Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN

Disusun Oleh

AL IKHLAS
NIM: 0301173529

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah atas segala karunia yang senantiasa diberikan
kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah sederhana ini
dengan judul “Kewarganegaraan”. Shalawat dan salam pemakalah sampaikan
kepada Rosul pilihan junjungan kita Nabi Muhammad SAW pembawa rahmat
untuk alam semesta.
Dalam makalah ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan
dukungan baik moril maupun materil. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan
ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan masukan-
masukan dan informasi serta referensi, sehingga tersusunlah makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik dalam teknik penulisan maupun materi, maka saran dan kritik
yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan
selanjutnya. Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Medan, 07 Maret 2023


Pemakalah

Al Ikhlas
NIM: 0301173529

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................. 2
A. Konsep Kewarganegaraan .............................................
B. Negara, Agama Dan Warga Negara ..............................
C. Hak Asasi Manusia (HAM) ..........................................
D. Konsep Masyarakat Madani .......................................... 2
BAB III PENUTUP ........................................................................... 11
A. Kesimpulan ................................................................... 11
B. Saran.............................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan kewarganegaraan sangatlah penting untuk dipelajari oleh
semua kalangan. Oleh sebab itu, pendidikan Nasional Indonesia menjadikan
pendidikan kewarganegaraan sebagai pelajaran pokok dalam lima status. Pertama,
sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan
tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan
sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program
pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola
oleh Pemerintah sebagai sutuan crash program. Kelima, sebagai kerangka
konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait serta
kewarganegaraan merupakan hal yang sangat penting di dalam suatu negara.
Tanpa status kewarganegaraan seorang warga negara tidak akan diakui oleh
sebuah negara.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang masalah kewarganegaraan, agar
warga negara Indonesia paham dan mengerti apa itu kewarganegaraan dan hal-hal
yang terkait di dalamnya, seperti bagaimana hubungan antara negara, agama dan
warga negara, hak asasi manusia (warga negara) dalam suatu negara, dan juga
bagaimana konsep ideal dari masyarakat (warga negara) madani. Hal ini
disebabkan karena di era sekarang ini banyak warga negara yang tidak
mengetahui dan memahami tentang kewarganegaraan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penulisan makalah ini adalah, yaitu:
1. Bagaimana konsep kewarganegaraan?
2. Bagaimana hubungan antara negara, agama dan warga negara?
3. Bagaimana konsep Hak Asasi Manusia (HAM)?
4. Bagaimana konsep masyarakat madani?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Kewarganegaraan
Dalam pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga
negara merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap
negaranya. Dalam sistem kewarganegaraan di Indonesia, kedudukan warga negara
pada dasarnya adalah sebagai pilar terwujudnya Negara. Sebagai sebuah negara
yang berdaulat dan merdeka Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dengan
negara lain di dunia, pada dasarnya kedudukan warga negara bagi negara
Indonesia diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang
kewarganegaraan, yaitu:
1. UUD 1945
Dalam konteks UUD 1945, Kedudukan warga negara dan penduduk diatur
dalam pasal 26 yaitu :
a. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang warga Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga
negara.
b. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang tinggal
di Indonesia.
c. Hal-hal mengenai warga negara penduduk di atur dengan UU.
2. UU No. 3 tahun 1946
Undang-undang No.3 ialah tentang warga negara dan penduduk negara
adalah peraturan derivasi dibawah dibawah UU 1945 yang digunakan
untuk menegakan kedudukan Negara RI dengan warga negaranya dan
kedudukan penduduk negara RI.
3. U No. 62 tahun 1958
UU No.62 tahun 1958 merupakan penyempurnaan dari UU tentang
kewarga negaraan yang terdahulu. UU No. 62 tahun 1958 tenang
kewarganegaraan RI merupakan produk hukum derivasi dari pasal 5 dan
144 UUD RI 1950 yang sampai saat ini masih berlaku dan tetap digunakan
sebagai sumber hakum yang mengatur masalah kewarganegaraan di

