Anda di halaman 1dari 4

Sikap Seorang Mukmin Dalam Menghadapi Masalah

Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allâ h Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki
dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya
mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada
Allâ h Ta’ala membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâ h Ta’ala berlakukan untuk
dirinya maka itulah yang terbaik baginya.
Dengan keyakinannya ini pula Allâ h Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa
ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allâ h Ta’ala dalam
firman-Nya:
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang siapa
yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh
Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs at-Taghâbun/64:11)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâ h berkata:
“Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut
merupakan ketentuan dan takdir Allâ h Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan
(balasan pahala dari Allâ h Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan
Allâ h Ta’ala tersebut, maka Allâ h Ta’ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan
menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar
dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâ h Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan
sesuatu yang lebih baik baginya.”[5]
Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya.
Meskipun Allâ h Ta’ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa
musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan
tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu
ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâ h Ta’ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan
tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang
Mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâ h mengatakan:
“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam
(menjalankan agama) Allâ h Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb
(mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan
mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah
tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut,
akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun
mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika
mengalami kesusahan).
Sungguh Allâ h Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya:
”Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita
kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu
menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâ h apa yang tidak mereka harapkan” (Qs an-
Nisâ/4:104).
Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-
orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâ h Ta’ala.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan
hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyaa’: 35).
Sahabat Ibnu ‘Abbas -yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir al-Qur’an- menafsirkan ayat ini:
“Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit,
kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan.”
(Tafsir Ibnu Jarir).
Dari ayat ini, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari cobaan
Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Namun di balik cobaan ini, terdapat berbagai
rahasia/hikmah yang tidak dapat di nalar oleh akal manusia.

Sakit menjadi kebaikan bagi seorang muslim jika dia bersabar


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sungguh menakjubkan perkara
seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak
terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu
merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini
merupakan kebaikan baginya. (HR. Muslim)
Sakit akan menghapuskan dosa
Ketahuilah wahai saudaraku, penyakit merupakan sebab pengampunan atas kesalahan-
kesalahan yang pernah engkau lakukan dengan hati, pendengaran, penglihatan, lisan dan
dengan seluruh anggota tubuhmu. Terkadang penyakit itu juga merupakan hukuman dari dosa
yang pernah dilakukan.
Sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuura: 30).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa
sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan
yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya. (HR. Muslim)
Sakit akan Membawa Keselamatan dari api neraka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,” Janganlah kamu mencaci maki
penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan mengahapuskan dosa-
dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi. (HR. Muslim)
Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang mukmin mencaci maki penyakit yang dideritanya,
menggerutu, apalagi sampai berburuk sangka pada Allah dengan musibah sakit yang
dideritanya. Bergembiralah wahai saudaraku, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api Neraka.” (HR. Al
Bazzar, shohih)
Sakit akan mengingatkan hamba atas kelalaiannya
Wahai saudaraku, sesungguhnya di balik penyakit dan musibah akan mengembalikan seorang
hamba yang tadinya jauh dari mengingat Allah agar kembali kepada-Nya.
Biasanya seseorang yang dalam keadaan sehat wal ‘afiat suka tenggelam dalam perbuatan
maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, dia sibuk dengan urusan dunia dan melalaikan Rabb-
nya.
Oleh karena itu, jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah, dia baru
merasakan kelemahan, kehinaan, dan ketidakmampuan di hadapan Rabb-Nya. Dia menjadi
ingat atas kelalaiannya selama ini, sehingga ia kembali pada Allah dengan penyesalan dan
kepasrahan diri.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (para rasul)
kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan)
kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk
merendahkan diri. (QS. Al-An’am: 42) yaitu supaya mereka mau tunduk kepada-Ku,
memurnikan ibadah kepada-Ku, dan hanya mencintai-Ku, bukan mencintai selain-Ku, dengan
cara taat dan pasrah kepada-Ku. (Tafsir Ibnu Jarir)
Terdapat hikmah yang banyak di balik berbagai musibah
Wahai saudaraku, ketahuilah di balik cobaan berupa penyakit dan berbagai kesulitan lainnya,
sesungguhnya di balik itu semua terdapat hikmah yang sangat banyak.
Maka perhatikanlah saudaraku nasehat Ibnul Qoyyim rahimahullah berikut ini: “Andaikata kita
bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang
dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali, -ed). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan
kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah,
sebagaimana sinar lampu yang sia-sia di bawah sinar matahari.” (Lihat Do’a dan Wirid, Yazid
bin Abdul Qodir Jawas)
Ingatlah saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala jika mencintai
suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.” (HR. Tirmidzi, shohih).
Tidaklah Allah Menurunkan Penyakit Kecuali Dia Juga Menurunkan Penawarnya
Imam Ibnul Qayyim menjawab pertanyaan seseorang yang bertanya tentang bagaimana
penjelasan para ulama dan para imam, tentang cobaan atau musibah dalam urusan agamanya
yang kalau musibah ini terus menerus ada pada dirinya maka akan menghancurkan dunia dan
akhiratnya. Dia sudah berusaha untuk menolak dan menepisnya dengan semua cara yang
mampu dia lakukan. Tapi ternyata penyakit itu semakin bertambah parah. Kobaran apinya
semakin kuat, maka bagaimana cara menghilangkannya berdasarkan penjelasan dan bimbingan
orang-orang yang berilmu.
Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan tertulis yang kemudian dijawab oleh Imam Ibnul
Qayyim yang kemudian menjadi obat bagi penyakit hati dan menjadi kitab yang tersebar dan
kita ambil manfaatnya ini. Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala menjawab:
Alhamdulillah, Amma Ba’du..
Disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR Bukhari).
Ini merupakan metode para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menjawab pertanyaan.
Sebelum dirinci, disebutkan terlebih dahulu dalil secara umum. Bahwa setiap penyakit ada
obatnya dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi kita tidak perlu khawatir. Penyakit dalam
urusan-urusan badan manusia saja Allah turunkan obatnya, apalagi penyakit hati yang
berhubungan dengan benarnya keimanan seseorang yang mempengaruhi cinta, takut dan
berharapnya kepada Allah. Tidak mungkin Allah meluputkan bagi manusia.
Ini merupakan wujud dari sempurnanya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-
hambaNya. Maka dari itu orang-orang yang beriman sangat beruntung karena mereka dekat
dengan sumber rahmat Allah yang sempurna didalam wahyu Allah yang diturunkan ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penjelasan dalam hadits-hadits ini mencakup semua penyakit hati, juga penyakit jiwa dan
penyakit anggota badan. Sebagaimana juga mencakup pengobatan atau penyembuhannya.
Bahkan dalam hadits yang lainnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa
kejahilan adalah penyakit dan beliau menjadikan penyembuhnya adalah bertanya kepada orang
yang berilmu.
Tidak semua orang tepat dalam proses penyembuhannya, sehingga tidak sembuh. Ada obatnya
namun tidak semua orang tahu. Kemudian orang yang mungkin memahami namun tidak semua
orang mempraktekkan dengan benar. Disinilah kenapa kita harus kembali kepada ahli.

Anda mungkin juga menyukai