Anda di halaman 1dari 44

19

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Definisi Kualitas

Tinggi dan rendahnya kualitas suatu produk yang dihasilkan oleh suatu

perusahaan yang berhubungan langsung dengan kepuasan dan kepercayaan

konsumen. Kualitas merupakan hal utama yang mempengaruhi pertimbangan

konsumen dalam membeli suatu produk. Singkatnya kualitas merupakan faktor

kunci dalam menentukan pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup

suatu perusahaan, khususnya pada era sekarang ini.

Definisi kualitas sangatlah bervariasi, menurut para pakar dibidang

kualitas, kualitas didefinisikan sebagai berikut1 :

♦ Menurut Vincent Gasperz

Kualitas adalah sebagai konsistensi peningkatan dan penurunan variasi

karakteristik produk, agar dapat memenuhi spesifikasi dan kebutuhan, guna

meningkatkan kepuasan pelanggan internal maupun external.

♦ Menurut Juran

Kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan dan manfaatnya

♦ Menurut Deming

Kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan di

masa mendatang

1
Pengendalian Kualitas Statistik, (Dorothea Wahyu A, 3)
20

♦ Menurut Feigenbaum

Kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa meliputi

marketing, engineering, manufacture, dan maintanance, dalam mana produk

dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan

harapan pelanggan.

2.1.2 Definisi Data Statistik

Data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif maupun

kuantitatif yang dipergunakan sebagai petunjuk untuk bertindak. Berdasarkan

data, kita mempelajari fakta-fakta yang ada dan kemudian mengambil tindakan

yang tepat berdasarkan pada fakta itu. Dalam konteks pengendalian proses

statistikal dikenal dua jenis data, yaitu :

• Data Atribut (Attributes Data), yaitu data kualitatif yang dapat dihitung untuk

pencatatan dan analisis. Contoh dari data atribut karakteristik kualitas adalah :

ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku

tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk

kayu lapis yang cacat karena corelap, dll. Data atribut biasanya diperoleh

dalam bentuk unit-unit nonkonformans atau ketidaksesuaian dengan

spesifikasi atribut yang ditetapkan.

• Data Variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur untuk

keperluan analisis. Contoh dari data variabel karakteristik kualitas adalah :

diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong,

banyaknya kertas setiap rim, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-
21

ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume biasanya merupakan

data variabel.

Dalam pengendalian proses statistikal untuk meningkatkan kualitas,

pengumpulan data bertujuan untuk :

1. Memantau dan mengendalikan proses

2. Menganalisis hal-hal yang tidak sesuai (non-conformance).

3. Inspeksi.

Dalam kegiatan pengumpulan data perlu diperhatikan beberapa hal

berikut:

1. Definisikan tujuan pengumpulan data secara jelas.

2. Identifikasi jenis data (variabel atau atribut) yang akan dikumpulkan.

3. Gunakan akat ukur yang dapat diandalkan untuk menjamin keandalan

pengukuran.

4. Tentukan cara yang tepat untuk mencatat data. Data asli harus dicatat secara

jelas., misalnya : waktu pencatatan, asal data, nama pencatat data, dll.

5. Buatlah formulir pencatatan data yang memudahkan untuk penggunaan

selanjutnya.

2.1.3 Jenis Peta Kendali

Peta kontrol data variabel adalah data yang diukur untuk keperluan

analisis. Adapun peta kontrol yang digunakan untuk jenis data ini adalah sebagai

berikut:
22

1. Peta kontrol X-Bar dan R( Statistical Process Control) 2

Kedua peta ini digunakan untuk memantau proses yang mempunyai

karakteristik dimensi kontinu, sehingga peta kontrol X-Bar dan R sering

disebut sebagai peta kontrol untuk data variabel. Peta X-Bar menjelaskan

apakah perubahan – perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (control

tendency) atau rata – rata dari suatu proses. Peta R menjelaskan perubahan –

perubahan telah terjadi dalam ukuran variasi, dengan demikian berkaitan

dengan perubahan homogenitas produk yang dihasolkan melalui suatu proses.

2. Peta kontrol X dan MR (Moving Range)

Pembuatan peta ini diterapkan proses yang menghasilkan output relative

homogen, misalnya cairan kimia, kandungan mineral dalam air, makanan, dan

sebagainya. Demikian pula dengan kasus – kasus dimana inspeksi 100%

digunakan untuk proses produksi yang sangat lama.

3. Peta kendali P Statistical Process Control

Digunakan untuk mengendalikan proporsi dari item-item yang tidak

memenuhi syarat spesifikasi yang ditetapkan yang berarti yang dikategorikan

cacat.untuk itu definisi operasional secara tepat tentang apa yang dimaksud

ketidaksesuaianc/apa yang dimaksud ketidaksesuaian /cacat sangatlah penting

dan harus dipahami oleh setiap pengguna pete pengendali P.adapun langkah-

langkah pembuatan peta kendali P ( Proporsi unit yang cacat )adalah sebagai

berikut :

2
Statistical Process Control : Managemen Bisnis Total, (Gaspersz, 112)
23

1. Menentukan ukuran contoh yang cukup besar dan mengumpulkannya.

2. Menghitung nilai proporsi cacat

p =
∑ Unit Cacat
∑ Inspeksi
3. Menghitung nilai simpangan baku

Rumus simpangan baku (Sp) :

{p − bar (1 − p − bar )}
Sp =
ni

0,0282 (1 − 0,0282 )
Sp =
ni

Rumus simpangan baku dalam persentase (Sp, %)

Sp =
{p − bar (100 − p − bar )}
ni

0,0282 (100 − 0,0282 )


Sp =
ni

Dimana ni = jumlah unit yang diinspeksi = jumlah unit yang diproduksi

4. Menghitung batas kontrol 3-sigma

Σcacat
p = CL =
ΣJumlahPr oduksi

p (1 − p)
UCL = p + 3
ni

p (1 − p)
LCL = p − 3
ni
24

2.1.3.1 Variasi

Variasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk atau proses itu
sendiri. Variasi sendiri merupakan indikator dari pada inkonsistensi proses,
yang menyebabkan banyak produk (output) yang tidak sama. Variasi dapat
diukur dengan metode statistik dan di seringkali disebut standar deviasi-σ-
merupakan tingkat penyimpangan pada proses yang diketahui dalam satu
populasi. Variasi jelas merupakan musuh utama dalam usaha-usaha untuk dapat
meningkatkan kinerja proses dan kualitas produk. Menurut Gaspersz3, variasi
adalah ketidakseragaman dalam sistem produksi atau operasional sehingga
menimbulkan perbedaan dalam kualitas dalam output pada output (barang/jasa)
yang dihasilkan.
Untuk lebih jelasnya kedua jenis variasi tersebut dijabarkan sebagai
berikut :
♦ Penyebab Khusus Variasi (special causes variation)

Variasi penyebab khusus merupakan kejadian-kejadian diluar sistem yang


mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus dapat bersumber
dari manusia, peralatan, material, lingkungan, metode kerja, dan lain-lain.
Penyebab khusus ini mengambil pola non acak (non random patterns)
sehingga dapat diidentifikasikan/ditemukan. Sebab mereka tidak selalu
aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses
sehingga menimbulkan variasi. Dalam konteks pengendalian proses
statistical menggunakan peta-peta kendali, jenis variasi ini sering ditandai
dengan titik-titik pengamatan yang melewati atau keluar dati batas-batas
pengendalian yang didefinisikan.

3
Statistical Process Control : Managemen Bisnis Total, (Gaspersz, 28-29)
25

♦ Penyebab Umum Variasi (common causes variation)

Merupakan faktor-faktor di dalam sistem atau yang melekat pada proses


yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya.
Penyebab umum sering disebub juga penyebab acak (random causes) atau
penyebab sistem (system causes). Karena penyebab umum ini selalu
melekat pada sistem amaka untuk menghilangkannya kita harus
menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu dan hanya pihak managemen
yang dapat memperbaikinya, karena pihak managemenlah yang
mengendalikan sistem itu. Dalam konteks pengendalian proses statistical
dengan menggunakan peta kendali. Jenis variasi ini sering ditandai dengan
titik pengamatan yang berada dalam batas-batas pengendalian yang
didefiniskan.
Setiap variasi yang terjadi pasti akan menimbulkan cacat (defect) pada
produk. Adapun pengertian dari cacat ialah semua kejadian atau peristiwa yang
mengindikasikan di mana produk atau jasa gagal memenuhi kebutuhan
pelanggan atau definisi yang lain cacat adalah suatu kondisi dari suatu produk
atau jasa yang tidak dapat memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan oleh
standar yang berlaku atau tidak dapat digunakan dengan baik oleh pelanggan
(fitness for use) karena tidak memenuhi satu atau beberapa persyaratan kualitas
pelanggan (critical to quality).

2.1.3.2 Pengendalian Proses dan Kapabilitas Proses

Pengendalian proses dalam hal ini artinya apabila proses telah berada

di bawah pengendalian statistical maka perlu menentukan kapabilitas proses,

yang ditentukan dengan menggunakan ukuran indeks kapabilitas proses

(Capability Process) dan indeks performansi Kane (Capability Process

Kane / Cpk) serta memiliki standar deviasi 6σ.


26

4
Berdasarkan Dorothea cara menghitung kapabilitas proses untuk

data variable adalah :

1. Kemampuan proses (Capability Process)

Menentukan Nilai Cp

Apabila proses berada dalam batas pengendali statistik dengan peta

pengendali normal dan rata-rata proses terpusat pada target, maka

kemampuan proses dapat dihitung dengan :

U-L
Cp =

Adapun criteria – criteria penilaian, sebagai berikut :

Jika nilai Cp > 1.33 maka proses masih baik (capable).

Jika nilai Cp < 1 maka proses tidak baik (not capable).

Jika 1<Cp<1.33 maka proses memerlukan kendali.

2. Kemampuan proses kane (Capability Process Kane / Cpk)

Indeks performansi kane merefleksikan kedekatan nilai rata – rata dari

proses dekarang terhadap salah satu batas spesifikasi atas (USL) atau

batas spesifikasi bawah (LSL) rumus yang digunakan pada Cpk adalah

Cpk = min{Cpu , Cpl}

4
Pengendalian Kualitas Statistik, (Dorothea Wahyu A,153-155)
27

CPL :
(X − LSL)
3S

CPU :
(USL − X )
3S

Dimana : CPL : indeks kapabilitas bawah

CPU : indeks kapabilitas atas

Jika nilai Cpk > 1 maka process performance masih baik (capable).

Jika nilai Cpk < 1 maka process performance tidak baik (not capable).

2.1.4 Program Peningkatan & Perbaikan Kualitas Six Sigma

2.1.4.1 Sejarah Six Sigma5

Six Sigma yang merupakan metode atau teknik pengendalian dan


peningkatan kualitas dramatik pertama kali diperkenalkan oleh Motorola.
Pada tahun 1988 Bob Galvin, selaku CEO Motorola menerima penghargaan
Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA) untuk penerapan
metode Six Sigma pada perusahaan tersebut. Sejarahnya adalah pada tahun
1980-an dan awal 1990-an, Motorola merupakan salah satu dari banyak
korporat AS dan Eropa dimana produk yang mereka luncurkan dimakan oleh
para pesaing Jepang. Konsep mutu berbasis TQC/QCC yang diperkenalkan di
Jepang telah membuat banyak perusahaan barat kehilangan daya saingnya,
seperti juga kebanyakan perusahaan di AS saat itu Motorola tidak memiliki
program “kualitas”. Tetapi pada tahun 1987, keluar sebuah pendekatan baru
dari sector komunikasi Motorola-pada saat itu dikepalai oleh George Fisher,

5
The Six Sigma Way (Pande, 5-9)
The Six Sigma Handbook (Pyzdek, 1-5)
28

yang kemudian menjadi top executive di Kodak. Konsep perbaikan inovatif


itu disebut “Six Sigma”.
Six Sigma memberikan kepada Motorola sebuah cara sederhana dan
konsisten untuk melacak dan membandingkan kinerja dalam persyaratan
pelanggan dan sebuah target bisnis ambisius dari kualitas yang sempurna
secara praktis.
Sebagaimana Six Sigma menyebar keseluruh perusahaan dengan
dukungan kuat dari chairman Motorola, Bob Galvin, Six Sigma memberikan
”otot” ekstra kepada Motorola untuk mencapai tujuan-tujuan yang pada saat
itu sepertinya tidak mungkin, dimana target awal pada tahun 1980-an sebesar
10 kali peningkatan pada lima tahun, diperkecil menjadi 10 kali peningkatan
setiap 2 tahun atau 100 kali dalam 4 tahun.
Hanya kurang dari dua tahun setelah meluncurkan Six Sigma,
Motorola mendapat penghargaan MBNQA, seperti telah dijelaskan diatas.
Karyawan total perusahaan naik dari 71.000 pada tahun 1980, menjadi lebih
dari 130.000 saat ini. Namun demikian, dalam dekade antara permulaan Six
Sigma pada tahun 1987 dan 1997, prestasi-prestasi yang dicapai Motorola
adalah :
♦ Pertumbuhan lima kali lipat dalam penjualan, dengan laba meningkat

hampir 20% per tahun.

♦ Penghematan kumulatif berdasarkan usaha-usaha Six Sigma ditetapkan

pada $14 milliar, termasuk penurunan COPQ lebih dari pada 84%.

♦ Pendapatan harga saham (share price) Motorola ditutup pada rate tahunan

sebesar 21,3%.

♦ Peningkatan produktivitas rata-rata 12,3% per tahun.

♦ Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7%.

Dewasa ini, Motorola terkenal di seluruh dunia sebagai pemimpin


kualitas. Untuk pencapaian kualitas dan tujuan pemenuhan kepuasan
29

pelanggan sepenuhnya, Motorola berkonsentrasi pada beberapa inisiatif


operasional kunci dan pada daftar paling atas adalah”Kualitas Six Sigma”,
suatu pengukuran statistik variasi dari suatu hasil yang diharapkan.
Bahkan lebih dari sekadar sekumpulan peraturan untuk hasil-hasil
yang ditargetkan, Motorola telah menerpakan Six Sigma sebagai sebuah cara
untuk mentransformasi bisnis, sebuah cara yang didorong komunikasi,
pelatihan, kepemimpinan, teamwork, pengukuran dan fokus pada pelanggan.
Sementara Motorola menggunakan Six Sigma untuk mempertahankan
posisinya dalam pasar global untuk tetap dapat bersaing, maka General
Electric adalah jawaban untuk Pertanyaan berikut: Bagaimana kami lebih
memperkuat kemajuan perusahaan yang sudah dicapai?
Jack Welch, CEO GE meminta setiap karyawannya untuk menjadi
“gila kualitas”. Welch meluncurkan usaha perbaikan tersebut di akhir tahun
1995 dengan 200 proyek dan program pelatihan intensif, bergerak ke 3000
proyek dan pelatihan yang lebih banyak di tahun 1996. Contoh keberhasilan
penerapan Six Sigma di GE dapat dilihat di bawah ini:
1. Tim Six Sigma di unit GE’s lighting telah memperbaiki masalah-masalah

dalam pembayarannya kepada salah satu pelanggan top-nya yakni Wal

Mart, menghapus defect faktur dan perselisihan sebesar 98%.

2. Bisnis jasa GE Capital mempersingkat proses tinjauan kontrak dan

mencapai penghematan tahunan sebesar $1 milliar.

3. Menggunakan alat dan metodologi Six Sigma, sebuah tim dari Sistem

Kedokteran GE dan Pusat Penelitian dan Pengembangan GE

mengembangkan pipa Performix 630 baru dengan atribut-atrinut yang

diinginkan pelanggan.

Angka-angka luar biasa dibalik inisiatif Six Sigma dari GE hanyalah


memberikan sebagian dari kisah sukses GE. Dari tahun awal atau tahun-tahun
dari usaha untuk mencapai titik impas, hasil diakselerasi sebesar $750 juta
30

menjelang akhir tahun 1998, perkiraan $1,5 milliar pada akhir tahun 1999.
Para pemimpin di GE menyebut hasil-hasil tersebut sebagai bukti yang paling
dapat dilihat dari kontribusi finansial yang telah dibuat oleh Six Sigma. “Six
Sigma telah menyebar bagai api ke seluruh perusahaan dan ini mengubah
segala sesuatu yang kita perbuat”, ujar Welch. (Byrne, 1998)

2.1.4.2 Definisi Six Sigma6

Secara statistik, Six Sigma adalah suatu ketentuan yang mensyaratkan

suatu proses beroperasi pada batas toleransi perekayasaan terdekat adalah

paling sedikit ±6σ dari rata-rata proses. Dalam persepsi teknis untuk

pengendalian proses maka Six Sigma dapat berarti kepada target kinerja

operasi yang diukur secara statistik dengan hanya 3,4 cacat (defect) untuk

setiap satu juta kejadian atau “peluang”. Seringkali dinamakan 3,4 DPMO

(Defect Per Million Opportunities) atau 3,4 PPM (Parts Per Million). Cara lain

untuk menentukan Six Sigma adalah sebagai usaha “perubahan budaya” agar

posisi perusahaan di pasar ada pada kepuasan pelanggan, profitabilitas dan

daya saing yang lebih besar. Definisi yang terakhir ini lebih disukai oleh

mereka yang memiliki latar belakang manajemen dan ekonomi. Dari sekian

banyak definisi -ukuran, tujuan ataupun perubahan budaya - yang ada mana

yang paling sesuai untuk mendeskripsikan kata “Six Sigma” dengan tepat?

Sebenarnya tidak ada satupun dari definisi diatas yang kurang tepat,

atau yang paling tepat sekalipun. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian

sebelumnya dari bab ini bahwa Six Sigma bukanlah suatu program teknis

keseluruhan dan juga tidak selalu menekankan pada statistik. Six Sigma lebih

6
The Six Sigma Way (Pande,xi)
31

kepada suatu pendekatan manajemen untuk mencapai tujuannya berupa

kepuasan pelanggan, peningkatan produktivitas, penurunan tingkat produk

yang cacat dan secara umum peningkatan kinerja perusahaan yang dapat

dibuktikan dengan laba, penghematan tahunan, nilai harga saham, market

share, employee turnover dan lain-lain. Akan tetapi metode ini juga memiliki

basis yang cukup kuat pada statistik, terutama jika kita berbicara kepada

ukuran (atau tujuan) yang menjadi indikator awal bagi tercapainya target

kualitas seperti yang diharapkan atau seperti yang dijanjikan oleh metode

tersebut yaitu penurunan tingkat cacat hingga mencapai 3,4 DPMO dengan

batas toleransi persyaratan (UCL dan LCL) mencapai ±6σ terhadap rata-rata

proses.

Dengan pemahaman menyeluruh tentang konsep Six Sigma sebagai

suatu pendekatan manajemen berbasis statistik yang menekankan pada

tujuannya berupa peningkatan kinerja bisnis serta fokus pada hasil-hasil yang

ditargetkan maka dalam bukunya, The Six Sigma Way, (Peter S Pande82),

mendefinisikan Six Sigma secara luas:

Six Sigma adalah sebuah sistem berupa pendekatan manajemen yang

komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan dan

memaksimalkan sukses bisnis, juga Six Sigma secara unik dikendalikan oleh

pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan, pemakaian yang

disiplin terhadap fakta, data dan analisis statistik dan perhatian yang cermat

untuk mengelola, memperbaiki dan menanamkan kembali proses bisnis demi

tercapainya tingkat kualitas 6σ


32

2.1.4.3 Konsep Six Sigma Secara Statistik

Sigma adalah sebuah unit pengukuran statistik yang mencerminkan


kapabilitas proses. Sigma adalah sebuah cara untuk menentukan atau bahkan
memprediksikan kesalahan atau cacat dalam proses, baik dalam proses
manufaktur atau pengiriman sebuah pelayanan. Jika perusahaan kita sudah
mencapai level 6 sigma berarti dalam proses kita tersebut mempunyai peluang
untuk defect atau melakukan kesalahan sebanyak 3,4 kali dari 1000000
kemungkinan (ooportunity). Dari hasil perhitungan yang dilakukan dengan
memperbandingkan nilai sigma, didapatkan perbandingan sebagai berikut7 :

Tabel 2.1 Perbandingan Hasil 3.8 Sigma dengan 6 Sigma


Pencapaian Tujuan-Apa yang telah anda dapatkan
Sampel 3,8 Sigma 6 Sigma
Untuk setiap 300.000 surat
3000 salah kirim 1 salah kirim
yang diantar
Melakukan 500.000 kali
4.100 berbenturan < 2 berbenturan
melakukan restar komputer
Untuk 500 tahun dari tutup
60 bulan tidak seimbang 0,018 bulan tidak seimbang
buku akhir tahun
Untuk setiap minggu
1,68 jam gagal mengudara 1,8 detik gagal mengudara
penyiaran TV (per channel)

Proses Six Sigma Motorola berdasarkan pada distribusi normal yang


mengizinkan pergesaran 1.5 sigma dari nilai target. Konsep Six Sigma
menurut Motorola ini berbeda dengan konsep distribusi normal yang tidak
memberikan kelonggaran akan pergeseran. Nilai pergeseran 1.5 sigma ini
diperoleh dari hasil penelitian Motorola atas proses dan sistem industri,
dimana menurut hasil penelitian bahwa sebagus-bagusnya suatu proses
industri (khususnya mass production) tidak akan 100 persen berada pada suatu
titik nilai target tapi akan ada pergeseran sebesar rata-rata 1.5 sigma dari nilai
tersebut :

7
The Six Sigma Way (Pande, 13)
33

Gambar 2.1 Pergeseran Tingkat Sigma dalam konsep Six Sigma Motorola

Seperti yang terlihat dalam gambar bahwa rata-rata proses dapat

menyimpang sebesar ±1,5σ dalam asumsi normalitas. Apabila rata-rata proses

menyimpang sejauh 1,5σ ke arah kanan (USL), maka level sigma dari proses

akan sebesar 4,5σ dan arah yang berlawanan akan menghasilkan 7,5σ. Secara

umum apabila proyek Six Sigma dijalankan dengan baik dan konsisten dalam

jangka panjang maka pergeseran 1,5σ adalah satu ketentuan yang dapat

dimaklumi. Jadi dalam implementasi jangka panjang yang dimaksud dengan

“Six Sigma” itu adalah 6σ dengan asumsi pergeseran 1,5σ pada rata-rata

proses dari target yang telah ditetapkan. Adapun DPMO yang dihasilkan

untuk tingkat pengelolaan Six Sigma ini adalah sebesar 3,4 PPM dan 99,99966

% dari data akan berada dalam batas toleransi 6σ atau Yield sebesar 99,99966

%. Perbandingan antara proses dengan konsep pure Six Sigma, dimana rata-

rata proses adalah tetap, dengan konsep Six Sigma Motorola, dimana rata-rata

proses diasumsikan menyimpang 1,5σ dalam jangka panjang adalah seperti

dibawah ini:
34

Tabel 2.2 Level Sigma dan Tingkat DPMO8

Sigma Quality Mean, fixed Mean, with 1,5 shift

Level Defect Rate (ppm) Defect Rate (ppm)

3 2.700 66.811

4 63,40 6.210

5 0,57 233

6 0,002 3,4

Untuk lebih jelasnya tentang tabel konversi level sigma dan juga

DPMO-nya dapat dilihat dibagian lampiran. Menurut penelitian di Amerika

Serikat, apabila perusahaan serius dalam penerapan program Six Sigma maka

hasil-hasil berikut dapat diperoleh:

1. Terjadi peningkatan 1-sigma dari 3-sigma menjadi 4-sigma pada tahun

pertama.

2. Pada tahun kedua, peningkatan akan terjadi dari 4-sigma menjadi 4,7

sigma.

3. Pada tahun ketiga, peningkatan akan terjadi dari 4,7 menjadi 5-sigma.

4. Pada tahun keempat, peningkatan terjadi dari 5-sigma menjadi 5,1-sigma.

5. Pada tahun-tahun selanjutnya, peningkatan rata-rata adalah 0,1-sigma

sampai maksimum 0,15-sigma setiap tahun.

Sebelumnya dikatakan bahwa dibutuhkan waktu rata-rata 8 tahun

untuk beralih dari tingkat operasional 4-sigma ke 6-sigma, yang berarti harus

terjadi peningkatan sebesar 6210/3,4 = 1826,471 kali peningkatan selama 8

8
Pengendalian Kualitas Statistik, (Dorothea Wahyu A, 192)
35

tahun atau secara rata-rata sekitar 228,3 kali “peningkatan” setiap tahunnya.

Suatu peningkatan yang dramatik untuk mencapai level perusahaan kelas

dunia. Peningkatan dari 3-sigma sampai 4,7-sigma memberikan hasil yang

mengikuti kurva eksponensial (mengikuti deret ukur), sedangkan peningkatan

dari 4,7-sigma sampai 6-sigma mengikuti gerak kurva linear (mengikuti deret

hitung).

2.1.4.4 Enam Tema Penting Six Sigma

Untuk dapat menerapkan metode Six Sigma secara optimal hal yang

perlu diperhatikan adalah mengetahui enam tema kunci dari (Pande) metode

Six Sigma itu sendiri. Enam tema ini sering juga ditafsirkan sebagai

“persyaratan utama” dalam mengembangkan metode Six Sigma, enam tema

kunci tersebut ialah9 :

1. Fokus sungguh-sungguh kepada pelanggan (Customer Focus).

2. Manajemen yang digerakkan oleh data dan fakta (Management by Fact).

3. Fokus pada Proses, Manajemen dan Perbaikan (Continous Improvement).

4. Manajemen Proaktif (Proactive Management).

5. Kolaborasi tanpa Batas (dari Jack Welch).

6. Dorongan untuk Sempurna, tetapi Toleransi terhadap Kegagalan.

Adapun keuntungan-keuntungan yang dapat diraih perusahaan dari

penerapan metode Six Sigma ini adalah10:

9
The Six Sigma Way (Pande, 17-19)
10
The Six Sigma Way (Pande, xi)
36

1. Pengurangan biaya produksi akibat inefisiensi produksi.

2. Peningkatan Produktivitas.

3. Pertumbuhan pangsa pasar (Market Share).

4. Retensi/Loyalitas Pelanggan (Customer Loyalty), akibat kepuasan

pelanggan.

5. Pengurangan Waktu Siklus (Reduce Cycle Time).

6. Pengurangan tingkat produk yang cacat (Reduce Defect Rate).

7. Pengembangan Produk dan Jasa (Product and Service Development).

8. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran karyawan akan budaya

kualitas.

9. Memberikan sebuah konteks yang baru terhadap alat-alat yang familiar.

10. Memperkenalkan sebuah model yang baru merupakan dasar pemikiran

yang positif untuk memberikan peluang yang segar bagi banyak orang

untuk mempelajari dan mempraktikan alat-alat tersebut.

11. Menciptakan sebuah pendekatan yang konsisten.

12. Memprioritaskan pelanggan dan pengukuran.

13. Membuat awal yang baik. DMAIC dapat membantu perusahaan untuk

meletakkan Six Sigma sebagai suatu pendekatan yang sungguh-sungguh

berbeda dan lebih baik.


37

2.1.5 Model Perbaikan DMAIC

Ada beberapa model struktur dalam peningkatan kualitas Six Sigma11.

Salah satu yang paling banyak dipakai adalah metode DMAIC.

DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus menerus menuju

target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu

pengetahuan dan fakta.

2.1.5.1 Define

Define merupakan langkah operasional pertama dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah-langkah yang terdapat dalam fase

Define antara lain, menentukan atau mendefinisikan tujuan dari proyek Six

Sigma ,membuat gambaran secara keseluruhan dari perusahaan baik SIPOC

Diagram dan Peta Proses Operasi.

2.1.5.1.1 SIPOC Diagram12

SIPOC adalah singkatan dari Supplier, Inputs, Process, Output dan

Customer. SIPOC adalah sebuah peta proses yang di dalamnya

teridentifikasi siapa pemasoknya, apa inputnya, bagaimana prosesnya, apa

hasilnya dan siapa saja pemakainya. Langkah-langkah pada pembuatan

SIPOC:

♦ Menamakan proses.

♦ Membuat batasan titik awal dan akhir proses

11
The Six Sigma Way (Pande, 150)
12
The Six Sigma Way (Pande,179)
38

♦ Membuat daftar output dan pelanggan.

♦ Membuat daftar input dan pemasok.

♦ Identifikasi, beri nama dan urutkan langkah-langkah yang ada dalam

proses.

2.1.5.1.2 Peta Proses Operasi

Peta proses operasi13 adalah peta kerja yang mencoba

menggambarkan urutan kerja dengan jalan membagi pekerjaan tersebut

elemen-elemen operasi secara detail. Disini tahapan proses operasi kerja

harus diuraikan secara logis dan sistematik. Dengan demikian keseluruhan

operasi kerja dapat digambarkan dari awal samapi produk akhir, sehingga

analisa perbaikan dari masing-masing operasi kerja secara individual

maupun urutan secara keseluruhan akan dapat dilakukan. Peta proses

operasi ini akan memberikan daftar elemen-elemen operasi suatu

pekerjaan secara berurutan. Untuk pembuatan peta operasi ini maka

ASME (American Society of Mechanical Engineers) yang dipakai adalah

symbol operasi, inspeksi, gabungan operasi dan inspeksi, dan

penyimpanan. Dengan adanya informasi-informasi yang bisa dicatat

melalui peta operasi ini, banyak manfaat yang bisa diperoleh, yaitu :

♦ Data kebutuhan jenis proses atau mesin yang diperlukan.

♦ Data kebutuhan bahan baku dengan memperhitungkan efisiensi pada

setiap elemen operasi kerja atau pemeriksaan.

13
Ergonomi : Studi Gerak dan Waktu (Sritomo, 131-133)
39

♦ Pola tata letak fasilitas kerja dan aliran pemindahan material.

♦ Alternatif-alternatif perbaikan prosedur dan tata cara kerja yang sering

dipakai.

banyaknya peluang dari suatu produk untuk dapat/tidak dapat memenuhi

persyaratan pelanggan dan spesifikasi standar.

2.1.5.2 Measure

Measure merupakan langkah operasional kedua dalam rangka

peningkatan kualitas dalam metode DMAIC. Pada tahap ini dilakukan

pengukuran dan mengenali dan menginventarisasi karakteristik kualitas kunci

kualitas (CTQ).

Tahap pengukuran ini sangat penting peranannya dalam meningkatkan

kualitas, karena dapat diketahui keadaan perusahaan dari data yang ada

sehingga menjadi patokan atau dasar untuk melakukan analisa dan perbaikan.

2.1.5.2.1 Critical To Quality ( CTQ )

Critical to Quality14 adalah persyaratan –persyaratan yang

dikehendaki oleh pelanggan. CTQ yang merupakan kualitas yang

ditetapkan harus berhubungan langsung dengan kebutuhan sepesifik

pelanggan, yang diturunkan secara langsung dari persyaratan-persyaratan

output. Kebutuhan spesifikasi pelanggan harus dapat diterjemahkan secara

tepat kedalam karakteristik kualitas yang ditetapkan oleh manajemen

organisasi. Karakteristik kualitas kunci adalah kelompok dari ukuran-


14
The Six Sigma Way (Pande, 28)
40

ukuran persyaratan kualitas utama yang sangat vital perananya bagi

pelanggan. Karena sangat vital maka informasi CTQ ini seringkali

dikumpulkan dengan menggunakan metode VOC atau Voice of Customer,

yang merupakan cara pengumpulan data suara pelanggan secara langsung.

Sistem pengumpulan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk

dengan metode survey atau wawancara langsung. Bentuk dari CTQ ini

biasanya dinyatakan dalam format CTQ Tree yang merupakan penjabaran

dari beberapa karakteristik kualitas kunci bagi pelanggan yang akan

dibahas dan dipecahkan kasusnya.

2.1.5.2.2 Pengukuran Kinerja Proses

1. Membuat Control Chart15, atau peta kontrol pertama kali


diperkenalkan oleh Dr. Walter Shewhart pada tahun 1924. Dengan
maksud untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan
variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus dari variasi yang
disebabkan oleh penyebab umum. Pada dasarnya peta-peta kontrol
dipergunakan untuk :
a. Menentukan apakah suatu proses berada dalam pengendalian

statistical? Dengan demikian peta-peta control digunakan untuk

mencapai suatu keadaan terkendali secara statistical.

b. Memantau proses terus menerus sepanjang waktu agar proses tetap

stabil secara statistical dan hanya mengandung variasi penyebab

umum.

15
Statistical Process Control (Gaspersz, 108)
41

c. Menentukan kemampuan proses. Setelah proses berada dalam

pengendalian statistikal, batas-batas dari variasi proses dapat

ditentukan.

Tabel 2.3 Jenis Data dan Peta Kendalinya

Jenis Data Jenis Peta kendali


Data Atribut ♦ Peta p
Merupakan data kualitatif yang dapat ♦ Peta np
dihitung untuk pencatatan dan analisis. ♦ Peta u
Data atribut biasanya diperoleh dalam ♦ Peta c
bentuk unit-unit nonconforms atau
ketidaksesuaian dengan spesifikasi
atribut yang ditetapkan.

Data Variabel ♦ Peta X-bar dan R


Merupakan data kuantitatif yang diukur ♦ Peta X-bar dan MR
untuk keperluan analisis. Ukuran-ukuran ♦ Peta X-bar dan S
berat, panjang, lebar, tinggi, diameter,
volume, biasanya merupakan data
variable

♦ Peta kendali p16

Peta kendali p adalah alat statistik untuk mengevaluasi proporsi


kerusakan atau proporsi ketidaksesuaian, yang dihasilkan oleh
sebuah proses. Dengan demikian peta kendali digunakan untuk
mengendalikan proporsi ketidaksesuaian dari item-item yang tidak
memenuhi syarat spesifikasi kualitas atau proporsi dari produk
cacat yang dihasilkan dalam suatu proses. Berikut adalah langkah-
langkah pembuatan peta kendali p :

16
Statistical Process Control (Gaspersz, 147)
42

1. Hitung untuk setiap subgroup nilai proporsi unit cacat

2. Hitung rata-rata dari p

3. Hitung batas kendali untuk peta kendali p, dengan rumus

dibawah ini

Σcacat
p=
ΣJumlah Pr oduksi
CL = p
p (1 - p )
UCL = p + 3
ni
p (1 - p )
LCL = p - 3
ni

Plot data proporsi unit cacat dan amati apakah data itu berada dalam

pengendalian statistical atau tidak.

Penggunaan Software Minitab 13

1. Masukkan data proses dalam tabel

Gambar 2. 2 Tampilan Pengisian Data

2. Clic Stat > Control Chart > P


43

3. Masukkan produksi dalam variable

4. Masukkan besar ukuran sampel dalam subgroup in

Gambar 2. 3 Tampilan Pengolahan Data

5. Klik OK

Gambar 2. 4 Tampilan Hasil Peta kendali p


44

♦ Peta kendali X-bar dan R17

Digunakan untuk memantau proses yang mempunyai


karakteristik berdimensi kontinu. Peta kontrol X-bar
menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi
adalam ukuran titik pusat atau rata-rata dari suatu proses.
Sedangkan peta kontrol R, yaitu peta yang menjelaskan tentang
apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran
variasi, dengan demikian berkaitan dengan dengan perubahan
homogenitas produk yang dihasilkan melalui suatu proses.
Berikut adalah rumus untuk batas kendali X-bar dan R.
Batas kendali X-bar

UCL = X + (A2* R )

CL = X

LCL = X - (A2* R )
Batas kendali R
UCL = D4* R
CL = R
LCL = D3* R
Keterangan : A2 = konstanta dari tabel

D4 = konstanta dari tabel

D3 = konstanta dari tabel

17
Statistical Process Control (Gaspersz, 112)
45

Penggunaan Software Minitab 13

1. Masukkan data sampel produksi dan berat dalam tabel

2. Klik Stat > Control Chart > X-bar dan R

3. Pada bagian subgroup masukkan n1-n5

Gambar 2. 5 Tampilan Pengisian Data

Gambar 2. 6 Tampilan Pengolahan Data


46

Gambar 2. 7 Tampilan Hasil Peta kendali X-bar dan R

2. Pengukuran kapabilitas proses saat ini untuk mengetahui seberapa baik


proses dapat memproduksi produk yang bebas dari cacat.
♦ Kapabilitas Proses Berdasarkan Data Variabel18

Kapabilitas adalah kemampuan dari proses dalam menghasilkan


produk yang memenuhi spesifikasi. Jika proses memiliki
kapabilitas yang baik,proses itu akan menghasilkan produk yang
berada dalam batas-batas spesifikasi ( di antara batas bawah dan
batas atas spesifikasi). Sebaliknya, apabila proses memiliki
kapabilitas yang jelek, proses itu akan menghasikan banyak produk
yang berada di luar batas-batas spesifikasi, sehingga menimbulkan
kerugian karena banyak produk akan ditolak. Apabila ditemukan
banyak produk yang ditolak atau terdapat banyak scrap, hal itu
akan mengindikasikan bahwa proses produksi memiliki kapabilitas
yang rendah atau jelek. Rumus untuk kapabilitas proses adalah :
Cp = (USL – LSL)/6 ( R / d2)

Dimana : Cp = indeks kapabilitas proses


18
Statistical Process Control (Gaspersz, 79-81)
47

USL = batas spesifikasi atas

LSL = batas spesifikasi bawah

R = rata-rata range

d2 = konstanta (tabel)

Jika indeks kapabilitas proses lebih besar atau sama dengan

satu (Cp ≥ 1), hal ini menunjukkan bahwa proses memiliki

kapabilitas yang baik, yang berarti bahwa proses mampu

menghasilkan produk yang berada dalam batas-batas spesifikasi.

Sebaliknya, jika nilai indeks kapabilitas proses lebih kecil daripada

satu (Cp < 1), hal ini menunjukkan bahwa proses memiliki

kapabilitas yang jelek, yang berati bahwa proses tidak mampu

menghasilkan produk yang sesuai dengan batas-batas spesifikasi.

♦ Cp > 1.33 , maka proses dianggap sangat mampu (capable)

♦ 1 ≤ Cp ≤ 1.33, maka kapabilitas proses baik, namun perlu

pengendalian ketat apabila Cp mendekati 1

♦ Cp < 1, maka kapabilitas proses rendah, sehingga perlu

ditingkatkan performasinya melalui perbaikan proses itu.

Biasanya indeks kapabilitas proses (Cp) digunakan bersamaan

dengan indeks performasi. Indeks Performasi Kane (Cpk),

merefleksikan kedekatan nilai rata-rata dari proses sekarang

terhadap salah satu batas spesifikasi atas (USL) atau batas

spesifikasi bawah (LSL). Cpk diduga berdasarkan formula sebagai

berikut :
48

Cpk = min {Cpl ; Cpu}

Dimana :

(X - LSL)
Cpl =
3 (R/d 2 )

(USL - X)
Cpu =
3 (R/d 2 )

♦ Kapabilitas Proses Berdasarkan Data atribut19

Untuk mengdapatkan nilai kapabilitas proses untuk data atribut


adalah dengan rumus sebagai berikut :
Cp = 1- p
Dimana : Cp = indeks kapabilitas proses
p = rata-rata proporsi cacat
Sebagai contoh kapabilitas proses dari perusahaan adalah 1-0.202
= 0.798 atau sekitar 80 %, hal ini serupa dengan kemampuan
proses menghasilkan prosuk cacat sekitar 20 %. Dengan demikian
apabila pihak managemen ingin meningkatkan kapabilitas proses
menghasilkan prosuk yang sesuai (tidak cacat) berdasarkan kondisi
proses yang stabil sekarang, maka variasi penyebab umum yang
melekat pada proses itu harus dikurangi.

2.1.5.2.3 Pengukuran Kinerja Produk

2.1.5.2.3.1 Konsep Pengukuran Berbasis Kecacatan20

Pada konsep ini ada dua ukuran yang digunakan, yaitu:


1. Ukuran Defective dan Yield, variabel pengukurannya ialah:

19
Statistical Process Control (Gaspersz, 156)
20
The Six Sigma Way ( Pande, 235-239)
49

Proportion Defect, merupakan persentase jumlah unit/item yang


memiliki satu atau lebih cacat dibanding dengan total unit yang
diproduksi. Rumusnya ialah

Jumlah Defective
DPU = X 100 %
Jumlah unit yang diproduksi

Final Yield, atau ditulis Yfinal dihitung sebagai 1 dikurangi Proportion

Defective. Informasi ini memberitahu apakah pecahan dari unit total

yang diproduksi atau dikirim adalah bebas cacat (defect free). Hasil ini

biasanya dikalikan dengan 100 %. Ukuran Yield mengindikasikan ke-

efektifan dari sebuah proses untuk menghasilkan probabilitas produk

yang bebas cacat (defect free).

Ukuran ini seringkali dinyatakan dalam format Rolled Throughput


Yield atau RTY, mengindikasikan yield atau “hasil baik” pada tiap-tiap
proses yang ada. Rumus RTY adalah:
RTY = 1- (Jumlah cacat / Input awal) * 100 %.
2. Ukuran-ukuran Defect
Sering disebut Defect per Unit atau DPU. Ukuran ini
merefleksikan jumlah rata-rata dari defect, semua jenis, terhadap
total unit yang dihasilkan. Jika DPU sebesar 1 misalnya, ini
mengindikasikan bahwa setiap unit akan memiliki satu defect,
sekalipun beberapa item mungkin memiliki lebih dari satu defect
dan yang lainnya tidak ada defect. DPU 0,25 menunjukan suatu
probabilitas bahwa satu dari empat unit akan memiliki satu defect.
Rumusnya adalah:
Jumlah Defect yang terjadi
DPU =
Jumlah total unit
50

Tiga ukuran pertama diatas akan membantu mengetahui seberapa


baik atau buruk proses dikerjakan dan bagaimana defect
didistribusikan dalam proses berjalan. Ukuran-ukuran tersebut juga
dapat menjadi indicator dari performansi produk yang dihasilkan.

2.1.5.2.3.2 Konsep Pengukuran Berbasis Peluang21

Pada konsep ini ada tiga variabel yang dapat digunakan untuk
menghitung dan mengekspresikan ukuran-ukuran berbasis peluang
defect, yaitu:
1. Defect per Opportunity, atau DPO

Variabel ini menunjukan proporsi defect atas jumlah total peluang


dalam sebuah kelompok yang diperiksa. Sebagai contoh jika DPO
sebesar 0,05 berarti peluang untuk memiliki defect dalam sebuah
kategori (CTQ) adalah 5%. Rumusnya adalah:

Jumlah unit Defective


DPO =
Total unit x Peluang

2. Defect per Million Opportunities atau DPMO

Kebanyakan ukuran-ukuran peluang defect diterjemahkan ke


dalam format DPMO, yang mengindikasikan berapa banyak defect
akan muncul jika ada satu juta peluang. Dalam lingkungan
pemanufakturan secara khusus, DPMO sering disebut “PPM”,
singkatan dari “parts per million”. Rumus umum untuk
menghitung DPMO ialah:
DPMO = DPO x 1.000.000.

