PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aktualisasi dari kegiatan kepencinta alaman, khususnya dalam kegiatan di
gunung dan hutan selalu dikaitkan dengan kegiatan yang penuh dengan bahaya,
keras, dan menuntut kekuatan fisik yang tangguh. Oleh karena itu, dalam
melakukan kegiatan di gunung dan hutan, pelaku kegiatan kepencinta alaman
diharuskan untuk berkegiatan sesuai dengan pedoman yang baku yang diharapkan
dapat menjamin kelancaran kegiatan serta kenyamanan dan keselamatan pelaku
kegiatan.
Sampai saat ini, MAPASTA sebagai organisasi yang berhaluan
kepencintaalaman di Kampus INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
(IAIN) tidak memiliki standar operasional tertulis yang digunakan secara baku
oleh para anggotanya. Pedoman yang digunakan dalam berkegiatan selama ini
hanya diberikan secara turun-temurun dari angkatan yang satu ke angkatan yang
lainnya melalui komunikasi lisan. Seperti yang kita ketahui bahwa penyampaian
pesan secara lisan memiliki risiko berubahnya isi pesan yang ingin disampaikan.
Perubahan dapat berupa pengurangan maupun penambahan informasi. Perubahan –
perubahan tersebut sebaiknya dihindari mengingat pentingnya materi yang
terkandung dalam standar operasional ini. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah
pedoman yang baku untuk melakukan kegiatan di gunung dan hutan serta
dituangkan secara tertulis ke dalam sebuah Standar Operasional Prosedur Divisi
Gunung Hutan MAPASTA.
B. Tujuan
Seluruh anggota MAPASTA, khususnya bagi anggota Divisi Gunung Hutan
MAPASTA, dapat mengerti bagaimana cara melakukan suatu kegiatan di gunung
dan hutan yang baik dan aman.
Menjadi pedoman dalam melakukan kegiatan di gunung dan hutan bagi
seluruh anggota MAPASTA, khususnya bagi anggota Divisi Gunung Hutan
MAPASTA.
Menciptakan komitmen bagi seluruh anggota MAPASTA pada umumnya dan
bagi anggota Divisi Gunung Hutan MAPASTA pada khususnya mengenai apa
yang harus dilakukan untuk mewujudkan suatu kegiatan di gunung dan hutan yang
baik dan aman.
Menjaga keutuhan informasi yang terkandung dalam Standar Operasional
Prosedur Divisi Gunung Hutan MAPASTA.
C. Ruang Lingkup
Standar Operasional Prosedur ini hanya dapat digunakan untuk kepentingan
kegiatan kepencinta alaman di gunung dan hutan. Gunung dan hutan yang
dimaksud berada pada wilayah tropis dengan ketinggian kurang dari 4000 meter di
atas permukaan laut serta memiliki medan yang tidak bersalju maupun bergletser.
BAB II
DIVISI GUNUNG HUTAN
A. Divisi Gunung Hutan
Divisi Gunung Hutan merupakan salah satu divisi yang dimiliki oleh
MAPASTA. Divisi ini bergerak pada kegiatan kepencinta alaman di gunung dan
hutan, termasuk di antaranya kegiatan pendakian gunung, orientasi medan dan
navigasi darat, search and rescue (SAR), serta eksplorasi gunung dan hutan rimba.
Berbeda dengan divisi yang lainnya, dalam melakukan seluruh kegiatannya seluruh
anggota Divisi Gunung Hutan dituntut untuk mampu bekerja sama dalam tim,
memprioritaskan kepentingan kelompok, dan peka akan lingkungan di sekitarnya.
BAB III
HAL – HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PENDAKIAN GUNUNG
A. Peralatan Pribadi
4. Peralatan Kelompok :
No NAMA JUMLAH KETERANGAN
PERALATAN
1 Nesting Menyesuaikan Sebagai peralatan memasak. 1
set nesting per 4 orang
2 Kompor Menyesuaikan Sebagai peralatan memasak.
Dapat berupa kompor gas,
kompor parafin, atau kompor
spiritus. Minimal 1 buah per 4
orang
3 Bahan Bakar Menyesuaikan Bahan bakar untuk memasak.
Dapat berupa bahan bakar gas,
parafin atau spiritus. Gunakan
minimal dua jenis bahan bakar
untuk mengantisipasi keadaan
ketika salah satu bahan bakar
tidak dapat digunakan. Jumlah
kebutuhan menyesuaikan
dengan banyaknya anggota
tim dan lamanya waktu
pendakian.Misalnya untuk
bahan bakar gas, kurang lebih
2 tabung gas per 1 hari per 4
orang
4 Parang 1 Digunakan untuk
membersihkan jalur, menebas
ranting, dan memotong kayu
B. Teknik Pendakian
1. Persiapan Sebelum Pendakian
Sebelum melakukan pendakian, perlu dilakukan beberapa persiapan yang
bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pendakian sehingga berjalan dengan lancar
dan aman. Persiapan-persiapan tersebut yaitu Pengumpulan data tentang medan yang
akan dihadapi.
