Analisis Pascakolonial Pada Cerpen Gerob
Analisis Pascakolonial Pada Cerpen Gerob
F1 F4 F5 F8 F9
F2 F3 F6 F7
Sekuen pada cerpen ini termasuk pada jenis sekuen linear atau realita fiktif
karena sebagian besar cerita cerpen ini menggambarkan peristiwa yang dialami
dalam kehidupan nyata yang dikemas dalam bentuk cerita fiktif. Seluruh sekuen
didominasi oleh narasi tokoh aku yang kemudian ditambahkan dengan beberapa
dialog.
b. Mereka
Tokoh mereka yang dimaksud dalam cerpen ini adalah gerobak putih yang
dibawa oleh seorang laki-laki, sementara seorang perempuan dan dua atau tiga
anaknya yang masih kecildengan pakaian compang-camping dan berwajah amat
dekil duduk di dalam gerobak.Tokoh mereka menjadi tokoh utama kedua setelah
tokoh aku karena selain keingintahuan aku yang membawa cerita mengalir, tokoh
mereka lah yang menjadi fokus utama cerita ini. Mereka digambarkan sebagai
tokoh yang malas, jarang berbicara, mengomel ketika makanan telat datang,
menggantungkan hidup pada orang kaya, tidak pernah merasa puas dengan apa
yang sudah mereka miliki. Karakter mereka tergambar jelas melalui monolog
tokoh aku maupun opini dari tokoh Kakek dan Nenek. Berikut adalah kutipan
mengenai hal tersebut.
Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang itu tampak sangat amat dekil.
Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga
kadang-kadang mereka tampak seperti patung yang bisa hidup dan
bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manusia-manusia gerobak ini sangat
jarang berkata-kata (Ajidarma, hal. 727-728).
c. Kakek
Tokoh Kakek merupakan tokoh pendukung serba tahu dalam cerpen ini
karena Kakek yang menjadi tempat Aku bertanya atas rasa keingintahuannya dan
Ia pula lah yang mendeskripsikan lebih awal siapa, dari mana, dan mengapa
gerobak-gerobak putih itu datang ke kota. Kakek digambarkan sebagai pejabat
tinggi yang memiliki perusahaan yang banyak sekali, berkarakter mandiri, dan
berhati-hati dengan mereka yang ia sebut sebagai kere-kere. Karakter Kakek
tersebut merupakan gambaran nyata warga kota yang individualis. Pada awalnya,
sikap kehati-hatian Kakek ini masih dalam tahap tenang dan tidak menggubris apa
yang mereka lakukan, namun di akhir cerita Kakek menjadi gelisah dan khawatir
terhadap kenyataan bahwa orang kaya harus hidup berdampingan dengan orang
miskin. Sama halnya seperti tokoh mereka, tokoh Kakek pun tergambar melalui
monolog Aku, dan dialognya dengan Aku dan Nenek. Berikut adalah kutipan
mengenai hal tersebut.
“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang
setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan. Ya, mereka
datang untuk mengemis.” (Ajidarma, hal. 723).
... karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di samping menjadi pejabat
tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah
membagi pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia
tangani sendiri(Ajidarma, hal. 723).
“Jangan sekali-kali mendekati kere-kere itu, kata Kakek, “kita tidak
pernah tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita.” (Ajidarma, hal. 723).
“ Tenang saja,” kata Kakek, “sehabis Lebaran mereka akan menghilang,
biasanya, kan begitu.” (Ajidarma, hal. 726).
Kakekmerasa gelisah dengan perkembangan ini. Bagaimana nasib cucu-
cucu kita nanti” katanya kepada Nenek, “apakah mereka harus berbagi
tempat tinggal dengan kere unyik itu?” (Ajidarma, hal. 728).
d. Nenek
Tokoh Nenek merupakan tokoh pendukung cerpen ini. Nenek
digambarkan sebagai orang kaya yang selalu menyantuni gerobak yang menggelar
tenda di depan rumahnya dengan memberikan makanan yang berlimpah-limpah.
Sikap nenek tersebut merupakan gambaran nyata dari orang kaya yang seakan
memiliki kewajiban atas orang miskin di negeri ini. Melalui dialognya Ia
menggerutu pada keadaan yang menimpanya itu, namun Ia tidak bisa berbuat apa-
apa. Berikut adalah kutipan mengenai hal tersebut.
Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah
kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. ... Tampaknya
orang-orang yang dianggap berlebihan diandalkan dengan sendirinya
harus tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat
sedekah(Ajidarma, hal. 725).
“Siapa pula suruh merendam negeri mereka dengan lumpur,” sahut Nenek,
kita harus menerima segala akibat perbuatan kita. Heran, kenapa manusia
tidak pernah cukup puas dengan apa yang sudah mereka
miliki.”(Ajidarma, hal. 728).
2. Analisis Latar
a. Latar Waktu
1) Latar Waktu Bagian Hari
Latar waktu bagian hari adalah latar waktu terjadinya peristiwa pada
bagian dari hari, baik pagi, siang, sore, maupun malam hari. Penanda waktu yang
merupakan bagian dari hari dalam cerpen ini adalah penggunaan frasa sepanjang
hari. Penanda waktu tersebut menggambarkan waktu atau kejadian yang terjadi
tidak lebih dari sehari. Kejadian ini terjadi sebagai bagian dari waktu. Berikut
adalah kutipan yang berlatarkan waktu.
Sepanjang hari mereka hanya bergolek-golek di atas tikar, tidur-tiduran
menatap langit dengan santai dan mereka seperti harus mendapatkan
makanan tepat pada waktunya (Ajidarma, hal. 725).
2) Latar Waktu Bagian dari Minggu, Bulan, dan Tahun
Latar waktu bagian dari minggu, bulan, dan tahun pada cerpen tersebut
adalah frasa sepuluh hari, sebelum/setelah lebaran, selama bulan puasa, tahun-
tahun belakangan, setiap hari, hari ke hari, setiap tahun, dan pada hari
lebaran.Kata-kata tersebut merupakan identitas yang sangat menentukan kapan
terjadinya sebuah peristiwa. Kata-kata sepuluh hari, sebelum/setelah lebaran,
setiap hari, hari ke hari, pada hari lebaranmenunjukan bahwa peristiwa tersebut
terjadi pada latar waktu yang merupakan bagian dari minggu. Sedangkan kata
selama bulan puasamenunjukan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada latar yang
merupakan bagian dari bulan. Sementara kata-kata tahun-tahun
belakanganmerupakan kata yang menunjukan bahwa sebuah peristiwa terjadi
pada latar waktu yang merupakan bagian dari tahun. Berikut adalah kutipan yang
berlatarkan waktu bagian dari minggu, bulan dan tahun.
Kira-kira sepuluh hari sebelum lebaran tiba, gerobak-gerobak putih
berwarna putih itu akan muncul di sudut kota kami, seperti selalu terjadi
dalam bulan puasa tahun-tahun ke belakang (Ajidarma, hal. 721).
“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti akan menghilang
setelah lebaran (Ajidarma, hal. 723).
Aku hanya tahu, setelah hari lebaran berlalu, gerobak-gerobak putih itu
sama seklai tidak pernah berkurang (Ajidarma, hal. 728).
Namun, kalau aku setiap hari disibukkan oleh tugas-tugas sekolah, anak-
anak itu pekerjaannya hanya bermain-main saja (Ajidarma, hal. 723).
Coba kamu setiap hari hidup di dalam gerobak di luar sana (Ajidarma, hal.
724).
b. Latar Tempat
Berikut ini adalah uraian yang menyatakan latar tempat dari cerpen
“Gerobak”.
a. Kota
Kota menjadi pilihan pengarang sebagai tempat tujuan dan perpindahan
gerobak-gerobak putih dari Negeri Kemiskinan. Bukan hal yang baru, kota
menjadi pilihan bagi kelompok sosial rendah untuk beradu nasib dan
menggantungkan hidupnya pada mereka yang memiliki harta berlimpah atau
kekuasaan yang lebih tinggi demi terbebas dari identitas miskin yang
disandangnya. Begitu pun yang dilakukan gerobak-gerobak putih tersebut, berniat
melepaskan identitas kemiskinan, namun yang ada semakin menunjukkan
identitasnya di tempat orang-orang kaya hidup, yaitu di kota. Berikut adalah
kutipan yang menggambarkan latar kota.
Kira-kira sepuluh hari sebelum lebaran tiba, gerobak-gerobak putih
berwarna putih itu akan muncul di sudut kota kami, seperti selalu terjadi
dalam bulan puasa tahun-tahun ke belakang (Ajidarma, hal. 721).
b. Jendela loteng
Jendela dari loteng rumah Kakek menjadi saksi bisu, seorang anak kecil
yang menyaksikan fenomena sosial yang belum pernah ia temukan sebelumnya.
Jendela ini pula yang seolah menjadi benteng atau pemisah kehidupan seorang
anak kecil dari keluarga kaya yang dibatasi pergaulannya dari “orang yang tidak
dikenal”. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan latar jendela loteng.
Dari jendela loteng, kuamati orang-orang di dalam gerobak itu. Anak-
anak kecil itu tampaknya seusiaku. Namun, kalau aku setiap hari
disibukkan oleh tugas sekolah, anak-anak itu pekerjaannya hanya
bermain-main saja. Kadang-kadang aku ingin sekali ikut bermain
dengan anak-anak itu, tetapi Kakek tentu saja melarangku (Ajidarma,
hal.723).
d. Negeri Kemiskinan
Negeri Kemiskinan merupakan simbol dari tempat asal gerobak-gerobak
tersebut. Jika dihubungkan dengan realita pada munculnya cerpen tersebut,
kutipan “Ya, tetapi Negeri Kemiskinan sudah terendam lumpur sekarang, dan
tidak ada kepastian kapan banjir lumpur itu akan selesai.”, menandakan bahwa
Negeri Kemiskinan yang dimaksud bisa jadi tempat korban bencana Lumpur
Lapindo yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Oleh karena tidak adanya lagi
rumah untuk mereka tinggali, dan lapangan pekerjaan menjadikan tempat tersebut
dilanda kemiskinan yang berkepanjangan sehingga Seno menyebutnya sebagai
Negeri.
“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang
setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan. Ya, mereka
datang untuk mengemis.” (Ajidarma, hal. 723).
Aku tidak terlalu paham bagaimana lumpur bisa merendam Negeri
Kemiskinan. Apakah maksudnya lumpur kemiskinan? (Ajidarma, hal.
728).
c. Latar Material
Berikut ini adalah uraian yang menyatakan latar material dari cerpen
“Gerobak”.
1) Gerobak
Selain dijadikan sebagai judul, Seno memilih gerobak menjadi ikon dari
kaum miskin dalam cerita ini karena keberadaannya yang mengawali,
menggerakan, dan mengakhiri cerita.
Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan
gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk
dihela kedua lengan di depan (Ajidarma, hal. 721).
2) Rumah/Gedung Bertingkat
Setelah gerobak, rumah bertingkat menjadi pilihan Seno untuk
mempresentasikan kaum kaya. Seno mampu memilih ikon yang kontradiktif
namun, mewakili setiap kelompok sosial sesuai kelasnya di dalam masyarakat.
Tidak jarang mereka memasang juga tenda di depan rumah gedung-
gedung bertingkat. Salah satu dari gerobak itu berhenti pula di depan
rumah gedung kakekku (Ajidarma, hal. 723).
3) Makanan
Material ini dipilih untuk mempresentasikan kewajiban orang kaya
terhadap orang miskin sehingga mereka tidak perlu mengemis untuk mendapatkan
sedekah, dan menjadi pemicu tokoh lain geram.
Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah
kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. ... Tampaknya
orang-orang yang dianggap berlebihan diandalkan dengan sendirinya harus
tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah
(Ajidarma, hal. 725).
... mereka seperti harus mendapatkan makanan tepat pada waktunya.
Pernah pembantu rumah tangga di rumah Kakek yang terlambat sedikit
mengantar kolak untuk berbuka puas, karena mendahulukan Kakek,
mendapat omelan panjang dan pendek. Tetangga-tetangga juga sudah
mulai jengkel (Ajidarma, hal. 724-725).
D. Analisis Gaya Penceritaan
1. Modus
Dari segi struktur naratif, peristiwa yang ada dalam cerita cerpen
“Gerobak” dituturkan oleh perspektif seorang anak kecil sebagai narator pertama
yang terlibat langsung di dalam cerita sekaligus sebagai pusat dari segala keadaan
dan peristiwa yang terjadi, hal ini menunjukkan bahwa kehadiran pencerita pada
cerpen ini bersifat intern (berada di dalam cerita) dan ia terlibat langsung dalam
kehidupan yang ia tuturkan dalam cerita tersebut meski ia bukan narator yang
maha tau karena tokoh kakek menjadi narator kedua dalam cerpen ini. Oleh sebab
itu, Seno mengambil sudut pandang orang pertama, yaitu aku-an tidak sertaan.
Penceritaan yang dipilih Seno pun berjenisn wicara yang dinarasikan, artinya
Seno mengemukakan isi cerita dari narator yang disampaikan oleh tokoh seorang
anak kecil (aku) dan Kakek. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan hal
tersebut.
... karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di samping menjadi pejabat
tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah
membagi pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia
tangani sendiri(Ajidarma, hal. 723).
Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah
kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. ... Tampaknya
orang-orang yang dianggap berlebihan diandalkan dengan sendirinya harus
tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah
(Ajidarma, hal. 725).
Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang itu tampak sangat amat dekil.
Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga
kadang-kadang mereka tampak seperti patung yang bisa hidup dan
bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manusia-manusia gerobak ini sangat
jarang berkata-kata (Ajidarma, hal. 727-728).
“Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari
manakah mereka datang?”
Kakek menjawab sambil menghela napas.
“Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang
setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan.”
“Negeri Kemiskinan?”
“Ya, mereka datang untuk mengemis.”(Ajidarma, hal. 723).
Keberadaan narator kedua menjadikan struktur cerita menjadi lebih
beragam, dari perspektif seorang anak kecil sebagai narator pertama yang terlibat
dalam cerita namun, pada dasarnya berada di luar cerita yang sebenarnya,
sementara narator kedua yang seakan-akan tidak terlibat dalam penceritaan,
namun justru lebih mahatau dan terlibat di dalam cerita. Kemungkinan adanya
intervensi narator ketiga terlihat pada tokoh anak kecil sebagai narator pertama
cerita. Iamenyusupkan ide dan juga perspektifnya yang bergerak bebas melampaui
perspektif tokoh seorang anak kecil.
2. Kala
Gaya Seno dalam bercerita mengenai tataran peristiwa dapat dikatakan
detail, Seno mampu menyajikan peristiwa demi peristiwa dengan runtut terutama
berkaitan gambaran keadaan kota setelah gerobak-gerobak putih datang ke kota
sampai pada akhirnya mereka tidak bisa kembali. Namun, hal detail itu tidak
ditemukan dalam hal mengurutkan waktu, tidak ada kejelasan hari apakah itu.
Seno hanya menyebutkan sepuluh hari, sebelum/setelah lebaran, selama bulan
puasa, tahun-tahun belakangan, setiap hari, hari ke hari, setiap tahun, dan pada
hari lebaran,tanpa pembaca ketahui hari apakah itu, bulan apakah itu, apakah hari
Senin atau Sabtu dan lain sebagainya. Pembaca hanya mengetahui peristiwa yang
sedang terjadi pada saat itu adalah sepuluh hari sebelum dan setelah lebaran tiba.
Seno mampu memberikan kejelasan dalam menyebutkan lama waktu
berlangsungnya peristiwa tersebut. Misalnya, penggunaan frasa sepuluh hari,
selama bulan puasa.Dalam hal tataran penceritaan, Seno menggunakan gaya
penceritaan yang berulang-ulang. Hal itu ditandai dengan wicara yang dinarasikan
dengan dialog yang minim. Hampir seluruh sekuen merupakan perspektif dari
tokoh aku.
3. Sudut Pandang
Seperti yang telah diuraikan di modus, sudut pandang yang digunakan oleh
Seno dalam cerpen ini adalah sudut pandang aku-an tidak sertaan, artinya tokoh
utama aku yang diperankan seorang anak kecil lebih banyak menceritakan tokoh-
tokoh lain dibandingkan dirinya. Hal itu ditandai dengan pengenalan tokoh-tokoh
lainnya melalui narator tokoh aku.
Ruang kota yang digunakan Seno pada dasarnya adalah mewakili ruang
nasional, di mana problematika yang terjadi dalam ruang kota erat kaitannya
dengan ruang nasional. Dengan merepresentasikan kota, Seno berusaha untuk
memperlihatkan adanya kolonialisme pascakemerdekaan, atau neokolonialisme
sebagai warisan kolonialisme terhadap sebuah nation atau negara bekas jajahan.
Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku?
Ataukah setidaknya mereka akan melompat masuk jendela dan merampas
makanan enak-enak untuk berbuka puasa ini? Aku memang selalu
mendapat peringatan dari orangtuaku untuk hati-hati, bahkan sebaiknya
menjauhi orang yang tidak dikenal. Memang mereka tidak pernah
menyebutkan kata-kata semacam, “Hati-hati terhadap orang miskin,” atau
“Orang miskin itu jahat,” tetapi kewaspadaan Ibu memang akan selalu
meningkat dan segera menggandeng tanganku erat-erat apabila didekati
orang-orang yang berbaju compang-camping dan sudah tidak jelas
warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan mereka yang sudah jebol
tepinya, memang selalu kulihat mata yang menatap, tetapi tak bisa
kuketahui apa yang dikatakan mata itu (Ajidarma, hal. 724).
Pada dasarnya, nation harus menjadi wadah pemersatu bagi keberagaman
atau heterogenitas dalam tubuhnya, harus mampu memunculkan kesatuan
populasi sehingga tekanan kolonialpun hilang dengan sendirinya jika hal itu
terwujud. Masih adanya jurang antara yang kaya dan yang miskin dalam tubuh
sebuah bangsa menandakan bahwa nation sendiri tidak cukup untuk
membebaskan manusia dari identitasnya yang beragam.
Kota yang digambarkan di sini adalah kota besar yang pada setiap Lebaran
tiba selalu sepi karena sebagian warganya bertolak ke kampung halaman mereka
untuk menghabiskan waktu bersama keluarga mereka di kampung. Namun, ada
sebagian warga kota yang memang asli berasal dari sana sehingga mereka tidak
perlu ke luar kota untuk bertemu dengan sanak saudara mereka. Ada sebuah
tradisi di mana setiap lebaran tiba, kaum pengemis datang berbondong-bondong
membawa gerobak mereka yang berwarna putih dan meletakkan gerobaknya
begitu saja di tanah-tanah kosong di dalam kota, bahkan merapat ke pemukiman
warga kota.
Yang dilakukan oleh kaum pengemis ini, yang dalam cerpen dikatakan
berasal dari “Negeri Kemiskinan” merupakan sebuah perjalanan dari nation
mereka, yaitu kemiskinan. Mereka mencoba membebaskan diri dari kemiskinan
dengan cara datang ke kota dan mengharapkan sedekah dari orang kaya di kota.
Yang dilakukan oleh orang-orang itu justru tidak membuat mereka bebas, justru
identitas mereka sebagai orang miskin semakin kuat dan memisahkan mereka dari
oposisinya, yaitu orang kaya. Orang kaya semakin mencoba menghindar dan lepas
dari rongrongan orang miskin yang pemalas itu, namun ternyata mereka pada
akhirnya harus mengalami suatu kondisi di mana orang-orang miskin itu akhirnya
hidup bersama mereka di rumah-rumah mereka.
Tentu itu tidak bermakna harfiah, di mana orang miskin ini dikatakan
melakukan perpindahan sebagai akibat dari desa mereka yang terendam lumpur.
Jika dihubungkan dengan realita, orang-orang ini bisa jadi merupakan korban
bencana Lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Oleh karena tidak
adanya lagi rumah untuk mereka tinggali, mereka seolah-olah menuntut orang lain
untuk bertanggung jawab atas nasib mereka. Mereka datang ke kota dan meminta
keadilan dari pemerintah, namun sikap mereka yang bermalas-malasan justru
menunjukkan pribadi mereka yang miskin dalam arti sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 2014. Senja dan Cinta yang Berdarah. Jakarta: Kompas.
Derwanto, Herpin. (2013). “Korban Lapindo: Suara Kami Takkan Pernah
Padam.”Kompas. Edisi Minggu, 2 Juni 2013. [Online]. Tersedia:
http://www.kompas.com
Thoha, Miftah. 2014. Birokrasi dan Dinamika Kekuasaan. Jakarta: Kencana.
Thomas, Linda dan Wareing, Shan . 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.