21
The Six Sigma Way (Pande, 243-246)
51

Ukuran ini seringkali dipakai untuk menentukan peluang


terjadinya cacat pada produk yang diproduksi dalam satu juta
peluang.
3. Sigma Level

Ukuran Sigma atau level sigma adalah variabel paling penting


dalam metode Six Sigma, karena variabel ini mengindikasikan
variabilitas proses dan sampai pada level berapa sigma proses
dikelola. Ukuran ini juga mengindikasikan apakah proses saat ini
sudah “efisien” dan “berkualitas” atau belum.
Untuk mendapatkan skor sigma hal yang dilakukan adalah kita
harus mengetahui DPMO terlebih dahulu dari hasil tersebut dapat
kita konversikan menjadi skor sigma melalui tabel konversi sigma
yang ada pada lampiran.
4. Menghitung COPQ
Konsekuensi dari suatu produk jadi yang mempunyai kualitas
rendah adalah perusahaan harus rela kehilangan keuntungan.
Untuk mereduksi kehilangan keuntungan ini, maka perusahaan
dapat menjalankan proyek Six Sigma. Semakin tingginya tingkat
sigma yang dicapai, maka tingkat defect dan tingkat COPQnya
dapat menjadi rendah.

2.1.5.3 Analyze

Tahap Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu melakukan beberapa

hal berikut ini : (1) Mengidentifikasi jenis-jenis cacat yang terjadi dan

membuat prioritas cacat mana yang memiliki kontribusi dominan terhadap

menurunnya kualitas produk secara keseluruhan. Pada tahap ini alat yang kita

gunakan adalah diagram pareto. (2) Menginventarisasi dan menganalisa


52

berbagai akar penyebab masalah dari cacat-cacat yang dominan tersebut,

ditinjau dari segi man, machine, environment, method dan material

menggunakan fishbone.(3) Mencari penyebab yang paling dominan diantara

seluruh daftar akar penyebab masalah diatas.

2.1.5.3.1 Diagram Pareto

Diagram pareto22 adalah grafik batang yang menunjukan masalah

berdasarkan urutan banyaknya kejadian.Masalah yang paling banyak

terjadi ditunjukan oleh grafik batang pertama yang tertinggi serta

ditempatkan pada sisi paling kiri ,dan seterusnya sampai masalah yang

paling sedikit terjadi ditunjukan oleh grafik batang terakhir yang terendah

serta ditempatkan pada sisi paling kanan . Pareto diagram membantu

manajemen secara cepat mengidentifikasikan area paling kritis yang

membutuhkan perhatian khusus dan cepat. Dasarnya Pareto dapat

digunakan sebagai alat interpretasi untuk :

• Menentukan frekuensi relatif dan urutan pentingnya penyebab-

penyebab dari masalah yang ada.

• Memfokuskan perhatian pada isu-isu kritis dan penting melalui

pembuatan rangking terhadap penyebab-penyebab dari masalah itu

dalam bentuk yang signifikan.

22
Statistical Process Control (Gaspersz, 53)
53

Penggunaan Sofware Minitab 13

1) Masukkan data ke dalam tabel

Gambar 2. 8 Tampilan Pengisian Data.

2) Klik Stat > Quality Tools > Pareto Chart

3) Masukkan data yang telah dimasukkan ke dalam dialog box, untuk jenis

cacat kedalam kolom labels in dan angka cacat kedalam frequencies in.

Gambar 2. 9 Tampilan Pengolahan Data


54

1. Klik OK

Gambar2.10 TampilanPengolahanData

2.1.5.3.2 Diagram Sebab Akibat23

Diagram sebab akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan

hubungan antara sebab dan akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses

statistikal, diagram sebab-akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-

faktor penyebab ( sebab ) dan karakteristik kualitas ( akibat ) yang

disebabkan oleh faktor-faktor penyebab itu. Diagram sebab-akibat ini

sering disebut juga sebagai Diagram tulang ikan ( fishbone diagram )

karena bentuknya seperti kerangka ikan, atau diagram Ishikawa (

Ishikawa’s diagram ) karena pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Kaoru

Ishikawa dari Universitas Tokyo pada tahun 1953. Pada dasarnya diagram

sebab akibat dapat dipergunakan untuk kebuthan-kebutuhan berikut :

23
Statistical Process Control (Gaspersz, 61)
55

• Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah.

• Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah.

• Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut.

TULANG
TULANG
BESAR
BESAR Tulang kecil
Tulang kecil
Tulang Berukuran
Sedang Tulang kecil
Tulang Berukuran
Sedang Tulang kecil

TULANG BELAKANG
KARAKTERISTIK
KUALITAS
Tulang kecil
Tulang Berukuran
Tulang Berukuran
Sedang Sedang Tulang Berukuran
Sedang
Tulang kecil

TULANG TULANG
BESAR BESAR

Gambar 2.11. Skema Diagram Tulang Ikan

2.1.5.4 Improve

Fase atau tahap yang keempat dalam Metodologi Six Sigma adalah
tahap Improve. Pada tahap ini usaha-usaha peningkatan kinerja kualitas
produk dan juga proses dimulai dengan cara membuat FMEA (Failure Mode
and Effect Analysis) dan memberikan usulan perbaikan untuk mengurangi
cacat dalam proses.
56

2.1.5.4.1 Metode FMEA (Failure Mode Effect Analysis )

FMEA atau Analisis mode kegagalan dan efek adalah suatu


prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak
mungkin mode kegagalan. Suatu metode kegagalan adalah apa saja yang
termasuk dalam kecacatan/kegagalan dalam desain, kondisi diluar batas
spesifikasi yang ditetapkan, atau perubahan-perubahan dalam produk yang
menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu. Dengan
menghilangkan mode kegagalan, maka FMEA akan meningkatkan
keandalan dari produk sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang
menggunakan produk tersebut. Langkah-langkah dalam membuat FMEA:
1. Mengidentifikasi proses atau produk/jasa.

2. Mendafatarkan masalah-masalah potensial yang dapat muncul, efek

dari masalah-masalah potensial tersebut dan penyebabnya. Hindarilah

masalah-masalah sepele.

3. Menilai masalah untuk keparahan (severity), probabilitas kejadian

(occurrence) dan detektabilitas (detection).

4. Menghitung “Risk Priority Number”, atau RPN yang rumusnya adalah

dengan mengalikan ketiga variabel dalam poin 3 diatas dan

menentukan rencana solusi-solusi prioritas yang harus dilakukan.

Untuk keterangan lebih lanjut tentang rating occurance, severity


and detectability dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
57

Tabel 2.4 Definisi FMEA untuk rating Occurance


Occurance (O)
Keterangan Rating
Adalah tidak mungkin bahwa penyebab ini
1
yang mengakibatkan mode kegagalan
Kemungkinan kecil terjadinya kegagalan 2,3
Kemungkinan terjadinya kegagalan 4,5,6
Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi 7,8
Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan
9,10
akan terjadi

Tabel 2.5 Definisi FMEA untuk rating Detectability

Detectability (D)
Keterangan Rating
Metode pencegahan atau deteksi sangat efektif. Tidak ada
kesempatan bahwa penyebab mungkin masih muncul atau 1
terjadi
Kemungkinan bahwa penyebab itu adalah rendah 2,3
Kemungkinan penyebab terjadi bersifat moderat. Metode
pencegahan atau deteksi masih memungkinkan kadang-kadang 4,5,6
penyebab itu terjadi
Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi masih tinggi.
Metode pencegahan atau deteksi kurang efektif, karena 7,8
penyebab masih berulang kembali
Kemungkinan bahwa penyebab itu terjadi sangat tinggi.
Metode pencegahan deteksi tidak efektif. Penyebab akan selalu 9,10
terjadi kembali
58

Tabel 2.6 Definisi FMEA untuk rating Severity

Severity (S)
Keterangan Rating
Neglible severity (pengaruh buruk yang dapat diabaikan). Kita
tidak perlu memikirkan bahwa akibat ini akan berdampak pada
1
kinerja produk. Pengguna akhir mungkin tidak akan
memperhatikan kecacatan atau kegagalan ini.
Mild Severity (pengaruh buruk yang ringan/sedikit). Akibat yang
ditimbulkan hanya bersifat ringan. Pengguna akhir tidak akan
2,3
merasakan perubahan kinerja. Perbaikan dapat dikerjakan pada
saat pemeliharaan reguler (reguler maintanace)
Moderate Severity (pengaruh buruk yang moderat). Pengguna
akhir akan merasakan penurunan kinerja atau penampilan, namun
masih berada dalam batas toleransi. Perbaikan yang dilakukan 4,5,6
tidak akan mahal, jika terjadi downtime hanya dalam waktu
singkat
High Severity (pengaruh buruk yang tinggi). Pengguna akhir akan
merasakan akibat buruk yang tidak dapat diterima, berada diluar 7,8
batas toleransi.
Potensial Safety Problem (masalah keselamatan / keamanan
potensial). Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya yang dapat 9,10
terjadi tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu.
59

2.1.5.5 Control

Fase sesudah Improve adalah fase Control. Fase ini merupakan fase

terakhir dalam pemecahan masalah menggunakan metodologi Six Sigma.

Dalam fase ini seluruh usaha-usaha peningkatan yang ada di kendalikan

(simulasi) atau dicapai secara teknis dan seluruh usaha tersebut kemudian di

dokumentasikan dan di sebarluaskan atau di sosialisasikan ke segenap

karyawan perusahaan. Hal yang akan dilakukan dalam fase ini mencakup:

1. Dokumentasi dan Sosialisasi usaha-usaha peningkatan yang telah dibuat

kepada seluruh karyawan dalam berbagai lapisan manajemen yang ada di

perusahaan.

2. Penutupan proyek Six Sigma sebagai suatu metode untuk memecahkan

masalah yang di hadapi perusahaan.

2.1.6 Keuntungan Potensial DMAIC24

Disisi lain, terdapat alasan organisasional dan alasan yang masuk akal

mengapa perusahaan dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi sebuah

model perbaikan baru sebagai bagian dari usaha Six Sigma, jika perusahaan

tidak memiliki proses pemecahan masalah. Maka DMAIC menawarkan

keuntungan ketimbang lainnya. Keuntungan dari DMAIC yaitu :

1. Membuat awal yang baik. DMAIC dapat membantu perusahaan untuk

meletakkan Six Sigma sebagai suatu pendekatan yang sungguh-sungguh

berbeda dan lebih baik.

2. Memberikan sebuah konteks yang baru terhadap alat-alat yang familiar.

Memperkenalkan sebuah model yang baru merupakan dasar pemikiran yang


24
The Six Sigma Way (Pande, 161)
60

positif untuk memberikan peluang yang segar bagi banyak orang untuk

mempelajari dan mempraktikan alat-alat tersebut.

3. Menciptakan sebuah pendekatan yang konsisten.

4. Memprioritaskan pelanggan dan pengukuran.

5. Menawarkan jalur ”Perbaikan Proses” dan juga ”Perancangan Ulang

Proses” untuk perbaikan. DMAIC dapat membantu perusahaan dalam

memperbaiki dan merancang ulang sebuah permasalahan.

2.2 Kerangka Pemikiran25

Ada beberapa model perbaikan yang diterapkan pada proses selama


bertahun-tahun, sejak gerakan kualitas dimulai. Sebagian besar dari model tersebut
di dasarkan pada langkah-langkah yang diperkenalkan oleh W.Edwards Deming-
Plan-Do-Check-Act, atau PDCA. Untuk kerangka pemikiran dalam penelitian ini
peneliti menggunakan metodologi perbaikan dalam Six Sigma yaitu DMAIC-
Define-Measure-Analyze-Improve-Control.
Fase-fase tersebut ialah:

1. Fase Define

Define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan


kualitas Six Sigma. Langkah-langkah yang terdapat dalam fase Define antara
lain, menentukan atau mendefinisikan tujuan dari proyek Six Sigma ,membuat
gambaran secara keseluruhan dari perusahaan baik SIPOC Diagram dan Peta
Proses Operasi.

25
Pedoman Implementasi Program Six Sigma
61

2. Fase Measure

Measure merupakan langkah operasional kedua dalam rangka peningkatan


kualitas dalam metode DMAIC. Pada tahap ini dilakukan pengukuran dan
mengenali dan menginventarisasi karakteristik kualitas kunci kualitas (CTQ).
Tahap pengukuran ini sangat penting peranannya dalam meningkatkan kualitas,
karena dapat diketahui keadaan perusahaan dari data yang ada sehingga menjadi
patokan atau dasar untuk melakukan analisa dan perbaikan. dalam Six Sigma
ada dua basis pengukuran yaitu konsep pengukuran kinerja produk dan konsep
pengukuran kinerja proses.

3. Fase Analyze

Tahap Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu melakukan beberapa

hal berikut ini : (1) Mengidentifikasi jenis-jenis cacat yang terjadi dan membuat

prioritas cacat mana yang memiliki kontribusi dominan terhadap menurunnya

kualitas produk secara keseluruhan. Pada tahap ini alat yang kita gunakan

adalah diagram pareto. (2) Menginventarisasi dan menganalisa berbagai akar

penyebab masalah dari cacat-cacat yang dominan tersebut, ditinjau dari segi

man, machine, environment, method dan material menggunakan fishbone.(3)

Mencari penyebab yang paling dominan diantara seluruh daftar akar penyebab

masalah diatas.

4. Fase Improve

Fase atau tahap yang keempat dalam Metodologi Six Sigma adalah tahap
Improve. Pada tahap ini usaha-usaha peningkatan kinerja kualitas produk dan
juga proses dimulai dengan cara membuat FMEA (Failure Mode and Effect
62

Analysis) dan memberikan usulan perbaikan untuk mengurangi cacat dalam


proses.

5. Fase Control

Fase sesudah Improve adalah fase Control. Fase ini merupakan fase terakhir
dalam pemecahan masalah menggunakan metodologi Six Sigma. Dalam fase ini
seluruh usaha-usaha peningkatan yang ada di kendalikan (simulasi) atau dicapai
secara teknis dan seluruh usaha tersebut kemudian di dokumentasikan dan di
sebarluaskan atau di sosialisasikan ke segenap karyawan perusahaan. Hal yang
akan dilakukan dalam fase ini mencakup:
♦ Dokumentasi dan Sosialisasi usaha-usaha peningkatan yang telah dibuat

kepada seluruh karyawan dalam berbagai lapisan manajemen yang ada di

perusahaan.

♦ Penutupan proyek Six Sigma sebagai suatu metode untuk memecahkan

masalah yang di hadapi perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai