Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


POST PARTUM SECTIO CAESAREA (SC)

OLEH
NI MADE KIKKY PERMATASARI
229012909

PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST SECTIO CAESAREA (SC)

A. Konsep Dasar Teori Post Partum


1. Definisi
Masa nifas berasal dari bahasa latin, yaitu puer artinya bayi dan parous artinya
melahirkan atau masa sesudah melahirkan. Asuhan kebidanan masa nifas adalah
penatalaksanaan asuhan yang diberikan pada pasien mulai dari saat setelah lahirnya bayi
sampai dengan kembalinya tubuh dalam keadaan seperti sebelum hamil atau mendekati
keadaan sebelum hamil (Saleha, 2013).
Masa Nifas dimulai setelah 2 jam postpartum dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, biasanya berlangsung selama 6
minggu atau 42 hari, namun secara keseluruhan baik secara fisiologi maupun psikologis
akan pulih dalam waktu 3 bulan (Nurjanah, dkk, 2013).
Periode post partus adalah waktu penyembuhan dan perubahan, waktu kembali
pada keadaan tidak hamil, serta penyesuaian terhadap hadirnya anggota keluarga baru
(Mitayani, 2011). Masa nifas atau post partum atau disebut juga masa puerperium
merupakan waktu yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ reproduksinya
seperti saat sebelum hamil atau disebut involusi terhitung dari selesai persalinan hingga
dalam jangka waktu kurang lebih 6 Minggu atau 42 hari (Maritalia, 2017).
Post partum adalah masa setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali pada keadaan sebelum hamil, masa post partum berlangsung selama
kira-kira 6 minggu (Wahyuningsih, 2019).
Nifas adalah periode 6 minggu setelah melahirkan, terjadi proses involusi dan
afterpain/nyeri yang berkaitan dengan adanya kontraksi uterus dan peningkatan oksitosin
untuk pengeluaran ASI (Karjatin,2016).
2. Tahapan Masa Nifas
Beberapa tahapan pada masa nifas (Maritalia, 2017) adalah sebagai berikut :
a. Puerperium dini (immediate puerperium)
Merupakan masa pemulihan awal dimana ibu yang melahirkan spontan tanpa
komplikasi dalam 6 jam pertama setelah kala IV dianjurkan untuk mobilisasi dini atau
segera. Ibu diperbolehkan untuk berdiri dan berjalan-jalan.
b. Puerperium intermedial (early puerperium)
Merupakan masa pemulihan yang berlangsung selama kurang lebih 6 Minggu atau 42
hari, dimana organ-organ reproduksi secara berangsur-angsur akan kembali ke
keadaan saat sebelum hamil.
c. Remote puerperium (later puerperium)
Merupakan waktu yang diperlukan ibu untuk dapat pulih kembali terutama saat hamil
atau waktu persalinan mengalami komplikasi. Pada tahap ini rentang waktu yang
dialami setiap ibu akan berbeda tergantung dari berat ringannya komplikasi yang
dialami selama hamil ataupun persalinan.
3. Perubahan Fisiologi Post Partum
Pada masa nifas, organ reproduksi interna dan eksterna akan mengalami
perubahan seperti keadaan sebelum hamil secara berangsur-angsur. Selain organ
reproduksi, beberapa perubahan fisiologi yang terjadi selama masa nifas adalah sebagai
berikut :
a. Uterus
Uterus merupakan organ reproduksi interna yang berongga dan berotot,
berbentuk seperti buah alpukat yang sedikit gepeng dan berukuran sebesar telur
ayam. Panjang uterus sekitar 7 – 8 cm, lebar sekitar 5 – 5,5 cm dan tebal sekitar 2,5
cm. uterus terdiri dari 3 bagian yaitu fundus uteri, korpus uteri, dan serviks uteri.
Dinding uterus terdiri dari otot polos dan tersusun atas 3 lapis, yaitu :
1) Perimetrium, yaitu lapisan terluar yang berfungsi sebagai pelindung uterus.
2) Miometrium, yaitu lapisan yang kaya akan sel otot dan berfungsi untuk kontraksi
dan relaksasi uterus dengan melebar dan kembali ke bentuk semula setiap
bulannya.
3) Endometrium, yaitu lapisan terdalam yang kaya akan sel darah merah. Bila tidak
terjadi pembuahan maka dinding endometrium akan meluruh bersama dengan sel
ovum matang. Selama kehamilan, uterus berfungsi sebagai tempat tumbuh,
melekat dan berkembangnya hasil konsepsi. Pada akhir kehamilan, berat uterus
dapat mencapai 1000 gram. Berat uterus seorang wanita dalam keadaan tidak
hamil kurang lebih 30 gram. Perubahan berat ini karena pengaruh peningkatan
kadar hormone estrogen dan progresterone selama hamil yang menyebabkan
hipertropi otot polos uterus.
Satu minggu setelah persalinan berat uterus kurang lebih menjadi 500 gram,
dua minggu setelah persalinan kurang lebih menjadi 300 gram dan setelah enam
minggu persalinan kurang lebih akan menjadi 40-60 gram. Perubahan ini terjadi
karena segera setelah persalinan kadar hormone estrogen dan progresterone akan
menurun dan mengakibatkan proteolisis pada dinding uterus. Perubahan yang terjadi
pada dinding uterus adalah munculnya thrombosis, degenerasi dan nekrosis di
tempat implantasi plasenta lalu jaringan-jaringan ini akan terlepas. Tidak ada
pebentukan jaringan parut pada bekas tempat implantasi plasenta karena pelepasan
jaringan ini berlangsung lengkap.
Dalam keadaan fisiologis, pada pemeriksaan fisik yang dilakukan secara
palpasi didapat bahwa tinggi fundus uteri akan berada setinggi pusat saat setelah
janin lahir, sekitar 2 jari di bawah pusat setelah plasenta lahir, pertengahan antara
pusat dan simfisis pada hari ke 5 postpartum dan setelah 12 hari postpartum tidak
dapat diraba lagi.
b. Serviks
Serviks merupakan bagian dasar dari uterus yang bentuknya menyempit
sehingga disebut juga sebagai leher rahim. Serviks menghubungkan uterus dengan
saluran vagina dan sebagai jalan keluarnya janin dari uterus menuju saluran vagina
pada saat persalinan. Selama kehamilan, serviks mengalami perubahan karena
pengaruh hormone estrogen. Meningkatnya hormone estrogen pada saat hamil dan
disertai dengan hipervaskularisasi mengakibatkan konsistensi serviks menjadi lunak.
Serviks tidak memiliki fungsi sebagai sfingter. Setelah melahirkan, serviks tidak
secara otomatis akan menutup seperti sfingter. Membukanya serviks pada saat
persalinan hanya mengikuti tarikan-tarikan korpus uteri ke atas dan tekanan bagian
bawah janin ke bawah (Maritalia, 2017). Saat setelah persalinan bentuk serviks akan
menganga seperti corong. Hal ini disebabkan oleh korpus uteri yang berkontraksi
sedangkan serviks tidak berkontraksi. Warna serviks berubah menjadi merah
kehitaman karena mengandung banyak pembuluh darah dengan konsistensi lunak.
Segera setelah janin dilahirkan, serviks masih dapat dilewati oleh tangan pemeriksa.
Setelah 2 jam persalinan serviks hanya dapat dilewati oleh 2-3 jari dan setelah 1
minggu persalinan hanya dapat dilewati oleh 1 jari saja.
c. Vagina
Vagina merupakan saluran yang menghubungkan rongga uterus dengan
tubuh bagian luar. Dinding depan dan belakang vagina berdekatan satu sama lain
dengan ukuran panjang kurang lebih 6,5 cm dan kurang lebih 9 cm. Bentuk vagina
sebelah dalam berlipat-lipat dan disebut rugae. Lipatan-lipatan ini memungkinkan
vagina melebar pada saat persalinan dan sesuai dengan fungsinya sebagai bagian
lunak jalan lahir.Selama kehamilan, terjadi hipervaskularisasi lapisan jaringan dan
mengakibatkan dinding vagina berwarna kebiru-biruan.
Selama proses persalinan vagina mengalami penekanan serta peregangan
yang sangat besar, terutama pada saat melahirkan bayi. Beberapa hari pertama
setelah proses tersebut, vagina tetap berada pada keadaan kendur. Setelah 3 minggu
vagina kembali pada keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur-
angsur akan muncul kembali. Sesuai dengan fungsinya sebagai bagian lunak jalan
lahir dan merupakan saluran yang menghubungkan cavum uteri dengan tubuh bagian
luar, vagina juga berfungsi sebagai saluran tempat dikeluarkannya secret yang
berasal dari cavum uteri selama masa nifas yang disebut lochea.
Secara fisiologis, lochea yang dikeluarkan dari cavum uteri akan berbeda
karakteristiknya dari hari ke hari. Hal ini disesuaikan dengan perubahan yang terjadi
pada dinding uterus akibat penurunan kadar hormone estrogen dan progesterone.
Karakteristik lochea dalam masa nifas adalah sebagai berikut :
1) Lochea Rubra/kruenta
Timbul pada hari ke 1-2 postpartum. Terdiri dari darah segar bercampur sisa-sisa
selaput ketuban, sel-sel desidua, sisa-sisa verniks kaseosa, lanugo dan mekonium.
2) Lochea Sanguinolenta
Timbul pada hari ke 3-7 postpartum.Karakteristik lochea sanguinolenta berupa
darah bercampur lendir.
3) Lochea Serosa
Merupakan cairan berwarna agak kuning, timbul setelah 1 minggu postpartum.
4) Lochea Alba
Timbul setelah 2 minggu postpartum dan hanya merupakan cairan putih.
Normalnya lochea agak berbau amis, kecuali bila terjadi infeksi pada jalan lahir,
baunya akan berubah menjadi bau busuk. Bila lochea berbau busuk segera
ditangani agar ibu tidak mengalami infeksi lanjut atau sepsis.
d. Vulva
Vulva merupakan organ reproduksi eksterna, berbentuk lonjong, bagian
depan dibatasi oleh klitoris, bagian belakang oleh perineum, bagian kiri dan kanan
oleh labia minora. Pada vulva, dibawah clitoris, terdapat orifisium uretra eksterna
yang berfungsi sebagai tempat keluarnya urin. Sama halnya dengan vagina, vulva
juga mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses
melahirkan bayi. Beberapa hari pertama setelah proses melahirkan vulva tetap
berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva akan kembali kepada keadaan
tidak hamil dan labia menjadi lebih menonjol.
e. Payudara (Mammae)
Payudara atau mammae adalah kelenjar yang terletak di bawah kulit, di atas
otot dada. Secara makroskopis, struktur payudara terdiri dari korpus (badan), areola
dan papilla atau putting. Fungsi dari payudara adalah memproduksi susu (Air Susu
Ibu) sebagai nutrisi bagi bayi. Sejak kehamilan trimester pertama kelenjar mammae
sudah dipersiapkan untuk menghadapi masa laktasi. Perubahan yang terjadi pada
kelenjar mammae selama kehamilan adalah :
1) Proliferasi jaringan atau pembesaran payudara. Terjadi karena pengaruh hormone
estrogen dan progesterone yang meningkat selama hamil, merangsang duktus dan
alveoli kelenjar mammae untuk persiapan produksi ASI.
2) Terdapat cairan yang berwarna kuning (kolostrum) pada duktus laktiferus. Cairan
ini kadang-kadang dapat dikeluarkan atau keluar sendiri melalui putting susu saat
usia kehamilan memasuki trimester ketiga.
3) Terdapat hipervaskularisasi pada bagian permukaan maupun bagian dalam
kelenjar mammae.
Setelah proses persalinan selesai, pengaruh hormone estrogen dan
progesterone terhadap hipofisis mulai menghilang. Hipofisis mulai mensekresi
hormone kembali yang salah satu diantaranya adalah lactogenic hormone atau
hormone prolaktin. Selama kehamilan hormone prolaktin dari plasenta meningkat
tetapi ASI belum keluar karena pengaruh hormone estrogen yang masih tinggi.
Kadar estrogen dan progesterone akan menurun pada saat hari kedua atau ketiga
pasca persalinan, sehingga terjadi sekresi ASI. Pada hari-hari pertama ASI
mengandung banyak kolostrum, yaitu cairan berwarna agak kuning dan sedikit lebih
kental dari ASI yang disekresi setelah hari ketiga postpartum. Pada proses laktasi
terdapat dua reflek yang berperan, yaitu refleks prolaktin dan refleks aliran yang
timbul akibat perangsangan puting susu dikarenakan isapan bayi.
1) Refleks Prolaktin
Akhir kehamilan hormone prolaktin memegang peranan untuk membuat kolostrum,
tetapi jumlah kolostrum terbatas dikarenakan aktivitas prolaktin dihambat oleh
estrogen dan progesterone yang masih tinggi.Pasca persalinan, yaitu saat lepasnya
plasenta dan berkurangnya fungsi korpus luteum maka estrogen dan progesterone
juga berkurang. Hisapan bayi akan merangsang putting susu dan kalang payudara,
karena ujung-ujung saraf sensoris yang berfungsi sebagai reseptor mekanik.
Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medulla spinalis hipotalamus dan
akan menekan pengeluaran faktor penghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya
merangsang pengeluaran faktor pemacu sekresi prolaktin. Hormone ini merangsang
sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu.
Kadar prolaktin pada ibu menyusui akan menjadi normal 3 bulan setelah melahirkan
sampai penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada peningkatan prolaktin
walau ada isapan bayi, namun pengeluaran air susu tetap berlangsung. Pada ibu nifas
yang tidak menyusui, kadar prolaktin akan menjadi normal pada minggu kedua
sampai minggu ketiga.
2) Refleks Aliran (let down reflek)
Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh hipofise anterior, rangsangan yang
berasal dari isapan bayi dilanjutkan ke hipofise posterior (neurohipofise) yang
kemudian mengeluarkan oksitosin.Melalui aliran darah, hormone ini menuju uterus
sehingga menimbulkan kontraksi. Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang
telah terbuat, keluar dari alveoli dan masuk ke sistem duktus danselanjutnya mengalir
melalui duktus lactiferus masuk ke mulut bayi. Beberapa faktor yang dapat
meningkatkan reflek let down adalah : melihat bayi, mendengarkan suara bayi,
mencium bayi, memikirkan untuk menyusui bayi. Faktor-faktor yang menghambat
reflek let down adalah stress, seperti : keadaan bingung atau pikiran kacau, takut dan
cemas.
f. Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda vital merupakan tanda-tanda penting pada tubuh yang dapat
berubah bila tubuh mengalami gangguan atau masalah.Tanda-tanda vital yang sering
digunakan sebagai indikator bagi tubuh yang mengalami gangguan atau masalah
kesehatan adalah nadi, pernafasan, suhu, dan tekanan darah. Tanda-tanda vital ini
biasanya saling mempengaruhi satu sama lain. Artinya, bila suhu meningkat, maka
nadi dan pernafasan juga akan meningkat, dan sebaliknya. Tanda-tanda vital yang
berubah selama masa nifas adalah :
1) Suhu Tubuh
Setelah proses persalinan, suhu tubuh dapat meningkat sekitar 0,5OC dari keadaan
normal (36OC – 37,50C), namun tidak lebih dari 380C. Hal ini disebabkan karena
meningkatnya metabolisme tubuh pada saat proses persalinan. Setelah 12 jam
postpartum, suhu tubuh yang meningkat tadi akan kembali seperti keadaan
semula. Bila suhu tubuh tidak kembali ke keadaan normal atau bahkan meningkat,
maka perlu dicurigai terhadap kemungkinan terjadinya infeksi.
2) Nadi
Denyut nadi normal berkisar antara 60-80 kali per menit. Pada saat proses
persalinan denyut nadi akan mengalami peningkatan. Setelah proses persalinan
selesai frekwensi denyut nadi dapat sedikit lebih lambat. Pada masa nifas
biasanya denyut nadi akan kembali normal.
3) Tekanan Darah
Tekanan darah normal untuk systole berkisar antara 110 – 140 mmHg. Setelah
partus, tekanan darah dapat sedikit lebih rendah dibandingkan pada saat hamil
karena terjadinya perdarahan pada proses persalinan. Bila tekanan darah
mengalami peningkatan lebih dari 30 mmHg pada systole atau lebih dari 15
mmHg pada diastole perlu dicurigai timbulnya hipertensi atau pre eklamsia post
partum.
4) Pernafasan
Frekwensi pernafasan normal berkisar antara 18 – 24 kali per menit. Pada saat
partus frekwensi pernafasan akan meningkat karena kebutuhan oksigen yang
tinggi unuk tenaga ibu meneran atau mengejan dan mempertahankan agar
persediaan oksigen ke janin tetap terpenuhi. Setelah partus selesai, frekwensi
pernafasan akan kembali normal. Keadaan pernafasan biasanya berhubungan
dengan suhu dan denyut nadi.
g. Hormon
Selama kehamilan terjadi peningkatan kadar hormone estrogen dan
progesterone. Hormone tersebut berfungsi untuk mempertahankan agar dinding
uterus tetap tumbuh dan berproliferasi sebagai media tempat tumbuh dan
berkembangnya hasil konsepsi. Sekitar 1-2 minggu sebelum partus dimulai, kadar
hormone estrogen dan progesterone akan menurun. Memasuki trimester kedua
kehamilan, mulai terjadi peningkatan kadar hormone prolaktin dan prostaglandin.
Hormone prolaktin akan merangsang pembentukan air susu pada kelenjar mammae
dan prostaglandin memicu sekresi oksitosin yang menyebabkan timbulnya kontraksi
uterus. Pada wanita menyusui, kadar prolaktin tetap meningkat sampai sekitar 6
minggu setelah melahirkan. Kadar prolaktin dalam darah ibu dipengaruhi oleh
frekwensi menyusui, lama setiap kali menyusui, dan nutrisi yang dikonsumsi ibu
selama menyusui. Hormone prolaktin ini akan menekan sekresi Folikel Stimulating
Hormon (FSH) sehingga mencegah terjadinya ovulasi. Oleh karena itu, memberikan
ASI pada bayi dapat menjadi alternative metode KB yang dikenal dengan MAL
(Metode Amenorhea Laktasi).
h. Sistem Peredaran Darah (Cardio Vascular)
Perubahan hormone selama hamil dapat menyebabkan terjadinya hemodilusi
sehingga kadar Hemoglobin (Hb) wanita hamil biasanya sedikit lebih rendah
dibandingan dengan wanita tidak hamil. Selain itu, terdapat hubungan antara
sirkulasi darah ibu dengan sirkulasi janin melaluiplasenta. Setelah janin dilahirkan,
hubungan sirkulasi darah tersebut akan terputus sehingga volume darah ibu relative
akan meningkat. Keadaan ini terjadi secara cepat dan mengakibatkan beban kerja
jantung sedikit meningkat. Namun hal tersebut segera diatasi oleh system
homeostatis tubuh dengan mekanisme kompensasi berupa timbulnya
hemokonsentrasi sehingga volume darah akan kembali normal. Biasanya ini terjadi
sekitar 1 sampai 2 minggu setelah melahirkan.
i. Sistem Pencernaan
Pada ibu yang melahirkan dengan cara operasi (Sectio Caesarea) biasanya
membutuhkan waktu sekitar 1 – 3 hari agar fungsi saluran cerna dan nafsu makan
dapat kembali normal. Ibu yang melahirkan secara spontan biasanya lebih cepat
lapar karena telah mengeluarkan energi yang begitu banyak pada saat proses
melahirkan (Maritalia, 2017). Buang air besar (BAB) biasanya mengalami
perubahan pada 1 – 3 hari pertama postpartum. Hal ini karena penurunan tonus otot
selama proses persalinan. Selain itu, enema sebelum melahirkan, kurang asupan
nutrisi dan dehidrasi serta dugaan ibu terhadap timbulnya rasa nyeri disekitar anus
atau perineum setiap kali akan BAB juga mempengaruhi defekasi secara spontan.
Faktor-faktor tersebut sering menyebabkan timbulnya konstipasi pada ibu nifas
dalam minggu pertama.Kebiasaan defekasi yang teratur perlu dilatih kembali setelah
tonus otot kembali normal.
j. Sistem Perkemihan
Perubahan hormonal pada masa hamil menyebabkan peningkatan fungsi
ginjal, sedangkan penurunan kadar hormone steroid setelah wanita melahirkan
sebagian menjelaskan sebab penurunan fungsi ginjal selama postpartum. Fungsi
ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita melahirkan.Diperlukan
waktu sekitar 2 sampai 8 minggu supaya hipotonia pada kehamilan dan dilatasi
ureter serta pelvis ginjal kembali ke keadaan sebelum hamil.Pada sebagian kecil
wanita, dilatasi traktus urinarius bisa menetap selama 3 bulan.
Terdapatnya laktosa dalam urin (laktosuria positif) pada ibu menyusui
merupakan hal yang normal. BUN (Blood Urea Nitrogen), yang meningkat selama
postpartum, merupakan akibat autolisis uterus yang mengalami involusi. Pemecahan
kelebihan protein di dalam sel otot uterus juga menyebabkan proteinuria ringan
selama satu sampai dua hari postpartum. Hal ini terjadi pada sekitar 50% wanita.
Asetonuria bisa terjadi pada wanita dengan persalinan normal atau pada wanita
dengan partus macet atau partus lama yang disertai dehidrasi.
Dalam 12 jam pertama postpartum, ibu mulai membuang kelebihan cairan
yang tertimbun di jaringan selama ia hamil. Salah satu mekanisme untuk mengurangi
retensi cairan selama masa hamil ialah diaphoresis luas, terutama pada malam hari,
selama dua sampai tiga hari pertama setelah melahirkan. Dieresis postpartum, yang
disebabkan oleh penurunan kadar estrogen, hilangnya peningkatan tekanan vena
pada ekstermitas bawah, dan hilangnya peningkatan volume darah akibat kehamilan,
merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan. Kehilangan cairan
melalui keringat dan peningkatan jumlah urin menyebabkan penurunan berat badan
sekitar 2,5 kg selama postpartum. Pengeluaran kelebihan cairan yang tertimbun
selama hamil kadang-kadang disebut kebalikan metabolisme air pada masa hamil
(reversal of the water metabolisme of pregnancy).
Trauma yang terjadi pada uretra dan kandung kemih selama proses
melahirkan sewaktu bayi melewati jalan lahir dapat menyebabkan dinding kandung
kemih mengalami hiperemi dan edema. Kandung kemih yang edema, terisi penuh
dan hipotonik dapat mengakibatkan overdistensi, pengosongan yang tak sempurna
dan urine residual, kecuali jika dilakukan asuhan untuk mendorong terjadinya
pengosongan kandung kemih bahkan saat tidak merasa untuk berkemih. Pemasangan
kateter dapat menimbulkan trauma pada kandung kemih, uretra dan meatus
urinarius. Adanya trauma akibat kelahiran, peningkatan kapasitas kandung kemih
setelah bayi lahir, dan efek konduksi anastesi menyebabkan keinginan untuk
berkemih menurun. Selain itu, rasa nyeri pada panggul yang timbul akibat dorongan
saat melahirkan, laserasi vagina, atau episiotomi menurunkan atau mengubah refleks
berkemih. Penurunan berkemih, seiring dieresis postpartum, bisa menyebabkan
distensi kandung kemih. Distensi kandung kemih yang muncul segera setelah wanita
melahirkan dapat menyebabkan perdarahan berlebih karena keadaan ini bisa
menghambat uterus berkontraksi dengan baik. Pada masa postpartum tetap lanjut,
distensi yang berlebihan ini dapat menyebabkan kandung kemih lebih peka terhadap
infeksi sehingga mengganggu proses berkemih normal. Apabila terjadi distensi
berlebih pada kandung kemih dapat mengalami kerusakan lebih lanjut (atoni).
Dengan mengosongkan kandung kemih biasanya akan pulih kembali dalam 5 – 7
hari setelah bayi lahir.
k. Sistem Integumen
Perubahan kulit selama kehamilan berupa hiperpegmentasi pada wajah
(cloasma gravidarum), leher, mammae, dinding perut dan beberapa lipatan sendi
karena pengaruh hormone, akan menghilang selama masa nifas.
l. Sistem Musculoskeletal
Setelah proses persalinan selesai, dinding perut akan menjadi longgar,
kendur, dan melebar selama beberapa minggu atau bahkan sampai beberapa bulan
akibat peregangan yang begitu lama selama hamil. Ambulasi dini, mobilisasi dan
senam nifas sangat dianjurkan untuk mengatasi hal tersebut.Pada wanita yang
athenis terjadi diastasis dari otot-otot rectus abdominalis sehingga seolah-olah
sebagian dari dinding perut di garis tengah hanya terdiri dari peritoneum, fascia tipis
dan kulit.Tempat yang lemah ini menonjol jika berdiri atau mengejan.
4. Perubahan Psikologi Post Partum
Adaptasi psikologis masa nifas merupakan suatu proses adaptasi yang sebenarnya
sudah terjadi pada saat kehamilan. Menjelang persalinan, perasaan senang karena akan
berubah peran menjadi seorang ibu dan segera bertemu dengan bayi yang dikandungnya
selama berbulan-bulan dan telah lama dinantikan. Selain itu, akan timbul perasaan cemas
karena khawatir terhadap calon bayi yang akan dilahirkannya nanti, apakah lahir dengan
sempurna atau tidak. Perubahan psikologis mempunyai peranan yang sangat penting
karena pada masa ini ibu nifas menjadi lebih sensitif. Tentunya pada ibu primipara dan
multipara memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Multipara akan lebih mudah dalam
mengantipasi keterbatasan fisiknya dan lebih mudah beradaptasi terhadap peran dan
interaksi sosialnya. Sedangkan pada ibu primipara mungkin kebingungan dan frustasi
karena merasa tidak kompeten dalam merawat bayi dan tidak mampu mengontrol situasi.
Maka dari itu ibu primipara lebih memerlukan dukungan yang lebih besar.
a. Adaptasi Psikologis Ibu Postpartum
Pada primipara, menjadi orangtua merupakan pengalaman tersendiri dan dapat
menimbulkan stress bila tidak ditangani dengan segera. Perubahan peran dari wanita
biasa menjadi seorang ibu memerlukan adaptasi sehingga ibu dapat melakukan
perannya dengan baik. Perubahan hormonal yang sangat cepat setelah proses
melahirkan juga ikut mempengaruhi keadaan emosi dan proses adaptasi ibu pada
masa nifas. Fase-fase yang dialami oleh ibu pada masa nifas adalah sebagai berikut :
1) Fase Taking In
Merupakan fase ketergantungan yang berlangsung dari hari pertama sampai hari
kedua setelah melahirkan. Ibu berfokus pada dirinya sendiri sehingga cenderung
pasif terhadap lingkungannya. Ketidaknyamanan yang dialami ibu lebih
disebabkan karena proses persalinan yang baru saja dilaluinya. Rasa mulas, nyeri
pada jalan lahir, kurang tidur atau kelelahan, merupakan hal yang sering
dikeluhkan ibu. Pada fase ini, kebutuhan istirahat, asupan nutrisi dan komunikasi
yang baik harus dapat terpenuhi. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, ibu
dapat mengalami gangguan psikologis berupa : kekecewaan pada bayinya,
ketidaknyamanan sebagai akibat perubahan fisik yang dialami, rasa bersalah
karena belum bisa menyusui bayinya dan kritikan suami atau keluarga tentang
perawatan bayinya.
2) Fase Taking Hold
Merupakan fase yang berlangsung antara 3 – 10 hari setelah melahirkan. Ibu
merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawab dalam
perawatan bayinya. Perasaan ibu lebih sensitive sehingga mudah tersinggung. Hal
yang perlu diperhatikan adalah komunikasi yang baik, dukungan dan pemberian
penyuluhan atau pendidikan kesehatan tentang perawatan diri dan bayinya.
Penuhi kebutuhan ibu tentang cara perawatan bayi, cara menyusui yang baik dan
benar, cara perawatan luka jalan lahir, mobilisasi postpartum, senam nifas, nutrisi,
istirahat, kebersihan diri, dan lain-lain.
3) Fase Letting Go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya sebagai
seorang ibu. Fase ini berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai
dapat menyesuaikan diri dengan bayinya dan siap menjadi pelindung bagi
bayinya. Perawatan ibu terhadap diri dan bayinya semakin meningkat. Rasa
percaya diri ibu akan peran barunya mulai tumbuh, lebih mandiri dalam
memenuhi kebutuhan dirinya dan bayinya. Dukungan suami dan keluarga dapat
membantu ibu untuk lebih meningkatkan rasa percaya diri dalam merawat
bayinya. Kebutuhan akan istirahat dan nutrisi yang cukup masih sangat
diperlukan untuk ibu menjaga kondisi fisiknya.
b. Postpartum Blues (Baby Blues)
Postpartum blues merupakan perasaan sedih yang dialami oleh seorang ibu
berkaitan dengan bayinya. Biasanya muncul sekitar 2 hari sampai 2 minggu sejak
kelahiran bayi. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan perasaan yang dialami ibu
saat hamil sehingga sulit menerima kehadiran bayinya. Perubahan perasaan ini
merupakan respon alami terhadap rasa lelah yang dirasakan. Selain itu juga karena
perubahan fisik dan emosional selama beberapa bulan kehamilan. Perubahan
hormone yang sangat cepat antara kehamilan dan setelah proses persalinan sangat
berpengaruh dalam hal bagaimana ibu bereaksi terhadap situasi yang berbeda.
Setalah melahirkan dan terlepasnya plasenta dari dinding rahim, tubuh ibu
mengalami perubahan besar dalam jumlah hormone sehingga membutuhkan waktu
untuk menyesuaikan diri. Disamping perubahan fisik, hadirnya seorang bayi dapat
membuat perbedaan besar dalam kehidupan ibu dalam hubungannya dengan suami,
orangtua, maupun anggota keluarga lain. Perubahan ini akan kembali secara perlahan
setelah ibu menyesuaikan diri dengan pera barunya dan akan hilang dengan
sendirinya sekitar 10 – 14 hari setelah melahirkan. Ibu yang mengalami baby blues
akan mengalami perubahan perasaan, menangis, cemas, kesepian, khawatir yang
berlebihan mengenai bayi, penurunan gairah seks, dan kurang percaya diri terhadap
kemampuan menjadi seorang ibu.
c. Depresi Postpartum
Kesedihan atau kemurungan yang dialami ibu pada masa nifas merupakan hal
yang normal. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan yang terjadi dalam tubuh
seorang wanita selama kehamilan dan setelah bayi lahir. Seorang ibu primipara lebih
beresiko mengalami kesedihan atau kemurungan postpartum karena ia belum
mempunyai pengalaman dalam merawat dan menyusui bayinya. Kesedihan atau
kemurungan yang terjadi pada awal masa nifas merupakan hal yang umum dan akan
hilang sendiri dalam 2 minggu setelah ibu melahirkan dan setelah melewati proses
adaptasi. Ada kalanya ibu merasakan kesedihan karena kebebasan, otonomi, interaksi
sosial, kemandiriannya berkurang setelah mempunyai bayi. Hal ini akan
mengakibatkan depresi postpartum. Ibu yang mengalami hal ini akan menunjukkan
tanda-tanda seperti : sulit tidur, tidak ada nafsu makan, perasaan tidak berdaya atau
kehilangan kontrol, terlalu cemas atau tidak perhatian sama sekali pada bayi, tidak
menyukai atau takut menyentuh bayi, pikiran yang menakutkan mengenai bayi,
sedikit atau tidak ada perhatian terhadap penampilan diri, gejala fisik seperti sulit
bernafas atau perasaan berdebar-debar. (Maritalia, 2017).
5. Komplikasi
a. Infeksi masa nifas
Infeksi masa nifas adalah infeksi yang dimulai pada dan memulai traktus genetalis
setelah persalinan. Suhu 38°C atau lebih yang terjadi pada hari ke 2-10 postpartum
dan diukur peroral sedikitnya 4x sehari. Penyebab dari infeksi nifas ini yaitu akibat
kuman yang masuk ke alat kandungan seperti eksogen (kuman datang dari luar),
autogen (kuman masuk dari tempat lain dalam tubuh) dan endogen (dari jalan lahir
sendiri).Penyebab terbanyak adalah streptococcus anaerob yang sebenanya tidak
patogen sebagai penghuni normal jalan lahir. Selain itu infeksi nifas juga dapat terjadi
akibat semua keadaan yang menurunkan daya tahan penderita seperti perdarahan
banyak, diabetes, preeklamsia, anemia. Kelelahan juga infeksi lain yaitu pneumonia,
penyakit jantung dan sebagainya.
b. Masalah payudara
Payudara berubah menjadi merah, panas dan terasa sakit disebabkan oleh payudara
yang tidak disusu secara adekuat, putting susu yang lecet, BH yang terlalu ketat, ibu
dengan diet jelek, kurang istirahat dan anemia.
c. Mastitis
Peradangan pada payudara. Mastitis ini dapat terjadi kapan saja sepanjang periode
menyusui, tapi paling sering terjadi pada hari ke-10 dan hari ke-28 setelah kelahiran
bayi. Mastitis ini menimbulkan gejala bengkak dan nyeri, payudara tampak merah,
payudara terasa keras dan benjol – benjol.
d. Abses payudara
Abses payudara terjadi ketika mastitis tidak ditangani dengan baik, sehingga
memperberat infeksi.
e. Putting susu lecet
Ini disebabkan trauma pada putting susu saat menyusui, selain itu dapat pula terjadi
retak dan pembentukan celah – celah. Retakan pada putting susu bisa sembuh sendiri
dalam waktu 48 jam. Lecet pada putting susu disebabkan oleh tehnik menyusui yang
tidak tepat, cara menghentikan menyusui bayi yang tidak tepat.
f. Hematoma
Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat di sepanjang traktus genitalai dan
tampak sebagai warna ungu pada mukosa vagina atau perineum yang ekimotik.
Hematoma yang kecil diatasi dengan es, analgetik dan pemantauan yang terus
menerus.
g. Inversio uteri
Inversio uteri pada waktu persalinan terjadi karena kesalahan dalam pemberian
pertolongan oada kala III. Kejadian inversio uteri ini sering disertai dengan adanya
syok. Perdarahan merupakan faktpr terjadinya syok, tetapi tanpa perdarahan syok
tetap dapat terjadi karena tarikan kuat pada perineum, kedua ligamentum infundibulo-
pelvikum, serta ligamentum rotundum. Syok dalam hal ini lebih banyak bersifat
neurogenik. Pada kasus ini, tindakan operasi biasanya lebih dipertimbangkan,
meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan reposisi uteri terlebih dahulu.
h. Masalah psikologis
Pada minggu – minggu pertama setelah persalinan, ibu postpartum cenderung akan
mengalami perasaan – perasaan yang tidak pada umumnya seperti merasa sedih, tidak
mampu mengasuh diri dan bayinya. Faktor penyabab yaitu kekecewaan emosional
yang mengikuti kegiatan bercampur rasa takut yang dialami kebanyakan wanita
selama hamildan melahirkan, rasa nyeri pada awal nifas, kelelahan akibat kurang
tidur selama persalinan dan telah melahirkan kebanyakan di rumah sakit, kecemasan
akan kemampuan untuk merawat bayinya setelah meninggalkan rumah sakit. (Yanti
& Sundawati, 2011)
B. Konsep Dasar Teori Sectio Caesarea (SC)
1. Definisi Sectio Caesarea (SC)
Sectio Caesarea (SC) adalah suatu cara untuk melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut.(Nurarif & Kusuma, 2015).
Sectio Caesarea (SC) adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan dimana irisan
dilakukan di perut untuk mengeluarkan seorang bayi (Endang Purwoastuti and Siwi
Walyani, 2014).
Sectio Caesareaadalah suatu pembedahan guna melahirkan janin lewatinsisi pada
dinding abdomen dan uterus persalinan buatan. Sehingga janin di lahirkan melalui perut
dan dinding perut dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat
(Anjarsari, 2019).
Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin denganmembuat sayatan pada
dinding uterus melalui dinding depan perut (Martowirjo, 2018).
Sectio Caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sagita, 2019).
2. Klasifikasi
Menurut Ramandanty (2019), klasifikasi bentuk pembedahan Sectio Caesarea adalah
sebagai berikut :
1. Sectio Caesarea Klasik Sectio Caesarea Klasik dibuat vertikal pada bagian atas
rahim. Pembedahan dilakukan dengan sayatan memanjang pada korpus uteri kira-
kira sepanjang 10 cm. Tidak dianjurkan untuk kehamilan berikutnya melahirkan
melalui vagina apabila sebelumnya telah dilakukan tindakan pembedahan ini.
2. Sectio Caesarea Transperitonel Profunda
Sectio Caesarea Transperitonel Profunda disebut juga low cervical yaitu sayatan
vertikal pada segmen lebih bawah rahim. Sayatan jenis ini dilakukan jika bagian
bawah rahim tidak berkembang atau tidak cukup tipis untuk memungkinkan
dibuatnya sayatan transversal. Sebagian sayatan vertikal dilakukan sampai ke otot-
otot bawah rahim.
3. Sectio Caesarea Histerektomi
Sectio Caesarea Histerektomi adalah suatu pembedahan dimana setelah janin
dilahirkan dengan Sectio Caesarea, dilanjutkan dengan pegangkatan rahim.
4. Sectio Caesarea Ekstraperitoneal
Sectio Caesarea Ekstraperitoneal, yaitu Sectio Caesarea berulang pada seorang pasien
yang sebelumnya melakukan Sectio Caesarea. Biasanya dilakukan di atas bekas
sayatan yang lama. Tindakan ini dilakukan denganinsisi dinding dan faisa abdomen
sementara peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen bawah
uterus sehingga uterus dapat dibuka secara ekstraperitoneum.
Sedangkan menurut Sagita (2019), klasifikasi Sectio Caesareaadalah sebagai berikut :
1. Sectio caeasarea transperitonealis profunda Sectio caeasarea transperitonealis profunda
dengan insisi di segmen bawah uterus. Insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik
melintang atau memanjang. Keunggulan pembedahan ini :
a. Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
b. Bahaya peritonitis tidak besar
c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari tidak
besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami
kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2. Sectio Caesarea korporal / klasik
Pada Sectio Caesarea korporal / klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini
yang agak mudah dilakukan, hanya di selenggarakan apabila ada halangan
untukmelakukan Sectio Caesarea transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada
segmen uterus.
3. Sectio Caesarea ekstra peritoneal
Sectio ceasarea ekstra peritoneal dahulu dilakukan untuk mengurangi bahaya injeksi
peroral akan tetapi dengan kemajuan pengobatan tehadap injeksi pembedahan ini
sekarang tidak banyak lagi dilakukan. Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan pada
pasien infeksi uteri berat.
4. Sectio Caesarea hysteroctomi
Setelah Sectio Caesarea, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi :
a. Atonia uteri
b. Plasenta accrete
c. Myoma uteri
d. Infeksi intra uteri berat
3. Etiologi
Menurut Martowirjo (2018), etiologi dari pasien Sectio Caesarea adalah sebagai berikut :
1. Etiologi yang berasal dari ibu
a. Plasenta Previa Sentralis dan Lateralis (posterior) dan totalis.
b. Panggul sempit.
c. Disporsi sefalo-pelvik : ketidakseimbangan antara ukuran kepala dengan panggul.
d. Partus lama (prognoled labor)
e. Ruptur uteri mengancam
f. Partus tak maju (obstructed labor)
g. Distosia serviks
h. Pre-eklamsia dan hipertensi
i. Disfungsi uterus
j. Distosia jaringan lunak.
2. Etiologi yang berasal dari janin
a. Letak lintang.
b. Letak bokong.
c. Presentasi rangkap bila reposisi tidak berhasil.
d. Presentasi dahi dan muka (letak defleksi) bila reposisi dengan cara-cara lain tidak
berhasil.
e. Gemeli menurut Eastma, sectiocaesarea di anjurkan :
1) Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu (Shoulder Presentation).
2) Bila terjadi interlok (locking of the twins).
3) Distosia oleh karena tumor.
4) Gawat janin.
f. Kelainan uterus :
1) Uterus arkuatus
2) Uterus septus
3) Uterus duplekus
4) Terdapat tumor di pelvis minor yang mengganggu masuk kepala janin ke pintu
atas panggul.
Sedangkan menurut Sagita (2019), indikasi ibu dilakukan Sectio Caesarea adalah ruptur
uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin
adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram> Dari beberapa faktor Sectio
Caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio sebagai berikut :
1. CPD (Chepalo Pelvik Dispropotion) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai
dengan ukuran kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan
secara normal. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang
membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalau oleh janin
ketikaakan lahir secara normal. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau
panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan normal
sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan
bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi
abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamasi Berat) adalah kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh
kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi,
preeklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternatal dan perinatal
paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnose dini amatlah penting, yaitu
mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3. KDP (Ketuban Pecah Dini) adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartus. Sebagian besar ketuban
pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu.
4. Bayi kembar, tak selamanya bayi kembar dilahirkan secara Sectio Caesarea. Hal ini
karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang
atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5. Faktor hambatan jalan lahir, adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir
yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan
pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
1) Letak kepala tengadah, bagian terbawah adalah puncak kepala, pada
pemerikasaan dalam teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan
panggul, kepala bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar
panggul.
2) Presentasi muka, letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang
terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
Presentasi dahi, posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi
terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasnya dengan
sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal
beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki
sempurna, presentasi bokong tidak sempurna dan presentasi kaki.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Martowirjo (2018), manifestasi klinis pada klien dengan post Sectio Caesarea
antara lain :
1. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan 600-800 ml.
2. Terpasang kateter, urin jernih dan pucat.
3. Abdomen lunak dan tidakada distensi.
4. Bising usus tidak ada.
5. Ketidaknyamanan untukmenghadapi situasi baru
6. Balutan abdomen tampak sedikit noda.
7. Aliran lokhia sedangdan bebas bekuan, berlebihan dan banyak
5. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan
bayi tidak dapat lahir secara normal/spontan, misalnya karena ketidakseimbangan ukuran
kepala bayi dan panggul ibu, keracunan kehamilan yang parah, pre eklampsia dan
eklampsia berat, kelainan letak bayi seperti sungsang dan lintang, kemudian sebagian
kasus mulut rahim tertutup plasenta yang lebih dikenal dengan plasenta previa, bayi
kembar, kehamilan pada ibu yang berusia lanjut, persalinan yang berkepanjangan,
plasenta keluar dini, ketuban pecah dan bayi belum keluar dalam 24 jam, kontraksi lemah
dan sebagainya. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan
yaitu Sectio Caesarea (Ramadanty, 2018). Sectio Caesarea merupakan tindakan untuk
melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gram dengan sayatan pada dinding uterus yang
masih utuh. Dalam proses operasi, dilakukan tindakan anastesi yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi. Efek anastesi juga dapat menimbulkan otot relaksasi dan
menyebabkan konstipasi.Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan,
penyembuhan dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada
pasien. Selain itu dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada
dinding abdomen sehinggga menyebabkan terputusnya inkontiunitas jaringan, pembuluh
darah, dan saraf-saraf disekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran
histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rangsangan pada area sensorik
sehingga menyebabkan adanya rasa nyeri sehingga timbullah masalah keperawatan nyeri
(Nanda Nic Noc, 2015).
Pathway
Kelainan letak janin, hipertensi, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tak maju, distorsio servik, disproporsi sefalopelvik,
palsenta previa, gawat janin, riwayat SC sebelumnya, ketidakmampuan ibu mengedan

SECTIO CAESAREA

Fisiologi Post Operasi Psikologi

Post Anastesi Luka Post Op Post Partum

↓ progesterone& estrogen
Lemah ↓ kerja pons Jaringan terputus Jaringan terbuka

Insisi abdomen ↑ oksitosin& Merangsang pertumbuhan


Imobilisasi Terputusnya
↓ kerja otot Distensi prolaktin kelenjar susu
kontinuitas
Bedrest eliminasi kandung
Terputusnya jaringan Involusi Uterus ↑ prolaktin
kemih
kontinuitas
Nyeri saat ↓ peristaltic
jaringan
usus ↓ Port d’entry Kontraksi Uterus Merangsang laktasi
bergerak
sensitivitas& dan oksitosin
Melepaskan
Rentang sensasi Invasi bakteri Atonia Uterus
Histamin, Ejeksi ASI
gerak ROM Konstipasi kandung
prostaglandin, Pendarahan
menurun kemih
bradikinin Risiko Infeksi
Vol. darah ↓ Efektif Tidak efektif
Gangguan Merangsang
Tidak mampu Eliminasi stimulus Kekurangan O2 Hemoglobin ↓ Nutrisi bayi Payudara bengkak
melakukan Urine nosiseptor terpenuhi
perawatan diri Hipoksia Bayi kurang
Nyeri Akut Kurangnya informasi mendapatkan ASI
perawatan payudara
Defisit Perawatan Diri Risiko Syok
Gangguan Mobilitas Fisik Menyusui tidak efektif
Defisit Pengetahuan
6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Martowirjo (2018), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada ibu Sectio
Caesarea adalah sebagai berikut :
1. Hitung darah lengkap.
2. Golongan darah (ABO),dan pencocokan silang, tes Coombs Nb.
3. Urinalisis : menentukn kadar albumin/glukosa.
4. Pelvimetri : menentukan CPD.
5. Kultur : mengidentifikasi adanya virus heres simpleks tipe II.
6. Ultrasonografi : melokalisasi plasenta menetukan pertumbuha,kedudukan, dan
presentasi janin.
7. Amniosintess : Mengkaji maturitas paaru janin.
8. Tes stres kontraksi atau non-stres : mengkaji respons janin
9. Terhadapgerakan/stres dari polakontraksi uterus/polaabnormal.
10. Penetuan elektronik selanjutnya :memastikan status janin/aktivitas uterus.
7. Penatalaksanaan
Menurut Ramadanty (2019), penatalaksanan Sectio Caesarea adalah sebagai berikut :
1. Pemberian Cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan per
intavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi,
dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan
biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan
tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai
kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan per oral. Pemberian minuman dengan
jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 sampai 8 jam pasca operasi, berupa
air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi : Miring kanan dan kiri dapat dimulai
sejak 6 sampai 10 jam setelah operasi, Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita
sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar, Hari kedua post operasi,
penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya, Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi
setengah duduk (semifowler), Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari,
pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian
berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca operasi.
4. Katerisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan
penderita.
5. Pemberian Obat-Obatan
Antibiotik cara pemilihan dan pemberian antibiotik sangat berbeda-beda sesuai
indikasi.
6. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
Obat yang dapat di berikan melalui supositoria obat yang diberikan ketopropen sup
2x/24 jam, melalui orang obat yang dapatdiberikan tramadol atau paracetamol tiap 6
jam, melalui injeksi ranitidin 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu.
7. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit C.
8. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah harus
dibuka dan diganti.
9. Pemeriksaan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah,
nadi,dan pernafasan.
10. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri.7
8. Komplikasi
Menurut NANDA NIC-NOC (2015) Sectio Caesarea komplikasi pada pasien Sectio
Caesarea adalah :
1. Komplikasi pada ibu Infeksi puerperalis, bisa bersifat ringan seperti kenaikan suhu
selama beberapa hari dalam masa nifas, atau bersifat berta seperti peritonitis, sepsis
dan sebagainya. Infeksi postoperatif terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada
gejala-gejala yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama
khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Perdarahan, bisa
timbul pada waktu pembedahan jika cabang cabang arteri uterina ikut terbuka atau
karena atonia uteri. Komplikasikomplikasi lain seperti luka kandung kencing dan
embolisme paru. suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kuatnya perut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa ruptur uteri.
Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah Sectio Caesarea.
2. Komplikasi-komplikasi lain
Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih, dan embolisme paru.
3. Komplikasi baru
Komplikasi yang kemudian tampak ialah kurang kuatnya parut pada dinding uterus,
sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptur uteri. Kemungkinan peristiwa
ini lebih banyak ditemukan sesudah Sectio Caesarea Klasik.

C. Konsep Asuhan keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Identitas Klien Meliputi : nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa,
pekerjaan, pendidikan, status pernikahan, tanggal masuk rumah sakit, nomor
registrasi, dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama pada post operasi Sectio Caesarea biasanya adalah nyeri dibagian
abdomen akibat luka jahitan setelah operasi, pusing dan sakit pinggang.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan sekarang berisi tentang pengkajian data yang dilakukan
untuk menentukan sebab dari dilakuakannya operasi Sectio Caesarea seperti
kelainan letak bayi (letak sungsang dan letak lintang), faktor plasenta (plasenta
previa, solution plasenta, plasenta accrete, vasa previa), kelainan tali pusat
(prolapses tali pusat, telilit tali pusat), bayi kembar (multiple pregnancy), pre
eklampsia, dan ketuban pecah dini yang nantinya akan membantu membuat
rencana tindakan terhadap pasien. Riwayat pada saat sebelum inpartus di
dapatkan cairan yang keluar pervaginan secara spontan kemudian tidak di ikuti
tanda-tanda persalinan.
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
Didapatkan data klien pernah riwayat Sectio Caesarea sebelumnya, panggul
sempit, serta letak bayi sungsang. Meliputi penyakit yang lain dapat juga
mempengaruhi penyakit sekarang, seperti danya penyakit Diabetes Melitus,
jantung, hipertensi, hepatitis, abortus dan penyakit kelamin.
3) Riwayat Perkawinan
Pada riwayat perkawinan hal yang perlu dikaji adalah menikah sejak usia
berapa, lama pernikahan, berapa kali menikah, status pernikahan saat ini.
4) Riwayat Obstetri
Pada pengkajian riwayat obstetri meliputi riwayat kehamilan, persalinan dan
nifas yang lalu, berpa kali ibu hamil, penolong persalinan, dimana ibu bersalin,
cara bersalin, jumlah anak, apakah pernah abortus, dan keadaan nifas post
operasi Sectio Caesareayang lalu.
5) Riwayat Persalinan Sekarang
Meliputi tanggal persalinan, jenis persalinan, lama persalinan, jenis kelamin
anak, keadaan anak
6) Riwayat KB
Pengkajian riwayat KB dilakukan untuk mengetahui apakah klien pernah ikut
program KB, jenis kontrasepsi, apakah terdapat keluhan dan masalah dalam
penggunaan kontrasepsi tersebut, dan setelah masa nifas ini akan menggunakan
alat kontrasepsi apa.
7) Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah penyakit turunan dalam keluarga seperti jantung, Hipertensi, TBC,
Diabetes Melitus, penyakit kelamin, abortus yang mungkin penyakit tersebut
diturunkan kepada klien
d. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Aktivitas
Aktivitas klien terbatas, dibantu oleh orang lain untuk memenuhi keperluannya
karena klien mudah letih, klien hanya isa beraktivitas ringan seperti : duduk
ditempat tidur, menyusui
2) Pola Eliminasi
Klien dengan pos partum biasanya sering terjadi adanya perasaan sering/susah
kencing akibat terjadinya odema dari trigono, akibat tersebut menimbulkan
inpeksi uretra sehingga menyebabkan konstipasi karena takut untuk BAB
3) Pola Istirahat dan Tidur
Klien pada masa nifas sering terjadi perubahan pola istirahat dan tidur akibat
adanya kehadiran sang bayi dan nyeri jahitan
4) Pola Hubungan dan Peran Klien akan menjadi ibu dan istri yang baik untuk
suaminya
Pola Penanggulangan Stress Klien merasa cemas karena tidak bisa mengurus
bayinya sendiri
5) Pola Sensori Kognitis Klien merasakan nyeri pada prineum karena adanya luka
janhitan akibat Sectio Caesarea
6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Klien merasa dirinya tidak seindah sebelum hamil, semenjak melahirkan klien
menalami perubahan pada ideal diri
7) Pola Reproduksi dan Sosial
Terjadi perubahan seksual atau fungsi seksualitas akibat adanya proses
persalinan dan nyeri ekas jahitan luka Sectio Caesarea
e. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda - Tanda Vital
Apabila terjadi perdarahan pada post partum tekana darah turun, nadi cepat,
pernafasan meningkat, suhu tubuh turun
2) Kepala
➢ Rambut
Bagaimana bentuk kepala, warna rambut, kebersihan rambut, dan apakah
ada benjolan
➢ Mata
Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva, dan
kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses
persalinan yang mengalami perdarahan, sclera kuning
➢ Telinga
Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana kebersihannya,
adakah cairan yang keluar dari telinga
➢ Hidung Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum
kadangkadang ditemukan pernapasan cuping hidung
➢ Mulut dan Gigi
Mulut bersih / kotor, mukosa bibir kering / lembab
3) Leher
Saat dipalpasi ditemukan ada / tidak pembesaran kelenjar tiroid, karna adanya
proses penerangan yang salah.
4) Thorax
➢ Payudara
➢ Simetris kiri dan kanan, tidak ada kelainan pada payudara, areola hitam
kecoklatan, putting susu menonjol, air susu lancer dan banyak keluar
➢ Paru-Paru
Inspeksi : Simetris / tidak kiri dan kanan, ada / tidak terlihat pembengkakan
Palpasi : Ada / tidak nyeri tekan, ada / tidak teraba massa
Perkusi : Redup / sonor
Auskultasi: Suara nafas Vesikuler / ronkhi / wheezing
➢ Jantung
Inspeksi : Ictus cordis teraba / tidak
Palpasi : Ictus cordis teraba / tidak
Perkusi : Redup / tympani
Auskultasi: Bunyi jantung lup dup
5) Abdomen
Inspeksi : Terdapat luka jahitan post op ditutupi verban, adanya
striegravidarum Palpasi : Nyeri tekan pada luka,konsistensi uterus lembek /
keras
Perkusi : Redup
Auskultasi : Bising usus
6) Genetalia
Pengeluaran darah bercampur lender, pengeluaran air ketuban, bila terdapat
pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam kandungan
menandakan adanya kelainan letak anak
7) Ekstremitas
Pemeriksaan odema untuk melihat kelainan-kelainan karena membesarkan
uterus, karena pre eklamsia atau karena penyakit jantung atau ginjal.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi : pelepasan mediator nyeri
(histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section
caesarea).
b. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas operas.i
c. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur
pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kendali otot yang
ditandai dengan ADL bergantung terhadap orang lain ataupun alat, gerak otot
kurang terkoordinasi
3. Rencana Tindakan atau Intervensi Keperawatan

No Nama Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional

1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri


berhubungan dengan keperawatan selama 2 x 24 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Untuk mengetahui skala nyeri
agen cedera biologi : jam diharapkan nyeri durasi, frekuensi, kualitas, dan perkembangan nyeri yang
pelepasan mediator berkurang dengan kriteria intensitas nyeri dirasakan pasien
nyeri (histamin, hasil : 2. Berikan prinsip-prinsip manajemen 2. Memberikan rasa nyaman
prostaglandin) akibat nyeri seperti teknik relaksasi kepada pasien
Tingkat Nyeri
trauma jaringan dalam 3. Edukasi klien dan keluarga klien 3. Untuk menambah pengetahuan
pembedahan (section 1. Nyeri yang dilaporkan dengan memberikan informasi klien dan keluarga mengenai
caesarea). berkurang dengan skala mengenai nyeri seperti penyebab nyeri yang dirasakan oleh
nyeri dengan rentang 0-10 nyeri dan antisipasi dari pasien
2. Ekspresi wajah tidak ketidaknyamanan akibat prosedur
meringis dan merintih
3. Nadi kembali normal (80- 4. Kolaborasi dengan keluarga pasien 4. Memberikan rasa nyaman dan
100x/menit) dan tim kesehatan lainnya untuk mengurangi kegelisahan pasien
4. Tidak tampak gelisah memilih dan
mengimplementasikan tindakan
penurunan nyeri nonfarmakologi
dan farmakologi sesuai kebutuhan
2. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau TTV dan tanda-tanda 1. Mengetahui keadaan umum
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 infeksi pasien dan adanya tanda-tanda
trauma jaringan / luka jam, Diharapkan tidak terjadi infeksi
kering bekas operasi infeksi. Dengan kriteria hasil: 2. Kaji luka perineum/episiotomy, kaji 2. Mengidentifikasi
1. Tidak ada tanda infeksi keadaan jahitan. penyimpangan dan kemajuan
(calor, rubor, dolor, sesuai intervensi yang
tumor, fungsiolaesa ) 3. Anjurkan pasien membasuh vulva dilakukan.
2. Luka episiotomi kering setiap habis berkemih dengan cara 3. Keadaan luka perineum
dan bersih yang benar berdekatan dengan daerah
3. TTV dalam batas normal basah mengakibatkan
kecenderunagn luka untuk
selalu kotor dan mudah terkena
infeksi.
4. Mencegah infeksi secara
4. Pertahankan teknik septik aseptik
dini dan mencegah kontaminasi
dalam merawat pasien (merawat
silang terhadap infeksi.
luka perineum, merawat payudara,
5. Antibotik diberikan untuk
merawat bayi).
mencegah infeksi
5. Kolaborasi pemberian antiobiotik
6. Peningkatan WBC
6. Kolaborasi pemeriksaan
merupakan salah satu indikator
laboratorium terutama WBC
terjadinya infeksi
3. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan 1. Jelaskan semua prosedur termasuk 1. Untuk memberikan
dengan kurangnya tindakan keperawatan sensasi yang akan dialami klien informasi pada klien
informasi tentang 3x24 jam diharapkan selama prosedur mengenai tindakan yang
prosedur Ansietas pasien berkurang akan diberikan dan
pembedahan, dengan kriteria hasil : menentukan arah dan
penyembuhan dan 1. Kecemasan pasien kemungkinan pilihan /
perawatan post berkurang intervensi.
operasi. 2. Pasien dapat 2. Gunakan pendekatan yang tenang
2. Untuk menghilangkan
beristirahat dan meyakinkan
ansietas berkenaan
denganketidaktahuan dan
membantu keluarga
mengenai stress, membuat
keputusan, dan beradaptasi
secara positif terhadap
3. Anjurkan mengambil psosisi
pilihan
nyaman
4. Libatkan keluarga untuk 3. Agar pasien merasa tenang
mendampingi klien dengan cara
yang tepat 4. Agar pasien merasa lebih
nyaman dan tenang

4. Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan asuhan Dukungan Ambulasi


Fisik berhubungan keperawatan selama … x 24 1. Monitor lokasi dan kecenderungan 1. Untuk mengetahui bagian
dengan nyeri, jam diharapkan gangguan adanya nyeri dan ketidaknyamanan tubuh mana yang harus
kerusakan integritas mobilitas fisik teratasi selama pergerakan/aktivitas ditekankan dan tidak
struktur tulang, dengan kriteria hasil: dilakukannya
gangguan pergerakan/mobilisasi
Mobilitas Fisik
musculoskeletal, 2. Terapkan atau sediakan alat bantu 2. Membantu memfasilitasi pasien
penurunan kekuatan 1. Dapat menopang berat (tongkat atau kursi roda) untuk ketika melakukan ambulasi
otot, kecemasan badan ambulasi

2. Dapat berjalan dengan 3. Agar pasien dapat berjalan dan


3. Bantu pasien untuk berdiri dan
langkah yang efektif berativitas seperti semula
ambulasi dengan jarak tertentu
4. ROM dapat melatih pergerakan
3. Dapat berjalan dengan 4. Dukung latihan ROM aktif, sesuai sendi dan otot yang kaku
pelan jadwal yang teratur 5. ROM dapat melatih pergerakan

4. Gerakan otot optimal 5. Lakukan latihan ROM pasif atau sendi dan otot yang kaku

dengan tonus otot ROM dengan bantuan 6. Agar pasien dan keluarga dapat
6. Edukasi pasien dan keluarga mandiri melakukan latihan
5555 5555 mengenai pemindahan dan teknik ambulasi dengan cara yang
5. Bisa menjaga ambulasi yang aman aman bagi pasien
keseimbangan 7. Edukasi untuk menambah
6. Pasin mampu melakukan pemahaman klien dan keluarga
ROM aktif maupun pasif dan mendorong untuk
7. Edukasi klien dan keluarga
melakukan latihan yang telah
mengenai manfaat dan tujuan
dinstruksikan
melakukan latihan sendi
8. Agar latihan ambulasi pasien
dapat dilakukan secara teratur
dan terarah
8. Kolaborasikan dengan ahli terapi
fisik mengenai rencana ambulasi
sesuai kebutuhan
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan/implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status Kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan
(Dokumentasi Keperawatan, 2017).
5. Evaluasi Keperawatan

No Hari/ Nama.Diagnosa Evaluasi Nama dan


Tgl/Jam TTD
1. Nyeri Akut S=Data yang disampaikan langsung oleh
klien/keluarga
O= Nyeri yang dilaporkan berkurang
dengan skala nyeri dengan rentang 0-10,
Ekspresi wajah tidak meringis dan
merintih, Nadi nalisa normal (80-
100x/menit)
A=Apakah kriteria hasil pada intervensi
tercapai, tercapai nalisa dan /atau
tidak tercapai
P=Planning/Rencana yang dibuat
berdasarkan hasil nalisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
2 Resiko Infeksi S= Data yang disampaikan langsung
oleh klien/keluarga
O= tidak adanya tanda-tanda infeksi

A=Apakah kriteria hasil pada intervensi


tercapai, tercapai sebagian dan /atau
tidak tercapai
P=Planning/Rencana yang dibuat
berdasarkan hasil analisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
3. Ansietas S=Data yang disampaikan langsung oleh
klien/keluarga

O= Kecemasan pasien berkurang, dan


pasien dapat beristirahat

A=Apakah kriteria hasil pada intervensi


tercapai, tercapai sebagian dan /atau
tidak tercapai

P=Planning/Rencana yang dibuat


berdasarkan hasil analisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
4. Gangguan S= Data yang disampaikan langsung
Mobilitas Fisik oleh klien/keluarga
O= Dapat menopang berat badan, dapat
berjalan dengan langkah yang efektif,
dapat berjalan dengan pelan
A=Apakah kriteria hasil pada intervensi
tercapai, tercapai sebagian dan /atau
tidak tercapai
P=Planning/Rencana yang dibuat
berdasarkan hasil analisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
DAFTAR PUSTAKA

Data dan Informasi Kemenkes RI. (2017). Jumlah ibu bersalin/nifas menurut provinsi Tahun
2017. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indo
nesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2017.pdf. (Diakses 21
November 2018).

Desi M. (2017). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Sectio Caesarea. Fakultas
Ilmu Kesehatan. Universitas ‘Aisyiyah : Yogyakarta Des Metasari Dan Berlian
Kando Sianipar. (2018). “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Nyeri
Post Operasi Sectio Caesarea Di RS. Raflessia Bengkulu”. Journal of Nursing and
Public Health (JNPH) Volume 6 No. 1 (April 2018) © The Author(s) 2018

Dian Nurani, Femmy Keintjem, dan Fredrika Nancy Losu.(2015). “Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Sectio Caesarea”. JIDAN
Jurnal Ilmiah Bidan Volume 3 Nomor 1. Januari – Juni 2015 ISSN : 2339-1731

Novianti Sihombing, Ika Saptarini, dan Dwi Sisca Kumala Putri.(2017).“Determinan Persalinan
Sectio Caesarea Di Indonesia (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2013)”. Jurnal
Kesehatan Reproduksi, 8(1), 2017: 63-75 DOI: 10.22435/kespro.v8i1.6641.63-75

PPNI DPD SDKI Pokja Tim, 2018. Standar Diagnosa keperawatandioleh Indonesia
Edisi pada1 : Jakarta : DPP PPNI

PPNI SIKI Pokja Tim, 2018. Standar Intervensi keperawatanpada Indonesia padaEdisi
1 : Jakarta : DPP PPNI
PPNI SLKI Pokja Tim, 2018. Standar Luaran padaKeperawatan Indonesiayaitu Edisi
1 : Jakarta : DPP PPNI

Susilo Rini dan Indri Heri Susanti.(2018).“Penurunan Nyeri Pada Ibu Post Sectio Caesaria Pasca
Intervensi Biologic Nurturing Baby Led Feeding”. MEDISAINS: Jurnal Ilmiah
Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 16 No 2, AGUSTUS 2018

Anda mungkin juga menyukai