Anda di halaman 1dari 40

22

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Faktor Pendukung Implementasi


1. Pengertian Implementasi
Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata benda implement
yang berarti alat atau peralatan dan dari kata kerja to implement yang berarti
mengimplementasikan.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implemen
diartikan sebagai benda atau alat yang merupakan bagian dari perlengkapan kerja,
implementasi diartikan dengan pelaksanaan atau penerapan, peng-implementasi-
an diartikan dengan proses, cara atau perbuatan mengimplementasikan dan
mengimplementasikan diartikan dengan melaksanakan atau menerapkan.2
Majone, Mclaughin dan Wildavsky, sebagaimana dikutip oleh Syafruddin
Nurdin dan Basyiruddin Usman, memaknai implementasi sebagai evaluasi dan
menyatakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling
menyesuaikan”. Sedangkan Schubert mengemukakan bahwa ”implementasi
adalah sistem rekayasa”. 3 Menurut Basyiruddin Usman “implementasi adalah
bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem.
Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan
untuk mencapai tujuan kegiatan dari kegiatan yang direncanakan”.4 Menurut Rian
Nugroho Dwijowijoto, “implementasi merupakan tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan, tindakan tersebut dilakukan
baik oleh individu, pejabat pemerintah ataupun swasta.5 Sedangkan menurut
Solichin Abdul Wahab, “implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan

1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia,
2005), 313.
2
DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013), 528-529.
3
Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi
Kurikulum (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 70.
4
Basyiruddin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum (Jakarta: Ciputat Press,
2002), 70.
5
Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004), 159.
23

baik oleh individu-individu, pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah


atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan”.6
Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi
bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan atau mekanisme suatu sistem.
Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar
aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-
sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh
karena itu, keberhasilan mengimplementasikan sesuatu tidak berdiri sendiri tetapi
dipengaruhi oleh adanya rencana yang matang. Dalam kajian ilmu manajemen,
implementasi dilakukan setelah perencanaan dianggap final. Istilah implementasi
tidak bisa digunakan pada tindakan melaksanakan atau menerapkan sesuatu yang
tidak terrencana dengan baik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah suatu
tindakan penerapan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun
dengan matang dan terperinci.
2. Faktor Pendukung Implementasi
Keberhasilan implementasi dari sebuah rencana kegiatan sangat
bergantung kepada beberapa faktor pendukung, di antaranya:
1) Strategi implementasi yaitu rencana kegiatan dapat langsung
dilaksanakan atau memerlukan kebijakan turunan sebagai kebijakan
pelaksanaan. Konsep-konsep strategi implementasi meliputi:
penyesuaian struktur dengan strategi, pelembagaan strategi,
pengoperasion strategi dan penggunaan prosedur untuk memudahkan
implementasi.
2) Pengorganisasian yaitu merumuskan prosedur implementasi yang diatur
dalam model dasar mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan.
Konsep-konsep pengorganisasian implementasi meliputi; desain
organisasi dan struktur organisasi, pembagian pekerjaan dan desain

6
Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang Press, 1997), 63.
24

pekerjaan, integrasi dan koordinasi, perekrutan dan penempatan sumber


daya manusia, hak, wewenang dan kewajiban, pendelegasian,
pengembangan kapasitas organisasi dan kapasitas sumber daya
manusia, dan budaya organisasi.
3) Penggerakan dan kepemimpinan yaitu melakukan alokasi sumber daya,
menyesuaikan prosedur implementasi dengan sumber daya yang
digunakan, saat kebijakan pada fase ini sekaligus diberikan pedoman
atau ruang gerak bagi individu pelaksana untuk memilih tindakan
sendiri yang otonom dalam batas wewenang apabila menghadapi situasi
khusus. Konsep-konsep penggerakan dan kepemimpinan implementasi
meliputi: efektivitas kepemimpinan, motivasi, etika, mutu, kerja sama
tim, komunikasi organisasi dan negoisasi.
4) Pengendalian implementasi yaitu mengendalikan implementasi dengan
melakukan proses monitoring secara berkala. Konsep-konsep
pengendalian implementasi meliputi: desain pengendalian, sistem
informasi manajemen, monitoring, pengendalian anggaran dan audit.7
B. Sistem Manajemen Terbuka
1. Pengertian Sistem Manajemen Terbuka
Pembahasan mengenai sistem manajemen terbuka minimal memerlukan
penjelasan tentang tiga pengertian yakni pengertian tentang sistem, manajemen
dan terbuka. Pembahasan terhadap ketiga term tersebut secara parsial menjadi
penting agar pemahaman mengenai sistem manajemen terbuka lebih mendalam
dan komprehensif.
Konsep sistem telah diambil oleh ilmu sosial dari ilmu pasti, secara khusus
dari ilmu biologi dan fisika yang berkaitan dengan materi, energi, gerak dan
kekuatan. Semua konsep ini awalnya lebih diarahkan pada pengukuran sesuatu
yang pasti dan mengikuti aturan-aturan tertentu. Istilah sistem sendiri berasal dari
bahasa Yunani “sistema” yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang
saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.8

7
Dwijowoyoto, Kebijakan Publik: Formulasi, 163.
8
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), 107.
25

Teori umum tentang sistem awalnya dipelopori oleh seorang ahli biologi
bernama Ludwig Von Bertalanffy yang mendefinisikan sistem dengan,
“complexes of elements standing in interaction”.9“sets of elements standing in
interaction”,1 atau “a complex of interacting elements”.
0 1
Ludwig Von
Bertalanffy memperluas teori sistem dari hanya sistem biologi (biological
systems) ke dalam teori sistem dalam disiplin ilmu lainnya.
Ludwig Von Bertalanffy dkk. kemudian membentuk suatu perkumpulan
untuk pengembangan teori sistem dan kemudian mempublikasikan General
System Theory : Foundation, Development, and Applications. Sedangkan Richard
A. Johnson dkk. mendefinisikan sistem dengan, “a system is an organized or
complex whole: an assemblage or combination of things or parts forming a
complex or unitary whole.”1 Raymond McLeod mendefinisikan sistem
2
sebagai
sekelompok elemen yang terintegrasi untuk mencapai suatu tujuan.1
Dari beberapa definisi di atas dapat dikatakan bahwa suatu sistem adalah
merupakan kumpulan dari objek-objek (komponen), kumpulan hubungan antar
objek tersebut dan antar atribut mereka yang kesemuanya terhubung satu sama
lain kepada lingkungannya sehingga membentuk suatu kesatuan yang menyeluruh
(whole).
Suatu sistem dikatakan terbuka menurut Ludwig Von Bertalanffy adalah
jika sistem saling mempengaruhi dengan lingkungan luarnya sehingga terjadi
proses saling memberi dan menerima di mana setiap komponen bisa saling
mendukung dan juga bisa saling menjatuhkan. Ludwig Von Bertalanffy
mengandaikan paradigma sistem pada aspek ilmu kimia, biologi, dan matematika
di mana suatu sistem akhirnya akan berada pada titik equilibrium seperti halnya
sebuah proses physiologi. Sistem di dalam sebuah organisme dikatakan sebagai
sebuah sistem terbuka karena dipengaruhi oleh banyak faktor yang berada di luar

9
Ludwig Von Bertalanffy, General System Theory (New York: George Braziler, 1968),
33.
1 0
Bertalanffy, General System Theory, 38.
1 1
Bertalanffy, General System Theory, 55.
1
Richard A. Johnson, et.al, The Theory and 2Management of Systems (McGraw:
Hill,1973),5.
1
Raymond McLeod, Management Information 3 System (New Jersey: Prenrice-hall
International -Inc, 2001), 8.
26

organisme itu sendiri. Teori tentang sistem terbuka model Ludwig Von
Bertalanffy ini berasal dari aplikasi untuk biologi, teori informasi dan cybernetic,
akan tetapi secara potensial dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu yang lain
termasuk pada ilmu manajemen organisasi.
Istilah manajemen berasal dari kata management (bahasa Inggris) yang
disimplikasi dari kata to manage yang berarti mengatur atau mengelola sesuatu. 1
Kata manage itu sendiri, berasal dari bahasa Italia yaitu meneggio yang diadopsi
dari bahasa Latin managiare yang berasal dari kata manus yang artinya tangan.1
Dalam bahasa Arab, kata tangan sering diterjemahkan dengan yad yang
mengandung arti kekuasaan, kemampuan dan kemampuan memberikan petunjuk
untuk menggerakkan pihak lain. Dalam Islam, terdapat pengertian yang memiliki
makna yang sama dengan hakekat manajemen yaitu al-tadbir (pengaturan) kata
ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur).1 6

Ditinjau dari sudut pandang bahasa di atas, menunjukkan bahwa terhadap


kata manajemen, dapat dibuat suatu pembatas atau definisi sebagai berikut:
"Bekerja dengan orang-orang untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu
organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan (planing),
pengorganisasian (organizing), penyusunan personalia atau kepegawaian
(staffing), pengarahan dan kepemimpinan (leading) dan pengawasan
(controling)".1 7

Dalam kamus Ilmiah Popular, manajemen diartikan dengan pengelolaan


usaha, kepengurusan, ketatalaksanaan penggunaan sumber daya secara efektif
untuk mencapai sasaran yang diinginkan oleh direksi.1 8

Sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, manajemen


diartikan dengan pimpinan atau direksi yang bertanggung jawab atas jalannya

1 4
Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah (Jakarta: Bumi
Aksara, 2016), 1.
Syaiful Sagala, 1 Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
5
(Bandung:
Alfabeta, 2010), 50.
1 6
Prim Masrokan Mutohar, Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Peningkatan Mutu dan
Daya Saing Lembaga Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 34.
1 7
Armand V. Feigenbaum, Total Quality Control: Third Edition, Revised (Singapore:
Library of Congress Catalogging-in-Publication Data, 1991), 14.
1 8
Widodo dkk., Kamus Ilmiah Populer (Yogyakarta: Absolut, 2002), 434.
27

perusahaan dan organisasi atau penggunaan sumber daya secara efektif untuk
mencapai sasaran.1 9

Malayu S.P Hasibuan mendefinisikan manajemen sebagai ilmu seni yang


mengatur pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara
efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.2 0

Harlod Koonts dan Cyril O'Donnel mengemukakan bahwa manajemen


adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang
lain.2 Gibson, mendefinisikan manajemen adalah
1
suatu teknik mengatur sesuatu
sehingga maksud dan tujuan dari sekelompok manusia yang terhimpun dalam
organisasi tertentu dapat ditetapkan, dijelaskan dan dijalankan.2
Peter F. Dracker menyebutkan bahwa manajemen harus memberikan arah
pada lembaga yang dikelolanya. Ia harus memikirkan misi lembaga itu,
menetapkan sasaran-sasaran, dan mengorganisasikan sumber-sumber daya yang
ada untuk untuk tujuan-tujuan yang telah di gariskan oleh lembaga tersebut.2
Manajemen dalam pengertian di atas dapat diterjemahkan dengan "seni
untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain atau melalui keterlibatan
pihak lain". Jika manajemen didefinisikan semacam itu, maka pengertian
manajamen mengandung perhatian pada kenyataan ril yang membutuhkan
seorang manajer dan sejumlah orang untuk mencapai tujuan suatu organisasi
dengan cara mengatur orang lain untuk melaksanakan tugas apa saja yang
mungkin diperlukan dalam rangka mencapai tujuan dimaksud. Dengan kata lain,
manajemen adalah upaya atau cara melaksanakan pekerjaan dengan cara
melibatkan orang lain atau pihak lain.
Makna manajemen juga sering diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesional
dengan penjabaran sebagai berikut:

1
Anwar Dessy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia9 (Surabaya: Karya Abditama, 2001),
274.
2 0
Hasibuan, Manajemen: Dasar, 2.
2
Harlod Koonts dan Cyril O’Dennol, Management1 (Jakarta: Erlangga, 1981), 19.
2
Gibson, Organization (Jakarta: Erlangga, 1982), 219.
2 3
Peter F. Dracer, Management Tasks: Responsibility and Practies (Jakarta: Erlangga,
1982), 281.
28

1. Manajemen diartikan sebagai ilmu karena merupakan suatu bidang


pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan
bagaimana orang bekerjasama.
2. Manajemen diartikan sebagai kiat karena manajemen mencapai sasaran
melalui cara-cara dengan mengatur orang lain dalam menjalankan
tugas.
3. Manajemen diartikan sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh
keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer dan para
profesional dituntut oleh suatu kode etik.2 4

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa


sistem manajemen terbuka (open management) adalah sistem manajemen yang
berinteraksi secara terbuka dengan lingkungannya, baik internal maupun eksternal
organisasi serta dalam lingkungan internal organisasi (antar sub system) itu sendiri
dalam hal perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengarahan atau
pengendalian.
2. Ciri-ciri Sistem Manajemen Terbuka
Ciri utama dari sistem manajemen terbuka adalah : Pertama, Atasan atau
manajer banyak menginformasikan keadaan (rahasia) perusahaan kepada para
bawahannya, sehingga bawahan dalam batas-batas tertentu mengetahui keadaan
perusahaan (orang), dan semakin tinggi kedudukan bawahan semakin banyak ia
mengetahui rahasia perusahaan, tetapi rahasia jabatan selalu dipegang teguh oleh
manajer atau atasan. Kedua, Seorang manajer sebelum mengambil keputusan,
terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada para bawahan untuk
mengemukakan saran-saran atau pendapat, keputusan terakhir tetap berada di
tangan manajer.2 5

Dalam kaitannya dengan pendidikan, ciri umum dari sistem terbuka dalam
dunia pendidikan adalah; 1) mengambil energi (masukan) dari lingkungan baik
internal maupun eksternal; 2) mentransformasikan energi yang tersedia; 3)
memberikan hasil dan manfaat kepada lingkungan; 4) sistem merupakan
2 4
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1999), 1.
2 5
Hasibuan, Manajemen: Dasar, 28.
29

rangkaian peristiwa atau kejadian yang terus berlangsung; 5) sistem harus


bergerak melawan proses entropi/kehancuran; 6) masukan sistem tidak hanya hal-
hal bersifat material, tetapi juga berupa informasi yang pengambilannya bersifat
selektif dan balikannya merupakan balikan negatif; 7) sistem dalam keadaan statis
dan keseimbangan intern (homostatis) yang dinamis; 8) sistem bergerak menuju
melakukan peranan-peranan yang makin berdiferensiasi; dan 9) sistem dapat
mencapai keadaan akhir yang sama dengan kondisi awal yang berbeda dengan
cara-cara pencapaian yang tidak sama.2 6

3. Kelebihan dan Kelemahan Sistem Manajemen Terbuka


Di antara kelebihan dari sistem manajemen terbuka menurut Malayu S.P.
Hasibuan adalah:
1) Para bawahan ikut memikirkan kesulian-kesulitan yang dihadapi
organisasi atau perusahaan dan ikut pula memikirkan cara-cara
pemecahan masalah yang dihadapi dan berusaha mengembangkan
perusahaan atau organisasinya,
2) Para bawahan mengetahui arah yang diambil semua orang, sehingga
jika telah menjadi keputusan mereka tidak ragu lagi untuk
melaksanakan,
3) Para bawahan akan lebih bergairah dan berpartisipasi tinggi
pada tugasnya,
4) Para bawahan terbina dan terlatih sehingga pengkaderan menjadi
berkembang dan berkesinambungan,
5) Munculnya suatu kompetisi yang sehat sambil mereka berlomba-lomba
mengembangkan kecakapan dan kemampuannya masing-masing,
6) Timbulnya kerja sama yang semakin baik dan hubungan-hubungan
yang semakin harmonis,
7) Adanya perasaan senasib dan sepenanggungan serta solidaritas yang
semakin baik.2 7

Sedangkan di antara kelemahan dari sistem manajemen terbuka adalah:


1) Pengambilan keputusan relarif lama, bertele-tele dan biaya bertambah
banyak sebab seringnya diadakan pertemuan-pertemuan,
2) Rahasia keadaan organisasi atau perusahaan kurang terjamin, karena
kemungkinan para pejabat yang mengikuti pertemuan membocorkan,
3) Kecakapan dan kepemimpinan manajer akan diketahui oleh para
bawahan sehingga memungkinkan wibawanya berkurang,
4) Biasanya diterapkan oleh manajer parsitipatif karena falsafah dari
kepemimpinannya adalah manajer (atasan) itu untuk bawahan.2

2 6
Sagala, Manajemen Strategik, 16.
2 7
Hasibuan, Manajemen: Dasar, 28.
30

C. Manajemen Mutu Pendidikan Pondok Pesantren


1. Pengertian Manajemen Mutu Pendidikan Pondok Pesantren
Pengertian mutu memiliki variasi sebagaimana didefinisikan oleh masing-
masing orang atau pihak. Produsen (penyedia barang/jasa) atau konsumen
(pengguna/pemakai barang/jasa) akan memiliki definisi yang berbeda mengenai
mutu barang/jasa. Perbedaan ini mengacu pada orientasi masing-masing pihak
mengenai barang/jasa yang menjadi objeknya. Satu kata yang menjadi benang
merah dalam konsep mutu baik menurut produsen maupun konsumen adalah
“kepuasan”.
Barang atau jasa yang dikatakan bermutu adalah yang dapat memberikan
kepuasan baik bagi pelanggan maupun produsennya. Dengan demikian maka
mutu dapat diterjemahkan dengan kualitas (quality) suatu barang atau suatu
pekerjaan yang dihasilkan dari produk jasa tertentu yang diminta user kepada
produsen penyedia jasa atau penyedia barang. Pendapat ini, diadopsi dari
pemikiran Joseph Martinich, yang menyebut quality is fitness for use (mutu
produk berkaitan dengan enaknya barang yang digunakan-pen).2 Artinya, apabila
suatu barang layak dan baik digunakan, atau suatu jasa dapat menyenangkan
pengguna jasa, berarti barang atau jasa tersebut bermutu baik.
Edward Sallis mengungkapkan bahwa mutu adalah kepuasan terbaik dan
tercapainya kebutuhan atau keinginan pelanggan. 3 Sementara Charles Hoy dkk, 0

mendefinisikan mutu dengan: “quality is often defined in term of outcomes to


match a costumer’s satisfaction,” mutu adalah kepuasan terhadap hasil/lulusan
berkualitas dan pelayanan yang baik.3 1

Pengertian mutu dapat dilihat juga dari konsep absolut dan relatif. Dalam
konsep absolut sesuatu (barang) disebut berkualitas bila telah memenuhi standar
tertinggi dan sempuma, artinya barang tersebut sudah tidak ada yang melebihi.

2 8
Hasibuan, Manajemen: Dasar, 28.
2 9
Joseph Martinich, Production and Operation Management (USA: Jhon Wiley & Son
Inc, 1997), 138.
3
Edward Sallis, Total Quality Management 0 in Education, (Manajemen Mutu
Pendidikan), terjemahan oleh Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurozi (Yogyakarta: IRCisoD, 2012), 31.
3 1
Charles Hoy, et.al., Improving Quality in Education (London: Longman Publishing
Company, 2000), 15.
31

Bila diterapkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini bersifat elastis
karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas
tertinggi kepada peserta didik dan hanya sedikit siswa yang akan mampu
membayarnya. Sedangkan, dalam konsep relatif, mutu berarti telah memenuhi
spesifikasi yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan (fit for their purpose) atau
telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pelanggan. 3
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, makna mutu adalah standar atau
ukuran terhadap sesuatu (barang atau jasa) yang diharapkan tercapai dari suatu
produk atau layanan untuk memenuhi kepuasan para pelanggan.
Manajemen mutu adalah upaya yang dilakukan dalam meningkatkan mutu
melalui penerapan fungsi-fungsi manajemen. Manajemen mutu (quality
management) mempelajari setiap area dari manajemen operasi mulai dari
perencanaan lini produk dan fasilitas sampai pada penjadwalan dan monitoring
hasil. Manajemen mutu berada pada semua dan merupakan bagian dari semua
fungsi usaha seperti pemasaran, sumber daya manusia, keuangan dan lain-lain.
Manajemen mutu merupakan suatu pendekatan yang mengedepankan kepuasan
customer dan berdasar pada keterlibatan seluruh anggota organisasi dalarn
meningkatkan proses, produk, layanan jasa serta lingkungan kerjanya.
Penekanannya yaitu pada adanya perbaikan yang terus menerus (continuous
improvement). Dengam demikian keberhasilan manajemen mutu perlu didukung
oleh model kepemimpinan yang partisipatif, visioner dan transformasional.
Manajemen mutu juga merupakan pendekatan sistematis untuk mengenali
permasalahan dan peluang yang dapat: (1) meningkatkan produk dan layanan jasa
bagi customer (berfokus pada customer); (2) menekankan pada keterlibatan
pegawai dan tim kerja; (3) menggunakan pengukuran kinerja untuk memusatkan
pada hasil; (4) mengandalkan interprestasi dan pengumpulan data; (5) menyokong
manajemen yang berdasar pada fakta dan; (6) melibatkan manajemen dan alokasi
sumber daya yang efektif dan efisien.3 3

3 2
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah; Teori, Model dan Aplikasi (Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), 68.
3 3
Karhi Nisjar dan Winardi, Teori Sistem dan Pendekatan dalam Bidang Manajemen
(Bandung: Mandar Maju, 1997), 142.
32

Pengertian pendidikan menurut Al-Shaibani adalah "proses mengubah


tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitamya
dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara
profesi-profesi asasi dalam masyarakat". 3 Menurut definisi ini, pendidikan lebih 4

difokuskan pada perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya lebih kepada
pendidikan etika yang meliputi aspek produktivitas dan kreativitas manusia dalam
peran dan profesinya dalam kehidupan di masyarakat dan alam semesta.
Definisi pendidikan lainnya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Muhammad Fadil al-Jamaly yang mengatakan bahwa pendidikan adalah “upaya
mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga
terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal,
perasaan, maupun perbuatan".3 5

Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan dalam arti luas dengan


“pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”. Kata “pengembangan pribadi”
mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan dan
pendidikan oleh orang lain (guru). Sedangkan yang dimaksud dengan "semua
aspek" mencakup aspek jasmani, akal dan hati.3 6

Menurut Oemar Hamalik, pengertian mutu dalam dunia pendidikan dapat


dilihat dari dua sisi yaitu segi normatif dan deskriptif, dalam artian normatif, mutu
ditentukan berdasarkan pertimbangan (kriteria) intrinsik dan ekstrinsik. Mutu
pendidikan dalam artian normatif berdasarkan kriteria intrinsik adalah produk
pendidikan itu sendiri yakni “manusia yang terdidik" sesuai dengan standar ideal.
Mutu pendidikan dalam artian normatif berdasarkan kriteria ekstrinsik adalah
pendidikan merupakan instrumen untuk mendidik “tenaga kerja" yang terlatih.
Sedangkan mutu pendidikan deskriptif adalah mutu pendidikan yang ditentukan

3 4
Al-Shaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan oleh Hasan Langgulung (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), 399.
3 5
Muhammad Fadil Al-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur’an (Surabaya: Bina
Ilmu, 1986), 3.
3 6
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1992), 26.
33

berdasarkan keadaan senyatanya, misalkan hasil tes prestasi belajar.3 Mutu


pendidikan mengacu pada dua hal yaitu proses pendidikan dan hasil pendidikan.
Berdasarkan penjelasan mengenai ketiga istilah (manajemen, mutu, dan
pendidikan) di atas, maka yang dimaksud dengan manajemen mutu pendidikan
pondok pesantren dalam pembahasan ini adalah perencanaan, pengorganisasian,
penggerakkan dan pengawasan terhadap mutu (kualitas) pendidikan pondok
pesantren. Dengan kata lain, manajemen mutu pendidikan pondok pesantren
adalah manajemen yang berkaitan dengan upaya yang dilakukan pondok
pesantren dalam meningkatkan kualitas perencanaan, proses dan hasil pendidikan
melalui penerapan fungsi-fungsi manajemen yang bertujuan agar pendidikan
pondok pesantren memiliki standar kualitas yang jelas.
2. Standar Mutu Pendidikan Pondok Pesantren
Standar mutu pendidikan pondok pesantren sebagai bagian dari sub sistem
pendidikan nasional tidak bisa terlepas dari Standar Nasional Pendidikan (SNP)
yang telah ditetapkan di Indonesia. Sebagai bagian dari sub sistem pendidikan
nasional, standar mutu pendidikan pesantren harus berdasarkan pada Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada pasal 35 ayat 1 disebutkan bahwa: “Standar nasional pendidikan
terdiri dari atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang
harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”.
Pada pasal 2 nya disebutkan: “Standar nasional pendidikan digunakan
sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan dan pembiayaan.3 8

Standar mutu pendidikan pondok pesantren sebagai sub sistem pendidikan


nasional juga didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan: “Standar
Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh

3
Oemar Hamalik, Evaluasi Kurikulum (Bandung: 7Remaja Rosda Karya, 1990), 33.
3 8
Sekretaris Negara RI, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional)
dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta: Fokus Media, 2013), 19.
34

wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3 Sedangkan pada Bab II 9

tentang Lingkup, Fungsi dan Tujuan, pasal 1 disebutkan bahwa: “Lingkup Standar
Nasional Pendidikan meliputi: a) standar isi, b) standar proses, c) standar
kompetensi lulusan, d) standar pendidik dan tenaga kependidikan, e) standar
sarana dan prasarana, f) standar pengelolaan, g) standar pembiayaan, dan h)
standar penilaian.4 0

Sejalan dengan SNP tersebut, pendirian pesantren sebagai satuan


pendidikan keagamaan diatur dalam pasal 13 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor
55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang menyebutkan
bahwa syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan terdiri atas; (a) isi
pendidikan/kurikulum, (b) jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga
kependidikan, (c) sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya
kegiatan pembelajaran, (d) sumber pembiayaan untuk kelangsungan program
pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik
berikutnya, (e) sistem evaluasi, dan (f) manajemen dan proses pendidikan.4
Pendidikan pondok pesantren yang bermutu adalah yang dapat memenuhi
standar pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mencakup delapan standar, yaitu:
1) Memenuhi standar isi
2) Menyelenggarakan proses pembelajaran dengan tepat
3) Memenuhi standar kompetensi lulusan
4) Memenuhi standar pendidik dan tenaga kependidikan
5) Memiliki standar sarana dan prasarana
6) Menerapkan standar pengelolaan dengan manajemen berbasis pesantren
7) Memenuhi standar pembiayaan
8) Memenuhi standar penilaian.

3 9
Menteri Hukum dan HAM RI, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta: Fokus
Media, 2013), 62.
4 0
Menteri Hukum dan HAM RI, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, 65.
4 1
Menteri Hukum dan HAM RI, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, 153.
35

3. Konsep Manajemen Mutu Pendidikan Pondok Pesantren


Salah satu konsep yang bisa diadopsi dalam upaya menerapkan
manajemen mutu pendidikan di pondok pesantren adalah konsep the Juran trilogy
yang dikembangkan oleh Joseph M. Juran. Dalam kerangka Islamisasi manajemen
mutu modern, maka tidak ada salahnya konsep manajemen mutu pondok
pesantren disandingkan dengan manajemen mutu Juran tersebut karena keduanya
berorientasi pada peningkatan mutu. Joseph. M Juran mendefinisikan kualitas
sebagai cocok/sesuai untuk digunakan (fitness for use), yang mengandung
pengertian bahwa suatu barang atau jasa harus dapat memenuhi apa yang
diharapkan oleh para pemakainya. Pengertian cocok untuk digunakan ini
mengandung lima dimensi utama, yaitu kualitas desain, kualitas kesesuaian,
ketersediaan, keamanan dan field use.
The Juran trilogy merupakan ringkasan dari tiga fungsi manajerial yang
utama.4 Melalui konsep the Juran trilogy, Juran
2
mengidentifikasikan aspek
ketiga dalam manajemen kualitas yakni perencanaan mutu (quality planning). The
Juran trilogy merupakan terobosan baru saat itu, di mana manajemen mutu pada
dunia industri pada awalnya hanya mengenal dua aspek mutu saja, yaitu
pengendalian mutu (quality control) dan perbaikan mutu (quality improvement).
Konsep the Juran trilogy meliputi: (1) Perencanaan mutu (quality
planning), (2) Pengendalian mutu (quality control), dan (3) Perbaikan mutu
(quality improvement).4 3
Ketiga aspek peningkatan mutu tersebut harus
diimplementasikan melalui pendekatan tahap demi tahap. Penjelasan dari masing-
masing tahap the Juran trilogy tersebut adalah sebagai berikut:4
1. Perencanaan Mutu (Quality Planning)
Perencanaan mutu (quality planning) meliputi pengembangan produk,
sistem dan proses yang dibutuhkan untuk memenuhi atau melampaui harapan
pelanggan. Langkah-langkah yang dibutuhkan untuk itu adalah sebagai berikut:

4 2
G. Bounds, Beyond Total Quality Management toward the Emerging Paradigma (New
York: Mc-Graw Hill Inc, 1994), 76.
4 3
Quality Management Karya M. Juran, http://www.thefreelibrary.com/Joseph+M+Juran:
+Quality+management-. (diakses 09 Desember 2015).
4
M. Nur Nasution, Manajemen Mutu Terpadu 4(Total Quality Management) (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2015), 29-30.
36

a) Menentukan siapa yang menjadi pelanggan.


b) Mengidentifikasi kebutuhan para pelanggan.
c) Mengembangkan produk dengan keistimewaan (karakteristik) yang
dapat memenuhi kebutuhan pelanggan.
d) Mengembangkan sistem dan proses yang memungkinkan organisasi
untuk menghasilkan keistimewaan (karakteristik) tersebut.
e) Menyebarkan rencana kepada level operasional.
2. Pengendalian Mutu (Quality Control)
Pengendalian mutu (quality control) ialah suatu proses di mana produk
benar-benar diperiksa dan dievaluasi, dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan
yang diinginkan para pelanggan. Persoalan yang telah diketahui kemudian
dipecahkan, misalnya mesin-mesin rusak segera diperbaiki. Pengendalian kualitas
meliputi langkah-langkah berikut:
a) Menilai kinerja kualitas aktual
b) Membandingkan kinerja dengan tujuan.
c) Bertindak berdasarkan perbedaan antara kinerja dan tujuan.
3. Perbaikan Mutu (Quality Improvement)
Perbaikanan mutu (quality improvement) ialah suatu proses di mana
mekanisme yang sudah mapan dipertahankan sehingga mutu dapat dicapai
berkelanjutan. Perbaikan kualitas harus dilakukan secara on-going dan terus
menerus. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Mengembangkan infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan
perbaikan kualitas setiap tahun.
b) Mengidentifikasi bagian-bagian yang membutuhkan perbaikan dan
melakukan peroyek perbaikan.
c) Membentuk suatu tim proyek yang bertanggung jawab dalam
menyelesaikan setiap proyek.
d) Memberikan tim-tim tersebut apa yang mereka butuhkan agar dapat
mendiagnosis masalah guna menentukan sumber penyebab utama,
memberikan solusi dan melakukan pengendalian yang akan
mempertahankan keuntungan yang diperoleh.
37

Tahapan perbaikan mutu (quality improvement) sebagai bagian dari the


Juran trilogy tersebut sejalan dengan konsep perbaikan mutu dari W. Edward
Deming yang dikenal dengan “siklus Deming” (Deming cycle) yang terdiri dari
empat komponen utama yang berurutan dan disingkat dengan PDCA (Plan, Do,
Check, Action).4 Penjabaran dari konsep tersebut adalah ;5
1) Plan yaitu mengembangkan rencana perbaikan. Ini merupakan langkah
setelah dilakukan pengujian ide perbaikan masalah. Rencana perbaikan
disusun berdasarkan prinsip 5-W (what, why, who, when dan where)
dan 1-H (how), yang dibuat secara jelas dan terinci serta menetapkan
sasaran dan target yang harus dicapai. Dalam penetapan sasaran dan
terget harus dengan memperhatikan prinsip SMART (specific,
measureable, attainable, reasonable dan time),
2) Do (melaksanakan rencana) yaitu rencana yang telah disusun
diimplementasikan secara bertahap, mulai dari skala terkecil dan
pembagian tugas secara merata sesuai dengan kapasitas dan
kemampuan dari setiap personil. Selama dalam melaksanakan rencana
harus dilakukan pengendalian yaitu mengupayakan agar seluruh
rencana dilaksanakan dengan sebaik mungkin agar sasaran dapat
dicapai. Dalam The Juran Trilogy, ini merupakan langkah membentuk
suatu tim proyek yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan setiap
proyek.
3) Check yaitu memeriksa hasil kerja apakah telah dihasilkan sesuai
dengan target, sasaran dan standar-standar yang telah ditetapkan dalam
perencanaan. Alat atau piranti yang dapat digunakan dalam memeriksa
adalah diagram pareto, histogram dan diagram kontrol.
4) Act yaitu pemasaran dan tindakan perbaikan hasil yang dilakukan
secara terus menerus serta menganalisis bagaimana produk itu dapat
diterima di pasar dalam hal kualitas, biaya dan kriteria lainnya. Siklus
Deming ini dikembangkan untuk menghubungkan antara operasi/

4 5
Edward Deming, Out of Crisis (Boston: Massachusetts, 1986), 89. Baca juga: J.E.
Ross, Total Quality Management (London: Kogan Page Limited, 1994), 237.
38

produksi suatu produk dengan kebutuhan pelanggan dan memfokuskan


semua sumber daya dalam organisasi (riset, desain, operasi/produksi
dan pamasaran) secara terpadu dan sinergi untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan.4 Siklus PDCA tersebut berputar secara berkesinambungan,
6

segera setelah suatu perbaikan dicapai, keadaan perbaikan tersebut


dapat memberikan inspirasi untuk perbaikan selanjutnya. Oleh
karenanya, manajemen harus secara terus menerus merumuskan sasaran
dan target perbaikan baru.
Didasarkan pada teori open management dan the Juran trylogi yang
dipadukan dengan manajemen mutu khas pondok pesantren maka yang dimaksud
dengan implementasi sistem manajemen terbuka dalam meningkatkan mutu
pendidikan pondok pesantren adalah penerapan sistem manajemen terbuka dalam
perencanaan mutu (quality planning), pengendalian mutu (quality control) dan
perbaikan mutu (quality improvement) pendidikan pondok pesantren, dengan
karakteristik atau ciri sebagai berikut:
1) Kyai atau pimpinan pesantren telah menerapkan model kepemimpinan
partisipatif, visioner dan transformasional.
2) Proses perencanaan mutu (quality planning), pengendalian mutu
(quality control) dan perbaikan mutu (quality improvement) pendidikan
pondok pesantren dilakukan secara terbuka antara kyai atau pimpinan
pesantren dengan para santri, para pengurus harian dan orang tua santri.
3) Antara kyai dan para santri serta pengurus harian terdapat hubungan
yang saling mempengaruhi (interaksi) dalam bentuk keterlibatan dan
pembagian peran yang jelas dalam proses perencanaan mutu (quality
planning), pengendalian mutu (quality control) dan perbaikan mutu
(quality improvement) pendidikan pondok pesantren.
4) Proses pengambilan keputusan dalam perencanaan mutu (quality
planning), pengendalian mutu (quality control) dan perbaikan mutu
(quality improvement) pendidikan pondok pesantren dilakukan melalui
mekanisme musyawarah, sehingga para pengurus harian dan para santri

4 6
Ross, Total Quality Management, 237.
39

berkesempatan memberikan saran-saran atau pendapat meskipun


keputusan akhir tetap berada di tangan kyai.
D. Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam
1. Pengertian Pondok Pesantren
Secara etimologi (pendekatan bahasa), menurut para ahli ada beberapa
pengertian tentang pondok pesantren. Kata pondok senantiasa dihubungkan
dengan kata pesantren, hal ini mengandung suatu pengertian bahwa di antara
kedua kata tersebut memiliki arti yang erat kaitannya antara yang satu dengan
yang lainnya terutama berkaitan dengan sebutan atas nama dan tempat, bahkan
ketika disebut salah satu kata pondok mungkin konotasi orang akan menyebutnya
dengan sebuah penginapan, tetapi ketika orang menyebutnya dengan sebutan
pesantren maka di dalamnya orang akan memberikan suatu tanggapan dan suatu
kepastian bahwa ada pondokan di dalamnya dan terdapat suatu model pengajaran
yang menggali nilai-nilai ruhaniah dan nilai-nilai ilahiah, yang lebih kongkrit lagi
mengarah kepada nilai-nilai religius (Islam).
Kata pesantren sebenarnya merupakan kata jadian yang berasal dari dua
suku kata, yang kata dasarnya adalah santri dan kata ini mendapat sisipan berupa
awalan “pe” dan akhiran “an” yang selanjutnya menjadi “pe-santri-an” yang
artinya tempat santri yang kini lazim disebut dengan pesantren.4
Istilah pondok diturunkan dari kata Arab: funduk (ruang tidur, wisma,
hotel sederhana). Kata pesantren terdiri dari asal kata santri dengan awalan pe-
dan akhiran -an yang menentukan tempat, jadi berarti tempat para santri. Kata
“santri” merupakan penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra
(suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat
mendidik manusia yang baik. 4 8

Sebagian ahli tata bahasa menegaskan bahwa asal kata santri berasal dari
bahasa Tamil berarti “guru ngaji”. Pendapat lain mengatakan bahwa santri itu
sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “cantrik”, yang memiliki
makna sebagai orang-orang yang tinggal bersama dengan seorang resi dalam

4 7
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: LP3S, 1986), 16.
4 8
Ziemek, Pesantren dalam Perubahan, 8.
40

suatu pertapaan tertentu guna memperoleh petunjuk kebahagiaan. Selanjutnya


makna dasar kata tersebut bergeser menjadi santri, yakni orang yang sedang
belajar dan menuntut ilmu di pondok pesantren.4 9

Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata
shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama
Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari
kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku
tentang ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian
seorang murid yang belajar buku-buku suci atau ilmu-ilmu pengetahuan agama
Islam. Dengan demikian, pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya
interaksi guru murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam
rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman.5 0

Dari sekian pendapat yang berbeda tentang asal-usul istilah santri tersebut,
kiranya pendapat yang bisa dijadikan kesimpulan adalah pendapat Nurkholis
Madjid yang menyebutkan bahwa asal-usul istilah santri berasal dari dua
pendapat. Pertama, kata santri berasal dari perkataan sastri, sebuah kata dari
bahasa sansekerta, yang artinya ”melek huruf”. Cak Nur menduga bahwa pada
awal pertumbuhan kekuasaan politik Islam Demak, kaum santri adalah kelas
literary bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama
melalui kitab-kitab yang bertuliskan dan berbahasa Arab. Kedua, kata santri
berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata “cantrik”, yang artinya “seorang
murid yang mengikuti seorang guru ke mana pun guru ini pergi menetap”.
Tentunya, dengan tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian.5
Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, istilah pendidikan pondok pesantren
berasal dari istilah Kuttab yaitu lembaga pendidikan Islam yang berkembang pada
masa Bani Umayyah. Di Indonesia, istilah Kuttab lebih dikenal dengan istilah
“pendidikan pesantren” atau “pondok pesantren”, yaitu lembaga pendidikan Islam

4 9
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1985), 18.
5 0
Dhofier, Tradisi Pesantren, 18.
5 1
Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadina, 1997), 19.
41

yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik
para santri (anak didik) dengan sarana mesjid yang digunakan untuk
menyelenggarakan pendidikan tersebut serta didukung adanya pondok sebagai
tempat tinggal para santri.5 2

Kementerian Agama Republik Indonesia memberikan suatu pengertian


tersendiri mengenai arti pondok pesantren, yaitu:
1. Yang dimaksud dengan “pondok pesantren” adalah lembaga pendidikan
dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan
pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal (sistem
bandongan dan sorogan), di mana kyai mengajar santrinya berdasarkan
atas kajian kitab-kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santri
biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
2. Yang dimaksud dengan “pesantren” adalah lembaga pendidikan dan
pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok
pesantren tersebut di atas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondok
di komplek pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa
sekeliling pesantren tersebut (santri kalong), di mana cara dan metode
pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem
wetonan, yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu
tertentu, misalnya hari jum’at, minggu dan lain-lainnya.
3. Pondok pesantren dewasa ini adalah merupakan lembaga gabungan
antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan
pengajaran Agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan dan
wetonan dengan para santri disediakan pondokan ataupun merupakan
santri kalong yang dalam istilah modern memenuhi kriteria pendidikan
formal bentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai
bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat masing-masing.5 3

Pasal 1 ayat (4) PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Keagamaan menyebutkan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan
diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya. 5

5 2
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan
Kerangka Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya, 1993), 298-299.
5
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di3 Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti,
2002), 9-10.
5 4
Menteri Hukum dan HAM RI, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan dalam Himpunan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta:
Fokus Media, 2013), 146..
42

Sedangkan menurut M. Dawan Rahardjo, pondok pesantren adalah


lembaga pendidikan Islam dengan kyai sebagai tokoh santrinya dan mesjid
sebagai pusat lembaganya.5 Pondok pesantren disebut dengan istilah
5
yang
berbeda-beda sesuai dengan istilah yang berkembang di daerah masing-masing,
misalnya surau di daerah Minangkabau, penyantrenan di Madura, langgar di
sebagian wilayah Jawa dan rangkang atau dayah di Aceh.5
2. Asal-Usul Pertumbuhan Pondok Pesantren
Bagi masyarakat muslim Indonesia, pesantren dianggap sebagai cikal
bakal terbentuknya pendidikan Islam bahkan sering disebutkan bahwa pesantren
ini merupakan ciri khas atau produk asli sistem pendidikan Indonesia
sebagaimana yang diyakini oleh Karel A. Steenbrink, Clifford Geertz dan
lainnya.5 Hanya saja mereka berbeda pendapat 7ketika mengungkapkan proses
lahirnya pesantren.
Mengenai asal-usul pendidikan pesantren ini, terdapat dua pendapat yang
kontradiktif:5 8

Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pesantren adalah kreasi


orisinil anak bangsa setelah mengalami kontak dengan budaya lokal.
Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan
dengan sistem pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala
dan asrama dalam khazanah lembaga pendidikan pra-Islam di Indonesia.
Pesantren merupakan sekumpulan komunitas independen yang pada awalnya
mengisolasi diri di sebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan (pegunungan).
Terbukti sampai saat ini banyak sekali pesantren yang berada di pelosok desa.
Nurcholis Madjid pernah menegaskan, pesantren adalah artefak peradaban
Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak
tradisional, unik dan indigenous (asli Indonesia). Cak Nur menegaskan, pesantren

5 5
M. Dawan Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1985), 82.
5 6
Ahmad Muthohar AR., Ideologi Pendidikan Pesantren: Pesantren di tengah Arus
Ideologi-Ideologi Pendidikan (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), 11.
5 7
Syafiduin, ed., Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren (Jakarta: Departemen Agama
RI, 2004), 18.
5 8
Hanun Asrohah, dkk., Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan dan Pelembagaan
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 1-7.
43

mempunyai hubungan historis dengan lembaga pra-Islam yang sudah ada


semenjak kekuasaan Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui
proses Islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya. 5
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa pesantren diadopsi dari
lembaga pendidikan Timur Tengah. Kelompok ini meragukan kebenaran pendapat
yang menyatakan bahwa lembaga mandala dan asrama yang sudah ada semenjak
zaman Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran
tekstual sebagaimana pesantren. Termasuk dalam kelompok ini adalah Martin van
Bruinessen, salah seorang sarjana Barat yang concern terhadap sejarah
perkembangan dan tradisi pesantren di Indonesia.6 0

Keberadaan pendidikan pesantren sebagai basis penyebaran agama Islam


di Indonesia telah berjalan selama berabad-abad lamanya. Secara pasti tidak
pernah diketahui kapan pertama kali pola pendidikan semacam pesantren ini
dimulai. Namun demikian, beberapa penelitian telah menduga bahwa benih-benih
kemunculan pesantren sebagai pusat penyebaran dakwah sekaligus sebagai pusat
penggodokan kader sudah ada sejak keberadaan pra Walisongo, yaitu sekitar abad
ke-15 M.
Menurut Abdurrahman Mas’ud, keberadaan pesantren di Indonesia,
khususnya di Jawa, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Maulana Malik Ibrahim
(w. 1419 H), atau yang dikenal sebagai spiritual father Walisongo.6 Berdasarkan
sejarah yang berkembang dari mulut ke mulut (oral history) mengindikasikan
bahwa pesantren tertua, baik di Jawa maupun luar Jawa, tidak dapat dilepaskan
dari inspirasi yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa para Walisongo.
Abdurrahman Mas’ud juga menuturkan bahwa ajaran dakwah Islamiyah yang
dilakukan Maulana Malik Ibrahim sebagai “spiritual father walisongo”, ternyata
menjadi inspirasi bagi berdirinya Pesantren Nahdlatul Wathan di daerah Pancoran
Lombok Timur.6 2

5 9
Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, 10.
6 0
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana ilmu, 1999), 3-6.
6 1
Abdurahman Mas’ud, Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yograkarta: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2002), 3-10.
6 2
Abdurahman Mas’ud, Sejarah Pesantren dari Walisanga Hingga Kini. “Jurnal Justisia”,
(Edisi 18, Tahun VII, 2000), 32.
44

Untuk mengantisipasi dan mengakomodasi persoalan-perosalan sosial


keagamaan serta merekrut murid-murid baru, Maulana Malik Ibrahim tidak
merasa kesulitan dalam mendirikan prototipe pesantren dalam bentuk embrio.
Pendirian pesantren ini dibarengi dengan keberhasilan tokoh ini dalam menarik
simpati masa dan melengkapi diri dengan modal materi pribadi yang digunakan
untuk dakwah Islamiyyah sebagai “a traveling Muslim merchant” dan guru
panutan. Karena rekayasa ini, tokoh ini sering disebut sebagai “the father of early
pesantren” di Jawa. Langkah beliau ini kemudian diikuti oleh para wali
setelahnya, seperti yang dilakukan oleh Raden Rahmat atau lebih dikenal dengan
Sunan Ampel dengan mendirikan pesantren di daerah Kembang Kuning
(Surabaya) sebagai pusat kegiatan dalam mengajarkan dan mendakwahkan
agama.6 Pesantren ini yang terdokumentasi dalam
3
Babad Tanah Djawi sebagai
awal mula adanya sebuah lembaga yang disebut “pesantren”.6
Pengaruh walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah
Mataram dari tahun 1613 sampai dengan 1645, Sultan Agung merupakan
penguasa terbesar di Jawa setelah pemerintahan Majapahit dan Demak, yang juga
dikenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidina Panotogomo
Ing Tanah Jawi, yang berarti pemimpin dan penegak agama di tanah jawa.
Pendidikan pesantren yang diselenggarakan pada masa kerajaan Mataram,
khususnya pada masa Sultan Agung, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Tingkat pengajian Al-Quran, yang terdapat di setiap desa. Materi
pengajian yang diajarkan meliputi huruf hijaiyyah, membaca Al-
Qur’an, barjanji, rukun iman, rukun Islam dan gurunya disebut Modin.
2. Tingkat pengajian kitab. Para santri yang belajar pada tingkat ini adalah
mereka yang telah khatam Al-Qur’an. Gurunya biasanya modin
terpandai di desa itu atau didatangkan dari luar dengan syarat-syarat
tertentu. Guru-guru tersebut diberi gelar Abah Anom. Tempat belajar
biasanya di serambi mesjid dan mereka umumnya mondok. Kitab yang
dipelajari adalah kitab-kitab dasar, seperti matn al-taqri>b dan
bida>yat al-hida>yah. Sistem yang digunakan adalah Sorogan.
3. Tingkat pesantren besar. Tingkat ini lengkap dengan pondok dan
tergolong tingkat tinggi. Gurunya diberi gelar kyai sepuh atau kanjeng
kyai dan umumnya para priyayi “ulama kerajaan” yang tingkat

6 3
Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren, 25.
6 4
Asrohah, Sejarah Pendidikan, 145.
45

kedudukannya sama dengan penghulu. Adapun pelajaran yang


diberikan pada pondok pesantren tingkat ini pada umumnya berbentuk
syarah dan hasyiyah dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti fiqih,
tafsir, hadits, ilmu al-kala>m, tasawwuf, nahwu, s}araf dan lain-lain.
4. Tingkat keahlian (takhassus). Pelajaran pada pondok pesantren tingkat
takhassus ini adalah bersifat memperdalam sesuatu atau disiplin ilmu
pengetahuan agama seperti hadits, tafsir, tarekat dan sebagainya. 6
Analisis lebih jauh, bahwa keberadaan sebuah pesantren secara utuh -
dengan memenuhi kriteria adanya kyai, santri, gedung tempat tinggal dan kitab
yang dibacakan - baru ditemukan sekitar abad ke-18 M, tepatnya pada masa
Pemerintahan Pakubuwono II. Senada dengan Abdurrahman Mas’ud, ada sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Hasnun Asrohah bahwa pesantren yang pertama
kali di Jawa ini didirikan oleh Ki Agung Muhammad Besari, kakek guru seorang
sastrawan Jawa Ronggowarsito yang juga adalah tokoh penyebar aliran
Syatariyah.6 6

Pada masa penjajahan Belanda, kemajuan pendidikan dan pengajaran


Islam yang pesat pada masa kerajaan Mataram rupanya membuat pemerintah
kolonial Belanda merasa khawatir. Sebab, dengan majunya pesantren, pada suatu
saat akan mengancam kedudukan Belanda. Oleh karena itu, di kalangan
pemerintah Belanda, muncul dua alternatif untuk memberikan pendidikan kepada
bangsa Indonesia, yaitu mendirikan lembaga pendidikan yang berdasarkan
lembaga pendidikan tradisional di pesantren atau mendirikan lembaga pendidikan
dengan sistem yang berlaku di Barat waktu itu. Pendidikan yang diselenggarakan
secara tradisional di pesantren menurut pemerintah Belanda terlalu jelek dan tidak
mungkin dikembangkan menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu,
mereka memilih alternatif yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak
ada hubungannya dengan pendidikan yang telah ada.6 7

Pendidikan Kolonial Belanda ini sangat berbeda dengan pendidikan Islam


Indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus dari

6
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di5 Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), 196.
6 6
Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren: Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di
Jawa-Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Disertasi (Jakarta:Perpustakaan UIN, 2000), 86. t.d.
6 7
Yunus, Sejarah Pendidikan, 196.
46

segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial
Belanda ini khususnya berpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi,
yaitu pengetahuan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam lebih ditekankan
pada pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama.6
Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan
pemerintah kolonial, lembaga pendidikan pesantren tetap eksis dan bahkan
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Jika pada awal abad ke-19,
waktu Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah, jumlah pesantren di Jawa
hanya sebanyak 1.853 buah, dengan jumlah santri 16.556 orang. Tetapi pada akhir
abad ke-19 jumlah pesantren mencapai 14.929 buah dengan jumlah santri 222.663
orang.6 9

Persaingan tersebut bukan hanya dari segi-segi ideologis dan cita-cita


pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis, bahkan
perlawanan fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan
pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak
mendapatkan dukungan dari pesantren. Perang-perang besar, seperti Perang
Diponegoro, Perang Paderi, Perang Banjar, sampai perlawanan-perlawanan rakyat
yang bersifat lokal tersebar di mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni-
alumninya memegang peranan utama.7 0

Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat yang mulai


menjangkau sebagian besar bangsa Indonesia, pesantren pun mulai mengalami
perkembangan yang bersifat kualitatif. Ide-ide pembaharuan dalam Islam,
termasuk dalam bidang pendidikan mulai masuk ke Indonesia dan mulai merasuk
ke dunia pesantren serta dunia pendidikan Islam pada umumnya. Ide-ide
pembaharuan dalam dunia Islam itu timbul sebagai akibat kemunduran umat
Islam dan merajalelanya penjajahan Barat.
Umat Islam menyadari akan kelemahan dan ketertinggalannya dari Barat,
baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi maupun budaya. Oleh karena itu

6 8
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern (Jakarta: Lp3ES, 1986), 24.
6 9
Dhofier, Tradisi Pesantren, 33.
7 0
Sartono Karto Dirjo, Sejarah Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), 131.
47

usaha pembaharuan pada umumnya ditekankan pada pembaharuan dalam dunia


pendidikan.
Secara garis besar, ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang
berkembang di dunia Islam, bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada sistem
pendidikan yang berlaku di Barat, yaitu mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang di dunia Barat dipandang sebagai sumber
kekuatan. Oleh karena itu kelompok ini mengembangkan sistem dan isi
pendidikan Barat.
2. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada ajaran Islam
yang murni. Mereka berpandangan bahwa sesungguhnya ajaran Islam
sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban
serta ilmu pengetahuan, sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah pada
zaman keemasan Islam di masa lalu. Usaha pembaharuan pendidikan
bagi mereka harus kembali kepada sumber ajaran Islam yang murni
yaitu Al-Qura’an dan Al-Sunnah, yang tidak pernah membedakan
antara agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya ilmu pengetahuan
dan teknologi tidak boleh terpisah dari Islam. Pendidikan harus juga
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang
dikembangkan oleh Barat.
3. Gerakan pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada kekuatan-
kekuatan dan latar belakang sejarah bangsa masing-masing. Dengan
memperbaiki dan mengembangkan apa yang ada, dengan
menghilangkan kelemahan-kelemahannya serta memasukkan unsur-
unsur baru (ilmu pengetahuan dan teknologi) diharapkan akan
membawa kemajuan bagi bangsa yang bersangkutan.7
Ketiga pandangan tersebut, nampaknya mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan dan pembaharuan pesantren dan sistem pendidikan Islam di
Indonesia pada abad ke-20. Sistem penyelenggaraan sekolah-sekolah modern
klasikal mulai masuk ke dunia pesantren. Sementara itu, di beberapa pesantren
mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di
sekolah-sekolah umum tetapi pelajarannya dititik beratkan pada pelajaran agama
saja. Kemudian pada perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah yang
semata-mata bersifat diniyah menjadi madrasah-madrasah yang mengajarkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan umum.

7 1
Dhofier, Tradisi Pesantren, 33.
48

Demikianlah pesantren yang telah ada di Indonesia sejak dua abad lalu
tidak mengalami penurunan peran. Bahkan justru semakin eksis dan diminati
masyarakat. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah pesantren dalam tiga dasa
warsa terakhir, sejak tahun 1970-an.
Data Departemen Agama, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 1977
jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang.
Jumlah tersebut mengalami peningkatan berarti pada tahun 1981, di mana
pesantren berjumlah sekitar 5.661 buah dengan jumlah santri sebanyak 938.397
orang. Pada tahun 1985 jumlah pesantren mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239
dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang dan pada tahun 1997/1998
Departemen Agama telah mencatat 9.388 buah pesantren dengan santri sebanyak
1.770.768 orang.7 Pada tahun 2010 Direktorat Pendidikan 2Pesantren dan Diniyah
Kementerian Agama RI mencatat pondok pesantren di Indonesia sebanyak 27.000
unit dengan jumlah santri sebanyak 22 juta orang yang tersebar di 33 provinsi.
3. Landasan Pendidikan Pondok Pesantren
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli
(indigenous) Indonesia dan eksistensinya sebagai sub sistem pendidikan nasional
yang sah memiliki dasar yang cukup kuat, baik secara teologis, ideologis maupun
konstitusional.
a. Landasan Teologis
Dasar teologis pendidikan pondok pesantren adalah ajaran Islam, yakni
bahwa melaksanakan pendidikan agama merupakan perintah dari Tuhan dan
merupakan ibadah kepada-Nya. Dasar yang dipakai adalah Al-Qur’an dan Hadits.
Dasar Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nahl ayat 125:

)125: 16 : ‫( النحل‬ ... ِ‫اْلى ىسنىة‬


ْ ‫اْلِ ْك ىم ِة ىوالْ ىم ْو ِعظىِة‬
ْ ِ‫ك ب‬
‫اُْدعُ إِ ىَل ىسبِْي ِل ىربِّ ى‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik ...”

Dasar teologis lainnya adalah bahwa pendidikan pondok pesantren


didirikan atas dasar tafaqquh fi al-di>n, yaitu kepentingan untuk memperdalam
7 2
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Data Potensi Pondok
Pesantren Seluruh Indonesia tahun 1997 (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997).
49

ilmu pengetahuan agama. Dasar pemikiran ini relevan dengan al-Qur’an surat At-
Taubah ayat 121:
ِ ِ ٍِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ ِ ‫ىو ىما ىكا ىن الْ ُم ْؤمنُ ْو ىن ليىنْف ُرْوا ىكافَّةً فىلى ْو ىل نى ىفًر م ْن ُك ِّل ف ْرقىة مْن ُه ْم طىائ ىفة ليىتى ىف َّق ُه ْوا‬
‫ِف‬
ِ ِ ِ ِ
)122 : 9 : ‫ي ىذ ُرْو ىن (التوبة‬ ْ‫الدِّيْ ِن ىو ليُ ْنذ ُرْوا قى ْوىم ُه ْم ا ىذا ىر ىجعُ ْوا الىْي ِه ْم لى ىعلَّ ُه ْم ى‬
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali padanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya”.

Ayat tersebut di atas menjiwai pendidikan pondok pesantren, sehingga


seluruh aktivitas keilmuan di dalam pondok pesantren pada dasarnya ditujukan
untuk mempertahankan dan menyebarkan agama Islam.
Landasan teologis pondok pesantren yang berasal dari hadits Nabi
Muhammad Saw. menurut Zuhairini,7 misalnya hadits : 3

)‫آيىةً (رواه البخارى‬ ‫بىلِّغُ ْوا ىع ِّ ِّْن ىو لى ْو‬


“Sampaikanlah ajaranku (kepada orang lain) walaupun hanya sedikit”
(HR. Bukhari).7 4

Serta hadits riwayat Abu Daud dan Nasa’i:


)‫(رواه ابوداودوالنساء‬ ‫اب اهللِ ىو تىتَّبِ ْع ىما فِْي ِه‬ ِ
‫تى ىعلَّ ْم كتى ى‬
“Kamu pelajarilah kitab Allah dan kamu ikutilah apa yang ada
didalamnya”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).7 5

Ayat-ayat Al-Quran dan Hadits di atas merupakan perintah agama dan


sekaligus mendasari kewajiban mencari ilmu pengetahuan dan mengajarakannya
kepada orang lain walaupun sedikit. Keberadaan pondok pesantren tidak lepas
dari motivasi teologis tersebut. Bagi kalangan pondok pesantren, menjalankan
ajaran Islam dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan adalah tugas sekaligus
kewajiban yang harus diemban manusia untuk menjalankan fungsi kekhalifahan

7 3
Zuhairini, et. al., Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1983), 21.
7 4
Abu Zakaria Yahya Ibn Sharaf Al-Nawawi, Riyad} al-S}olihin (Semarang: CV. Toha
Putra,t.t), 283.
7 5
Al-Nawawi, Riyad}, 283.
50

di dunia untuk mencari ridla Allah Swt. Dengan demikian, pondok pesantren
memerankan dirinya sebagai model pendidikan yang ‘alim secara intelektual dan
cerdas secara spiritual.
b. Landasan Ideologis
Dasar ideal pendidikan pondok pesantren adalah falsafah Negara
Pancasila, yakni sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
mengandung pengertian bahwa seluruh bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa, atau tegasnya harus beragama.
c. Landasan Konstitusional
Sadangkan dasar konstitusional pendidikan pondok pesantren adalah
Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 31 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: (1)
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran; dan (2) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang
diatur dengan Undang-Undang” serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada ayat 26 pasal 1 yang menyatakan bahwa
“Pendidikan non-formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat”. Selanjutnya, pada pasal 4 dinyatakan, “Satuan Pendidikan
formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat dan majelis taklim serta satuan pendidikan sejenis”.7
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 pasal 30 ayat (1) sampai ayat (4) dinyatakan bahwa:
1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai
ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli agama.
3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan
formal, non formal dan informal.
4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. 7

7 6
Sekretaris Negara RI, Undang-Undang SISDIKNAS, 14.
7 7
Sekretaris Negara RI, Undang-Undang SISDIKNAS, 16.
51

Dasar eksistensi pondok pesantren lainnya adalah dikeluarkannya


kebijakan yang secara khusus tentang lembaga pendidikan pesantren yakni
Peraturan Pemerintan Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Keagamaan. Dalam Pasal 1 ayat (4) nya disebutkan: “Pesantren atau pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang
menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis
pendidikan lainnya”.7 8

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa lembaga


pendidikan Islam yang dinamai pesantren juga termasuk salah satu sub sistem
dalam pendidikan nasional di Indonesia yang kerjasama dengan pemerintah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Elemen-Elemen Pondok Pesantren
Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi seperangkat unsur-unsur
pendidikan yang bekerjasama secara terpadu dan saling melengkapi satu sama lain
menuju tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.7 Pondok pesantren
disebut sebagai lembaga pendidikan yang sistemik karena di dalamnya memuat
tujuan, nilai dan berbagai unsur yang bekerja secara terpadu satu sama lain dan
tak terpisahkan.
Mastuhu mengelompokkan unsur sistem pendidikan terdiri dari dua hal ;
pertama, unsur organik yaitu para pelaku pendidikan, pimpinan, guru, murid dan
pengurus; kedua, unsur an-organik yaitu tujuan, filsafat, dan tata nilai, kurikulum
dan sumber balajar, proses kegiatan belajar mengajar, penerimaan murid dan
tenaga kependidikan, teknologi pendidikan, dana, sarana, evaluasi dan peraturan
terkait lainnya di dalam mengelola sistem pendidikan.8 0

Adapun para peneliti lain secara sederhana mengelompokkan unsur-unsur


pendidikan di pesantren menjadi tiga; Pertama, aktor atau pelaku, meliputi: kyai,
santri dan pengurus. Kedua, sarana perangkat keras, meliputi: masjid, rmah kyai,
rumah atau asrama ustadz, pondok atau asrama santri, sarana dan prasarana fisik
lainnya. Ketiga, sarana perangkat lunak, meliputi: tujuan, kurikulum, kitab,
7 8
Menteri Hukum dan HAM RI, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, 146.
7
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren9 (Jakarta: INIS, 1994), 6.
8 0
Mastuhu, Dinamika Sistem. 26.
52

penilaian, tata tertib, cara pengajaran, perpustakaan, pusat dokumentasi dan


penerangan, keterampilan dan alat-alat pendidikan lainnya.8
Pesantren dipandang sebagai sebuah lembaga pendidikan karena dilihat
dari dua hal: pertama, pesantren telah memiliki dasar ideal dan konstitusional;
kedua, beberapa unsur sistem pendidikan sebagaimana tersebut di atas sudah ada
dan berjalan sebagai sebuah sistem pendidikan di pesantren. Sedangkan pesantren
dipandang sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam (-adanya paduan kata
Islam) karena tujuan pendidikan pesantren adalah untuk mendalami ilmu agama
Islam (tafaqquh fi al-di>n) dengan menekankan pentingnya moral dan
pengamalan ajaran Islam dalam hidup bermasyarakat.8 2

Hal ini diperkuat oleh pendapat Amin Abdullah yang mendeskripsikan


bahwa dalam berbagai variasinya, dunia pesantren merupakan pusat persemaian,
pengalaman dan sekaligus penyebaran ilmu-ilmu keislaman.8 Semua hal tersebut
sejalan dengan tujuan pendidikan Islam pada umumnya, yaitu membentuk pribadi
muslim seutuhnya (insa>n ka>mil) yaitu pribadi ideal meliputi aspek individual
dan sosial, aspek intelektual dan moral, serta aspek material dan spiritual.8
Sementara, karakteristik pesantren muncul sebagai implikasi dari
penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan pada keikhlasan, kesederhanaan,
kemandirian (menolong diri sendiri dan sesama), ukhuwwah diniyyah dan
islamiyyah dan kebebasan. Dalam pendidikan yang seperti itulah terjalin jiwa
yang kuat, yang sangat menentukan falsafah hidup para santri.8
Di antara ciri khas atau keunikan pesantren sebagai suatu lembaga
pendidikan Islam yang tidak terdapat pada lembaga pendidikan lainnya adalah
adanya elemen-elemen (unsur-unsur) pesantren yang paling pokok yaitu: pondok
atau tempat tinggal para santri, mesjid, pengajian kitab-kitab klasik, kyai dan

8 1
Muthohar AR, Ideologi Pendidikan, 17-18.
8 2
Haidar Putra Daulay, Histirositas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 9. Lihat pula Muthohar AR, Ideologi Pendidikan, 16-17.
8 3
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), 3.
8 4
Dhofier, Tradisi Pesantren, 44.
8 5
Imam Zarkasi, Pembangunan Pondok Pesantren dan Usaha untuk Melanjutkan
Hidupnya, dalam Jurnal Al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun IV no. 5-6 (Sept. –
Nop. 2005), 24-25.
53

santri yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pesantren dan masing-


masing elemen tersebut saling terkait satu sama lain untuk tercapainya tujuan
pesantren. Sedangkan menurut Kementerian Agama Republik Indonesia, yang
dimaksud dengan pondok pesantren adalah lembaga pendidikan luar sekolah yang
didirikan dan dikelola oleh masyarakat yang khususnya mempelajari/mendalami
ajaran agama Islam dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Adanya pengasuh, seperti kyai/ajengan, tuan guru, buya, tengku atau
ustadz.
2) Adanya mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar.
3) Adanya santri atau siswa yang belajar.
4) Adanya asrama/pondokan sebagai tempat santri tinggal/mondok.
5) Adanya pengkajian kitab kuning atau kitab klasik tentang ilmu-ilmu ke-
Islaman berbahasa Arab gundul sebagai sumber belajarnya. 8
Ahmad Tafsir menegaskan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam yang tertua di Indonesia setelah keluarga dengan ciri-ciri: (1) ada kyai; (2)
ada pondok; (3) ada mesjid; (4) ada santri; dan (5) ada pengajaran membaca kitab
kuning.8 7

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka disimpulkan bahwa


pesantren merupakan lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat minimal
lima unsur (elemen) pokok, yaitu :
1) Kyai
Tumbuhnya suatu pesantren di masa lalu, terutama di masyarakat
pedesaan dimulai dengan adanya pengakuan suatu lingkungan masyarakat tertentu
atas kelebihan di bidang ilmu agama Islam dan keshalihan seorang ulama
sehingga penduduk lingkungan itu banyak yang datang untuk belajar menuntut
ilmu pada sang ulama.
Pada masyarakat Jawa, ulama tersebut dipanggil dengan sebutan kyai
bukan ulama. Bagi Zamakhsyari Dhofier, realitas ini didasarkan pada kenyataan
bahwa para kyai di samping mengajar masalah keimanan Islam (tauhid) dan
hukum Islam (fiqih) juga mengajarkan tasawwuf (sufi). Kecenderungan yang

8 6
Departemen Agama RI, Pedoman Supervisi Pondok Pesantren Salafiyah dalam Rangka
Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Jakarta: Dirjen Binbagais Depag RI, 2001), 11-12.
8 7
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 190.
54

seperti inilah yang menyebabkan ”ulama” dipanggil dengan sebutan “kyai”.8


Menurut Horikhosi, sebagaimana yang dikutip oleh Sukanto, perbedaan antara
ulama dengan kyai terletak pada fungsi sosialnya. Seorang ulama lebih berperan
pada komunitas berskala kecil, seperti di pedesaan. Sedangkan fungsi sosial
seorang kyai lebih besar dari ulama karena ditopang oleh kekuatan-kekuatan
kharismatik. Jangkauan pengaruh kyai lebih besar dibandingkan ulama.8
Di pesantren, penyebutan “guru” diganti dengan sebutan “kyai” untuk
laki-laki dan “nyai” untuk wanita. Jika hal ini dihubungkan dengan panggilan
orang Jawa sehari-hari, tampaknya perkataan kyai tidak berbeda dengan panggilan
seorang kakek yaitu orang yang dianggap berumur tua. Orang Jawa, sering
memanggil kakek mereka dengan panggilan “yai” yang sebenarnya singkatan dari
kata “kyai”.9 Penyebutan kyai, pada seorang guru pesantren
0
walaupun masih
berusia muda, tidaklah disebut sebagai sebuah ambigiusitas, karena penyebutan
tersebut lebih mengarah kepada sakralitas, penyucian terhadap ilmu yang dimiliki
guru tersebut. Beberapa santri berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan
panggilan “kyai” kepada guru mereka, lebih pada penuaan terhadap ilmu yang
dimiliki gurunya.
Selain istilah kyai yang digunakan untuk seorang guru yang mengajar di
pesantren, kata tersebut seringkali digunakan untuk menyebut benda-benda
pusaka bertuah atau benda-benda yang mengandung kekuatan gaib yang
dipercaya masyarakat dapat menentramkan suatu daerah atau benda-benda yang
diyakini mampu menambah kekuatan sang pemakainya.9 Semisal Kyai Garuda
Kencana dipakai untuk sebutan kereta emas ada di keraton Yogyakarta. 9
Istilah kyai biasanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara di Jawa Barat digunakan istilah ajengan, di Aceh dengan Tengku, di
Sumatra Utara dinamakan “Buya” dan di Kalimantan dengan Tuan Guru. Dalam
perkembangannya, gelar kyai tidak lagi menjadi monopoli bagi para pemimpin

8 8
Dhofier, Tradisi Pesantren, 34.
8 9
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999), 87.
9 0
Amin Haedari, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern (Jakarta: Diva Pustaka,
2004), 4.
9 1
Sukamto, Kepemimpinan Kyai, 85.
9 2
Dhofier, Tradisi Pesantren, 55.
55

atau pengasuh pondok pesantren. Gelar kyai dewasa ini juga dianugerahkan
sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ulama yang mumpuni dalam bidang
ilmu agama atau para penceramah agama Islam.9 3

Demikianlah istilah kyai digunakan untuk sebutan guru pesantren, kyai


untuk seorang kakek, dan kyai untuk benda bertuah, memiliki makna korelasi
yang disucikan dan yang mendapat penghormatan. Seorang kakek dihormati
karenas usianya; sebuah benda pusaka dihormati karena kesaktiannya; dan
seorang guru dihormati serta disucikan karena ilmu dan perilaku kesehariannya.
Di dunia pesantren, seorang kyai tidak hanya berfungsi sebagai elemen pesantren
yang bertugas mengajar atau mendidik semata tetapi juga berperan sebagai
penjaga moral masyarakat.
2) Santri
Di kalangan dunia pesantren, jika seorang “ulama” disebut dengan “kyai”,
maka muridnya dikenal dengan panggilan “santri”. Sebagai bagian dari elemen
pesantren, santri merupakan siswa yang belajar di Pesantren. Mereka memiliki
kedudukan yang sama dengan para siswa yang sekolah di lingkungan pendidikan
umum maupun madrasah.
Dari segi tempat tinggal dan hubungan baik dengan kyai, santri bisa
dikelompokkan ke dalam empat bentuk santri, yaitu; pertama, santri mukim ialah
santri yang menetap di asrama santri yang disediakan pesantren; kedua, santri
kalong ialah santri yang berasal dari lingkungan sekitar pesantren dan tidak
menetap di asrama santri yang disediakan pesantren; ketiga, santri alumnus ialah
santri yang tidak dapat aktif dalam kegiatan pesantren karena telah ke luar dari
pesantren atau kembali ke kampung halamannya masing-masing tetapi mereka
sering datang pada acara-acara insidental dan tertentu yang diadakan pesantren,
mereka memiliki komitmen hubungan dengan pesantren terutama dengan kyai;
keempat, santri luar ialah santri yang tidak pernah terdaftar secara resmi di
pesantren dan tidak mengikuti rutinitas pesantren sebagaimana santri mukim dan
santri kalong tetapi mereka memiliki hubungan batin yang kuat dan dekat dengan

9
Amin Haedari dan Abdullah Hanif (eds.), Masa3 Depan Pesantren dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta: IRD Press, 2004), 29.
56

kyai serta memberikan sumbangan dan partisipasi yang tinggi apabila pesantren
membutuhkan sesuatu.9 4

Dari ke empat kelompok santri tersebut, istilah yang baku dan sering
digunakan oleh kebanyakan pesantren adalah istilah santri mukim dan santri
kalong, sementara sebutan untuk santri alumnus dan santri luar hanya terdapat di
beberapa pesantren tertentu saja.
3) Pengajaran Kitab-kitab Kuning (Pengajian)
Proses bergurunya seorang santri terhadap kyai di pondok pesantren yang
disebut “ngaji” atau “pengajian”. Ngaji adalah bentuk kata kerja aktif dari
perkataan “kaji”, yang berarti “mengikuti jejak haji”, yaitu belajar agama dengan
bahasa Arab. Tampaknya, karena keadaan pada abad-abad lalu memaksa orang
untuk tinggal di tanah suci, sehingga memberi kesempatan padanya untuk belajar
agama di Mekkah, yang kelak diajarkan kepada orang lain ketika pulang.
Mayoritas orang yang menjadi pengasuh di pesantren, dulunya adalah orang yang
pernah mengenyam pendidikan di kota suci Mekkah. Tokoh utama pesantren
seperti KH. Kholil Bangkalan, KH. Nawawi Al-Bantani, KH. Mahfudz Al-
Tirmasi, bahkan Hadratus Syaikh Hasyim Al-Asy’ari, mereka semua adalah
orang-orang yang mengenyam pendidikan di Mekkah dalam kurun waktu yang
lama.9 5

Selain itu, ngaji juga bisa berasal dari bentuk kata kerja aktif “aji” yang
berarti “terhormat”, “mahal” atau “kadang-kadang”. Keterkaitan itu bisa
dibuktikan dengan adanya kata aji-aji yang berarti “jimat”. Jadi, ngaji dalam hal
ini berarti “mencari sesuatu yang berharga atau menjadikan diri terhormat atau
berharga”. Memang, untuk memutuskan mana yang lebih benar dari asal usul
istilah “ngaji” tidak ada data sejarah yang pasti. Namun demikian seluruh alasan
yang diungkapkan sangat logis dan mengarah kepada kemuliaan pesantren, kyai,
santri dan pengajian.9 6

9 4
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng (Malang:
Kalimah Syahadah Press, 1993), 12-13.
9 5
Haedari, Panorama Pesantren, 5.
9 6
Haedari, Panorama Pesantren, 5.
57

Pengajian di pesantren dilaksanakan dengan menerapkan beberapa metode


pengajaran, di antaranya; sorogan, weton/bandongan, halaqah, hafalan, hiwar,
bahtsul masa’il, fathul kutub, muqaranah dan muhawarah muhadatsah. Metode-
metode pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili keseluruhan dari metode-
metode pembelajaran yang ada di pesantren, tetapi setidaknya paling banyak
diterapkan di lembaga pendidikan tersebut.
4) Pondok
Embrio kemunculan pesantren diawali dengan adanya pengajian-pengajian
yang diadakan oleh seseorang yang dianggap ‘alim di pedesaan-pedesaan di mana
santri yang berdatangan adalah masyarakat sekitar yang memperdalam
pengetahuan ke-Islaman pada kyai tersebut. Santri sekitar daerah kyai tersebut
biasanya nglaju (santri pulang-pergi atau tidak menetap). Ia akan datang saat
digelar pengajian dan pulang ke rumah masing-masing manakala pengajian
selesai.9 7

Lambat laun dalam perkembangan selanjutnya, realitas seperti itu semakin


bergeser, tatkala nama seorang ulama semakin tersohor, santri yang berdatangan
dan hendak berguru kepadanya pun semakin banyak, tidak hanya sebatas
penduduk daerah sekitarnya saja namun banyak yang datang dari luar daerah
tempat tinggal kyai. Santri semacam ini pada awalnya tinggal di rumah-rumah
penduduk sekitar lingkungan kyai dengan membawa bekal sendiri-sendiri. Ketika
jumlahnya mulai tak tertampung lagi, maka pada akhirnya didirikanlah pondokan-
pondokan atau asrama di pesantren untuk menampung santri-santri yang datang
dari berbagai daerah tersebut.9 Pondok merupakan unsur (elemen) penting
8
di
pesantren karena selain fungsinya sebagai tempat tinggal atau asrama santri, juga
sekaligus untuk membedakan apakah lembaga tersebut layak dinamakan pondok
pesantren atau tidak.
Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan pondok bagi
para santrinya. Pertama, kemasyhuran kyai dalam kedalaman pengetahuannya
tentang Islam menarik santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai

9 7
Haedari, Panorama Pesantren, 7.
9 8
Mastuhu, Dinamika Sistem, 20.
58

tersebut secara teratur dan dalam waktu yang cukup lama sehingga para santri
harus menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di
desa-desa yang tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk
menampung santri, dengan demikian perlu adanya asrama yang khusus bagi para
santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, di mana para santri
menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai
menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap
ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus
menerus.9 9

5) Mesjid
Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya
pertama-tama akan mendirikan mesjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya
diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup
memimpin sebuah pondok pesantren. Karena itu kedudukan mesjid sebagai pusat
pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari
sistem pendidikan Islam tradisional.1 0

Dalam sistem pesantren, mesjid merupakan unsur (elemen) pokok yang


harus dimiliki karena ia merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan
melatih para santri, khususnya dalam melaksanakan tata cara ibadah, pengajaran
kitab-kitab Islam klasik dan kegiatan masyarakat. Mesjid pesantren biasanya
dekat dengan kediaman kyai dan berada di tengah-tengah komplek pesantren.1
Mesjid di samping berfungsi sebagai tempat ritual juga berfungsi sebagai tempat
pembelajaran. Sebelum adanya madrasah di pesantren, mesjid adalah tempat
pembelajaran umum. Bahkan mesjid berfungsi sebagai tempat diskusi dan
musyawarah.
5. Jenis-Jenis Pondok Pesantren
Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang
dikelola oleh kyai dan para santrinya di berbagai tempat pada dasarnya berbeda

9 9
Muthohar AR, Ideologi Pendidikan, 30.
1 0 0
Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), 99.
1 0 1
Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1994), 142.
59

jenis kegiatannya maupun bentuknya. Jenis-jenis pondok pesantren dapat


dibedakan ke dalam empat bagian, yaitu:
a. Jenis pondok pesantren dilihat dari sarana dan pra sarana
Menurut Kafrawi Ridwan yang dikutip oleh Endang Soetari, tipologi
pesantren dilihat dari sarana dan pra sarananya terbagi ke dalam empat tipe
berikut:
1) Pesantren tipe I: ialah pesantren yang hanya memiliki unit kegiatan dan
elemen berupa mesjid dan rumah kyai. Pesantren ini masih sederhana,
Kyai mempergunakan mesjid atau rumahnya sebagaui tempat mengaji,
biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian telah
dilaksanakan secara kontinu dan sistematik.
2) Pesantren tipe II: ialah pesantren yang sama dengan tipe I tetapi
ditambah dengan adanya pondokan untuk santri.
3) Pesantren tipe III: ialah pesantren yang sama dengan tipe II tetapi
ditambah dengan adanya madrasah berupa sistem pengajian klasikal.
4) Pesantren tipe IV: ialah pesantren tipe III ditambah dengan adanya unit-
unit keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang
dan lain-lain.1 0

b. Jenis pondok pesantren dilihat dari ilmu pengetahuan yang diajarkan


Jenis atau tipologi pesantren dilihat dari macam ilmu pengetahuan yang
diajarkannya terbagi ke dalam dua tipe berikut:
1) Pesantren salafi, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab Islam
Klasik. Sistem madrasah digunakan untuk mempermudah teknik
pengajaran sebagai pengganti sistem sorogan.
2) Pesantren khalafi, yaitu pesantren yang selain memberikan pengajaran
kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan
dan di bawah tanggung jawab pesantren.1 0

Menurut Departemen Agama RI, jenis atau tipologi pesantren dilihat dari
macam atau jenis ilmu pengetahuan yang diajarkannya terbagi ke dalam tiga tipe
berikut:
1) Pesantren salafy, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pelajaran
dengan pendekatan tradisional secara individual maupun kelompok
dengan konsentrasi pembelajaran kitab kuning berbahasa Arab.
2) Pesantren khalafy, yaitu pesantren yang menyelenggarakan kegiatan
pendidikan dengan pendekatan modern melalui suatu pendidikan

1 0 2
Endang Soetari AD, Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren
(Bandung: Balai Penelitian IAIN SGD Bandung, 1987), 41-42.
1 0 3
Wardi Bachtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat
(Bandung: Balai Penelitian IAIN SGD, 1990), 22.
60

formal, baik madrasah (MI, MTs, MA atau MAK) maupun sekolah


(SD, SMP, SMA dan SMK). Pada pesantren type ini, pondok lebih
banyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan lingkungan
kondusif untuk pendidikan agama.
3) Pesantren campuran/kombinasi, yaitu type pesantren gabungan antara
Salafiyah dan Khalafiyah. 1 0

c. Jenis pondok pesantren dilihat dari banyaknya jumlah santri


Jenis atau tipologi pesantren dilihat dari banyaknya jumlah santri terbagi
ke dalam tiga tipe berikut:
1) Pesantren kecil, yaitu pesantren yang jumlah santrinya kurang dari
1000 orang dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten.
2) Pesantren menengah, yaitu pesantren yang jumlah santrinya antara
1000-2000 orang dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten.
3) Pesantren besar, yaitu pesantren yang jumlah santrinya lebih dari 2000
orang dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan
propinsi.1 0

d. Jenis pondok pesantren dilihat dari bidang pengetahuan


Jenis atau tipologi pesantren dilihat dari macam ilmu pengetahuan yang
diajarkan terbagi ke dalam empat tipe berikut:
1) Pesantren tipe I, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya
memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam)
maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMA dan PT
Umum).
2) Pesantren tipe II, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
kegamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum
meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
3) Pesantren tipe III, yaitu pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu
agama Islam dalam bentuk madrasah Diniyah (MD).
4) Pesantren tipe IV, yaitu pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat
pengajian.1 0

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa perkembangan pondok


pesantren selalu meningkat dan beragam, maka yang dinamakan pondok
pesantren tidak hanya terdiri dari pondok/asrama, rumah kyai, dan mesjid saja
tetapi meliputi berbagai sarana dan fasilitas lainnya, seperti gedung pertemuan,
madrasah, tempat praktek dan lain-lain.

1 0 4
Dirjen Binbaga Islam, Profil Pondok Pesantren (Jakarta: Depag RI, 2004), 15-16.
1 0 5
Dhofier, Tradisi Pesantren, 42.
1 0 6
Haedari, Panorama Pesantren,16.
61

Seiring perkembangan jaman, pondok pesantren sekarang ini pada garis


besarnya dapat dibedakan kepada dua kelompok, yaitu:
1. Pesantren tradisional, yang masih mempertahankan sistem pengajaran
tradisional, dengan memberi materi pengajarannya kitab-kitab Islam
klasik dan sering juga disebut kitab kuning.
2. Pesantren Modern, yang mengintegrasikan sistem klasikal dan sekolah
secara penuh ke dalam pesantren. Semua santri yang masuk pondok
terbagi dalam tingkatan kelas. Pelajaran kitab tidak lagi menonjol,
tetapi berubah menjadi mata pelajaran/bidang studi. Demikian pula cara
sorogan dan bandongan mulai berubah menjadi bentuk bimbingan
individual dalam hal belajar dan kuliah, ceramah ummat atau stadium
general.1 0

1 0 7
Zuhairini, et. al., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Proyek Pembinaan
Sarana dan Prasarana Pendidikan Tingga Agama-IAIN, 1986), 85.

Anda mungkin juga menyukai