Anda di halaman 1dari 9

KESEHATAN MENTAL BERBASIS BUDAYA

Dosen Pengampu:

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3:

ASRI RAHMAN (220701500074 )

IRMA SURIANI (220701501074 )

JIZAIRA QAZA SANZABILLAH HARUN SALLY (220701502085 )

KEZIA ARSHILIATY PADADI (220701501072)


KHALIL MAHFI RAMADHAN (220701501034 )

MUHAMMAD RAMANDA PUTRA (220701502151 )

KELAS F

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN 2022/2023
A. Definisi
 Definisi sehat menurut World Health Organitation (WHO) adalah “health as a
state of complete physical, mental and social well-being and not merely the
absence of disease or infirmity
 Menurut Undang-Undang Kesehatan NO.36 Tahun 2009, kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
 Menurut Ayuningtyas dkk, (2018) kesehatan mental atau kesehatan jiwa
merupakan aspek penting dalam mewujudkan kesehatan secara menyeluruh.
Karna kesehatan mental yang baik memungkinkan orang untuk menyadari
potensi mereka dalam mengatasi tekanan dalam kehidupan sehari-hari.
 Menurut Adliyan (dikutip dalam Tarehy et al., 2019), kesehatan mental adalah
keadaan emosional dan spiritual seseorang yang sehat.
 Sedangkan menurut Putri, kesehatan jiwa adalah keadaan dimana seseorang
tidak merasa bersalah, memiliki penilaian yang realistis, mampu menerima
kekurangan atau kelemahan dirinya, mengatasi masalah serta memiliki
kepuasan dan kebahagiaan dalam hidupnya.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang adalah faktor
budaya (dikutip dalam Manullang et al., 2020). WHO mengemukakan bahwa negara
bagian Asia merupakan negara dengan tingkat gangguan mental paling tinggi di dunia,
hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya jumlah tenaga medis kesehatan jiwa dan
menjadikan Asia sebagai benua dengan beban gangguan mental tertinggi di dunia.
Kebanyakan seseorang memandang kebudayaan sebagai sebuah pedoman,
petunjuk atau metode yang memimpin dan mengarahkan cara mereka dalam
memandang dunia, memberikan respon emosional serta bagaimana berperilaku di
dalamnya. Pergeseran yang terjadi pada kebudayaan di suatu masyarakat akan
dibarengi dengan perubahan perilaku seseorang yang tinggal di dalamnya sehingga
peran kebudayaan sangat sulit dihubungkan dalam kehidupan di masyarakat.
Kebudayaan juga dapat mempengaruhi pemahaman pemahaman seseorang dalam
memandang suatu hal. Perilaku kesehatan seseorang sangat erat kaitannya dengan
pengetahuan, keyakinan, nilai dan norma yang berbasis budaya di lingkungan sosialnya
(fisik, psikologis dan sosial) dan menyebabkan perbedaan makna penyakit, penderitaan
dan kesehatan.
Dalam gangguan kesehata mental, peran kebudayaan ternyata dianggap sangat
penting. Hubungan yang terjadi antara kesehatan mental dengan faktor budaya
disampaikan oleh Wallace (1963) antara lain :
1. Terdapat kebudayaan yang saling mempengaruhi dan mencegah terjadinya
kesehatan mental.
2. Berbagai jenis gangguan mental yang terjadi karena sebab kultural atau budaya.
3. Adanya upaya meningkatkan serta mencegah gangguan mental dari pemahamn
budaya.
Selain ketiga hal diatas, kebudayaan juga dapat mempengaruhi bentuk pengobatan
yang ditujukkan ke gangguan mental itu sendiri. Menurut Marsella (1982) dalam ilmu
psikiatri dan psikologi banyak terdapat penelitian-penelitian yang tidak memperdulikan
faktor kebudayaan.
Pengaruh kebudayaan juga berlaku pada kesehatan lansia. Kebanyakan,
masyarakat tradisional yang telah menginjak usia lanjut dianggap dan diposisikan di
kedudukan tertinggi atau paling terhormat yakni sebagai Pinisepuh dan Ketua Adat
dengan memegang tugas sosial sesuai dengan adat istiadat di suatu daerah tersebut. Hal
inilah yang menyebabkan pengaruh kodusif untuk memelihara kesehatan fisik ataupu
mental mereka. Sebaliknya, pada lingkungan modern sangat sulit untuk menempatkan
seseorang yang berusia lanjut untuk memiliki peran fungsional.
Dalam msyarakat Barat, konsep kesehatan mental berfokus pada a sense of
psychological misalnya Abaraham Maslow (Marsella, 1982) yang mengembangkan
kriteria untuk pengobatan kesehatan mental yang lebih optimal. Kriteria ini terdiri dari
kualitas psikologis dan sejumlah perilaku seperti otonomi, nilai-nilai demokratis, rasa
spontanitas, minat sosial dan lain-lain.
Konsep kesehatan mental Barat pada hakekatnya tidak terlalu memperdulikan
upaya dalam mencari kesamaan antara manusia dengan makro-kromosomnya. Konsep
kesehatan mental bagian barat lebih menganalisa segala sesuatu secara alamiah.
Terdapat penempat an yang jelas antara mind and body. Sehingga hal ini dapat
disimpukan bahwa konsep barat dan timur memiliki pandanagn berbeda dalam
kesehatan mental.
Konsep timur lebih difokuskan pada kekerasan, tidak memisahkan antara mind and
body seperti konsep barat. Selain itu, konsep timur juga tidak memiliki fragmentarus
dan tidak analitis. Namun, kelemahannya sukar ditarik operasionalisasi dan gambaran
konsepnya sehingga hal ini tidak memicu usaha-usaha psikoterapis.

B. Kesehatan Mental dan Faktor penyebab Kesehatan Mental


Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997) gaya hidup sehat merujuk pada
segala upaya penerapan kebiasaan baik untuk hidup sehat dan menghindari kebiasaan
buruk yang dapat merusak kesehatan. Dalam hal ini seseorang yang perlu mengatur
pola makannya, istirahat yang cukup dan olahraga agar menjadi sehat dikutip dalam
Tarehy (2019).
1. Ciri-ciri kesehatan jiwa dari segi pemahaman masyarakat: tidak memiliki pikiran
negatif terhadap diri sendiri dan orang lain, tidak gila karena sikap dan perilaku yang
baik, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, ramah dan tidak terpengaruh oleh
lingkungan, hidup tampak aman dan sejahtera serta tidak membebani pikiran, tahu
bagaimana mengendalikan diri, menjaga kesehatan tubuh, hidup bersih dan menjaga
diri sendiri dan menjaga tubuh, tidak melakukan apa pun di luar batas kesadaran,
menenangkan diri dan mengendalikan emosi.
2. Karakteristik masyarakat gangguan jiwa berdasarkan penelitian
oleh Tarehy dkk (2019):berjalan tanpa tujuan, berbicara sendiri, menangis tanpa sebab,
tertawa sendiri, duduk sendiri, melamun dan melempari orang lain dengan batu.
3. Faktor penyebab gangguan kesehatan mental yang umum dipahami masyarakat:
Stres karena terlalu memikirkan hal-hal seperti kekayaan (akar penyebab gangguan
jiwa adalah faktor keuangan), faktor lingkungan dan keyakinan bahwa adanya kekuatan
supranatural yang dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka.

C. Strategi Masyarakat Menghadapi Pasien Gangguan Mental

Cara masyarakat memperlakukan orang dengan gangguan jiwa:segera bawa orang


tersebut ke rumah sakit jiwa, mengganggu orang tersebut, beri kesempatan mengoreksi atau
beri pengertian untuk mendapatkan ketenangan, beri petunjuk dan ucapan sesuai Firman
Tuhan, tidak menanggapi orang tersebut, panggil dengan sopan, tidak berani mendekati,
kadang ada yang menggejek, tidak mengunakan kekerasan dan yang
terakhir membiarkan saja atau tidak peduli.

D. Layanan Kesehatan dan Dukungan dari Keluarga dan Masyarakat

Adanya dukungan dari pihak keluarga yaitu melalui perawatan, masyarakat setempat
juga dapat mendukung orang sakit jiwa dengan memberi mereka perawatan dan dukungan
yang lebih baik.

E. Eksternal Stressor Sebagai Penyebab Stress


Dalam pemahaman masyarakat, stres berarti masalah yang terlalu sulit untuk
dipecahkan. Stres itu seperti pikiran yang tertekan, pikiran yang tidak stabil atau pikiran
yang terombang ambing karena tidak yakin akan sesuatu. Penyebab stres adalah banyak
masalah dalam keluarga dan di tempat kerja yang tidak dapat mereka tangani
dan berpikir jauh di luar batas yang dapat diterima. Selain itu, penyebab stres adalah
kegagalan berprestasi, faktor keuangan dan tekanan mental dari guru, teman dan
ketakutan.
Efek negatif dari stres misalnya menjadi gila, marah, berkata kasar, menyakiti
orang lain, membentak dan menikam orang lain atau seseorang melampiaskannya
dengan hal yang tidak baik, misalnya meminuman minuman keras, judi dan berjalan-
jalan ke tempat yang tidak jelas atau ke pesta hingga bunuh diri.

F. Strategi Koping
.Pada umumnya masyarakat biasanya menangani stress dengan
melampiaskan ke pekerjaan, makan, hingga ada yang melakukan hal bodoh seperti lari
kesana kemari, bahkan ada yang bunuh diri (gantung diri), minum dan merokok,
memaki-maki , pergi ke pesta, marah tanpa alasan yang menyakiti orang lain.
Hasil penelitian Tarehy dkk (2019) menunjukkan bahwa orang memilih solusi
maladaptif atau adaptif ketika menghadapi stres. Kegiatan maladaptif seperti minum
alkohol, mengikuti kegiatan hura-hura seperti pesta, perjudian (Safaria, 2006).
Beberapa komunitas lain juga melakukan koping adaptif, seperti tetap aktif dalam
aktivitas sehari-hari, bersosialisasi dan bercerita serta berbagi cerita dengan orang yang
dicintai.
Oleh karena itu, individu berusaha untuk mengurangi stres melalui strategi
koping. Lazarus (dalam Tarehy et al., 2019) menjelaskan coping sebagai suatu keadaan
dimana seseorang beradaptasi terhadap stres atau mencoba mengatasi keadaan berikut
atau mengevaluasi ketika suatu respon tidak lagi dapat digunakan. Dikutip dari
Manullang (2020), menurut Lazarus dan Folkman, ada dua jenis coping yaitu Problem
Focus Coping (PFC) dan Emotion Focus Coping (EFC)
1. Problem Focus Coping (PFC)
Andrews berpendapat bahwa PFC adalah perilaku koping yang tepat dan
efektif, salah satunya adalah menangani masalah secara langsung saat masalah itu
muncul.
2. Emotion Focus Coping (EFC).
Emotion Focus Coping (EFC) adalah bentuk koping yang lebih berfokus pada
emosi saat menyelesaikan masalah. Biasanya, orang meredakan emosi yang disebabkan
oleh stresor tanpa berusaha mengubah situasi.
G. Contoh Kesehatan Mental Berdasarkan Budaya.
1. Contoh 1: Salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah bunuh
diri. Menurut WHO, jumlah kasus bunuh diri di Indonesia meningkat. Ada 10.000
kasus bunuh diri di Indonesia setiap tahunnya. Data WHO juga menunjukkan bahwa di
Indonesia satu orang bunuh diri setiap 40 menit (Tentama , 2019).Data ini menunjukkan
bahwa masalah bunuh diri merupakan salah satu masalah prioritas yang perlu ditangani.
Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi perilaku bunuh diri adalah depresi, yang
dipahami sebagai gangguan mental yang menyebabkan mood rendah yang
memengaruhi pikiran, perilaku, kecenderungan, dan perasaan (Nurdiyanto & Jaroah,
2020; Setiadi , 2020). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
pembatalan pernikahan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang menjadi
depresi dan bunuh diri (Dewi , 2019; Kuswatun, 2021).
Hal ini diperkuat oleh Sanyasi (2017) yang menunjukkan bahwa banyak
fenomena gagal atau batalnya perkawinan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor
dan fenomena tersebut berujung pada kasus bunuh diri perempuan. Suku Bugis
Makassar di Sulawesi Selatan khususnya memiliki tradisi pernikahan yang sangat
spesial dan khas yaitu tradisi Uang Panai. Beberapa penelitian sebelumnya telah
memfokuskan pada budaya Uang Panai ini (Rubyasih, 2019; Azah, 2017; Mustafa dan
Syahriani, 2020).Uang Panai adalah uang persembahan yang diberikan oleh mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai tanda hormat dan untuk melaksanakan
upacara perkawinan. Uang Panai Atas menimbulkan berbagai macam masalah, salah
satunya adalah fenomena pembatalan perkawinan.Uang Panai Atas ditentukan untuk
digunakan oleh beberapa orang sebagai tempat prestise dan tempat untuk menampilkan
status sosial seseorang. Fenomena ini perlu dikaji dan diselidiki oleh masyarakat.
Perkawinan dapat dibatalkan jika nominal uang panai yang ditetapkan pihak
perempuan terlalu tinggi bagi pihak laki-laki. Lagi pula, keluarga pria
lebih pilih membatalkan rencana pernikahan daripada memaksakan kehendak mereka
pada wanita. Faktor penyebab tingginya uang panai adalah kelas sosial keluarga,
pendidikan dan pekerjaan, serta kondisi fisik wanita. Penelitian menunjukkan bahwa
fenomena pembatalan pernikahan akibat tingginya rating berpotensi menimbulkan
perilaku bunuh diri pada pasangan yang mengalami pembatalan pernikahan.

2. Contoh 2: Pengaruh budaya dalam kesehatan mental cukup beragam, dan dapat juga
memberikan pengaruh yang baik, contohnya adalah budaya jalan kaki yang ada di
jepang, badan penelitian kesehatan dunia (WHO) membuat pernyataan bahwa salah
satu dari banyak penyebab kematian dan kecacatan merupakan gaya hidup yang jarang
bergerak atau hanya diam duduk dirumah, bahkan angka kematian mencapai dua juta
jiwa setiap tahunnya akibat dari kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh manusia.
Oleh karena itulah, aktivitas fisik juga sangatlah diperlukan untuk menjaga tubuh agar
terap sehat (DEPKES RI, 2000). Berjalan kaki merupakan aktivitas fisik yang mudah
dan juga murah, berjalan kaki dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang usia
dan dapat dilakukan kapan pun tanpa adanya kendala cuaca, jalan kaki adalah olahraga
murah tetapi menyehatkan dan aman dilakukan karena resiko cedera yang cukup rendah
(Rina T.A, 2007). Budaya jalan kaki yang ada di Jepang, dapat menanamkan pola pikir
yang menyehatkan, karena kegiatan fisik berupa jalan kaki dapat menyegarkan kembali
tubuh dan pikiran kita dari masalah yang ada, jalan kaki juga dapat mengurangi berat
badan dan menjaga berat badan agar tetap stabil, maka dari itu sedikit orang jepang
yang menyandang penyakit obesitas, bahkan Jepang masuk sebagai salah satu dengan
negara penyandang obesitas terendah yaitu 3,6% dari keseluruhan penduduknya, jalan
kaki juga dapat menurunkan kadar lemak dan kolesterol darah, menjaga dan juga
meningkatkan daya ingat, dan juga menurunkan resiko sakit jantung dan memperbaiki
aktivitas paru paru. Dengan jalan kaki, kita dapat menyegarkan cara kita berpikir dan
membentuk moral kita agar sesuai dengan norma sosial, hal ini dapat terjadi karena
selain kita mengeluarkan keringat dan menghangatkan tubuh, kita juga dapat
menyegarkan pola pikir kita dan memikirkan solusi masalah kita selagi kita berjalan.

3. Contoh 3: M. T. adalah pria Togo berusia 27 tahun yang sedang menyelesaikan gelar
Sarjana Hukum di Togo. Ketika dia datang ke departemen kesehatan mental di sebuah
rumah sakit, dia berada di tahun terakhir di sekolah hukum. Ketika tanggal pemeriksaan
terakhir mendekati, ia mulai merasa sangat cemas dan berpengalaman sulit
berkonsentrasi, sakit kepala yang menyakitkan, kelelahan kronis, dan gangguan tidur,
dia datang ke klinik untuk bantuan dengan gejala-gejala ini. Pasien lahir dalam
keluarga poligami, dan mengidentifikasi diri sebagai etnis Kabye. Dia mengikuti semua
ritual budaya yang diperlukan untuk setiap tahap perkembangan dan berpartisipasi
dalam upacara tradisional. Pada usia 25 tahun, dia menerima baptisan Katolik dan sejak
itu telah menghadiri gereja secara rutin. Pada awal simptom, ia merasa penyakit
tersebut adalah malaria, penyakit yang telah ia alami berkali-kali. Seperti kebiasaannya,
ia membeli obat-obatan antimalaria di pasar lokal dan meminumnya namun tidak
muncul perubahan. Satu minggu kemudian dia berkonsultasi dengan dokter umum dan
melakukan tes darah. Tidak menemukan apa pun yang salah, dokter meresepkan
beberapa vitamin dan merujuk pasien ke departemen kesehatan mental rumah sakit.
Kekhawatiran utamanya adalah adalah sakit kepala tegang dan kelelahan kronis.
Dia dilihat oleh tim yang terdiri dari psikiater, dua psikolog dan tiga residen,
yang kemudian disebut tim klinis. Kelompok ini menawarkan jam konsultasi klinis
yang mempertimbangkan konteks sosial dan budaya penyediaan layanan
penilaian dan pengobatan. Tim klinis menyimpulkan bahwa gejala pasien telah dimulai
ketika ayahnya didiagnosis menderita kanker metastatik. Padahal ayah pasien bukan
Terlepas dari diagnosis biomedis, dia dan keluarganya beralih ke tabib
sebuah tradisi yang mengaitkan penyakitnya dengan sihir yang dia praktikkan
istri ketiganya. Setelah diagnosis ini, ayah pasien tinggal di rumah dukun
dimana dia dirawat. Istri terakhir dari ayah pasien tinggal bersamanya
di rumah tabib dan bertanggung jawab untuk memasak dan menyajikan
perawatan pribadi suaminya. Setelah 5 bulan dia mengalami serangan
jantung dan mati. Kematian juga dikaitkan dengan waktu target
membuat ayah pasien lebih rentan Memeriksa sistem keluarga, tim klinis menemukan
bahwa pasien baik-baik saja anggota keluarga dekat dari pihak ibu. Itu sebabnya tim
klinis bertanya-tanya Apakah akan membantu untuk berkonsultasi dengan beberapa
anggota jalur pengiriman? Pasien setuju dan tiga anggota keluarga diundang ke
pertemuan tersebut. Pasien kooperatif di sesi ketiga mengikuti yang tertua dari garis
ibu, satu pamannya dan salah satu bibinya. Dia bilang dia tidak bias pada pemeriksaan
terakhir karena sakit kepala yang sangat parah saya tidak bias berkonsentrasi cukup
baik untuk membaca bahkan satu paragraf teks. Dia marah pada dirinya sendiri karena
gagal dalam ujian tetapi bahkan lebih khawatir tentang kesehatan dan masa depannya.
Selama sesi ini, anggota keluarga yang perawat memberi tahu tim klinis bahwa seluruh
keluarga sangat bangga tingkat pendidikan pasien.
Ketika ditanya tentang pemahaman mereka tentang kesulitan yang mereka
hadapi pasien, anak tertua dari keluarga, menjawab: “Hidup ada di tangan para leluhur;
mereka tidak menerima bahwa nama mereka harus dihancurkan.” Untuk memperjelas,
paman pasien mengatakan bahwa "ada semacam keributan di dalam". djedjewiye dan
kita harus bereaksi sebelum terlambat. '' Dia kemudian menggambarkan penyakit ayah
pasien, kematian ibu tiri pasien. sekarang pasien sangat menyangkal masa depan yang
menjanjikan 5 bulan." Dia menambahkan, "Kami pergi ke (tanya tabib tradisional).
Keluarga kami ditunjukkan seseorang yang bertanggung jawab atas hal-hal buruk".
Namun, ketika tim klinis bertanya apakah ia ingin melibatkan dengan keluarga
dalam penyembuhan tradisional, pasien itu menolak, mengungkapkan kekhawatiran
tentang rasa malu yang akan dibawa kepada anggota gerejanya jika penyembuhan
tradisional yang ia jalani menjadi pengetahuan umum dalam kehidupan Kristennya.

DAFTAR PUSTAKA
Ayuningtyas, D., Misnaniarti., Rayhani, M. (2018). Analisis Situasi Kesehatan Mental Pada
Masyarakat Di Indonesia Dan Strategi Penanggulanganya. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 9(1), 1-10 https://doi.org/10.26553/jikm.

Manullang, C.M.G., Ranimpi, Y.Y., & Pilakoannu, R.T. (2020). Kesehatan Mental dan Strategi
Koping Dalam Perspektif Budaya: Sebuah Studi Sosiodemografi di Kampung
Aminweriri. Insight: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 16(1), 30-45.
https://doi.org/10.32528/ins.v16i1.3167

Novianty Anita., Cuwandayani, Lina. (2017). Studi Literatur Kesehatan Mental dan Budaya.
http://jurnal.unmuhjember.ac.id/index.php/PROGI/article/view/Nov/1155

Nurwahyuni., Alfatihah, A., Mutiatunnisa, D., Alewu, L.L., & Usman, M. (2021). The
Phenomenon of Marriage Cancellation Due to the High Panai Money in the Makassar
Bugis Marriage Tradition and Its Potential for Suicide Behavior. Human: South Asean
Journal of Social Studies, 1(2), 211- 218.
https://ojs.unm.ac.id/human/article/download/23192/11882

Tarehy, M.G.K., Nusawakan, A.W., & Soegijono, S.P. (2019). Kesehatan Mental dan Strategi
Koping Dalam Perspektif Budaya: Sebuah Studi Sosiodemografi di Ambon.
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah, 4(1), 26-34.
http://dx.doi.org/10.30651/jkm.v4i1.1941

Wahyuningsih, A.S. (2015). Membudayakan Jalan Kaki di Kampus Konservasi. Department


of Sport Science, Universitas Negeri Semarang.
https://doi.org/10.15294/miki.v5i2.7889

Anda mungkin juga menyukai