Anda di halaman 1dari 5

KAWIN

(Karya Titi Said)

Kakek duduk di kursi malas, merokok. Nenek duduk diam saja. Aku dan bibi Ijah menjahit kain-
kain yang perlu untuk perkawinanku. Sambil menjahit bibi mengajar aku bagaimana seorang
wanita harus bercakap-cakap secara halus, melayani orang dengan baik, berbicara dengan ibu
suaminya dan lain-lain. Bibi Ijah memang seorang wanita yang baik hati.Dulu ia pernah kawin,
tetapi sudah lama ia bercerai dengan suaminya. Bibi Ijah bercerai dengan suaminya karena tidak
setuju suaminya mengambil istri baru, karena sangat marah Bibi Ijah memukul suaminya.Cerita
Bibi Ijah yang berani memukul suaminya dikenal oleh semua orang di kampong dan sampai
sekarang tidak ada seorang laki-laki, pun yang berani kawin dengan Bibi Ijah.

Bibi Ijah mengatakan bahwa sebentar lagi akan datang seorang laki-laki yang hendak
melihatku. Lalu dia mengatakan,” Wati, kau harus hati-hati nanti. Kalau mengeluarkan minuman,
katakanlah Bismilah dulu.”

“Ya, Bi”.

“Kau tidak boleh melihat orang itu. Kau harus melihat ke lantai.

“Kenapa, Bi.”

“Kalau kamu melihat tamumu itu, pasti ia tak mau menerimamu sebagai istrinya.Wanita yang
berani melihat kepada suaminya itu wanita yang kurang menghormati laki-laki. Kau tahu, Wati,
laki-laki tak suka istri yang terlalu berani.”

Aku hanya setuju dengan Bibi Ijah dan ketika aku melihat kepada Bibi Ijah, kelihatnya
pandangannya telah berubah.

Sore, tamu yang akan melihatku datang. bibi menyuruh aku membawa minuman kepada
tamu itu. Aku berjalan dengan hati-hati dan waktu di dekat meja aku menutup mata. Hampir saja
aku jatuh.

Bibi marah sekali melihat cara aku membawa minuman itu dan aku disuruh ke dapur mencuci
piring.

“Bi, piring itu sudah saya cuci tadi.”

“Cuci lagi!”

Dan Bibi mengambil pisau dapur dan memotong bajuku di sana sini. Aku mendengar orang
datang. sambil melihat ke bawah mencuci piring aku mendengar suara kakek.

“Nak Sumarto, mari kita lihat-lihat halaman belakang.”

“Ya, Pak.”

Dan mereka berjalan melalui dapur. Aku merasa ada orang yang melihatku. mereka kembali
ke kamar duduk. Bibi memanggilku walaupun aku belum selesai mencuci piring. Kami mencoba
untuk melihat dan mendengar lewat lubang kecil di dinding. Aku melihat Kakek mengajak tamu
minum teh yang kubawa tadi.Waktu tamu sudah habis minum, Kakek berkata” Maaf, Nak Marto,
saya tidak setuju engkau kawin dengan Wati karena Wati masih terlalu muda.”
Aku tidak dapat terus karena ketika itu Nenek lewat.Aku dan Bibi kembali menjahit, tetapi
sesudah nenek pergi, Bibi berkata, “Rupanya Marto tidak diterima menjadi suamimu,Ti.”

“Tidak diterima,Bi?”

“Ya. kau tidak melihat cara Marto minum teh?”

“Tidak,Bi.”

“Dia mengaduk teh dengan sendok kecil yang kau letakkan di meja”

“Mengapa ,Bi? Bukankah memang gula yang dimasukkan ke dalam teh turun ke bawah dan
air itu harus diaduk dulu?”

“Kalau orang mau minta kawin dengan seorang gadis dan ia mengaduk gula dalam tehnya, itu
tanda ia hanya mau senangnya saja. Tidak mau susahnya”

“Harus bagaimana, Bi”

“Walau teh tidak manis tetapi harus diminum, Wati. Kalau teh hampir habis diminum tiinggal
manisnya saja. Manis itu bahagia. kalau ia minum begitu, berarti ia mau senang dan susah
bersama-sama.”

Begitulah kakek tidak pernah menerima orang laki-laki yang mau kawin dengan aku. laki-laki
yang datang itu pasti berbuat salah waktu bertemu kakek.

Umurku sudah 15 tahun. Aku sudah selesai menjahit semua kain yang diperlukan untuk
perkawinan. Di rumah, aku hanya memasak. bibi tidak lagi mengajar aku memasak karena aku
sudah pandai memasak, sudah tahu semua pelajaran masak yang diberikan oleh Bibi.

Sejak umur 12 tahun aku keluar dari sekolah aku harus tinggal di rumah saja untuk menunggu
perkawinan. teman-teman lain semua sudah meninggalkan kampung. ada yang sudah kawin
dengan pegawai dan ada yang kawin dengan guru. Marsiah yang paling cantik di antara kami
kawin dengan seorang yang menjadi kepala pegawai-pegawai di kebun besar. kalau mereka
pulang kampong untuk mengunjungi orang tuanya, tentulah mereka datang untuk bertemu dengan
aku juga. Kakek dan nenek termasuk orang yang sangat dihormati dan mereka juga minta
nasehat pada kakek dan nenek. Aku mendengar cerita mereka tentang enaknya pindah ke kota.
Di kota boleh jalan-jalan melihat toko-toko. Aku juga ingin cepat-cepat kawin seperti mereka,
bebas dari kakek dan nenekku. Untuk bebas, aku harus kawin.

Bibi menyuruh aku ke dapur memotong kelapa. Aku tahu ada tamu datang untuk melamar aku
lagi.

“Bibi, kenapa aku harus bekerja pada waktu mereka datang?”

“Supaya orang yang akan menjadi suamimu tahu bahwa kamu suka bekerja dan rajin”

“Mengapa aku harus memakai baju jelek,Bi?”

“Menunjukkan kau sederhana”

“Ooo”

Seminggu kemudian Bibi mengatakan bahwa Kakek tidak menerima orang laki-laki yang
melamar itu. Kata Bibi orangnya kurang baik.
“Mengapa kuranng baik,Bi?”

“Pertama-tama, suamimu harus mempunyai banyak uang. Kedua ia harus dihormati orang
dan ketiga harus dari keluarga yang baik”

“Tetapi orang laki-laki yang datang minggu yang lalu itu kaya, ia menjadi kepala pegawai.”

“ Ya , tetapi setelah kakekmu mencari keterangan tetang dia, ia mengetahui bahwa ayahnya
tidak dapat mengucapkan syahadat dan kakek-kakeknya orang itu dulu pernah ditangkap polisi.”

Aduh! harapanku untuk bisa bebas dari rumah dan keluargaku hilang lagi. Aku kembali
bekerja di rumah, memeriksa padi yang masuk, masak untuk kakek dan nenek.Aku hanya dapat
melihat dunia luar dari jendela rumahku saja.

Kadang-kadang ada rasa tidak senang di hatiku, kalau aku berpikir menngapa sejak kecil aku
tinggal bersama-sama kakek dan nenek sehingga sukar bagiku untuk mencari suami.

Bibi mengatakan bahwa ada tiga orang lagi yang melamar dari kota lain.

“Diterima, Bi?”

“Belum tahu .Wati”

“Kenapa paman Harjo dipanggil nenek”

“Ia disuruh menulis surat jawaban kepada orang-orang yang melamar itu. Kau tahu, kakekmu
hanya bisa menulis dengan huruf Jawa”.

Pada sore itu, paman Harjo datang.Kami mencoba mendengarkan percakapan mereka darai
kamar sebelah. Dan kami mendengar kakek mengucapkan kata-kata yang harus ditulis paman
Harjo.”Surakarta Hadiningrat tanggal 1-10-1910.”

Dan akhirnya aku mendengar juga bahwa semua laki-laki yang melamar itu tidak diterima
karena sudah ada janji bahwa aku kawin dengan laki-laki lain.

“Bi, kenapa aku tidak diberitahu bahwa aku sudah akan kawin.”

“Ah tidak! Kau tidak akan kawin sekarang. Kakekmu hanya menolak ereka secara halus
supaya mereka tida sakit hati.”

Umurku sekarang tujuh belas tahun. Nenek tidak tenang karena tetangga-tetangga mulai
bercakap tentang aku. Mereka mengatakan kakek terlalu pemilih, barangkali ia mau menunggu
seorang raja yang senang padaku.

Tetapi aku sendiri makin tidak tenang: apakah aku harus menunggu seorang raja? Nenek
sering bertanya kepada kakek tentang suamiku. Tetapi kakek dengan tenang menjawab kalau
suamiku datang nanti, pasti ia bukan orang biasa dan sangat baik sekali. dan ketika mendengar
jawaban kakek nenek hanya diam saja dan menangis.

Kadang aku kasihan pada nenek. Sejak orang laki petama datang untuk melamarku, nenek
menyediakan beras, kelapa, dan makanan untuk pesta perkawinanku. Tetapi, tiap tahun barang-
barang itu selalu diganti atau dibuang karena terlalu lama disimpan. Aku dan Bibi terpaksa
menjahit lagi baju perkawinan dan membuat sepatu baru karena yang kami buat terlalu kecil.
Suatu hari Bibi bertanya kepadaku sambil tersenyum gembira, “Wati kau tak bermimpi apa-
apa tadi malam?’

“Bermimpi, Bi”.

“Bermimpi apa, Nak?”

“Aku bermimpi ada harimau mengikuti aku, hendak makan aku.”

“Bagus-! Bagus!’

“Itu tanda kau akan kawin dengan orang penting, Jangan mengatakan apa-apa, ya Wati. Ada
orang melamarmu lagi. Dia sekolah di Betawi. Dia akan menjadi dokter.Kau akan dihormati semua
orang.Kau senang Wati? Dan, kau tidak akan lupa akan Bibi?’

Aku tersenyum mendengar kata Bibi karena pasti kakek tidak akan menerima oranng itu.

“Wati, kau sudah tahu namanya?”

“Dari mana saya tahu, Bi?’

“Namanya S. Hendradiningrat. Kau bahagia, bukan. Dari namanya bukan orang sembarangan.”

Memang betul kata Bibi ada tamu datang melamar. seperti biasa aku menyediakan teh,
dengan tidak berani melihat orang itu, dan seperti biasa aku bekerja di dapur dengan baju
jelek.Dan kakek mengajak tamu melihat-lihat ke belakang.

Waktu tamu kembali ke kamar duduk, Bibi mengajakku melihat lewat lubang di dinding. aku
merasa pernah mengenal tamu itu. Bibi berkata,Wati, lihat caranya mengangkat kursi, itu tanda
dia orang yang halus. tehnya diminum sedikit-sedikit dan tidak diaduk. Lihat muka kakekmu,
kelihatanya dia senang.Kau bahagia Wati.”

Dan setelah agak lama mereka bercakap, kakek berkata,”Nak Hendro, permintaanmu akan
saya pikirkan dan saya akan menanyakan dulu kepada Wati.datanglah ke sini seminggu lagi”

Mendengar kata kakek, Bibi Ijah gembira sekali,”Wati kakekmu kalau kakekmu berkata akan
bertanya padamu artinya laki-laki itu di terima.”

“Bi.”

“Ya Nak.”

“Bibi pernah melihat tamu itu? Rasanya saya pernah melihatnya.”

“Dimana kamu ketemu, Wati?Apakah kamu pernah ke luar ru…?’

“Tidak Bi, tidak. Tidak mmungkin saya keluar rumah tanpa bertanya pada Bibi. Orang itu ya Bi,
pernah saya lihat di sini. Bibi ingat Sumarto dulu, yang pernah melamarku tetapi tidak diterima.
dialah orang itu.Bibi ingat waktu dia mengaduk dan minum tehnya dulu di sini?”

“Tapi orang itu tadi Hendradiningrat.”

“Itu nama ayahnnya, Bi….”

Anda mungkin juga menyukai