Anda di halaman 1dari 5

Mandek Eksekusi untuk Kejahatan Lingkungan

Dalam berbagai kasus kejahatan lingkungan, eksekusi pengembalian kerugian negara banyak
yang tidak berjalan.

Koran Tempo, Kamis, 21 September 2023

Terdakwa Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi, mengikuti sidang pembacaan surat
amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 23 Februari 2023.
TEMPO/Imam Sukamto. tempo : 169525974319_819675
Ringkasan Berita Ini
 Pengurangan hukuman uang pengganti terhadap Surya Darmadi menjadi preseden
buruk.
 Eksekusi pengembalian kerugian negara banyak yang tidak berjalan.
 Kerusakan lingkungan membutuhkan anggaran yang sangat besar.
JAKARTA – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memperberat hukuman penjara bagi
Surya Darmadi dianggap tidak memiliki relevansi dengan perkara kejahatan lingkungan.
Sebab, pada saat yang sama, MA justru mengurangi hukuman uang pengganti, yaitu dari Rp
41,9 triliun menjadi hanya Rp 2,2 triliun.
“Kasus Surya Darmadi ini terjadi di sektor sumber daya alam dan berlangsung selama
puluhan tahun,” kata Direktur Hukum Yayasan Auriga, Rony Saputra, Rabu, 20 September
2023. Kejahatan yang dilakukan perusahaan Surya telah menimbulkan kerusakan kawasan
hutan. Penambahan jumlah hukuman penjara dari 15 menjadi 16 tahun, kata Rony, tentu tidak
bisa memulihkan kerusakan itu. “Justru uang pengganti yang seharusnya ditambah agar bisa
digunakan untuk memperbaiki fungsi hutan.”
Pada 1 Agustus 2022, Kejaksaan Agung menetapkan Surya Darmadi sebagai tersangka atas
dugaan penyerobotan lahan sawit dengan luas 37.095 hektare di Kabupaten Indragiri Hulu,
Riau. Lahan tersebut digarap tanpa izin oleh Duta Palma Group, perusahaan perkebunan
sawit milik Surya alias Apeng, sepanjang 2003-2022.
Kejaksaan menjerat Surya dengan pasal tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana
pencucian uang yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 78 triliun. Dalam
persidangan pada 6 Februari lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Surya dituntut penjara
seumur hidup dan denda Rp 1 miliar. Selain itu, ia diwajibkan membayar uang pengganti Rp
78,8 triliun. Di pengadilan yang sama pada 23 Februari lalu, pengadilan menjatuhi Surya
hukuman 15 tahun penjara dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 42 triliun.
Baca: Mengejar Aset Bos Duta Palma
Tak terima putusan itu, Surya mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta. Majelis hakim tinggi pada 13 Juni lalu memberi putusan yang menguatkan putusan
pengadilan tingkat pertama. Sementara itu, di tingkat kasasi, pada 14 September lalu, MA
memperberat hukuman untuk Surya dari 15 tahun bui menjadi 16 tahun kurungan. Sedangkan
jumlah uang pengganti dikurangi hingga Rp 39,8 triliun.
Perkebunan sawit PT Cerenti Subur, Duta Palma Group, di Kabupaten Kuantan Singingi,
Riau, 2021. Dok TEMPO
Rony mengatakan, dalam berbagai kasus kejahatan lingkungan, uang pengganti itu sepertinya
tidak dianggap penting. Sebab, banyak eksekusi pengembalian kerugian negara yang tidak
dijalankan.
Dia mencontohkan, pada 22 Januari 2019, Pengadilan Negeri Meulaboh menerbitkan surat
perintah eksekusi terhadap PT Kallista Alam. Perusahaan sawit itu divonis bersalah karena
membakar hutan gambut Rawa Tripa di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya,
Aceh. Pengadilan mewajibkan perusahaan membayar ganti rugi ke negara senilai Rp 114,3
miliar dan biaya pemulihan senilai Rp 251,76 miliar.
Namun, kata Rony, sampai kini eksekusi itu tidak pernah terlaksana. Bahkan, ironisnya,
perusahaan perkebunan sawit itu masih terus beroperasi. “Padahal tahun lalu pemerintah
sudah membentuk tim penilai untuk menghitung aset perusahaan agar bisa dieksekusi,” kata
Rony. “Namun sampai sekarang tidak ada eksekusi.”
Kallista hanya satu dari 31 korporasi yang tercatat oleh Rony melakukan kejahatan perdata
perusakan lingkungan dalam rentang waktu 2012-2020. Mayoritas bentuknya adalah
pembakaran hutan dan lahan, pembabatan hutan, perusakan lingkungan, serta pencemaran
lingkungan. “Hampir semua kasus sudah diadili di pengadilan tingkat pertama dan banding.
Sebagian lainnya sudah kasasi, peninjauan kembali, bahkan sudah dieksekusi,” ucap Rony.
Dari 31 kasus tersebut, gugatan ganti rugi yang diajukan ke pengadilan mencapai Rp 42,55
triliun. Sedangkan di pengadilan, nilai kerugian negara yang harus dikembalikan secara
keseluruhan sebesar Rp 18,83 triliun. Jumlah itu belum termasuk beban biaya pemulihan
kerusakan lingkungan yang mencapai Rp 3,2 triliun.
Baca: Tak Cukup 15 Tahun dan Rp 41 Triliun
Rata-rata perusahaan dibebani kerugian keuangan negara dan biaya pemulihan mencapai
ratusan miliar rupiah. Sayangnya, kata Rony, sampai saat ini nyaris tidak ada korporasi yang
membayar uang kompensasi kerugian negara itu. Hanya beberapa perusahaan yang sudah
dieksekusi, itu pun dengan nominal tak lebih dari belasan miliar rupiah.
Persoalan juga muncul pada eksekusi jenis kejahatan perdata yang melibatkan korporasi.
Berdasarkan data Auriga Nusantara, sepanjang 2015-2019, sebanyak 50 perusahaan dikenai
sanksi pidana. Beberapa di antaranya dibebani denda dan pidana tambahan dengan nilai
miliaran rupiah. Pengadilan selalu menghukum orang-orang yang terbukti membakar hutan
dan lahan. “Tapi soal denda dan pidana tambahan, kami tak tahu sudah sejauh mana
eksekusinya,” ucap Rony.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani. Dok. Menlhk
Menurut Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, sepanjang 2015-2023, pihaknya sudah melayangkan
gugatan terhadap 22 korporasi yang terseret kasus kebakaran hutan dan lahan. “Sebanyak 22
korporasi tergugat perdata, baik terkait dengan ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan maupun tindakan-tindakan tertentu, khususnya pemulihan lahan,” kata Rasio
pada 18 Agustus lalu.
Menurut Rasio, dari 22 perusahaan yang diadili, sedikitnya 14 korporasi dinyatakan bersalah
dan telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah. Nilai kerugian negara yang dibebankan
ke korporasi mencapai Rp 5,6 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak tujuh perusahaan dalam
persiapan eksekusi senilai Rp 2,55 triliun dan tujuh korporasi sedang proses eksekusi dengan
nilai Rp 3,05 triliun. Satu di antaranya adalah PT Kallista Alam, yang sampai saat ini belum
membayarkan denda ke negara.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Ilhamdi Putra, tak
memungkiri banyak kasus kejahatan lingkungan di sektor pidana dan perdata mangkrak
dalam proses eksekusi. Terutama ketika eksekusi pengembalian kerugian negara yang
disebabkan oleh kejahatan korporasi. “Saya melihat ini lebih pada kualitas hakimnya yang
tidak bernyali dalam proses eksekusi, bahkan cenderung mengabaikan,” ucap Ilhamdi.
Padahal upaya pengembalian kerugian negara merupakan cara paling efektif untuk
menciptakan efek jera atas kejahatan korupsi atau kejahatan lain yang dilakukan perusahaan.
Sebab, tujuan utama korupsi adalah upaya memperkaya diri. Jadi, paradigma hukuman
seharusnya mengedepankan sanksi ekonomi melalui pengembalian kerugian anggaran atau
perekonomian negara.
Karena itu, Ilhamdi menilai putusan MA terhadap Surya Darmadi justru menjadi preseden
buruk. Dia mendesak Komisi Yudisial menyelidiki dugaan pelanggaran perilaku dan etik
hakim agung. Hal ini berkaca pada beberapa hakim di MA yang sebelumnya terjerat kasus
suap karena dugaan memberi diskon hukuman kepada pihak-pihak yang beperkara.
AVIT HIDAYAT
https://koran.tempo.co/read/nasional/484581/mandek-eksekusi-untuk-kejahatan-lingkung

Anda mungkin juga menyukai