BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia,
2005), 313.
2
DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013), 528-529.
3
Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi
Kurikulum (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 70.
4
Basyiruddin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum (Jakarta: Ciputat Press,
2002), 70.
5
Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004), 159.
23
6
Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang Press, 1997), 63.
24
7
Dwijowoyoto, Kebijakan Publik: Formulasi, 163.
8
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), 107.
25
Teori umum tentang sistem awalnya dipelopori oleh seorang ahli biologi
bernama Ludwig Von Bertalanffy yang mendefinisikan sistem dengan,
“complexes of elements standing in interaction”.9“sets of elements standing in
interaction”,1 atau “a complex of interacting elements”.
0 1
Ludwig Von
Bertalanffy memperluas teori sistem dari hanya sistem biologi (biological
systems) ke dalam teori sistem dalam disiplin ilmu lainnya.
Ludwig Von Bertalanffy dkk. kemudian membentuk suatu perkumpulan
untuk pengembangan teori sistem dan kemudian mempublikasikan General
System Theory : Foundation, Development, and Applications. Sedangkan Richard
A. Johnson dkk. mendefinisikan sistem dengan, “a system is an organized or
complex whole: an assemblage or combination of things or parts forming a
complex or unitary whole.”1 Raymond McLeod mendefinisikan sistem
2
sebagai
sekelompok elemen yang terintegrasi untuk mencapai suatu tujuan.1
Dari beberapa definisi di atas dapat dikatakan bahwa suatu sistem adalah
merupakan kumpulan dari objek-objek (komponen), kumpulan hubungan antar
objek tersebut dan antar atribut mereka yang kesemuanya terhubung satu sama
lain kepada lingkungannya sehingga membentuk suatu kesatuan yang menyeluruh
(whole).
Suatu sistem dikatakan terbuka menurut Ludwig Von Bertalanffy adalah
jika sistem saling mempengaruhi dengan lingkungan luarnya sehingga terjadi
proses saling memberi dan menerima di mana setiap komponen bisa saling
mendukung dan juga bisa saling menjatuhkan. Ludwig Von Bertalanffy
mengandaikan paradigma sistem pada aspek ilmu kimia, biologi, dan matematika
di mana suatu sistem akhirnya akan berada pada titik equilibrium seperti halnya
sebuah proses physiologi. Sistem di dalam sebuah organisme dikatakan sebagai
sebuah sistem terbuka karena dipengaruhi oleh banyak faktor yang berada di luar
9
Ludwig Von Bertalanffy, General System Theory (New York: George Braziler, 1968),
33.
1 0
Bertalanffy, General System Theory, 38.
1 1
Bertalanffy, General System Theory, 55.
1
Richard A. Johnson, et.al, The Theory and 2Management of Systems (McGraw:
Hill,1973),5.
1
Raymond McLeod, Management Information 3 System (New Jersey: Prenrice-hall
International -Inc, 2001), 8.
26
organisme itu sendiri. Teori tentang sistem terbuka model Ludwig Von
Bertalanffy ini berasal dari aplikasi untuk biologi, teori informasi dan cybernetic,
akan tetapi secara potensial dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu yang lain
termasuk pada ilmu manajemen organisasi.
Istilah manajemen berasal dari kata management (bahasa Inggris) yang
disimplikasi dari kata to manage yang berarti mengatur atau mengelola sesuatu. 1
Kata manage itu sendiri, berasal dari bahasa Italia yaitu meneggio yang diadopsi
dari bahasa Latin managiare yang berasal dari kata manus yang artinya tangan.1
Dalam bahasa Arab, kata tangan sering diterjemahkan dengan yad yang
mengandung arti kekuasaan, kemampuan dan kemampuan memberikan petunjuk
untuk menggerakkan pihak lain. Dalam Islam, terdapat pengertian yang memiliki
makna yang sama dengan hakekat manajemen yaitu al-tadbir (pengaturan) kata
ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur).1 6
1 4
Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah (Jakarta: Bumi
Aksara, 2016), 1.
Syaiful Sagala, 1 Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
5
(Bandung:
Alfabeta, 2010), 50.
1 6
Prim Masrokan Mutohar, Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Peningkatan Mutu dan
Daya Saing Lembaga Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 34.
1 7
Armand V. Feigenbaum, Total Quality Control: Third Edition, Revised (Singapore:
Library of Congress Catalogging-in-Publication Data, 1991), 14.
1 8
Widodo dkk., Kamus Ilmiah Populer (Yogyakarta: Absolut, 2002), 434.
27
perusahaan dan organisasi atau penggunaan sumber daya secara efektif untuk
mencapai sasaran.1 9
1
Anwar Dessy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia9 (Surabaya: Karya Abditama, 2001),
274.
2 0
Hasibuan, Manajemen: Dasar, 2.
2
Harlod Koonts dan Cyril O’Dennol, Management1 (Jakarta: Erlangga, 1981), 19.
2
Gibson, Organization (Jakarta: Erlangga, 1982), 219.
2 3
Peter F. Dracer, Management Tasks: Responsibility and Practies (Jakarta: Erlangga,
1982), 281.
28
Dalam kaitannya dengan pendidikan, ciri umum dari sistem terbuka dalam
dunia pendidikan adalah; 1) mengambil energi (masukan) dari lingkungan baik
internal maupun eksternal; 2) mentransformasikan energi yang tersedia; 3)
memberikan hasil dan manfaat kepada lingkungan; 4) sistem merupakan
2 4
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1999), 1.
2 5
Hasibuan, Manajemen: Dasar, 28.
29
2 6
Sagala, Manajemen Strategik, 16.
2 7
Hasibuan, Manajemen: Dasar, 28.
30
Pengertian mutu dapat dilihat juga dari konsep absolut dan relatif. Dalam
konsep absolut sesuatu (barang) disebut berkualitas bila telah memenuhi standar
tertinggi dan sempuma, artinya barang tersebut sudah tidak ada yang melebihi.
2 8
Hasibuan, Manajemen: Dasar, 28.
2 9
Joseph Martinich, Production and Operation Management (USA: Jhon Wiley & Son
Inc, 1997), 138.
3
Edward Sallis, Total Quality Management 0 in Education, (Manajemen Mutu
Pendidikan), terjemahan oleh Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurozi (Yogyakarta: IRCisoD, 2012), 31.
3 1
Charles Hoy, et.al., Improving Quality in Education (London: Longman Publishing
Company, 2000), 15.
31
Bila diterapkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini bersifat elastis
karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas
tertinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit siswa yang akan mampu
membayarnya. Sedangkan, dalam konsep relatif, mutu berarti telah memenuhi
spesifikasi yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan (fit for their purpose) atau
telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pelanggan. 3
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, makna mutu adalah standar atau
ukuran terhadap sesuatu (barang atau jasa) yang diharapkan tercapai dari suatu
produk atau layanan untuk memenuhi kepuasan para pelanggan.
Manajemen mutu adalah upaya yang dilakukan dalam meningkatkan mutu
melalui penerapan fungsi-fungsi manajemen. Manajemen mutu (quality
management) mempelajari setiap area dari manajemen operasi mulai dari
perencanaan lini produk dan fasilitas sampai pada penjadwalan dan monitoring
hasil. Manajemen mutu berada pada semua dan merupakan bagian dari semua
fungsi usaha seperti pemasaran, sumber daya manusia, keuangan dan lain-lain.
Manajemen mutu merupakan suatu pendekatan yang mengedepankan kepuasan
customer dan berdasar pada keterlibatan seluruh anggota organisasi dalarn
meningkatkan proses, produk, layanan jasa serta lingkungan kerjanya.
Penekanannya yaitu pada adanya perbaikan yang terus menerus (continuous
improvement). Dengam demikian keberhasilan manajemen mutu perlu didukung
oleh model kepemimpinan yang partisipatif, visioner dan transformasional.
Manajemen mutu juga merupakan pendekatan sistematis untuk mengenali
permasalahan dan peluang yang dapat: (1) meningkatkan produk dan layanan jasa
bagi customer (berfokus pada customer); (2) menekankan pada keterlibatan
pegawai dan tim kerja; (3) menggunakan pengukuran kinerja untuk memusatkan
pada hasil; (4) mengandalkan interprestasi dan pengumpulan data; (5) menyokong
manajemen yang berdasar pada fakta dan; (6) melibatkan manajemen dan alokasi
sumber daya yang efektif dan efisien.3 3
3 2
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah; Teori, Model dan Aplikasi (Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), 68.
3 3
Karhi Nisjar dan Winardi, Teori Sistem dan Pendekatan dalam Bidang Manajemen
(Bandung: Mandar Maju, 1997), 142.
32
difokuskan pada perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya lebih kepada
pendidikan etika yang meliputi aspek produktivitas dan kreativitas manusia dalam
peran dan profesinya dalam kehidupan di masyarakat dan alam semesta.
Definisi pendidikan lainnya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Muhammad Fadil al-Jamaly yang mengatakan bahwa pendidikan adalah “upaya
mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga
terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal,
perasaan, maupun perbuatan".3 5
3 4
Al-Shaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan oleh Hasan Langgulung (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), 399.
3 5
Muhammad Fadil Al-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur’an (Surabaya: Bina
Ilmu, 1986), 3.
3 6
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1992), 26.
33
3
Oemar Hamalik, Evaluasi Kurikulum (Bandung: 7Remaja Rosda Karya, 1990), 33.
3 8
Sekretaris Negara RI, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional)
dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta: Fokus Media, 2013), 19.
34
tentang Lingkup, Fungsi dan Tujuan, pasal 1 disebutkan bahwa: “Lingkup Standar
Nasional Pendidikan meliputi: a) standar isi, b) standar proses, c) standar
kompetensi lulusan, d) standar pendidik dan tenaga kependidikan, e) standar
sarana dan prasarana, f) standar pengelolaan, g) standar pembiayaan, dan h)
standar penilaian.4 0
3 9
Menteri Hukum dan HAM RI, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta: Fokus
Media, 2013), 62.
4 0
Menteri Hukum dan HAM RI, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, 65.
4 1
Menteri Hukum dan HAM RI, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, 153.
35
4 2
G. Bounds, Beyond Total Quality Management toward the Emerging Paradigma (New
York: Mc-Graw Hill Inc, 1994), 76.
4 3
Quality Management Karya M. Juran, http://www.thefreelibrary.com/Joseph+M+Juran:
+Quality+management-. (diakses 09 Desember 2015).
4
M. Nur Nasution, Manajemen Mutu Terpadu 4(Total Quality Management) (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2015), 29-30.
36
4 5
Edward Deming, Out of Crisis (Boston: Massachusetts, 1986), 89. Baca juga: J.E.
Ross, Total Quality Management (London: Kogan Page Limited, 1994), 237.
38
4 6
Ross, Total Quality Management, 237.
39
Sebagian ahli tata bahasa menegaskan bahwa asal kata santri berasal dari
bahasa Tamil berarti “guru ngaji”. Pendapat lain mengatakan bahwa santri itu
sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “cantrik”, yang memiliki
makna sebagai orang-orang yang tinggal bersama dengan seorang resi dalam
4 7
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: LP3S, 1986), 16.
4 8
Ziemek, Pesantren dalam Perubahan, 8.
40
Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata
shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama
Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari
kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku
tentang ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian
seorang murid yang belajar buku-buku suci atau ilmu-ilmu pengetahuan agama
Islam. Dengan demikian, pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya
interaksi guru murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam
rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman.5 0
Dari sekian pendapat yang berbeda tentang asal-usul istilah santri tersebut,
kiranya pendapat yang bisa dijadikan kesimpulan adalah pendapat Nurkholis
Madjid yang menyebutkan bahwa asal-usul istilah santri berasal dari dua
pendapat. Pertama, kata santri berasal dari perkataan sastri, sebuah kata dari
bahasa sansekerta, yang artinya ”melek huruf”. Cak Nur menduga bahwa pada
awal pertumbuhan kekuasaan politik Islam Demak, kaum santri adalah kelas
literary bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama
melalui kitab-kitab yang bertuliskan dan berbahasa Arab. Kedua, kata santri
berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata “cantrik”, yang artinya “seorang
murid yang mengikuti seorang guru ke mana pun guru ini pergi menetap”.
Tentunya, dengan tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian.5
Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, istilah pendidikan pondok pesantren
berasal dari istilah Kuttab yaitu lembaga pendidikan Islam yang berkembang pada
masa Bani Umayyah. Di Indonesia, istilah Kuttab lebih dikenal dengan istilah
“pendidikan pesantren” atau “pondok pesantren”, yaitu lembaga pendidikan Islam
4 9
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1985), 18.
5 0
Dhofier, Tradisi Pesantren, 18.
5 1
Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadina, 1997), 19.
41
yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik
para santri (anak didik) dengan sarana mesjid yang digunakan untuk
menyelenggarakan pendidikan tersebut serta didukung adanya pondok sebagai
tempat tinggal para santri.5 2
Pasal 1 ayat (4) PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Keagamaan menyebutkan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan
diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya. 5
5 2
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan
Kerangka Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya, 1993), 298-299.
5
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di3 Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti,
2002), 9-10.
5 4
Menteri Hukum dan HAM RI, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta:
Fokus Media, 2013), 146..
42
5 5
M. Dawan Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1985), 82.
5 6
Ahmad Muthohar AR., Ideologi Pendidikan Pesantren: Pesantren di tengah Arus
Ideologi-Ideologi Pendidikan (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), 11.
5 7
Syafiduin, ed., Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren (Jakarta: Departemen Agama
RI, 2004), 18.
5 8
Hanun Asrohah, dkk., Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan dan Pelembagaan
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 1-7.
43
5 9
Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, 10.
6 0
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana ilmu, 1999), 3-6.
6 1
Abdurahman Mas’ud, Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yograkarta: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2002), 3-10.
6 2
Abdurahman Mas’ud, Sejarah Pesantren dari Walisanga Hingga Kini. “Jurnal Justisia”,
(Edisi 18, Tahun VII, 2000), 32.
44
6 3
Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren, 25.
6 4
Asrohah, Sejarah Pendidikan, 145.
45
6
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di5 Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), 196.
6 6
Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren: Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di
Jawa-Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Disertasi (Jakarta:Perpustakaan UIN, 2000), 86. t.d.
6 7
Yunus, Sejarah Pendidikan, 196.
46
segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial
Belanda ini khususnya berpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi,
yaitu pengetahuan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam lebih ditekankan
pada pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama.6
Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan
pemerintah kolonial, lembaga pendidikan pesantren tetap eksis dan bahkan
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Jika pada awal abad ke-19,
waktu Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah, jumlah pesantren di Jawa
hanya sebanyak 1.853 buah, dengan jumlah santri 16.556 orang. Tetapi pada akhir
abad ke-19 jumlah pesantren mencapai 14.929 buah dengan jumlah santri 222.663
orang.6 9
6 8
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern (Jakarta: Lp3ES, 1986), 24.
6 9
Dhofier, Tradisi Pesantren, 33.
7 0
Sartono Karto Dirjo, Sejarah Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), 131.
47
7 1
Dhofier, Tradisi Pesantren, 33.
48
Demikianlah pesantren yang telah ada di Indonesia sejak dua abad lalu
tidak mengalami penurunan peran. Bahkan justru semakin eksis dan diminati
masyarakat. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah pesantren dalam tiga dasa
warsa terakhir, sejak tahun 1970-an.
Data Departemen Agama, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 1977
jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang.
Jumlah tersebut mengalami peningkatan berarti pada tahun 1981, di mana
pesantren berjumlah sekitar 5.661 buah dengan jumlah santri sebanyak 938.397
orang. Pada tahun 1985 jumlah pesantren mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239
dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang dan pada tahun 1997/1998
Departemen Agama telah mencatat 9.388 buah pesantren dengan santri sebanyak
1.770.768 orang.7 Pada tahun 2010 Direktorat Pendidikan 2Pesantren dan Diniyah
Kementerian Agama RI mencatat pondok pesantren di Indonesia sebanyak 27.000
unit dengan jumlah santri sebanyak 22 juta orang yang tersebar di 33 provinsi.
3. Landasan Pendidikan Pondok Pesantren
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli
(indigenous) Indonesia dan eksistensinya sebagai sub sistem pendidikan nasional
yang sah memiliki dasar yang cukup kuat, baik secara teologis, ideologis maupun
konstitusional.
a. Landasan Teologis
Dasar teologis pendidikan pondok pesantren adalah ajaran Islam, yakni
bahwa melaksanakan pendidikan agama merupakan perintah dari Tuhan dan
merupakan ibadah kepada-Nya. Dasar yang dipakai adalah Al-Qur’an dan Hadits.
Dasar Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nahl ayat 125:
ilmu pengetahuan agama. Dasar pemikiran ini relevan dengan al-Qur’an surat At-
Taubah ayat 121:
ِ ِ ٍِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ ِ ىو ىما ىكا ىن الْ ُم ْؤمنُ ْو ىن ليىنْف ُرْوا ىكافَّةً فىلى ْو ىل نى ىفًر م ْن ُك ِّل ف ْرقىة مْن ُه ْم طىائ ىفة ليىتى ىف َّق ُه ْوا
ِف
ِ ِ ِ ِ
)122 : 9 : ي ىذ ُرْو ىن (التوبة ْالدِّيْ ِن ىو ليُ ْنذ ُرْوا قى ْوىم ُه ْم ا ىذا ىر ىجعُ ْوا الىْي ِه ْم لى ىعلَّ ُه ْم ى
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali padanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya”.
7 3
Zuhairini, et. al., Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1983), 21.
7 4
Abu Zakaria Yahya Ibn Sharaf Al-Nawawi, Riyad} al-S}olihin (Semarang: CV. Toha
Putra,t.t), 283.
7 5
Al-Nawawi, Riyad}, 283.
50
di dunia untuk mencari ridla Allah Swt. Dengan demikian, pondok pesantren
memerankan dirinya sebagai model pendidikan yang ‘alim secara intelektual dan
cerdas secara spiritual.
b. Landasan Ideologis
Dasar ideal pendidikan pondok pesantren adalah falsafah Negara
Pancasila, yakni sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
mengandung pengertian bahwa seluruh bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa, atau tegasnya harus beragama.
c. Landasan Konstitusional
Sadangkan dasar konstitusional pendidikan pondok pesantren adalah
Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 31 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: (1)
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran; dan (2) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang
diatur dengan Undang-Undang” serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada ayat 26 pasal 1 yang menyatakan bahwa
“Pendidikan non-formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat”. Selanjutnya, pada pasal 4 dinyatakan, “Satuan Pendidikan
formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat dan majelis taklim serta satuan pendidikan sejenis”.7
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 pasal 30 ayat (1) sampai ayat (4) dinyatakan bahwa:
1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai
ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli agama.
3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan
formal, non formal dan informal.
4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. 7
7 6
Sekretaris Negara RI, Undang-Undang SISDIKNAS, 14.
7 7
Sekretaris Negara RI, Undang-Undang SISDIKNAS, 16.
51
8 1
Muthohar AR, Ideologi Pendidikan, 17-18.
8 2
Haidar Putra Daulay, Histirositas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 9. Lihat pula Muthohar AR, Ideologi Pendidikan, 16-17.
8 3
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), 3.
8 4
Dhofier, Tradisi Pesantren, 44.
8 5
Imam Zarkasi, Pembangunan Pondok Pesantren dan Usaha untuk Melanjutkan
Hidupnya, dalam Jurnal Al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun IV no. 5-6 (Sept. –
Nop. 2005), 24-25.
53
8 6
Departemen Agama RI, Pedoman Supervisi Pondok Pesantren Salafiyah dalam Rangka
Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Jakarta: Dirjen Binbagais Depag RI, 2001), 11-12.
8 7
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 190.
54
8 8
Dhofier, Tradisi Pesantren, 34.
8 9
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999), 87.
9 0
Amin Haedari, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern (Jakarta: Diva Pustaka,
2004), 4.
9 1
Sukamto, Kepemimpinan Kyai, 85.
9 2
Dhofier, Tradisi Pesantren, 55.
55
atau pengasuh pondok pesantren. Gelar kyai dewasa ini juga dianugerahkan
sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ulama yang mumpuni dalam bidang
ilmu agama atau para penceramah agama Islam.9 3
9
Amin Haedari dan Abdullah Hanif (eds.), Masa3 Depan Pesantren dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta: IRD Press, 2004), 29.
56
kyai serta memberikan sumbangan dan partisipasi yang tinggi apabila pesantren
membutuhkan sesuatu.9 4
Dari ke empat kelompok santri tersebut, istilah yang baku dan sering
digunakan oleh kebanyakan pesantren adalah istilah santri mukim dan santri
kalong, sementara sebutan untuk santri alumnus dan santri luar hanya terdapat di
beberapa pesantren tertentu saja.
3) Pengajaran Kitab-kitab Kuning (Pengajian)
Proses bergurunya seorang santri terhadap kyai di pondok pesantren yang
disebut “ngaji” atau “pengajian”. Ngaji adalah bentuk kata kerja aktif dari
perkataan “kaji”, yang berarti “mengikuti jejak haji”, yaitu belajar agama dengan
bahasa Arab. Tampaknya, karena keadaan pada abad-abad lalu memaksa orang
untuk tinggal di tanah suci, sehingga memberi kesempatan padanya untuk belajar
agama di Mekkah, yang kelak diajarkan kepada orang lain ketika pulang.
Mayoritas orang yang menjadi pengasuh di pesantren, dulunya adalah orang yang
pernah mengenyam pendidikan di kota suci Mekkah. Tokoh utama pesantren
seperti KH. Kholil Bangkalan, KH. Nawawi Al-Bantani, KH. Mahfudz Al-
Tirmasi, bahkan Hadratus Syaikh Hasyim Al-Asy’ari, mereka semua adalah
orang-orang yang mengenyam pendidikan di Mekkah dalam kurun waktu yang
lama.9 5
Selain itu, ngaji juga bisa berasal dari bentuk kata kerja aktif “aji” yang
berarti “terhormat”, “mahal” atau “kadang-kadang”. Keterkaitan itu bisa
dibuktikan dengan adanya kata aji-aji yang berarti “jimat”. Jadi, ngaji dalam hal
ini berarti “mencari sesuatu yang berharga atau menjadikan diri terhormat atau
berharga”. Memang, untuk memutuskan mana yang lebih benar dari asal usul
istilah “ngaji” tidak ada data sejarah yang pasti. Namun demikian seluruh alasan
yang diungkapkan sangat logis dan mengarah kepada kemuliaan pesantren, kyai,
santri dan pengajian.9 6
9 4
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng (Malang:
Kalimah Syahadah Press, 1993), 12-13.
9 5
Haedari, Panorama Pesantren, 5.
9 6
Haedari, Panorama Pesantren, 5.
57
9 7
Haedari, Panorama Pesantren, 7.
9 8
Mastuhu, Dinamika Sistem, 20.
58
tersebut secara teratur dan dalam waktu yang cukup lama sehingga para santri
harus menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di
desa-desa yang tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk
menampung santri, dengan demikian perlu adanya asrama yang khusus bagi para
santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, di mana para santri
menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai
menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap
ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus
menerus.9 9
5) Mesjid
Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya
pertama-tama akan mendirikan mesjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya
diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup
memimpin sebuah pondok pesantren. Karena itu kedudukan mesjid sebagai pusat
pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari
sistem pendidikan Islam tradisional.1 0
9 9
Muthohar AR, Ideologi Pendidikan, 30.
1 0 0
Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), 99.
1 0 1
Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1994), 142.
59
Menurut Departemen Agama RI, jenis atau tipologi pesantren dilihat dari
macam atau jenis ilmu pengetahuan yang diajarkannya terbagi ke dalam tiga tipe
berikut:
1) Pesantren salafy, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pelajaran
dengan pendekatan tradisional secara individual maupun kelompok
dengan konsentrasi pembelajaran kitab kuning berbahasa Arab.
2) Pesantren khalafy, yaitu pesantren yang menyelenggarakan kegiatan
pendidikan dengan pendekatan modern melalui suatu pendidikan
1 0 2
Endang Soetari AD, Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren
(Bandung: Balai Penelitian IAIN SGD Bandung, 1987), 41-42.
1 0 3
Wardi Bachtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat
(Bandung: Balai Penelitian IAIN SGD, 1990), 22.
60
1 0 4
Dirjen Binbaga Islam, Profil Pondok Pesantren (Jakarta: Depag RI, 2004), 15-16.
1 0 5
Dhofier, Tradisi Pesantren, 42.
1 0 6
Haedari, Panorama Pesantren,16.
61
1 0 7
Zuhairini, et. al., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Proyek Pembinaan
Sarana dan Prasarana Pendidikan Tingga Agama-IAIN, 1986), 85.