Sebelum melakukan pendakian perlu diketahui data – data tentang medan
yang akan dihadapi. Data-data tersebut di antaranya status aktivitas gunung,
keberadaan sumber air, suhu, kondisi jalur yang akan digunakan, cuaca, lokasi yang
aman untuk mendirikan tenda, dan kebudayaan masyarakat setempat.
3. Persiapan fisik
Pendakian gunung termasuk ke dalam salah satu olaharaga berat yang
menuntut fisik yang prima. Untuk mendukung hal tersebut, maka diperlukan
persiapan fisik yang memadai. Persiapan fisik yang baik akan menunjang kelancaran
kegiatan pendakian dan menghindarkan anggota pendakian dari cedera fisik.
Persiapan fisik tersebut dapat berupa jogging, push-up dan vertical running. Persiapan
fisik ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu dan medan
yang akan ditempuh.
4. Persiapan mental
Mental adalah kondisi psikologis dari diri seseorang. Persiapan mental yang
buruk sebelum melakukan kegiatan gunung-hutan akan mengakibatkan terganggunya
kelancaran kegiatan tersebut.
7. Administrasi
Setiap daerah berada di bawah kendali suatu pihak, misalnya Pemda atau
Perhutani, sehingga untuk melakukan kegiatan gunung-hutan pada daerah tersebut
diperlukan izin. Untuk keperluan mengurus izin tersebut biasanya diperlukan
beberapa syarat seperti fotokopi KTP, meterai, dan surat jalan dari organisasi
8. Mengisi lembar kendali operasional
Lembar kendali operasional berfungsi sebagai kartu kontrol bagi seluruh
pengurus Gitapala terhadap kegiatan gunung-hutan yang sedang berlangsung tersebut.
Lembar kendali operasional diisi oleh pemimpin kegiatan dan ditempelkan pada
papan pengumuman Gitapala.
9. Melakukan briefing
Briefing dilakukan selambat-lambatnya satu hari sebelum hari pelaksanaan
kegiatan gunung-hutan. Briefing dipimpin oleh pemimpin kegiatan dan dihadiri oleh
seluruh anggota tim kegiatan gunung-hutan tersebut, Koordinator Divisi Gunung
Hutan, Kepala Bidang Operasional, dan Ketua Umum Gitapala.
C. Pelaksanaan Pendakian
Dalam melaksanakan suatu pendakian, terdapat beberapa hal yang harus
dilakukan dan diperhatikan yaitu Melakukan aklimatisasi minimal selama satu jam.
Kegiatan ini ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi tubuh beradaptasi
dengan kondisi di ketinggian. Kondisi yang dimaksudkan tersebut di antaranya terkait
dengan kondisi suhu, kelembaban udara, dan tekanan udara.
1. Bergerak sesuai dengan kesepakatan komposisi tim.
Anggota tim yang dirasa kurang mempersiapkan fisik sehingga memiliki fisik
yang lebih lemah diposisikan di urutan depan pada barisan setelah leader. Leader
diposisikan pada urutan paling depan dari barisan dan sweeper di urutan paling
belakang.
2. Leader dan sweeper sebaiknya laki-laki.
Laki-laki biasanya akan lebih tenang di dalam menghadapi kondisi sulit.
Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan untuk menunjuk perempuan sebagai leader
atau sweeper apabila dirasa mampu untuk melakukan tugas tersebut selama pendakian
berlangsung.
3. Anggota tim bergerak menurut komando dari leader
Leader memutuskan setiap pergerakan berdasarkan kondisi tim dan kondisi
yang ada di medan. Sweeper memastikan keutuhan dan kondisi seluruh anggota tim
selama di perjalanan dan berkoordinasi dengan leader.Berjalan dengan kecepatan
yang konsisten serta tidak terlalu cepat atau terlalu lambat.
Memperhatikan langkah supaya tidak terlalu menghentak atau menyeret.
Langkah kaki yang menghentak atau menyeret justru akan membutuhkan energy
ekstra. Oleh karena itu, tetap berjalan dengan langkah kaki mantap namun tetap
menapak ringan pada permukaan tanah. Tidak berlari ketika menemui jalan yang
menurun. Berlari akan membutuhkan energy ekstra dibandingkan dengan berjalan.
Selain itu, berlari memiliki potensi bahaya kaki terkilir dan kaki tersandung batu atau
akar pohon.
Apabila terpaksa untuk berhenti di daerah tanjakan, salah satu kaki diposisikan
berada di depan kaki yang lainnya dengan posisi lebih tinggi. Posisi tersebut selain
memberikan keseimbangan pada tubuh juga akan menghemat energy tubuh ketika
akan kembali melangkahkan kaki
4. Memperhatikan jarak antar anggota tim.
Hal ini harus dilakukan dengan lebih intens terutama ketika melakukan
pendakian pada malam hari dan/atau kondisi berkabut.
5. Memperhatikan kondisi sekitar.
Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu pergerakan awan, pergerakan kabut,
pergerakan angin, suhu, keberadaan satwa dan fauna, serta kondisi jalur pendakian.
6. Saling memperhatikan kondisi antar anggota tim.
Memiliki rasa kebersamaan dan saling memiliki antar anggota pendakian akan
sangat memberikan efek yang positif bagi jalannya suatu pendakian. Oleh karena itu,
mengecek secara berkala kondisi fisik dan saling memberikan semangat antar anggota
sangat penting untuk dilakukan.
BAB IV
BAHAYA, PENCEGAHAN BAHAYA, DAN PERTOLONGAN PERTAMA PADA
KECELAKAAN DALAM PENDAKIAN GUNUNG
Pendakian gunung adalah suatu kegiatan yang memiliki risiko tinggi. Bahaya, baik
yang berasal dari internal maupun eksternal dari diri pendaki, akan selalu ada dan apabila
pendaki tidak memiliki kemampuan yang cukup akan bahaya tersebut maka kegiatan
pendakian gunung akan menjadi suatu kegiatan yang dihindari.
A. Bahaya dalam Pendakian Gunung
Apabila dikelompokkan, berbagai jenis bahaya dalam kegiatan gunung-hutan dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu bahaya obyektif dan bahaya subyektif.
1. Bahaya Obyektif
Bahaya obyektif merupakan segala bentuk bahaya dan potensi bahaya yang
berasal dari alam dan segala sesuatu yang berada di alam. Factor-faktor yang dapat
menimbulkan bahaya obyektif di antaranya yaitu
a. Kondisi bentuk permukaan bumi
b. Bentuk-bentuk kehidupan
Bentuk kehidupan hewan mulai dari level mikroorganisme hingga binatang-binatang
besar memiliki potensi bahayanya masing-masing Secara umum, potensi bahaya
tersebut yaitu Menimbulkan penyakit, Menularkan penyakit, Beracun bila menyengat,
bersentuhan atau menggigit, Beracun bila dimakan, Berbahaya bila menyerang
(terkait dengan ukuran hewan tersebut) Sifat predator hewan tersebut Mengeluarkan
zat kimia yang membuat rasa tidak nyaman.
Sedangkan untuk bentuk kehidupan tumbuhan, potensi bahaya yang dimiliki antara
lain :
a. Kerapatan vegetasi dapat menghambat pergerakan dan mencederai
b. Kerapatan vegetasi memperpendek jarak pandang dan keleluasaan dalam melakukan
orientasi medan
c. Memiliki duri-duri atau getah beracun yang dapat mencederai
d. Mengandung racun sehingga berbahaya bila dikonsumsi
c) Gas beracun
Gunung yang masih aktif biasanya akan mengeluarkan gas beracun pada waktu-waktu
tertentu dan pada area-area tertentu pada gunung tersebut.
B. Bahaya Subyektif
Bahaya subyektif merupakan segala bentuk bahaya dan potensi bahaya yang
berasal dari diri pendaki, baik karena perilaku atau pengambilan keputusan yang salah
sebelum maupun ketika pelaksanaan kegiatan di gunung dan hutan. Faktor – faktor
yang dapat menimbulkan bahaya subyektif di antaranya yaitu
a) Kondisi fisik
Kegiatan gunung-hutan termasuk ke dalam olahraga berat yang menuntut kebugaran
tubuh terutama yang terkait dengan sistem peredaran darah, metabolisme tubuh, daya
tahan tubuh, serta kemampuan tubuh beradaptasi pada cuaca. Kegiatan gunung-hutan
terkadang juga menciptakan siklus kehidupan baru yang tidak teratur dan jauh
berbeda dari siklus kehidupan yang biasanya kita jalani. Semua faktor tersebut
berpotensi menjadi potensi bahaya apabila kebugaran tubuh tidak dapat memenuhi
kebutuhan tubuh untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut.