Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS PASCAKOLONIAL PADA CERPEN “GEROBAK”

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA


Oleh
Nita Solina, S.Pd.

A. Sinopsis Cerpen “Gerobak” Karya Seno Ajidarma Ajidarma


Cerpen ini mengisahkan tentang gerobak-gerobak putih milik orang-orang
miskin yang muncul sepuluh hari menjelang lebaran tiba. Masing-masing gerobak
putih itu dibawa oleh seorang laki-laki, sementara seorang perempuan dan dua
atau tiga anaknya yang masih kecil dengan pakaian compang-camping dan
berwajah amat dekil duduk di dalam gerobak. Mereka datang dari berbagai sudut
kota dan dengan segera memenuhi tepi jalan kota terlebih di daerah pemukiman
penduduk kota. Mereka memasang tenda plastik sebagai tempat tinggal,
sementara gerobak mereka dijajarkan di dekat pagar-pagar gedung perumahan
orang kota.
Seorang anak kecil dari rumahnya yang besar selalu memperhatikan
gerobak-gerobak yang semakin hari semakin banyak berdatangan. Ia merasa heran
dan bertanya-tanya siapa mereka, mengapa mereka datang dengan gerobak-
gerobak itu, serta berhenti di sekitar rumah untuk menggelar tenda plastik. Anak
kecil itu selalu bertanya kepada kakeknya tentang orang-orang itu, dan si kakek
menjelaskan padanya bahwa mereka adalah kaum dari Negeri Kemiskinan.
Mereka biasanya datang pada saat bulan puasa dan akan berada di sana hingga
lebaran tiba. Mereka datang untuk mengemis, dan setelah lebaran mereka akan
menghilang dengan sendirinya.
Dari hari ke hari, anak itu terus memperhatikan orang-orang yang datang
dari Negeri Kemiskinan, tetapi mereka tidak mengemis seperti yang dikatakan
kakek. Mereka hanya tidur-tiduran dengan santai, bermalas-malasan, memasak
seperlunya, sementara anak-anak mereka dibiarkan bermain di jalanan. Justru
orang-orang dari rumah gedung lah yang setiap hari rajin memberikan mereka
makanan, bahkan jika telat memberikan makanan, mereka akan mengomel
panjang dan pendek.
Semakin hari semakin banyak saja gerobak-gerobak yang memenuhi
lingkungan tempat tinggal anak kecil itu. Bahkan saat lebaran, kedatangan mereka
justru semakin banyak sehingga memenuhi tepian jalan, hingga pagar-pagar
rumah. Kakek saja merasa kesulitan mengeluarkan mobilnya. Mereka tidak
pulang ke negerinya seperti yang kakek janjikan, tetapi mereka justru semakin
bertambah banyak jumlahnya, tidak lagi hanya berada di tepian pagar, tetapi
mereka juga sudah mulai masuk ke dalam rumah orang-orang kota, makan, tidur,
mandi, dan berenang di rumah milik orang-orang kota dan begitu seterusnya.
Orang kota semakin khawatir dan mereka menyalahkan keadaan yang
melanda Negeri Kemiskinan. Lumpur telah merendam negeri mereka, dan mereka
tidak tahu kapan lumpur itu akan surut. Anak kecil itu yakin dan tahu bahwa
mereka tidak akan pulang, tidak dapat diusir, dan selamanya akan berada di sana.

B. Analisis Alur dan Pengaluran


1. Analisis Alur Berdasarkan Fungsi Utama
Berikut adalah analisis alur cerpen “Gerobak” karya Seno Ajidarma
Ajidarma.

F1 : Kedatangan gerobak-gerobak putih di berbagai sudut kota pada bulan puasa.


F2 : Seorang anak kecil (aku) dari rumahnya yang besar selalu memperhatikan
gerobak-gerobak putih yang tiba-tiba berada di dalam kota.
F3 : Keingintahuan tokoh aku kepada kakeknya tentang siapa, dari mana, dan
mengapa orang-orang dengan gerobaknya datang ke kota.
F4 : Tokoh aku tidak menyaksikan mereka mengemis seperti yang dikatakan
kakeknya.
F5 : Terungkap bahwa mereka tidak perlu mengemis karena orang kaya lah yang
diandalkan untuk menyantuni mereka.
F6 : Semakin hari, gerobak-gerobak putih semakin bertambah jumlahnya yang
menyebakan jalanan macet.
F7 : Pada hari lebaran dan musim mudik, gerobak-gerobak tidak berkurang. Di
saat yang sama, mereka sudah memasuki rumah warga kota.
F8 : Percakapan kakek, nenek, dan tokoh aku tentang alasan keberadaan mereka
walapun lebaran telah usai.
F9 : Tokoh aku yakin dan tahu bahwa mereka tidak akan pulang, tidak dapat
diusir, dan selamanya akan berada di sana.

F1 F4 F5 F8 F9

F2 F3 F6 F7

Bagan Alur Berdasarkan Fungsi Utama


Cerpen “Gerobak” secara umum memiliki alur maju.Hal ini terjadi karena
sebagian besar cerita mengisahkan kedatangan gerobak-gerobak putih di berbagai
sudut kota pada bulan puasa yang menimbulkan kekhawatiran bagi warga kota
karena gerobak-gerobak tersebut tidak kunjung pergi walaupun musim lebaran
telah usai.Cerita tersebut dimulai dengan paparan kedatangan gerobak-gerobak
putih di berbagai sudut kota pada bulan puasa yang mengusik penglihatan seorang
anak kecil (aku) akan keberadaan mereka di depan pagar rumahnya. Hal itulah
yang membuatnya bertanya pada kakeknya.Rumitan ditandai dengan rasa ingin
tahu serta perspektif tokoh aku yang semakin besar ketika kakek dan juga orang
tuanya melarangnya untuk menjauhi “orang yang tidak dikenal”. Tak sampai di
situ ia terus mencari tahu benarkah yang dilakukan mereka adalah mengemis.
Melalui, sikap neneknya hal tersebut terjawab, bahwa mereka tidak perlu
mengemis karena orang kaya lah yang dianggap diandalakan untuk menyantuni
mereka.Klimaks ditandai dengan masih adanya gerobak-gerobak pada hari lebaran
bahkan mereka berani untuk memasuki rumah orang kota.Leraian ditandai dengan
percakapan antara tokoh aku, kakek, dan nenek yang membuka keingintahuan
tokoh aku tentang kebaradaan mereka di pemukiman warga kota walaupun musim
lebaran telah usai.Penyelesaian dari cerita ini ditandai dengan keyakinan tokoh
aku akan alasan keberadaan mereka di dalam kota sehingga ia berpandangan
bahwa mereka tidak bisa diusir, dibunuh, dan selama-lamanya akan tinggal
berbaur dengan orang kaya.
Secara singkat ditinjau dari segi akhir cerita, alur yang digunakan cerpen
“Gerobak” adalah alur tertutup.Hal ini kita ketahui setelah membaca cerpen
tersebut, ceritanya diakhiri dengan penyelesaian yang narasikan langsung oleh
tokoh aku sehingga pembaca tidak dituntut untuk mereka-reka atau
mendugakelanjutan dari isi cerita tersebut.Jadi secara keseluruhan akhir dari cerita
inisudah ditentukan oleh Seno melalui paparan tokoh aku.
Dari segi kuantitasnya cerpen “Gerobak” beralur tunggal. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya sebuah plot utama. Plot yang dimaksud adalah tentang
psikologis dari tokoh utama ketika berhadapan dengan fenomena adanya gerobak-
gerobak putih di berbagai sudut kota pada bulan puasayang mengundang rasa
ingin tahu yang besar tentang keberadaannya sehingga menimbulkan berbagai
sudut pandang di dalam benaknya akan mereka.
Cerpen “Gerobak” ditinjau dari segi kualitas cerita, memiliki alur rapat.
Hal ini kita temukan karena dalam cerita tersebut, alur yang telah ada tidak bisa
disisipi oleh alur lain. Hal ini juga ditandai dengan latar waktu yang berurutan.

2. Analisis Pengaluran Berdasarkan Sekuen


Berikut adalah analisis pengaluran cerpen “Gerobak” karya Seno Ajidarma
Ajidarma.
S1 : Kedatangan gerobak-gerobak putih di berbagai sudut kota pada bulan puasa.
S2 : Seorang anak kecil (aku) dari rumahnya yang besar selalu memperhatikan
gerobak-gerobak putih yang tiba-tiba berada di dalam kota.
S3 : Keingintahuan tokoh aku kepada kakeknya tentang siapa, dari mana, dan
mengapa orang-orang dengan gerobaknya datang ke kota.
S4 : Penggambaran karakter Kakek.
S5 : Kakek dan orang tuanya memperingatkan tokoh aku untuk menjauhi “orang
yang tidak dikenal”.
S6 : Tokoh aku tidak menyaksikan mereka mengemis seperti yang dikatakan
kakeknya.
S7 : Penggambaran karakter Nenek.
S8 : Terungkap bahwa mereka tidak perlu mengemis karena orang kaya lah yang
diandalkan untuk menyantuni mereka.
S9 : Semakin hari, gerobak-gerobak putih semakin bertambah jumlahnya yang
menyebakan jalanan macet.
S10 : Tetangga-tetangga mulai jengkel.
S11 : Kakek menegaskan kembali bahwa gerobak itu akan menghilang saat
lebaran.
S12 : Pada hari lebaran dan musim mudik, gerobak-gerobak tidak berkurang.
S13 : Di saat warga kota telah kembali dari aktivitas mudik, mereka sudah
memasuki rumah warga kota.
S14 : Percakapan kakek, nenek, dan tokoh aku tentang alasan keberadaan mereka
walapun lebaran telah usai.
S15 : Tokoh aku yakin dan tahu bahwa mereka tidak akan pulang, tidak dapat
diusir, dan selamanya akan berada di sana.

S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15

Bagan Pengaluran Berdasarkan Sekuen

Sekuen pada cerpen ini termasuk pada jenis sekuen linear atau realita fiktif
karena sebagian besar cerita cerpen ini menggambarkan peristiwa yang dialami
dalam kehidupan nyata yang dikemas dalam bentuk cerita fiktif. Seluruh sekuen
didominasi oleh narasi tokoh aku yang kemudian ditambahkan dengan beberapa
dialog.

C. Analisis Tokoh dan Latar


1. Analisis Tokoh
Dalam cerpen ini ada empat tokoh yang merupakan tokoh utama dan tokoh
pendukung. Keempat tokoh tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.
a. Aku
Tokoh aku merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Aku digambarkan
sebagai anak kecil yang sudah bersekolah yang penuh dengan rasa ingin tahu yang
besar terhadap fenomena baru yang menyita pandangannya, yaitu kedatangan
gerobak-gerobak putih di dalam kota. Aku merupakan cucu dari Kakek yang
tinggal di rumah-rumah gedung bertingkat, tempat gerobak-gerobak putih
melakukan aktivitasnya. Karakter tokoh aku ini tergambar melalui dialog dan
monolog yang ia sampaikan. Berikut adalah kutipan mengenai hal tersebut.

“Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek?


Dari manakah mereka datang?” (Ajidarma, hal. 723).
Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku?
Ataukah setidaknya mereka akan melompat masuk jendela dan merampas
makanan enak-enak untuk berbuka puasa ini? (Ajidarma, hal. 724).
Benarkah seperti kata Kakek, mereka datang untuk mengemis? Aku tidak
pernah melihat mereka mengulurkan tangan ... Jadi kapan mereka
mengemis? (Ajidarma, hal. 725).

b. Mereka
Tokoh mereka yang dimaksud dalam cerpen ini adalah gerobak putih yang
dibawa oleh seorang laki-laki, sementara seorang perempuan dan dua atau tiga
anaknya yang masih kecildengan pakaian compang-camping dan berwajah amat
dekil duduk di dalam gerobak.Tokoh mereka menjadi tokoh utama kedua setelah
tokoh aku karena selain keingintahuan aku yang membawa cerita mengalir, tokoh
mereka lah yang menjadi fokus utama cerita ini. Mereka digambarkan sebagai
tokoh yang malas, jarang berbicara, mengomel ketika makanan telat datang,
menggantungkan hidup pada orang kaya, tidak pernah merasa puas dengan apa
yang sudah mereka miliki. Karakter mereka tergambar jelas melalui monolog
tokoh aku maupun opini dari tokoh Kakek dan Nenek. Berikut adalah kutipan
mengenai hal tersebut.

Sepanjang hari mereka hanya bergolek-golek di atas tikar, tidur-tiduran


menatap langit dengan santai, danmereka seperti harus mendapatkan
makanan tepat pada waktunya. Pernah pembantu rumah tangga di rumah
Kakek yang terlambat sedikit mengantar kolak untuk berbuka puas, karena
mendahulukan Kakek, mendapat omelan panjang dan pendek(Ajidarma,
hal. 724-725).

Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang itu tampak sangat amat dekil.
Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga
kadang-kadang mereka tampak seperti patung yang bisa hidup dan
bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manusia-manusia gerobak ini sangat
jarang berkata-kata (Ajidarma, hal. 727-728).

Demikian pula manusia-manusia dalam gerobak itu tampaknya merasa,


sudah semestinyalah mereka mendapat limpahan pemberian sebanyak-
banyaknya tanpa harus mengemis.... mereka akan mendapatkan sedekah
yang tampaknya mereka anggap sebagai hak mereka (Ajidarma, hal. 727).

c. Kakek
Tokoh Kakek merupakan tokoh pendukung serba tahu dalam cerpen ini
karena Kakek yang menjadi tempat Aku bertanya atas rasa keingintahuannya dan
Ia pula lah yang mendeskripsikan lebih awal siapa, dari mana, dan mengapa
gerobak-gerobak putih itu datang ke kota. Kakek digambarkan sebagai pejabat
tinggi yang memiliki perusahaan yang banyak sekali, berkarakter mandiri, dan
berhati-hati dengan mereka yang ia sebut sebagai kere-kere. Karakter Kakek
tersebut merupakan gambaran nyata warga kota yang individualis. Pada awalnya,
sikap kehati-hatian Kakek ini masih dalam tahap tenang dan tidak menggubris apa
yang mereka lakukan, namun di akhir cerita Kakek menjadi gelisah dan khawatir
terhadap kenyataan bahwa orang kaya harus hidup berdampingan dengan orang
miskin. Sama halnya seperti tokoh mereka, tokoh Kakek pun tergambar melalui
monolog Aku, dan dialognya dengan Aku dan Nenek. Berikut adalah kutipan
mengenai hal tersebut.

“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang
setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan. Ya, mereka
datang untuk mengemis.” (Ajidarma, hal. 723).
... karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di samping menjadi pejabat
tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah
membagi pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia
tangani sendiri(Ajidarma, hal. 723).
“Jangan sekali-kali mendekati kere-kere itu, kata Kakek, “kita tidak
pernah tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita.” (Ajidarma, hal. 723).
“ Tenang saja,” kata Kakek, “sehabis Lebaran mereka akan menghilang,
biasanya, kan begitu.” (Ajidarma, hal. 726).
Kakekmerasa gelisah dengan perkembangan ini. Bagaimana nasib cucu-
cucu kita nanti” katanya kepada Nenek, “apakah mereka harus berbagi
tempat tinggal dengan kere unyik itu?” (Ajidarma, hal. 728).

d. Nenek
Tokoh Nenek merupakan tokoh pendukung cerpen ini. Nenek
digambarkan sebagai orang kaya yang selalu menyantuni gerobak yang menggelar
tenda di depan rumahnya dengan memberikan makanan yang berlimpah-limpah.
Sikap nenek tersebut merupakan gambaran nyata dari orang kaya yang seakan
memiliki kewajiban atas orang miskin di negeri ini. Melalui dialognya Ia
menggerutu pada keadaan yang menimpanya itu, namun Ia tidak bisa berbuat apa-
apa. Berikut adalah kutipan mengenai hal tersebut.
Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah
kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. ... Tampaknya
orang-orang yang dianggap berlebihan diandalkan dengan sendirinya
harus tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat
sedekah(Ajidarma, hal. 725).

“Siapa pula suruh merendam negeri mereka dengan lumpur,” sahut Nenek,
kita harus menerima segala akibat perbuatan kita. Heran, kenapa manusia
tidak pernah cukup puas dengan apa yang sudah mereka
miliki.”(Ajidarma, hal. 728).

2. Analisis Latar
a. Latar Waktu
1) Latar Waktu Bagian Hari
Latar waktu bagian hari adalah latar waktu terjadinya peristiwa pada
bagian dari hari, baik pagi, siang, sore, maupun malam hari. Penanda waktu yang
merupakan bagian dari hari dalam cerpen ini adalah penggunaan frasa sepanjang
hari. Penanda waktu tersebut menggambarkan waktu atau kejadian yang terjadi
tidak lebih dari sehari. Kejadian ini terjadi sebagai bagian dari waktu. Berikut
adalah kutipan yang berlatarkan waktu.
Sepanjang hari mereka hanya bergolek-golek di atas tikar, tidur-tiduran
menatap langit dengan santai dan mereka seperti harus mendapatkan
makanan tepat pada waktunya (Ajidarma, hal. 725).
2) Latar Waktu Bagian dari Minggu, Bulan, dan Tahun
Latar waktu bagian dari minggu, bulan, dan tahun pada cerpen tersebut
adalah frasa sepuluh hari, sebelum/setelah lebaran, selama bulan puasa, tahun-
tahun belakangan, setiap hari, hari ke hari, setiap tahun, dan pada hari
lebaran.Kata-kata tersebut merupakan identitas yang sangat menentukan kapan
terjadinya sebuah peristiwa. Kata-kata sepuluh hari, sebelum/setelah lebaran,
setiap hari, hari ke hari, pada hari lebaranmenunjukan bahwa peristiwa tersebut
terjadi pada latar waktu yang merupakan bagian dari minggu. Sedangkan kata
selama bulan puasamenunjukan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada latar yang
merupakan bagian dari bulan. Sementara kata-kata tahun-tahun
belakanganmerupakan kata yang menunjukan bahwa sebuah peristiwa terjadi
pada latar waktu yang merupakan bagian dari tahun. Berikut adalah kutipan yang
berlatarkan waktu bagian dari minggu, bulan dan tahun.
Kira-kira sepuluh hari sebelum lebaran tiba, gerobak-gerobak putih
berwarna putih itu akan muncul di sudut kota kami, seperti selalu terjadi
dalam bulan puasa tahun-tahun ke belakang (Ajidarma, hal. 721).

“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti akan menghilang
setelah lebaran (Ajidarma, hal. 723).

Aku hanya tahu, setelah hari lebaran berlalu, gerobak-gerobak putih itu
sama seklai tidak pernah berkurang (Ajidarma, hal. 728).

Namun, kalau aku setiap hari disibukkan oleh tugas-tugas sekolah, anak-
anak itu pekerjaannya hanya bermain-main saja (Ajidarma, hal. 723).

Coba kamu setiap hari hidup di dalam gerobak di luar sana (Ajidarma, hal.
724).

Begitulah dari hari ke hari gerobak-gerobak putih itu memenuhi kota


kami, bahkan mobil Juguar milik Kakek sampai sulit sekali masuk rumah
karena gerobak yang berderet-deret di depan pagar (Ajidarma, hal. 725).

Pada hari lebaran, gerobak-gerobak itu ternnyata tidak semakin berkurang


(Ajidarma, hal. 726).
Setiap tahun menjelang hari Lebaran gerobak-gerobak memenuhi kota,
tetapi setiap tahun itu pula mereka akan selalu menghilanhg kembali
(Ajidarma, hal. 726).

b. Latar Tempat
Berikut ini adalah uraian yang menyatakan latar tempat dari cerpen
“Gerobak”.
a. Kota
Kota menjadi pilihan pengarang sebagai tempat tujuan dan perpindahan
gerobak-gerobak putih dari Negeri Kemiskinan. Bukan hal yang baru, kota
menjadi pilihan bagi kelompok sosial rendah untuk beradu nasib dan
menggantungkan hidupnya pada mereka yang memiliki harta berlimpah atau
kekuasaan yang lebih tinggi demi terbebas dari identitas miskin yang
disandangnya. Begitu pun yang dilakukan gerobak-gerobak putih tersebut, berniat
melepaskan identitas kemiskinan, namun yang ada semakin menunjukkan
identitasnya di tempat orang-orang kaya hidup, yaitu di kota. Berikut adalah
kutipan yang menggambarkan latar kota.
Kira-kira sepuluh hari sebelum lebaran tiba, gerobak-gerobak putih
berwarna putih itu akan muncul di sudut kota kami, seperti selalu terjadi
dalam bulan puasa tahun-tahun ke belakang (Ajidarma, hal. 721).

Karena tidak pernah betul-betul mengamati, aku hanya melihat gerobak-


gerobak itu selintas pintas, ketika sedang berjalan merayapi berbagai sudut
kota. Dari mana mau ke mana? Aku tidak pernah berada di batas kota dan
melihat gerobak-gerobak itu masuk kota. Mereka seperti tiba-tiba saja
sudah berada di dalam kota, … (Ajidarma, hal. 721).

b. Jendela loteng
Jendela dari loteng rumah Kakek menjadi saksi bisu, seorang anak kecil
yang menyaksikan fenomena sosial yang belum pernah ia temukan sebelumnya.
Jendela ini pula yang seolah menjadi benteng atau pemisah kehidupan seorang
anak kecil dari keluarga kaya yang dibatasi pergaulannya dari “orang yang tidak
dikenal”. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan latar jendela loteng.
Dari jendela loteng, kuamati orang-orang di dalam gerobak itu. Anak-
anak kecil itu tampaknya seusiaku. Namun, kalau aku setiap hari
disibukkan oleh tugas sekolah, anak-anak itu pekerjaannya hanya
bermain-main saja. Kadang-kadang aku ingin sekali ikut bermain
dengan anak-anak itu, tetapi Kakek tentu saja melarangku (Ajidarma,
hal.723).

c. Depan rumah gedung bertingkat


Layaknya pengemis, Seno memilih latar ini untuk menjadi tempat
gerobak-gerobak tersebut menjukkan identitasnya kepada penguasa. Selain itu,
secara tidak langsung Seno pun ingin menunjukkan kelas mereka yang jauh
berbeda dari segi kedudukan dan kekuasaan di antara orang kaya yang memiliki
hunian bertingkat, dan orang miskin yang memiliki gerobak serta tenda plastik
sebagai atapnya. Berikut adalah latar yang menggambarkan hal tersebut.
Mereka berkemah di depan rumah-rumah gedung, mereka tidur-tiduran
sambil memandang rumah-rumah gedung yang indah, kokoh, kuat, asri,
dan mewah dari luar pagar tembok (Ajidarma, hal. 726).

d. Negeri Kemiskinan
Negeri Kemiskinan merupakan simbol dari tempat asal gerobak-gerobak
tersebut. Jika dihubungkan dengan realita pada munculnya cerpen tersebut,
kutipan “Ya, tetapi Negeri Kemiskinan sudah terendam lumpur sekarang, dan
tidak ada kepastian kapan banjir lumpur itu akan selesai.”, menandakan bahwa
Negeri Kemiskinan yang dimaksud bisa jadi tempat korban bencana Lumpur
Lapindo yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Oleh karena tidak adanya lagi
rumah untuk mereka tinggali, dan lapangan pekerjaan menjadikan tempat tersebut
dilanda kemiskinan yang berkepanjangan sehingga Seno menyebutnya sebagai
Negeri.

“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang
setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan. Ya, mereka
datang untuk mengemis.” (Ajidarma, hal. 723).
Aku tidak terlalu paham bagaimana lumpur bisa merendam Negeri
Kemiskinan. Apakah maksudnya lumpur kemiskinan? (Ajidarma, hal.
728).
c. Latar Material
Berikut ini adalah uraian yang menyatakan latar material dari cerpen
“Gerobak”.
1) Gerobak
Selain dijadikan sebagai judul, Seno memilih gerobak menjadi ikon dari
kaum miskin dalam cerita ini karena keberadaannya yang mengawali,
menggerakan, dan mengakhiri cerita.
Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan
gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk
dihela kedua lengan di depan (Ajidarma, hal. 721).

2) Rumah/Gedung Bertingkat
Setelah gerobak, rumah bertingkat menjadi pilihan Seno untuk
mempresentasikan kaum kaya. Seno mampu memilih ikon yang kontradiktif
namun, mewakili setiap kelompok sosial sesuai kelasnya di dalam masyarakat.
Tidak jarang mereka memasang juga tenda di depan rumah gedung-
gedung bertingkat. Salah satu dari gerobak itu berhenti pula di depan
rumah gedung kakekku (Ajidarma, hal. 723).

3) Makanan
Material ini dipilih untuk mempresentasikan kewajiban orang kaya
terhadap orang miskin sehingga mereka tidak perlu mengemis untuk mendapatkan
sedekah, dan menjadi pemicu tokoh lain geram.
Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah
kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. ... Tampaknya
orang-orang yang dianggap berlebihan diandalkan dengan sendirinya harus
tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah
(Ajidarma, hal. 725).
... mereka seperti harus mendapatkan makanan tepat pada waktunya.
Pernah pembantu rumah tangga di rumah Kakek yang terlambat sedikit
mengantar kolak untuk berbuka puas, karena mendahulukan Kakek,
mendapat omelan panjang dan pendek. Tetangga-tetangga juga sudah
mulai jengkel (Ajidarma, hal. 724-725).
D. Analisis Gaya Penceritaan
1. Modus
Dari segi struktur naratif, peristiwa yang ada dalam cerita cerpen
“Gerobak” dituturkan oleh perspektif seorang anak kecil sebagai narator pertama
yang terlibat langsung di dalam cerita sekaligus sebagai pusat dari segala keadaan
dan peristiwa yang terjadi, hal ini menunjukkan bahwa kehadiran pencerita pada
cerpen ini bersifat intern (berada di dalam cerita) dan ia terlibat langsung dalam
kehidupan yang ia tuturkan dalam cerita tersebut meski ia bukan narator yang
maha tau karena tokoh kakek menjadi narator kedua dalam cerpen ini. Oleh sebab
itu, Seno mengambil sudut pandang orang pertama, yaitu aku-an tidak sertaan.
Penceritaan yang dipilih Seno pun berjenisn wicara yang dinarasikan, artinya
Seno mengemukakan isi cerita dari narator yang disampaikan oleh tokoh seorang
anak kecil (aku) dan Kakek. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal
tersebut.

... karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di samping menjadi pejabat
tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah
membagi pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia
tangani sendiri(Ajidarma, hal. 723).
Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah
kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. ... Tampaknya
orang-orang yang dianggap berlebihan diandalkan dengan sendirinya harus
tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah
(Ajidarma, hal. 725).
Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang itu tampak sangat amat dekil.
Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga
kadang-kadang mereka tampak seperti patung yang bisa hidup dan
bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manusia-manusia gerobak ini sangat
jarang berkata-kata (Ajidarma, hal. 727-728).
“Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari
manakah mereka datang?”
Kakek menjawab sambil menghela napas.
“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang
setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan.”
“Negeri Kemiskinan?”
“Ya, mereka datang untuk mengemis.”(Ajidarma, hal. 723).
Keberadaan narator kedua menjadikan struktur cerita menjadi lebih
beragam, dari perspektif seorang anak kecil sebagai narator pertama yang terlibat
dalam cerita namun, pada dasarnya berada di luar cerita yang sebenarnya,
sementara narator kedua yang seakan-akan tidak terlibat dalam penceritaan,
namun justru lebih mahatau dan terlibat di dalam cerita. Kemungkinan adanya
intervensi narator ketiga terlihat pada tokoh anak kecil sebagai narator pertama
cerita. Iamenyusupkan ide dan juga perspektifnya yang bergerak bebas melampaui
perspektif tokoh seorang anak kecil.

“Ternyata mereka memang tidak perlu mengemis untuk mendapat


sedekah. Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-
limpah kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. Ketika
kemudian gerobak-gerobak itu makin banyak saja berjajar-jajar di depan
rumah, gerobak-gerobak yang lain itu juga mendapat limpahan makanan
pula. Tampaknya orang-orang yang dianggap berkelebihan diandaikan
dengan sendirinya harus tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu
perlu mendapat sedekah. Demikian pula manusia-manusia dalam gerobak
itu tampaknya merasa, sudah semestinyalah mereka mendapat limpahan
pemberian sebanyak-banyaknya tanpa harus mengemis lagi. Mereka cukup
hanya harus hadir di kota kami dan mereka akan mendapatkan sedekah
yang tampaknya mereka anggap sebagai hak mereka.” (Ajidarma, hal.
725).
Tampak ideologi muncul dalam penggalan paragraf di atas, yang
merupakan ideologi dari narator ketiga yang tidak terlibat langsung dalam cerita
dan berada di luar cerita namun, ia bebas bergerak memasuki perspektif anak kecil
dalam cerpen “Gerobak”. Ia memberikan pandangannya mengenai orang-orang
bergerobak itu dan mengkritisi kehadiran mereka di tengah-tengah kota. Ia merasa
keberatan dengan pandangan orang-orang dalam gerobak yang merasa bahwa
mendapat sedekah dari orang kaya adalah hak mereka yang harus dipenuhi, meski
hanya dengan datang dan menetap seenaknya di lahan-lahan kosong yang ada di
kota. Perspektif lain disisipkan narator ketiga pada tokoh tertentu dan tampak jelas
ia juga menyisipkan perspektif yang sama pada tokoh nenek.
“Siapa pula suruh merendam negeri mereka dengan lumpur,” sahut
Nenek, “kita harus menerima segala akibat perbuatan kita. Heran, kenapa
manusia tidak pernah cukup puas dengan apa yang sudah mereka miliki.”
(Ajidarma, hal. 728).
Jadi, narator ketiga ini lebih bersifat dominan pada tokoh anak kecil,
kakek, dan nenek yang merupakan perwakilan dari orang-orang kota yang tinggal
di gedung-gedung yang megah. Keberpihakannya kepada tokoh-tokoh ini terlihat
dari perspektif yang ia sisipkan melalui tokoh-tokoh tersebut di mana pada
intinya, ia yang berada di luar cerita memberikan keberatan terhadap fenomena
pengemis yang setiap lebaran tiba selalu datang ke kota untuk meminta sedekah
yang bagi para pengemis itu wajib untuk diberikan oleh orang-orang kota yang
kaya kepada mereka. Dalam hal ini, narator ketiga juga mengkritisi kejanggalan
fenomena sosial ini sebagai akibat dari politik negeri yang tidak memberikan
keberpihakan kepada masyarakatnya. Ada akibat dari keacuhan pemerintah yang
menyebabkan timbulnya isu marginalitas dalam tubuh bangsanya. Hal ini
menunjukkan adanya wacana neokolonialisme yang terjadi dalam sebuah bangsa
yang diwakilkan oleh kota sebagai tempat di mana permasalahan orang miskin
yang berpindah ini muncul.

2. Kala
Gaya Seno dalam bercerita mengenai tataran peristiwa dapat dikatakan
detail, Seno mampu menyajikan peristiwa demi peristiwa dengan runtut terutama
berkaitan gambaran keadaan kota setelah gerobak-gerobak putih datang ke kota
sampai pada akhirnya mereka tidak bisa kembali. Namun, hal detail itu tidak
ditemukan dalam hal mengurutkan waktu, tidak ada kejelasan hari apakah itu.
Seno hanya menyebutkan sepuluh hari, sebelum/setelah lebaran, selama bulan
puasa, tahun-tahun belakangan, setiap hari, hari ke hari, setiap tahun, dan pada
hari lebaran,tanpa pembaca ketahui hari apakah itu, bulan apakah itu, apakah hari
Senin atau Sabtu dan lain sebagainya. Pembaca hanya mengetahui peristiwa yang
sedang terjadi pada saat itu adalah sepuluh hari sebelum dan setelah lebaran tiba.
Seno mampu memberikan kejelasan dalam menyebutkan lama waktu
berlangsungnya peristiwa tersebut. Misalnya, penggunaan frasa sepuluh hari,
selama bulan puasa.Dalam hal tataran penceritaan, Seno menggunakan gaya
penceritaan yang berulang-ulang. Hal itu ditandai dengan wicara yang dinarasikan
dengan dialog yang minim. Hampir seluruh sekuen merupakan perspektif dari
tokoh aku.

3. Sudut Pandang
Seperti yang telah diuraikan di modus, sudut pandang yang digunakan oleh
Seno dalam cerpen ini adalah sudut pandang aku-an tidak sertaan, artinya tokoh
utama aku yang diperankan seorang anak kecil lebih banyak menceritakan tokoh-
tokoh lain dibandingkan dirinya. Hal itu ditandai dengan pengenalan tokoh-tokoh
lainnya melalui narator tokoh aku.

E. Analisis Cerpen “Gerobak” dengan Teori Pascakolonial


Cerpen “Gerobak” karya Seno Ajidarma Ajidarma setidaknya
menawarkan wacana perjalanan dari ruang satu ke ruang lainnya, yaitu perjalanan
kaum miskin entah dari sudut kota yang mana menuju heningnya kota pada saat
Lebaran tiba. Perjalanan ini sebagai akibat dari kemiskinan yang melanda mereka
dan seolah-olah kemiskinan itu menuntut mereka yang kaya untuk
bertanggungjawab terhadap kehidupan mereka. Pergerakan kaum miskin ini
mengindikasikan adanya keinginan untuk melampaui sebuah batas ruang, di mana
mereka seolah ingin melepaskan diri dari batasan-batasan yang selama ini
memisahkan mereka dari dunia oposisinya, yaitu mereka yang berharta melimpah.

Ruang kota yang digunakan Seno pada dasarnya adalah mewakili ruang
nasional, di mana problematika yang terjadi dalam ruang kota erat kaitannya
dengan ruang nasional. Dengan merepresentasikan kota, Seno berusaha untuk
memperlihatkan adanya kolonialisme pascakemerdekaan, atau neokolonialisme
sebagai warisan kolonialisme terhadap sebuah nation atau negara bekas jajahan.

Orang-orang miskin yang digambarkan dalam cerpen “Gerobak”


merupakan korban dari kakunya sebuah nation. Mereka merupakan tanda
kegagalan dari sebuah kemerdekaan, di mana harapan pascakolonialisme akan
kehidupan yang jauh lebih baik ternyata tidak terwujud sama sekali. Kemerdekaan
yang seolah-olah dipaksakan sehingga begitu juga dengan wujud nation yang juga
seperti dipaksakan. Jejak imperialisme masih tertanam jelas pada sistem
pemerintahan, di mana terjadi diskriminasi dalam tubuh bangsanya.

Kemiskinan yang dialami oleh orang-orang penarik gerobak itu merupakan


sebuah batasan bagi mereka untuk tidak merasakan hal yang sama dengan kaum
oposisinya, yaitu mereka yang kaya. Kemiskinan ibarat nation yang membatasi
dan mengekang ruang gerak mereka sehingga pada saat ia mencoba membebaskan
diri dari ruang nation nya, maka yang ada adalah mereka dianggap sebagai sebuah
ancaman bagi nation yang lain, yaitu kaum kaya raya.

Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku?
Ataukah setidaknya mereka akan melompat masuk jendela dan merampas
makanan enak-enak untuk berbuka puasa ini? Aku memang selalu
mendapat peringatan dari orangtuaku untuk hati-hati, bahkan sebaiknya
menjauhi orang yang tidak dikenal. Memang mereka tidak pernah
menyebutkan kata-kata semacam, “Hati-hati terhadap orang miskin,” atau
“Orang miskin itu jahat,” tetapi kewaspadaan Ibu memang akan selalu
meningkat dan segera menggandeng tanganku erat-erat apabila didekati
orang-orang yang berbaju compang-camping dan sudah tidak jelas
warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan mereka yang sudah jebol
tepinya, memang selalu kulihat mata yang menatap, tetapi tak bisa
kuketahui apa yang dikatakan mata itu (Ajidarma, hal. 724).
Pada dasarnya, nation harus menjadi wadah pemersatu bagi keberagaman
atau heterogenitas dalam tubuhnya, harus mampu memunculkan kesatuan
populasi sehingga tekanan kolonialpun hilang dengan sendirinya jika hal itu
terwujud. Masih adanya jurang antara yang kaya dan yang miskin dalam tubuh
sebuah bangsa menandakan bahwa nation sendiri tidak cukup untuk
membebaskan manusia dari identitasnya yang beragam.

Upaya kaum kolonial terjadi di negara-negara jajahan lain, termasuk


negara jajahan di mana cerpen ini lahir, yaitu Indonesia. Tiga setengah abad
Belanda menjajah Indonesia sangat lebih dari cukup untuk menelurkan sistem
kolonial yang akan terus berlangsung bahkan hingga pascakemerdekaan. Dan hal
inilah yang sekarang terjadi, yang menjadi fokus dalam cerpen “Gerobak”
tersebut. Isu kemiskinan yang mewarnai alur dalam cerita cukup membuktikan
bahwa wacana neokolonialisme justru tumbuh subur di negara Indonesia.
Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, ruang nation yang tidak cukup
untuk membebaskan manusia dari sebuah sistem penjajahan, maka dibutuhkan
ruang lain yang jauh lebih luas ataupun lebih kecil dari ruang nation itu sendiri.
Dalam cerpen ini, Seno mencoba untuk menghadirkan ruang kota sebagai
alternatif lain mengungkap problematika dalam kota.

Kota yang digambarkan di sini adalah kota besar yang pada setiap Lebaran
tiba selalu sepi karena sebagian warganya bertolak ke kampung halaman mereka
untuk menghabiskan waktu bersama keluarga mereka di kampung. Namun, ada
sebagian warga kota yang memang asli berasal dari sana sehingga mereka tidak
perlu ke luar kota untuk bertemu dengan sanak saudara mereka. Ada sebuah
tradisi di mana setiap lebaran tiba, kaum pengemis datang berbondong-bondong
membawa gerobak mereka yang berwarna putih dan meletakkan gerobaknya
begitu saja di tanah-tanah kosong di dalam kota, bahkan merapat ke pemukiman
warga kota.

Mereka mendirikan tenda dan beraktivitas layaknya kehidupan mereka


sehari-hari, mereka memasak dengan peralatan seadaanya, dan membiarkan anak-
anaknya bermain di sekitar tenda dengan bebasnya. Yang mereka lakukan
hanyalah duduk bersantai-santai juga tidur-tiduran. Tak sedikit dari mereka yang
sering menatap wajah orang-orang kaya yang berlalu lalang di hadapan mereka
dengan tatapan penuh makna. Mereka jarang berbicara dan hanya tatapan saja
yang mengisyaratkan berjuta kata.

Yang dilakukan oleh kaum pengemis ini, yang dalam cerpen dikatakan
berasal dari “Negeri Kemiskinan” merupakan sebuah perjalanan dari nation
mereka, yaitu kemiskinan. Mereka mencoba membebaskan diri dari kemiskinan
dengan cara datang ke kota dan mengharapkan sedekah dari orang kaya di kota.
Yang dilakukan oleh orang-orang itu justru tidak membuat mereka bebas, justru
identitas mereka sebagai orang miskin semakin kuat dan memisahkan mereka dari
oposisinya, yaitu orang kaya. Orang kaya semakin mencoba menghindar dan lepas
dari rongrongan orang miskin yang pemalas itu, namun ternyata mereka pada
akhirnya harus mengalami suatu kondisi di mana orang-orang miskin itu akhirnya
hidup bersama mereka di rumah-rumah mereka.

Tentu itu tidak bermakna harfiah, di mana orang miskin ini dikatakan
melakukan perpindahan sebagai akibat dari desa mereka yang terendam lumpur.
Jika dihubungkan dengan realita, orang-orang ini bisa jadi merupakan korban
bencana Lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Oleh karena tidak
adanya lagi rumah untuk mereka tinggali, mereka seolah-olah menuntut orang lain
untuk bertanggung jawab atas nasib mereka. Mereka datang ke kota dan meminta
keadilan dari pemerintah, namun sikap mereka yang bermalas-malasan justru
menunjukkan pribadi mereka yang miskin dalam arti sesungguhnya.

Permasalahan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur yang hingga kini


belum mendapatkan penyelesaian. Kedekatakan tersebut juga dikaitkan dengan
kemunculan cerpen yang diterbitkanpada harian Kompas pada Minggu, 15
Oktober 2006. Fenomena lumpur terjadi pada 29 Mei 2006. Bencana lumpur
tersebut telah menenggelamkan kawasan pertanian dan industri yang berpenduduk
padat. Bencana yang diawali dengan menyemburnya lumpur dari dalam bumi
itumenjadi sejarah penting bagi warga Porong, kabupaten Sidoarjo.
Semburanlumpur akhirnya meluas hingga menggenangi beberapa desa lainnya
dangenangan tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Sejak lumpur Lapindo
mulai menyembur pada 29 Mei 2006 sampai sekarang, kondisi para korban
lumpur tidak kunjung membaik, terutama parakorban di area terdampak yang
tercatat 11.881 keluarga. Sebagian besar darimereka terus terkatung-katung
menunggu janji pelunasan ganti rugi. Banyak yangmencari pekerjaan serabutan
dan banyak pula yang mengalami depresi (Derwanto, 2013).

Fenomena lumpur sebagai masalah sosial dan kemanusiaan yang ternyata


tidak begitu menarik perhatian dalam dunia kesusastraan khususnya cerpen
padakemunculan peristiwa tersebut, yaitu tahun 2006 dan sebelum kemunculan
cerpen“Gerobak”. Hal ini membuat cerpen “Gerobak” seperti sebagai pelopor
karya sastra prosa yang peka terhadap fenomena tersebut. Adapun dua karya
sastra prosa yang merefleksikan lumpur ke dalam karyanya muncul pada tahun
berikutnya, yaitu novel Lumpur ditulis oleh Yazid R Passandre pada 2011 dan
novel Diantara Lumpur mainanku Hilang ditulis oleh Panca Javandalasta pada
2012. Kedua novel tersebut mengangkat cerita lumpur dengan menggambarkan
perjuangan hidup suatu personal atau individu dari masyarakat korban lumpur.
Penceritaan dengan sudut pandang berbeda terdapat dalam “Gerobak”. Hal ini
secara eksplisit terlihat dalam penggambaran hubungan dua kelompok masyarakat
dan tokoh Aku dari sudut pandang warga kota atau bukan korban bencana lumpur
yang rumahnya terendam.

Meski demikian, di balik gambaran tersebut, nampak satu hal yang


penting, yaitu kelalaian ataupun keengganan pemerintah dalam memperhatikan
nasib orang-orang tersebut. Mereka adalah korban dari sistem politik di dalam
negara, yang mana sistem tersebut erat kaitannya dengan sistem warisan budaya
kolonial. Penindasan, kemiskinan, perbedaan status sosial merupakan sistem
tatanan sosial yang diturunkan dari pihak penjajah kepada kaum penjajah,
sehingga meski ia telah menjadi sebuah nation yang baru, ia tetap tidak benar-
benar merupakan satu kesatuan. Jika berhasil bersatu, maka setidaknya tekanan
kolonial itu dapat dengan sendirinya hilang, meski tidak sepenuhnya, karena
ruang nation itu sendiri bersifat kaku dan terbatas. Alih-alih sebagai wadah koalisi
internasional, nation justru menjadi pembatas koalisi tersebut.
Seno mencoba memberikan gagasan mengenai fakta neokolonialisme
dalam cerpennya. Selain sebagai kritik kemanusian, ia memunculkan sisi-sisi lain
dari sebuah bangsa pascakemerdekaan yang masih terbelit urusan kolonialisme
dalam nation itu sendiri. Ruang kota yang diilustrasikan Seno merupakan
gambaran umum ruang yang lebih luas darinya, yaitu ruang nation, hal ini karena
ruang kota erat kaitannya secara politik dengan ruang nation. Semua problematika
yang ada dalam sebuah ruang kota menjadi cermin akan nationitu sendiri. Salah
satu studi pascakolonialisme memberikan perhatian lebih kepada efek dari
kolonialisme itu sendiri yang dalam hal ini dapat ditemukan dalam cerpen berupa
transformasinya ke dalam bentuk neokolonialisme. Dalam hal ini segala bentuk
marginalisme, ketidakadilan, penindasan, dan seterusnya merupakan problematika
ruang kota yang merupakan tubuh dari ruang nasional. Seperti yang diceritakan
dalam “Gerobak” kehadiran orang miskin di kota yang tak pernah habisnya
menandakan bahwa kesejahteraan dalam sebuah bangsa ada pada ambang yang
mengkhawatirkan. Kekhawatiran orang-orang kota terhadap orang miskin seolah
menjadi ancaman tersendiri yang mengukuhkan tatanan sosial yang timpang.
Tidak adanya kebersamaan dalam heteregonitas membuat ruang nation tidak
berhasil menyatukan orang-orang ini, justru ruang nation lah yang membiarkan
ini terjadi sebagai akibat sistem sosial yang diwariskan oleh kolonialisme.

Aku tidak terlalu paham bagaimana lumpur bisa merendam Negeri


Kemiskinan. Apakah maksudnya lumpur kemiskinan? Aku hanya tahu,
setelah hari Lebaran berlalu, gerobak-gerobak putih sama sekali tidak
pernah berkurang. Sebaliknya semakin lama semakin banyak, muncul di
berbagai sudut kota entah dari mana, menduduki setiap tanah yang kosong,
bahkan merayapi tembok, melompati pagar, memasuki rumah-rumah
gedung bertingkat, tidak bisa diusir dan tidak bisa dibunuh, tinggal di sana
entah sampai kapan. Barangkali saja untuk selama-lamanya (Ajidarma,
hal. 728).
Penggalan paragraf di atas menandakan bahwa isu kemiskinan tidak
kemudian dapat diatasi dengan sedekah yang terpaksa diberikan oleh kaum kaya,
kemiskinan bahkan semakin menjadi tanpa bisa dibendung lagi. Tentu fenomena
semacam ini erat kaitannya dengan kondisi yang juga dialami kaum terjajah di
zaman penjajahan dulu, dan nasib semacam ini ternyata tidak berubah bahkan
ketika Indonesia telah memperoleh kemerdekaannya. Sistem kapitalis sebagai
warisan menjadi satu alasan kuat segala permasalahan pasca kemerdekaan terjadi.

Thoha dalam bukunya Birokrasi dan Dinamika Kekuasaan mengatakan


bahwa kekuasaan hinggap pula pada sebuah keluarga, pada setiap jenis pekerjaan,
pada jenis lingkungan hidup yang cenderung mengatur, memaksa, menata, dan
mengarahkan tanpa mereka sadari dan pahami (2014, hal 176). Dalam cerpen
“Gerobak” praktik kekuasaan di ruang keluarga tergambarkan melalui tokoh
Kakek beserta orang tuanya yang melarang cucunya untuk mendekati kelompok
sosial yang lebih kecil kekuasaanya. Padahal, nalurinya sebagai anak-anak
berkeinginan untuk dapat bermain bersama anak-anak yang berada dalam kelas
sosial rendah tersebut.
“Jangan sekali-kali mendekati kere-kere itu, kata Kakek, “kita tidak
pernah tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita.” (Ajidarma, hal. 723).
Aku memang selalu mendapat peringatan dari orangtuaku untuk hati-hati,
bahkan sebaiknya menjauhi orang yang tidak dikenal. Memang mereka
tidak pernah menyebutkan kata-kata semacam, “Hati-hati terhadap orang
miskin,” atau “Orang miskin itu jahat,” tetapi kewaspadaan Ibu memang
akan selalu meningkat dan segera menggandeng tanganku erat-erat apabila
didekati orang-orang yang berbaju compang-camping dan sudah tidak jelas
warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan mereka yang sudah jebol
tepinya, memang selalu kulihat mata yang menatap, tetapi tak bisa
kuketahui apa yang dikatakan mata itu (Ajidarma, hal. 724).
Di dalam keluarga, kakek dan orang tua memiliki kekuasaan yang lebih
tinggi dari segi usia dan peranannya. Seperti yang diungkapkan Thomas &
Wareing (2007, hal. 191-192) bahwa usia berpengaruh besar pada kekuasaan
sosial dan ekonomi yang dipegangnya di dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 2014. Senja dan Cinta yang Berdarah. Jakarta: Kompas.
Derwanto, Herpin. (2013). “Korban Lapindo: Suara Kami Takkan Pernah
Padam.”Kompas. Edisi Minggu, 2 Juni 2013. [Online]. Tersedia:
http://www.kompas.com
Thoha, Miftah. 2014. Birokrasi dan Dinamika Kekuasaan. Jakarta: Kencana.
Thomas, Linda dan Wareing, Shan . 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai