PENDAHULUAN
Aktualisasi dari kegiatan kepencintaalaman, khususnya dalam kegiatan di gunung dan hutan selalu
dikaitkan dengan kegiatan yang penuh dengan bahaya, keras, dan menuntut kekuatan fisik yang tangguh.
Oleh karena itu, dalam melakukan kegiatan di gunung dan hutan, pelaku kegiatan kepencintaalaman
diharuskan untuk berkegiatan sesuai dengan pedoman yang baku yang diharapkan dapat menjamin
kelancaran kegiatan serta kenyamanan dan keselamatan pelaku kegiatan.
Sampai saat ini, KAPAL BAJA sebagai organisasi yang berhaluan kepencintaalaman di Universitas
Bhayangkara Jaya tidak memiliki standar operasional tertulis yang digunakan secara baku oleh para
anggotanya. Pedoman yang digunakan dalam berkegiatan selama ini hanya diberikan secara turun-
temurun dari angkatan yang satu ke angkatan yang lainnya melalui komunikasi lisan. Seperti yang kita
ketahui bahwa penyampaian pesan secara lisan memiliki risiko berubahnya isi pesan yang ingin
disampaikan. Perubahan dapat berupa pengurangan maupun penambahan informasi. Perubahan –
perubahan tersebut sebaiknya dihindari mengingat pentingnya materi yang terkandung dalam standar
operasional ini. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah pedoman yang baku untuk melakukan kegiatan di
gunung dan hutan serta dituangkan secara tertulis ke dalam sebuah Standar Operasional Prosedur Divisi
Gunung Hutan KAPAL BAJA.
I.2. Tujuan
1. Seluruh anggota KAPAL BAJA, khususnya bagi anggota Divisi Gunung Hutan KAPAL BAJA, dapat
mengerti bagaimana cara melakukan suatu kegiatan di gunung dan hutan yang baik dan aman.
2. Menjadi pedoman dalam melakukan kegiatan di gunung dan hutan bagi seluruh anggota KAPAL
BAJA, khususnya bagi anggota Divisi Gunung Hutan KAPAL BAJA.
3. Menciptakan komitmen bagi seluruh anggota KAPAL BAJA pada umumnya dan bagi anggota Divisi
Gunung Hutan KAPAL BAJA pada khususnya mengenai apa yang harus dilakukan untuk
mewujudkan suatu kegiatan di gunung dan hutan yang baik dan aman.
4. Menjaga keutuhan informasi yang terkandung dalam Standar Operasional Prosedur Divisi Gunung
Hutan KAPAL BAJA.
I.3. Ruang Lingkup
Standar Operasional Prosedur ini hanya dapat digunakan untuk kepentingan kegiatan
kepencintaalaman di gunung dan hutan. Gunung dan hutan yang dimaksud berada pada wilayah tropis
dengan ketinggian kurang dari 4000 meter di atas permukaan laut serta memiliki medan yang tidak
bersalju maupun bergletser.
BAB II
Divisi Gunung Hutan merupakan salah satu divisi yang dimiliki oleh KAPAL BAJA. Divisi ini bergerak pada
kegiatan kepencintaalaman di gunung dan hutan, termasuk di antaranya adalah kegiatan pendakian
gunung, orientasi medan dan navigasi darat, search and rescue (SAR), serta eksplorasi gunung dan hutan
rimba. Berbeda dengan divisi yang lainnya, dalam melakukan seluruh kegiatannya seluruh anggota Divisi
Gunung Hutan dituntut untuk mampu bekerja sama dalam tim, memprioritaskan kepentingan kelompok,
dan peka akan lingkungan di sekitarnya.
Secara garis besar, gunung terbagi ke dalam dua jenis, yaitu gunung berapi atau gunung aktif dan gunung
tidak aktif.
A. Stratovolcano
Gunung berapi tipe stratovolcano tersusun dari batuan hasil letusan dengan tipe letusan berubah-
ubah, sehingga dapat menghasilkan susunan yang berlapis-lapis dari beberapa jenis batuan. Selain
itu, tipe letusan tersebut juga memberikan bentuk suatu kerucut besar (raksasa) pada bagian
puncak gunung, kadang-kadang bentuknya tidak beraturan karena letusan terjadi sudah beberapa
ratus kali. Kebanyakan gunung tipe stratovolcano memiliki ketinggian lebih dari 2500 meter di atas
permukaan laut. Contoh dari gunung jenis ini adalah Gunung Merapi.
B. Perisai
Gunung berapi tipe perisai tersusun dari batuan aliran lava yang pada saat diendapkan masih cair,
sehingga tidak sempat membentuk suatu kerucut yang tinggi (curam). Bentukan dari gunung tipe
ini akan berlereng landai dan susunannya terdiri dari batuan yang bersifat basaltik. Contoh dari
gunung berapi jenis ini terdapat di Kepulauan Hawai.
C. Cinder Cone
Gunung berapi tipe cinder cone merupakan gunung berapi yang abu dan pecahan kecil batuan
vulkaniknya menyebar di sekeliling gunung. Sebagian besar gunung jenis ini membentuk mangkuk
di puncaknya. Gunung tipe ini jarang yang memiliki ketinggian di atas 500 meter dari tanah di
sekitarnya.
D. Kaldera
Gunung berapi tipe kaldera terbentuk dari ledakan yang sangat kuat yang melempar ujung atas
gunung sehingga membentuk cekungan. Contoh dari gunung berapi jenis ini adalah Gunung
Bromo.
Hutan yang berada di daerah pegunungan merupakan hutan yang tumbuh dan berkembang di daerah
pegunungan dengan ketinggian 1.200 hingga 2.250 mdpl. Menurut Van Steenis, 1950 membagi jenis
hutan dataran tinggi di Indonesia menjadi tiga, yaitu:
A. Pegunungan Asli
Bioma pegunungan asli memiliki ciri, yaitu keanekaragaman spesies serta tutupan yang tinggi
dan rapat, yakni berupa lapisan pertama yang tumbuh mencapai tinggi 30 m hingga 40 m. Pada
lapisan ini juga dapat dijumpai beberapa spesies pohon yang memiliki tajuk menonjol mencapai
40 m hingga 60 m.
B. Pegunungan Campuran
Bioma pegunungan campuran tersusun dari tumbuhan untuk keperluan konservasi atau bekas
hutan produksi. Bioma pada hutan ini salah satunya terdapat di kawasan Bebeng, lereng gunung
Merapi. Jenis tumbuhan tersebut antara lain Soga (Acacia deccurens) Pinus (Pinus merkusii),
serta berbagai jenis pohon cemara.
C. Teknik pendakian
o Teknik Himalayan, teknik pendakian ini bisa dilakukan dengan cara membentuk sebuah
tim pendakian dan membaginya dalam kelompok kecil yang berbeda dan memiliki tugas
yang berbeda pula. Sementara
o teknik Alpine, teknik pendakian ini merupakan teknik pendakian gunung yang biasa
diterapkan di gunung yang memiliki ketinggian di bawah 4.000 meter di atas permukaan
laut (mdpl) dan relatif tidak memakan waktu tempuh yang lama.
BAB III
Survival kit 1 set Sebagai alat untuk bertahan hidup dalam kondisi tak terduga.
Logistik (n+1) x kebutuhan Memenuhi kebutuhan makan dan minum serta sebagai
Webbing 1 buah Pada kondisi tak terduga dapat digunakan sebagai alat pertolongan,
misalnya ketika menemui jalur yang terlalu curam atau tebing dapat
Sepatu +1 pasang Melindungi kaki. Gunakan sepatu dengan pola alas sol sepatu
yang besar (ber-radial), bagian tumit tinggi ± 1,5 cm, dan sol kuat.
Sleeping bag 1 buah Sebagai kantung tidur sekaligus penghangat ketika tidur.
Ponco / jas hujan 1 buah Melindungi tubuh dan carrier ketika hujan. Dapat juga digunakan
Celana lapangan 1 buah Bukan berbahan jeans, sehingga mudah kering. Mudah menyerap
Kaus kaki Min. 2 pasang Menghangatkan kaki dan melindungi kaki dari lecet.
Sarung tangan Min. 2 pasang Menghangatkan tangan dan melindungi tangan dari lecet.
Masker Min. 1 buah Melindungi dari debu, gas (belerang), kabut jenuh, dan hawa dingin.
Keperluan lain
Baterai cadangan 1 set
Keperluan lain
Tisu kering 1 bungkus
Penganti sepatu apabila dalam perjalanan, sepatu tidak bisa di gunakan lagi
Sandal jepit 1 pasang
Alat tulis 1 set Untuk menulis catatan perjalanan dan hal-hal penting lainnya.
Bahan bakar parafin 1 kotak Untuk bahan bakar memasak dan membuat api unggun.
Tali 1 gulung Peralatan untuk mengikat, dapat digunakan untuk membuat bivak.
Dapat berupa tali plastik (raffia) atau tali tampar.
Daftar isi Survival Kit :
Peniti Untuk menyambung dua buah ponco atau lebih ketika membuat bivak
Jarum jahit Untuk menjahit, baik kain maupun luka terbuka untuk sementara
Benang jahit Untuk menjahit, baik kain maupun luka terbuka untuk sementara
2. 150 g
3. Sayur
4. Lauk-pauk
1. Betadine
2. Kapas
3. Kain kassa
4. Perban
5. Hansaplast
6. Rivanol
8. Obat maag
9. Parasetamol
12. Oralit
Perlengkapan navigasi Min. 2 set Digunakan untuk melakukan orientasi medan, menentukan
arah dan posisi.
1. Peta kontur
2. Kompas
3. Protaktor
4. Altimeter (optional)
III.3. Peralatan Tambahan
Dalam melakukan sebuah ekspedisi, realisasi dari sebuah perjalanan tidak selalu sejalan dengan rencana
perjalanan yang telah dibuat. Terkadang akan ditemui medan dan kondisi sulit, sehingga diperlukan
beberapa peralatan tambahan. Peralatan tambahan tersebut, yaitu :
Perlengkapan navigasi digunakan untuk melakukan orientasi medan, menentukan arah dan posisi.
Perlengkapan navigasi terdiri dari:
1. Peta kontur
2. Kompas
3. Protaktor
4. Altimeter (optional)
Sebelum melakukan pendakian, perlu dilakukan beberapa persiapan yang bertujuan untuk mendukung
pelaksanaan pendakian sehingga berjalan dengan lancar dan aman. Persiapan-persiapan tersebut yaitu
Sebelum melakukan pendakian perlu diketahui data – data tentang medan yang akan dihadapi. Data-data
tersebut di antaranya status aktivitas gunung, keberadaan sumber air, suhu, kondisi jalur yang akan
digunakan, cuaca, lokasi yang aman untuk mendirikan tenda, dan kebudayaan masyarakat setempat.
Tujuan pendakian perlu ditentukan sebelumnya, apakah pendakian tersebut ditujukan untuk latihan,
wisata, SAR, ekspedisi, atau tujuan yang lainnya. Dengan menentukan tujuan perjalanan, maka dapat
ditentukan bagaimana persiapan fisik yang harus dilakukan, peralatan dan logistik yang harus
dipersiapkan, serta manajemen perjalanan yang akan dilakukan.
3. Persiapan fisik
Pendakian gunung termasuk ke dalam salah satu olaharaga berat yang menuntut fisik yang prima. Untuk
mendukung hal tersebut, maka diperlukan persiapan fisik yang memadai. Persiapan fisik yang baik akan
menunjang kelancaran kegiatan pendakian dan menghindarkan anggota pendakian dari cedera fisik.
Persiapan fisik tersebut dapat berupa jogging, push-up dan vertical running. Persiapan fisik ini dapat
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu dan medan yang akan ditempuh.
4. Persiapan mental
Mental adalah kondisi psikologis dari diri seseorang. Persiapan mental yang buruk sebelum melakukan
kegiatan gunung-hutan akan mengakibatkan terganggunya kelancaran kegiatan tersebut.
Peralatan dan logistik yang akan dibawa dalam pendakian disesuaikan dengan tujuan dari pendakian
tersebut, medan yang akan dihadapi, dan lamanya waktu pendakian.
Setiap peserta kegiatan pendakian diharuskan untuk mengisi checklist peralatan pribadi, sedangkan
pemimpin kegiatan pendakian diharuskan untuk mengumpulkan serta menyimpan checklist perlengkapan
kelompok dan checklist perlengkapan pribadi seluruh peserta kegiatan pendakian. Checklist peralatan ini
akan menjadi kartu kontrol yang dapat digunakan oleh pemimpin kegiatan pendakian untuk mengecek
kelengkapan peralatan, mengevaluasi kesiapan anggota tim untuk melakukan survival dalam keadaan
terburuk, dan memperkirakan batas waktu anggota tim untuk bertahan dalam survival tersebut.
Untuk melakukan pendakian yang baik dan aman, maka diperlukan suatu perencanaan yang matang
tentang manajemen perjalanan yang akan digunakan. Manajemen perjalanan tersebut meliputi
pembagian tugas, manajemen logistik dan manajemen waktu.
Pembagian tugas terbagi ke dalam dua bagian, yaitu pembagian tugas ketika berjalan dan ketika
melakukan camping. Pembagian tugas ketika berjalan meliputi leader dan sweeper. Leader bertugas
untuk memimpin jalannya pendakian, menentukan arah berjalan, menjalankan fungsi time keeper, serta
menjadi pusat pengambilan keputusan. Sweeper bertugas untuk memastikan keutuhan komposisi tim
(baik dari segi jumlah dan posisi), memastikan kondisi seluruh anggota tim, dan berkoordinasi dengan
leader terkait dengan kondisi seluruh anggota tim tersebut. Sedangkan untuk pembagian tugas ketika
melakukan camping meliputi tugas mendirikan dome, memasak, mencari air, dan mencari kayu bakar.
7. Administrasi
Setiap daerah berada di bawah kendali suatu pihak, misalnya Pemda atau Perhutani, sehingga untuk
melakukan kegiatan gunung-hutan pada daerah tersebut diperlukan izin. Untuk keperluan mengurus izin
tersebut biasanya diperlukan beberapa syarat seperti fotokopi KTP, meterai, dan surat jalan dari
organisasi.
8. Mengisi lembar kendali operasional
Lembar kendali operasional berfungsi sebagai kartu kontrol bagi seluruh pengurus Gitapala terhadap
kegiatan gunung-hutan yang sedang berlangsung tersebut. Lembar kendali operasional diisi oleh
pemimpin kegiatan dan ditempelkan pada papan pengumuman Gitapala.
9. Melakukan briefing
Briefing dilakukan selambat-lambatnya satu hari sebelum hari pelaksanaan kegiatan gunung-hutan.
Briefing dipimpin oleh pemimpin kegiatan dan dihadiri oleh seluruh anggota tim kegiatan gunung-hutan
tersebut, Koordinator Divisi Gunung Hutan, Kepala Bidang Operasional, dan Ketua Umum Gitapala.
Dalam melaksanakan suatu pendakian, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan dan diperhatikan
yaitu
Kegiatan ini ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi tubuh beradaptasi dengan kondisi di
ketinggian. Kondisi yang dimaksudkan tersebut di antaranya terkait dengan kondisi suhu, kelembaban
udara, dan tekanan udara.
Anggota tim yang dirasa kurang mempersiapkan fisik sehingga memiliki fisik yang lebih lemah diposisikan
di urutan depan pada barisan setelah leader. Leader diposisikan pada urutan paling depan dari barisan
dan sweeper di urutan paling belakang.
Laki-laki biasanya akan lebih tenang di dalam menghadapi kondisi sulit. Tetapi hal ini tidak menutup
kemungkinan untuk menunjuk perempuan sebagai leader atau sweeper apabila dirasa mampu untuk
melakukan tugas tersebut selama pendakian berlangsung.
Leader memutuskan setiap pergerakan berdasarkan kondisi tim dan kondisi yang ada di medan.
Sweeper memastikan keutuhan dan kondisi seluruh anggota tim selama di perjalanan dan
berkoordinasi dengan leader.
Berjalan dengan kecepatan yang konsisten serta tidak terlalu cepat atau terlalu lambat.
Memperhatikan langkah supaya tidak terlalu menghentak atau menyeret. Langkah kaki yang
menghentak atau menyeret justru akan membutuhkan energy ekstra. Oleh karena itu, tetap
berjalan dengan langkah kaki mantap namun tetap menapak ringan pada permukaan tanah.
4. Apabila terpaksa untuk berhenti di daerah tanjakan, salah satu kaki diposisikan berada di depan
kaki yang lainnya dengan posisi lebih tinggi.
Posisi tersebut selain memberikan keseimbangan pada tubuh juga akan menghemat energy tubuh ketika
akan kembali melangkahkan kaki.
Hal ini harus dilakukan dengan lebih intens terutama ketika melakukan pendakian pada malam hari
dan/atau kondisi berkabut.
Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu pergerakan awan, pergerakan kabut, pergerakan angin, suhu,
keberadaan satwa dan fauna, serta kondisi jalur pendakian.
Memiliki rasa kebersamaan dan saling memiliki antar anggota pendakian akan sangat memberikan efek
yang positif bagi jalannya suatu pendakian. Oleh karena itu, mengecek secara berkala kondisi fisik dan
saling memberikan semangat antar anggota sangat penting untuk dilakukan.
Diusahakan untuk minum dalam jumlah secukupnya dan dalam interval waktu yang panjang.
Bernafas menggunakan hidung. Ritme bernafas perlu diperhatikan agar tidak terlalu cepat dan
memburu.
Waktu untuk istirahat tidak boleh terlalu lama, maksimal 5 menit. Waktu istirahat yang terlalu
lama akan memberikan kesempatan bagi tubuh untuk melemaskan kembali otot-otot tubuh dan
menormalkan denyut jantung, sehingga ketika akan melakukan perjalanan kembali tubuh akan
kaget dan memerlukan waktu lama untuk melakukan adaptasi kembali. Istirahat yang terlalu lama
biasanya akan memicu terjadinya kram otot pada kaki dan bahu.
Istirahat selama pendakian dapat dilakukan dengan tetap berdiri namun posisi badan membungkuk
membentuk huruf L atau juga dilakukan dengan bersandar pada batang pohon. Posisi istirahat dengan
membentuk huruf L akan membantu mengistirahatkan bahu karena bobot carrier untuk sementara waktu
dipindahkan ke punggung. Duduk ketika istirahat sangat tidak disarankan.
Apabila selama berjalan menggunakan jaket, maka ketika beristirahat atau sudah tiba di tujuan, jaket
sebaiknya tidak langsung dilepas. Perubahan suhu yang mendadak akan memicu pada terjadinya
kehilangan panas tubuh (hypothermia).
BAB IV
Pendakian gunung adalah suatu kegiatan yang memiliki risiko tinggi. Bahaya, baik yang berasal dari
internal maupun eksternal dari diri pendaki, akan selalu ada dan apabila pendaki tidak memiliki
kemampuan yang cukup akan bahaya tersebut maka kegiatan pendakian gunung akan menjadi suatu
kegiatan yang dihindari.
Apabila dikelompokkan, berbagai jenis bahaya dalam kegiatan gunung-hutan dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar, yaitu bahaya obyektif dan bahaya subyektif.
Bahaya obyektif merupakan segala bentuk bahaya dan potensi bahaya yang berasal dari alam dan segala
sesuatu yang berada di alam. Factor-faktor yang dapat menimbulkan bahaya obyektif di antaranya yaitu
2. Bentuk-bentuk kehidupan
Bentuk kehidupan hewan mulai dari level mikroorganisme hingga binatang-binatang besar memiliki
potensi bahayanya masing-masing. Secara umum, potensi bahaya tersebut yaitu
menimbulkan penyakit
menularkan penyakit
Sedangkan untuk bentuk kehidupan tumbuhan, potensi bahaya yang dimiliki antara lain
kerapatan vegetasi memperpendek jarak pandang dan keleluasaan dalam melakukan orientasi
medan
memiliki duri-duri atau getah beracun yang dapat mencederai
Potensi bahaya dari iklim mungkin masih dapat dihindari karena iklim merupakan karakter dari suatu
daerah yang pengulangannya selalu sama setiap tahunnya, sehingga tindakan preventif seharusnya sudah
dilakukan oleh pendaki sebelum melakukan kegiatan di daerah tersebut.
Tetapi cuaca adalah kondisi yang berkaitan dengan suhu udara, kelembaban, dan pergerakan udara yang
sifatnya selalu berubah sewaktu-waktu. Potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dari ketiga hal tersebut
yaitu
Suhu udara rendah dapat menyebabkan penyakit Hypothermia apabila kondisi tersebut
berkombinasi dengan pakaian yang basah dan pergerakan udara yang cukup cepat .
Angin besar yang mampu mematahkan batang-batang pepohonan dan merusak dome.
Badai
Semakin tinggi suatu tempat berarti tekanan udara semakin rendah dan kandungan oksigen pada udara
semakin tipis. Kondisi ini terkadang mampu menggagalkan system adapatasi tubuh, sehingga mampu
menimbulkan Mountain Sickness.
Semakin panjang jarak dan lama waktu pendakian menuntut rencana perjalanan yang sangat matang.
Rencana perjalanan akan semakin rumit karena banyak hal harus dipertimbangkan dengan sebaik
mungkin. Semakin rumit suatu rencana perjalanan, maka akan semakin besar faktor kesalahan yang
terjadi. Faktor kesalahan inilah yang mampu menjadi potensi bahaya.
3. Gas beracun
Gunung yang masih aktif biasanya akan mengeluarkan gas beracun pada waktu-waktu tertentu dan pada
area-area tertentu pada gunung tersebut.
Kesalahan dalam menghargai adat-istiadat dan kepercayaan tertentu dari masyarakat setempat dapat
menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman ini akan memicu rasa tidak suka dan penolakan
terhadap kehadiran kita di lingkungan tersebut yang tidak jarang dapat menimbulkan potensi bahaya
tertentu.
IV.1.2. Bahaya Subyektif
Bahaya subyektif merupakan segala bentuk bahaya dan potensi bahaya yang berasal dari diri pendaki,
baik karena perilaku atau pengambilan keputusan yang salah sebelum maupun ketika pelaksanaan
kegiatan di gunung dan hutan. Faktor – faktor yang dapat menimbulkan bahaya subyektif di antaranya
yaitu
1. Kondisi fisik
Kegiatan gunung-hutan termasuk ke dalam olahraga berat yang menuntut kebugaran tubuh terutama
yang terkait dengan sistem peredaran darah, metabolisme tubuh, daya tahan tubuh, serta kemampuan
tubuh beradaptasi pada cuaca. Kegiatan gunung-hutan terkadang juga menciptakan siklus kehidupan baru
yang tidak teratur dan jauh berbeda dari siklus kehidupan yang biasanya kita jalani. Semua faktor tersebut
berpotensi menjadi potensi bahaya apabila kebugaran tubuh tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut.
Berkegiatan di gunung dan hutan menuntut keterampilan untuk dapat bergerak maupun beristirahat
dengan efektif dan efisien. Tidak mendukungnya kemampuan teknis pelaku kegiatan akan menimbulkan
sebentuk potensi bahaya tersendiri.
Kemampuan yang dimaksud dalam konteks ini di antaranya adalah kemampuan mengambil keputusan,
kecermatan, pengendalian emosi, dan kestabilan mental. Kesalahan dalam pengelolaan kemampuan ini
akan dapat berkembang menjadi potensi bahaya.
Tindakan pencegahan bahaya dalam pendakian gunung pada umumnya dapat diupayakan melalui hal-hal
berikut ini
Melaksanakan semua poin yang tercantum dalam sub bab III.4.1. Persiapan Sebelum Pendakian
Melaksanakan semua poin yang tercantum dalam sub bab III.4.2. Pelaksanaan Pendakian.
Perdarahan Menekan pada tempat terjadinya perdarahan dengan menggunakan kain bersih
Hypothermia Melepaskan semua pakaian basah korban dan menggantinya dengan yang kering
Memasukkan korban ke dalam sleeping bag dengan ditemani satu atau dua
Keracunan Menohok anak tekak untuk mengeluarkan sisa makanan yang masih terdapat
di lambung
KESIMPULAN
Keselamatan pelaku kegiatan adalah prioritas utama dalam melakukan kegiatan di gunung dan hutan.
Oleh karena itu, penggunaan Standar Operasional Prosedur Divisi Gunung Hutan KAPAL BAJA sebagai
pedoman berkegiatan mutlak diperlukan dalam setiap kegiatan gunung dan hutan. Komitmen untuk terus
menggunakan pedoman tersebut dan menjaga keutuhan isinya dalam setiap pelaksanaan kegiatan perlu
dimiliki oleh setiap anggota KAPAL BAJA.
LAMPIRAN
Nama Kegiatan Tanggal Pelaksanaan Kegiatan Lokasi Kegiatan Koordinator Kegiatan Anggota Pelaksana
Kegiatan No. Telepon yang Bisa Dihubungi Mengetahui,Koordinator Divisi Gunung Hutan
( )
Nama kegiatan :
Tanggal pelaksanaan :
Dome ( )
Nesting ( )
Kompor ( )
Kotak P3K ( )
Oxycan ( )
……………………………………….. ( ) ……………………………………….. ( )
……………………………………….. ( ) ……………………………………….. ( )
……………………………………….. ( ) ……………………………………….. ( )
……………………………………….. ( ) ……………………………………….. ( )
DIVISI GUNUNG HUTAN KAPAL BAJA
Nama kegiatan :
Tanggal pelaksanaan :
Trashbag ( ) Senter ( )