TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Persalinan merupakan suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang
dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Syaiful &
Fatmawati, 2020). Setelah itu mengalami masa post partum yaitu masa
sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat-alat
kandungnya membutuhkan waktu sekitar 6 minggu (Putri & Hastina,
2020)
Post partum merupakan masa 6 minggu sejak bayi lahir hingga organ
reproduksi ibu kembali nomal seperti keadaan sebelum hamil
(Wahyuningsih, 2019). Masa nifas adalah periode 6 hingga 8 minggu
setelah periode melahirkan dimana saluran reproduksi, serta bagian tubuh
lainnya kembali ke keadaan sebelum hamil. Beberapa perubahan akan
kembali normal dalam waktu 1 sampai 2 minggu pascapartum (Beckmann,
2010).
6
7
b. Lokia
Yaitu cairan/secret yang berasal dari kavum uteri (rongga
rahim) dan vagina selama masa post partum. Ada beberapa jenis
lokia antara lain (Putri & Hastina, 2020) :
1. Lokia rubra berwarna merah karena berisi darah segar dan
sisa-sisa selaput ketuban, desidua (mukosa rahim), verniks
kaseosa, lenugo, mekonium yang berlangsung selama 2
hari post partum
2. Lokia sanguilenta berwarna merah kuning berisi darah
berlangsung selama 3-7 hari post partum
3. Lokia serosa berwarna kuning karena mengandung serum,
jaringan desidua, leukosit, dan eritrosit yang berlangsung
selama 7-14 hari
4. Lokia alba berwarna putih terdiri atas leukosit dan sel-sel
desidua, berlangsung 14 hari-2 minggu berikutya.
c. Endometrium
Perubahan terjadi dengan timbulnya trombosis degenerasi dan
nekrosis ditempat implantasi plasenta. Bekas implementasi
plasenta karena kontraksi sehingga menonjol ke kavum uteri, 1 hari
endometrium tebal 2,5 mm, endometrium akan rata setelah hari
ketiga (Putri & Hastina, 2020).
d. Serviks dan Vagina
9
2. Tanda-tanda vital
Tekanan darah seharusnya distabilkan dalam keadaan normal.
Denyut nadi cenderung mengalami peningkatan untuk beberapa jam
setelah melahirkan normal yang mana dapat stabil hingga hari kedua.
Mungkin karena lelah, asupan cairan berkurang dan pengeluaran cairan
yang berlebih denyut nadi seringkali tidak stabil dan sering meningkat
seiring dengan rasa sakit atau kegembiraan (Jacob, 2012).
Setiap denyut nadi diatas 100 selama nifas termasuk abnormal
yang mengindikasikan adanya infeksi atau perdarahan post partum yang
tertunda. Suhu harus kembali normal dari sedikit peningkatan yang
terjadi selama periode intranatal, suhu tidak boleh diatas 37,2 oC dalam
24 jam namun pada hari ketiga mungkin ada sedikit kenaikan karena
pembengkakan payudara yang seharusnya tidak lebih dari sehari
(Nettina, 2013).
3. Sistem pencernaan
Pada awal nifas terjadi peningkatan rasa haus, karena kehilangan
cairan selama persalinan, pengeluaran lokia, diuresis dan keringat. Ibu
juga merasa lapar dan siap untuk makan teratur satu atau dua jam
setelah melahirkan. Adanya konstipasi juga mungkin menjadi masalah
10
saat awal nias karena kurangnya makanan padat dan menahan diri untuk
BAB karena perineumnya sakit (Jacob, 2012)
4. Sistem perkemihan
Perubahan sistem ginjal, pelvis dan ureter yang meregang dan
melebar selama kehamilan, kembali normal pada akhir minggu keempat
pascapartum. Segera setelah melahirkan, kandung kemih edematous,
kongesti dan hipotonik mengakibatkan overdistensi, pengosongan yang
tidak sempurna dan sisa urine yang berlebihan, kecuali jika perawatan
diambil untuk mendorong buang air kecil ketika ibu tidak ada keinginan
untuk berkemih (Jacob, 2012)
Sekitar 40 persen wanita pascapartum mengalami proteinuria
nonpatologis sejak segera setelah melahirkan hingga hari kedua
pascapartum. Untuk menghindari kontaminasi lokia yang mengandung
protein, hanya sampel urine yang bersih yang harus diambil untuk
pemeriksaan. Kondisi proteinuria non-patologis dapat diasumsikan
hanya jika tidak ada tanda dan gejala infeksi saluran kemih atau
preeklamsia (Jacob, 2012)
Stagnasi urine bersama dengan dinding kandung kemih yang rusak
berkontribusi pada infeksi saluran kemih pada masa nifas. Diuresis
terjadi dalam 12 jam persalinan, mengeluarkan 3.000 ml selama 4-5
hari. Akan kembali ke fungsi ginjal tidak hamil dalam 6 minggu, tonus
kandung kemih pulih setelah 1 minggu (Jacob, 2012)
.
5. Sistem Neurologis
Perubahan neurologis selama masa nifas merupakan kebalikan
adaptasi neurologis yang terjadi saat wanita hamil dan disebabkan
trauma yang dialami wanita saat proses melahirkan. Biasanya
merasakan kelelahan dan ketidaknyamanan setelah melahirkan,
episiotomi, dan nyeri otot biasa terjadi selama 2 sampai 3 hari pasca
persalinan, sakit kepala (Nettina, 2013).
11
6. Sistem Muskuloskeletal
Sebagian besar wanita melakukan ambulasi 4 sampai 8 jam setelah
melahirkan, ambulasi dini dianjurkan untuk menghindari komplikasi,
meningkatkan involusi, dan cara pandang emosional. Relaksasi dan
peningkatan mobilitas artikulasio pelvik terjadi dalam 6 hingga 8
minggu (Putri & Hastina, 2020).
Struktur ligamentum dan otot tulang belakang bagian tengah dan
bawah mendapat tekanan berat. Perubahan - perubahan yang terkait
sering kali menimbulkan rasa tidak nyaman pada muskuloskeletal.
Biasanya ibu mengalami gangguan punggung atau yang memiliki
keseimbangan yang buruk, dapat mengalami nyeri punggung yang berat
selama dan segera setelah hamil (Suarayasa, 2020).
7. Sistem Integumen
Kloasma yang muncul pada ibu hamil biasanya menghilang saat
kehamilan berakhir. Pada beberapa ibu yang telah melahirkan
pigmentasi pada daerah tersebut akan menutup. Kulit-kulit yang
meregang pada payudara, abdomen, paha dan panggul mungkin akan
memudar namun tidak hilang secara keseluruhan (Putri & Hastina,
2020).
Melanin menurun secara bertahap setelah melahirkan
menyebabkan penurunan hiperpigmentasi namun demikian warnanya
tidak akan kembali ke status sebelum hamil (Putri & Hastina, 2020).
8. Perubahan Psikologis
12
a. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti biji kacang ,
dikelilingi oleh bantalan lemak yang tebal. Jumlahnya ada 2 buah kiri
dan kanan. Ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri, disebabkan
adanya lobus hepatis dexter yang besar.(Saunders, 2013)
Ginjal memiliki fungsi yang besar yaitu menerima 25 % curah
jantung yang berasal dari aorta melalui arteri renalis dan kembali ke
vena kava inferior melalui vena renalis Pada orang dewasa, panjang
ginjal mencapai 13 cm, lebarnya 6 cm dan berat keduanya 120-150
gram (Hidayati, 2019).
b. Ureter
Ureter Terdiri dari 2 saluran pipa masing - masing bersambung
dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinearia) panjangnya 25-30 cm
dengan penampang + 0,5 cm . Ureter sebagian terletak dalam rongga
abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis . Lapisan dinding
ureter terdiri dari dinding luar jaringan ikat ( jaringan fibrosa ), lapisan
tengah otot polos dan lapisan sebelah dalam lapisan mukosa (Hidayati,
2019).
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan - gerakan peristaltik
tiap 5 menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam
kandung kemih ( vesika urinearia ). Ureter memasuki kandung kemih
15
dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior
(Muttaqin & Sari, 2011).
Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak
pada perbatasan kandung kemih dan uretra, serta sfingter uretra
eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior.
Sfingter uretra terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem
simpatik sehingga pada saat kandung kemih penuh, sfingter ini
terbuka (Muttaqin & Sari, 2011).
Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersrafi oleh
sistem somatik yang dapat diperintah sesuai keinginan seseorang.
Pada saat miksi sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat
menahan urine (Muttaqin & Sari, 2011).
Fisiologi dalam pembentukan urine dalam (Manuaba et al., 2010).
Mekanisme kencing ditentukan oleh dua faktor antara lain :
a) Upaya untuk menutup uretra dengan komponennya
Tonus dan elastisitas uretra dengan terdapat otot-otot yang
masih berfungsi baik seperti otot polos disekitar uretra, otot
kompressor uretra yang terdiri dari muskulus transversus perinei
profunda, muskulus sfingter uretra. Pembuluh darah yang melayani
uretra juga terdapat alfa reseptor N simfatikus yang bila dirangsang
menimbulkan kontraksi uretra.
b) Berfungsinya otot detrusor vesikalis
Dikendalikan oleh N Parasimfatikus dengan perantara
acetylcholine menimbulkan rangsangan kontraksi untuk berkemih,
pada vesika urinearia terdapat betha reseptor untuk N Simfatikus
yang akan menyebabkan relaksasi sehingga vesika urinearia
semakin mengembang dan dapat menahan kencing untuk
sementara waktu. .
18
4. Etiologi
Perubahan fisiologi selama kehamilan berlangsung, penggunaan
analgesik regional, persalinan dengan menggunakan instrumen, trauma
perineum, nulipara dan persalinan yang lama dapat menjadi penyebab
retensio urin. Deteksi awal persisten sangat penting untuk mencegah
kerusakan irreversibel akibat penumpukan urine berlebih pada kandung
kemih (Petrana et al., 2016).
Pada kehamilan, nada kandung kemih telah berkurang akibat
perubahan hormonal, memungkinkan peningkatan kapasitas penyimpanan
untuk peningkatan produksi urin. Panjang intra uretra juga memanjang
untuk mengurangi stres inkontinensia urin selama kehamilan. Perubahan
ini biasanya akan selesai postpartum tanpa efek jangka panjang. Namun
segera setelah melahirkan, tonus kandung kemih tetap berkurang sehingga
rentan over distension yang diperparah oleh diuresis fisiologis postpartum
(Home and Community Care /Medical Aids Subsidy Scheme Continence
Project, 2011).
Tindakan vakum ekstraksi dan persalinan yang lama dapat
menyebabkan trauma mekanik berupa peregangan jaringan dinding dasar
pelvis dan meningkatkan udem perineal serta menyebabkan kerusakan
nersus pudendus yang dapat mengakibatkan gangguan perkemihan
(Petrana et al., 2016).
Persalinan pervaginam juga dapat menyebabkan obstruksi pada uretra
akibat edema perineum, hematoma atau trauma kandung kemih secara
langsung. Trauma saraf panggul dan pudendal dapat mengganggu inisiasi
berkemih (Lim, 2010).
Retensi urine dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi di leher,
kandung kemih, obstruksi uretra (striktur), kontraksi uretra saat berkemih,
kurang sensasi buang air kecil, disfungsi neurologis, Infeksi saluran
kemih, efek pengobatan, nyeri yang melebihi sensasi kandung kemih yang
normal, penyebab psikologis (Royal College of Nursing, 2019).
19
Nyeri yang disebabkan oleh cedera otot perineum dan uretra selama
persalinan dapat membuat kesulitan buang air kecil karena otot dasar
panggul tidak cukup rileks untuk memulai berkemih. Persalinan kala satu
dan dua yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan cedera saraf
panggul karena tekanan berkepanjangan (Lim, 2010).
Selama proses melahirkan dapat terjadi trauma pada uretra dan
kandung kemih yakni sewaktu bayi melewati jalan lahir serta timbul rasa
nyeri pada panggul yang disebabkan akibat dorongan saat melahirkan,
episiotomi yang dapat menurunkan atau mengubah reflek berkemih yang
beresiko menyebabkan retensio urin sehingga terjadi distensi kandung
kemih (Ermiati, 2012).
Perubahan fisiologis sistem perkemihan dapat bertahan 6 hingga 8
minggu selama periode post partum yang dapat mengakibatkan disfungsi
kandung kemih. Retensio urin pada ibu postpartum pervaginam terutama
pada primipara berhubungan dengan peregangan dasar panggul dan
kerusakan nervus pudendus sesaat setelah persalinan namun kembali
normal setelah 3 bulan (Milart et al., 2018).
5. Manifestasi Klinis
Retensio urin terjadi ketika kesulitan mengalami buang air kecil atau
mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Jika dibiarkan maka urine
yang tertinggal dapat menumpuk seiring waktu ditandai dengan: rasa nyeri
atau ketidaknyamanan kandung kemih. Secara klinis, kandung kemih yang
empuk, teraba, dan membengkak dengan gejala kesulitan buang air kecil
20
6. Faktor Resiko
Yang dapat meningkatkan faktor resiko retensio urin antara lain jenis
persalinan, paritas, lama persalinan, berat janin, trauma perineum, namun
faktor yang paling mempengaruhi dalam insiden retensio urin adalah lama
persalinan dan paritas (Petrana et al., 2016)
Kejadian Retensio urin lebih banyak pada ibu post partum dengan
lama persalinan ≥12 jam yaitu 55% dibanding dengan lama persalinan 12
jam yang hanya 15,3 % artinya lama persalinan ≥12 jam meningkatkan
21
7. Patofisiologi
Untuk patofisiologi retensio urin post partum belum jelas dan
memiliki mekanisme bervariasi. Beberapa penyebab fisiologis, neurologis,
dan mekanisme lain mungkin berpengaruh dalam terjadinya retensio urin.
Otot detrusor dapat dihambat oleh efek peningkatan kadar progesteron
sehingga dapat menyebabkan retensio urin (Polat et al., 2018).
Persalinan pervaginam yang menyebabkan trauma bagi otot dasar
panggul dan persarafan yang dapat menyebabkan hipotonisitas atau
berkurangnya sensitivitas, juga edema peri-uretra dan vulva akibat
persalinan pervaginam yang menyebabkan obstruksi (Polat et al., 2018).
Terdapat kemungkinan bahwa kekuatan mekanik yang diterapkan
pada otot dasar panggul selama persalinan berkepanjangan, peningkatan
tekanan tekanan bayi makrosomik dapat berkontribusi pada kerusakan
saraf panggul dan pudendal yang mengakibatkan gangguan neurologis saat
berkemih (Polat et al., 2018)
Patofisiologi RUPP dibedakan menjadi dua yaitu perubahan hormon
dan respon kontraktil kandung kemih serta trauma persarafan kandung
kemih (Djusad, 2020).
a. Hormon dan respon kontraktil kandung kemih
22
Diagnosis disfungsi buang air kecil dapat ditegakkan jika pasien tidak
dapat mengeluarkan urine dalam 6 jam setelah persalinan dan
membutuhkan pemasangan kateter untuk mengeluarkan urine lebih dari
normal yaitu 400 sampai 600 ml (Mukhopadhyay et al., 2014).
9. Pemeriksaaan Penunjang
Berbagai pemeriksaan penunjang untuk disfungsi eliminasi urine
dapat dilakukan antara lain (Muttaqin & Sari, 2011):
1) Urianalisis
Pemeriksaan relatif cepat, sederhana, dan akurat yang dapat
memberikan indikasi yang baik mengenai fungsi ginjal. Dari strip
reagen, klinisi dapat mengidentifikasi adanya zat seperti protein,
glukosa, dan darah serta pengukuran pH serta berat jenis, tampilan
dan bau urine akan memberikan informasi mengenai keseimbangan
cairan dan keberadaan organisme inreaktif.
2) Uji bakteriologis
25
10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat overdistensi kandung kemih
yaitu kerusakan irreversibel pada muskulus detrusor dengan infeksi traktus
urinarius rekuren dan kesulitan berkemih menetap (Petrana et al., 2016).
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu infeksi yang sering terjadi
pada ibu post partum dan memiliki angka kematian yang cukup tinggi,
peningkatan terjadi karena disebabkan oleh trauma jalan lahir,
inkontinensia urine, pemasangan kateter dan anestesi yang dapat
menyebabkan ibu berkemih secara tidak normal (Yerlian, M, 2013).
26
11. Penatalaksanaan
Evcili & Demirel (2018) dalam penelitiannya, perawatan pada klien
dengan gangguan eliminasi urine pasca persalinan antara lain : memberikan
dukungan untuk pengeluaran urine 2-6 jam pertama setelah melahirkan,
monitor pengeluaran urine pasca persalinan, melakukan evaluasi fisik
kandung kemih, melakukan evaluasi perineum, perawatan perineum, aplikasi
dingin pada perineum, memberikan dukungan mobilisasi, kateterisasi.
Mobilisasi dapat dilakukan secara bertahap diawali dengan miring ke kanan
dan kekiri diatas tempat tidur selanjutnya duduk dan berjalan.
Setelah persalinan pervaginam maka kandung kemih harus segera
kosong dan dilakukan perawatan bladder yang meliputi (UHL, 2018) :
1. Semua pengeluaran harus didokumentasikan dalam catatan pasien
Wanita yang melahirkan secara normal menggunakan blokade
regional ataupun tidak membutuhkan pencatatan tanggal, waktu dan
volume pertama buang air kecil. Catatan keseimbangan cairan harus
dimulai untuk setiap wanita yang memiliki kateter yang menetap pada
periode postnatal dan berlanjut sampai tiga kali pengeluaran yang baik
setelah pelepasan kateter (150 ml atau lebih tanpa kesulitan berkemih).
2. Dorong ibu untuk mengosongkan kandung kemihnya dalam waktu 4-6
jam setelah melahirkan / kekosongan terakhir atau setelah kateter dilepas
3. Jika ibu tidak buang air kecil dalam waktu 4-6 jam, maka harus didorong
untuk pergi ke toilet untuk buang air kecil dan mencoba tindakan
konservatif seperti: memberikan privasi, duduk di bak mandi / pancuran
28
air hangat, membungkuk ke depan, pastikan ibu bebas dari rasa sakit,
membantu ibu untuk berdiri dan berjalan
4. Jika ibu tidak dapat berkemih meskipun telah dilakukan tindakan di atas
atau dicurigai retensi urin berdasarkan gejala dan tanda lain, volume sisa
harus dipastikan dengan kateter masuk dan urine yang keluar. Ada sedikit
bukti yang mendukung penggunaan USG untuk menilai volume urine
tetapi dapat dipertimbangkan oleh dokter individu.
5. Jika ibu memiliki volume sisa lebih dari 150 ml pada 2 kali pengukuran,
maka harus dipasang kateter selama 24 jam.
6. Jika setelah 24 jam kateterisasi masih ada kesulitan berkemih. Maka
dirujuk ke tim perawat uroginekologi untuk mempertimbangkan
kateterisasi mandiri intermiten yang bersih.
Dewi et al., (2014) mengatakan bahwa gangguan miksi dan defekasi pada
ibu post partum merupakan disfungsi otot dasar panggul secara mekanik akibat
kelemahan otot setelah persalinan. Stimulus secara dini dapat diberikan pada otot
dasar panggul pada ibu postpartum berupa pelvic floor muscle training atau
latihan senam kegel menurut peneliti latihan senam kegel dapat memperkkuat otot
dasar panggul sehingga urin yang keluar seehingga tanpa disadari pasien bisa
mengontrolnya sendiri.
ke kamar mandi serta menyuruh duduk ditoilet sambil menyiram perineum nya
dengan air untuk merangsang pengeluaran urine. Karena pada saat duduk dapat
meningkatkan kontraksi otot panggul dan intra abdomen yang membantu
mengontrol sfingter sehingga terjadi kontraksi uterus yang dapat merangsang
urine untuk keluar (Fitri & Putri, 2017).
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dalam proses keperawatan data
yang diperoleh meliputi : Data dasar yaitu informasi tentang status
kesehatan pasien meliputi data umum, data demografi, riwayat keperawatan,
pola fungsi kesehatan dan pemeriksaan (Budiono, 2016).
Sumber data yang terdiri atas data primer (diperoleh dari klien atau
pemeriksaan sendiri secara langsung), sumber data sekunder (diperoleh dari
selain klien, seperti orang terdekat jika klien mengalami gangguan), sumber
data lain yang bisa berupa catatan medis, riwayat penyakit, konsultasi, hasil
pemeriksaan diagnostik. Teknik pengumpulan data menggunakan
anamnesa, observasi dan pemeriksaan fisik (Budiono, 2016).
Pengkajian pada ibu post partum meliputi (Putri & Hastina, 2020):
c. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk memperoleh data perlu dikaji keluhan utama saat
masuk rumah sakit, faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhi dan berkaitan dengan diagnosa maka yang
isiperlu dikaji peningkatan tekanan darah, eliminasi, mual atau
muntah, penambahan berat badan, edema, pusing, sakit kepala,
diplopia, nyeri epigestrik.
2. Riwayat Kehamilan
Yang diperlukan antara lain para dan gravida, kehamilan
yang direncanakan, masalah saat hamil atau antenatal care dan
imunisasi yang diberikan ibu selama hamil.
3. Riwayat Melahirkan
Data yang perlu dikaji adalah tanggal melahirkan, lamanya
persalinan, posisi fetus, tipe melahirkan, jahitan pada perineum
dan perdarahan.
4. Data Bayi
Yang harus dikaji meliputi jenis kelamin dan berat badan
bayi, kesulitan dalam melahirkan, apgar score, pemberian asi
atau susu formula dan kelainan kongenital yang nampak pada
saat dilakukan pengkajian.
e. Peemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada ibu pasca partum
yaitu head to toe yang terdiri dari (Putri & Hastina, 2020) :
1. Rambut, mengkaji kekuatan rambut karena diet yang baik saat
kehamilan mempengaruhi kekuatan dan kesehatan rambut
38
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan tahap kedua setelah pengkajian dan
pengumpulan data. Diagnosa keperawatan merupakan suatu pertanyaan
yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau perubahan pola
interaksi aktual/potensial) dari individu atau kelompok sebagai pemilihan
intervensi keperawatan untuk mencapai hasil tempat perawat bertanggung
jawab (Budiono, 2016).
3. Intervensi Keperawatan
Rencana/intervensi keperawatan yaitu mengidentifikasi selama
pengkajian yang tercermin dalam diagnosis keperawatan. Dengan
mengembangkan tujuan atau hasil yang menyatakan apa yang harus
dicapai dalam waktu tertentu (McKinney et al., 2017)
5. Fasilitasi berkemih
dengan interval
yang teratur
(bladder training)
6. Dukung ibu untuk
melakukan
ambulasi
7. Jelaskan penyebab
retensi urine
8. Anjurkan pasien
atau keluarga
mencatat output
urine
9. Ajarkan cara
melakukan
rangsangan
berkemih
10. Ajarkan tanda dan
gejala infeksi
saluran kemih
11. Ajarkan cara
latihan kandung
kemih
12. Pasang kateter
urine jika perlu
4. Implementasi
Pelaksanaan tindakan atau implementasi yaitu realisasi rencana
tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan sesuai kriteria hasil yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan data
42
5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan hasil pengamatan pada pasien dengan tujuan dan kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perencanaan. Manfaat dilakukan evaluasi yaitu
untuk mengetahui apakah tujuan yang diharapkan sudah tercapai atau
belum. Selanjutnya menentukan akan memodifikasi rencana tindakan
keperawatan atau meneruskan rencana tindakan (Budiono, 2016).