Naskah Putri Lia

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 11

Putri Lia

Tokoh:
1. Lia
2. Ayah Lia (Marhan)
3. Ibu Lia (Martina)
4. Matjitu
5. Asisten Matjitu (Burhan)
6. Santi (Dukun)
7. Bu Lurah: Akbar
8. Pemancing
9. Warga 1
10. Warga 2

Adegan 1
Dahulu kala, pernah hidup seorang kembang desa yang begitu cantik. Gadis
cantik itu tinggal di Desa Soak Baru. Orang-orang biasa memanggil gadis itu
dengan nama Lia. Karena kecantikannya, banyak pemuda yang mengagumi Lia
dan ingin menjadikan Lia sebagai isterinya. Salah satu dari kebanyakan itu adalah
Matjitu, pemuda desa yang terkenal kaya raya.
Di depan rumahnya, Lia sedang menyapu halaman. Tidak lama kemudia n,
lewatlah seorang pemuda yang tidak lain adalah Burhan, Asistennya Matjitu.
Burhan begitu terpesona melihat kecantikan Lia. Sebelumnya, Lia memang
jarang keluar rumah. Sementara Burhan, ia juga jarang melewati jalan itu.
Lia : “Udara di luar rumah ternyata begitu segar. Lebih segar dari
apa yang sering diceritakan ibu.” Sambil menyapu dedaunan.
“Hem, ternyata benar tidak semua hal yang kita miliki dapat
dinikmati dengan tenang. Menjadi cantik rupanya cukup
merepotkan. Aku harus berdiam diri di rumah seharian agar
tidak dilihat oleh mereka-mereka yang gila wanita.” Lia
melanjutkan. Untuk keluar rumah, aku harus menunggu ibu dan
ayah pergi ke sawah. Hemm.” Tutup lia dengan sedikit
mengeluh.
Tak lama kemudian, lewatlah Burhan di depan rumah Lia.
Burhan : (Tiba-tiba, datanglah Burhan dengan agak tergopoh-gopoh
karena sedang mencari Tuannya yang pergi duluan
meninggalkan dirinya). “Hu hu hu (menghela napas). Nona,
adakah engkau melihat tuanku lewat sini?”
Lia : “Tuanmu? Siapa tuanmu? Aku dari tadi berada di sini tidak
melihat ada orang yang lewat.” Jawab Lia
Burhan : “Kamu tidak tahu siapa tuanku?” Agak terkejut karena tidak
tahu dengan orang terkaya di desanya
Lia : “Aku benar-benar tidak tahu dan sebenarnya juga tidak ingin
tahu.” Jawab Lia
Burhan : “Tuan Matjitu, tidakkah kau tahu siapa dia? Orang paling kaya
di wilayah ini.”
Lia : “Oohhh begitu.” Jawab Lia santai.
Burhan : “Ngomong-ngomong, engkau siapa? Rasanya, saya baru kali
ini melihatmu di desa ini. Apakah kamu penduduk yang baru
pindah ke sini?”
Lia : (Senyum dan menggeleng) “Tidak, saya sudah lama tinggal di
sini, dari lahir bahkan, hanya saja saya memang jarang keluar
rumah.”
Burhan : “Oh, begitu rupanya, siapa namamu?”
Lia : “Lia.” Jawab Lia singkat.
Burhan : “Tidak maukah kau bertanya siapa namaku?
Lia : “Diam dan menggelengkan kepala...”
Burhan : “Nama saya Burhan. Kebetulan, saya adalah tangan kanannya
orang terkaya di desa ini, Tuan Matjitu.”
Lia : “Oh, asisten Matjitu, ya?”
Burhan : “Iya, senang bertemu denganmu, Lia.”
Lia : (Mengangguk dan sedikit ketakutan).
Kemudian, datanglah Matjitu dan melihat keduanya sedang berbincang.
Matjitu : Dari kejauhan Matjitu bergumam, “Bukankah itu Burhan?
Burhan, kemarilah”. Panggil Matjitu
Burhan : “Iya Tuan. Tuan darimana saja? Saya dari tadi mencari-cari
tuan.”
Matjitu : “Tidak usah dipikirkan. Itu siapa?” Menunjuk Lia.
