Anda di halaman 1dari 22

UKM KAPAL BAJA

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)


GUNUNG HUTAN

Divis Gunung Hutan


- Frederik Raya Kore
- Aldiansya Putra Pradana
Periode 2021-2022

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAYA


JL. RAYA PERJUANGAN, MARGA MULYA BEKASI UTARA
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Aktualisasi dari kegiatan kepencintaalaman, khususnya dalam kegiatan di gunung dan hutan selalu
dikaitkan dengan kegiatan yang penuh dengan bahaya, keras, dan menuntut kekuatan fisik yang tangguh.
Oleh karena itu, dalam melakukan kegiatan di gunung dan hutan, pelaku kegiatan kepencintaalaman
diharuskan untuk berkegiatan sesuai dengan pedoman yang baku yang diharapkan dapat menjamin
kelancaran kegiatan serta kenyamanan dan keselamatan pelaku kegiatan.

Sampai saat ini, KAPAL BAJA sebagai organisasi yang berhaluan kepencintaalaman di Universitas
Bhayangkara Jaya tidak memiliki standar operasional tertulis yang digunakan secara baku oleh para
anggotanya. Pedoman yang digunakan dalam berkegiatan selama ini hanya diberikan secara turun-
temurun dari angkatan yang satu ke angkatan yang lainnya melalui komunikasi lisan. Seperti yang kita
ketahui bahwa penyampaian pesan secara lisan memiliki risiko berubahnya isi pesan yang ingin
disampaikan. Perubahan dapat berupa pengurangan maupun penambahan informasi. Perubahan –
perubahan tersebut sebaiknya dihindari mengingat pentingnya materi yang terkandung dalam standar
operasional ini. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah pedoman yang baku untuk melakukan kegiatan di
gunung dan hutan serta dituangkan secara tertulis ke dalam sebuah Standar Operasional Prosedur Divisi
Gunung Hutan KAPAL BAJA.

I.2. Tujuan

1. Seluruh anggota KAPAL BAJA, khususnya bagi anggota Divisi Gunung Hutan KAPAL BAJA, dapat
mengerti bagaimana cara melakukan suatu kegiatan di gunung dan hutan yang baik dan aman.

2. Menjadi pedoman dalam melakukan kegiatan di gunung dan hutan bagi seluruh anggota KAPAL
BAJA, khususnya bagi anggota Divisi Gunung Hutan KAPAL BAJA.

3. Menciptakan komitmen bagi seluruh anggota KAPAL BAJA pada umumnya dan bagi anggota Divisi
Gunung Hutan KAPAL BAJA pada khususnya mengenai apa yang harus dilakukan untuk
mewujudkan suatu kegiatan di gunung dan hutan yang baik dan aman.

4. Menjaga keutuhan informasi yang terkandung dalam Standar Operasional Prosedur Divisi Gunung
Hutan KAPAL BAJA.
I.3. Ruang Lingkup

Standar Operasional Prosedur ini hanya dapat digunakan untuk kepentingan kegiatan
kepencintaalaman di gunung dan hutan. Gunung dan hutan yang dimaksud berada pada wilayah tropis
dengan ketinggian kurang dari 4000 meter di atas permukaan laut serta memiliki medan yang tidak
bersalju maupun bergletser.

BAB II

DIVISI GUNUNG HUTAN

II.1. Divisi Gunung Hutan

Divisi Gunung Hutan merupakan salah satu divisi yang dimiliki oleh KAPAL BAJA. Divisi ini bergerak pada
kegiatan kepencintaalaman di gunung dan hutan, termasuk di antaranya adalah kegiatan pendakian
gunung, orientasi medan dan navigasi darat, search and rescue (SAR), serta eksplorasi gunung dan hutan
rimba. Berbeda dengan divisi yang lainnya, dalam melakukan seluruh kegiatannya seluruh anggota Divisi
Gunung Hutan dituntut untuk mampu bekerja sama dalam tim, memprioritaskan kepentingan kelompok,
dan peka akan lingkungan di sekitarnya.

II.2. Jenis – Jenis Gunung

Secara garis besar, gunung terbagi ke dalam dua jenis, yaitu gunung berapi atau gunung aktif dan gunung
tidak aktif.

Berdasarkan bentuknya, gunung berapi terbagi ke dalam beberapa jenis yaitu

A. Stratovolcano

Gunung berapi tipe stratovolcano tersusun dari batuan hasil letusan dengan tipe letusan berubah-
ubah, sehingga dapat menghasilkan susunan yang berlapis-lapis dari beberapa jenis batuan. Selain
itu, tipe letusan tersebut juga memberikan bentuk suatu kerucut besar (raksasa) pada bagian
puncak gunung, kadang-kadang bentuknya tidak beraturan karena letusan terjadi sudah beberapa
ratus kali. Kebanyakan gunung tipe stratovolcano memiliki ketinggian lebih dari 2500 meter di atas
permukaan laut. Contoh dari gunung jenis ini adalah Gunung Merapi.

