Anda di halaman 1dari 4

Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk menyelidiki kontribusi potensial dari perspektif desain

untuk sistem perencanaan, sebagai jaringan organisasi yang mewujudkan organisasi ruang yang
terkoordinasi dalam komunitas tertentu. Dimana pendekatan ini menggunakan pendekatan
evolusioner dan memanfaatkan tinjauan literatur perencanaan dan desain untuk
merekonstruksi sejarah perkembangan disiplin atau profesi di tempat yang berbeda.
A. Perencanaan
Menurut Van Assche and Verschraegen (2008), Perencanaan tata ruang berkaitan dengan cara
orang membentuk dan mengatur ruang dan memperhitungkan masalah sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Perencanaan adalah seperangkat praktik dan juga disiplin ilmu yang mencerminkan
praktik-praktik tersebut. Perencanaan ruang sebagai koordinasi kebijakan dan praktik yang
mempengaruhi organisasi tata ruang.
Allmendinger (2009), Perencanaan seperti itu dapat fokus pada prosedur, dan pada konten,
pada cara yang sempurna untuk mengatur proses perencanaan, dan aspek-aspek tertentu dari
hasil yang diinginkan. Dimana Fokus pada konten akan cenderung membutakan orang untuk
masalah prosedural dan sebaliknya.
B. Desain
Pencarian rasa dan daya tarik tempat telah menjadi subjek pembentukan teori dalam arsitektur,
arsitektur lansekap, desain perkotaan, dan filsafat. Pada pembahasan ini tidak akan terlibat
secara mendalam tentang bahasa arsitektur yang sempurna atau pentingnya keindahan,
konsistensi, kepraktisan, dan keberlanjutan dalam desain. Namun akan lebih tertarik pada posisi
dinamis desain dalam sistem perencanaan. Penentuan hal ini berdasarkan perbedaan ideologi
desain yang menjadi dasarnya.
Montgomery (1965) merefleksikan pengalaman pembaharuan perkotaan, dimana sebagai
contoh terbaik beliau menganggap desain adalah bagian dari setiap langkah proses. Chapman
(2011) berpendapat bahwa desain perkotaan adalah bentuk logis dari perencanaan tata ruang
pada skala yang lebih kecil, tidak terbatas pada tahap implementasi, dan lebih umum, cara
terbaik untuk "melokalisasi" perencanaan.
C. Dialektika: Sejarah Singkat
Perencanaan dan desain sebagai disiplin ilmu dan profesi memiliki sejarah yang berbeda.
Perencanaan yang dimaksud disini adalah produk abad ke-20, sedangkan desain merupakan
arsitektur pertama, yang diidentifikasi setidaknya sejak zaman Yunani Kuno. Perspektif
perencanaan dan desain disini pasti jauh lebih tua, karena kemunculannya dikaitkan dengan
pembentukan kata Neolitik atau revolusi Neolitik itu sendiri. Dimana desain arsitektur disertai
dengan praktik dan teori desain perkotaan. Dan arsitektur lansekap muncul kemudian. Mode
refleksi desain yang muncul pada masa renaissance mendorong praktik desain, sementara itu
ambisi intelektual para penguasa menjadi semakin terlihat dalam intervensi desain skala besar.
Hal ini jelas membutuhkan uang, tenaga kerja, keahlian dan dengan pertumbuhan ekonomi
serta konsolidasi politik di Eropa pasca renaissance, dimana evolusi yang sama dapat diamati
dimana-mana. Negara-negara baru Prancis dan Spanyol mengembangkan skema desain kota
yang tidak terfikirkan sebelum sentralisasi kekuasaan dan intensifikasi refleksi. Seperti di Prancis
pada abad ke-18, teknik menjadi bagian integral dari perencanaan kota, dan perencanaan kota
menjadi perpaduan antara desain, sains, dan politik, yang masih diakui banyak orang sebagai
esensinya.
Desain kota menjadi bagian dari arsitektur kanon dan ilmiah pada abad ke 17, yaitu abad
absolutisme dan monarki terpusat. Bentuk-bentuk pemerintahan sipil dan demokrasi lokal yang
menonjol dalam perkembangan kota pada abad ke-11 dan ke-12 bertahan hingga Abad
Pertengahan, dan desain baru jarang diterapkan secara sepihak pada kota. Dimana kota-kota
memiliki kemerdekaan dan ekologi politik internal mereka masih sangat hidup dan sangat
komplek di era nasionalisme dan sentralisasi.
Pada abad ke-18 arsitektur lansekap lahir di Inggris, desain area yang luas (melampaui ukuran
lahan pribadi dan secara geometri, dan imajinasi ini menguasai Eropa dengan cepat. Arsitektur
lansekao terbatas pada taman yang dibuat agar lebih alami, tetapi selama abad ke-19 seluruh
struktur kota menjadi dapat diamati sebagai lanskap yang dapat dimanipulasi dan ditingkatkan.
Perbedaan dengan tradisi desain kota tua tidak hanya bentuk yang lebih alami, bahasa desain
yang berbeda tetapi kemungkinan untuk membuat visi dengan memasukan elemen lama dab
baru, elemen alami dan buatan, serta menggabungkan bahasa yang berbeda dari bentuk dan
struktur perkotaan yang sama.
Pada abad ke-19, negara bangsa menjadi sepenuhnya terkonsolidasi dan tersentralisasi, tetapi
kekuasaannya baru yanng kuat yang diresapi oleh ideologi baru, kombinasi dari perberdayaan
demokratis dan kontrol teknoscientifict. Di Amerika Serikat, dengan daerah perkotaan yang
berkembang pesat, sistem taman dan parkway diterapkan secara luas, contoh arsitektur
lansekoa skala besar dibawah naungan negara perencana. Di Eropa, sekitar pergantian abad ke-
20, banyak negara telah mengembangkan berbagai kebijakan, rencana, dan departemen yang
berkontribusi pada perencanaan tata ruang. Perencanaan kota dengan mudah berubah menjadi
perencanaan pedesaan, perencanaan wilayah, dan perencanaan transportasi, karena desain
menjadi semakin tidak dipertimbangkan, dan sebagai bukti ilmiah dan pendekatan birokrasi atau
prosedur lebih diutamakan.
Pada paruh kedua abad ke-20 “desain perkotaan”, dipraktekan oleh arsitek, arsitek lanskap,
perencana kota, seniman dan pada profesional lain memanfaatkan tradisi lama. Termasuk
perencanaan kota (dalam orientasi desainnya), arsitektur lansekap, arsitektur, dan seni.
Awalnya, label tersebut sebagian besar merujuk pada pendekatan estetika ruang kota skala kecil
(seperti alun-alun dan street-scaping). Tetapi kemudian semakin diperluas, untuk memasukan
desain skala yang lebih besar, dengan mempertimbangkan lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Pemetaan aktor, aturan, kebijakan dan dokumen tidak cukup untuk memahami dialektika
perencanaan dan desain. Penting juga untuk memahami apa peran para aktor dan dokumen
serta apa pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan spasial. Selain itu setiap aktor
menciptakan perspektidnya sendiri dan menafsirkan sejarah sistem perencanaan dan
masyarakatnya secara berbeda.
D. Aspek kunci dialektika perencanaan atau desain
Untuk memahami evolusi peran spesifik dari perspektif perencanaan dan desain, terdapat enam
aspek kunci dari dialektika perencanaan dan desain yang memerlukan analisis. Yang terdiri dari
(1) institusional atau kelembagaan, (2) integrasi kebijakan yang fleksibel, (3) profesional dan
tradisi disiplin, (4) peran ekstetika, (5) tumpang tindih antara perencanaan dan (6) desain dan
kapasitas transformasi.
1. Institusi atau Kelembagaan
Dalam proses kelembagaan perencanaan aktif dan dibatasi. Institusional tertetu
mempengaruhi peran dan bentuk perencanaan mana yang mungkin dan sejauh mana
desain tata ruang dapat terjadi. Ini juga menentukan wacana desain mana yang memiliki
akses ke sistem perencanaannya. Jika dalam jalur kelembaagaan perencanaan, hak milik
adalah aturan utama yang membentuk koordinasi spasial, perencanaan akan direduksi
menjadi penegakan hak milik dan meminimalkan resiko dalam masyarakat, yang terdiri dari
para pemain, yang masing-masing menegaskan hak-haknya yang terkadang kontradiktif,
atau untuk meminimalkan ketidaksempurnaan pasar.
Masih munkin untuk memberlakukan aturan dan zona yang membatasi penggunaan milik
pribasi atas nama keselamatan publik, kualitas lingkungan, kesehatan, atau barang umum
lainnya yang lebih mudah disepakati. Dalam rezim seperti ini desain ruang biasanya terbatas
pada tempat-tempat yang berada di bawah pemerintahan yang berbeda, seperti kampus
universitas, rumah sakit, taman negara atau tempat yang berada di bawah kenadali pihak
swasta seperti pembangunan kota baru.
2. Integrasi Kebijakan yang Fleksibel
Perencanaan tata ruang dapat dianggap sebagai situs integritas kebijakan yang istimewa dan
persyaratan kebijakan tata ruang. Seringkali perencanaan sebagai kegiatan pemerinyah
muncul setelah adanya kebutuhan akan integrasi kebijakan. Integrasi kebijakan dalam suatu
sistem perencanaan belum tentu fleksibel, karena segala macam perencanaan, dan juga
bentuk desain, yang menghambat perencanaan karena koordinasi dapat dikodifikasikan dan
dipadatkan menjadi kebijakan tata ruang. Integrasi kebijakan dalam perencanaan dapat
dilakukan dengan cara yang berbeda dan pada skala yang berbeda.
3. Tradisi Prefesional dan Disiplin
Profesi dan disiplin ilmu dapat dikenang dari generasi ke generasi, dimana berharap untuk
masa depan yang lebih cerah dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran. Arsitek telah
menggambarkan kota-kota yang sempurna selama berabad-abad, yang seringkali di waktu
dan tempat implementasinya tidak mungkin.
4. Peran Estetika
Peran estetika dalam deskripsi diri para aktor yang menganut perspektif desain. Buku mani
Camillo Sitte (1965[1889]) berbicara tentang perencanaan kota menurut prinsip artistik, dan
risalah Raymond Unwin tahun 1909 mengubah gagasan kota taman menjadi kosakata
bentuk yang menyenangkan secara estetika (kemudian ditiru oleh kaum Urbanis Baru).
Pemaksaan estetika dalam proses desain tidak hanya mengurangi legitimasi demokrasi
tetapi juga kapasitas untuk meningkatkan proses perencanaan dengan mencari sinergi
spesifik lokasi.
5. Tumpang Tindih antara Perencanaan dan Desain
Ciri lebih lanjut dari dialektika perencanaan dan desain yang harus dipahami adalah pola dan
intensitas tumpang tindihnya seperti yang terlihat dalam sistem perencanaan. Tumpang
tindih memiliki dua arti disini yaitu: tumpang tindih antara perspektif perencanaan dan
desain dengan aktor yang sama; tumpang tindih antara perspektif beberapa aktor dalam
sistem perencanaan. Tumpang tindih menciptakan keterbukaan yang kognitif dan
memungkinkan terjadinya migrasi diskursif. Migrasi diskursif kemudian menghasilkan
pemahaman serupa tentang situasi yang serupa dan membuatnya lebih mudah untuk
berkompromi dan berkoordinasi. Namun, bahkan dalam sistem dengan tingkat tumpang
tindih yang tinggi antara perspektif perencanaan dan desain, setiap aktor dapat
mewujudkan dialektika internal yang berbeda antara perencanaan dan desain (termasuk
versi yang berbeda dari wacana desain), dan ini akan membentuk keseluruhan dialektika
dalam sistem perencanaan.
6. Kapasitas Transformasi
Perencanaan sebagai sesuatu yang adaptif. Agar sistem perencanaan adaptif terhadap
perubahan eksternal, diperlukan kapasitas untuk memanen kompleksitas internalnya,
keragaman dalam perspektif, keterampilan, dan sumber daya. Kapasitas adaptid dengan
demikian dapat digambarkan sebagai kombinasi dari kapasitas belajar dan kapasitas
transformatif. Dimana adaptasi akan menjadi aset dalam persaingan internal.
E. Dilema
Sistem perencanaan tidak ada yang sempurna. Sejumlah alasan telah dibahas secara ektensif
dalam literatur perencanaan, perencanaan tidak dapat sepenuhnya inklusif, hal ini didorong
oleh permainan politik dan ekonomi yang mudah berubah dan preferensi warga yang tidak
dapat diprediksi. Terdapat beberapa alasan lain mengapa perencanaan yang sempurna tidak
dapat dilakukan.
1. Perspektif perencanaan sebagai koordinasi, langsung terlihat bahwa koordinasi tidak akan
pernah sempurna. Tidak semua kepentingan dapat dipenuhi pada jarang waktu yang sama,
tidak setiap kebaikan bersama dapat didekati pada tingkat yang sama, dan tidak setiap
kebaikan bersama dapat disepakati atau bahkan diartikulasikan dalam arena politik dan
perencanaan.
2. Perencanaan sebagai desain harus menyeimbangkan kepentingan yang berbeda, dan tujuan
yang sering berbeda dari keberlanjutan, daya tarik, kepraktisan, dan keterjangkauan.
Struktur spasial yang kuat dapat mengakomodasi banyak kegunaan, pengguna, dan
keinginan serta tetap berada dalam serangkaian batasan, tidak akan pernah dioptimalkan
untuk semua faktor pada saat yang bersamaan.
3. Bentuk koordinasi dalam perencanaan tidak akan pernah sempurna, demikian pula halnya
dengan koordinasi dalam desain.
4. Selain itu, tidak ada keseimbangan sempurna antara perspektif perencanaan dan desain
dalam sistem perencanaan.
5. Optimasi untuk kemampuan beradaptasi yang sempurna, stabilitas, dan prediktabilitas tidak
dapat digabungkan.
Fleksibilitas sistem, kemampuan untuk menggabungkan kembali perspektif sesuai dengan
situasi yang dihadapi sangat penting. Lembaga informal menciptakan ruang untuk
kepemimpinan dan kreativitas dan memberikan tempat untuk kombinasi perspektif yang
berubah. Menanamkan perspektif desain dalam sistem perencanaan adalah titik awal untuk
menyeimbangkan koordinasi formal dan informal. Gaffikin menyatakan bahwa “desain
perkotaan yang dipertimbangkan dengan cermat, dalam konteks kerangka perencanaan
strategis, dapat memiliki pengaruh yang menguntungkan dalam situasi yang diperebutkan”.
F. Kesimpulan
Hubungan antara perspektif perencanaan dan desain dalam sistem perencanaan memiliki
banyak segi, karena biasanya tersebar dibanyak aktor yang berbeda, dan karena berbagai
bentuk koordinasi yang diwakili oleh perencanaan dan desain secara internal bervariasi.
Perencanaan desain dapat meningkatkan efisiensi perencanaan dan meningkatkan kualitas
produknya berupa ruang yang dihasilkan. Struktur dan cara kerja sistem perencanaan, dan lebih
luas lagi seperti tata kelola, evolusi, dialektika antara lembaga formal dan informal, serta antara
perspektif perencanaan dan desain merupakan prasyarat ketika mempertimbangkan modifikasi
sistem perencanaan. Jika ahli teori perencanaan atau pengamat ilmiah lainnya ingin
memberikan dampak pada praktik perencanaan, analisis mereka setidaknya harus dimulai dari
kompleksitas sistem saat ini. Dalam banyak kasus, pengamat ilmiah akan melihat perlunya
perspektif perencanaan atau desain untuk memecahkan masalah yang diidentifikasi di dalam
dan oleh masyarakat. Bantuan sistem politik diperlukan untuk menyusun dan menerapkan
strategi yang dapat memperbaiki ketiadaan perencanaan dan desain, dan memperkenalkan
kembali perspektif tersebut tanpa meningkatkan kelakuan sistem perencanaan.

Anda mungkin juga menyukai