Burhan : “Itu Lia tuan. Anaknya Pak Marhan dan Ibu Martina”.
Matjitu : “Cantik pula rupanya anak Si Miskin ini”. Lalu, Matjitu pun
berjalan ke arah Lia.
Matjitu : “Semula, aku mengira hanya pelangi yang indah, hanya
bunga-bunga yang memesona, dan bidadari itu cerita khayalan
belaka. Ternyata, aku salah. Engkaulah yang paling indah,
cantik, dan memesona, bidadariku”. Matjitu memulai
percakapan dengan Lia.
Lia : “Kau ini pasti tuannya si dia, siapa tadi? Matjitu?”
Matjitu : “Aku sungguh terharu engkau sudah tahu namaku”, goda
Matjitu.
Lia : “Tidak usah banyak bicara, pergilah! Menjauh dari
rumahku.”
Matjitu : “Sabar Lia, janganlah marah-marah. Nanti kecantikanmu bisa
luntur oleh amarahmu”.
Lia : “Pergilah!”
Matjitu : “Baiklah kalo begitu, kami pamit pergi. Titip salam untuk
ayah dan ibu”. Matjitu dan Burhan pun beranjak pergi
meninggalkan Lia.
Sapu yang dipegangnya tanpa sadar terjatuh. Lia masuk rumah karena agak
ketakutan setelah kehadiran Matjitu. Kemudian, pulanglah ibu Lia.
Martina : (Bingung karena sapu lidinya tergeletak di depan rumah. Tidak
seperti biasa, segera ia memanggil Lia). “Lia, Lia....?”
Lia : “Iya Bu, ada apa? Ibu sudah pulang?”
Martina : “Iya, ibu pulang. Tadi hati ibu seperti merasa ada yang tidak enak.
Makanya ibu pulang. Kamu baik-baik saja kan?”
Lia : “Alhamdulillah Bu, Lia baik-baik aja. Eemm, hanya saja, tadi ada
Matjitu”.
Martina : Agak terkejut mendengar perkataan Lia, “Hah? Kok kamu bisa
bertemu dengannya? Kan ibu sudah bilang, kamu tidak usah keluar
rumah”.
Lia : “Iya Bu, tadi Lia agak bosan di dalam rumah terus, makanya
keluar, menyapu halaman rumah sekalian mencari angin segar. Eh,
ga lama datanglah orang itu”.
Martina : “Lia, kamu tidak boleh bertemu dengannya lagi, ingat itu! Ibu
tidak mau kamu dijadikan Matjitu sebagai isterinya”.
Lia : “Iya Bu, aku pun tidak mau dengannya”.
Martina : “Ya sudah, kalau begitu kita ke dalam rumah saja”. Sambil
melangkah masuk rumah Lia

Adegan 2
Matjitu sungguh terpesona dengan kecantikan Lia. Ia pun berniat untuk
melamar putri Marhan tersebut. Keesokan harinya, Matjitu bersama Burhan pergi
ke rumah Lia. Keduanya berangkat ke rumah Lia dengan penuh percaya diri. Ia
begitu yakin bahwa lamarannya akan diterima. Tentu ini karena ia merasa bahwa
Lia tidak akan menolak lamaran orang paling kaya di wilayah tersebut.
Burhan : Tok, tok, tok (mengetuk pintu). “Permisi, Tuan Matjitu
ingin bertandang ke sini. Adakah orang di dalam?”
Martina : “Iyaaa, ada”. Sahut Martina dari dalam yang kemudian
membukakan pintu.
(Agak kaget) Kalian siapa ya? Ada yang bisa saya bantu?
Burhan : “Saya Burhan Bu. Ini Tuan Matjitu”, sambil menunjuk ke
arah Matjitu. “Kami datang ke sini ingin menyambung tali
silaturahim. Adakah Pak Marhan di dalam?”, Tanya Burhan
sambil tersenyum.
Martina : “Oh iya ada. Pak Marhan di dalam. Silakan duduk. Saya
panggilkan dulu...”.
(Kemudian keluarlah Marhan dan langsung duduk di sebelah Marhan. Lalu,
Marhan meminta kepada isterinya untuk menyiapkan air minum untuk kedua
tamunya).
Marhan : “Bu, tolong ambilkan air untuk tamu kita”.
Ibu Lia : “Oh iya pak”. Kembali masuk rumah, mengambil air.
Marhan : Marhan memulai pembicaraan dengan berkata, “Sebelumnya,
saya belum begitu kenal dengan Anda karena memang baru kali
ini bertemu langsung. Namun, nama Anda cukup sering
diperbincangkan orang-orang sekitar sini”.
Matjitu : “Benarkah demikian Pak?” Jawab Matjitu dengan senyum
palsunya.
Marhan : “Benar. Orang-orang sering mengatakan kalau Anda biasa
memberi modal para pedagang yang membutuhkan”.
Matjitu : “Yah, kurang lebih begitulah pak. Maklum, saya punya cukup
banyak uang dan orang-orang sekitar sini sering datang ke rumah
saya untuk diberikan modal”, ujar Matjitu dengan sedikit
sombong”.
Marhan : “Lantas, kalau Anda datang ke sini untuk memberi kami
pinjaman, lebih baik Anda ke rumah orang lain saja.
Alhamdulilah, kami masih bisa memenuhi kebutuhan kami
sehari-hari”.
Matjitu : “Ooohh, tentu tidak Pak (sedikit tertawa). Anda tidak perlu
tersinggung”.
Matjitu kemudian melanjutkan sambil berdiri, “Kami datang ke
sini ingin melamar Lia untuk menjadi isteri saya”.
Marhan : “Jujur, saya cukup kaget kamu datang ke sini ingin melamar
putriku. Namun, iya atau tidaknya, sepenuhnya saya sepenuhnya
ke Lia. Saya sebagai orang tua akan mendukung apapun
keputusan Lia.
Matjitu : “Maksudnya apapun itu gimana Pak?”
Marhan : “Iya, menerima atau menolak itu sepenuhnya hak Lia. Saya
sebagai orang tua tidak bisa memaksa”.
(Kemudian, Lia keluar membawa air dan tanpa sengaja mendengar pembicaraan
tersebut).
Lia : “Apa?” Jawab Lia dengan kaget.
Matjitu : “Aku, orang terkaya di wilayah ini ingin meminangmu menjadi
istriku Lia”, jawab Matjitu dengan yakin. “Kalau kamu menjadi
istriku, kamu akan hidup bahagia Lia. Kita tidak akan tinggal di
rumah reot seperti ini”. Sambung Matjitu.
Lia : “Tidak ayah, aku tidak mau menikah dengannya. Tidak akan.”
Matjitu : (Matjitu pun sudah mulai agak marah)
Marhan : “Kamu sudah mendengar sendiri kan Matjitu? Lia tidak mau
menikah denganmu”.
Matjitu : “Maksud kalian apa? Kamu menolakku Lia, hah? Kamu
menolak orang paling kaya di wilayah ini? Kamu yakin tidak
akan menyesal?” Kemarahan Matjitu pun sudah memuncak.
Marhan : Marhan pun berdiri di depan Matjitu, “Menurutku, jawaban
putriku sudah jelas Matjitu. Dia tidak mau menikah denganmu.
Sekarang, kamu bisa pergi!”
Kemarahan Matjitu kini tak tertahankan. Ia pun menyerang Marhan dengan
pukulan yang masih bisa dihindari Marhan.
Matjitu : “Dasar orang miskin!” Sambil menyerang Marhan.
(Terjadilah pertengkaran. Namun, dengan beraninya, pertengkaran tersebut
dilerai oleh Burhan).
Burhan : “Cukup tuan, cukup tuan. Tidak enak nanti diliat warga sekitar.
Lebih baik kita pulang”.
Matjitu : “Kalian akan menyesal karena telah menolakku”, tutup Matjitu
dengan segera meninggalkan rumah Lia.

Adegan 3
Matjitu pulang dengan keadaan marah dan kecewa. Dia merencanakan
untuk menjahati Lia. Matjitu pun menemui seorang dukun yang bernama
Santi. Dia meminta Santi untuk membuat Lia sakit cacar yang parah dan
mengeluarkan bau busuk.
