Disusun Oleh :
Nama : JUMINI
NPM : 22300017
Setelah Indonesia merdeka, KH A Wahid Hasyim yang waktu itu menjabat sebagai Menteri
Agama (Menag) memiliki inisiatif membentuk organisasi ahli qurro wal huffaz yang sifatnya
nasional. KH Wahid Hasyim sangat mendukung upaya pengembangan seni baca dan
penghafalan Qur’an karena ia merupakan pecinta seni ini sekaligus seorang yang hafal Al-
Qur’an 30 Juz. Idealnya tentang pendirian organisasi ini dicetuskan pada 17 Ramadhan 1370
H di kediamannya dalam sebuah acara buka puasa bersama sekaligus acara haul salah satu
orang tuanya. Ia mengusulkan nama Jam’iyyatul Qurra wal Huffaz.
Ia kemudian membentuk sebuah tim yang dipimpin oleh KH Abu Bakar Aceh untuk
menyusun AD/ART, membentuk komisariat di wilayah provinsi, kabupaten dan kota besar,
persiapan kongres pertama, menghubungi para ulama qurra wal huffaz dan melengkapi
susunan pengurus besar.
Setelah bekerja mempersiapkan diri, Jam’iyyatul Qurra wal Huffaz diresmikan oleh KH
Wahid Hasyim dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad pada tanggal 12 Rabiul Awwal
1371 H bertepatan dengan 15 Januari 1951 di rumah H Asmuni di Sawah Besar Jakarta.
Adapun berikut ini susunan pengurus JQHNU periode 1951-1953:
1. Penasihat 3. Anggota
a. KH Abdul Wahab Hasbullah a. KH M Karim Bakri
b. KH A Wahid Hasyim b. KH M Roji’un
c. KH A Abdul Karim c. KH A Nahrawi
d. KH Djamhur d. Zainal Arifin Datuk
e. Rd A Djawahir Dahlan
2. Pengurus Harian (Pengurus Besar) f. Abdullah Lidi
a. Ketua Umum: KH Abu Bakar Aceh g. Sayyid Ubaidillah Assirry
b. Ketua I: KH Darwis Amini h. Sayyid Hasan Alaidrus
c. Ketua II: KH Nazaruddin Latif i. KH Muhammad Saleh
d. Sekretaris I: Muhammad Nur j. KH Muhamad Djunaidi
e. Sekretaris II: KH Tb Manshur Ma’mun
f. Bendahar I: H Asmuni
g. Bendahara II: H Abdul Karim Martam
Dengan keseriusan dan kerja keras, hanya dalam waktu satu tahun, organisasi ini telah
mampu membentuk 50 wilayah dan cabang di seluruh Indonesia.
Beberapa kegiatan yang dilaksanakan lembaga ini adalah mengadakan seleksi terhadap qari
yang akan membacakan Al-Qur’an di sejumlah radio di tanah air seperti RRI Jakarta,
Surabaya, Semarang, dan Palembang. Mereka juga dipercaya oleh Kementerian Agama cq
Lajnah Pentashih Al-Qur’an untuk menjadi anggota tema Pentashih Al-Qur’an dan
menyelenggarakan kursus kader qari.
Mengingat pesatnya perkembangan wilayah dan cabang, selanjutnya dilakukan kongres pada
1-6 Desember 1953 untuk melakukan penyusunan program baru dan penyegaran
kepengurusan. Kongres ini dihadiri oleh 10 komisariat (wilayah) provinsi dan 86 cabang
dengan keputusan:
1. Organisasi dan himpunan apapun yang bersifat dana dan usahanya sama, berfungsi
menjadi satu dengan Jam’iyyatul Qurra wal Huffaz yang bersifat sosial pendidikan
dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun.
2. Memilih dan mengesahkan Pengurus Besar periode 1953-1956.
3. Menetapkan lima belas orang qari untuk mendapat piagam dari Menteri Agama.
Dalam kongres tersebut terpilih ketua umum KH Tb Ma’mun sedangkan KH Abu Bakar
Aceh menjadi salah satu penasihat.
Para qari terbaik yang mendapatkan penghargaan tersebut adalah:
Jam’iyyatul Qurra juga mengusulkan agar imam masjid di kabupaten dan kota besar diangkat
dari anggotanya serta meminta agar di SD/MI dan Mts, diangkat guru negeri yang
mengajarkan Al-Qur’an dari anggotanya. Selain itu, mendorong pengajaran Qur’an di
lingkungan penjara, panti sosial, tunanetra dan lainnya.
Atas prakarsa organisasi ini juga, diusulkan adanya Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ),
yang diawali dari MTQ antar pondok pesantren se-Indonesia dalam rangka Kongerensi Islam
Asia Afrika (KIAA) di Bandung tahun 1964, yang kemudian menjadi kegiatan resmi
Departemen Agama RI sejak tahun 1968 sampai sekarang serta pendirian Lembaga
Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri no 19 th 1977/151-1977.
Perubahan sikap dari organisasi independen menjadi salah satu badan otonom NU ke-30 di
Lirboyo Kediri statusnya berubah menjadi lembaga NU. Lima tahun kemudian, pada
muktamar NU Boyolali, Solo tahun 1999 statusnya kembali menjadi badan otonom.
Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) nasional sejak tahun 1968 sampai waktu
yang cukup lama mengambil alih tugas JQHNU untuk melaksanakan MTQ antar pondok
pesantren. Saat itu pula, JQH bisa dikatakan “mati suri”.
Lalu pada tahun 1992, saat KH Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU, JQH
kembali diaktifkan. Pada tahun 1999, JQH mengadakan MTQ antar pondok pesantren di
Garut, Jawa Barat. Dalam sejarahnya, MTQ antar pondok pesantren yang digelar JQH ini,
melahirkan qari-qari dan ulama Al-Qur’an bertaraf nasional dan internasional, seperti KH
Abdul Aziz Muslim (Tegal), KH Ahmad Syahid (Bandung), KH Tb Abas Saleh Ma’mun
(Banten), KH M Yusuf Dawud (Jawa Timur) H Muammar ZA (Pemalang), Hj Maria Ulfa
(Lamongan), dan lain-lain.
Mereka kemudian berhasil dan mencetak kader-kader bangsa, ulama yang hadal Al-Qur’an
dan sanggup menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat.
Pertengahan Februari 2012, delegasi dari JQHNU mengukir prestasi membanggakan. Satu
orang qari bernama Ja’far Hasibuan dan qariahnya bersama Sri Wajyumi, juara pertama pada
MTQ Internasional yang diselenggarakan di Kota Qum, Iran. Pada 2019, kader JQHNU
bernama Salman Amrillah juga kembali mengharumkan nama Indonesia dengan meraih juara
pertama pada MTQ International yang diikuti perwakilan dari 84 negara pada 8-15 April di
Kota Teheran, Iran.