Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Pengertian Nifas

Masa nifas (puerperium) adalah masa sejak bayi lahir dan plasenta telah

keluar dari rahim, hingga enam minggu berikutnya, diikuti dengan pulihnya

kembali organ-organ yang berkaliatan dengan kandungan, yang mengalami

perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan

(Suherni dkk, 2010). Pengertian lain dari masa nifas atau yang disebut juga

masa postpartum ialah masa setelah lahirnya plasenta dan berakhir ketika alat-

alat kandungan kembali seperti keadaan pra hamil. Masa nifas berlangsung

kira-kira enam minggu (Saleha, 2009). Pendapat lain dari Rustam Mochtar

dalam bukunya Sinopsis Obstetri menyatakan bahwa masa nifas berlangsung

6-8 minggu, dimana masa nifas itu sendiri adalah masa pulihnya kembali,

diawali saat persalinan selesai hingga alat-alat kandungan kembali kedalam

keadaan seperti sebelum hamil (Moctar R, 2011).

2. Periode Masa Nifas

Masa nifas merupakan rangkaian setelah proses persalinan yang dilalui

oleh seorang wanita yang terbagi dalam beberapa periode, diantaranya :

a. Puerperium dini

Masa pemulihan awal dimana ibu sudah diperbolehkan untuk berdiri

dan berjalan-jalan. Ibu yang melahirkan normal pervaginam tanpa

16
17

komplikasi dianjurkan untuk mobilisasi segera dalam 6 jam pertama

setelah kala IV.

b. Puerperium intermedial

Merupakan masa kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia, dimana

organ-organ reproduksi berangsur-angsur akan kembali seperti keadaan

sebelum hamil yang berlangsung kurang lebih 6–8 minggu.

c. Remote puerperium

Yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat kembali secara

sempurna terutama bila selama hamil atau persalinan memiliki

komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna berbeda untuk semua ibu, bisa

berminggu-minggu, bulanan atau tahunan.

(Prawiroharjo, 2016 ; Mochtar, 2011 ; Maritalia, 2012)

3. Perubahan Fisiologi Masa Nifas

a. Perubahan Sistem Reproduksi

Perubahan pada sistem reproduksi secara keseluruhan disebut proses

involusi (Asih Y & Risneni, 2016). Adapun beberapa organ yang

mengalami perubahan diantaranya :

1) Uterus

Uterus adalah organ reproduksi interna yang berbentuk seperti

buah alpukat namun sedikit gepeng, berotot dan berrongga, dan

berukuran sebesar telur ayam. Uterus terdiri atas 3 bagian, yaitu

serviks uteri, korpus uteri dan fundus uteri. Dinding uterus yang

disusun oleh otot polos terbagi menjadi 3 lapisan yaitu perimetrium


18

(lapisan terluar sebagai lapisan pelindung), miometrium (lapisan sel

otot dan berfungsi untuk kontraksi-relaksasi), dan endometrium

(lapisan terdalam kaya akan sel darah merah) (Maritalia, 2011).

Uterus berfungsi sebagai tempat tumbuh kembang hasil konsepsi

selama kehamilan. Akibat pengaruh peningkatan kadar hormon

progesteron dan estrogen selama hamil menyebabkan hipertropi otot

polos uterus sehingga mengakibatkan perubahan berat uterus yang

pada wanita tidak hamil hanya sekitar 30 gram menjadi 1000 gram

pada akhir kehamilan. Berat uterus akan kembali menjadi sekitar 500

gram setelah 1 minggu pascapersalinan, 300 gram setelah 2 minggu

pascapersalinan kemudian menjadi 40-60 gram setelah 6 minggu

persalinan. Perubahan ini terjadi karena segera setelah persalinan

terjadi penurunan kadar hormon progesteron dan estrogen sehingga

menyebabkan proteolysis pada dinding uterus (Maritalia, 2011).

Dinding uterus akan mengalami perubahan, berupa timbulnya

thrombosis, deregenerasi dan nekrosis di tempat implantasi plasenta.

Jaringan di tempat perlekatan plasenta akan mengalami degenerasi

lalu terlepas, akan tetapi tidak akan menimbulkan jaringan parut pada

bekas perlekatan tersebut karena pelepasan jaringan ini berlangsung

lengkap (Maritalia, 2011).

Pada pemeriksaan fisik ibu nifas normal yang dilakukan secara

palpasi didapat bahwa tinggi fundus uteri berada setinggi pusat segera

setelah janin lahir, sekitar 2 jari di bawah pusat setelah plasenta lahir,
19

pertengahan pusat-simfisis pada hari kelima pascapersalinan dan tidak

dapat teraba tagi setelah 12 hari postpartum (Maritalia, 2011).

2) Serviks

Serviks (leher rahim) adalah bagian dasar dari uterus yang

berbentuk menyempit dan menghubungkan saluran vagina dengan

uterus sehingga berfungsi sebagai jalan keluarnya hasil konsepsi dari

uterus menuju saluran vagina saat persalinan. Selama kehamilan

konsistensi serviks menjadi lunak akibat peningkatan kadar hormon

estrogen yang disertai hipervaskularisasi (Maritalia, 2011).

Bentuk serviks akan menganga seperti corong segera setelah

persalinan. Hal ini terjadi karena korpus uteri berkontraksi sedangkan

serviks tidak berkontraksi sehingga perbatasan antara korpus uteri dan

serviks uteri berbentuk seperti cincin (Noviana S & Siti Khotimah,

2018). Pada masa ini warna serviks menjadi merah kehitaman karena

mengandung banyak pembuluh darah yang berkonsistensi lunak.

Segera setelah bayi lahir, serviks masih dapat dilewati oleh tangan

pemeriksa. Setelah 2 jam persalinan serviks hanya dapat dilewati oleh

2-3 jari. 1 minggu pascapersalinan serviks hanya dapat dilewati 1 jari

dan pada minggu ke-6 masa nifas serviks sudah menutup kembali

(Maritalia, 2011; Sulistyawati A, 2009).

3) Vagina dan vulva

Saat persalinan, vagina dan vulva mengalami penekanan dan

peregangan yang sangat besar. Beberapa hari setelahnya vagina dan


20

vulva akan tetap dalam keadaan kendur hingga kemudian 3 minggu

setelah persalinan vagina akan kembali pada keadaan tidak hamil dan

ruggae dalam vagina akan muncul kembali secara berangsur-angsur,

sedangkan pada vulva akan kembali pada keadaan sebelum hamil dan

labia akan lebih menonjol (Maritalia, 2011). Himen akan muncul

kembali sebagai kepingan-kepingan kecil jaringan, yang setelah

mengalami sikatrisasi akan berubah menjadi caruncule mirtiformis

(Asih Y & Risneni, 2016).

4) Payudara

Pada payudara setelah persalinan akan terjadi perubahan atropik

yang terjadi pada organ, payudara akan mencapai maturitas penuh

selama masa nifas kecuali jika laktasi supresi payudara akan menjadi

lebih besar, kencang dan nyeri tekan meningkat sebagai reaksi dari

perubahan status hormonal serta dimulainya proses laktasi. Hari kedua

pasca persalinan sejumlah kolostrum akan diseksresi oleh payudara.

Kolostrum mengandung banyak protein, yang sebagian besar globulin

dan lebih banyak mineral namun sedikit gula dan lemak (Noviana S

& Siti Khotimah, 2018).

5) Perineum

Perineum akan menjadi kendur segera setelah persalinan, karena

sebelumnya teregang oleh tekanan bayi saat persalinan. Beberapa

laserasi superfisial yang dapat terjadi akan sembuh relatif lebih cepat

(biasanya pada hari ke-7 postpartum). Pada hari kelima seletah


21

persalinan, perineum sudah mendapatkan kembali tonusnya meskipun

lebih kendur jika dibandingkan saat sebelum hamil (Sulistya A, 2009).

b. Perubahan Sistem Pencernaan

Buang air besar biasanya mengalami perubahan pada 1 – 3 hari

pertama post partum, sebagian besar ibu akan mengalami konstipasi

(Maritalia, 2011). Hal ini terjadi karena segera setelah melahirkan ibu

cenderung merasa sangat lapar dan meminta makan dalam porsi banyak.

Padahal pada masa ini usus besar belum bisa bekerja secara sempurna

akibat kadar progesteron yang masih tersisa dan penurunan tonus otot

abdomen ibu, sehingga dapat menimbulkan konstipasi pada minggu

pertama postpartum. Selain itu, adanya rasa takut untuk buang air besar,

sehubungan dengan jahitan pada perineum, dan takut akan rasa nyeri juga

mempengaruhi defekasi spontan (Maryunani, 2009 ; Rukiyah A dkk, 2011

; Maritalia, 2011)

c. Perubahan Sistem Perkemihan

Pada hari pertama sampai hari kelima masa nifas akan terjadi diuresis

yang sangat banyak. 40 % ibu nifas tidak mempunyai proteinuri yang

patologi mulai segera setelah lahir hingga hari kedua postpartum, kecuali

jika terdapat gangguan preeklamsi dan infeksi (Noviana S & Siti

Khotimah, 2018).

Dinding saluran kemih memperlihatkan oedema dan hyperaemia.

Oedema dari trigonum terkadang menimbilkan obstruksi dari uretra

sehingga terjadi retensio urin. Kandung kemih pada ibu nifas kurang
22

sensitif, sehingga kandung kemih penuh atau masih tertinggal urin

residual setelah berkemih. Sisa urin ini dan trauma pada kandung kemih

watu persalinan akan mempermudah terjadinya infeksi. Dilatasi ureter dan

pyelum, akan normal kembali dalam 2 minggu (Asih Y & Risneni, 2016).

d. Perubahan Sistem Endokrin

1) Oksitosin

Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar pituitari posterior dan bekerja

terhadap otot uterus serta jaringan payudara. Oksitosin di dalam

sirkulasi darah dapat menyebabkan kontraksi otot uterus serta

membantu proses involusi (Asih Y & Risneni, 2016).

2) Prolaktin

Penurunan kadar estrogen menjadikan hormon prolaktin yang

dikeluarkan oleh kelenjar pituitari anterior bereaksi terhadap alveoli

dari payudara sehingga menstimulasi produksi ASI. Pada ibu

menyusui kadar prolaktin akan tetap tinggi dan merupakan permulaan

stimulasi folikel di dalam ovarium ditekan (Noviana S & Siti

Khotimah, 2018).

3) HCG, HPL, estrogen dan progesteron

Ketika Plasenta lahir, tingkat hormon HCG, HPL, estrogen dan

progesterone di dalam darah ibu akan menurun dengan cepat,

normalnya setelah 7 hari (Noviana S & Siti Khotimah, 2018).


23

4) Pemulihan ovulasi dan menstruasi

Pada ibu yang menyusui bayinya, ovulasi jarang terjadi sebelum

20 minggu, dan tidak terjadi di atas 28 minggu pada ibu yang

melanjutkan menyusui eksklusif sampai 6 bulan. Sedangkan pada ibu

yang tidak menyusui ovulasi dan menstruasi biasanya mulai antara 7-

10 minggu (Asih Y & Risneni, 2016).

e. Perubahan Sistem Muskuloskeletal

Dinding perut akan menjadi longgar, kendur dan melebar selama

beberapa minggu setelah persalinan atau bahkan sampai beberapa bulan

akibat peregangan yang begitu lama selama hamil. Ambulasi dini dan

senam nifas sangat dianjurkan untuk mengatasi hal tersebut. Pada wanita

yang asthenis terjadi diastasis dari otot – otot rektus abdominalis sehingga

seolah – olah sebagian dari dinding perut di garis tengah hanya terdiri dari

peritoneum, fascia tipis dan kulit. Tempat yang lemah ini menonjol kalau

berdiri atau mengejan (Maritalia, 2011).

f. Perubahan Sistem Integumen

Karena pengaruh hormon, selama kehamilan terjadi beberapa

perubahan kulit, diantaranya hiperpigmentasi pada wajah (cloasma

gravidarum), leher, payudara, dinding perut dan beberapa lipatan sendi.

Perubahan tersebuat akan berangsur-angsur hilang selama masa nifas

(Maritalia, 2011).
24

g. Perubahan Sistem kardiovaskuler

Segere setelah bayi melahirkan, hubungan sirkulasi darah ibu

dengan sirkulasi darah janin akan terputus sehingga volume darah ibu

relatif akan meningkat. Keadaan tersebut terjadi secara cepat s

mengakibatkan beban kerja jantung sedikit meningkat. Akan tetapi hal

tersebut dapat segera diatasi oleh sistem homeostatis tubuh dengan

mekanisme kompensasi berupa timbulnya hemokonsentrasi sehingga

volume darah akan kembali normal. Biasnya ini terjadi sekitar 1 hingga 2

minggu setelah persalinan (Maritalia, 2011).

h. Perubahan Tanda-Tanda Vital

1) Suhu Tubuh

Pascapersalinan, suhu tubuh dapat meningkat sekitar 0,5° Celcius

dari keadaan normal (36°C – 37,5°C) namun tidak melebihi 38°C. Hal

ini terjadi sebagai akibat meningkatnya kerja otot, dehidrasi, perubahan

hormonal dan meningkatnya metabolisme tubuh saat proses

persalinan. Akan tetapi, suhu tubuh akan kembali normal setelah 12

jam postpartum. Bila suhu tubuh tidak kembali normal atau semakin

meningkat, maka perlu dipikirkan adanya infeksi (Maryunani, 2009 ;

Maritalia, 2011).

2) Nadi

Pada saat persalinan denyut nadi alan mengalami peningkatan.

Sementara setelah persalinan selesai, denyut nadi akan sedikit lebih

lambat dikarenakan penurunan usaha jantung, penurunan volume darah


25

yang mengikuti pemisahan plasenta dan kontraksi uterus serta

peningkatan stroke volume. Pada masa nifas biasanya denyut nadi akan

kembali normal (Maryunani, 2009 ; Maritalia, 2011).

3) Pernapasan

Pada saat persalinan, frekuensi pernapasan akan menngkat guna

memenuhi kebutuhan oksigen yang tinggi untuk tenaga mengejan dan

mempertahankan agar persediaan oksigen ke janin tetap terpenuhi.

Setelah persalinan selesai, frekuensi pernapasan akan berangsur normal

(Maritalia, 2011). Pada bulan keenam setelah melahirkan, fungsi

pernapasan ibu nifas akan kembali ke fungsi seperti sebelum hamil

(Maryunani, 2009).

4) Tekanan Darah

Ibu dapat mengalami hipotensi orthostatic (penurunan tekanan

darah 20 mmHg) setelah persalinan sebagai akibat terjadinya

perdarahan selama persalinan. Penurunan tekanan darah dapat

mengindikasikan penyesuaian fisiologis terhadap penurunan tekanan

intrapeutik atau hipovolemia sekunder yang berkaitan dengan

hemorhagi uterus. Sedangkan peningkatan tekanan darah lebih dari 30

mmHg sistol dan 15 mmHg pada diastole disert padai pandangan kabur

dan sakit kepala perlu dicurigai terjadinya preeklamsia (Maryunani,

2009 ; Maritalia, 2011).