Matjitu mendatangi tempat Santi bertapa. Santi sedang duduk di atas
batu. (Santi yang tadinya memejamkan mata lantas membuka matanya dengan
posisi tangan di atas kedua pahanya).
Santi : (Saat Matjitu belum terlalu dekat dengan Santi, Santi sudah
memulai pembicaaran. Padahal Santi masih dalam kondisi mata
tertutup). “Hei, Matjitu. Ada apa kamu ke sini? Apa yang perlu
saya lakukan untukmu? Hahaha...”. Lanjut Santi dengan
tertawa jahat.
Matjitu : “Saya ke sini untuk meminta bantuanmu Santi”. Ujar Matjitu
dengan sopannya.
Santi : “Saya harap kamu tidak seperti kebanyakan orang. Datang
menemui dengan penuh sopan santun hanya untuk meminta
bantuan. Setelah selesai, kembalilah mereka ke tabiat asli yang
seperti setan, hahaha.... Lanjut Santi dengan tertawa”.
Matjitu : “Tenanglah, saya tidak seperti orang-orang yang kamu
ceritakan.”
Santi : “Baiklah, semoga memang begitu. Nah, sekarang apa yang bisa
saya bantu?”. Ujar Santi
Matjitu : “Saya mencintai seorang gadis. Lalu, saya melamarnya untuk
menjadi pendamping hidup saya”. Matijtu belum selesai
berbicara, Santi memotong.
Santi : “Begitulah harusnya laki-laki. Membuktikan cinta dengan
menikah. Lalu, di mana masalahnya?” Ujar Santi.
Matjitu : “Di sini masalahnya, gadis yang saya cintai itu bernama Lia.
Tapi, dia dengan begitu teganya menolak pinangan saya. Saya
sungguh sakit hati, Santi. Saya ingin dia menderita karena telah
berani menolak lamaran saya”. Jawab Matjitu dengan penuh
kebencian.
Santi : “Hahaha. Saran saya kamu cari saja gadis lain saja, Matjitu”.
Matjitu : “Kamu jangan tertawa, saya ke sini ingin dia menderita, bukan
mendengar nasehatmu”. Ujar Matjitu dengan agak kesal.
Santi : “Kamu mau dia seperti apa memangnya, Matjitu?”
Matjitu : “Berikan dia penyakit yang mengeluarkan bau busuk, agar
tidak ada lagi laki-laki yang menyukainya. Saya ingin dia
menyesal. Saya akan membayarmu mahal jika kamu dapat
mengabulkan permintaan saya. Paham kamu?” Ujar Matjitu
dengan angkuh dan penuh ambisi.
Santi : “Hahaha, itu sangatlah mudah, tuan. Jangan khawatir, akan
aku lakukan itu”. Jawab Santi dengan santainya.
Santi kemudian melanjutkan dengan membaca mantranya, “Hai
penguasa alam kegelapan, setan wahai rajaku, demi ilmu hitam,
berikanlah gadis ini yang bernama Lia penyakit cacar yang
parah, yang mengeluarkan nanah dan bau busuk. Aku telah
mengorbankan banyak untukmu, kabulkanlah permintaa nk u
ini”. Pinta Santi dengan memejamkan mata.
“Sekarang kamu pulanglah, tuan. Aku sudah urus
permintaanmu, jangan khawatir”. Ujar Santi menyakinkan.
Matjitu : “Terima kasih, Santi. Ini ada uang untukmu”, ujar Matjitu
dengan menyerahkan sejumlah uang.
“Uang ini akan aku tambahkan kalau Lia sudah mendapatkan
penyakit yang pantas untuknya”.
Adegan 4
Hanya karena cintanya bertepuk sebelah tangan Matjitu rela membuat Lia
menderita. Lia kemudian mengalami sakit cacar yang parah bahkan sampai
mengeluarkan bau busuk yang mengganggu warga desa. Karena itu, mereka ingin
Lia diusir dari desa. Akhirnya, ketua adat pun menerima keluhan warga. Ketua adat
pun dengan begitu arifnya berbicara kepada orang tua Lia agar Lia bisa diberikan
rumah yang jauh dari pemukiman warga.
Ketua adat : “Permisi, Pak Marhan, Bu Martina. Adakah di rumah?” Ujar
ketua adat memanggil kedua orang tua Lia yang berada di rumah
Martina : “Ada”, jawab Martina dari dalam rumah. “Oh Bu Ani, mari Bu
silakan duduk. Ga biasanya ketua adat datang ke sini. Sepertinya ada
hal penting yang ingin disampaikan” ujar Martina dengan ekspresi
penasaran”.
Ketua adat : “Iya Bu, jadi begini: akhir-akhir ini saya sering menerima
keluhan dari masyarakat di sini Bu”. Bu Ani memula i
pembicaraan dengan hati-hati dan perasaan tidak enak.
Marhan : “Maksud ibu tentang penyakit yang diderita Lia?”
Ketua adat : “Benar Pak, masyarakat banyak mengeluhkan bau busuk yang
timbul dari badan Lia akibat cacar tersebut. Sejauh ini, apakah
penyakit Lia sudah ada yang menanganinya? Karena, kasus cacar
Lia yang seperti ini baru pertama kali terjadi di wilayah ini.
Martina : “Kami sudah membawa Lia ke beberapa tabib terbaik dari desa
manapun, namun tidak membuahkan hasil sama sekali,”
Ketua adat : Penyakit Lia ini serius sekali. Jika dibiarkan lebih lama lagi,
warga akan makin tidak tahan dengan bau busuknya. Bisa jadi
penyakit Lia ini akan menularkan ke banyak warga lainnya, Pak
Bu” lanjut Bu Ani dengan ikut sedih.
Marhan : “Sungguh kami tidak tahu harus berbuat apa lagi Bu.” Ujar Ayah
Lia
Martina : “Jujur, kami sangat kasihan melihat Lia dikucilkan para warga,
bahkan ada yang ingin Lia meninggal saja,” sambung ibu Lia
dengan mata yang mulai basah.
Ketua adat : “Begini saja pak Marhan, Bu Martina, saya kebetulan punya
rumah kecil yang akan saya jual dipinggir danau. Bagaimana jika
Lia untuk sementara waktu tinggal di sana sambil menunggu
penyakitnya sembuh?” Bu Ani menawarkan.
Martina : “Harga rumah itu berapa Bu? Kami tidak punya uang untuk
membeli rumah?”
Ketua adat : “Tempati saja Pak, Bu tidak apa-apa. Sampai saat ini kebetulan
belum ada yang berminat untuk membeli. anggap saja rumah
tersebut saya pinjamkan untuk sementara waktu”.
Marhan : “Saya dengar ada buaya kuning tinggal di danau tersebut Bu?”
Ketua adat : “Rumornya saja pak Bu. Saya sendiri kebetulan belum pernah
melihatnya. Tapi, untuk jaga-jaga, Lia tidak usah ke pinggir
danau”. Bu Ani menyarankan.
Martina : “Lalu, bagaimana cara Lia mandi dan mencuci Bu?” Tanya Ibu
Lia
Ketua adat : “Tenang Bu, ada sumur di belakang rumah tersebut. Jadi, Lia
tidak perlu pergi ke pinggir danau untuk mandi dan mencuci”.
Martina : “Baik Bu, terima kasih banyak atas bantuannya. Saya tidak tahu
bagaimana membalas kebaikan ibu”
Ketua adat : “Iya Pak, Bu sama-sama. Tidak usah dipikirkan. Sudah menjadi
tugas saya sebagai ketua adat untuk membantu warga di sini.”
Ujar Bu Ani. Kemudian Bu Ani melanjutkan, “Saya izin pamit
dulu”.
Martina : “Iya Bu, mari”.

Kemudian, keluarlah Lia dari dalam rumah. Dengan begitu terpaksa kedua orang
tua Lia pun menyampaikan kepada Lia terkait rencana untuk mengungsikannya ke
rumah ketua adat yang berada di dekat sebuah danau. Hal itu dilakukan untuk
kepentingan bersama antar warga sekitar. Lia pun menerimanya dengan penuh
keikhlasan.
Lia : “Bu Ani tadi menyampaikan apa Bu? Tidak seperti biasa ketua
adat datang ke rumah warganya. Pasti ada hal penting”.
Tidak mampu untuk menjawab pertanyaan Lia. Martina hanya diam dan saling
pandang dengan suaminya
Lia : “Terkait penyakit Lia Bu?” tanya Lia karena kedua orang tuanya
sama-sama diam.
Matina : “Iya nak, Bu Ani mengusulkan agar Lia untuk sementara tingga l
jauh dari pemukiman warga”.
Lia : “Lia nanti tinggal di mana Bu, Pak?” jawab Lia dengan perasaan
tegar.
Marhan : “Bu Ani mempunyai rumah di dekat danau yang bisa kamu
tempati nak”, ujar ayah Lia menambahkan.
Martina : “Kita terpaksa harus mendiamkanmu tinggal di sana nak,
ssampai kamu sembuh. Warga desa banyak mengeluhkan aroma
yang keluar dari tubuhmu karena penyakitmu ini. Maafkan Ibu,
Lia. Ibu tidak bermaksud untuk mengasingkanmu dari orang-
orang”. Ujar ibu Lia dengan perasaan sedih
Lia : Lia menjawab dengan perasaan tampak tabah, “Tidak apa-apa,
Bu. Lia terima dengan lapang dada untuk tinggal di sana
sementara waktu”.
Marhan : “Nak, selama tinggal di sana, Lia bisa mandi dan mencuci di
sumur belakang rumah. Lia tidak perlu ke pinggir danau”. Ujar
ayah Lia
Lia : “Emang kenapa di pinggir danaunya Yah?”
Marhan : “Kabarnya, di danau itu pernah ada buaya kuning yang muncul
nak. Jadi, kamu ga usah dekat danaunya ya.”
Lia : Baik, yah. Lia akan berhati-hati.
Tidak lama kemudian, datanglah Matjitu)
Lia : “Mau apa kamu ke sini? Tidak puas membuat aku menderita
seperti ini, hah?”
Matjitu : “Hahaha, kamu pantas mendapatkan ini karena telah
menolakku, Lia. Kamu pasti menyesal sekarang” ujar Matjitu
dengan nada sinis.
Lia : “Kamu manusia kejam, Matjitu. Kamu berbahagia melihatk u
seperti ini? Kamu tidak waras!” Ujar Lia dengan penuh amarah.
Matjitu : “Ini semua salahmu sendiri seharusnya kamu terima saja
lamaranku, Lia. Hahaha”, jawab Matjitu dengan nada jahatnya.
Lia : “Tidak, ini bukan kesalahanku, aku juga tidak menyesal, tidak
sedikitpun. Aku tidak menyesal menolak lamaran pria sepertimu,
kamu harus tahu itu!” ujar Lia dengan tegasnya.
Marhan : “Kamu mau pergi dari sini dengan kakimu sendiri atau perlu
digotong anak buahmu?” Tantang Marhan dengan bersiap-siap
untuk berkelahi.
Matjitu : “Santai, ayah. Eh Pak Marhan maksudnya, saya bisa pergi
sendiri. Lagian, mana ada orang betah di dekat wanita busuk
seperti ini”, ujar Matjitu dengan langsung pergi.
Lia : “Lia siap-siap dulu Bu, Yah. Doakan agar penyakit Lia bisa
segera sembuh”. Sambung Lia
Martina : Tentu nak, jaga dirimu di sana ya”. Sambung Ibu Lia dengan
sedihnya.

Adegan 5
Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga bertahun-tahun berlalu. Lia tidak
kunjung sembuh. Lia sangat putus asa. Lalu, tanpa sadar Lia mendekat ke danau
untuk bercermin dan berdoa kepadaTuhan agar penyakitnya sembuh.
Lia : “Oh, Tuhan. Tolonglah aku, aku sudah tidak sanggup dengan
penyakitku ini. Hanya kepadamulah aku bisa memohon
pertolongan”, ujar Lia sambil menangis.
Sementara itu, di sisi lain danau tersebut ada seorang warga yang sedang
memancing. Ia semula mendengar suara minta tolong. Kemudian, setelah
mengetahui sumber suara itu, begitu kagetnya ia melihat seorang wanita sedang
dimangsa oleh buaya kuning.
Pemancing : Setelah menyiapkan posisi dan alat pancingnya, warga tersebut
kemudian berujar, “Aku yakin hari ini pasti banyak dapat ikan.
Istriku di rumah pasti akan senang jika aku pulang nanti
membawa banyak ikan. ”
Lia : Tiba-tiba Lia melihat ada buaya, tidak sempat pergi, Lia pun
langsung disambar buaya tersebut, “tolong, tolong, buaya”
Pemancing : Pemancing itu kaget setelah melihat sumber suara minta tolong
tersebut. Lia sudah dimakan buaya dan ia tak sempat
membantunya, “Lia, Liaaaa...”
Pemancing : “Aku harus segera memberi tahu orang tuanya” ujar pemancing
tersebut yang langsung berlari ke rumah Marhan dan Martina.
Adegan 6
Pemancing tersebut langsung memberitahukan kedua orang tua Lia tentang
kejadian tersebut.
Pemancing : Bu, Pak, Buka pintunya. (Sambil mengetuk pintu dengan keras)
Marhan : “Ini ada apa, ya?” Tanya Marhan dengan perasan khawatir
Pemancing : Itu pak, Lia. Lia diserang buaya kuning, Pak. (Gugup dan
khawatir.
Marhan : “Ya Tuhan, anakku Lia. Ibu cepat ke sini Bu.” Teriak Marhan
memanggil isterinya yang berada di dalam rumah
Martina : “Iya ayah, ada apa? Sahut Ibu Lia.
Marhan : “Lia Bu, Lia dimakan buaya Bu”.
Martina : “Apa? Tidak, tidak mungkin. Lia tidak mungkin mendekati
danau itu”. Jawab Martina dengan histeris karena tidak menerima
kabar tersebut.
Pemancing : “Benar Bu, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Saya
sedang memancing, lalu terdengarlah suara menjerit minta
tolong. Saya begitu kaget melihat buaya danau telah memakan
Lia”.
Marhan : “Ayo Bu, kita ke sana sekarang”.
Kedua orang tua Lia pun segera pergi ke danau tersebut. Karena teriakan Martina,
keluarlah warga sekitar.
Yuyun : “Ini ada apa ya? Kenapa Martina teriak-teriak terus langsung
lari?” Tanya Yuyun ke pemancing.
Pemancing : “Ini Yun, Lia dimakan buaya kuning” jawab pemancing
Fatimah : “Innalillahi, Lia”
Pemancing : “Sudah-sudah mari kita ikut ke tepian danau menyusul Pak
Marhan dan Bu Martina.”
Yuyun : Karena Fatimah masih tercengang dan bengong mendengar berita
tersebut, Yuyun pun menariknya untuk mengajaknya menyusul,
“Ayo Fatimah, kita susul mereka”.
Fatimah : “Aku sungguh tidak menyangka bisa berakhir seperti ini Yun”.
Yuyun : “Sudah-sudah, ayo kita susul mereka”. Mereka pun pergi ke
tepian danau tersebut.
Adegan 7
Masyarakat dan orang tua Lia akhirnya sampai di pinggir sungai tempat Lia
terakhir kali terlihat.
Martina : “Ini kan yang kalian semua mau? Anakku sudah mati, jasadnya
pun sudah tidak ada lagi, habis dimakan buaya. kalian semua pasti
senang kan? (Menangis histeris)
Yuyun : Dengan suara lirih dan tertunduk, ia berkata, "Kalau kejadiannya
jadi seperti ini, kami sangat menyesal Bu Pak”.
Fatimah : “Kami tidak menyangka kalau akhirnya bisa jadi seperti ini”.
Yuyun : “Selama hidupnya, Lia baik sekali dengan kami. Tapi, hanya
karena penyakitnya, kami jadi sangat jahat dengannya”.
Marhan : “Percuma menyesali, semuanya telah terjadi. Dengarla h
semuanya, demi mengenang nama anak kami yang meninggal di
tempat ini, danau ini saya beri nama Danau Ulak Lia”, sambung
Marhan sambil menangis.
Karena kejadian tersebut, danau tersebut pun dinamai Danau Ulak Lia.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai