Anda di halaman 1dari 6

Arsitektur Kontekstual dan Kesetaraannya dengan Arsitektur Tematik

Darini Yusrina A (0811175002001)

Arsitektur Kontekstual

kon·teks /kontéks/ n 1 Ling bagian suatu uraian atau kalimat yg dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna; 2 situasi yg ada hubungannya dng suatu kejadian: orang itu
harus dilihat sbg manusia yg utuh dl — kehidupan pribadi dan masyarakatnya;

kon·teks·tu·al /kontékstual/ a berhubungan dng konteks

Pokok-pokok pemikiran kontekstual yang mengemukakan tentang keterkaitan antara bentuk


dan penampilan bangunan baru dengan karakteristik bangunan-bangunan yang terdapat di
lingkungan setempat, antara lain dikemukakan oleh:

Bill Raun

 Kontekstual menekankan bahwa sebuah bangunan harus mempunyai kaitan dengan


lingkungan (bangunan yang berada di sekitarnya). Keterkaitan tersebut dapat dibentuk
melalui proses menghidupkan kembali nafas spesifik yang ada dalam lingkungan
(bangunan lama) ke dalam bangunan yang baru sesudahnya.
 Dalam pemikiran kontekstual, kehadiran bentuk bangunan bukan secara spontan, tetapi
berdasarkan bentuk yang telah diakui oleh masyarakat sekelilingnya. Prinsip ini
mencakup pengertian bahwa kehadiran suatu bentuk merupakan pengembangan atau
variasi dari suatu kondisi yang telah mapan sebelumnya.

Stuart E Cohen

 Dalam pemikiran kontekstual, menganggap bahwa salah satu metode untuk mengetahui
keberadaan suatu bentuk dan bahasa arsitektur adalah berdasarkan pengakuan secara
resmi oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini berarti bentuk fisik yang telah mapan adalah
bentuk yang diakui dan terbiasa oleh pengamat sekitarnya.
 Pemikiran secara kontekstual mempunyai prinsip bahwa bangunan yang muncul di
kemudian waktu, untuk mendapatkan pengakuan keberadaannya seharusnya
merupakan tambahan yang terkait (depent addition) dari lingkungan sekitarnya.
 Pemikiran kontekstual menganjurkan para arsitek dan perancang untuk melihat dan
mempelajari bangunan tradisional, bentuk-bentuk asli, material setempat, untuk
menangkap nafas dan ciri khas dari bentuk fisik lingkungan.
 Untuk membentuk keterkaitan dalam kontekstual dapat diperoleh melalui proses analogi
dan seleksi bentuk arsitektur setempat yang telah sesuai dan diakui oleh masyarakat dan
lingkungan.

Brent C Brolin
Seorang arsitek atau perencana bangunan dianjurkan untuk memperhatikan dan
menghormati lingkungan fisik sekitarnya, mengutamakan kesinambungan visual antara
bangunan baru dengan bangunan, landmark dan gaya setempat yang keberadaannya telah
diakui sebelumnya.

Maka, arsitektur kontekstual adalah metode merancang bangunan yang mengkaitkan dan
menyelaraskan karakteristik lingkungan sekitar dan nilai – nilai lokal dari tempat bangunan
itu dibangun.

Paham arsitektur kontestual sendiri muncul dari penolakan terhadap arsitektur Modern yang
bersifat universal, monton, industrialisasi dan tidak memperdulikan nilai – nilai lokal.
Kontekstualisme mendorong penjebatanan antara lingkungan beserta bangunan lamanya
dengan bangunan baru yang akan dirancang. Sehingga, kontekstualisme sering dikaitkan
dengan kegiatan konservasi dan preservasi karena berusaha mempertahankan kearifan lokal
beserta nilai historisnya dan menciptakan hubungan simpatik dengan bangunan baru yang
menghasilkan kontinuitas visual.

Dalam desain arsitektur, kontekstual dapat diwujudkan ke dalam perancangan sebuah


bangunan atau ruang di dalam kota, sehingga memiliki ciri khas (karakteristik) tersendiri.

Arsitekur dan penciptaan ruang (Space) dan tempat (Place)

“Good architecture is like a piece of beautifully composed music crystallized in space that
elevates our spirits beyond the limitation of time.”

Sebuah ruang yang baik adalah yang dapat menampung dan mewadahi segala aktivitas di
dalamnya. Dengan adanya aktivitas yang terjadi di dalamnya, maka sebuah space dapat
dikatakan sudah menjadi place (tempat yang memiliki ruh/spirit kehidupan).

Ruang yang baik ditentukan oleh kualitas lingkungan di sekelilingnya. Temperatur, matahari,
angin, dan kelembaban sangat mempengaruhi nyaman atau tidaknya ruang tersebut, yang
tentunya menjadi berpengaruh terhadap kegiatan manusia di dalamnya. Kualitas ruang yang
baik menjamin keberhasilan perwujudan dari fungsi ruang tersebut.

Namun selain hal tersebut di atas, yang tidak kalah penting dalam menciptakan sebuah ruang
yang berfungsi, adalah tiga potensi strategis yang disebut sebagai Three Theories of Urban
Spatial Design; yaitu massa dan ruang (figure), koneksi atau keterhubungan (linkage), dan
tempat (place). Kualitas sebuah ruang publik dipengaruhi oleh bentuk dan tatanan ruang, dan
juga harus dapat dicapai dengan mudah melalui jaringan infrastruktur yang jika dirancang
dengan benar akan menghasilkan ruang berkegiatan yang tak hanya nyaman, tetapi juga
membentuk perilaku positif bagi manusia di dalamnya. Selain itu, konteks budaya, sejarah,
dan ekologi juga perlu diperhatikan dengan menyatukan bentuk, detail, ornamen yang unik
sesuai nilai sosial, budaya dan persepsi visual; sehingga menghasilkan ruang publik yang
memiliki karakteristik lokal.
“The most significant argument of the art of city making is that a city should not seek to be
the most creative city IN the world (or region/state)—it should strive to be the best and most
imaginative city FOR the world. That is why city making is an ethical foundation.”

—Charles Landry

Arsitektur dan Konteks Kehidupan Perkotaan

Karakteristik sosial, ekonomi, dan lingkungan fisik suatu kota akan mempengaruhi desain
arsitekturnya. Bandingkan saja kehidupan masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah dan
masyarakat dengan tingkat ekonomi yang tinggi. Atau kondisi sosial masyarakat yang tinggal
di permukiman padat penduduk yang tertata dengan permukiman yang tidak tertata. Bahkan
perbedaan kondisi masyarakat di negara maju dengan negara berkembang.

Arsitektur kota merupakan jaringan, komposisi ruang dan bangunan yang bertumpuk dalam
rentang waktu dan memfasilitasi berbagai kepentingan. Beberapa elemen dirubah, dibuang,
diganti, ditimpa atau disandingkan dengan elemen baru dan akan terus berlanjut.

Peter Calthorpe dan William Fulton dalam buku The Regional City menjabarkan asas yang
disebut sebagai Principle of Diversity, Conservation, and Human Scale; bahwa,

“These alternative principles apply equally to the social, economic, and physical dimensions of
communities. For the example, the social implications of human scale may mean more police
officers walking a beat rather than hovering overhead in a helicopter; the economic
implications of human scale may mean economic policies that support small local business
rather than major industries and corporations, and the physical implication of human scale
may be realized in the form and detail of building as they relate to street.”

Sehingga dapat kita simpulkan bahwa asas-asas ini dapat membentuk pondasi kawasan baru
dan etika desain di lingkungan kota.

Arsitektur Kontekstual dan Proses Pencarian Bentuk

Untuk mewujudkan dan menciptakan arsitektur kontekstual, sebuah desain tidak harus
selamanya kontekstual dalam aspek form dan fisik saja, akan tetapi kontekstual dapat pula
dihadirkan melalui aspek non fisik, seperti fungsi, filosofi, maupun teknologi.

Kontekstual pada aspek fisik, dapat dilakukan dengan cara

Pertama, mengambil motif-motif desain setempat: bentuk massa, pola atau irama bukaan,
dan ornamen desain.

Contoh yang paling banyak dilakukan adalah pengkinian arsitektur nusantara. Bangunan –
bangunan baru mengambil bentuk, pola maupun ornamen arsitektur Nusantara dan
mengaplikasikannya ke dalam rancangan bangunan. Bentuk yang paling banyak
diadaptasikan ke bangunan baru adalah bentuk atap. Contohnya adalah gedung kampus ITB
karya Mclaine Pont dan Kantor Walikota Surabaya.
Kedua, menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga
tampak berbeda.

Seperti yang terlihat pada bangunan Brighton University, UK. Dan The Ulemiste Water Tower,
Estonia. Perbedaan antara bangunan lama dan bangunan baru sangat terlihat namun dengan
bentuk dasar geometri yang serupa yang diperbaharui. Hal ini menyebabkan kedua elemen
tetap menyatu meskipun memiliki perbedaan yang cukup mencolok.

Ketiga, melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau
mendekati yang lama

Contoh pendekatan ini adalah New Housing di Zwolle, Belanda. Pencarian bentuk-bentuk
baru pada bangunan terlihat pada penggunaan atap gable dengan versi lebih modern.

Keempat, mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras)

Dalam arsitektur kontekstual hubungan yang simpatik tidak selalu ditunjukkan dengan desain
harmonis yang biasanya dicapai dengan penggunaan kembali elemen desain yang dominan
yang terdapat pada bangunan lama. Hubungan simpatik tersebut bisa dicapai dengan solusi
desain yang kontras. Bentuk-bentuk asli pada bangunan lama tidak digunakan langsung,
namun bisa diabstraksikan ke dalam bentuk baru yang berbeda.
Adapun kontekstual dalam aspek non fisik dapat dilakukan melalui pendekatan fungsi, filosofi,
maupun teknologi. Bangunan baru yang didesain ’kontras’ dengan bangunan lama, namun
mampu memperkuat nilai historis bangunan lama justru dianggap lebih kontekstual daripada
bangunan baru yang dibuat ’selaras’, sehingga menghilangkan atau mengaburkan pandangan
orang akan nilai historis bangunan lama.

Sehingga, untuk menjadikan sebuah desain kontekstual, bisa dengan menjadikannya ’selaras’
ataupun ’kontras’ dengan lingkungan sekitar dengan tetap mengedepankan tujuan dari
kontekstual itu sendiri, yaitu menghadirkan ’kesesuaian’, dalam arti memperkuat,
memperbesar, menyelamatkan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas lingkungan yang
ada.

Jadi, Arsitektur Kontekstual memiliki prinsip – prinsip fungsi antara lain:

 Untuk menghadirkan bangunan yang memperhatikan kondisi sekelilingnya sehingga


keberadaannya serasi dan menyatu, dan dengan demikian potensi dalam lingkungan
tersebut tidak diabaikan.
 Membentuk satu kesatuan citra oleh pengamat dalam suatu kawasan dan lingkungan,
yang terbentuk dari suatu komposisi bangunan dengan periode keberadaan yang
berlainan. Kesatuan citra oleh pengamat, terbentuk karena komposisi fisik yang
dilihatnya mempunyai kesinambungan, meskipun keberadaannya tidak secara
bersamaan.

Arsitektur Tematik

Te.ma/te·ma/ /téma/ n pokok pikiran; dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai
dasar mengarang, menggubah sajak, dan sebagainya)

Te.ma.tik/te·ma·tik/ /tématik/ a bersangkutan dengan tema

Dalam pengertian umum, tema merupakan ide sentral sebuah karya atau aktivitas. Ide sentral
itu dapat melingkupi keseluruhan isi atau aktivitas yang dilakukan dalam tema tersebut

Menurut Prof. Dr. Stephen Kendall, Building Futures Institute, Ball State University.

Desain tematik adalah desain berbagai elemen - elemen yang pada tingkat lingkungan apa
pun sesuai dengan suatu perangkat prinsip pengorganisasian.

Jadi, Arsitektur tematik adalah metode perancangan yang mengacu pada suatu ide sentral
yang memiliki perangkat prinsip tertentu.

Dalam arsitektur, tema merupakan titik awal sebuah proses desain. Tema merupakan topik
dari keseuruhan desain yang memiliki syarat, prinsip dan ketentuan yang berbeda – beda.
Lalu hubungannya dengan Arsitektur Kontekstual adalah suatu tema dapat ditafsirkan secara
berbeda- beda dalam kondisi yang berbeda pula. Konteks berperan seperti latar, situasi,
kondisi dasar. Sehingga, penafsiran tema bergantung pada konteks desain yang dimaksudkan.

Itinerary dari Arsitektur kontekstual dan Arsitektur Tematik

Itinerary dalam kamus bahasa Inggris adalah “a detailed plan or route of a trip” atau
diterjemahkan menjadi rencana atau perjalanan detail.

Hubungannya dengan Arsitektural kontekstual dan tematik kembali kepada pernyataan


mengenai variasi tafsir yang dapat dilakukan pada suatu tema dalam konteks yang berbeda-
beda.

Jika dijelaskan dalam diagram maka :

Tafsir 1

itinerary 1 Tafsir 2

.....

Tema Tafsir 1

itenarary 2 Tafsir 2

itinerary 3,
.....
dst

Anda mungkin juga menyukai