Anda di halaman 1dari 5

SEBUAH MOTIVASI

UNTUK BERSABAR…
Sep 12

Posted by SALAFIYUNPAD™

Oleh Ustadz Abu Rosyid Ash-Shinkuan

Ayat-ayat Al Qur’an tentang Sabar


Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian
beruntung.” (QS.Ali ‘Imraan: 200)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar.” (QS.Al-Baqarah: 155)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas.” (QS.Az-Zumar: 10)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Tetapi orang yang bersabar dan mema`afkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS.Asy-Syuuraa: 43)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
(mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS.Al-Baqarah:
153)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang
yang berjihad dan bersabar diantara kalian.” (QS.Muhammad: 31)
Dan ayat-ayat yang memerintahkan sabar dan menerangkan keutamaannya sangat banyak dan
dikenal.

Pengertian dan Jenis-jenis Sabar


Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang menunjukkan
pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: “qutila shabran” yaitu dia terbunuh dalam keadaan
ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syari’at adalah menahan diri atas tiga perkara: yang
pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang Allah haramkan,
dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.
Inilah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para ‘ulama. Jenis sabar yang pertama,
yaitu hendaknya manusia bersabar terhadap ketaatan kepada Allah, karena sesungguhnya
ketaatan itu adalah sesuatu yang berat bagi jiwa dan sulit bagi manusia. Memang demikianlah
kadang-kadang ketaatan itu menjadi berat atas badan sehingga seseorang merasakan adanya
sesuatu dari kelemahan dan keletihan ketika melaksanakannya. Demikian juga padanya ada
masyaqqah (sesuatu yang berat) dari sisi harta seperti masalah zakat dan masalah haji.
Yang penting, bahwasanya ketaatan-ketaatan itu padanya ada sesuatu dari masyaqqah bagi jiwa
dan badan, sehingga butuh kepada kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya, Allah
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian
beruntung.” (QS.Ali ‘Imraan: 200)
Allah juga berfirman
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya.” (QS.Thaha: 132)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan
berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu.” (QS.Al-
Insan: 23-24)
Ayat ini menerangkan tentang sabar dalam melaksanakan perintah-perintah, karena
sesungguhnya Al-Qur`an itu turun kepadanya agar beliau (Rasulullah) menyampaikannya
(kepada manusia), maka jadilah beliau orang yang diperintahkan untuk bersabar dalam
melaksanakan ketaatan.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (QS.Al-Kahfi: 28)
Ini adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.
Jenis sabar yang kedua, yaitu bersabar dari hal-hal yang Allah haramkan sehingga seseorang
menahan jiwanya dari apa-apa yang Allah haramkan kepadanya, karena sesungguhnya jiwa yang
cenderung kepada kejelekan itu akan menyeru kepada kejelekan, maka manusia perlu untuk
mengekang dan mengendalikan dirinya, seperti berdusta, menipu dalam bermuamalah, memakan
harta dengan cara yang bathil, dengan riba dan yang lainnya, berbuat zina, minum khamr,
mencuri dan lain-lainnya dari kemaksiatan-kemaksiatan yang sangat banyak.
Maka kita harus menahan diri kita dari hal-hal tadi jangan sampai mengerjakannya dan ini
tentunya perlu kesabaran dan butuh pengendalian jiwa dan hawa nafsu.
Diantara contoh dari jenis sabar yang kedua ini adalah sabarnya Nabi Yusuf ‘alaihis salaam dari
ajakan istrinya Al-’Aziiz (raja Mesir) ketika dia mengajak (zina) kepadanya di tempat milik dia,
yang padanya ada kemuliaan dan kekuatan serta kekuasaan atas Nabi Yusuf, dan bersamaan
dengan itu Nabi Yusuf bersabar dan berkata:
“Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka
kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan
cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang
bodoh.” (QS.Yusuf: 33)
Maka ini adalah kesabaran dari kemaksiatan kepada Allah.
Jenis sabar yang ketiga, yaitu sabar terhadap taqdir Allah yang menyakitkan (menurut pandangan
manusia).
Karena sesungguhnya taqdir Allah ‘Azza wa Jalla terhadap manusia itu ada yang bersifat
menyenangkan dan ada yang bersifat menyakitkan.
Taqdir yang bersifat menyenangkan; maka butuh rasa syukur, sedangkan syukur itu sendiri
termasuk dari ketaatan, sehingga sabar baginya termasuk dari jenis yang pertama (yaitu sabar
dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah). Adapun taqdir yang bersifat menyakitkan; yaitu
yang tidak menyenangkan manusia, seperti seseorang yang diuji pada badannya dengan adanya
rasa sakit atau yang lainnya, diuji pada hartanya –yaitu kehilangan harta-, diuji pada keluarganya
dengan kehilangan salah seorang keluarganya ataupun yang lainnya dan diuji di masyarakatnya
dengan difitnah, direndahkan ataupun yang sejenisnya.
Yang penting bahwasanya macam-macam ujian itu sangat banyak yang butuh akan adanya
kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya, maka seseorang harus menahan jiwanya dari
apa-apa yang diharamkan kepadanya dari menampakkan keluh kesah dengan lisan atau dengan
hati atau dengan anggota badan.
Allah berfirman:
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu.” (QS.Al-Insan: 24)
Maka masuk dalam ayat ini yaitu hukum Allah yang bersifat taqdir.
Dan diantara ayat yang menjelaskan jenis sabar ini adalah firman Allah:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul
telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (QS.Al-Ahqaf:
35)
Ayat ini menerangkan tentang kesabaran para rasul dalam menyampaikan risalah dan dalam
menghadapi gangguan kaumnya.
Dan juga diantara jenis sabar ini adalah ucapan Rasulullah kepada utusan salah seorang putri
beliau:
“Perintahkanlah kepadanya, hendaklah bersabar dan mengharap pahala kepada Allah (dalam
menghadapi musibah tersebut).” (HR.Bukhariy dan Muslim)

Keadaan Manusia Ketika Menghadapi Musibah


Sesungguhnya manusia di dalam menghadapi dan menyelesaikan musibah ada empat keadaan:
Keadaan pertama: marah
Keadaan kedua: bersabar
Keadaan ketiga: ridha
Keadaan keempat: bersyukur.
Inilah empat keadaan manusia ketika ditimpa suatu musibah.
Adapun keadaan pertama: yaitu marah baik dengan hatinya, lisannya ataupun anggota badannya.
Adapun marah dengan hatinya yaitu dalam hatinya ada sesuatu terhadap Rabbnya dari
kemarahan, perasaan jelek atau buruk sangka kepada Allah – dan kita berlindung kepada Allah
dari hal ini- dan yang sejenisnya bahkan dia merasakan bahwa seakan-akan Allah telah
menzhaliminya dengan musibah ini.
Adapun dengan lisan, seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan, seperti mengatakan:
“Duhai celaka, duhai binasa!”, atau dengan mencela masa (waktu), yang berarti dia menyakiti
Allah ‘Azza wa Jalla dan yang sejenisnya.
Adapun marah dengan anggota badan seperti menampar pipinya, memukul kepalanya,
menjambak rambutnya atau merobek bajunya dan yang sejenis dengan ini.
Inilah keadaan orang yang marah yang merupakan keadaannya orang-orang yang berkeluh kesah
yang mereka ini diharamkan dari pahala dan tidak akan selamat (terbebas) dari musibah bahkan
mereka ini mendapat dosa, maka jadilah mereka orang-orang yang mendapatkan dua musibah:
musibah dalam agama dengan marah dan musibah dalam masalah dunia dengan mendapatkan
apa-apa yang tidak menyenangkan.
Adapun keadaan kedua: yaitu bersabar terhadap musibah dengan menahan dirinya (dari hal-hal
yang diharamkan), dalam keadaan dia membenci musibah dan tidak menyukainya dan tidak
menyukai musibah itu terjadi akan tetapi dia bersabar (menahan) dirinya sehingga tidak keluar
dari lisannya sesuatu yang dibenci Allah dan tidak melakukan dengan anggota badannya sesuatu
yang dimurkai Allah serta tidak ada dalam hatinya sesuatu (berprasangka buruk) kepada Allah
selama-lamanya, dia tetap bersabar walaupun tidak menyukai musibah tersebut.
Adapun keadaan ketiga: yaitu ridha, di mana keadaan seseorang yang ridha itu adalah dadanya
lapang dengan musibah ini dan ridha dengannya dengan ridha yang sempurna dan seakan-akan
dia tidak terkena musibah tersebut.
Adapun keadaan keempat: bersyukur, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut,
dan adalah keadaannya Rasulullah apabila melihat sesuatu yang tidak disukainya, beliau
mengatakan:
“Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan.”
Maka dia bersyukur kepada Allah dari sisi bahwasanya Allah akan memberikan kepadanya
pahala terhadap musibah ini lebih banyak dari apa-apa yang menimpanya.
Dan karena inilah disebutkan dari sebagian ahli ibadah bahwasanya jarinya terluka lalu dia
memuji Allah terhadap musibah tersebut, maka orang-orang berkata: “Bagaimana engkau
memuji Allah dalam keadaan tanganmu terluka?” Maka dia menjawab: “Sesungguhnya
manisnya pahala dari musibah ini telah menjadikanku lupa terhadap pahitnya rasa sakitnya.”

Tingkatan Sabar
Sabar itu ada tiga macam, yang paling tingginya adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan
kepada Allah, kemudian sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, kemudian sabar
terhadap taqdir Allah. Dan susunan ini ditinjau dari sisi sabar itu sendiri bukan dari sisi orang
yang melaksanakan kesabaran, karena kadang-kadang sabar terhadap maksiat lebih berat bagi
seseorang daripada sabar terhadap ketaatan, apabila seseorang diuji contohnya dengan seorang
wanita yang cantik yang mengajaknya berbuat zina di tempat yang sunyi yang tidak ada yang
melihatnya kecuali Allah, dalam keadan dia adalah seorang pemuda yang mempunyai syahwat
(yang tinggi), maka sabar dari maksiat seperti ini lebih berat bagi jiwa. Bahkan kadang-kadang
seseorang melakukan shalat seratus raka’at itu lebih ringan daripada menghindari maksiat seperti
ini.
Dan terkadang seseorang ditimpa suatu musibah, yang kesabarannya dalam menghadapi musibah
ini lebih berat daripada melaksanakan suatu ketaatan, seperti seseorang kehilangan kerabatnya
atau temannya ataupun istrinya. Maka engkau akan dapati orang ini berusaha untuk sabar
terhadap musibah ini sebagai suatu kesulitan yang besar.
Akan tetapi ditinjau dari kesabaran itu sendiri maka tingkatan sabar yang tertinggi adalah sabar
dalam ketaatan, karena mengandung ilzaaman (keharusan) dan fi’lan (perbuatan). Maka shalat
itu mengharuskan dirimu lalu kamu shalat, demikian pula shaum dan haji… Maka padanya ada
keharusan, perbuatan dan gerakan yang padanya terdapat satu macam dari kepayahan dan
keletihan.
Kemudian tingkatan kedua adalah sabar dari kemaksiatan karena padanya hanya ada penahanan
diri yakni keharusan bagi jiwa untuk meninggalkannya.
Adapun tingkatan ketiga, sabar terhadap taqdir, maka sebabnya bukanlah dari usaha seorang
hamba, maka hal ini bukanlah melakukan sesuatu ataupun meninggalkan sesuatu, akan tetapi
semata-mata dari taqdir Allah. Allahlah yang memberi taufiq.

(Diringkas dari Al-Qaulul Mufiid dan Syarh Riyaadhush Shaalihiin)


(Sumber: Bulletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-5 Tahun ke-3/24 Desember 2004 M/12 Dzul
Qo’dah 1425 H. Judul asli Sabar, Suatu Kemestian. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah
Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung)

Anda mungkin juga menyukai