Daftar Isi sembunyikan

1. Makna al-‘Afuw secara bahasa

2. Penjabaran makna nama Allah al-‘Afuw

3. Pembagian sifat al-‘afw (memaafkan) dari Allah Ta’ala

4. Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-‘Afuw

5. Penutup

Makna al-‘Afuw secara bahasa

Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah
meninggalkan sesuatu[1].
Ibnul Atsir berkata, “Nama Allah “al-‘Afuw” adalah fa’uul dari kata al-‘afwu (memaafkan) yang berarti
memaafkan perbuatan dosa dan tidak menghukumnya, asal maknanya: menghapus dan
menghilangkan[2].

Al-Fairuz Abadi berkata, “al-‘Afwu adalah pemaafan dan pengampunan Allah Ta’ala atas (dosa-dosa)
makhluk-Nya, serta tidak memberikan siksaan kepada orang yang pantas (mendapatkannya)[3].

Penjabaran makna nama Allah al-‘Afuw

Al-‘Afuw adalah zat yang maha menghapuskan dosa-dosa dan memaafkan perbuatan-perbuatan
maksiat[4].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

{‫}إن هللاَ لَ َعفُوٌّ َغفُوْ ٌر‬


َّ

“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS al-Hajj:60).

Beliau berkata, “Artinya: Dia maha memaafkan orang-orang yang berbuat dosa, dengan tidak
menyegerakan siksaan bagi mereka, serta mengampuni dosa-dosa mereka. Maka Allah menghapuskan
dosa dan bekas-bekasnya dari diri mereka. Inilah sifat Allah Ta’ala yang tetap dan terus ada pada zat-Nya
(yang maha mulia), dan inilah perlakuan-Nya kepada hamba-hamba-Nya di setiap waktu, (yaitu) dengan
pemaafan dan pengampunan…”[5].

Makna inilah yang dimaksud dalam doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
dibaca pada malam lailatul qadr:

‫اللهم إنك َعفُ ٌّو تُ ِحبُّ ال َع ْف َو فَاعْفُ َعنِّي‬


“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, Engkau suka memaafkan (hamba-Mu), maka
maafkanlah aku”[6].[7]

Dalam beberapa ayat al-Qur’an Allah menggandengkan nama ini dengan nama-Nya yang lain yaitu “al-
Ghafur” (maha pengampun), seperti dalam ayat di atas, demikian pula dalam surat an-Nisa’:43 dan an-
Nisa’:99.

{‫} َو َكانَ هللا ُ َعفُ ًّوا َغفُوْ رًا‬

“Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisaa’:99).

Kedua nama Allah yang maha indah ini memang memiliki makna yang hampir sama, meskipun nama
Allah al-‘Afuw memiliki makna yang lebih mendalam. Karena “pengampunan” mengisyaratkan arti as-
sitru (menutupi), sedangkan “pemaafan” mengisyaratkan arti al-mahwu (menghapuskan) yang artinya
lebih mendalam (dalam penghapusan dosa). Meskipun demikian, kedua nama Allah ini jika disebutkan
sendiri-sendiri maknanya mencakup keseluruhan arti tersebut[8].

Sifat “memaafkan” dan “mengampuni” ini adalah termasuk sifat-sifat yang tetap dan terus-menerus ada
pada dzat Allah (yang Maha Mulia). Dan senantiasa pengaruh (baik) sifat-sifat ini meliputi semua
makhluk-Nya di siang dan malam hari. Karena sifat “memaafkan” dan “mengampuni” (yang dimiliki)-Nya
meliputi semua makhluk, dosa dan perbuatan maksiat.

Padahal, mestinya perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia menjadikan mereka ditimpa
berbagai macam siksaan, akan tetapi pemaafan dan pengampunan-Nya menghalangi turunya siksaan
tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

{‫ فإذا جاء أجلهم فإن هللا كان بعباده بصيرا‬،‫الناس بما كسبوا ما ترك على ظهرها من دابة ولكن يؤخرهم إلى أجل مسمى‬
َ ‫}ولو يؤاخذ هللا‬

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan (dosa) mereka, niscaya Dia tidak
akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun, akan tetapi Allah
menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya” (QS Faathir:45).

Inilah kesempurnaan pemaafan-Nya, yang kalau bukan karena itu niscaya Dia tidak akan meninggalkan
di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun[9].

Senada dengan ayat di atas, dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak ada satupun yang lebih bersabar menghadapi gangguan (celaan) yang didengarnya
melebihi Allah Ta’ala. Sungguh orang-orang (kafir) telah menyekutukan-Nya dan mengatakan (bahwa)
Dia mempunyai anak, (tapi bersamaan dengan itu) Dia tetap menangguhkan siksaan dan memberi rezki
bagi mereka”[10].

Baca Juga: Mengenal Asmaul Husna

Pembagian sifat al-‘afw (memaafkan) dari Allah Ta’ala

Sifat al-afw (memaafkan) ini ada dua macam:

Yang pertama: pemaafan-Nya yang (bersifat) umum bagi semua orang yang berbuat maksiat, dari
kalangan orang-orang kafir maupun yang selain mereka. (Yaitu) dengan tidak menimpakan siksaan yang
telah ada sebab-sebabnya, yang seharusnya menjadikan mereka terhalangi dari kenikmatan (duniawi
yang mereka rasakan), padahal mereka menentang-Nya dengan mencela-Nya (menisbatkan sifat-sifat
yang tidak layak bagi-Nya), menyekutukan-Nya dan melakukan berbagai macam penyimpangan lainnya.
(Bersamaan dengan itu) Allah (tetap) memaafkan (menangguhkan siksaa-Nya), memberi rezki dan
menganugerahkan berbagai macam nikmat (duniawi) lahir dan batin kepada mereka.

Yang kedua: Pemaafan dan pengampunan-Nya yang (bersifat) khusus bagi orang-orang yang bertaubat,
yang meminta ampun, yang berdoa dan menghambakan diri (kepada-Nya), demikian pula bagi orang-
orang yang mengharapkan (rahmat-Nya) dengan musibah-musibah yang menimpa mereka. Maka semua
orang yang bertaubat kepada-Nya dengan tobat yang nashuh[11], maka Allah akan mengampuni dosa
apapun yang dilakukannya, (baik itu) kekafiran, kefasikan maupun maksiat (lainnya). Semua dosa
tersebut termasuk dalam (keumuman) firman Allah Ta’ala,
{‫}قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم ال تقنطوا من رحمة هللا إن هللا يغفر الذنوب جميعًا إنه هو الغفور الرحيم‬

“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (az-Zumar:53) [12].

Baca Juga: Asy Syaafi, Yang Maha Penyembuh

Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-‘Afuw

Memahami nama Allah yang maha agung ini merupakan pintu utama untuk mencapai kedudukan yang
tinggi (di sisi-Nya), khususnya jika (setelah memahaminya dengan baik) kita berusaha untuk
merealisasikan kandungan dan konsekwensi yang terkandung dalam nama ini. Yaitu
melakukan istighfar (meminta ampun kepada Allah) secara kontinyu, meminta pemaafan, selalu
bertobat, mengharapkan pengampunan dan tidak berputus asa (dari rahmat-Nya), karena Allah Ta’ala
Maha Pema’af lagi Maha Pengampun, sangat mudah bagi-Nya untuk mengampuni dosa (hamba-hamba-
Nya) bagaimanapun besarnya dosa dan maksiat tersebut. Maka seorang hamba senantiasa berada
dalam kebaikan yang agung selama dia selalu meminta pemaafan dan mengharapkan pengampunan
dari Allah[13].

Cobalah renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut ini:

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Ta’ala
berfirman, “Seorang hamba melakukan perbuatan dosa, kemudian dia berdoa: “Ya Allah ampunilah
dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia
mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. (Maka Allah
mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah
dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia
mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. (Maka Allah
mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah
dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia
mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu
(wahai hamba-Ku), maka sungguh Aku telah mengampunimu”[14]. Yaitu, “Selama kamu terus bertaubat,
memohon dan kembali (kepada-Ku)” [15].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

{ً‫}إن هللا كان عفواً غفورا‬

“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisaa’:43).

Beliau berkata: “Artinya: Allah memiliki banyak pemaafan dan pengampunan bagi hamba-hamba-Nya
yang beriman, dengan memudahkan dan meringankan syariat-Nya bagi mereka, sehingga mudah bagi
mereka untuk menunaikannya dan tidak menyusahkan.

Termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah Rahmat-Nya bagi umat (Islam) ini dengan
Dia mensyariatkan bersuci dengan tanah (debu) sebagai pengganti air ketika tidak mampu menggunakan
air.

Dan termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah dengan Dia membukakan pintu taubat
dan kembali kepada-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa, bahkan dia menyeru mereka untuk
bertaubat dan menjanjikan pengampunan bagi dosa-dosa mereka.

Juga termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah bahwa seandainya seorang mukmin
datang menghadap-Nya (di akhirat nanti) dengan membawa dosa sepenuh bumi, tapi dia tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan memberikan pada hamba-Nya itu pengampunan
yang sepenuh bumi (pula)[16]. [17]

Baca Juga: Mengenal Nama Allah “Al-Hakiim”

Termasuk (bentuk) pemaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan shaleh bisa menghapuskan
perbuatan buruk dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,
ِ ‫ت ي ُْذ ِه ْبنَ ال َّسيَِّئا‬
{‫ت‬ َّ
ِ ‫}إن ال َح َسنَا‬

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk” (QS


Huud:114).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan
baik, maka niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk tersebut[18].

Demikian juga termasuk (bentuk) pemaafan-Nya adalah bahwa semua musibah yang menimpa seorang
hamba pada diri, anak maupun hartanya, (itu semua) akan menghapuskan dosa-dosanya, khususnya jika
hamba itu mengharapkan pahala (dari) musibah tersebut dan menunaikan sikap bersabar dan ridha
(dengan takdir Allah Ta’ala terhadap dirinya).

Dan termasuk (bentuk) pemaafan-Nya yang agung adalah bahwa hamba-Nya selalu menentang
(perintah)-Nya dengan (melakukan) berbagai macam maksiat dan dosa besar, tapi Dia selalu berlaku
lembut dan memberikan maaf-Nya kepadanya, kemudian dia melapangkan dada hamba-Nya itu untuk
bertobat (kepada-Nya), lalu Dia menerima taubatnya. Bahkan Allah Ta’ala bergembira dengan taubat
hamba-Nya padahal Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji, tidak akan memberi manfaat bagi-Nya ketaatan
orang-orang yang taat, sebagaimana tidak akan merugikan-Nya kemaksiatan orang-orang yang berbuat
maksiat [19].

Penutup

Sesungguhnya pintu-pintu pemaafan dan pengampunan-Nya senantiasa terbuka (lebar), dan Dia
senantiasa dan selalu bersifat maha pemaaf dan pengampun. Sungguh Dia telah menjanjikan
pengampunan dan pemaafan bagi orang-orang yang mengusahakan sebab-sebabnya, sebagaimana
dalam firman-Nya,

{‫}وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحا ً ثم اهتدى‬


“Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal
shaleh kemudian tetap di jalan yang benar” (QS Thaaha:82) [20].

Demikianlah, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita pemaafan-Nya dan memuliakan kita
dengan pengampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.

‫ وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين‬،‫وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 17 Ramadhan 1430 H

Baca Juga: Berapakah Jumlah Asmaaul Husna ?

***

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel muslim.or.id

[1] Mu’jamu maqaayiisil lughah (4/45).

[2] An-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar (3/524).

[3] Al-Qamus al-muhith (hal. 1693).


[4] Kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 142).

[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 388).

[6] HR at-Tirmidzi (no. 3513) dan Ibnu Majah (no. 3850), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/239).

[8] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 142).

[9] Ibid (hal. 143).

[10] HSR al-Bukhari (no. 5748) dan Muslim (2804) dari Abu Musa al-Asy’ari .

[11] Artinya: taubat yang murni (untuk mengharapkan) wajah Allah (semata-mata), yang mencakup dan
meliputi (semua dosa), yang tidak disertai keragu-raguan dan sikap bersikeras pada perbuatan dosa
tersebut.

[12] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 143).

[13] Ibid (hal. 145).

[14] HSR al-Bukhari (no. 7068) dan Muslim (no. 2758).

[15] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 145).


[16] Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR Muslim (no. 2687), at-Tirmidzi (no. 3540) dll.

[17] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 103).

[18] HR at-Tirmidzi (no. 1987) dan Ahmad (5/153), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.

[19] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 144).

[20] Ibid (hal. 145).

Anda mungkin juga menyukai