26

4. Involusi Uteri

Involusi ialah perubahan keseluruhan alat genetalia baik internal

maupun eksternal secara berangsur-angsur ke keadaan sebelum hamil

(Wiknjosastro, 2009). Sedangkan involusi uterus merupakan proses dimana

uterus kembali ke bentuk sebelum hamil dengan berat sekitar 60 gram. Proses

ini dimulai segera setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot – otot polos

uterus. dimana terjadi pengreorganisasian dan pengguguran desidua serta

pengelupasan situs plasenta, sebagaimana diperhatikan dengan pengurangan

dalam ukuran dan berat uterus (Anggraini Y, 2010).

Proses involusi uterus pada masa nifas melalui tahapan berikut:

a. Autolisis

Autolisis adalah proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di

dalam otot uterus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot

yang telah sempat mengendur hingga lima kali lebih lebar dan 10 kali

lebih panjang dari ukuran semula selama kehamilan. Sitoplasma sel yang

berlebihan akan tercerna sendiri sehingga tertinggal jaringan fibro elastik

dalam jumlah renik sebagai bukti kehamilan (Sulistyawati A, 2009)

b. Atofi jaringan

Jaringan yang berpoliferasi dengan adanya estogen dalam jumlah

besar, akan mengalami atrofi sebagai reaksi terhadap penghentian

produksi hormone estrogen yang menyertai lepasnya plasenta. Selain

perubahan atrofi pada otot uterus, lapisan desidua akan mengalami atrofi
27

dan terlepas dengan meninggalkan lapisan basal yang akan beregenerasi

menjadi endomaterium yang baru (Walyani ES & Endang P, 2015)

c. Efek Oksitosin (Kontraksi)

Intensitas kontraksi uterus mengalami peningkatan secara bermakna

segera setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap

penurunan volume intrauterin yang sangat besar. Hormon oksitosin yang

dilepas dari kelenjar hipofisis akan memperkuat dan mengatur kontraksi

uterus, mengompresi pembuluh darah dan membantu proses hemostasis.

Kontraksi dan retraksi otot uterin akan mengurangi suplai darah ke uterus.

Proses tersebut akan membantu mengurangi bekas luka implantasi

plasenta serta mengurangi perdarahan. Luka bekas perlekatan plasenta

memerlukan waktu 8 minggu untuk sembuh total. Selama 1 sampai 2 jam

pertama post partum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan

menjadi teratur. Karena itu penting sekali menjaga dan mempertahankan

kontraksi uterus pada masa ini. Suntikan oksitosin biasanya diberikan

secara intravena atau intramuskuler segera setelah kepala bayi lahir.

Pemberian ASI segera setelah bayi lahir juga akan merangsang pelepasan

oksitosin karena isapan bayi pada payudara (Bobak dkk, 2012 ;

Sulistyawati A, 2009).

Adapun mekanisme terjadinya kontraksi uterus sebagai berikut:

a. Kontraksi oleh Ion Kalsium

Sebagai pengganti troponin, sel-sel otot polos mengandung sejumlah

besar protein pengaturan yang lain yang disebut kalmodulin. Terjadinya


28

kontraksi diawali dengan ion kalsium berkaitan dengan calmodulin.

Kombinasi calmodulin ion kalsium kemudian bergabung dengan

sekaligus mengaktifkan myosin kinase yaitu enzim yang melakukan

fosforilase sebagai respon terhadap myosin kinase. Bila rantai ini tidak

mengalami fosforilasi, siklus perlekatan-pelepasan kepala myosin dengan

filament aktin tidak akan terjadi. Tetapi bila rantai pengaturan mengalami

fosforilasi, kepala memiliki kemampuan untuk berikatan secara berulang

dengan filamen aktin dan bekerja melalui seluruh proses siklus tarikan

berkala sehingga menghasilkan kontraksi otot uterus (Guyton AC & Hall

JE, 2014).

b. Kontraksi Disebabkan oleh Hormon

Ada beberapa hormon yang mempengaruhi adalah epinefrin,

norepinefrin, angiotensin, endhothelin, vasoperin, oksitonin serotinin, dan

histamine. Beberapa reseptor hormon pada membran otot polos akan

membuka kanal ion kalsium dan natrium serta menimbulkan depolarisasi

membran. Kadang timbul potensial aksi yang telah terjadi. Pada keadaan

lain, terjadi depolarisasi tanpa disertai dengan potensial aksi dan

depolarisasi ini membuat ion kalsium masuk kedalam sel sehingga terjadi

kontraksi pada otot uterus dengan demikian proses involusi terjadi

sehingga uterus kembali pada ukuran dan tempat semula (Guyton AC &

Hall JE, 2014)


29

5. Faktor yang mempengaruhi Involusi Uterus

a. Umur

Usia ibu saat melahirkan sangat memengaruhi proses involusi

uterus. Usia 20 – 30 tahun merupakan usia paling ideal untuk terjadinya

proses involusi yang baik. Pada usia kurang dari 20 tahun elastisitas otot

uterus belum maksimal karena organ reproduksi yang belum matang,

sedangkan untuk ibu yang berusia diatas 35 tahun elastisitas otot

uterusnya berkurang dan menyebabkan kontraksi uterus tidak maksimal

sehingga sering terjadi komplikasi saat sebelum dan setelah kelahiran.

Pada ibu yang usianya lebih tua proses involusi banyak dipengaruhi oleh

proses penuaan, dimana proses penuaan terjadi peningkatan jumlah

lemak. Penurunan elastisitas otot dan penurunan penyerapan lemak,

protein, serta karbohidrat. Bila proses ini dihubungkan dengan penurunan

protein pada proses penuaan, maka hal ini akan menghambat proses

involusi uterus (Bungsu T, 2015)

b. Paritas

Paritas mempengaruhi proses involusi uterus. Proses involusi pada ibu

paritas banyak cenderung menurun kecepatannya dibandingkan ibu

paritas sedikit. Hal tersebut disebabkan fisiologi otot-otot uterus

c. Status Gizi

Dibutuhkan penambahan energi sebesar 500 kkal perhari untuk ibu

nifas. Kebutuhan tambahan energi ini diperlukan untuk proses laktasi,

menunjang proses kontraksi uterus pada proses involusi menuju normal,


30

membantu pemulihan tubuh dan penyembuhan luka. Kekurangan energi

pada ibu nifas dapat menyebabkan proses kontraksi tidak berjalan secara

maksimal, sehingga involusi uterus berjalan lambat (Arisman, 2009).

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan penghitungan Indeks

Masa Tubuh (IMT). IMT adalah cara menilai status gizi orang dewasa

berusia 19-70 tahun dan dinyatakan dalam rumus (Arisman, 2009):

Berat Badan (kilogram)


IMT =
Tinggi Badan (meter) x Tinggi Badan (meter)

Adapun untuk penggolongan status gizi berdasarkan nilai IMT dapat

dilihat dalam table berikut :

Tabel 2.1 Status Gizi berdasarkan Nilai IMT

Status Gizi Nilai IMT


Kurus Sekali < 17
Kurus 17,0 - 18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk 25,1 – 27,0
Gemuk Sekali > 27

(Sumber : Arisman, 2009)

d. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Memberikan ASI segera setelah bayi lahir dapat merangsang sekresi

oksitosin yang menyebabkan uterus berkontraksi sehingga membantu

proses involusi dan mengurangi perdarahan sehingga yang dapat

membantu penurunan tinggi fundus uteri (Maryunani A, 2009).


31

Perangsangan putting susu oleh hisapan bayi dapat membantu sekresi

oksitosin ke dalam darah yang akan menyebabkan kontraksi uterus

(Arisman, 2009). Dengan IMD akan terjadi skin-to-skin contact antara ibu

dan bayi segera setelah lahir yang dapat mendatangkan beberapa manfaat

diantaranya mengoptimalkan fungsi hormonal ibu dan bayi, menstabilkan

pernapasan, mengendalikan suhu tubuh bayi, mendorong ketrampilan

menyusu agar lebih efektif, bilirubin cepat normal, kadar gula dan

parameter biokimia akan lebih baik pada jam pertama kehidupan, serta

meningkatkan hubungan kasih sayang ibu dan bayi (Depkes RI, 2016).

e. Proses Laktasi

Laktasi merupakan produksi dan pengeluaran ASI, laktasi ini dapat

dipercepat dengan memberikan rangsangan putting susu (isapan bayi/

meneteki bayi). Pada puting susu terdapat saraf sensorik yang jika

mendapat stimulus (isapan bayi) maka akan timbul impuls menuju

hipotalamus kemudian disampaikan pada kelenjar hipofisis anterior dan

posterior. Pada kelenjar hipofisis anterior akan mempengaruhi

pengeluaran hormon prolaktin yang berperan dalam peningkatan produksi

ASI, sedangkan kelenjar hipofisis posterior akan menyebabkan

pengeluaran hormon oksitosin yang berfungsi memicu kontraksi otot

polos yang ada di dinding alveolus dan dinding saluran, sehingga ASI

dipompa keluar serta memacu kontraksi otot rahim sehingga involusi

uterus berlangsung lebih cepat (Suradi R, 2010).


32

f. Intervensi pada Ibu Nifas

1) Pemberian oksitosin

Kontraksi uterus dapat ditingkatkan melalui pemberian oksitosin.

Hormon oksitosin berperan penting dalam memperkuat dan mengatur

kontraksi uterus, mengompresi pembuluh darah dan membantu

hemostasis ibu sehingga dapat mengurangi kejadian atonia uterus

terutama pada persalinan lama. Involusi uterus juga akan menjadi lebih

efektif dikarenakan kontraksi uterus yang kuat. Oksitosin dapat

dihasilkan melalui tindakan faramakologis diantaranya melalui oral,

intramusculer, maupun intranasal (Bobak, 2012). Pemberian oksitosin

yang lazim dilakukan yaitu melalui intramuscular pada Manajemen

fundus uteri untuk berkontraksi kuat dan sehingga dapat membeantu

pelapasan plasenta dan mengurangi perdarahan (Oktarina M, 2016)

2) Mobilisasi dini

Mobilisasi dini adalah upaya mempertahankan kemandirian

sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk

mempertahankan fungsi normalnya. Gerakan yang dilakukan

diantaranya merubah posisi ibu berbaring, miring, duduk sampai ibu

dapat berdiri sendiri. Mobilisasi dini memberikan beberapa keuntungan

seperti membuat napas lebih dalam, menstimulasi kembalinya fungsi

gastrointestinal, serta perbaikan sirkulasi darah. Mobilisasi dini

menyebabkan kontraksi uterus akan sekmakin baik sehingga fundus

uterus keras. Akibatnya, dapat menurunkan risiko perdarahan karena


33

kontraksi menyempitkan pembuluh darah yang terbuka (Carpenito LJ,

2013).

3) Pijat oksitosin

Pijat oksitosin adalah suatu tindakan pemijatan tulang belakang

(vertebra) mulai dari cervical 7 menuju costa ke 5-6 sampai scapula

yang akan mempercepat kerja saraf parasimpatis untuk menyampaikan

perintah ke otak bagian belakang sehingga menghasilkan oksitosin

(Wiknjosastro, 2009). Manfaat dilakukannya pijat oksitosin

diantaranya dapat membantu uterus berkontraksi dan mengurangi

perdarahan, menenagkan dan mendekatkan ibu dan bayi, merangsang

produksi hormon lain yang membuat ibu lebih nyaman dan rileks, serta

merangsang pengeluaran ASI dari payudara ibu (Roesli U, 2012).

4) Pijat endorfin

Pijat endorfin adalah teknik sentuhan dan pemijatan ringan untuk

membantu memberikan rasa tenang dan nyaman. Sentuhan ringan

tersebut mencakup pemijatan yang sangat ringan dan bisa membuat

bulu-bulu halus pada permukaan kulit berdiri. Pencipta pijat endorfin,

Constance palinsky dari Michigan menyatakan bahwa pijat ini dapat

meningkatkan pelepasan hormon oksitosin dan endorfin. Hormon

endorfin dapat memicu perasaan nyaman dan tenang kemudian mampu

meningkatkan sekresi hormon oksitosin yang berperan penting selama

proses kontraksi uterus (Aprilia, 2011).


34

5) Pijat payudara

Pijat payudara adalah pemeliharaan payudara yang dilakukan

untuk memperlancar ASI dan menghilangkan kesulitan pada saat

menyusui dengan melakukan pemijatan (Heather W, 2009). Disamping

itu menurut penelitian yang dilakukan Safrina dkk tentang perbedaan

efektivitas antara pijat payudara dan pijat oksitosin terhadap involusi

uteri pada ibu postpartum tidak ada perbedaan involusi uterus secara

signifikan pada ibu dengan pijat payudara dan ibu dengan pijat

oksitosin, keduanya sama-sama efektif dalam mempercepat involusi

uterus (Safrina dkk, 2016).

6) Senam nifas

Senam nifas adalah senam yang dilakukan setelah ibu-ibu

melahirkan yang bertujuan mempercepat penyembuhan, mencegah

timbulnya komplikasi, serta memulihkan dan menguatkan otot-otot

punggung, otot dasar panggul dan otot perut (Dewi dkk, 2011).

Untuk mengembalikan kepada keadaan normal dan menjaga

kesehatan agar tetap prima, senam nifas sangat baik dilakukan pada ibu

setelah melahirkan Ibu tidak perlu takut untuk banyak bergerak, karena

dengan ambulasi dini (bangun dan bergerak setelah beberapa jam

melahirkan) dapat membantu rahim untuk kembali kebentuk

semula. Manfaat senam nifas diantaranya memulihkan kembali

kekuatan otot dasar panggul, mengencangkan otot dinding perut dan

perinium, membentuk sikaptubuh yang baik dan mencegah terjadinya


35

komplikasi. Komplikasi yang dapat dicegah sedini mungkin dengan

melaksanakan senam nifas adalah perdarahan post partum. Saat

melaksanakan senam nifas terjadi kontraksi otot-otot perut yang akan

membantu proses involusi yang mulai setelah plasenta keluar segera

setelah proses involusi (Mochtar, 2010).

6. Pengukuran Involusi Uterus

Pengukuran involusi uterus dapat dilakukan dengan mengukur tinggi

fundus uteri, kontraksi uterus serta pengeluaran lokia. Frei mengungkapkan

bahwa ada 2 kemungkinan untuk meelakukan pengukuran secara manual,

yaitu dengan menghitung jari yang diletakkan secara horizontal pada perut

ibu untuk menentukan jarak antara fundus uteri dan simpisis pubis ataupun

dapat dilakukan menggunakan pita ukur dengan menghitung jumlah

sentimeter dari fundus ke simpisis (Suradi R, 2010)

Pengukuran TFU harus dilakukan saat kondisi kandung kemih kosong

(Wiknjosastro, 2009 ; Frei S et al, 2010). Hasil penelitian tentang “Perubahan

Morfologi dan Reseptor Oksitosin pada Pembuluh Darah Uterus (Wakasa et

al, 2009).

Pada hari pertama setelah janin dilahirkan TFU kira-kira setinggi pusat

(Anggraeni, 2010). Hari kedua pascapersalinan TFU berada satu jari di bawah

pusat (1 cm) dan saat hari ketiga pascapersalinan TFU 2 jari di bawah pusat.

Pada hari keempat, TFU berada 3 jari dibawah pusat dan hari kelima masa

nifas uterus menjadi 1/2 jarak antara simfisis dan pusat. Penurunan fundus

uteri ± 1cm setiap hari hingga setelah hari ke-12 uterus tidak akan teraba di
36

atas simfisis. Secara berangsur- angsur uterus menjadi kecil (involusi) hingga

kembali seperti sebelum hamil (Wiknjosastro, 2009 ; Mochtar R, 2011 ;

Anggraini Y, 2010).

Menurut teori Wulandari dan Handayani pada hari pertama pada masa

nifas berada sekitar 12-14 cm diatas simpisis pubis, kemudian menurut Gita

and Seed dalam jurnal penelitiannya menyampaikan bahwa penurunan TFU

pada ibu postpartum normal sebesar 0,8 cm perhari, serta pada hari ke 7 TFU

setinggi 7 cm diatass simpisis (Wulandari & Handayani, 2011 ; Nurmalasari,

2017 ; Wiknjosastro, 2009). Perubahan tinggi fundus uteri pada masa nifas

dapat dilihat pada gambar dan tabel di bawah ini :

Tabel 2.2 Tinggi Fundus Uterus pada Masa Nifas

Involusi Tinggi Fundus Uteri


Hari ke-1 Setinggi pusat
Hari ke-2 1 jari/ 1 cm dibawah pusat
Hari ke-3 2 jari/ 2 cm dibawah pusat
Hari ke-4 3 jari dibawah pusat
Hari ke-5 Pertengahan pusat – simfisis
Hari ke-7 1 jari diatas simfisis
Hari ke-10 Setinggi simfisis
Hari ke-12 Tidak teraba diatas simfisis
(Sumber : Anggraini, 2010)

Gambar 2.1 TFU pada Masa Nifas (Sumber : Anggraini, 2010)


37

7. Gangguan dalam Involusi Uterus dan Penanganannya

Menurut Hanifa dalam Nikmatiah (2015) Salah satu komponen

involusio adalah penurunan fundus uteri. Apabila proses involusi ini tidak

berjalan dengan baik maka akan timbul suatu keadaan yang disebut

subinvolusi uteri yang akan menyebabkan terjadinya perdarahan yang

mungkin terjadi dalam masa 40 hari, hal ini mungkin disebabkan karena ibu

tidak mau menyusui, takut untuk mobilisasi atau aktifitas yang kurang

(Nikmatiah T, 2015).

Perdarahan pervaginam postpartum ialah hilangnya darah dari traktus

genetalia sebanyak 500 ml atau lebih setelah anak lahir atau setelah persalinan

kala III, terutama di dua jam pertama. Saat terjadi perdarahan, tinggi uterus

akan naik, tekanan darah menurun dan nadi ibu menjadi lebih cepat.

Perdarahan postpartum diklasifikasikan menjadi dua yaitu perdarahan

postpartum primer (perdarahan dalam 24 jam pertama setelah melahirkan)

dan perdarahan postpartum sekunder (perdarahan antara 24 jam setelah bayi

lahir sampai 6 minggu masa postpartum (Rukiyah A dkk, 2011

; Suherni dkk, 2010). Penanganan umum perdarahan postpartum diantaranya

: hentikan perdarahan, cegah/atasi syok, dan ganti darah yang hilang melalui

cairan infus, tranfusi darah dan oksigen jika perlu (Rukiyah A dkk, 2011)

Penyebab perdarahan postpartum antara lain :

a. Atonia Uteri

Sebagian besar penyebab perdarahan postpartum adalah atonia uteri,

yaitu suatu kondisi dimana korpus uteri tidak berkontraksi dengan baik,
38

mengakibatkan perdarahan yang terus menerus dari plasenta (Liana,

2013). Adapun faktor predisposisinya antara lain : paritas (multipara dan

grandemultipara), umur yang terlalu muda/tua, uterus yang teregang

berlebihan (gemeli, makrosomia, hidramnion), partus lama, dan faktor

sosial ekonomi (Asih Y & Risneni, 2016).

Penatalaksanaan dari atonia uteri meliputi : kenali tanda, tegakkan

diagnosis kerja, masase uterus, bila tak ada perbaikan lakukan kompresi

bimanual dan pasang tampon uterovaginal padat. Apabila perdarahan

tetap terjadi lakukan kompresi aorta abdominalis. Dalam keadaan uterus

tidak respon terhadap oksitosin/ergometrin, bias dicoba prostaglandin F2a

(230mg) secara IM atau langsungpada myometrium. Laparatomi

dilakukan jika uterus tetap lembek dan perdarahan >200ml/jam. Jika tidak

berhasil lakukan histerektomi (Nugroho T, 2012).

b. Laserasi Jalan Lahir

Yaitu perlukaan atau trauma yang terjadi pada jalan lahir yang

disebabkan karena robekan spontan saat melahirkan ataupun sengaja

dilakukan episiotomi (Norma DA & Mustika DS, 2013 ; Asih Y &

Risneni, 2016). Ada 4 klasifikasi derajat robekan perineum, yaitu derajat

1 (selaput lender vagina), derajat 2 (lendir vagina dan otot perineum

transversalis), derajat 3 (seluruh perineum dan spingter ani), dan derajat

4 (sampai mukosa rectum). Penatalaksanaan dari laserasi perineum

diantaranya : kaji lokasi robekan, lakukan penjahitan sesuai dengan


39

derajat dan lokasi robekan, lalu pantau kondisi pasien dan kemudian

berikan antibiotic profilaksis dan roborantia serta diet TKTP (Tinggi

Kalori Tinggi Protein) (Asih Y & Risneni, 2016).

c. Retensio Plasenta dan Sisa Plasenta

Retensio plasenta terjadi ketika plasenta tidak lahir dalam waktu lebih

dari 30 menit setelah bayi lahir yang disebabkan karena plasenta belum

lepas dari dinding uterus baik sebagian maupun seluruhnya. Sedangkan

yang dimaksud dengan tertinggalnya sisa plassenta yaitu apabila plasenta

telah lahir namun ditemukan kotiledon yang tidak lengkap dan masih

adanya perdarahan pervaginam. Penatalaksanaannya antara lain manual

plasenta dan prasat crede (Asih Y & Risneni, 2016).

d. Inversio Uteri (uterus keluar dari rahim)

Merupakan keadaan saat fundus uteri terbalik sebagian atau

seluruhnya ke dalam kavum uterus. Penyebabnya antara lain : uterus

lembek dan tipis dindingnya, tonus otot rahim lemah, grandemultipara,

dan tekanan intraabdominal yang tinggi. Inversio uteri sering disertai

dengan syok. Pada kasus ini tindakan operasi lebih dipertimbangkan,

meskipun ada yang dapat direposisi uteri terlebih dahulu. Penanganannya

antara lain : perbaiki keasaan umum, berikan oksigen, infus IV cairan

elektrolit dan tranfusi darah kemudian lakukan reposisi dengan anestesi

umum (Asih Y & Risneni, 2016).

e. Gangguan pembekuan darah (koagulopati)


40

Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau

pada saat kala II atau III, dapat berhubungan dengan perdarahan massif.

Hal ini disebabkan adanya kontraksi uterus yang mencegah terjadinya

perdarahan. Fibrin pada plasenta dan bekuan darah pada pembuluh darah

berperan pada awal masa nifas, gangguan pada hal ini dapat

mengakibatkan perdarahan postpartum tipe lambat atau eksaserbasi

perdarahan karena sebab lain terutama paling sering karena trauma.

Abnormalitas dapat terjadi sebelumnya atau didapat. Trombositopenia

dapat berhubungan dengan penyakit lain yang menyertai, seperti HELLP

sindrom (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan penurunan platelet),

abruptio plasenta, sepsis. Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan meskipun

tidak didiagnosa sebelumnya (Nugroho T, 2012).

8. Pijat Oksitosin

Pijat oksitosin adalah suatu tindakan pemijatan tulang belakang

(vertebrae) mulai dari cervical 7 menuju costae ke 5-6 sampai scapula yang

akan mempercepat kerja saraf parasimpatis guna menyampaikan perintah ke

otak bagian belakang untuk menghasilkan hormon oksitosin (Wiknjosastro,

2009). Oksitosin diangkut oleh hipotalamus menuju neurohipofisis yang

kemudian dilepaskan ke sirkulasi darah untuk menanggapi berbagai stimulus.

Proses ini berlangsung di glandula pituitari saat persalinan, nifas dan berbagai

jenis interaksi sosial (Ragusa A, 2015).

Manfaat dilakukannya pijat oksitosin diantaranya dapat membantu uterus

berkontraksi dan mengurangi perdarahan, menenangkan dan mendekatkan


41

ibu dan bayi, merangsang produksi hormon lain yang membuat ibu lebih

nyaman dan rileks, serta merangsang pengeluaran ASI dari payudara ibu

(Roesli U, 2012). Ada beberapa langkah dalam melakukan pijat oksitosin

yaitu (Wiknjosastro, 2009) :

a. Melepaskan baju ibu bagian atas dan bra sehingga payudara tergantung

lepas.

b. Ibu duduk bersandar ke depan, melipat lengan di atas meja di depannya

dan meletakkan kepala di atas lengan ibu.

c. Membasahi kedua telapak tangan dengan minyak atau baby oil.

d. Pijat mulai dari cervical ke-7 menuju ke scapula dengan cara mengurut

menggunakan 2 kepalan tangan dengan ibu jari menunjuk ke depan.

e. Dilanjutkan pijat sepanjang kedua sisi tulang belakang (vertebra) mulai

cervical ke-7 sampai costae ke 5-6 dengan menekan kuat-kuat membentuk

gerakan melingkar kecil-kecil searah jarum jam menggunakan kedua ibu

jari menuju ke bawah kemudian ke atas sebanyak 2-3 kali

Cervical 7

Scapula

Costae 5-6

Gambar 2.2 Titik - Titik Pijat Oksitosin


42

f. Melakukan pijat selama 15 menit dengan memperhatikan respon pasien.

Gambar 2.3 Pijat Oksitosin (Sumber : Suherni dkk, 2010)

Pijat oksitosin efektif dilakukan selama 15 menit (Hidayati H et al, 2014).

Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian tentang “Pengaruh Perbedaan

Kadar Oksitosin Melalui Pemijatan Oksitosin terhadap Jumlah Perdarahan

Pada Ibu Postpartum 2 jam” yang dilakukan oleh Sarli, dkk yang

mengungkapkan bahwa pijat oksitosin efektif dilakukan selama 15 menit

(Sarli, 2015). Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Hamrani

tentang “Pengaruh Pijat Oksitosin terhadap Involusi Uterus pada Ibu

Postpartum dengan Persalinan Lama” didapatkan bahwa pada hari 1-3

involusi uterus normal pada sebagian besar kelompok intervensi pijat

daripada kelompok kontrol tanpa intervensi pijat oksitosin (Hamrani, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiarti, dkk, keluarnya

hormone oksitosin dapat dirangsang dengan pijat oksitosin yang dapat

dimulai saat 24 jam pascapersalinan dimana pada waktu ini ibu sudah mampu

melakukan mobilisasi seperti duduk dan mulai berdiri. Dalam penelitian


43

tersebut juga disampaikan bahwa pijat oksitosin baik bilakukan 2 kali sehari

selama masing-masing 15 menit (Budiarti dkk, 2010). Kemudian ada

tambahan dari penelitian yang dilakukan Mardiyaningsih dkk terkait waktu

pijat oksitosin, dalam penelitan tersebut dipaparkan bahwa tindakan pijat

oksitosin untuk merangsang hormon oksitosin efektif dilakukan pada 24 jam

pascapersalinan selama 3 hari sebanyak 2 kali sehari (Mardiyaningsih, 2011).

Dengan demikian, dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik

kesimpulan bahwa waktu yang efektif untuk melakukan pijat oksitosin adalah

dimulai pada 24 jam seletah melahirkan hingga 3 hari, dimana setiap hari

dilakukan sebanyak 2 kali masing-masing 15 menit.

9. Pijat Endorfin

Pijat endorfin adalah teknik sentuhan dan pemijatan ringan untuk

membantu memberikan rasa tenang dan nyaman. Sentuhan ringan tersebut

mencakup pemijatan yang sangat ringan dan bisa membuat bulu-bulu halus

pada permukaan kulit berdiri. Pencipta pijat endorfin, Constance palinsky dari

Michigan menyatakan bahwa pijat ini dapat meningkatkan pelepasan hormon

oksitosin dan endorfin. Hormon endorfin dapat memicu perasaan nyaman dan

tenang kemudian mampu meningkatkan sekresi hormon oksitosin yang

berperan penting selama proses kontraksi uterus (Aprilia Y, 2011). Hal ini

juga sejalan dengan hasil penelitian Hidayati H, dkk bahwa pijat endorfin

dapat meningkatkan pelepasan hormon endorfin dan oksitosin serta

menurunkan tingkat hormon stres dalam darah (Hidayati dkk, 2014).


44

Terdapat banyak manfaat dari hormon endorfin, antaralain

mengendalikan rasa nyeri dan sakit yang menetap, mengendalikan stres dan

meningkatkan imunitas, serta mengatur produksi hormon pertumbuhan dan

seks. Adapun munculnya hormon endorfin dalam tubuh dapat dirangsang

melalui berbagai tindakan seperti relaksasi dan pernapasan dalam, serta

meditasi. Endorfin juga dianggap sebagi penghilang rasa sakit terbaik karena

diproduksi sendiri oleh tubuh (Aprilia Y, 2011). Ada beberapa langkah pijat

endorfin, yaitu (Aprilia Y, 2017 ; Kuswandi L, 2013) :

a. Meminta ibu mengambil posisi senyaman mungkin, dapat dilakukan

dengan duduk atau berbaring miring.

b. Melakukan pijatan lembut pada permukaan luar tangan ibu, mulai lengan

atas sampai lengan bawah. Pijat dengan sangat lembut menggunakan jari

jemari atau hanya ujung-ujung jari saja. Melakukan pijatan pada kedua

lengan selama 5 menit untuk masing-masing lengan .

Gambar 2.4 Massase Punggung (Sumber : Lanny Kuswandi, 2013)

c. Melakukan pijatan lembut dan ringan mulai dari cervical ke-7 membentuk

huruf V/ V terbalik, ke arah luar menuju sisi tulang rusuk selama 5 menit.
45

Cervical 7

Gambar 2.5 Titik - Titik Pijat Endorfin

d. Melakukan pijatan ringan ini hingga ke tubuh ibu bagian bawah belakang

selama 5 menit.

Gambar 2.6 Alur Pijat Endorfin (Sumber : Aprilia Y 2017)

e. Memperkuat efek pijatan lembut dan ringan ini dengan kata-kata yang

menentramkan ibu.

10. Pengaruh Kombinasi Pijat Oksitosin dan Endorfin terhadap Involusi Uterus

Pelepasan hormone dan kelenjar endorfin dapat didtimulasi oleh impuls

saraf yang menjalar sepanjang serabut saraf seperti pada bagian hipofisis
46

posterior yang kemudian distimulasi oleh neyrosekresi yang tersimpan dalam

kelenjar sebagai hormone (Sloane, 2012)

Daerah leher sepanjang tulang belakang dan punggung sangat

berhubungan dengan keberadaan hipofisis dan hipotalamus. Letak yang dekat

kepala dan dada dengan aksi dari otot semispinalis yang menimbulkan

kontraksi stumultan akan mempercepat suplai darah yang mengangkut

oksitosin (Sloane, 2012). Hal ini juga diungkapkan oleh Lee et al dalam

penelitiannya tentang pengaruh pijat terhadap sitem saraf otonom

menjelaskan adanya hubungan pemijatan yang dilakukan di daerah vertebra

terhadap sistem saraf otonom sehingga serum kortisol dan norepinefrin akan

diturunkan dan kadar oksitosin meningkat (Lee YH dkk, 2011)

Suplai darah menuju hipofisis tidak terjadi secara langsung, tapi melalui

arteri hipofisis superior kemudian memasuki bagian tengah tonjolan

hipotalamus dan batang infundibulum sehingga membentuk jarring-jaring

kapiler pertama. Melalui sistem ini hormon yang diproduksi di hipotalamus

langsung dibawa ke hipofisis anterior tanpa memasuki sirkulasi darah besar

(Sloane, 2012)

Hipofisis anterior tidak memiliki hubungan saraf langsung dengan

hipotalamus. Hipofisis anterior juga melepas hormone endorfin. Sedangkan

peran hipotalamus yaitu mengeluarkan hormone oksitosin yang berguna

untuk menstimulasi kontraksi pada didnding uterus sehingga mempermudah

proses involusi uteri (Sloane, 2012).


47

Pijat oksitosin dilakukan di sepanjang tulang belakang, disekitar otot

semispinalis untuk memperlancar aliran darah menuju hipofisis. Sifat otot

semispinalis yang mampu menimbulkan kontraksi simultan menyebabkan

sinyal dari hipofisis dengan cepat diterima hipotalamus untuk mengeluarkan

hormone oksitosin yang berperan dalam peningkatan kontraksi uterus,

sehingga pada masa nifas hormone ini sangat diperlukan dalam proses

involusi uterus (Sloane, 2012)

Pada pijat endorfin dilakukan untuk memberi rasa tenang dan nyaman

mencakup pemijatan yang sangat ringan dengan melakukan

stimulasisubhutan pada permukaan kulit (Aprilia Y, 2011). Stimulasi

subkutan tersebut memicu hipofisis anterior untuk mensekresi endorfin

sehingga tranmisis impuls nyeri di medulla sninalis menjadi terhambat dan

mengakibatkan sensasi nyeri berkurang dan tubuh akan rileks (Sloane, 2012).

Perasaan nyaman dan rileks inilah yang akan meningkatlkan pelepasan

hormone oksitosin yang berperan untuk meningkatkan kontraksi uterus

(Aprilia Y, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian terbaru mengenai efektivitas kombinasi

pijat oksitosin dan endorfin yang dilakukan oleh nurmalasari pada oktober –

desember 2016 yang menggunakan 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok

intervensi yakni pijat oksitosin, pijat endorfin serta kombinasi keduanya,

menghasilkan kesimpulan bahwa kombinasi pijat oksitosin dan pijat endorfin

terbukti paling efektif dalam mempercepat proses involusi uterus pada ibu

nifas normal primipara (Nurmalasari, 2017).


48

11. Senam Nifas

Senam nifas adalah latihan gerak yang dilakukan secepat mungkin

setelah melahirkan, supaya otot-otot yang mengalami peregangan selama

kehamilan dan persalinan dapat kembali kepada kondisi normal seperti

semula (Sukaryati dan Maryunani, 2011). Menurut Dewi dkk, senam nifas

ialah latihan jasmani yang dilakukan setelah ibu setelah melahirkan, dimana

fungsinya adalah untuk mengembalikan kondisi kesehatan, untuk

mempercepat penyembuhan, mencegah timbulnya komplikasi, memulihkan

dan memperbaiki regangan pada otot-otot setelah kehamilan, terutama pada

otot-otot bagian punggung, dasar panggul dan perut (Dewi dkk, 2011).

Manfaat senam nifas diantaranya memulihkan kembali kekuatan otot

dasar panggul, mengencangkan otot-otot dinding perut dan perinium,

membentuk sikap tubuh yang baik dan mencegah terjadinya komplikasi.

Komplikasi yang dapat dicegah dengan melaksanakan senam nifas adalah

perdarahan post partum. Saat melaksanakan senam nifas terjadi kontraksi

otot-otot perut yang akan membantu proses involusi yang mulai setelah

plasenta keluar segera setelah proses involusi (Mochtar, 2011).

Menurut Walyani dan Purwoastuti (2015), tujuan dilakukannya senam

nifas pada ibu setelah melahirkan antaralain : membantu mempercepat

pemulihan keadaan ibu, mempercepat proses involusi uterus dan pemulihan

fungsi alat kandungan, membantu mengurangi rasa sakit pada otot-otot

setelah melahirkan, membantu memulihkan kekuatan dan kekencangan otot-

otot panggul, perut dan perineum terutama otot yang berkaitan selama
49

kehamilan dan persalinan, memperlancar pengeluaran lokia, merelaksasi

otot-otot yang menunjang proses kehamilan dan persalinan serta

meminimalisir timbulnya kelainan dan komplikasi nifas, misalnya emboli,

trombosia, dan lain-lain.

Ibu yang mengalami komplikasi selama persalinan tidak diperbolehkan

untuk melakukan senam nifas dan ibu yang keadaan umumnya tidak baik

misalnya hipertensi, pascakejang dan demam (Wulandari dan Handayani,

2011). Demikian juga ibu yang menderita anemia dan ibu yang mempunyai

riwayat penyakit jantung dan paru-paru seharusnya tidak melakukan senam

nifas (Widianti dan Proverawati, 2010).

Senam ini dilakukan pada saat ibu benar-benar pulih dan tidak ada

komplikasi atau penyulit masa nifas (misalnya hipertensi, pasca kejang,

demam). Senam nifas sebaiknya dilakukan dalam waktu 24 jam setelah

melahirkan, kemudian dilakukan secara teratur setiap hari. Dengan

melakukan senam nifas sesegera mungkin, hasil yang didapat diharapkan

dapat optimal dengan melakukan secara bertahap. Senam nifas sebaiknya

dilakukan di antara waktu makan. Melakukan senam nifas setelah makan

membuat ibu merasa tidak nyaman karena perut masih penuh. Sebaliknya jika

dilakukan di saat lapar, ibu tidak akan mempunyai tenaga dan lemas (Widianti

dan Proverawati, 2010).

Ada berbagai versi gerakan senam nifas, meskipun demikian tujuan dan

manfaatnya sama, berikut ini merupakan metode senam yang dapat dilakukan
50

mulai hari pertama sampai dengan hari keenam setelah melahirkan menurut

Sukaryati dan Maryunani A (2011) yaitu:

a. Hari pertama

Berbaring dengan lutut ditekuk. Tempatkan tangan di atas perut di

bawah area iga-iga. Napas dalam dan lambat melalui hidung tahan hingga

hitungan ke-5 atau ke-8 dan kemudian keluarkan melalui mulut,

kencangkan dinding abdomen untuk membantu mengosongkan paru-paru.

Lakukan dalam waktu 5-10 kali hitungan pada pagi dan sore hari.

Gambar 2.7 Gerakan senam hari pertama (Sumber : Sukaryati &


Maryunani A, 2011)

Latihan pernafasan ini ditujukan untuk memperlancar peredaran

darah dan pernafasan. Seluruh organ-organ tubuh akan teroksigenasi

dengan baik sehingga hal ini juga akan membantu proses pemulihan tubuh.

b. Hari kedua

Berbaring terlentang, lengan dikeataskan diatas kepala, telapak

terbuka keatas. Kendurkan lengan kiri sedikit dan renggangkan lengan

kanan. Pada waktu yang bersamaan rilekskan kaki kiri dan renggangkan

kaki kanan sehingga ada regangan penuh pada seluruh bagian kanan tubuh.

Lakukan 10-15 kali gerakan pada pagi dan sore.


51

Gambar 2.8 : Gerakan senam hari kedua (Sumber : Sukaryati &


Maryunani A, 2011)

Latihan ini ditujukan untuk memulihakan dan menguatkan kembali

otot-otot lengan.

c. Hari ketiga

Kontraksi Vagina. Sikap tubuh berbaring terlentang tapi kedua kaki

agak dibengkokan sehingga kedua telapak kaki menyentuh lantai. Lalu

angkat pantat ibu dan tahan hingga hitungan ke-3 atau ke-5 lalu turunkan

pantat ke posisi semula dan ulangi gerakan hingga 5-10 kali setiap pagi

dan sore.

Gambar 2.9 Gerakan senam hari ketiga (Sumber : Sukaryati &


Maryunani A, 2011)

Latihan ini di tujukan untuk menguatkan kembali otot - otot daar

panggul yang sebelumnya otot-otot ini bekerja dengan keras selama

kehamilan dan persalinan.


52

d. Hari keempat

Sikap tubuh bagian atas terlentang dan kaki ditekuk ±45º kemudian

salah satu tangan memegang perut setelah itu angkat tubuh ibu ±45º dan

tahan hingga hitungan ke-3 atau ke-5. Lakukan gerakan tersebut 10-15

kali gerakan pada pagi dan sore.

Gambar 2.10 : Gerakan senam hari keempat (Sumber : Sukaryati &


Maryunani A, 2011)

Latihan ini di tujukan untuk memulihakan dan menguatkan kembali

otot-otot punggung.

e. Hari kelima

Sikap tubuh berbaring terlentan, salah satu lutut ditekuk ±45º, lengan

dijulurkan ke lutut, kemudian angkat tubuh dan tangan yang

berseberangan dengan kaki yang ditekuk. Gerakan ini dilakukan secara

bergantian dengan kaki dan tangan yang lain. Lakukan hingga 10-15 kali

gerakan pada pagi dan sore.

Gambar 2.11 : Gerakan senam hari kelima (Sumber : Sukaryati &


Maryunani A, 2011)

Latihan ini bertujuan untuk melatih sekaligus otot-otot tubuh

diantaranya otot-otot punggung, otot bagian perut, dan otot-otot paha.


53

f. Hari keenam

Sikap tubuh terlentang,kaki lurus dan kedua tangan di samping

badan. Kemudian tarik kaki sehingga paha membentuk sudut ±90º lakukan

secara bergantian dengan kaki yang lain dan jangan menghentak ketika

menurunkan kaki. Lakukan perlahan namun bertenaga dan ulangi

sebanyak 5-10 kali pada pagi dan sore hari.

Gambar 2.12 : Gerakan senam hari keenam (Sumber : Sukaryati &


Maryunani A, 2011)

Latihan ini ditujukan untuk menguatkan otot-otot di kaki yang

selama kehamilan menyangga beban yang berat dan memperlancar

sirkulasi di daerah kaki sehingga mengurangi resiko edema kaki.

12. Pengaruh Senam Nifas terhadap Involusi Uterus

Pada saat hamil beberapa otot mengalami peregangan, terutama otot

rahim dan perut. Uterus tidak secara cepat kembali ke seperti semula setelah

persalinan, tetapi melewati proses untuk mengembalikan ke kondisi

sebelumnya diperlukan suatu senam, yang dikenal dengan senam nifas

(Huliana dalam Sukaryati dan Maryunani, 2011). Senam nifas merupakan

serangkaian gerakan tubuh yang dilakukan oleh ibu setelah melahirkan yang

bertujuan untuk memulihkan dan mempertahankan kekuatan otot yang

berhubungan dengan kehamilan dan persalinan.


54

Latihan pada otot dasar panggul akan merangsang serat-serat saraf pada

otot uterus yaitu serat saraf simpatis dan parasimpatis yang menuju ganglion

cervicale dari frankenhauser yang terletak di pangkal ligamentum sacro

uterinum. Rangsangan yang terjadi pada ganglion ini akan menambah

kekuatan kontraksi uterus. Dengan adanya kontraksi dan retraksi dari

uterusyang kuat dan terus menerus dari latihan otot-otot tersebut maka akan

menambah kekuatan uterus dalam proses involusi sehingga penurunan tinggi

fundus uterus berlangsung lebih cepat dari pada yang tidak senam. Selain itu

latihan otot perut akan menyebabkan ligamen dan fasia yang menyokong

uterus akan mengencang. Ligamentum rotundum yang kendor akan kembali

sehingga letak uterus yang sebelumnya retrofleksi akan kembali pada posisi

normal yaitu menjadi antefleksi (Sukaryati dan Maryunani, 2011).

Hal ini didukung oleh penelitian Kuswati (2014) yaitu dengan adanya

kontraksi uterus yang kuat dan terus menerus, akan lebih membantu kerja

uterus dalam mengompresi pembuluh darah dan proses hemostatis. Proses

ini akan membantu menurunkan tinggi fundus uteri. Hal ini karena salah satu

manfaat senam nifas adalah mempercepat involusi uterus yang dapat diukur

dari penurunan tinggi fundus uterus (Sukaryati dan Maryunani, 2011).


55

B. Kerangka Teori

Pemberian
Oksitosin
Umur
Mobilisasi
Dini Hipofisis Hormon
Anterior Endorfin
Paritas
Faktor Involusi Uterus

Pijat Rasa tenang,nyaman,


Rangsangan
Status Gizi Endorfin nyeri berkurang
Hormon

Intervensi
pada Ibu
Nifas Hormon Involusi
Pijat Impuls Hipotalamus Kontraksi
Oksitosin Uterus Uterus
Oksitosin Saraf Meningka
n Meningka
IMD t
t

menuju ganglion
Proses Merangsang serat
cervicale dari
Laktasi Senam saraf otot uterus
frankenhauser di
Nifas (simpatis &
pangkal ligamentum
parasimpatis)
sacro internum
Pijat
Payudara

Bagan 2.1 Kerangka Teori


Sumber : (Wiknjosastro, 2009 ; Ambarwati & Wulandari 2010 ; Arisman, 2009 ; Sloane, 2012 ; Lee YH dkk, 2011 ; Aprilia Y, 2011 dalam
Nurmalasari, 2017 ; Sukaryati dan Maryunani, 2011).
56

Anda mungkin juga menyukai