Dosen Pengampu:
Dr. Muaz Tanjung, MA
Disusun Oleh:
Muhammad Ali Akbar Lubis (0104221019)
Ahmad Alimukdin (
Munawir Harahap (
Puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta
inayahnya kepada seluruh umatnya. Shalawat dan salam tercurah untuk baginda
Rasulullah SAW yang menjadi teladan untuk umat seluruh alam.
Makalah ini berjudul “Arabia Pra Islam.”. Makalah ini berisikan tentang
pembahasan dan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Arabia Pra
Islam, yaitu Geografi Jazilah Arab, Asal Usul Bangsa Arab, dan Kehidupan
Bangsa Arab Dibidang Keagamaan,Politik, Sosial Budaya, Dan Intelektual .
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Sejarah Peradaban
Islam.
Segala daya dan upaya penulis lakukan untuk menyusun makalah ini tentunya
masih banyak kekurangan di dalamnya untuk itu penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya, serta kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk
menyempurnakan langkah penulis kedepan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk masyarakat umum, dan untuk akademisi pada khususnya.
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang Makalah........................................................................
B. Rumusan Makalah.................................................................................
C. Tujuan Makalah.....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Kehidupan Bangsa Arab Sebelum Datangnya Islam ...................................
B. Kondisi Geografis Jazirah Arab................................................................
C. Asal Usul Bangsa Arab..............................................................................
D. Kehidupan Bangsa Arab Dibidang Keagamaan, Politik, Sosial Budaya,
dan Intelektual...................................................................................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................
A. Simpulan.....................................................................................................
B. Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
ii
BAB l
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa sebelum kedatangan Islam dikenal dengan zaman jahiliyah. Dalam Islam,
periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan beragama. Pada
saat itu masarakat Arab jahiliyah mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk seperti
meminum minuman keras, berjudi, dan menyembah berhala.
Ketika nabi Muhammad SAW lahir (570 M). Mekah adalah sebuah kota yang
sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya
maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan
Yaman di selatan dan Syiria di utara. Dengan adanya Ka’bah di tengah kota. Mekah
menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Didalamnya
terdapat 360 berhala mengelilingi berhala utama, Hubal. Mekah kelihatan makmur dan
kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat
jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa Arab
sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada jazirah Arab, padahal bangsa
Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah. Jazirah Arab memang merupakan
kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang kondisi Bangsa Arab sebelum
kedatangan agama Islam. Khususnya mengenai letak geografisnya, asal-usulnya, serta
kehidupan Bangsa Arab dibidang keagamaan, politik, social budaya, dan intelektual .
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Islam?
2. Bagaimana kondisi Bangsa Arab dalam hal letak geografi?
3. Bagaimana asal usul bangsa Arab?
4. Seperti apa kehidupan Bangsa Arab dibidang keagamaan, politik, social budaya, dan
intelektual?
C. TUJUAN
1. Mengkaji lebih dalam kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Islam.
2. Melihat kondisi Bangsa Arab dalam hal letak geografi.
3. Mengetahui bagaimana asal usul Bangsa Arab.
4. Mengetahui sejarah kehidupan Bangsa Arab dibidang keagamaan, politik, social
budaya, dan intelektual.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Al-Qur-an Surat al-Ahzab: 33.
Bangsa Arab pada umumnya berwatak berani, keras, dan bebas. Mereka telah
lama mengenal agama. Nenek moyang mereka pada mulanya memeluk agama Nabi
Ibrahim. Akan tetapi, akhirnya ajaran itu pudar. Untuk menampilkan keberadaan Tuhan
mereka membuat patung berhala dari batu, yang menurut perasaan mereka patung itu
dapat dijadikan sarana untuk berhubungan dengan Tuhan.2
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak
memiliki peradaban. Kebudayaan mereka yang paling menonjol adalahbidang sastra
bahasa Arab, khususnya syair Arab. Perekonomian penduduk negeri Mekah umumnya
baik karena mereka menguasai jalur darat di seluruh Jazirah Arab.
Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki
kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis, terutama kawasan pesisir yang
pada waktu itu ramai dilalui kapal-kapal pedagang Eropa yang hendak menuju India,
Asia Tenggara, Cina dan sekitarnya, telah membuat kawasan ini lebih maju dari pada
kawasan Arab yang lain. Makkah pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf
internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di
persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke
Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang
sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia
yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya,
antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya terdapat hubungan yang erat dalam
berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra
Islam.
Secara garis besar, jazirah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah pedalaman
dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan, namun sesekali hujan
4
Fadil, SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, 2008, Malang: UIN Malang Press, hal. 26.
5
Ibid, 43-44.
6
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 1975, Kairo: Maktabah Najdah al-Misriyyah, hal. 1-2.
5
turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa dimanfaatkan penduduk nomadik
dengan mencari genangan air dan padang rumput demi keberlangsungan hidup mereka.
Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang
dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah
kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu
peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan
pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.7
Sedangkan daerah pesisir, hujan turun dengan teratur, sehingga para penduduk
daerah tersebut relatif padat dan sudah bertempat tinggal tetap. Oleh karena itu, di daerah
pesisir ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah berkembang kota-kota dan kerajaan-kerajaan
penting, seperti kerajaan Himyar, Saba’, Hirah dan Ghassan.8
7
http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-periode.html, diunduh 24 Maret 2014.
8
Ahmad Mujahidin, Maret 2003, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara
Sekitarnya”, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2, hal. 4.
9
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Trj.Zaini Dahlan (Jakarta: 1967), hal. 8-9.
6
D. kehidupan Bangsa Arab dibidang keagamaan, politik, social budaya, dan
intelektual
7
berlaku hingga di lingkungan kerajaan 12 yang notabene merupakan lingkungan kota di
jazirah Arab. Seperti kerajaan Yaman di Arab bagian selatan, kerajaan Hairah di Arab
bagian timur laut, dan kerajaan Ghassaniyah di Arab bagian barat laut, nama Ghassān
merujuk kepada kerajaan suku Ghassaniyah, yang merupakan kerajaan Kristen Arab kuno
di Levant. Mereka tidak melebur menjadi satu golongan, akan tetapi terpecah menjadi
beberapa kabilah dan setiap kabilah fanatik dengan kabilahnya masing-masing. Kabilah
Arab terdiri dari sekelompok orang yang diikat dengan hubungan satu darah, satu nasab,
dan satu golongan. Untuk memayungi kehidupan mereka dibuatlah undang-undang adat
yang mengatur hubungan antar individu dan jama’ah mereka. Prinsip solidaritas dan
kesetiakawanan sangat dijunjung tinggi oleh mereka dalam menjalankan hak dan
kewajibannya. Dan undang-undang adat inilah yang kemudian mereka pegang teguh
dalam mengatur kehidupan politik dan sosial mereka (Muhammad Qal’aji, 1988).11
Pemimpin kabilah dipilih dan diangkat oleh kalangan mereka sendiri dan untuk
menjadi pemimpin kabilah harus memiliki beberapa kriteria tertentu, di antaranya adalah
pemberani, berwibawa, karismatik, dan lain sebagainya. Pemimpin kabilah memiliki hak
baik yang bersifat moral maupun material. Di antara hak moral bagi pemimpin kabilah
adalah mendapatkan penghormatan, penghargaan dan dipatuhi segala perintahnya,
memutuskan, dan menjatuhkan hukuman. Adapun hak materialnya adalah dia
mendapatkan seperempat dari harta rampasan perang, dan sebelum harta rampasan
perang dibagikan dia juga berhak untuk mengambil sebagiannya atas nama pribadi
(Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, 1996).
Sebagai konsekuensinya, seorang pemimpin kabilah memiliki tanggung jawab dan
kewajiban, di antaranya adalah pada masa damai seorang pemimpin kabilah dituntut agar
bersikap dermawan dan murah hati, pada saat perang dia berada di garda terdepan. Dia
juga memiliki tugas untuk memutuskan genjatan senjata dan mengagendakan perjanjian .
b. Administrasi Negara
Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota Makkah, kota suci tempat
Ka’bah berdiri, didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua
suku yang berkuasa, yaitu Jurhum, sebagai pemegang kekuasaan politik12 dan Ismail
11
Ahmad Tabrani, Agus Sutiyono, Agus Khunaifi, Dwi Istiyani, kondisi bangsa arab pra islam dan awal
islam(jakarta:2023), hall.11-13
12
Ibid, hall.12-13
8
(keturunan Nabi Ibrahim as) sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah. Kekuasaan
politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah
pimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik
dan urusan- urusan yang berhubungan dengan 13 Ka’bah. Semenjak itu suku Quraisy
menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab. Ada sepuluh jabatan tinggi yang
dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy, yaitu hijabah, penjaga kunci-
kunci Ka’bah; siqayah, penjaga mata air Zam-zam untuk digunakan oleh para peziarah;
diyat, kekuasaan hakim sipil dan kriminal; sifarah, kuasa usaha negara atau duta; liwa’,
jabatan ketentraman; rifadah, pengurus pajak untuk orang miskin; nadwah, jabatan ketua
dewan; khaimmah, pengurus balai musyawarah; khazimah, jabatan administrasi
keuangan; dan azlam, penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa.13
13
Ahmad Tabrani, Agus Sutiyono, Agus Khunaifi, Dwi Istiyani, kondisi bangsa arab pra islam dan awal
islam(jakarta:2023), hall.11-13
14
Ibid,hall.9-11
9
a. Kerajaan Ma’in (Ma’niyah)
Kerajaan Ma’in ini berdiri kira-kira 1200 th SM, di Yaman. Kerajaan Ma’in ini
didirikan oleh suku Ma’in, yaitu suatu suku yang terbilang besar di antara suku-suku dari
Bani Qathan.15
Kerajaan ini telah memiliki kekuasaan yang besar dan kekayaan yang berlimpah.
Penghidupan mereka terutama sekali ialah berniaga. Kekuasaan mereka pun bersumber
pada perniagaan. Mereka telah membangun kotakota yang digunakan sebagai stasiun
perniagaan di sepanjang jalan yang melintasi Tanah Arab dari selatan ke utara sampai ke
Suriah. Stasiun ini berfungsi menyiapkan perbekalan yang dibutuhkan para khalifah serta
menjaga para khalifah dari serangan perampok atau penyamun.
Bentuk pemerintahan mereka adalah monarki yang demokratis. Rajanya memerintah
secara turun-temurun kepada anak, dan kadangkadang terdapat pula seorang raja
memegang kekuasaan bersama anaknya. Di samping raja ada majelis umum, sedang di
kota-kota dibentuk pemerintahan setempat.
b. Kerajaan Qutban
Kerajaan Qutban berdiri di Yaman Selatan kurang lebih 1000 SM. Ibu kotanya
Qutban. Kerajaan Qutban ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah karena
penguasaan dan pengawasan mereka terhadap Selat Bab al-Mandib (gerbang ratapan).
Terletak di antara Arabia (timur laut) dan Afrika (barat daya) yang menghubungkan Laut
Merah. Selat Bab al-Mandib termasuk salah satu pusat perniagaan di masa itu.
c. Kerajaan Saba’
Kerajaan Saba’ berdiri kira-kira tahun 950 SM. Kerajaan Saba’ dibangun oleh rajanya
yang pertama yang bernama Saba’ Abdu Syam ibn Yasyjub ibn Ya’rub dan Qathan.
Yaman adalah daerah yang kering, karena tidak ada sebuah sungai pun mengalir, dan
hujannya adalah hujan musiman yang hanya turun pada musim penghujan saja, karena
itu, raja Saba’ membangun sebuah 11 bendungan air di dekat kota Ma’arib, bendungan ini
adalah salah satu keajaiban teknik dunia kuno dan merupakan pusat dari bangsa Saba dan
Kerajaan Himyar yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan “Saddu Ma’arib”
(Bendungan Ma’arib).
d. Kerajaan Himyar (Himyariyah)
15
Ibid, hall.10
10
Kerajaan Himyar berdiri kira-kira tahun 115 SM. Didirikan oleh suku Himyar, sedang
asal-usul suku Himyar itu adalah seorang di antara saudara-saudara raja Saba’ pendiri
kerajaan Saba’iyah. Kerajaan Himyariyah, raja-rajanya suka berperang dan menyerang
serta menaklukkan negara tetangga. Mereka mempunyai bala tentara yang panglima-
panglimanya suka memperluas daerah atau kawasan negaranya dengan menyerang atau
menaklukkan negara-negara lain. Mereka pernah memerangi Persia dan Ethiopia
(Habasyah) dan lain-lain.16
Di antara raja-raja tersebut adalah Syammar Yar’asy. Raja ini menurut sejarawan
di kalangan bangsa Arab, pernah menyerang dan menaklukan Irak, Persia dan Khurasan.
Kehidupan sosial bangsa Arab dapat juga kita ketahui, misalnya dengan adanya syair-
syair Arab. Ada dua cara dalam mempelajari syair Arab di masa jahiliyah. Kedua cara itu
amat besar manfaatnya.
1) Mempelajari syair itu sebagai suatu kesenian, yang oleh bangsa Arab amat dihargai.
2) Mempelajari syair itu dengan maksud supaya kita dapat mengetahui adat-istiadat dan
budi pekerti bangsa Arab.
Syair adalah salah satu seni yang paling indah yang sangat dihargai dan
dimuliakan oleh bangsa Arab. Seorang penyair mempunyai kedudukan yang sangat tinggi
dalam masyarakat bangsa Arab. Salah satu pengaruh syair pada bangsa Arab ialah bahwa
syair itu dapat meninggikan derajat seseorang yang tadinya hina atau sebaliknya dapat
menghina-hinakan orang yang tadinya mulia. (Ahmad Bachmid, 2004)
Syair dan kultur keagamaan masih mempertahankan sebuah elemen kehidupan
Badui. Sedikit atau banyak Badui Arabia merupakan masyarakat dinamis dan politheis
yang mana mereka meyakini bahwa seluruh obyek alam dan peristiwanya merupakan
kehidupan roh yang dapat membantu atau mengganggu manusia.
Banyak sekali perbuatan mereka yang merupakan wujud dari rusaknya moral karena
rendahnya intelektual. Misalkan saja tentang masalah pernikahan. Waktu itu poligami
sama sekali tidak dibatasi, sehingga setiap laki-laki berhak menikahi wanita sebanyak
16
Ibid, hall.11
11
yang ia suka. Selain itu seorang anak menikahi bekas istri bapaknya pun tak menjadi soal.
Nilai kehormatan kepada kaum wanita benar-benar sangat rendah. Kelahiran bayi wanita
dianggap sebagai kesialan, hingga mereka tak segan-segan mengubur hidup-hidup bayi
tersebut.
Dalam Mukhtasor Sirah Rasul halaman 23 dan 73, ada suatu kisah yang
menggambarkan keadaan masyarakat kala itu. Terdapat seorang pemuda yang bernama
Amr bin Luhay Al-Khuza’iy. Ia dikenal sebagai orang yang gemar ibadah dan beramal
baik sehingga masyarakat waktu itu menempatkannya sebagai seorang ulama. Sampai
suatu saat, Amr pergi ke daerah Syam. Ketika mendapati para penduduknya beribadah
kepada berhala-berhala, Amr menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Apalagi, Syam dikenal sebagai tempat turunnya kitab-kitab samawi (kitab-kitab dari
langit). Ketika pulang, Amr membawa oleh-oleh berhala dari Syam yang bernama Hubal.
Ia kemudian meletakkannya di dalam Kakbah dan menyeru penduduk Mekkah untuk
menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah dengan beribadah kepadanya. Disambutlah
seruan itu oleh masyarakat Hijaz, Mekkah, Madinah dan sekitarnya karena disangka
sebagai hal yang benar.
Bisa dibayangkan betapa menyedihkannya keadaan manusia kala itu. Sedikit sekali
dari mereka yang masih mau berjalan dalam kebaikan. Lebih parahnya lagi, karena begitu
rendah tingkat keilmuan yang dimiliki apa yang mereka anggap baik untuk dilakukan
ternyata adalah suatu hal yang tercela. Mereka kesulitan untuk membedakan mana benar
dan mana yang salah.17
Bangsa Arab merupakan bangsa dengan peradaban syair. Mereka merekam semua
aktivitas di dalam kehidupan, mulai dari cara hidupnya, agamanya sampai pada
rasionalitasnya ke dalam gubahan bait-bait syair. Tak heran jika seorang penyair menjadi
barometer intelektualitas Arab masa itu.18
Hal tersebut dikarenakan, selain seorang penyair dituntut untuk kreatif dalam
menyusun syairnya, ia wajib memahami hal-ihwal yang menyangkut kehidupan
17
https://alif.id/read/muh-nanda-al-fateeh/syair-sebagai-barometer-intelektualitas-arab-pra-islam-b232690p, diunduh
11 September 2020
18
https://aceh.tribunnews.com/amp/2013/07/13/jahiliyah-intelektual, diunduh 13 Juli 2013.
12
bangsanya pada masa lalu. Dengan demikian, selain memiliki dzauq kebahasaan yang
tajam, penyair adalah seorang antropolog dan sosiolog. Alasannya sederhana, syair tidak
hanya cermin dari produk kesenian, namun di saat yang sama juga sebagai cermin dari
intelektualitas.
Maka tidak heran ketika Nabi Muhammad Saw mendapatkan wahyu, kemudian
menyampaikannya kepada umatnya, orang-orang yang tidak beriman menyebut Nabi
Saw sebagai seorang penyair. Hal ini tidak lain karena keindahan susunan kalimat yang
mampu menyihir baik telinga, hati dan pikiran para pendengar adalah selalu identik
dengan syair.
Dan menurut Syauqi Dhaif di dalam Târîkh al-Adab al-‘Arabiy, seringkali dijumpai
para penyair—dan juga perawi syair—yang meriwayatkan syair dari golongan lain.
Sepertinya tipologi yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai intelektual murni. Ia
meriwayatkan syair bukan karena fanatisme kesukuan, tetapi karena memang ia
19
https://aceh.tribunnews.com/amp/2013/07/13/jahiliyah-intelektual, diunduh 13 juli 2013.
13
mencintai sejarah secara umum atau mencintai syair tanpa memandang siapa
penciptanya.
Tradisi oral yang ada pada masyarakat Arab Jahiliah tentunya mempunyai karakter
berbeda dengan tradisi literal yang ada setelah masuknya Islam. Dalam tradisi oral,
kehadiran seorang pendengar sangat diperlukan ketika sebuah teks diujarkan, agar pesan
yang ada dalam teks dapat tersimpan secara baik dalam memori pendengar.
Kondisi ini sangat berbeda dengan tradisi literal. Seseorang bisa menulis kapan pun
dan di mana pun tanpa takut pesan yang akan disampaikan hilang. Karena pembaca dapat
membuka kembali lembaran-lebaran pesan penulis jika memang dibutuhkan di kemudian.
Karena pesan yang ada dalam tradisi oral lebih rawan hilang, maka muatan-muatan
yang dibicarakan cenderung sederhana tanpa menggunakan konsep-konsep rumit. Hal ini
bertujuan agar pesan yang ingin disampaikan mudah untuk diingat.
Merujuk pada pendapat Walter J. Ong, bahwa bangsa Yunani sebelum Socrates lebih
sering berbicara keadilan melalui realita-realita aplikatif daripada melalui istilah-istilah
konseptual. Sulit dibayangkan dalam tradisi oral terdapat konsep-konsep metafisis
ataupun konsep kritik teks. Karena yang menjadi tujuan utama adalah bagaimana cara
menyelamatkan sebuah pesan dari kepunahan.
Dengan demikian, potret kehidupan masyarakat Arab Jahiliah yang dititipkan dalam
gubahan-gubahan syair, disampaikan dari generasi ke generasi melalui tradisi oral, masih
dalam bentuk yang sederhana. Maksud saya, kita belum banyak menemukan analisa-
analisa kritik teks terkait matan syair. Seakan-akan tanpa peduli apakah sebuah syair
telah memenuhi standar syair atau tidak, memiliki cacat atau tidak.20
Seperti yang diceritakan oleh Ahmad Amin di dalam Fajr al-Islam, apa yang
dilakukan oleh para intelektual Arab Jahiliah ketika itu mirip seperti apa yang dilakukan
para muhaddis dalam menilai otentisitas hadis. Mereka melakukan Jarh wa al-Ta’dîl
untuk mendiagnosa mata rantai sanad. Masyarakat Arab jahiliah menempatkan mata
rantai riwayat sebagai ukuran logis sebuah ilmu.
20
https://aceh.tribunnews.com/amp/2013/07/13/jahiliyah-intelektual, diunduh 13 juli 2013.
14
Dalam lingkungan masyarakat yang seperti ini al-Qur’an turun membawa nafas
baru, berhembus di sela-sela jantung masyarakat penyair dengan nadzm-nya yang tak
biasa, menyembuhkan hati-hati yang lumpuh dengan ajaran-ajaran langit, mengajak
manusia mengenal siapa Dzat yang telah menciptakannya.
Dan pada akhirnya, al-Qur’an mengajak mereka untuk berintrospeksi diri atas
kesalahan-kesalahan mereka dalam menuhankan yang bukan semestinya. Setelah al-
Qur’an mengenalkan Tuhan yang patut untuk disembah, al-Qur’an mengajarkan tata cara
untuk mengabdi kepada Tuhan. Melalui perantara Nabinya, al-Qur’an mengajarkan
shalat, puasa, haji dan menetapkan aturan-aturan tertentu, mana yang boleh dilakukan dan
mana yang tidak.
Karena teks-teks al-Qur’an yang demikian terbatas, fungsi seorang Nabi Saw di sini
adalah sebagai penyampai maksud al-Qur’an jika terdapat hal-hal yang belum jelas. Al-
Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi Saw yang termanifestasikan dalam hadis, merupakan dua
hal yang tak dapat dipisahkan ketika kita membincang tentang sumber-sumber ajaran
Islam. Wallahu A’lam.21
21
https://aceh.tribunnews.com/amp/2013/07/13/jahiliyah-intelektual, diunduh 13 Juli 2013
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
16
inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan urusan- urusan yang berhubungan
dengan 13 Ka’bah.
9. Bangsa Arab mempunyai budaya yang tinggi itu dapat diketahui dari kerajaan-kerajaan
yang berdiri di Yaman. Dari Bani Qathan ini telah berdiri kerajaan-kerajaan yang
berkuasa di daerah Yaman, di antaranya yang terpenting adalah kerajaan Ma’in,
Qutban, Saba’ dan Himyar.
10. Dengan demikian, potret kehidupan masyarakat Arab Jahiliah yang dititipkan dalam
gubahan-gubahan syair, disampaikan dari generasi ke generasi melalui tradisi oral,
masih dalam bentuk yang sederhana. Maksud saya, kita belum banyak menemukan
analisa-analisa kritik teks terkait matan syair. Seakan-akan tanpa peduli apakah sebuah
syair telah memenuhi standar syair atau tidak, memiliki cacat atau tidak
B. SARAN
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan untuk penulisan makalah
di kesempatan-kesempata berikutnya.
17
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
‘Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam, 2007, Beirut:
Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah.
A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief , 1983,
Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 1975, Kairo: Maktabah Najdah al-Misriyyah.
Ahmad Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan
Negara-Negara Sekitarnya”, Maret 2003, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2.
Abul A’la Al-Maududi, Islamic Way of Life, Islamic Publication Ltd, Lahore, 1967.
DR.H.Ah.Zakki Fuad, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam. Surabaya: 2016.
Ahmad Tabrani, Agus Sutiyono, Agus Khunaifi dan Dwi Istiyani, Kondisi Bangsa
Arab Pra Islam Dan Awal Islam. Jakarta:KEMENAG RI.2023
18