B. Perisai

Gunung berapi tipe perisai tersusun dari batuan aliran lava yang pada saat diendapkan masih cair,
sehingga tidak sempat membentuk suatu kerucut yang tinggi (curam). Bentukan dari gunung tipe
ini akan berlereng landai dan susunannya terdiri dari batuan yang bersifat basaltik. Contoh dari
gunung berapi jenis ini terdapat di Kepulauan Hawai.
C. Cinder Cone

Gunung berapi tipe cinder cone merupakan gunung berapi yang abu dan pecahan kecil batuan
vulkaniknya menyebar di sekeliling gunung. Sebagian besar gunung jenis ini membentuk mangkuk
di puncaknya. Gunung tipe ini jarang yang memiliki ketinggian di atas 500 meter dari tanah di
sekitarnya.

D. Kaldera

Gunung berapi tipe kaldera terbentuk dari ledakan yang sangat kuat yang melempar ujung atas
gunung sehingga membentuk cekungan. Contoh dari gunung berapi jenis ini adalah Gunung
Bromo.

III.3 Jenis Hutan Pegunungan di Indonesia

Hutan yang berada di daerah pegunungan merupakan hutan yang tumbuh dan berkembang di daerah
pegunungan dengan ketinggian 1.200 hingga 2.250 mdpl. Menurut Van Steenis, 1950 membagi jenis
hutan dataran tinggi di Indonesia menjadi tiga, yaitu:

Hutan Hujan Tropis Pegunungan Rendah (1.100 – 1.500 mdpl)

Hutan Hujan Tropis Pegunungan Tinggi (1.500 – 2.400 mdpl)

Hutan Hujan Tropis Subalpin (diatas 2.400 m)

A. Pegunungan Asli

Bioma pegunungan asli memiliki ciri, yaitu keanekaragaman spesies serta tutupan yang tinggi
dan rapat, yakni berupa lapisan pertama yang tumbuh mencapai tinggi 30 m hingga 40 m. Pada
lapisan ini juga dapat dijumpai beberapa spesies pohon yang memiliki tajuk menonjol mencapai
40 m hingga 60 m.

B. Pegunungan Campuran

Bioma pegunungan campuran tersusun dari tumbuhan untuk keperluan konservasi atau bekas
hutan produksi. Bioma pada hutan ini salah satunya terdapat di kawasan Bebeng, lereng gunung
Merapi. Jenis tumbuhan tersebut antara lain Soga (Acacia deccurens) Pinus (Pinus merkusii),
serta berbagai jenis pohon cemara.

C. Teknik pendakian
o Teknik Himalayan, teknik pendakian ini bisa dilakukan dengan cara membentuk sebuah
tim pendakian dan membaginya dalam kelompok kecil yang berbeda dan memiliki tugas
yang berbeda pula. Sementara

o teknik Alpine, teknik pendakian ini merupakan teknik pendakian gunung yang biasa
diterapkan di gunung yang memiliki ketinggian di bawah 4.000 meter di atas permukaan
laut (mdpl) dan relatif tidak memakan waktu tempuh yang lama.
BAB III

HAL – HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PENDAKIAN GUNUNG

III.1. Peralatan Pribadi

Nama Peralatan Jumlah Keterangan

Carrier 1 buah Digunakan untuk membawa semua peralatan dan perlengkapan.

Minimal volume 60 L. Penggunaan carrier sangat disarankan karena

memilliki back system yang lebih baik, sehingga tidak menyebabkan

sakit pada punggung.

Survival kit 1 set Sebagai alat untuk bertahan hidup dalam kondisi tak terduga.

Logistik (n+1) x kebutuhan Memenuhi kebutuhan makan dan minum serta sebagai

harian sumber energi.

Webbing 1 buah Pada kondisi tak terduga dapat digunakan sebagai alat pertolongan,

misalnya ketika menemui jalur yang terlalu curam atau tebing dapat

digunakan untuk mempermudah pendakian.

Kotak P3K 1 set Sebagai pertolongan pertama pada kecelakaan.


Trash bag 1 buah Membungkus matras dan semua barang yang ada di dalam
carrier serta sebagai tempat sampah.

Sepatu +1 pasang Melindungi kaki. Gunakan sepatu dengan pola alas sol sepatu

yang besar (ber-radial), bagian tumit tinggi ± 1,5 cm, dan sol kuat.

