Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar post partum

1. Definisi
Persalinan merupakan suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang
dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Syaiful &
Fatmawati, 2020). Setelah itu mengalami masa post partum yaitu masa
sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat-alat
kandungnya membutuhkan waktu sekitar 6 minggu (Putri & Hastina,
2020)

Masa postpartum atau puerperium merupakan masa setelah


melahirkan hingga berlangsung sampai 6 minggu yang dimana selama
proses kehamilan dan melahirkan adanya perubahan fisiologis dan
psikologis membuat ibu untuk menyesuaikan diri sebagai peran baru
sementara tubuhnya pulih kembali (Hatfield, 2013)

Post partum merupakan masa 6 minggu sejak bayi lahir hingga organ
reproduksi ibu kembali nomal seperti keadaan sebelum hamil
(Wahyuningsih, 2019). Masa nifas adalah periode 6 hingga 8 minggu
setelah periode melahirkan dimana saluran reproduksi, serta bagian tubuh
lainnya kembali ke keadaan sebelum hamil. Beberapa perubahan akan
kembali normal dalam waktu 1 sampai 2 minggu pascapartum (Beckmann,
2010).

2. Pembagian Masa Post Partum


Wahyuningsih (2019) menyatakan masa puerperium terbagi menjadi 3
yaitu:

6
7

1. Immediate post partum


Masa segera setelah plasenta lahir hingga waktu 24 jam, adapun
masalah yang sering terjadi adalah perdarahan karena atonia uteri.
Ketidakmampuan untuk berkemih sehingga menyebabkan distensi
kandung kemih yang dapat menggantikan uterus bisa mengakibatkan
atonia uteri. Haluaran urine yang sedikit mungkin mengindikasikan
perdarahan (Nettina, 2013).
2. Early post partum
Masa selama 24 jam sampai satu minggu setelah persalinan, harus
dipastikan involusi uteri normal, tidak ada perdarahan, lokia tidak
berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapat makanan dan cairan
serta ibu dapat menyusui dengan baik.
3. Late post partum
Masa akhir yang berlangsung selama 1 minggu hingga 6 minggu,
ibu dianjurkan untuk tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan
sehari-hari serta konseling/pendidikan kesehatan keluarga berencana
(KB)

3. Perubahan Masa Nifas


1. Perubahan sistem reproduksi
a. Uterus
Setelah plasenta lahir maka uterus akan mulai mengeras
karena kontraksi dan retrasi otot-ototnya Uterus akan berangsur-
angsur mengecil sampai keadaan sebelum hamil. (Putri & Hastina,
2020).
8

Tabel 1.1 Perubahan Uterus

Waktu TFU Berat Uterus


Bayi Lahir Setinggi Pusat 1000 gr
Uri Lahir 2 jari dibawah pusat 750 gr
1 mg ½ pusat sympisis 500 gr
2 mg Tidak teraba 350 gr
6 mg Bertambah kecil 50 gr
8 mg Normal 30 gr

b. Lokia
Yaitu cairan/secret yang berasal dari kavum uteri (rongga
rahim) dan vagina selama masa post partum. Ada beberapa jenis
lokia antara lain (Putri & Hastina, 2020) :
1. Lokia rubra berwarna merah karena berisi darah segar dan
sisa-sisa selaput ketuban, desidua (mukosa rahim), verniks
kaseosa, lenugo, mekonium yang berlangsung selama 2
hari post partum
2. Lokia sanguilenta berwarna merah kuning berisi darah
berlangsung selama 3-7 hari post partum
3. Lokia serosa berwarna kuning karena mengandung serum,
jaringan desidua, leukosit, dan eritrosit yang berlangsung
selama 7-14 hari
4. Lokia alba berwarna putih terdiri atas leukosit dan sel-sel
desidua, berlangsung 14 hari-2 minggu berikutya.
c. Endometrium
Perubahan terjadi dengan timbulnya trombosis degenerasi dan
nekrosis ditempat implantasi plasenta. Bekas implementasi
plasenta karena kontraksi sehingga menonjol ke kavum uteri, 1 hari
endometrium tebal 2,5 mm, endometrium akan rata setelah hari
ketiga (Putri & Hastina, 2020).
d. Serviks dan Vagina
9

Setelah persalinan terjadi serviks akan menganga, setelah 7


hari dapat dilalui 1 jari dan setelah 4 minggu rongga bagian luar
akan kembali normal.(Putri & Hastina, 2020). Segera setelah
melahirkan dinding vagina akan licin dan bengkak karena tidak
adanya rugae vagina. Rugae akan muncul sekitar 3 minggu dan
involusi vagina akan selesai sekitar 6 minggu pascapartum
(Nettina, 2013).
Jaringan vulva dan vagina kembali normal selama beberapa
hari pertama. Kekuatan otot-otot vagina dapat dilatih dengan
senam kegel yang terdiri dari kontraksi berulang dari otot-otot ini
(Beckmann, 2010).

2. Tanda-tanda vital
Tekanan darah seharusnya distabilkan dalam keadaan normal.
Denyut nadi cenderung mengalami peningkatan untuk beberapa jam
setelah melahirkan normal yang mana dapat stabil hingga hari kedua.
Mungkin karena lelah, asupan cairan berkurang dan pengeluaran cairan
yang berlebih denyut nadi seringkali tidak stabil dan sering meningkat
seiring dengan rasa sakit atau kegembiraan (Jacob, 2012).
Setiap denyut nadi diatas 100 selama nifas termasuk abnormal
yang mengindikasikan adanya infeksi atau perdarahan post partum yang
tertunda. Suhu harus kembali normal dari sedikit peningkatan yang
terjadi selama periode intranatal, suhu tidak boleh diatas 37,2 oC dalam
24 jam namun pada hari ketiga mungkin ada sedikit kenaikan karena
pembengkakan payudara yang seharusnya tidak lebih dari sehari
(Nettina, 2013).
3. Sistem pencernaan
Pada awal nifas terjadi peningkatan rasa haus, karena kehilangan
cairan selama persalinan, pengeluaran lokia, diuresis dan keringat. Ibu
juga merasa lapar dan siap untuk makan teratur satu atau dua jam
setelah melahirkan. Adanya konstipasi juga mungkin menjadi masalah
10

saat awal nias karena kurangnya makanan padat dan menahan diri untuk
BAB karena perineumnya sakit (Jacob, 2012)
4. Sistem perkemihan
Perubahan sistem ginjal, pelvis dan ureter yang meregang dan
melebar selama kehamilan, kembali normal pada akhir minggu keempat
pascapartum. Segera setelah melahirkan, kandung kemih edematous,
kongesti dan hipotonik mengakibatkan overdistensi, pengosongan yang
tidak sempurna dan sisa urine yang berlebihan, kecuali jika perawatan
diambil untuk mendorong buang air kecil ketika ibu tidak ada keinginan
untuk berkemih (Jacob, 2012)
Sekitar 40 persen wanita pascapartum mengalami proteinuria
nonpatologis sejak segera setelah melahirkan hingga hari kedua
pascapartum. Untuk menghindari kontaminasi lokia yang mengandung
protein, hanya sampel urine yang bersih yang harus diambil untuk
pemeriksaan. Kondisi proteinuria non-patologis dapat diasumsikan
hanya jika tidak ada tanda dan gejala infeksi saluran kemih atau
preeklamsia (Jacob, 2012)
Stagnasi urine bersama dengan dinding kandung kemih yang rusak
berkontribusi pada infeksi saluran kemih pada masa nifas. Diuresis
terjadi dalam 12 jam persalinan, mengeluarkan 3.000 ml selama 4-5
hari. Akan kembali ke fungsi ginjal tidak hamil dalam 6 minggu, tonus
kandung kemih pulih setelah 1 minggu (Jacob, 2012)
.
5. Sistem Neurologis
Perubahan neurologis selama masa nifas merupakan kebalikan
adaptasi neurologis yang terjadi saat wanita hamil dan disebabkan
trauma yang dialami wanita saat proses melahirkan. Biasanya
merasakan kelelahan dan ketidaknyamanan setelah melahirkan,
episiotomi, dan nyeri otot biasa terjadi selama 2 sampai 3 hari pasca
persalinan, sakit kepala (Nettina, 2013).
11

Perubahan sensori terjadi saat mulai masuk tahap 1 persalinan


hingga tahap berikutnya. Mula-mula ibu mengalami euphoria kemudian
menjadi serius dan amnesia diantara fraksi selama tahap 2 sehingga ibu
dapat merasa letih ataupun senang saat melahirkan (Putri & Hastina,
2020).

6. Sistem Muskuloskeletal
Sebagian besar wanita melakukan ambulasi 4 sampai 8 jam setelah
melahirkan, ambulasi dini dianjurkan untuk menghindari komplikasi,
meningkatkan involusi, dan cara pandang emosional. Relaksasi dan
peningkatan mobilitas artikulasio pelvik terjadi dalam 6 hingga 8
minggu (Putri & Hastina, 2020).
Struktur ligamentum dan otot tulang belakang bagian tengah dan
bawah mendapat tekanan berat. Perubahan - perubahan yang terkait
sering kali menimbulkan rasa tidak nyaman pada muskuloskeletal.
Biasanya ibu mengalami gangguan punggung atau yang memiliki
keseimbangan yang buruk, dapat mengalami nyeri punggung yang berat
selama dan segera setelah hamil (Suarayasa, 2020).

7. Sistem Integumen
Kloasma yang muncul pada ibu hamil biasanya menghilang saat
kehamilan berakhir. Pada beberapa ibu yang telah melahirkan
pigmentasi pada daerah tersebut akan menutup. Kulit-kulit yang
meregang pada payudara, abdomen, paha dan panggul mungkin akan
memudar namun tidak hilang secara keseluruhan (Putri & Hastina,
2020).
Melanin menurun secara bertahap setelah melahirkan
menyebabkan penurunan hiperpigmentasi namun demikian warnanya
tidak akan kembali ke status sebelum hamil (Putri & Hastina, 2020).

8. Perubahan Psikologis
12

Perubahan ini dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya, kesiapan


emosi, persiapan menghadapi peraslinan secara fisik, mental, materi,
support system, lingkungan, mekanisme koping, kultur, dan sikap
terhadap kehamilan. Ibu dapat mengalami kecemasan, depresi karena
perubahan peran, body image dan mekanisme koping yang tidak efektif
(Potter & Perry, 2020)
Mudah marah yang berlebihan, tangisan, murung dan menarik diri,
insomnia, juga kehilangan minat untuk melakukan aktivitas bisa
menandakan depresi postpartum (Nettina, 2013).

B. Konsep Dasar Gangguan Eliminasi

1. Definisi retensio urin


Disfungsi buang air kecil pasca post partum didefinisikan sebagai
kegagalan buang air kecil secara spontan dalam waktu enam jam setelah
persalinan pervaginam atau pelepasan kateter. Termasuk retensio urin
yang merupakan ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih
secara normal (Royal College of Physicians of Ireland, 2018).
Retensio urin adalah akumulasi urine yang ada dalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan pengosongan kandung kemih, sehingga
menimbulkan rasa tegang, tidak nyaman, nyeri tekan pada simfisis, gelisah
dan terjadi diaphoresis (berkeringat) (Polat et al., 2018).
Retensio urin Post Partum didefinisikan sebagai tidak adanya proses
berkemih spontan yang dimulai 6 jam pasca persalinan pervaginam
dengan residu urine lebih dari 200 ml. (Anugerah et al., 2017).

2. Klasifikasi retensio urin


Retensio urin diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu Retensio urin
terbuka (overt) dan terselubung (covert). Retensio urin terbuka mengacu
pada ketidakmampuan berkemih disertai tanda dan gejala yang jelas yaitu
wanita pasca postpartum kesulitan berkemih lebih dari 6 jam, sedangkan
13

terselubung terjadi pada wanita asimptomatik retensio urin dengan


postvoid kandung kemih lebih dari 150 ml dideteksi dengan ultrasonografi
atau dengan kateterisasi saat berkemih spontan (Mulder et al., 2016).
Choe et al. (2018) mengatakan bahwa PVR (Postvoid Residual Urine)
yang lebih tinggi terdapat pada kelahiran anak pertama hal ini terjadi
karena durasi yang lebih lama pada persalinan dan episiotomi pada
gravida.
Ada juga yang membagi ke dalam 2 jenis yaitu retensio urin akut dan
kronis. Retensio urin akut yaitu seseorang yang kesulitan buang air kecil,
distensi kandung kemih, nyeri dan ketidaknyamanan didaerah perut bagian
bawah, sedangkan kronis terjadi tanpa gejala (asimptomatis), pasien tidak
menyadari peregangan berlebih pada kandung kemih sehingga kontraksi
tidak efektif yang menyebabkan urine masih tersisa (Jorge & Mazzo,
2018).

3. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan

Sumber : (American Urology Association,2020)

Gambar 1.1 Sistem Perkemihan Wanita


14

Sistem perkemihan atau sistem urinaria adalah suatu sistem dimana


terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat - zat
yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat - zat yang masih di
pergunakan oleh tubuh. Sistem perkemihan berfungsi membentuk urine ,
mengatur keseimbangan cairan dan mineral ekskresi zat sisa metabolisme,
menyimpan nutrien, mengatur keseimbangan asam basa, mensekresi
hormon untuk stimulasi produksi eritrosit, mengatur tekanan darah dan
metabolisme kalsium (Saunders, 2013)

a. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti biji kacang ,
dikelilingi oleh bantalan lemak yang tebal. Jumlahnya ada 2 buah kiri
dan kanan. Ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri, disebabkan
adanya lobus hepatis dexter yang besar.(Saunders, 2013)
Ginjal memiliki fungsi yang besar yaitu menerima 25 % curah
jantung yang berasal dari aorta melalui arteri renalis dan kembali ke
vena kava inferior melalui vena renalis Pada orang dewasa, panjang
ginjal mencapai 13 cm, lebarnya 6 cm dan berat keduanya 120-150
gram (Hidayati, 2019).
b. Ureter
Ureter Terdiri dari 2 saluran pipa masing - masing bersambung
dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinearia) panjangnya 25-30 cm
dengan penampang + 0,5 cm . Ureter sebagian terletak dalam rongga
abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis . Lapisan dinding
ureter terdiri dari dinding luar jaringan ikat ( jaringan fibrosa ), lapisan
tengah otot polos dan lapisan sebelah dalam lapisan mukosa (Hidayati,
2019).
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan - gerakan peristaltik
tiap 5 menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam
kandung kemih ( vesika urinearia ). Ureter memasuki kandung kemih
15

menembus otot detrusor didaerah trigonum kandung kemih (Hidayati,


2019).
Normalnya ureter berjalan secara oblique sepanjang beberapa
sentimeter menembus kandung kemih yang disebut ureter intramural
kemudian berlanjut pada ureter submukosa. Tonus otot normal dari
otot detrusor pada dinding kandung kemih cenderung menekan ureter,
dengan demikian mencegah aliran balik urine dari kandung kemih saat
terjadi tekanan di kandung kemih (Muttaqin & Sari, 2011).
Setiap gelombang peristaltik yang terjadi sepanjang ureter akan
meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga bagian yang menembus
kandung kemih membuka dan memberi kesempatan urine mengalir ke
dalam kandung kemih. Pada saat urine terkumpul di kandung kemih,
ureter akan tertekan dan kemudian membentuk suatu katup yang
mampu mencegah refluks urine terjadi (Muttaqin & Sari, 2011).
c. Vesika Urinaria
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon
karet, terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul.
Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang
kuat. Dinding kandung kemih terdiri dari beberapa lapisan yaitu ,
peritonium (lapisan luar), tunika muskularis, tunika submukosa dan
lapisan mukosa (lapisan dalam) (Hidayati, 2019).
Letak kandung kemih yang berada di bawah uterus inilah yang
menyebabkan berkurangnya kapasitas pada saat kehamilan sehingga
pada ibu hamil frekuensi berkemih menjadi lebih sering. Struktur
kandung kemih terdiri dari 3 lapisan otot detrusor yang saling
beranyaman. Pada dinding kandung kemih terdapat 2 bagian yang
besar dengan ruangan yang berdinding otot polos adalah sebagai
berikut (Muttaqin & Sari, 2011) :
a. Badan (Korpus) yaitu bagian utama kandung kemih dimana
urine berkumpul
16

b. Leher (kolum) yaitu lanjutan dari badan yang berbentuk


corong, berjalan secara inferior dan anterior kedalam daerah
segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian
yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra
posterior karena hubungannya dengan uretra.
Sel sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain
sehingga menimbulkan aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel
otot ke sel yang lain. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar
ke seluruh otot detrusor, dari satu otot sel ke sel otot yang berikutnya
sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih (Muttaqin & Sari,
2011).
Persarafan utama kandung kemih adalah nervus pelvikus, yang
berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus sakralis,
terutama berhubungan dengan medula spinalis segmen S2 dan S3.
Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat saraf motorik.
Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung
kemih. Tanda-tanda regangan dari uretra posterior bersifat sangat kuat
dan terutama bertanggung jawab untuk mencetuskan refleks yang
menyebabkan kandung kemih melakukan kontraksi pada proses
berkemih (Muttaqin & Sari, 2011).
Beberapa saraf sensorik juga berjalan melalui saraf simpatis dan
mungkin yang dapat menimbulkan sensasi rasa penuh dan ada
beberapa keadaan yang merasakan nyeri. Kandung kemih dapat
menampung urine sekitar 700-800 ml, tetapi keinginan untuk
berkemih dapat muncul saat jumlah urine mencapai 300 ml (Muttaqin
& Sari, 2011). Dalam kondisi normal output urine dalam 24 jam
sekitar 1400-1500 ml atau sekitar 30-50 ml per jam (Haryono, 2013).
d. Uretra
Uretra merupakan saluran pengeluaran urine yang paling akhir di
vesika urinearia yang berbentuk tabung dengan fungsi sebagai
penyalur air kemih untuk dikeluarkan tubuh. Secara anatomis uretra
17

dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior
(Muttaqin & Sari, 2011).
Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak
pada perbatasan kandung kemih dan uretra, serta sfingter uretra
eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior.
Sfingter uretra terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem
simpatik sehingga pada saat kandung kemih penuh, sfingter ini
terbuka (Muttaqin & Sari, 2011).
Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersrafi oleh
sistem somatik yang dapat diperintah sesuai keinginan seseorang.
Pada saat miksi sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat
menahan urine (Muttaqin & Sari, 2011).
Fisiologi dalam pembentukan urine dalam (Manuaba et al., 2010).
Mekanisme kencing ditentukan oleh dua faktor antara lain :
a) Upaya untuk menutup uretra dengan komponennya
Tonus dan elastisitas uretra dengan terdapat otot-otot yang
masih berfungsi baik seperti otot polos disekitar uretra, otot
kompressor uretra yang terdiri dari muskulus transversus perinei
profunda, muskulus sfingter uretra. Pembuluh darah yang melayani
uretra juga terdapat alfa reseptor N simfatikus yang bila dirangsang
menimbulkan kontraksi uretra.
b) Berfungsinya otot detrusor vesikalis
Dikendalikan oleh N Parasimfatikus dengan perantara
acetylcholine menimbulkan rangsangan kontraksi untuk berkemih,
pada vesika urinearia terdapat betha reseptor untuk N Simfatikus
yang akan menyebabkan relaksasi sehingga vesika urinearia
semakin mengembang dan dapat menahan kencing untuk
sementara waktu. .
18

4. Etiologi
Perubahan fisiologi selama kehamilan berlangsung, penggunaan
analgesik regional, persalinan dengan menggunakan instrumen, trauma
perineum, nulipara dan persalinan yang lama dapat menjadi penyebab
retensio urin. Deteksi awal persisten sangat penting untuk mencegah
kerusakan irreversibel akibat penumpukan urine berlebih pada kandung
kemih (Petrana et al., 2016).
Pada kehamilan, nada kandung kemih telah berkurang akibat
perubahan hormonal, memungkinkan peningkatan kapasitas penyimpanan
untuk peningkatan produksi urin. Panjang intra uretra juga memanjang
untuk mengurangi stres inkontinensia urin selama kehamilan. Perubahan
ini biasanya akan selesai postpartum tanpa efek jangka panjang. Namun
segera setelah melahirkan, tonus kandung kemih tetap berkurang sehingga
rentan over distension yang diperparah oleh diuresis fisiologis postpartum
(Home and Community Care /Medical Aids Subsidy Scheme Continence
Project, 2011).
Tindakan vakum ekstraksi dan persalinan yang lama dapat
menyebabkan trauma mekanik berupa peregangan jaringan dinding dasar
pelvis dan meningkatkan udem perineal serta menyebabkan kerusakan
nersus pudendus yang dapat mengakibatkan gangguan perkemihan
(Petrana et al., 2016).
Persalinan pervaginam juga dapat menyebabkan obstruksi pada uretra
akibat edema perineum, hematoma atau trauma kandung kemih secara
langsung. Trauma saraf panggul dan pudendal dapat mengganggu inisiasi
berkemih (Lim, 2010).
Retensi urine dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi di leher,
kandung kemih, obstruksi uretra (striktur), kontraksi uretra saat berkemih,
kurang sensasi buang air kecil, disfungsi neurologis, Infeksi saluran
kemih, efek pengobatan, nyeri yang melebihi sensasi kandung kemih yang
normal, penyebab psikologis (Royal College of Nursing, 2019).
19

Nyeri yang disebabkan oleh cedera otot perineum dan uretra selama
persalinan dapat membuat kesulitan buang air kecil karena otot dasar
panggul tidak cukup rileks untuk memulai berkemih. Persalinan kala satu
dan dua yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan cedera saraf
panggul karena tekanan berkepanjangan (Lim, 2010).
Selama proses melahirkan dapat terjadi trauma pada uretra dan
kandung kemih yakni sewaktu bayi melewati jalan lahir serta timbul rasa
nyeri pada panggul yang disebabkan akibat dorongan saat melahirkan,
episiotomi yang dapat menurunkan atau mengubah reflek berkemih yang
beresiko menyebabkan retensio urin sehingga terjadi distensi kandung
kemih (Ermiati, 2012).
Perubahan fisiologis sistem perkemihan dapat bertahan 6 hingga 8
minggu selama periode post partum yang dapat mengakibatkan disfungsi
kandung kemih. Retensio urin pada ibu postpartum pervaginam terutama
pada primipara berhubungan dengan peregangan dasar panggul dan
kerusakan nervus pudendus sesaat setelah persalinan namun kembali
normal setelah 3 bulan (Milart et al., 2018).

Persalinan pervaginam adalah peristiwa traumatis fungsi kompleks


karena tidak hanya mempengaruhi anatomi dan otot dasar panggul tetapi
juga memiliki efek pada pudendal konduksi saraf dan mungkin
menyebabkan obstruktif periuretra dan vulva. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa episiotomi, analgesia epidural dan berat lahir mandiri
mempengaruhi fungsi kandung kemih postpartum secara negatif (Mulder
et al., 2016).

5. Manifestasi Klinis
Retensio urin terjadi ketika kesulitan mengalami buang air kecil atau
mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Jika dibiarkan maka urine
yang tertinggal dapat menumpuk seiring waktu ditandai dengan: rasa nyeri
atau ketidaknyamanan kandung kemih. Secara klinis, kandung kemih yang
empuk, teraba, dan membengkak dengan gejala kesulitan buang air kecil
20

maka disfungsi dapat terjadi (Royal College of Physicians of Ireland,


2018).
Gangguan berkemih adalah hesitansi (memulai buang air kecil)
ditandai dengan kesulitan mengeluarkan urine, pancaran lemah atau
intermitten, saat berkemih disertai mengejan dan merasa tidak lampias
setelah berkemih (Djusad, 2020).
Retensio urin ditandai dengan volume kandung kemih postvoid yang
tersisa ≥ 150 ml atau ketidakberdayaan untuk berkemih dalam 6 jam
setelah persalinan melalui vagina atau dapat berkemih namun dengan
volume urine <100 ml (Royal College of Physicians of Ireland, 2018)
Tanda dan gejala dengan disfungsi kandung kemih harus dicurigai
dengan pasien yang memiliki volume berkemih kecil, frekuensi berkemih
lambat atau intermittent, ketegangan saat berkemih, pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap, nyeri pada kandung kemih atau tidak nyaman
pada perut, Inkontinensia urine dan tidak adanya sensasi untuk berkemih
(Mukhopadhyay et al., 2014)
Tidak ada keinginan untuk mengosongkan kandung kemih, kesulitan
Buang Air Kecil, rasa tidak sepenuhnya kosong, aliran urine yang lambat
atau mulai berhenti, perlu mengejan saat buang air kecil, kebocoran dari
kandung kemih yang terlalu banyak juga termasuk tanda retensio urin
(Royal College of Physicians of Ireland, 2018).

6. Faktor Resiko
Yang dapat meningkatkan faktor resiko retensio urin antara lain jenis
persalinan, paritas, lama persalinan, berat janin, trauma perineum, namun
faktor yang paling mempengaruhi dalam insiden retensio urin adalah lama
persalinan dan paritas (Petrana et al., 2016)
Kejadian Retensio urin lebih banyak pada ibu post partum dengan
lama persalinan ≥12 jam yaitu 55% dibanding dengan lama persalinan 12
jam yang hanya 15,3 % artinya lama persalinan ≥12 jam meningkatkan
21

terjadinya retensio urin hampir 4 kali (Petrana et al., 2016). Wanita


dengan kesulitan buang air kecil yang sudah ada sebelumnya juga beresiko
mengalami retensio urin post partum (Royal College of Physicians of
Ireland, 2018).
Alat persalinan instrumental cenderung menciptakan urine sisa yang
menyebabkan pelampiasan neurologis hingga dapat meyebabkan retensio
urin. Alat angkut instrumental juga bisa membahayakan saraf tepi otot
panggul dan sfingter uretra yang menyebabkan refleks berkemih menjadi
lemah. Luka parit dan luka perineum juga meningkatkan retensio urin
(Indu & Saraswathi, 2019).

7. Patofisiologi
Untuk patofisiologi retensio urin post partum belum jelas dan
memiliki mekanisme bervariasi. Beberapa penyebab fisiologis, neurologis,
dan mekanisme lain mungkin berpengaruh dalam terjadinya retensio urin.
Otot detrusor dapat dihambat oleh efek peningkatan kadar progesteron
sehingga dapat menyebabkan retensio urin (Polat et al., 2018).
Persalinan pervaginam yang menyebabkan trauma bagi otot dasar
panggul dan persarafan yang dapat menyebabkan hipotonisitas atau
berkurangnya sensitivitas, juga edema peri-uretra dan vulva akibat
persalinan pervaginam yang menyebabkan obstruksi (Polat et al., 2018).
Terdapat kemungkinan bahwa kekuatan mekanik yang diterapkan
pada otot dasar panggul selama persalinan berkepanjangan, peningkatan
tekanan tekanan bayi makrosomik dapat berkontribusi pada kerusakan
saraf panggul dan pudendal yang mengakibatkan gangguan neurologis saat
berkemih (Polat et al., 2018)
Patofisiologi RUPP dibedakan menjadi dua yaitu perubahan hormon
dan respon kontraktil kandung kemih serta trauma persarafan kandung
kemih (Djusad, 2020).
a. Hormon dan respon kontraktil kandung kemih
22

Kandung kemih merupakan organ yang responsif terhadap


hormon selama kehamilan dan masa setelah persalinan. Kehamilan
menurunkan respons dasar kandung kemih dan uretra terhadap
stimulasi alfa adregenik. Penurunan efek muskarinik di bagian badan
kandung kemih berbanding lurus dengan peningkatan risiko retensio
urin yang berhubungan secara klinis dengan kehamilan (Djusad,
2020).
Setelah uterus yang semakin membesar dan kemudian berakhir
keluar dari pelvis, uterus menekan ureter dan meningkatkan tonus
intrauretral di bagian atasnya. Dilatasi ureter lebih besar di bagian
kanan pada 86% ibu, namun progesteron juga memiliki efek terhadap
dilatasi ureter (Djusad, 2020).
b. Trauma persarafan kandung kemih
Lesi di sistem saraf dapat mengganggu proses pengosongan
kandung kemih dengan bergantung pada tingkat kerusakannya. RUPP
terjadi ketika terdapat lesi neurologis di bawah refleks spinal atau di
bawah level nervus sakral yang menyebabkan kandung kemih sulit
berkontraksi atau hipotoni (Djusad, 2020).
Pudendus dengan cabang saraf aferen (S2-S4) yang mempersarafi
kandung kemih mengalami kerusakan selama proses pembedahan
pelvis dan persalinan pervaginam. Nervus aferen yang mempersarafi
saluran kemih bagian bawah melewati nervus pelvis menuju korda
spinalis sakral (Djusad, 2020).
Saraf aferen memiliki diameter serat yang kecil dan berhubungan
dengan reseptor tekanan di dinding kandung kemih. Jalur aferen otot
lurik sfingter dari uretra yang menyalurkan sensasi hangat, dingin dan
nyeri serta pengisian urine, berjalan di nervus pudendu menuju korda
spinalis sakrum (S2-4) (Djusad, 2020).
Pada ibu post partum elastisitas traktus urinarius meningkat selama
kehamilan akibat perubahan hormonal sehingga menyebabkan penurunan
tonus otot polos. Peningkatan kapasitas kandung kemih selama kehamilan
23

dimulai sejak bulan ketiga kehamilan yang umumnya ditandai dengan


keinginan sering berkemih (Anugerah et al., 2017).
Ibu hamil berdiri maka uterus yang membesar meningkatkan tekanan
pada kandung kemih, mengakibatkan tambahan penekanan pada kandung
kemih dimulai pada minggu ke-38 kehamilan yang menandakan adanya
penurunan kapasitas pada kandung kemih. Hal tersebut akan hilang saat
bayi dilahirkan, yang menjadikan kandung kemih menjadi hipotoni karena
beban uterus yang membatasi kapasitasnya telah tiada (Anugerah et al.,
2017).

8. Pengukuran dan Penilaian


Terdapat banyak cara untuk menilai retensio urin postpartum dan
termasuk menilai gejala atau keluhan pasien, pemeriksaan fisik, USG
kandung kemih, dan kateterisasi kandung kemih. Unsur-unsur penting
termasuk meninjau semua pengobatan, kebiasaan buang air kecil, riwayat
kebidanan / ginekologi dan pembedahan (terutama ginekologi dan
operasi urologi); dan neurologis, perut (periksa kandung kemih yang
membengkak), dan periksa organ panggul (V. & Samant, 2020)
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengevaluasi retensio urin
postpartum, untuk menilai keparahannya dan untuk membantu
mengidentifikasi penyebabnya yang meliputi inspeksi perut, palpasi untuk
distensi kandung kemih. Akan teraba massa, perut kembung, fundus uteri
meninggi, adanya ketidaknyamanan dan pemeriksaan genital eksternal
untuk mengidentifikasi adanya trauma (V. & Samant, 2020).
Periksa frekuensi keluarnya urin, tanyakan volume dan kualitas aliran
dengan setiap berkemih, periksa abdomen untuk mengetahui perpindahan
rahim dan pembengkakan di bagian bawah perut, palpasi kandung kemih,
kandung kemih yang membengkak menggeser rahim ke atas dan ke sisi
kanan. Bengkak karena kandung kemih berisi cairan yang menyakitkan
teraba di daerah suprapubik (Royal Women, 2019)
24

Penilaian dan monitoring kandung kemih untuk mengukur volume


urine sisa dengan menggunakan ultrasonografi atau kateterisasi. Tidak ada
volume urine sisa yang spesifik untuk memprediksi retensio urin post
partum. PVR ≤75-150 ml dianggap normal jika ≥150 maka menunjukan
tidak memadai. Interpretasi apapun dari PVR harus dilakukan bersama
dengan informasi klinis yang lain (V. & Samant, 2020).
Diagnosis klinis retensio urin post partum tidak mudah terutama pada
kasus yang tidak menunjukan gejala klinis. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan fisik dan anamnesis apakah terdapat kesulitan
berkemih, pancaran lemah, mengedan saat berkemih, inkontinensia dan
merasakan adanya ketidakpuasan setelah buang air kecil dan USG atau
kateterisasi (Anugerah et al., 2017).

Diagnosis disfungsi buang air kecil dapat ditegakkan jika pasien tidak
dapat mengeluarkan urine dalam 6 jam setelah persalinan dan
membutuhkan pemasangan kateter untuk mengeluarkan urine lebih dari
normal yaitu 400 sampai 600 ml (Mukhopadhyay et al., 2014).

9. Pemeriksaaan Penunjang
Berbagai pemeriksaan penunjang untuk disfungsi eliminasi urine
dapat dilakukan antara lain (Muttaqin & Sari, 2011):

1) Urianalisis
Pemeriksaan relatif cepat, sederhana, dan akurat yang dapat
memberikan indikasi yang baik mengenai fungsi ginjal. Dari strip
reagen, klinisi dapat mengidentifikasi adanya zat seperti protein,
glukosa, dan darah serta pengukuran pH serta berat jenis, tampilan
dan bau urine akan memberikan informasi mengenai keseimbangan
cairan dan keberadaan organisme inreaktif.
2) Uji bakteriologis
25

Kultur bakteriologis pada spesimen urine bersih yang baru


ditampung dapat mengidentiikasi organisme penyebab infeksi
saluran kemih. Studi menentukan antibiotik yang tepat dapat
digunakan dalam terapi infeksi.
3) Uji biokimia
Pemeriksaan komposisi darah adalah indikator vital fungsi
ginjal. Gangguan fungsi glomerulus dan kehilangan kemampuan
tubulus untuk mereabsorpsi dan menyekresi menimbulkan
peningkatan kadar produk sisa di dalam darah seperti urea,
elektrolit, kreatinin dan urat. Uji hematologi seperti penghitungan
sel darah putih, bila infeksi dicurgai dan kadar hemogoblin.
4) Uji fungsi ginjal
Dua tipe utama yang mengukur fungsi ginjal baik adalah
glomerulus atau tubulus ginjal karena memiliki fungsi yang utama.
Glomerulus dapat diperkiraan fungsinya baik dengan melihat zat
yang normalnya difiltrasi. Uji fungsi tubulus adalah dengan
memperkirakan osmolaritas dan konsentrasi urine
5) Ultrasonografi
Berfungsi untuk melihat ukuran dan struktur ginjal dengan
demikian juga dapat melihat kandung kemih apakah terdapat
distensi cairan atau tidak.

10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat overdistensi kandung kemih
yaitu kerusakan irreversibel pada muskulus detrusor dengan infeksi traktus
urinarius rekuren dan kesulitan berkemih menetap (Petrana et al., 2016).
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu infeksi yang sering terjadi
pada ibu post partum dan memiliki angka kematian yang cukup tinggi,
peningkatan terjadi karena disebabkan oleh trauma jalan lahir,
inkontinensia urine, pemasangan kateter dan anestesi yang dapat
menyebabkan ibu berkemih secara tidak normal (Yerlian, M, 2013).
26

Kehamilan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya


infeksi saluran kemih, urine dalam kondisi normal dapat ditemukan
adanya bakteri dengan memberikan gejala ataupun tidak. Escheria coli
dikenal sebagai kuman terbanyak yang menjadi penyebab ISK kuman ini
biasa normal pada colon dan tidak berbahaya, tetapi pada kondisi tertentu
kuman ini dapat menyebabkan infeksi (Masteryanto, Henky M, dkk, 2015)
Selama kehamilan perubahan saluran kemih karena dilatasi ureter
yang diakibatkan oleh kompresi uterus dan juga efek hormon progesteron
yang dapat menyebabkan relaksasi otot polos sehingga menyebabkan
dilatasi dan pengumpulan urine dan refluks veskoureteral meningkat..
Pada periode postpartum, perubahan ini menjadi faktor predisposisi,
Kateterisasi urine selama persalinan dapat meningatkan adanya bakteri
dan menyebabkan ISK ( Patria J, dkk, 2020)
Hal tersebut di dukung oleh penelitian Ritongga (2018) bahwa infeksi
saluran kemih banyak di temukan di tempat pelayanan kesehatan, terutama
pada pasien yang terpasang kateter. Upaya untuk pencegahan ISK yaitu
dengan melakukan perawatan kateter, membersihkan selang dan selalu
cuci tangan.
Pratiwi, dkk, (2015) menyatakan bahwa sebagian besar pasien yang
memiliki gejala mual, muntah, lemas, hilangnya nafsu maka, demam nyeri
di area suprapubik dan pinggang merupakan tanda adanya infeksi saluran
kemih.
Salah satu penyebab perdarahan post partum adalah gangguan
kontraksi uterus yang diakibatkan oleh adanya retensio urin yang
menyebabkan distensi kandung kemih yang kemudian mendorong uterus
ke atas dan kesamping. Keadaan ini bisa menghambat uterus berkontraksi
dengan baik yang dapat mengakibatkan perdarahan. (Saraswati, 2016).
Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari perdarahan
postpartum yang mencapai 80%. Kandung kemih yang penuh dapat
mengakibatkan kedekatannya dengan uterus di perut, dapat mengganggu
kontraksi uterus yang menyebabkan atonia uteri (Nettina, 2013).
27

Peregangan berlebihan pada kandung kemih dapat menimbulkan


retensio urin pasca persalinan persisten, kerusakan irreversibel otot
detrusor serta infeksi traktus urinarius yang berulang. Secara umum
komplikasi RUPP sebagai berikut : sisa urine dapat menyebabkan sistitis,
ruptur buli-buli spontan, uremia dan sepsis dapat mengakibatkan pasien
meninggal pada hari ke 6 post partum (Anugerah et al., 2017).

11. Penatalaksanaan
Evcili & Demirel (2018) dalam penelitiannya, perawatan pada klien
dengan gangguan eliminasi urine pasca persalinan antara lain : memberikan
dukungan untuk pengeluaran urine 2-6 jam pertama setelah melahirkan,
monitor pengeluaran urine pasca persalinan, melakukan evaluasi fisik
kandung kemih, melakukan evaluasi perineum, perawatan perineum, aplikasi
dingin pada perineum, memberikan dukungan mobilisasi, kateterisasi.
Mobilisasi dapat dilakukan secara bertahap diawali dengan miring ke kanan
dan kekiri diatas tempat tidur selanjutnya duduk dan berjalan.
Setelah persalinan pervaginam maka kandung kemih harus segera
kosong dan dilakukan perawatan bladder yang meliputi (UHL, 2018) :
1. Semua pengeluaran harus didokumentasikan dalam catatan pasien
Wanita yang melahirkan secara normal menggunakan blokade
regional ataupun tidak membutuhkan pencatatan tanggal, waktu dan
volume pertama buang air kecil. Catatan keseimbangan cairan harus
dimulai untuk setiap wanita yang memiliki kateter yang menetap pada
periode postnatal dan berlanjut sampai tiga kali pengeluaran yang baik
setelah pelepasan kateter (150 ml atau lebih tanpa kesulitan berkemih).
2. Dorong ibu untuk mengosongkan kandung kemihnya dalam waktu 4-6
jam setelah melahirkan / kekosongan terakhir atau setelah kateter dilepas
3. Jika ibu tidak buang air kecil dalam waktu 4-6 jam, maka harus didorong
untuk pergi ke toilet untuk buang air kecil dan mencoba tindakan
konservatif seperti: memberikan privasi, duduk di bak mandi / pancuran
28

air hangat, membungkuk ke depan, pastikan ibu bebas dari rasa sakit,
membantu ibu untuk berdiri dan berjalan
4. Jika ibu tidak dapat berkemih meskipun telah dilakukan tindakan di atas
atau dicurigai retensi urin berdasarkan gejala dan tanda lain, volume sisa
harus dipastikan dengan kateter masuk dan urine yang keluar. Ada sedikit
bukti yang mendukung penggunaan USG untuk menilai volume urine
tetapi dapat dipertimbangkan oleh dokter individu.
5. Jika ibu memiliki volume sisa lebih dari 150 ml pada 2 kali pengukuran,
maka harus dipasang kateter selama 24 jam.
6. Jika setelah 24 jam kateterisasi masih ada kesulitan berkemih. Maka
dirujuk ke tim perawat uroginekologi untuk mempertimbangkan
kateterisasi mandiri intermiten yang bersih.

Untuk terapi non farmakologi ibu dapat melakukan rangsangan berkemih


dengan suara gemericik air keran, meletakan tangan di air hangat, mengguyur
perineum dengan air hangat dan mandi dengan air hangat (Evcili & Demirel,
2018). Upaya ibu mengosongkan kandung kemihnya maka dapat membantu
menuju ke kamar mandi. Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk berjalan,
bantu untuk duduk di bedpan. Berikan privasi kepada ibu. Jika kesulitan buang air
kecil maka nyalakan air di kran atau menggunakan botol peri untuk mengalirkan
air hangat ke perineum (Hatfield, 2013)

Dewi et al., (2014) mengatakan bahwa gangguan miksi dan defekasi pada
ibu post partum merupakan disfungsi otot dasar panggul secara mekanik akibat
kelemahan otot setelah persalinan. Stimulus secara dini dapat diberikan pada otot
dasar panggul pada ibu postpartum berupa pelvic floor muscle training atau
latihan senam kegel menurut peneliti latihan senam kegel dapat memperkkuat otot
dasar panggul sehingga urin yang keluar seehingga tanpa disadari pasien bisa
mengontrolnya sendiri.

Dilakukan bladder training dapat mempengaruhi pengeluaran urine. Hal


tersebut terjadi karena pemberian minum sebanyak 200 ml dan membawa pasien
29

ke kamar mandi serta menyuruh duduk ditoilet sambil menyiram perineum nya
dengan air untuk merangsang pengeluaran urine. Karena pada saat duduk dapat
meningkatkan kontraksi otot panggul dan intra abdomen yang membantu
mengontrol sfingter sehingga terjadi kontraksi uterus yang dapat merangsang
urine untuk keluar (Fitri & Putri, 2017).

Doenges et al., (2014) menyebutkan penatalaksanaan yang dapat dilakukan


pada klien dengan gangguan eliminasi dengan retensi urine antara lain:

a. Mengidentifikasi faktor penyebab


1. Mencatat adanya diagnosis fisik yang dapat terlibat seperti dehidrasi,
pembedahan, kondisi neurologis, kehamilan, melahirkan, trauma pelvis
2. Menentukan patologi disfungsi kandung kemih yang berhubungan dengan
diagnosis medis
3. Melakukan pemeriksaan fisik (mis. uji batuk untuk inkontinensia urine dan
palpasi untuk retensi atau massa kandung kemih, observasi untuk striktur
uretra)
4. Periksa nyeri dengan mencatat lokasi, durasi, intensitas, adanya spasme
kandung kemih, nyeri punggung atau pinggang dan tentukan tingkat
ansietas
5. Mencatat remisi spontan gejala urgensi dan sering kencing yang dapat
disertai nyeri, tekanan, spasme atau tidak.
6. Menentukan asupan cairan harian klien dan mencatat kondisi kulit,
membran mukosa, warna urine untuk menentukan tingkat dehidrasi.
7. Meninjau program obat untuk mengidentifikasi obat yang dapat mengubah
fungsi kandung kemih atau ginjal.
8. Mengirim spesimen urine untuk pemeriksaan kultur

b. Menentukan tingkat gangguan


1. Meninjau pola eliminasi klien sebelumnya dan bandingkan dengan situasi
saat ini (misal : sering berkemih, urgensi, perubahan aliran, masalah dalam
30

pengosongan kandung kemih secara tuntas, inkontinensia) untuk


membantu dalam mengidentiikasi dan terapi disfungsi tertentu
2. Memastikan apakah klien dapat mengosongkan kandung kemih secara
sempurna, sebagian atau tidak sama sekali.
3. Tentukan apakah ada haluaran urine 6 – 8 jam sebelumnya
4. Meminta klien untuk catatan harian berkemih selama 3 hari untuk
mencatat asupan cairan, waktu berkemih, haluaran yang tepat, dan asupan
diet.
5. Palpasi tinggi kandung kemih untuk memastikan apakah klien merasakan
sensasi kandung kemih yang penuh, tingkat ketidaknyamanan.
6. Lakukan kateterisasi atau pemindaian USG untuk mengetahui adanya
residu kandung kemih setelah BAK
c. Mengatasi/mencegah retensi
1. Bantu dalam terapi untuk menghilangkan obstrksi mekanik (mis.,
menghilangkan obstruksi dengan tampon vagina, menggunakan es untuk
mengurangi pembengkakan perineal yang membatasi aliran urine)
2. Berikan privasi untuk mengurangi retensi yang disebabkan oleh rasa malu
atau cemas
3. Dorong mandi rendam duduk dengan air hangat atau menggunakan
pancuran, berkemih ketika sedang mandi. Air hangat dapat merangsang
relaksasi untuk berkemih
4. Gunakan teknik es, mengelus paha bagian dala, mengalirkan air keran atau
membasuh air hangat ke perineum untuk merangsang berkemih
5. Kosongkan kandung kemih menggunakan kateter lurus sesuai protokol
atau lakukan kateterisasi intermitten atau menetap untuk mengatasi retensi
akut.
6. Anjurkan asupan cairan hingga 2000-3000 ml/hari (dalam toleransi
jantung). Untuk mempertahankan fungsi ginjal, mencegah infeki, dan
pembentukan batu urine.
7. Sesuaikan asupan cairan dan waktu jika diindikasikan, untuk mengurangi
distensi kandung kemih
31

8. Bantu meningkatkan eliminasi yang rutin (mis. berkemih yang terjadwal,


latihan kandung kemih, melatih kembali kebiasaan berkemih)

d. Upaya meningkatkan kesehatan


1. Tekankan kebiasaan berkemih yang baik misal 4 sampai 6 kali per hari,
menahan berkemih secara berulang dalam jangka panjang dapat
meregangkan secara berlebihan dan melemahkan otot kandung kemih
2. Dorong klien untuk melapor masalah dengan segera kepada petugas
kesehatan
3. Tekankan pentingnya asupan cairan yang adekuat.
32

12. Pathways retensio urin post partum


33

Gambar 2.2 Pathways


34

C. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dalam proses keperawatan data
yang diperoleh meliputi : Data dasar yaitu informasi tentang status
kesehatan pasien meliputi data umum, data demografi, riwayat keperawatan,
pola fungsi kesehatan dan pemeriksaan (Budiono, 2016).

Data fokus merupakan infomasi tentang status kesehatan pasien yang


menyimpang dari keadaan normal. Segala keluhan yang berasal dari klien
dapat divalidasi dengan pemeriksaan. Data subjektif adalah ungkapan
keluhan pasien secara langsung maupun tidak langsung melalui orang lain
yang mengetahui keadaan pasien. Data objektif yaitu data yang diperoleh
melalui observasi dan pemeriksaan pada klien (Budiono, 2016).

Sumber data yang terdiri atas data primer (diperoleh dari klien atau
pemeriksaan sendiri secara langsung), sumber data sekunder (diperoleh dari
selain klien, seperti orang terdekat jika klien mengalami gangguan), sumber
data lain yang bisa berupa catatan medis, riwayat penyakit, konsultasi, hasil
pemeriksaan diagnostik. Teknik pengumpulan data menggunakan
anamnesa, observasi dan pemeriksaan fisik (Budiono, 2016).

Pengkajian pada ibu post partum meliputi (Putri & Hastina, 2020):

a. Pengkajian data dasar pasien


Meninjau ulang catatan prenatal intraoperatif apakah ada
indikasi untuk kelahiran normal. Adapun pengumpulan data
menggunakan teknik observasi, wawancara, pemeriksaan fisik
meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
b. Identitas Pasien
Identitas klien meliputi : nama, usia, status perkawinan,
pekerjaan, agama, pendidikan dan suku.
Identitas suami meliputi : nama, usia, pekerjaan, agama,
pendidikan dan suku.
35

c. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk memperoleh data perlu dikaji keluhan utama saat
masuk rumah sakit, faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhi dan berkaitan dengan diagnosa maka yang
isiperlu dikaji peningkatan tekanan darah, eliminasi, mual atau
muntah, penambahan berat badan, edema, pusing, sakit kepala,
diplopia, nyeri epigestrik.
2. Riwayat Kehamilan
Yang diperlukan antara lain para dan gravida, kehamilan
yang direncanakan, masalah saat hamil atau antenatal care dan
imunisasi yang diberikan ibu selama hamil.
3. Riwayat Melahirkan
Data yang perlu dikaji adalah tanggal melahirkan, lamanya
persalinan, posisi fetus, tipe melahirkan, jahitan pada perineum
dan perdarahan.
4. Data Bayi
Yang harus dikaji meliputi jenis kelamin dan berat badan
bayi, kesulitan dalam melahirkan, apgar score, pemberian asi
atau susu formula dan kelainan kongenital yang nampak pada
saat dilakukan pengkajian.

d. Pengkajian Pola Fungsi Sistem Perkemihan


Pengkajian pola fungsional sistem perkemihan antara lain
(LeMone, 2011) :
1. Pola persepsi dan manajemen kesehatan
Menanyakan apakah pernah menderita gangguan ginjal
atau kandung kemih, cedera atau pembedahan. Jika pernah
bagaimana masalah tersebut ditangani. Klien diminta
menjelaskan asupan cairan selama periode 24 jam dan jenis
cairan apa yang diminum. Klien diminta untuk menjelaskan
36

apakah meminum obat untuk mengatasi masalah kesehatan


lainnya dan seberapa sering. Untuk wanita tanyakan
bagaimana perawatan setelah berkemih misalnya
membersihkan dengan tissue dan menanyakan apakah pernah
terpasang kateter sebelumnya.
2. Pola nutrisi-metabolik
Menanyakan kepada klien berapa banyak yang telah
diminum dalam periode 24 jam, apakah pernah membatasi
asupan cairan dan konsumsi jumlah garam. Apakah klien
mengalami pembengkakan di pergelangan kaki jika ada,
tanyakan apa yang dilakukan.
3. Pola eliminasi
Menanyakan berapa kali sehari buang air kecil, apakah
harus bangun malam untuk berkemih, apakah ada perubahan
pola dari biasanya, apakah tiba-tiba ingin berkemih atau
mengalami kesulitan, apakah saat berkemih rasa tidak
nyaman, perubahan warna, karakteristik dan masalah
frekuensi.
Dari hasil laboratorium adakah perubahan serum urea,
creatinin, urinealysis, urine kultur dan sensitivitas. Melakukan
pemeriksaan fisik antara lain inspeksi pada abdomen, palpasi
abdomen untuk mengetahui distensi, massa atau nyeri kandung
kemih.
4. Pola aktivitas dan latihan
Meminta klien menjelaskan apakah masalah perkemihan
dapat menggangu aktivitas sehari-hari, adakah perubahan
energi yang dirasakan. Menanyakan apakah pernah diajarkan
untuk melakukan senam kegel untuk membantu
mengendalikan rasa tidak nyaman, jika iya tanyakan seberapa
sering untuk berlatih.
5. Pola tidur dan istirahat
37

Menanyakan apakah masalah buang air kecil mengganggu


waktu untuk tidur dan istirahat, adakah perubahan waktu untuk
bangun di malam hari untuk berkemih.
6. Pola kognitif dan persepsi
Menanyakan klien saat berkemih disertai nyeri atau tidak,
jika pernah mengalami nyeri tekan dan menjelaskan lokasi,
intensitas, faktor yang memberatkan dan durasinya
7. Pola persepsi-konsep diri
Menanyakan kepada klien apakah kondisi ini membuatnya
merasakan ada masalah pada diri sendiri.
8. Pola peran dan hubungan
Menanyakan bagaimana kondisi ini mempengaruhi
hubungan dengan orang lain.
9. Pola seksual-reproduksi
Menanyakan kepada klien apakah kondisi ini mengganggu
aktivitas seksual.
10. Pola toleransi stress-koping
Menanyakan apakah adanya gangguan eliminasi membuat
klien mengalami stres dan bagaimana cara mengatasinya.
11. Pola nilai kepercayaan
Menanyakan kepada klien secara spesifik hubungan atau
aktivitas untuk mengatasi masalah, kepercayaan atau praktik
budaya tertentu yang mempengarui cara klien peduli dan
merasakan masalah ini. Adakah perawatan khusus yang tidak
digunakan untuk merawat kondisi ini.

e. Peemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada ibu pasca partum
yaitu head to toe yang terdiri dari (Putri & Hastina, 2020) :
1. Rambut, mengkaji kekuatan rambut karena diet yang baik saat
kehamilan mempengaruhi kekuatan dan kesehatan rambut
38

2. Muka/wajah, mengkaji adanya edema pada muka yang di


manifestasi kliniskan dengan kelopak mata yang bengkak atau
lipatan kelopak mata bawah yang menonjol.
3. Mata, mengkaji warna konjungtiva, bila berwarna merah dan
basah berarti normal sedangkan berwarna pucat berarti ibu
mengalami anemia, dan jika konjungtiva kering ibu diindikasi
mengalami dehidrasi
4. Payudara, mengkaji pembesaran ukuran, bentuk, konsistensi,
warna payudara dan mengkaji kondisi puting, kebersihan
puting, inspeksi bentuk perut, mengetahui adanya distensi pada
perut dan palpasi tinggi fundus uteri, serta kontraksi uterus
5. Lokia, mengkaji lokia yang meliputi karakter, jumlah, warna,
bekuan darah yang keluar dan baunya
6. Sistem perkemihan, mengkaji kandung kemih dengan palpasi
dan perkusi untuk mengetahui adanya distensi pada abdomen
bagian bawah
7. Perineum, pengkajian dilakukan dengan menempatkan ibu
pada posisi nyaman dan tetap menjaga privasi dengan inspeksi
adanya tanda-tanda REEDA (Rednes/kemerahan,
Echimosis/perdarahan, Edema/bengkak, Discharge/perubahan
pada lokia, Approximatio/pertautan jaringan)
8. Ekstremitas, perlu dikaji ekstremitas bawah dan atas dapat
bebas bergerak terkadang ditemukan edema, varisses pada
bagian tungkai kaki, ada atau tidak adanya trombositis karena
penurunan aktivitas.
f. Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
Pengkajian TTV meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan
darah selama 24 jam pertama pasca persalinan.
g. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium yang meliputi :
39

Jumlah darah lengkap hemoglobin, hematokrit bertujuan untuk


mengkaji perubahan dan kadar pra operasi dan mengevaluasi
efek dari kehilangan darah karena pembedahan, leukosit
2. Urinalisis : untuk mendeteksi adanya zat dalam darah
3. Ultrasonografi : untuk melihat struktur organ ginjal yang
dappat mengidentifikasi adanya pembesaran kandung kemih
atau tidak.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan tahap kedua setelah pengkajian dan
pengumpulan data. Diagnosa keperawatan merupakan suatu pertanyaan
yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau perubahan pola
interaksi aktual/potensial) dari individu atau kelompok sebagai pemilihan
intervensi keperawatan untuk mencapai hasil tempat perawat bertanggung
jawab (Budiono, 2016).

Setelah menganalisa data, mengidentifikasi masalah, merumuskan


pernyataan dapat dirumuskan diagnosis keperawatan dengan masalah
retensio urin menurut (Anugerah et al., 2017), (Petrana et al., 2016),
(Royal College of Physicians of Ireland, 2018) yang disesuaikan dengan
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (PPNI, 2016) yaitu : Gangguan
eliminasi urine berhubungan dengan trauma traktus urinarius selama
proses persalinan (D0040).

3. Intervensi Keperawatan
Rencana/intervensi keperawatan yaitu mengidentifikasi selama
pengkajian yang tercermin dalam diagnosis keperawatan. Dengan
mengembangkan tujuan atau hasil yang menyatakan apa yang harus
dicapai dalam waktu tertentu (McKinney et al., 2017)

Langkah pertama adalah menentukan prioritas apabila terdapat


masalah lebih dari satu disertai dengan menentukan tujuan dan kriteria
hasil yang spesifik, dapat diukur/observasi, realistis/dapat dicapai,
40

ditententukan oleh perawat atau klien, adanya kontrak waktu/target.


Rencana tindakan keperawatan meliputi diagnostik/observasi, terapeutik,
penyuluhan, rujukan/kolaborasi (Budiono, 2016).

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan Gangguan Eliminasi Urine

Tujuan dan Kriteria


No Diagnosa Intervensi
Hasil
1 Gangguan Setelah dilakukan Manajemen Eliminasi
eliminasi urine tindakan selama Urine (1.04152)
berhubungan 3x24 jam diharapkan Observasi :
dengan trauma kemampuan 1. Identifikasi tanda
traktus urinarius berkemih membaik. dan gejala retensi
selama proses Dengan kriteria hasil atau inkontinensia
persalinan (L.03019) : urine
(D.0040). 1. Sensasi berkemih 2. Identifikasi faktor
meningkat yang
2. Desakan kandung menyebabkan (
kemih menurun mis. peningkatan
3. Distensi kandung tekanan uretra,
kemih menurun kerusakan arkus
4. Berkemih tidak refleks disfungsi
tuntas menurun neurologis, efek
5. Urine menetes agen farmakologi)
menurun 3. Monitor eliminasi
6. Nokturia menurun urine
7. Dysuria menurun (mis.frekuensi,
8. Frekuensi BAK konsistensi,
membaik aroma, volume
9. Karakterisktik dan warna)
urine membaik 4. Monitor intake dan
output cairan
41

5. Fasilitasi berkemih
dengan interval
yang teratur
(bladder training)
6. Dukung ibu untuk
melakukan
ambulasi
7. Jelaskan penyebab
retensi urine
8. Anjurkan pasien
atau keluarga
mencatat output
urine
9. Ajarkan cara
melakukan
rangsangan
berkemih
10. Ajarkan tanda dan
gejala infeksi
saluran kemih
11. Ajarkan cara
latihan kandung
kemih
12. Pasang kateter
urine jika perlu

4. Implementasi
Pelaksanaan tindakan atau implementasi yaitu realisasi rencana
tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan sesuai kriteria hasil yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan data
42

berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah tindakan


serta menilai data baru (Budiono, 2016).

Implementasi adalah tahapan dari tindakan proses keperawatan.


Setelah tujuan dan hasil dikembangkan perlu adanya pemilihan intervensi
untuk dilaksanakan yang akan membantu mencapai hasil tujuan tersebut
(McKinney et al., 2017).

Proses implementasi yaitu melaksanakan terapi asuhan keperawatan


dengan melibatkan keaktifan pasien serta keluarga dalam perawatan
(Potter & Perry, 2020).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan hasil pengamatan pada pasien dengan tujuan dan kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perencanaan. Manfaat dilakukan evaluasi yaitu
untuk mengetahui apakah tujuan yang diharapkan sudah tercapai atau
belum. Selanjutnya menentukan akan memodifikasi rencana tindakan
keperawatan atau meneruskan rencana tindakan (Budiono, 2016).

Evaluasi merupakan proses mengidentifikasi keberhasilan terhadap


hasil dan tujuan asuhan keperawatan, mengubah intervensi ketika tujuan
tidak tercapai. (Potter & Perry, 2020).

Komponen format atau formula dalam asuhan keperawatan biasanya


menggunakan formula SOAP/SOAPIER dengan komponen data subjektif,
data objektif, anlisis, planning, implementasi, evaluasi dan reassesment
yang bertujuan untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan klien
(Budiono,2016)

Anda mungkin juga menyukai