2
Indonesia setelah kurang lebih 48 tahun berlaku, dan saat ini dinilai sudah
tidak sesuai lagi. Pernasalahan kewarganegaraan yang semakin kompleks
ternyata tidak mampu ditampung oleh undang-undang ini.
4. UU No.12 tahun 2006
Undang-undang Kewarganegaraan ini memuat beberapa subtansi dasar
yang lebih revolusioner dan aspiratif, seperti :
a. Siapa yang mnjadi warga negara Indonesia
b. Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
c. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
d. Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan Republik
Indonesia
e. Ketentuan pidana
Menurut UU No. 12 Tahun 2006 yang dimaksud dengan warga negara
Indonesia ialah:
1. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain
sebelum undang-undang ini berlaku sesudah menjadi warga negara
Indonesia.
2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
warga negara Indonesia.
3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
Indonesia dan ibu warga negara asing.
4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
asing dan ibu warga negara Indonesia.
Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya.
Hak dan kewajiban tersebut harus berjalan seimbang. Dengan adanya keserasian
dan keselarasan dalam menjalankan hak dan kewajiban akan tercipta suasana yang
harmonis. Di dalam UUD 1945 telah dijelaskan apa saja yang menjadi hak dari
warga Negara, diantaranya yaitu:
1. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
(pasal 27 ayat 2).

3
2. Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
(pasal 28A).
3. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
4. Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan Berkembang” (pasal 28B ayat 2).
5. Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi
kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
6. Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C
ayat 2).
7. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1).
8. Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal
28I ayat 1).
Sedangkan kewajiban warga negara dapat dikelompokkan menjadi
kewajiban terhadap negara, kewajiban terhadap sesama, dan kewajiban terhadap
diri sendiri. Setiap warga negara Indonesia wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan yang diatur dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1. Adapun kewajiban
warga negara adalah sebagai berikut:
1. Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
berbunyi :segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.

4
2. Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD
1945 menyatakan : setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara”.
3. Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1
mengatakan : Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain
4. Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.”
5. Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30
ayat (1) UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”

B. Negara, Agama dan Warga Negara


Negara dalam bahasa Inggris, yakni state. Sedangkan staat dalam bahasa
Belanda dan Jerman. negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu
kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam
kawasan, dan memunyai peerintah yang berdaulat. Tujuan negara, antara lain
untuk memperluas kekuasaan, menyelenggarakan ketertiban hukum, dan untuk
mencapai kesejahteraan umum. Unsur-unsur negara, yaitu rakyat, wilayah,
pemerintah, dan pengakuan dari negara lain. Ada beberapa teori terbentuknya
negara dan tiga yang paling populer, yaitu teori kontrak sosial, teori ketuhanan,
dan teori kekuatan.
Sebuah negara tentu di dalamnya terdapat warga negara yang bernaung di
dalamnya. Menurut UUKI 2006, yang dimaksud dengan warga negara adalah
warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-udangan.
Negara harus menjaga hak-hak warga negaranya, dan menyediakan fasilitas-
fasilitas publik yang berfungsi sebagai wadah untuk mengontrol negara. Negara
pula memiliki hubungan dengan agama. Negaralah yang menjadi wadah bagi

5
tumbuhnya agama. Hubungan agama khususnya Islam dan negara modern secara
teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga pandangan, yakni integralistik,
simbiotik, dan sekularistik.
Dalam hubungannya antara negara dengan warga negara sangat erat
kaitannya. Warga negaralah yang berperan penting dalam menjaga keutuhan
sebuah negara. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim terbesar di
dunia. Umat muslim di Indonesia tentu harus cerdas menjadi tonggak kerukunan
antarumat beragama. Kemajemukan warga negara Indonesia dalam hal agama,
suku, ras, dan antargolongan sering menjadi pokok masalah terjadinya konflik
yang dapat berdampak pada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
disingkat NKRI.
Negara Indonesia yang dibangun bersama-sama oleh tokoh-tokoh
nasionalis dengan tokoh-tokoh muslim Indonesia pada masa perjuangan menjadi
acuan bahwa dalam membangun negara ini tokoh mulim tidak serta-merta
menjadikan bangsa ini menjadi negara Islam sepenuhnya. Perlu melihat pluralitas
yang ada di Indonesia sehingga menjadi landasan ijtihad para tokoh muslim
bersama founding fahers tidak menjadikan Indonesia negara muslim. Akan tetapi,
terlihat semangat menjaga kerukunan antarumat juga suku dan menjaga keutuhan
NKRI mulai terlupakan oleh penerus bangsa ini. Banyak warga negara yang di
berbagai daerah di Indonesia menjadi pemicu konflik. Masalahya mulai dari
masalah agama ataupun suku. Sebenarnya konflik seerti ini dapat dihindari
dengan menjunjung tinggi kebhinekaan serta tetap menjaga semangat demokrasi.
Sebagai warga negara yang baik, kita harus mencontoh para pendiri
bangsa ini yang berusaha memersatukan bangsa ini. Agama dalam hal ini turut
mengambil peran. Agama dapat menjadi penyeimbang dari kemajemukan negara
ini. Pesan-pesan moral dan kebaikan dalam agama dapat menjadi “doktrin” yang
baik untuk masing-masing penganutnya sehingga terciptalah kerukunan, bukan
saja kerukunan dalam ruang lingkup sempit, namun bisa dalam ruang lingkup
yang lebih luas. Insya Allah, dengan begitu tidak ada lagi konflik berkepanjangan
yang terjadi sehingga kerukunan serta keutuhan NKRI dapat dijaga melalui agama
serta peran dari warga neagara itu sendiri.

6
C. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada diri
manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan
yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau
negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM
ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi
keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan
antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.1
John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.
Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan
manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam
kehidupan manusia.2
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39
tahun 1999 dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang paling
hakiki yang dimiliki oleh manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun,
oleh karena itu terhadap hak asasi manusia negara sebagai pelindung warganya
diharapkan dapat mengakomodir kepentingan dan hak dari warga negaranya
3
tersebut.
Perjuangan menegakkan hak asas manusia pada hakikatnya merupakan
bagian dari tuntutan sejarah dan budaya dunia, temasuk Indonesia. Karena itu
memperjuangkan HAM sama dengan memperjuangkan budaya bangsa atau
“membudayakan” bangsa, antara manusia dan kemanusian seluruh dunia sama
dan satu. Sebenarnya kekuatan besar bagi tegaknya HAM terletak pada integritas
hukum, semakin baik hukum suatu negara, maka akan semakin baik pula
penegakan HAM. Begitu sebaliknya, bila hukum masih limbung dan tidak tegas
dalam mengurusi pelanggaran yang terjadi, akan semakin subur pelanggaran
terhadap HAM. Melihat integritas hukum Indonesia yang kian terpuruk, rasanya

1
Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta : Prenada Media. hal. 201.
2
Masyhur Effendi. 1994. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional. Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 3.
3
Pasal 1 ayat (1) “Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

7
masih sulit berharap tidak ada pelanggaran HAM. Tetapi masih ada sisa-sisa
cahaya benderang, jika masyarakat masih bertekad untuk menempatkan manusia
secara setara, memberikan kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya.
Kenyataan mengenai masih seringnya pelanggaran HAM menyisakan
banyak tanda tanya karena pergantian rezim Orde Baru ke rezim reformasi telah
membuka sekat-sekat pembebasan dan kesetaraan setiap masyarakat di hadapan
hukum dan negara. Namun, kenapa dengan kebebasan dan kesetaran itu,
pelanggran HAM masih sering terjadi. Ada beberapa persoalan yang sebenarnya
sangat berpengaruh sekali terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. Seperti yang
saya sebutkan di atas, pertama terkait dengan integritas hukum. Keterpurukan
hukum yang ada di Indonesia telah memberikan ruang gerak pelanggaran HAM
yang lebih besar. Karena sebenarnya kunci dari tegaknya HAM terletak pada
integritas hukum.
Lawrence Meir Friedmann menyebutkan keterpurukan hukum di Indonesia
dipengaruhi oleh struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal
culture). Ketiga komponen ini yang juga mengahambat tegaknya HAM di
Indonesia. Struktur yang dimaksud adalah bagian institusi yang mengurusi
penegakan hukum di Indonesia, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Sekarang para penegak hukum kita belum bisa bekerja secara maksimal sehingga
memungkinkan pelanggaran yang semakin banyak. Apalagi hukuman yang ada
tidak menjerakan.
Subtansi hukum, menyangkut hasil perundang-undangan yang terbentuk
sebagai aturan hukum, yang kadang kala mengabaikan keadilan dan kebenaran
karena bentuk hukumnya hanya mengacu kepada kitab undang-undang (law
books), mestinya selain mengacu kepada kitab undang-undang harus mencakup
pula pada hukum yang hidup (living law) sehingga putusan hakim benar-benar
sesuai dengan bentuk pelanggaran yang dilakukannya. Kultur hukum merupakan
suasana realitas di masyarakat mengenai bagaimana hukum dihindari, digunakan,
atau disalahgunakan. Artinya yang dimasud dengan kultur hukum, kebiasaan
masyarakat yang kurang impelementatif terhadap aturan hukum sehingga masih
sering terjadi pelanggaran-pelanggaran.

8
Selain penegakan hukum, problem HAM di Indonesia juka dipengaruhi
situasi politik, sosial, dan ekonomi. Keberadaan lingkungan sangat berpengaruh
sekali bagi perilaku seseorang. Begitu pula dalam pelanggaran HAM. Situasi
politik yang semrawut kian memberikan ruang gerak kepada masyarakat
melakukan tindakan kekerasan dan atau pemaksaan kepada orang lain atau pada
lawan politiknya sehingga bisa memicu konflik yang bisa mengakibatkan
pelanggaran HAM. Situasi sosial masyarakat dapat pula mendorong terjadinya
pelanggaran HAM, misalnya beberapa bulan lalu bentrok antarsuku di Papua.
Akibat situasi sosial yang tidak kondusif mendorong seseorang melakukan
perkelahian atau bahkan pembunuhan. Termasuk pula misalnya, terorisme,
pelanggaran semacam ini sebenarnya berawal dari kondisi sosial yang tidak baik,
kemudian dilarikan ke persoalan agama atau jihad.
Begitu pun kondisi ekonomi, sangat berpengaruh sekali bagi pelanggaran
HAM. Maraknya perampokan, pencurian, trafficking, yang kadang berujung pada
pembunuhan, erat kaitannya dengan impitan ekonomi masyarakat sehingga
kriminalitas banyak terjadi. Kunci penyesalan dari semua persoalan HAM di
Indonesia ada dua. Pertama, terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana amanat Pancasila dengan realisasi kesejahteraan hidup
masyarakat di semua bidang. Kedua, integritas hukum yang berkeadilan dan tanpa
pandang bulu. Jika kedua kunci ini terpenuhi, tidak mungkin akan terjadi
pelanggarah HAM di Indonesia.4

D. Konsep Masyarakat Madani


Masyarakat madani (Civil Society) adalah sebuah konsep dalam bentuk
masyarakat yang sering di perbincangkan hingga saat ini. Makna dan arti dari civil
society sendiri bermacam-macam dan bervariasi. Civil society dalam bahasa
Indonesia mengandung banyak istilah dimana istilah yang satu dengan lainnya
hampir sama. Istilah-istilah tersebut dicetuskan oleh orang-orang yang berbeda
seperti Masyarakat Sipil (Mansour Fakih), Masyarakat Kewargaan (Franz

4
Hodariyatus Sofia, 2011. Problem HAM di Indonesia. Dikutip dari
https://gagasanhukum.wordpress.com/2011/12/22/problem-ham-di-indonesia/, diakses pada
tanggal 11 Maret 2023.

9
Magnis Suseno dan M. Ryaas Rasyid), Masyarakat Madani (Anwar Ibrahim,
Nurcholis Madjid, dan M. Dawam Rahardjo)5
Sedangkan dalam bahasa asing, civil society disebutkan ke dalam beberapa
istilah seperti Koinonia Politike (Aristoteles), Societas Civilis (Cicero), Comonitas
Politica, dan Societe Civile (Tocquivile), Civitas Etat (Adam Ferguson). Konsep
civil society ini merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang.
Konsep masyarakat madani atau civil society ini merupakan bangunan yang lahir
dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat.6 Yakni muncul bersamaan dengan
proses modernisasi, terutama pada saat adanya transformasi dari masyarakat
feodal menuju masyarakat modern.
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses
penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama.
Dawam menjelaskan, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan
integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri
dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam
suatu persaudaraan.7 Masyarakat Madani pada prinsipnya memiliki multimakna,
yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas,
transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten
memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral,
mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah
masyarakat yang demokratis.8 Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial
yang akan melindungi warga negara dari perwujudan kekuasaan negara yang
berlebihan. Bahkan Masyarakat madani tiang utama kehidupan politik yang
demokratis. Sebab masyarakat madani tidak saja melindungi warga negara dalam
berhadapan dengan negara, tetapi juga merumuskan dan menyuarakan aspirasi
masyarakat.9

5
Mochamad Parmudi. 2015. Kebangkitan Civil Society Di Indonesia. Fisip UIN
Walisongo. Jurnal at-Taqaddum, Volume 7, Nomor 2, November 2015. hal. 298 .
6
Suwarni, 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Arya Duta. hal. 55.
7
Komaruddin Hidayat dan Azyumari Azra. 2006. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani.Jakarta : ICCE UIN Hidayatullah Jakarta dan The Asia Foundation, hal. 302.
8
H.A.R Tilaar. 2002. Pendidikan, Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation,
hal. 5.
9
M. Dawan Rahardjo. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES. hal. xxiii.

10
Sementara itu, Nurcholis Madjid menekankan istilah Civil society sebagai
masyarakat madani yang berasal dari kata madinah, dalam istilah yang modern
mengarah pada semangat dan pengertian Civil society yang berarti masyarakat
yang memiliki sopan santun, beradab, dan teratur yang terbentuk dalam negara
yang baik. Di dalam negara ini terdapat kedaulatan rakyat sebagai prinsip
kemanusiaan dan musyawarah, terdapat partisipasi aktif dari masyarakat dalam
proses menentukan kehidupan bersama di bidang politik.
Dapat dikatakan bahwa civil society merupakan suatu ruang (space) yang
terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain, dan di dalam
ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan
terbangun sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi tersebut. Oleh karena itu,
civil society merupakan suatu bentuk hubungan antara negara dengan sejumlah
kelompok sosial dan gerakan sosial yang ada dan bersifat independen terhadap
Negara.
Secara umum ciri-ciri yang dimiliki oleh civil society yaitu seperti hidup
mandiri, memiliki rasa toleransi yang tinggi, berpartisipasi aktif dalam segala
pembentukan kebijakan publik, bekerja sama secara sukarela, menjunjung tinggi
nilia-nilai keadilan dan kejujuran, mengakui dan menghargai perbedaan, memiliki
integritas nasional yang kokoh, menjunjung tinggi HAM dan supremasi hukum
serta terbuka dan transparan. Dari keseluruhan ciri-ciri tersebut, setidaknya
terdapat lima point penting dalam civil society, yaitu sebagai berikut:
1. Partisipasi rakyat. Rakyat dalam sebuah masyarakat madani tidak
bergantung secara penuh terhadap negara, tetapi ia berupaya untuk
meningkatkan kualitas hidup dan dirinya secara mandiri.
2. Otonom. Masyarakat sipil atau masyarakat madani diartikan sebagai
masyarakat yang berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri, selalu
mengembangkan daya kreatifitas untuk memperoleh kebahagiaan dan
memenuhi tuntutan hidup secara bebas dan mandiri, dengan tetap mengacu
pada perundangan dan hukum yang berlaku.
3. Tidak bebas nilai. Masyarakat madani sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan agar hal-hal yang dikerjakan selalu berada dalam jalur

11
kebajikan dan menghasilan dampak positif yang dirinya (masyarakat)
secara umum.
4. Menjunjung tinggi rasa saling menghargai, menghormati, dan menerima
segala bentuk perbedaan sehingga dalam kedamaian sosial yang dibangun
terpancar keindahan ragam perbedaan yang memperkaya budaya dan
menjadi nilai lebih yang positif. Masyarakat madani harus meletakkan
permasalahan di atas perbedaan sehingga tidak ditemui pertikaian antar
kelompok yang berbau SARA.
5. Terwujudnya dalam badan organisasi yang rapi dan modern dalam upaya
penciptaan hubungan stabil antar elemen masyarakat.
Adapun ciri dari masyarakat sipil sebagai sebuah komunitas yaitu selalu
memposisikan dirinya di atas keluarga dan dibawah negara. Bentuk lain dari
masyarakat sipil dapat kita lihat ke dalam kelompok-kelompok kecil dalam
masyarakat yang disebut dengan organisasi masyarakat sipil (ormas) atau juga
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Organisasi-organisasi tersebut memiliki ciri
antara lain : mandiri dalam hal pendanaan (tidak bergantung kepada negara),
swadaya dalam kegiatannya dengan memanfaatkan berbagai sumber daya di
lingkungannya, bersifat memberdayakan masyarakat dan bergerak di bidang
sosial, tidak terlibat dalam persaingan politik untuk merebut kekuasaan, bersifat
inklusif (melengkapi beragam kelompok) dan menghargai keragaman.
Demi mencapai tegaknya masyarakat madani, Nurcholish menekankan
pentingnya sekali dengan menegakkan hukum. Sebab hukum dan keadilan tidak
hanya pada komitmen-komitmen pribadi. Komitmen pribadi, yang menyatakan
diri dalam bentuk “itikad baik”, memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral
dan etika dalam bermasyarakat.10 Oleh sebab itu, iktikad yang baik saja tidak
cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Iktikad baik yang merupakan
buah keimanan itu mesti diterjemahkan menjadi tindakan-tindakan baik yang
nyata dalam hidup bermasyarakat, berupa “amal salih”, yang secara takrif adalah
tindakan yang membawa kebaikan untuk sesama manusia.11

10
Nurcholish Majid. 1999. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina,
hal. 174.
11
Ibid, Nurcholish 1999, hal 175.

12
Itulah pentingnya ajaran agama diturunkan Allah untuk kepentingan
manusia. Dengan bimbingan agama diharapkan manusia mendapat pegangan yang
pasti dan benar dalam menjalani hidup dan membangun peradabannya. Sebab
manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama adalah jalan, dan bukan
tujuan. Dengan bimbingan agama, manusia berjalan mendekati Allah dan
mengharapkan keridaan-Nya melalui amal baik yang berdimensi vertikal (ritual
keagamaan) dan horizontal (pengabdian masyarakat).12
Karena agama telah dan masih terus menjadi faktor penting dalam
membentuk identitas manusia sebagai sosok individual dan kelompok. Adalah
tugas kita untuk menemukan jalan bagaimana memanfaatkan potensi positif
agama guna memotivasi para penganutnya untuk berupaya mewujudkan
kedamaian, keadilan, dan toleransi dalam kehidupan keseharian.13 Berpegang
dengan dasar pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu kita harus
memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena
itu setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat dan didengar. Sebab
dari hal ini, menurut Nurcholish, sikap rendah hati timbul. Dan keterbukaan
adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan
mendengar pendapat orang lain untuk mengambil dan mengikuti mana yang
terbaik.14
Itulah masyarkat demokratis yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis
dan moral berasaskan Ketuhanan Yang Mahaesa. Masyarakat demokratis tidak
mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani, civil society.
Berada di lubuk hati paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa
madanīyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Dari keadaban, Nurcholish
menjelaskan bahwa lahir sikap yang tulus menghargai sesama manusia, betapapun
seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok
sendiri. Bahkan bagi Nurcholish, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur,
seperti toleransi dan pluralisme adalah kelanjutan dari keadaban itu sendiri.15

12
Komarudin Hidayat, 2008. The Wisdom Of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan
Agama. Jakarta: Kompas, hal. 3.
13
Alwi Shihab, 2012. Membangun Jembatan Melalui Dialog Antaragama dalam Bernard
Adeney-Risakotta, ed., Mengelola Keragaman di Indonesia, Bandung: Mizan, hal. 169.
14
Op.Cit, Nurcholish 1999, hal 178.
15
Ibid, Nurcholish 1999, hal 179.

13
Kendati demikian, Nurcholish memperhatikan salah satu tema agama yang
paling banyak dikemukakan oleh para penceramah, ulama dan khatib-khatib,
yakni tentang persaudaran antara sesama kaum beriman, atau lebih akrab dengan
istilah Ukhūwah Islāmīyah.16 Dan masih dapat dikatakan relevan dan sejalur untuk
menegakkan masyarakat madani. Nurcholish menilai bahwa dari sudut pandang
ajaran keagamaan, persaudaraan berdasarkan iman adalah sangat sentral, dan tentu
tepat sekali jika dipercaya sebagai solusi ampuh bagi berbagai persoalan yang
dihadapi oleh umat manusia. Namun, Nurcholish berpandangan, salah satu fitrah
Allah yang perennial adalah bahwa manusia akan tetap selalu berbeda-beda
sepanjang masa. Tidak mungkin umat manusia adalah satu dan sama dalam segala
hal sepanjang masa. Pluralitas tidak saja mengajarkan adanya sikap bersedia
mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi mengandung makna kesediaan
berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling
menghormati.17

16
Nurcholish. 2010. Masyarakat Religius. Jakarta: Dian Rakyat, hal 23.
17
Ibid, Nurcholish, hal 25

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kewarganegaraan merupakan hal penting yang harus diketahui
oleh setiap warga negara. Hal ini dikarenakan bahwa dengan pemahaman
kewarganegaraan yang baik maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan
menjadi baik dan jelas pula. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab
terhadap masyarakat, bangsa dan negara hendaknya berusaha untuk meningkatkan
pengamalan prinsip serta nilai-nilai luhur bangsa terutama memahami manusia
yang pada dasarnya memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai mahluk
ciptaan Tuhan, agar tercipta suatu keadilan dalam kehidupan bernegara. Negara
juga harus memastikan, setiap warga negara dapat terpenuhi hak-hak dasarnya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

B. Saran
Pembahasan tentang kewarganegaraan ini bukanlah pembahasan singkat
yang akan selesai dalam sekali duduk. Masih ada banyak lagi yang belum
dibicarakan disini. Untuk itu, diharapkan kita mau mencari sumber-sumber lain
diluar sana untuk menambah pengetahuan kita dalam segala aspeknya yang belum
terjelaskan dalam makalah ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Alwi Shihab, 2012. Membangun Jembatan Melalui Dialog Antaragama dalam


Bernard Adeney-Risakotta, ed., Mengelola Keragaman di Indonesia,
Bandung: Mizan
H.A.R Tilaar. 2002. Pendidikan, Kebudayaan Dan Masyarakat Madani
Indonesia. Bandung : PT Remaja Rosdakarya dengan Yayasan Adikarya
IKAPI dan The Ford Foundation, hal. 5.
Hodariyatus Sofia, 2011. Problem HAM di Indonesia. Dikutip dari
https://gagasanhukum.wordpress.com/2011/12/22/problem-ham-di-
indonesia/, diakses pada tanggal 11 Maret 2023
Komaruddin Hidayat dan Azyumari Azra. 2006. Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani.Jakarta : ICCE UIN Hidayatullah Jakarta dan The
Asia Foundation, hal. 302.
Komarudin Hidayat, 2008. The Wisdom Of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup
dan Agama. Jakarta: Kompas
M. Dawan Rahardjo. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES. hal. xxiii.
Masyhur Effendi. 1994. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional. Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 3.
Mochamad Parmudi. 2015. Kebangkitan Civil Society Di Indonesia. Fisip UIN
Walisongo. Jurnal at-Taqaddum, Volume 7, Nomor 2, November 2015.
hal. 298 .
Nurcholish Majid. 1999. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta:
Paramadina
Nurcholish Majid. 2010. Masyarakat Religius. Jakarta: Dian Rakyat
Suwarni, 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Arya Duta. hal. 55.
Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, Jakarta : Prenada Media. hal. 201.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

16

Anda mungkin juga menyukai