Ukuran tidak terlalu sempit, dianjurkan menggunakan ukuran 1 size

lebih besar dari ukuran kaki.

Sleeping bag 1 buah Sebagai kantung tidur sekaligus penghangat ketika tidur.

Ponco / jas hujan 1 buah Melindungi tubuh dan carrier ketika hujan. Dapat juga digunakan

sebagai alas tidur dan membuat bivak. Model kelelawar

Jaket Min. 1 buah Menghangatkan badan. Disarankan menggunakan jaket jenis

tahan air dan/atau windproo

Celana lapangan 1 buah Bukan berbahan jeans, sehingga mudah kering. Mudah menyerap

keringat dan nyaman digunakan. Panjang semata kaki untuk

melindungi dari semak duri dan binatang.

Baju 1 buah Berbahan yang mudah menyerap keringat.

Kaus kaki Min. 2 pasang Menghangatkan kaki dan melindungi kaki dari lecet.

Gunakan kaus kaki dengan bahan yang mudah menyerap keringat.

Sarung tangan Min. 2 pasang Menghangatkan tangan dan melindungi tangan dari lecet.

Baju ganti Min. 1 pasang Jumlah menyesuaikan dengan lamanya pendakian.

Masker Min. 1 buah Melindungi dari debu, gas (belerang), kabut jenuh, dan hawa dingin.

Penutup kepala (kupluk) 1 buah Menghangatkan dan melindungi kepala


Senter Min.1 buah Sebagai alat penerangan. Diusahakan senter dengan tenaga baterai.

Headlamp lebih disarankan karena akan mengoptimalkan pergerakan.

Keperluan lain
Baterai cadangan 1 set

Bohlam cadangan 1 buah

Peralatan masak dan 1 set Piring, gelas, sendok, pisau


makan

Keperluan lain
Tisu kering 1 bungkus

Tisu basah 1 bungkus

Penganti sepatu apabila dalam perjalanan, sepatu tidak bisa di gunakan lagi
Sandal jepit 1 pasang

Gaiter 1 pasang Optional. Untuk pendakian di daerah berpasir atau berawa

Peralatan mandi 1 set Sabun, sikat gigi, pasta gigi, shampoo

Alat tulis 1 set Untuk menulis catatan perjalanan dan hal-hal penting lainnya.

Terdiri dari buku tulis dan pena.

Kacamata 1 buah Optional. Untuk melindungi mata dari debu.

Digunakan pada medan berpasir dan berdebu.

Topi 1 buah Optional. Melindungi kepala dari panas.

Lilin Min.2 buah Alat penerangan, untuk membuat api unggun.

Bahan bakar parafin 1 kotak Untuk bahan bakar memasak dan membuat api unggun.

Tali 1 gulung Peralatan untuk mengikat, dapat digunakan untuk membuat bivak.
Dapat berupa tali plastik (raffia) atau tali tampar.
Daftar isi Survival Kit :

Nama Peralatan Fungsi

Peniti Untuk menyambung dua buah ponco atau lebih ketika membuat bivak

Jarum jahit Untuk menjahit, baik kain maupun luka terbuka untuk sementara

Benang jahit Untuk menjahit, baik kain maupun luka terbuka untuk sementara

Senar pancing Untuk memancing, membuat jerat

Kail pancing Untuk memancing, dapat juga untuk menjahit luka

kondom Untuk menampung air hujan maupun air embun

Silet Untuk memotong

Korek api kayu Untuk membuat api

Lilin Untuk membuat api unggun dan sebagai sumber penerangan

Peluit Untuk memanggil bantuan

Tembakau Sebagai penawar ketika tergigit lintah

Daftar logistik harian:

1. 1,5 liter air minum

2. 150 g

3. Sayur

4. Lauk-pauk

5. Makanan ringan (biskuit, roti)

6. Sumber kalori instan (cokelat, gula merah, madu)

7. 1 bungkus mie instan

8. Kopi, susu, teh.


Daftar isi kotak P3K pribadi :

1. Betadine

2. Kapas

3. Kain kassa

4. Perban

5. Hansaplast

6. Rivanol

7. Obat alergi. Contoh : CTM

8. Obat maag

9. Parasetamol

10. Obat diare

11. Obat keracunan. Contoh : Norit

12. Oralit

13. Minyak kayu putih

14. Salep memar

15. Obat tetes mata

III.2. Peralatan Kelompok

Nama Peralatan Jumlah Keterangan

Dome Menyesuaikan Melindungi dari panas, dingin, hujan, dan badai.

Nesting Menyesuaikan Sebagai peralatan memasak. 1 set nesting per 4 orang.

Kompor Menyesuaikan Sebagai peralatan memasak. Dapat berupa kompor gas,


kompor parafin, atau kompor spiritus. Minimal 1 buah per 4 orang.
Bahan bakar Menyesuaikan Bahan bakar untuk memasak. Dapat berupa bahan bakar gas,

parafin atau spiritus. Gunakan minimal dua jenis bahan bakar

untuk mengantisipasi keadaan ketika salah satu bahan bakar

tidak dapat digunakan. Jumlah kebutuhan menyesuaikan

dengan banyaknya anggota tim dan lamanya waktu pendakian.

Misalnya untuk bahan bakar gas, kurang lebih 2 tabung gas

per 1 hari per 4 orang.

Parang 1 buah Digunakan untuk membersihkan jalur, menebas ranting,

dan memotong kayu.

Kotak P3K 1 set Sebagai peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan.

Perlengkapan navigasi Min. 2 set Digunakan untuk melakukan orientasi medan, menentukan
arah dan posisi.

Daftar isi kotak P3K kelompok :

Isi sama seperti kotak P3K pribadi, dengan tambahan :

1. Minimal 1 tabung untuk 3 orang.

2. Mitela (segitiga dan persegi panjang).

Daftar perlengkapan navigasi :

1. Peta kontur

2. Kompas

3. Protaktor

4. Altimeter (optional)
III.3. Peralatan Tambahan

III.3.1. Peralatan Tambahan untuk Ekspedisi

Dalam melakukan sebuah ekspedisi, realisasi dari sebuah perjalanan tidak selalu sejalan dengan rencana
perjalanan yang telah dibuat. Terkadang akan ditemui medan dan kondisi sulit, sehingga diperlukan
beberapa peralatan tambahan. Peralatan tambahan tersebut, yaitu :

III.3.1.1. Perlengkapan navigasi

Perlengkapan navigasi digunakan untuk melakukan orientasi medan, menentukan arah dan posisi.
Perlengkapan navigasi terdiri dari:

1. Peta kontur

2. Kompas

3. Protaktor

4. Altimeter (optional)

III.4. Teknis Pendakian

Teknis pendakian dibagi ke dalam dua bagian, yaitu

III.4.1. Persiapan Sebelum Pendakian

Sebelum melakukan pendakian, perlu dilakukan beberapa persiapan yang bertujuan untuk mendukung
pelaksanaan pendakian sehingga berjalan dengan lancar dan aman. Persiapan-persiapan tersebut yaitu

1. Pengumpulan data tentang medan yang akan dihadapi

Sebelum melakukan pendakian perlu diketahui data – data tentang medan yang akan dihadapi. Data-data
tersebut di antaranya status aktivitas gunung, keberadaan sumber air, suhu, kondisi jalur yang akan
digunakan, cuaca, lokasi yang aman untuk mendirikan tenda, dan kebudayaan masyarakat setempat.

2. Penentuan tujuan pendakian

Tujuan pendakian perlu ditentukan sebelumnya, apakah pendakian tersebut ditujukan untuk latihan,
wisata, SAR, ekspedisi, atau tujuan yang lainnya. Dengan menentukan tujuan perjalanan, maka dapat
ditentukan bagaimana persiapan fisik yang harus dilakukan, peralatan dan logistik yang harus
dipersiapkan, serta manajemen perjalanan yang akan dilakukan.

3. Persiapan fisik

Pendakian gunung termasuk ke dalam salah satu olaharaga berat yang menuntut fisik yang prima. Untuk
mendukung hal tersebut, maka diperlukan persiapan fisik yang memadai. Persiapan fisik yang baik akan
menunjang kelancaran kegiatan pendakian dan menghindarkan anggota pendakian dari cedera fisik.
Persiapan fisik tersebut dapat berupa jogging, push-up dan vertical running. Persiapan fisik ini dapat
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu dan medan yang akan ditempuh.

4. Persiapan mental

Mental adalah kondisi psikologis dari diri seseorang. Persiapan mental yang buruk sebelum melakukan
kegiatan gunung-hutan akan mengakibatkan terganggunya kelancaran kegiatan tersebut.

5. Persiapan peralatan dan logistik

Peralatan dan logistik yang akan dibawa dalam pendakian disesuaikan dengan tujuan dari pendakian
tersebut, medan yang akan dihadapi, dan lamanya waktu pendakian.

Setiap peserta kegiatan pendakian diharuskan untuk mengisi checklist peralatan pribadi, sedangkan
pemimpin kegiatan pendakian diharuskan untuk mengumpulkan serta menyimpan checklist perlengkapan
kelompok dan checklist perlengkapan pribadi seluruh peserta kegiatan pendakian. Checklist peralatan ini
akan menjadi kartu kontrol yang dapat digunakan oleh pemimpin kegiatan pendakian untuk mengecek
kelengkapan peralatan, mengevaluasi kesiapan anggota tim untuk melakukan survival dalam keadaan
terburuk, dan memperkirakan batas waktu anggota tim untuk bertahan dalam survival tersebut.

6. Rencana manajemen perjalanan

Untuk melakukan pendakian yang baik dan aman, maka diperlukan suatu perencanaan yang matang
tentang manajemen perjalanan yang akan digunakan. Manajemen perjalanan tersebut meliputi
pembagian tugas, manajemen logistik dan manajemen waktu.

Pembagian tugas terbagi ke dalam dua bagian, yaitu pembagian tugas ketika berjalan dan ketika
melakukan camping. Pembagian tugas ketika berjalan meliputi leader dan sweeper. Leader bertugas
untuk memimpin jalannya pendakian, menentukan arah berjalan, menjalankan fungsi time keeper, serta
menjadi pusat pengambilan keputusan. Sweeper bertugas untuk memastikan keutuhan komposisi tim
(baik dari segi jumlah dan posisi), memastikan kondisi seluruh anggota tim, dan berkoordinasi dengan
leader terkait dengan kondisi seluruh anggota tim tersebut. Sedangkan untuk pembagian tugas ketika
melakukan camping meliputi tugas mendirikan dome, memasak, mencari air, dan mencari kayu bakar.

7. Administrasi

Setiap daerah berada di bawah kendali suatu pihak, misalnya Pemda atau Perhutani, sehingga untuk
melakukan kegiatan gunung-hutan pada daerah tersebut diperlukan izin. Untuk keperluan mengurus izin
tersebut biasanya diperlukan beberapa syarat seperti fotokopi KTP, meterai, dan surat jalan dari
organisasi.
8. Mengisi lembar kendali operasional

Lembar kendali operasional berfungsi sebagai kartu kontrol bagi seluruh pengurus Gitapala terhadap
kegiatan gunung-hutan yang sedang berlangsung tersebut. Lembar kendali operasional diisi oleh
pemimpin kegiatan dan ditempelkan pada papan pengumuman Gitapala.

9. Melakukan briefing

Briefing dilakukan selambat-lambatnya satu hari sebelum hari pelaksanaan kegiatan gunung-hutan.
Briefing dipimpin oleh pemimpin kegiatan dan dihadiri oleh seluruh anggota tim kegiatan gunung-hutan
tersebut, Koordinator Divisi Gunung Hutan, Kepala Bidang Operasional, dan Ketua Umum Gitapala.

III.4.2. Pelaksanaan Pendakian

Dalam melaksanakan suatu pendakian, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan dan diperhatikan
yaitu

1. Melakukan aklimatisasi minimal selama satu jam.

Kegiatan ini ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi tubuh beradaptasi dengan kondisi di
ketinggian. Kondisi yang dimaksudkan tersebut di antaranya terkait dengan kondisi suhu, kelembaban
udara, dan tekanan udara.

2. Bergerak sesuai dengan kesepakatan komposisi tim.

Anggota tim yang dirasa kurang mempersiapkan fisik sehingga memiliki fisik yang lebih lemah diposisikan
di urutan depan pada barisan setelah leader. Leader diposisikan pada urutan paling depan dari barisan
dan sweeper di urutan paling belakang.

3. Leader dan sweeper sebaiknya laki-laki.

Laki-laki biasanya akan lebih tenang di dalam menghadapi kondisi sulit. Tetapi hal ini tidak menutup
kemungkinan untuk menunjuk perempuan sebagai leader atau sweeper apabila dirasa mampu untuk
melakukan tugas tersebut selama pendakian berlangsung.

 Anggota tim bergerak menurut komando dari leader.

 Leader memutuskan setiap pergerakan berdasarkan kondisi tim dan kondisi yang ada di medan.

 Sweeper memastikan keutuhan dan kondisi seluruh anggota tim selama di perjalanan dan
berkoordinasi dengan leader.

 Berjalan dengan kecepatan yang konsisten serta tidak terlalu cepat atau terlalu lambat.

 Memperhatikan langkah supaya tidak terlalu menghentak atau menyeret. Langkah kaki yang
menghentak atau menyeret justru akan membutuhkan energy ekstra. Oleh karena itu, tetap
berjalan dengan langkah kaki mantap namun tetap menapak ringan pada permukaan tanah.

 Tidak berlari ketika menemui jalan yang menurun


Berlari akan membutuhkan energy ekstra dibandingkan dengan berjalan. Selain itu, berlari memiliki
potensi bahaya kaki terkilir dan kaki tersandung batu atau akar pohon.

4. Apabila terpaksa untuk berhenti di daerah tanjakan, salah satu kaki diposisikan berada di depan
kaki yang lainnya dengan posisi lebih tinggi.

Posisi tersebut selain memberikan keseimbangan pada tubuh juga akan menghemat energy tubuh ketika
akan kembali melangkahkan kaki.

5. Memperhatikan jarak antar anggota tim.

Hal ini harus dilakukan dengan lebih intens terutama ketika melakukan pendakian pada malam hari
dan/atau kondisi berkabut.

6. Memperhatikan kondisi sekitar.

Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu pergerakan awan, pergerakan kabut, pergerakan angin, suhu,
keberadaan satwa dan fauna, serta kondisi jalur pendakian.

7. Saling memperhatikan kondisi antar anggota tim.

Memiliki rasa kebersamaan dan saling memiliki antar anggota pendakian akan sangat memberikan efek
yang positif bagi jalannya suatu pendakian. Oleh karena itu, mengecek secara berkala kondisi fisik dan
saling memberikan semangat antar anggota sangat penting untuk dilakukan.

 Disiplin terhadap waktu.

 Diusahakan untuk minum dalam jumlah secukupnya dan dalam interval waktu yang panjang.

 Bernafas menggunakan hidung. Ritme bernafas perlu diperhatikan agar tidak terlalu cepat dan
memburu.

 Waktu untuk istirahat tidak boleh terlalu lama, maksimal 5 menit. Waktu istirahat yang terlalu
lama akan memberikan kesempatan bagi tubuh untuk melemaskan kembali otot-otot tubuh dan
menormalkan denyut jantung, sehingga ketika akan melakukan perjalanan kembali tubuh akan
kaget dan memerlukan waktu lama untuk melakukan adaptasi kembali. Istirahat yang terlalu lama
biasanya akan memicu terjadinya kram otot pada kaki dan bahu.

 Tetap berdiri ketika istirahat.

Istirahat selama pendakian dapat dilakukan dengan tetap berdiri namun posisi badan membungkuk
membentuk huruf L atau juga dilakukan dengan bersandar pada batang pohon. Posisi istirahat dengan
membentuk huruf L akan membantu mengistirahatkan bahu karena bobot carrier untuk sementara waktu
dipindahkan ke punggung. Duduk ketika istirahat sangat tidak disarankan.

8. Memperhatikan penggunaan jaket.

Apabila selama berjalan menggunakan jaket, maka ketika beristirahat atau sudah tiba di tujuan, jaket
sebaiknya tidak langsung dilepas. Perubahan suhu yang mendadak akan memicu pada terjadinya
kehilangan panas tubuh (hypothermia).
BAB IV

BAHAYA, PENCEGAHAN BAHAYA, DAN PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DALAM


PENDAKIAN GUNUNG

Pendakian gunung adalah suatu kegiatan yang memiliki risiko tinggi. Bahaya, baik yang berasal dari
internal maupun eksternal dari diri pendaki, akan selalu ada dan apabila pendaki tidak memiliki
kemampuan yang cukup akan bahaya tersebut maka kegiatan pendakian gunung akan menjadi suatu
kegiatan yang dihindari.

IV.1. Bahaya dalam Pendakian Gunung

Apabila dikelompokkan, berbagai jenis bahaya dalam kegiatan gunung-hutan dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar, yaitu bahaya obyektif dan bahaya subyektif.

IV.1.1. Bahaya Obyektif

Bahaya obyektif merupakan segala bentuk bahaya dan potensi bahaya yang berasal dari alam dan segala
sesuatu yang berada di alam. Factor-faktor yang dapat menimbulkan bahaya obyektif di antaranya yaitu

1. Kondisi bentuk permukaan bumi

2. Bentuk-bentuk kehidupan

Bentuk kehidupan hewan mulai dari level mikroorganisme hingga binatang-binatang besar memiliki
potensi bahayanya masing-masing. Secara umum, potensi bahaya tersebut yaitu

 menimbulkan penyakit

 menularkan penyakit

 beracun bila menyengat, bersentuhan atau menggigit

 beracun bila dimakan

 berbahaya bila menyerang (terkait dengan ukuran hewan tersebut)

 sifat predator hewan tersebut

 mengeluarkan zat kimia yang membuat rasa tidak nyaman

Sedangkan untuk bentuk kehidupan tumbuhan, potensi bahaya yang dimiliki antara lain

 kerapatan vegetasi dapat menghambat pergerakan dan mencederai

 kerapatan vegetasi memperpendek jarak pandang dan keleluasaan dalam melakukan orientasi
medan
 memiliki duri-duri atau getah beracun yang dapat mencederai

 mengandung racun sehingga berbahaya bila dikonsumsi

1. Iklim dan cuaca

Potensi bahaya dari iklim mungkin masih dapat dihindari karena iklim merupakan karakter dari suatu
daerah yang pengulangannya selalu sama setiap tahunnya, sehingga tindakan preventif seharusnya sudah
dilakukan oleh pendaki sebelum melakukan kegiatan di daerah tersebut.

Tetapi cuaca adalah kondisi yang berkaitan dengan suhu udara, kelembaban, dan pergerakan udara yang
sifatnya selalu berubah sewaktu-waktu. Potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dari ketiga hal tersebut
yaitu

 Suhu udara tinggi dapat menyebabkan penyakit Heatstroke dan Sunstroke

 Suhu udara rendah dapat menyebabkan penyakit Hypothermia apabila kondisi tersebut
berkombinasi dengan pakaian yang basah dan pergerakan udara yang cukup cepat .

 Angin besar yang mampu mematahkan batang-batang pepohonan dan merusak dome.

 Curah hujan tinggi

 Badai

Semakin tinggi suatu tempat berarti tekanan udara semakin rendah dan kandungan oksigen pada udara
semakin tipis. Kondisi ini terkadang mampu menggagalkan system adapatasi tubuh, sehingga mampu
menimbulkan Mountain Sickness.

2. Besaran jarak dan waktu

Semakin panjang jarak dan lama waktu pendakian menuntut rencana perjalanan yang sangat matang.
Rencana perjalanan akan semakin rumit karena banyak hal harus dipertimbangkan dengan sebaik
mungkin. Semakin rumit suatu rencana perjalanan, maka akan semakin besar faktor kesalahan yang
terjadi. Faktor kesalahan inilah yang mampu menjadi potensi bahaya.

3. Gas beracun

Gunung yang masih aktif biasanya akan mengeluarkan gas beracun pada waktu-waktu tertentu dan pada
area-area tertentu pada gunung tersebut.

4. Kondisi sosial budaya

Kesalahan dalam menghargai adat-istiadat dan kepercayaan tertentu dari masyarakat setempat dapat
menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman ini akan memicu rasa tidak suka dan penolakan
terhadap kehadiran kita di lingkungan tersebut yang tidak jarang dapat menimbulkan potensi bahaya
tertentu.
IV.1.2. Bahaya Subyektif

Bahaya subyektif merupakan segala bentuk bahaya dan potensi bahaya yang berasal dari diri pendaki,
baik karena perilaku atau pengambilan keputusan yang salah sebelum maupun ketika pelaksanaan
kegiatan di gunung dan hutan. Faktor – faktor yang dapat menimbulkan bahaya subyektif di antaranya
yaitu

1. Kondisi fisik

Kegiatan gunung-hutan termasuk ke dalam olahraga berat yang menuntut kebugaran tubuh terutama
yang terkait dengan sistem peredaran darah, metabolisme tubuh, daya tahan tubuh, serta kemampuan
tubuh beradaptasi pada cuaca. Kegiatan gunung-hutan terkadang juga menciptakan siklus kehidupan baru
yang tidak teratur dan jauh berbeda dari siklus kehidupan yang biasanya kita jalani. Semua faktor tersebut
berpotensi menjadi potensi bahaya apabila kebugaran tubuh tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut.

2. Kondisi kemampuan teknis

Berkegiatan di gunung dan hutan menuntut keterampilan untuk dapat bergerak maupun beristirahat
dengan efektif dan efisien. Tidak mendukungnya kemampuan teknis pelaku kegiatan akan menimbulkan
sebentuk potensi bahaya tersendiri.

3. Kondisi kemampuan kemanusiaan (human skills)

Kemampuan yang dimaksud dalam konteks ini di antaranya adalah kemampuan mengambil keputusan,
kecermatan, pengendalian emosi, dan kestabilan mental. Kesalahan dalam pengelolaan kemampuan ini
akan dapat berkembang menjadi potensi bahaya.

IV.2. Pencegahan Bahaya dalam Pendakian Gunung

Tindakan pencegahan bahaya dalam pendakian gunung pada umumnya dapat diupayakan melalui hal-hal
berikut ini

 Melaksanakan semua poin yang tercantum dalam sub bab III.4.1. Persiapan Sebelum Pendakian

 Membekali diri dengan kemampuan teknis yang memadai

 Melaksanakan semua poin yang tercantum dalam sub bab III.4.2. Pelaksanaan Pendakian.

 Selalu berdoa dan waspada.


IV.3. Pertolongan Pertama pada Kecelakaan dalam Pendakian Gunung

Jenis Kecelakaan Tindakan Pertolongan Pertama

Perdarahan  Menekan pada tempat terjadinya perdarahan dengan menggunakan kain bersih

 Mengaplikasikan rivanol dan diikuti dengan povidone iodine pada tempat

terjadinya perdarahan setelah perdarahan selesai

 Menutup luka dengan menggunakan kasa steril dan perban

System pernafasan Resusitasi Jantung dan Paru


berhenti mendadak

Patah tulang (fraktur) Immobilisasi dengan pembidaian

Hypothermia  Melepaskan semua pakaian basah korban dan menggantinya dengan yang kering

 Memasukkan korban ke dalam sleeping bag dengan ditemani satu atau dua

orang lain di dalam sleeping bag tersebut

 Memberikan minuman hangat

 Terus mengajak berbicara korban

 Kondisikan agar korban dalam keadaan sehangat mungkin

Heatsroke  Mengurangi aktivitas

 Minum banyak air putih

 Mengurangi ketebalan pakaian

Keracunan  Menohok anak tekak untuk mengeluarkan sisa makanan yang masih terdapat

di lambung

 Minum teh pekat dan/atau susu

Tersengat lebah  Oleskan air bawang merah pada luka berkali-kali

 Tempelkan tanah basah/liat di atas luka


 Jangan dipijit-pijit
 Tempelkan pecahan genting panas di atas luka

Tergigit lintah  Teteskan air tembakau pada lintah

 Taburkan garam di atas dan sekitar lintah

 Teteskan sari jeruk mentah pada lintah

Kalajengking dan  Memijat daerah di sekitar luka sampai racun keluar


lipan
 Mengikat tubuh di sebelah pangkal yang digigit

 Menempelkan asam yang dilumatkan di atas luka

 Menaburkan garam di sekeliling bivak untuk pencegahan

Tergigit ular  Mengurangi pergerakan

 Membersihkan luka dan mengaplikasikan Torniquet

 Memberikan obat penawar bisa (bila ada)

 Mengusahakan agar korban selalu terjaga


 Membatasi aliran darah dari lokasi luka ke jantung dengan cara membebat.
BAB V

KESIMPULAN

Keselamatan pelaku kegiatan adalah prioritas utama dalam melakukan kegiatan di gunung dan hutan.
Oleh karena itu, penggunaan Standar Operasional Prosedur Divisi Gunung Hutan KAPAL BAJA sebagai
pedoman berkegiatan mutlak diperlukan dalam setiap kegiatan gunung dan hutan. Komitmen untuk terus
menggunakan pedoman tersebut dan menjaga keutuhan isinya dalam setiap pelaksanaan kegiatan perlu
dimiliki oleh setiap anggota KAPAL BAJA.
LAMPIRAN

LEMBAR KENDALI OPERASIONAL DIVISI GUNUNG HUTAN KAPAL BAJA

Nama Kegiatan Tanggal Pelaksanaan Kegiatan Lokasi Kegiatan Koordinator Kegiatan Anggota Pelaksana
Kegiatan No. Telepon yang Bisa Dihubungi Mengetahui,Koordinator Divisi Gunung Hutan

( )

Checklist Perlengkapan Kelompok

Nama kegiatan :

Tanggal pelaksanaan :

Checklist perlengkapan pribadi anggota ( )

Dome ( )

Nesting ( )

Kompor ( )

Bahan bakar (gas dan parafin) ( )

Kotak P3K ( )

Oxycan ( )

Perlengkapan tambahan lain :

……………………………………….. ( ) ……………………………………….. ( )

……………………………………….. ( ) ……………………………………….. ( )

……………………………………….. ( ) ……………………………………….. ( )

……………………………………….. ( ) ……………………………………….. ( )
DIVISI GUNUNG HUTAN KAPAL BAJA

Checklist Perlengkapan Pribadi

Nama kegiatan :

Tanggal pelaksanaan :

Carrier min.60 L ( ) Parang / pisau lipat ( )


Matras ( ) Webbing ( )

Trashbag ( ) Senter ( )

Survival kit ( ) Baterai cadangan ( )

Kotak P3K ( ) Bohlam cadangan ( )

Sleeping bag ( ) Peralatan makan ( )

Ponco ( ) Air minum ( )

Sepatu ( ) Mie instant ( )

Jaket waterproof ( ) Biskuit ( )

Pakaian ganti ( ) Coklat ( )

Kaos kaki ( ) Lilin ( )

Sarung tangan ( ) Logistiklain


(sebutkan) ( )

Anda mungkin juga menyukai