MUSA di Mesir
(Keluaran 1-12)
Bani Israel bertambah banyak di tanah Mesir sampai akhirnya bangkitlah seorang raja
“yang tidak mengenal Yusuf” (Kelu 1;7-8). Firaun ini bertekad untuk mencegah makin
bertambahnya bangsa Israel dengan membunuh semua anak laki-laki pada waktu mereka
lahir (ay. 15-16). Meskipun Alkitab tidak mencritakan siapakah Firaun ini, cukup banyak
keterangan telah di berikan mengenai periode umum ketika kejadian-kejadian ini terjadi
sehingga dapat di ketahui dengan pasti firaun yang mana yang paling dapat diidentifikasi
sebagai firaun ini.
Dari sumber-sumber arkeologi dan sejarah, kita tahu bahwa sekitar tahun 1570 SM
orang-orang Mesir asli mengusir penguasa-penguasa Hyksos dari Mesir, suatu klompok
keturunan Asia yang telah memerintah negeri itu selama kurang lebih 150 tahun dari sekitar
1730 sampai sekitar 1570. Orang Hyksos ini mungkin mulai merembes ke Mesir sekitar 1900
dan akhirnya berkuasa atas negeri tersebut sekitar 1730. Pada umumnya dianggap bahwa
firaun yang tidak mengenal Yusuf ini adalah salah satu dari keturunan baru orang-orang
Mesir asli, mungkin Ahmose I, yang naik takhta setelah orang Hysos diusir keluar. Ahmose
memerintah selama 1570-1545 Sm.
Jika Ahmose, atau salah satu dari raja-raja pada masanya, adalah Firaun, yang tidak
mengenal, atau salah satu fari raja-raja pada masanya, adalah firaun “yang tidak mengenal
Yusuf” (yakni, tidak mengenal bangsa Yusuf), maka periode sebelumnya adalah periode
kekuasaan Hyksos di Mesir. Yusuf dan bangsanya mungkin telah di perlakukan dengan baik
sampai pada masa ini, karena orang Hyksos, kelompok keturunan Asia yang lain, berada di
negeri tersebut dan mungkin telah bersikap baik terhadap bangsa Israel, yang juga suatu
kelompok asing. Burrows menjelaskan bahwa identifikasi periode Yusuf dengan
pemerintahan Hyksos, suatu pandangan yang telah lama dianut, sekarang di terima secara
umum. Ia berkata, “Sejarawan modern setuju, secara keseluruhan, bahwa kondisi-kondisi
periode Hyksos memberikan latar belakang yang wajar bagi bekuasanya Yusuf dan bagi
menetapnya Israel di Mesir” (BWMS, 71)
Kota-kota Perbekalan, Pitom dan Raames (Kel. 1:11);
Keterangan Arkeologi
Diawali dengan “raja yang tidak mengenal Yusuf,” maka garis keturunan firaun yang
baru ini memberikan tugas-tugas yang berat kepada orang Israel. Mereka meminta orang
Israel membangun kota-kota perbekalan (atau kota-kota penyimpanan) dan mempersulit
kehidupan mereka dengan “pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu-batu”
(Kel. 1:11,14) Keterangan mengenai kota-kota perbekalan yng terutama yang menyebutkan,
Pitom dan Raameses (atau Ramses), tampaknya di temukan pada tahun 1883 oleh arkeolog
Swis, Naville, ketika ia menggali sebuah lokasi di delta Mesir yang di sebut Tell el-Maskhuta
dan menemukan berbagai inskripsi yang membuat kata Pi-tum, yang berarti “Rumah dewa
Tum.” Penemuan ini menyebabkan Naville untuk menyamakan Tell el-Maskhuta dengan
kota Pitom yang di bangun oleh orang Israel. Ia mendapati bahwa beberapa batu bata di buat
tanpa jerami. Akan tetapi, mengingat telaah yang lebih belakangan, Albright, antara lain,
menyatakan pandangan bahwa Pitom hendaknya disamakan dengan Tell-er Retabeh (ASAC,
194: AOTA, 142), yang terletak sekitar 13,7 km di sebelah barat Tell el-Maskhuta. Ia
menyamakan Tell el-Maskhuta dengan Sukot, yang di sebutkan dalam hubungan dengan
Israel di Mesir (Kel. 13:20). Karna siutus-situs ini dekat satu dengan yang lain dan keduanya
di sebutkan dalam bagian-bagian Kitab Keluaran yang berhubungan dengan Israel di Mesir,
pekerjaan batu bata yang di temukan oleh Naville Tell el-Maskhuta masih dapat di
hubungkan dengan tugas orang Israel. Para sarjana masa kini berbeda pendapat mengenai
apakah Tell er-Retabeh atau Tell el-Maskhuta itu merupakan lokasi Pitom dengan
kemungkinan pilihan cenderung jatuh pada yang pertama.
Kota perbekalan yang lain yang di sebutkan secara khusus, Raamses (Kel. 1:11),
biasanya disamakan dengan Tanis (AOTA 142; FLA, 1140). Situs Tanis digali oleh Piere
Montet (1929-1932), yang dengan tegas mempertahankan bahwa disitulah lokasi kota
Raamses. Tanis terletak sedikit jauh kesebelah utara Tell el-Maskhuta dan Tell er-Retabeh.
Sementara Musa berada di wilayah Sinai dan Midian, “lama sesudah itu matilah raja
Mesir” (Kel. 2:23). Raja ini biasanya dikenal oleh para sarjana Alkitab sebagai “Firaun dari
masa penindasan,” karena di bawah pemerintahannyalah orang Israel secara khusus ditindas
dengan pekerjaan membuat batu-batu dan membangun gedung-gedung.
Soal yang sangat menarik bagi para peneliti Alkitab adalah menemukan identitas
firaun ini. Soal identitasnya bergantung pada tanggal keluarnya Israel dari Mesir, dan pada
tanggal kejatuhan Yerikho. Petunjuk arkeologi dari barang-barang tembikar dan scarab
(ukiran berbentuk kumbang tanduk) di Yerikho menunjukkan bahwa kota ini runtuh sekitar
tahun 1400 sM. Diantara factor-faktor yang menunjang tanggal ini, John Garstang, penggali
kedua di Yerikho, menjelaskan bahwa tidak satupun dari tembikar Mycenae ditemukan, yang
menunjukkan bahwa tembok-tembok Yerikho runtuh sebelum abad ke-14 di mulai.
Pernyataan Garstang bahwa kira-kira kira-kira tahun 1400 kota Yerikho runtuh tampaknya
ditunjang oleh penggalian Kathleen Kenyon di sana (1952-1958), sebagaimana yang di
tunjukkan oleh publikasi terbarunya mengenailaporan penggaliannya.
Jika Yerikho runtuh sekitar tahun 1400, pada akhir masa 40 tahun Israel mengembara
di padang belantara, maka peristiwa Keluaran terjadi sekitar 1440 atau sedikit lebih awal.
Penyelidikan sejarah Mesir menunjukkan bahwa seorang raja besar di Mesir, Thutmose III,
wafat pada tahun 1450 sM. (Namanya juga diterjemahkan Thutmosis Thothmes). Raja ini
kemungkinan cocok sebagai firaun dari masa penindasan. Ia bertakhta selama 32 tahun
(1482-1459) dan dengan demikian kematiannya terjadi setelah suatu periode pemerintahan
yang lama, seperti terisrat setelah suatu periode pemerintahan yang lama, seperti tersirat
dalam pernyataan Alkitab bahwa “lama sesudah itu matilah raja Mesir” (Kej. 2:23; CBS, 68
dst., mengemukakan pembahasan yang menarik tentang Thutmose III sebagai firaun pada
masa Keluaran).
Dalam usaha untuk memahami situasi Israel di Mesir, maka akan membantu bila kita
mengetahui sesuatu tentang orang ini yang mungkin menjadi firaun yang menindas dan yang
pasti sedang memerintah selama Israel tinggal di Mesir. Thutmose III adalah salah satu yang
agung, bahkan mungkin yang paling agung, dari semua raja Mesir. Ketika naik takhta ia
menata ulang bala tentara Mesir dan memulai sebuah ekspedisi militer sampai ke Palestina
dan Siria. Ketika tentara Mesir mendekati kota Megido di Palestina utara, mereka dapat
memilih di antara tiga rute, satu menuju langsung ke Megido melalui celah gunung yang
sempit, dan kedua rute yang lain tidak langsung tettapi melalui melalui kawasan yang lebih
terbuka (SSWE, 53-54). Para perwira militer Thutmose lebih suka kedua jalan yang lebih
terbuka, tetapi Thutmose memilih rute yang langsung. Ia sendiri memimpin bala tentaranya
untuk berbaris melintasi jurang sempit itu dan menuju ke sebuah tempat terbuka. Pagi-pagi
keesokan harinya ia membentuk pasukan tempur dan menyerang penduduk Asia. Penduduk
negeri itu melarikan diri ke kota Megido, tetapi penduduk kota ini telah menutup pintu
gerbang, sehingga perlu membantu tentara Asia itu mlintasi tembok dengan menurunkan
kain-kain kepada mereka. Tentara Mesir bisa saja meraih kemenangan yang gemilang apabila
mereka mengejar musuhnya, tetapi mereka tergoda oleh barang-barang jarahan yang
ditinggalkan di luar kota oleh tentara Asia dan mereka berhenti untuk mengambil kuda-kuda,
kereta-kereta emas dan perak, dan barang-barang berharga lainnya yang ditinggalkan oleh
tentara musuh yang melarikan diri (BAHE, 287-90). Akan tetapi, tak lama kemudian,
Thutmose mulai mengepung kota, dan akhirnya penduduk yang ada di dalam tembok kota
menyerah. Kekayaan yang lebih besar diperoleh Firaun dari dalam kota tersebut, termasuk
924 kereta, 2.238 kuda, 200 pakaian perang, 22.500 ternak kecil, dan emas serta perak yang
tak terbilang banyaknya (BAHE, 292; bdg. SSWE, 55).
Tahun demi tahun Thutmose III mengadakan ekspedisi ke Palestina dan Siria,
menaklukan bangsa-bangsa tersebut dan menuntut upeti dari mereka. Ia mengadakan 17
kampanye dalam periode 19 tahun, sampai penduduk di Siria betul-betul patuh kepadanya
(BAHE, 316-17). Tidaklah mengherankan apabila raja ini disebut Napoleon dari Mesir kuno.
Pada waktu yang tepat, Allah menyuruh Musa kembali ke Mesir (Kel. 4;19) untuk
bersiap-siap membawa orang-orang Israel keluar dari negei tersebut. Musa berkeberatan
ketika Allah mengangkat dia untuk memimpin Israel keluar dari Mesir (3;10). Ia mengatakan
bahwa ia tidak dapat melaksanakan tugas tersebut karena orang Israel tidak akan
mendengarkan dia (4:1) dank arena ia tidak fasih bicara (ay. 10). Allah menjawab keberatan
pertama dengan menunjukkan kepada Musa bahwa ia akan diberi kuasa untuk mengadakan
mukjizat sehingga orang Israel akan mengakui dia (ay. 2-9); Allah menjawab keberatan
kedua dengan menjadi Harun, saudara Musa, sebagai juru bicara (ay. 11-17).
Firaun dari Masa Keluaran (Kel. 5:1);
Identitas yang Mungkin
Musa dan Harun menghadapi Firaun untuk menyampaikan pesan Allah, “Biarkanlah
umat-Ku pergi” (Kel. 5:1). Para sarjana Aliktab biasanya mengacu kepada penguasa ini
sebagai “firaun dari masa Keluaran,” karena selama pemerintahannyalah Israel keluar dari
Mesir. Jika Thutmose III (1482-1450 sM) adalah firaun dari masa penindasan maka
penggantinya Amenhotep II (1452-1425, juga dieja Amenhopis) menjadi firaun dari masa
Keluaran. Musa dan Harun menghadap firaun ini untuk menyampaikan pesan bahwa ia
sebaiknya membiarkan orang Israel meninggalkan Mesir.
Amenhotep II menghadapi sebuah pemberontakan raja-raja Siria yang membayar
upeti ketika mereka mengetahui tentang kematian ayahnya, Thutmose III. Bersama
pasukannya yang menuju ke kawasan Asia, ia telah mengalami kemenangan demi
kemenangan sampai akhirnya ia mencapai Sungai Efrat yang besar. Ia kembali ke Mesir
dengan lebih dari 500 orang tahanan bangsawan Siria utara, bukti dari kampanye-kampanye
yang jaya untuk menaklukan daerah-daerah ini (BAHE, 323-25). Tidak banyak diketahui
tentang pribadi Amenhotep II, meskipun tampaknya secara fisik ia sangat kuat, karena ia
menyombongkan diri dalam inskripsi-inskripsi arkeologi bahwa tidak ada seorang pun yang
dapat menarik busurnya (BAHE, 326). Kenyataan bahwa muminya saat ini diawetkan di
Museum Kairo tidak merupakan alasan untuk menyanggah bahwa dialah firaun dari masa
Keluaran, karena Kitab Suci tidak mengatakan bahwa firaun tenggelam di Laut Merah pada
saat air terbelah; hanya sebagian dari tentaranya yang tenggelam (Kel. 14;28).
Mereka yang berpegang pada tanggal yang kemudian untuk peristiwa Keluaran
(sekitar 1290-1275) tentu saja akan memiliki pemikiran yang sangat berbeda tentang siapa
firaun pada masa itu. Sebuah pandangan kuno mengatakan bahwa Ramses II (1299-1232)
adalah firaun dari masa penindasan sedangkan Merneptah (1232-1222) adalah firaun dari
masa Keluaran. Karena batu peringatan Merneptah (saat ini ada di Musemu Kairo), di mana
Merneptah memberi tahu kemenangan atas bangsa Israel di Palestina, memandang orang
Ibrani telah menetap di Palestina pada masa itu (untuk inskripsinya, lihat PANET, 378; untuk
gambarnya lihat PANEP, 115), ia tak mungkin menjadi firaun dari masa Keluaran. Orang-
orang yang menandaskan bahwa peristiwa Keluaran terjadi pada abad ke-13, sekarang pada
umumnya menyimpulkan bahwa Ramses II adalah firaun dari masa Keluaran. Biasanya
mereka kurang mempedulikan identifikasi firaun yang berbeda dari masa penindasan besar.
Albright menganggap Seti I (1318-1299) sebagai firaun dari masa penindas (AOTA, 14).
Kerja rodi bangsa Israel menjadi makin sulit ketika raja Mesir tidak mau memberikan
jerami untuk membuat batu bata. Orang Israel harus lebih dahulu mengumpulkan jerami (Kel.
5:7) dan akhirnya, mereka harus mengumpulkan tunggul-tunggul gandum (5;12). Atas dasar
catatan Alkitab, biasanya dianggap bahwa jerami diperlukan sebagai bahan pengikat, bahwa
batu bata tidak dapat dibuat dengan baik tanpa jerami, dan batu bata Mesir biasanya
mengandung jerami dalam jumlah tertentu.
Sebaliknya, T. Eric Peet, ahli ilmu Mesir kuno dari University of Liverpool,
menyatakan bahwa pemakaian jerami dalam pembuatan batu bata ‘agak jarang” pada zaman
kuno dan bahwa lumpur Sungai Nil dapat lengket dengan amat baik sehingga bahan pengikat
tidak terlalu di perlukan (PEOT, 99). Ia menambahkan bahwa acuan pemakaian jerami dalam
pembuatan batu bata sering digunakan untuk menunjukkan bahwa penulis Alkitab mengenal
adat istiadat Mesir, tetapi sebenarnya hal itu membuktikan ketidaktahuannya akan praktik-
praktik di Mesir (PEOT, 100). Uraian peet tentang hal ini memberikan kesan bahwa Alkitab
salah dalam hal menyampaikan bahwa jerami diperlukan untuk pembuatan batu bata.
Petunjuk dari arkeologi tidak mendukung pernyataan peet yang agak ekstrem bahwa
pemakaian jerami dalam batu bata adalah “agak jarang, khusunya pada zaman kuno” (PEOT,
99). Sebuah dokumen Mesir kuno, Papirus Anastasi, memuat ratapan seorang pejabat yang
harus mendirikan bangunan-bangunan di perbatasan Mesir, mungkin di daerah Terusan Suez
masa kini. Ia mengatakan bahwa ini tidak dapat bekerja karena “saya tidak memiliki
perlengkapan. Tidak ada orang untuk membuat batu bata, dan tidak ada jerami di daerah ini.”
Jadi, dokumen ini secara pasti menunjukkan bahwa pengawas pelaksanaan proyek
membangun tidak dapat melanjutkan pekerjaanya karena kekurangan jerami untuk membuat
batu bata.
Saya telah memeriksa banyak tembok yang dibuat dari batu bata dari tanah lumpur
yang mengelilingi kuil-kuil kuno di Mesir dan memperhatikan adanya jerami dalam banyak
batu bata tersebut. John Wilson, ahli ilmu Mesir kuno yang ulung dari University of Chicago,
menyatakan bahwa di Mesir batu bata yang menggunakan jerami sama banyak dengan batu
bata yang tidak menggunakan jerami. Secara ringkas, adalah adil untuk menyatakan bahwa
pandangan Peet yang ekstrem sudah pasti harus diubah mengingat bukti arkeologis ini.
Akan tetapi, ada petunjuk lebih lanjut dari sumber lain. Edward G. Acheson, seorang
ahli kimia Amerika, menemukan melalui penelitian dan pencobaan bahwa tanah liat lebih
mudah diolah jika memiliki kandungan organic tertentu. Dalam pencobaan lebih lanjut, ia
merebus jerami gandum dan mencampurkan air rebusan jerami tersebut ke tanah liat. Ia
mendapati bahwa sebagai akibat campuran ini maka lebih mudah untuk mengolah tanah liat
itu. Hal ini tampaknya menjelaskan pemakaian jerami dan kemudian tunggul gandum oleh
bangsa Israel, ketika jerami tidak lagi dapat ditemukan untuk membuat batu bata. Tanpa
jerami atau paling tidak bahan organic yang dilengkapi oleh tunggul jerami, maka kesulitan
pembuatan batu bata akan meningkat.
Penemuan ini juga menunjukkan bahwa adanya batu bata di Mesir yang tidak
mengandung jerami, seperti yang di tunjukkan ole peet dalam suatu pernyataan yang
berlebihan, sama sekali tidak mengurangi petunjuk Alkitab mengenai kebutuhan jerami
dalam pembuatan batu bata. Kurangnya bukti nyata tentang jerami dalam batu bata berarti
bahwa jerami atau tunggul jerami digunakan dalam jumlah yang amat sedikit di dalam
beberapa batu bata sehingga tidak tampak bagi para pengamat yang sambil lalu, atau bahwa
batu bata tidak mengandung bahan semacam ini dan pasti lebih mempersulit pekerjaan para
pembuat batu bata. Bagaimanapun juga, petunjuk dasar Aliktab tentang perlunya jerami
untuk membuat batu bata telah dibuktikan sepenuhnya.
Pengeras Hati Firaun (Kej. 4-14)
Pengerasan hati Firaun adalah contoh yang baik tentang prinsip yang ditetapkan di
Roma 1, bahwa jika orang-orang terus- menerus mengabaikan kebenaran Allah, maka Allah
akhirnya akan menyerahkan mereka kepada keinginan jahat mereka sendiri (“Allah
menyerahkan mereka”;bdg. Roma 1:24, 26-28).
Setiap kali Firaun menolak untuk membiarkan orang Israel pergi, sebuah tulah
menimpa negeri Mesir. Tulah-tulah ini adalah suatu gangguan yang luar biasa dan suatu
beban yang amat berat bagi orang-orang Mesir, tetapi lebih daripada itu, tulah-tulah tersebut
menyingkapkan ketidakberdayaan dewa-dewa mereka. Ketika tulah pertama menyerang, air
sungai Nil berubah menjadi darah. Orang Mesir memuja Sungai Nil sebagai sumber
kehidupan. Jadi, dengan tulah pertama , salah satu dari dewa mereka diubah menjadi tulah
dan menjadi kengerian bagi mereka, dan ketidakberdayaan dewa tersebut di hadapan Allah
yang benar dan hidup juga ditunjukkan. Demikian pula, dewa-dewa lain di nyatakan tidak
berdaya menghadapi tulah-tulah yang berturut-turut yakni katak, nyamuk, lalat pikat,
kematian ternak, barah, hujan es, belalang, kegelapan, dan kematian anak sulung.
Penemuan-penemuan arkeologi menyatakan politeisme yang mencolok di Mesir
kuno. Misalnya, di samping dewa Sungai Nil (tulah ke-1), mereka menyembah dewa katak
(Heqt, tulah ke-2), seluruh kelompok ternak (lembu betina, anak lembu, lembu jantan, tulah
ke-5), berbagai dewa matahari (tulah ke-9), dan firaun sendiri sebagai dewa dan suatu
manifesta dewa matahari (tulah ke-10), ketika anak Firaun mati.
Pada saat bangsa Israel sedang bersiap-siap untuk meninggalkan Mesir, Allah
memberi berbagai petunjuk untuk mempersembahkan kurban Paskah, seekor anak domba
untuk setiap rumah tangga, kecuali rumah tangga itu terlalu kecil memakan seekor anak
domba (Kel. 12:3-4). Anak domba tersebut melambangkan Kristus; anak domba itu harus
tidak bercela (12:5), yang menggambarkan ketidakberdosaan Kristus; harus berumur setahun,
pada umur yang terbaik, seperti Kristus berada pada masa terbaiknya pada saat ini melayani
orang banyak dan mati di kayu salib; darah anak domba itu harus dicurahkan oleh sluruh
Jemaah (12:6), yang melambangkan fakta bahwa seluruh dunia bertanggung jawab atas
kematian Kristus; darah tersebut harus dibubuhkan pada kedua tiang pintu (12:7), yang
menggambarkan fakta bahwa darah Kristus harus diambil dan digunakan sendiri oleh orang
yang hendak diselmatkan.
Para peneliti berpendapat bahwa Paskah hanya merupakan adaptasi dari perayaan
pertanian, agaknya suatu perayaan kafir orang Kanaan. Pandangan ini tersebut luas, seperti
yang ditunjukkan oleh berbagai ensiklopedia Alkitab standar serta diterima mengenai
Perjanjian Lama. Kompromi dengan pandangan ini telah terjadi dalam ajaran di beberapa
seminari pada dasawarsa-dasawarsa terakhir.
Akan tetapi, penemuan-penemuan arkeologi menunjukkan perbedaan yang besar
antara praktik-praktik keagamaan orang Kanaan dan perayaan-perayaan yang dinyatakan oleh
Allah kepada bangsa Israel. Suatu penemuan yang paling menarik perhatian yang
menjelaskan praktik-praktik keagamaan kafir di Kanaan dan Siria adalah lempeng-lempeng
tanah liat Ras Syamra, yang ditemukan pada tahun 1929 setelah seorang petani secara tidak
sengaja menggali sebuah terowongan tanah di pantai Siria. Lempeng-lempeng ranah liat ini
menunjukkan peganisme sensual, seperti digambarkan dalam penjelasan tentang dewa El,
yang memiliki beberapa istri. Salah satu lempeng tanah liat yang menguraikan tentang El
berbunyi sebagai berikut, “Wanita-wanita, yang masing-masing adalah istri El, bahkan para
hambanya, - ia akan membersihkan bibir mereka, akan mengngkat mereka; bibir mereka
manis, manis seperti buah delima. Dengan merekalah ciuman dan kehamilan…” (terjemahan
dalam BAB, 355, Baris 48-51).
Albright meringkas dengan baik arti lempeng tanah liat Ras Syamra dalam hal ini
dengan mengatakan, “Setiap publikasi baru tentang naskah-naskah mitologis Kanaan
menjadikan perbedaan antara agama-agama Kanaan dan Israel semakin jelas.” Jadi, gagasan
para peneliti bahwa perayaan-perayaan Israel ada hubungannya dengan perayaan-perayaan
kafir Kanaan tidak mendapat dukungan, karena setiap aspek penting dari agama Kanaan sama
sekali berbeda dengan aspek-aspek agama Israel, seperti ditunjukkan oleh lepmpeng-lempeng
tanah liat Ras Syamra. Saya menolak pemikiran bahwa Paskah adalah sebuah perayaan orang
Kanaan.
Pada waktu meningglkan Mesir, bangsa Israel menuju kea rah timur melaluidelta, dari
Raamses ke Sukot (Kel. 12:37), kemudian ke Etam (Kel. 13:20), dan akhirnya ke Baal-Zefon
di tepi Laut Merah (Kel. 14:2).
Rute Keluaran telah dipersoalkan oleh para peneliti. Peet, berkata, “Kita tidak
mungkin menemukan rute mana yang sebenarnya diambil oleh bangsa Israel, kecuali sejauh
kita dapat memperkirakannya dengan menerapkan akal sehat terhadap masalah tersebut. Kita
hanya dapat berharap akan menemukan kembali rute, yang menurut pendapat para penyusun
abad ke-9 Sm dan seterusnya, telah ditempuh oleh bani Israel, suatu hal yang sangat berbeda”
(PEOT, 156). Caiger mencerminkan sikap yang sama ini ketika ia mengatakan bahwa “garis
bertitik-titik yang menunjukkan ‘perjalanan bangsa Israel’ dalam kebanyakan atlas Alkitab
tidak memiliki keabsahan yang sesungguhnya” (CBS, 78). Memang benar bahwa banyak
tempat yang disebutkan dalam Alkitab sebagai terletak pada rute Keluaran dan pengembara
di padang belantara belum dapat dikenali.
Akan tetapi, keterangan di bidang arkeologi telah diterapkan secara berkala sehingga
Alan Gardiner pun, seorang ahli tentang ilmu Mesir kuno, yang lama berkeberatan terhadap
kesejahteraan rute Keluaran karena alasan-alasan topografis, menarik kembali keberatannya
pada tahun 1933. Albright menunjukkan perubahan pandangan Gardiner dan menyatakan:
Dengan pengetahuan kita yang sekarang tentang toprografi Delta timur, maka kisah
tentang awal Keluaran yang diberikan dalam Keluaran 12:37 dan 13:20 dst.., dari segi
topografi memang masuk akal…Banyak nukti-bukti tambahan bagi kesejarahan kisah
Keluaran dan pengembaraan di daerah Sinai, Midian dan Kadesy dapat diberikan dengan
mudah, berkat pengetahuan topografi dan arkeologi yang sudah meningkat. Kita harus
merasa puas dengan jaminan bahwa kini tidak ada lagi peluang bagi penelitian kritis
berlebihan yang masih dominan terhadap tradisi sejarah mula-mula Israel. (ASAC, 194)
M. G. Kyle menceritakan bahwa para wisatawan yang mengikuti garis pantai Laut
Merah, sepanjang jalur Keluaran, tidak memerlukan buku petunjuk lain selain Alkitab.
Seluruh topografi daerah itu cocok dengan yang disebutkan dalam laporan Alkitab.
Setelah Israel meninggalkan Mesir, Firaun berubah pikiran dan memutuskan untuk
mengejar mereka (Kel. 14:9). Ketika orang Mesir mendekati tempat berkemah bangsa Israel,
“Musa mengulurkan tangannya ke atas laut, dan semalam-malaman itu Tuhan menguakkan
air laut dengan perantaraan angina timur yang kuat” (Kel. 14:21). Dikatakan bahwa
mundurnya air oleh angina pernah disaksikan pada zaman modern. Jenderal Tulloch
melaporkan bahwa pasir di pasar danau tersingkap ketika angina timur yang kuat mendorong
air danau Manzaleh sejauh tujuh mil. Kyle mengatakan bahwa penumpukan air seperti itu
akibat angina telah terkenal dan kadang-kadang dapat mencapai sekitar 2 atau 2,4 m di Danau
Erie. Akan tetapi, hal yang terpenting mengenai terbelahnya air bagi bangsa Israel adalah
unsur waktu. Ini bukan hanya terbelahnya air secara aneh akibat angin yang kebetulan, tetapi
campur tangan Allah ketika mengirim angina pada waktu yang di perlukan untuk
menyelamatkan Israel. Unsur waktu kadang-kadang merupakan factor utama dalam sebuah
mukjizat.
Beberapa orang telah mengemukakan bahwa yam suph (diterjemahkan “Laut
Merah”dalam KJV dan versi-versi lain) seharusnya diterjemahkan dengan tepat sebagai “Laut
Teberau” dan telah berusaha untuk menghubungkannya dengan danau atau danau-danau yang
sekarang menjadi bagian dari system Terusan Suez. Namun, sukar untuk mendukung
pendapat ini secara efektif. Versi bahasa Yunani dari Perjanjian Lama (Septuaginta), di Kisah
Para Rasul artikan yam suph sebagai Laut Merah (NIV cat. Ping. Kisah Para Rasul 7:36 dan
Ibrani 11:29) berbunyi, “Yakni Laut Teberau.” Terlebih lagi, Keluaran 14:27 dan 15:5, 8, 10
tampaknya memerlukan sesuatu yang lebih besar dari pada salah satu danau Suez. Lagi pula,
telah diperhatikan bahwa yam suph dalam Keluaran 10:9 tampakanya lebih dari sekadar
danau berawa di daerah Suez; Teluk Suez cukup luas utnutk mebinasakan sekumpulan besar
belalang dan letaknya teluk itu begitu tepat hingga angina barat laut dapat meniupkan
belalang-belalang itu kedalam air. Tentu saja dalam Bilangan 14:25 yam suph adalah Laut
Merah. Mungkin yang terbiak adalah menyimpulkan bahwa orang-rang Ibrani mengadakan
perjalanan kea rah selata di sebelah barat system terusan masa kini dan menyeberang Laut
Merah di sebelah selatan pelabuhan Suez yang sekarang.
Setelah bani Israel menyeberangi tanah kering di dasar Laut Merah dan dengan
selamat mencapai pantai yang di seberang (Kel. 14:22), mereka melanjutkan perjalanan ke
Padang Gurun Syur (15:22) di bagian timur Teluk Suez (cabang barat Laut Merah). Tahap-
tahap berikutnya dalam perjalanan menuju ke Gunung Sinai dapat diringkas dengan baik
sebagai berikut:
1. Padang Gurun Syur (Kel. 15:22). Tidak tersedia air disana, maka Israel
melanjutkan perjalanan ke Mara
2. Mara (KEL. 15:23). Disini mereka tidak dapat meminum air yang pahit sampai
Allah menunjukkan kepada Musa sepotong kayu. Ketika kayu itu dilemparkan ke
dalam air, air itu menjadi manis (15:22). Mara kadang-kadang disamakan dengan
suatu tempat yang sekarang disebut Huwara, sekitar 11 km sebelah timur Laut Merah
dan sekitar 48 km sebelah selatan dari tempat di mana, menurut tradisi, bani Israel
pertama kamli berhenti setelah menyeberangi Laut Merah (BBHM, 80). Di Huwara
masih terdapat sebuah kolah dengan diameter sekitar 1,5 m yang di dalamnya masih
terdapat air pahit. Perhentian berikutnya adalah Elim.
3. Elim (Kel. 15:27). Elim digambarkan memiliki 12 sumur air dan 70 pohon palem.
Beberapa orang memperkirakan tempat itu sekarang adalah Wadi Ghurundel, 8 km
dari Huwarah (mungkin Mara), meskipun tempat itu lebih jauh ke selatan. Murray’s
Handbook mengatakan tentang Wadi Ghurundel;
Tempat ini dengan aman dapat disamakan dengan Elim. Seluruh padang gurun
hampir gundul sama sekali dan tandus, tetpai Wadi Ghurundel di kelilingi pohon-
pohon dan semak belukar yang membentuk sebuah oasis yang menawan. Disini
terdapat pohon-pohon palem kerdil dengan batangnya yang berbulu dan dahan-
dahannya yang tidak teratur. Disini juga terdapat pohon-pohon tamarisk berbulu
dengan cabang-cabangnya yang berbonggol-bonggol, daun-daunnya meneteskan
sesuatu yang disebut manna oleh orang Arab. Dan di sini pula terdapat pohonakasia,
dengan daun-daunnya kelabunya dan bunga-bunga yang cerah, terlilit oleh tumbuhan
padang pasir menjadi semak belukar. Begitu menarik pohon akasia ini dalam
pandangan orang yang letih karena silaunya cahaya padang gurun; amun pohon ini
lebih tinggi dan lebih menarik, seperti pohon “semak yang bernyala-nyala” dan “kayu
penaga” untuk kemah suci.
4. Padang Gurun Sin (Kel. 16:1). Daerah Sinai adalah daerah berbatu-batu dan
berbukit-bukit, di selang-selingkan oleh berbagai sudut dan jurang yang bernaung.
Akan tetapi, Padang Gurunn Sin banyak berbeda dengan Sinai, karena merupakan
dataran pasir luas, yang membentang sepanjang tepi pantai Laut Merah (BBHM, 81)
Sementara bangsa Israel berada di Padang Gurun Sin, Allah mengirimkan
manna (Kel. 16:14-15 dst. 0. Usaha-usaha untuk menyamakn manna dalam Akitab
dengan getah pohon tamarisk dan zatzat lain tidak berhasil. Ada banyak perbedaan
pokok antara getah pohon amarisk dan manna.
5. Rafidim (Kel. 17:1). Dari Padang GURUN Sinai, bangsa Israel menuju ke pedalaman
Semenanjung Sinai, mungkin melintasi lebah yang dewasa ini disebut Wadi Feiran
(BBHM, 81) Pada perhentian penting berikutnya, Rafidim, Musa memukul batu
karang agar mengeluarkan air 917:1, 6), dan sini juga bangsa Israel disokong oleh
Tuhan dalam petempuran mereka dengan orang Amalek (17:8).
6. Gunung Sinai (Kel 19:1-2), tinggal beberapa wakti di Sinai Mesir, mereka
mengadakan perjalan kurang lebih 24 km dari Rafidim ke Gunung Sinai dan
berkemah di depan gunung itu. Israel tinggal di Gunung Sinai selama sekitar 1 tahun
(bdg. Kel 19:1 Bil 10:11-12). Semua kejadian berikutnya dalam sisa Kitab Keluaran,
materi dalam Kitab Imamat, dan kejadian-kejadian dari bagian pertama Kitab
Bilangan sampai 10;10 terjadi di Sinai. Dalam Bil 10:11-12 kita membaca tentang
berangkannya Israel dari Gunung Sinai karena mereka memulai pejalanan mereka ke
utara ke Kadesy.
Tiga puluh lima kali dalam Perjanjian Lama Sinai disebut sebagai sebuah padang
gurun atau gunung, dan tujuh belas kali daerah atau gunung yang sama Horeb. Istilah-istilah
ini sering digunakan bergantian, dan dengan dmikian jelaslah bahwa Sinai dan Horeb
mengacu pada tempat yang sama.
Berbagai lokasi yang berbeda telah di anjurkan untuk Sinai, beberapa ahli bahkan
menempatkan gunung ini jauh di wilayah Midian, disebelah timur Teluk Akaba (bagian timur
Laut Merah). Akan tetapi, pandangan yang tradisional, selalu berpendapat bahwa Gunung
Sinai harus disamakan dengan gunung yang dewasa ini sebagai Jebel Musa. Edward
Robinson, seorang Amerika yang menjadi perintis penjelajah di Palestina, memperkirakan
bahwa puncak disebelah Jebel Musa (disebut es-Sufsafeh) adalah lebih cocok dengan
keadaanya karena dari sini orang dapat melihat dataran yang luas di kaki gunung tersebut,
dan dataran ini mungkin adalah tempat bangsa Israel berkemah.
Akan tetapi, tidak ada alasan yang memaksa untuk mengabaikan identifikasi
tradisional tentang Gunung Sinai sebgai Jebel Musa (berarti “Gunung Musa” dalam bahsa
Arab), dan “hal itu memenuhi semua persyaratan yang dikemukakandalam Perjanjian Lama”
(ABB, 42). Jebel Musa, bagian dari jajarannya puncak-puncak gunung yang besar, menjulang
dengan kemegahan yang mengagumkan, mencapai ketinggian 2211 m. Di kaki gunung itu
terdapat dataran yang luas, sekitar 1,6 km penjangnya, yang mungkin adalah tempat
berkemah bangsa Israel (RBR, 95)
Sepuluh Perintah Allah (Kel. 20);
Tujuan Hukum Taurat
Sementara Israel berada di Gunung Sinai, Musa mendaki gunung tersebut dan di sana
menerima Sepuluh Perintah Allah dan hokum-hukum lain yang dinyatakan Allah kepadanya.
Tujuan hokum Taurat tersebut setidaknya mencakup tiga hal: (1) Untuk menyatakan keadaan
berdosa manusia. Manusia mengetahui bahwa ia seorang berdosa karena kesaksian hati
nurani, tetapi dengan huku Allah yang diterbitkan, ia memiliki “pengetahuan yang lebih
intensif tentang dosa” (Rm. 3:19, yang berbicara mengenai apa yang dikatakan hokum
tersebut, menambahkan, “supaya tersumbat setiap mulut dan seluruh dunia jatuh ke bawah
hukuman Allah"). (2) Untuk menyatakan kekudusan Allah. Sifat perintah-perintah tersebut
menunjukkan kekudusan Allah; tetapi hokum tata cara agama dan khusunya kemah suci
dengan Ruang Mahakudusnya menekankan kekudusan Allah. (3) Untuk membawa orang
berdosa kepada Kristus. Aspek ini dari hokum Taurat diuraikan oleh Paulus, “Jadi hukum
Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang” (Gal. 3:24). Hukum ini menjuk
kepada salib Kristus (melalui persembahan korban, keimaman, dan kemah suci) sebagai satu-
satunya jalan keselamatan dan jalan masuk kepada Allah.
Dalam kematian Kristus, orang percaya dilepaskan tidak saja dari kutuk hukum
Taurat (Gal. 3:13), tetapi juga dari hokum itu sendiri (Kol. 2:14). Apakah dengan demikian
kita boleh melanggar Sepuluh Perintah tersebut? Paulus menjelaskan bahwa jawabannya
adalah tidak boleh, karena ia mengacu pada keadaan “tidak hidup di luar hokum Allah
tetapi..di bawah hukum Kristus” (I Kor. 9:21). Kita “menjadi milik orang lain… agar kita
berbuah bagi Allah” 9Rm. 7:4). Setiap perintah dari Dekalog, kecuali yang keempat,
diteguhkan kemabli dan di dukung dalam Perjanjian Baru. Perintah-perintah tersebut diulangi
dalam Perjanjian Baru sebagai ajaran bagi kita, agar kita dapat mengetahui apakah kehendak
Tuhan itu. Akan tetapi, dengan hanya melaksanakan hokum tersebut tidak akan
menyelmatkan orang; hanya dengan percaya kepada Kristus sebagai Juruselamat orang
diselmatkan.
Petunjuk-Petunjuk untuk
Membangun Kemah Suci
Enam belas pasal terakhir dari Kitab Keluaran terutama mengenai berbagai petunjuk
untuk membangun kemah suci, yang akan digunakan sebagai tempat pertemuan antara Allah
dengan umat Israel. Maksud Kemah Suci ini diringkas dalam kata-kata Allah kepada Musa
mengenai Israel, “Mereka harus membuat tempat kudus bagiku, supaya Aku akan diam di
tengah-tengah mereka” (Kel. 25:8).
Ketika Musa sedang bersiap-siap untuk mengarahkan pembangunan kemah suci,
Allah memberi tahu dia agar memperbolehkan siapa saja yang ingin untuk membawa
persembahan agar tersedia bahan-bahan yang diperlukan 9Kel. 35:4-50). Kterangan dan
penegasan telah dating dari Tmur Dekat mengenai beberapa bahan ini. Kita akan membahas
dua di antaranya.
Bahan yang disebut sebagai “kulit lumba-lumba” digunakan untuk membuat penutup
terakhir dari empat penutup kemah suci (36:19). Akan tetapi, perlu diperhatikkan bahwa kata
Ibrani yang berarti ‘kulit sejenis luak” dalam teks KJV telah diterjemahkan “kulit anjing laut”
dalam teks ASV dan “kulit ikan duyung” dalam NIV (Kel. 25:5). Apakah alasan dari
perbadaan-perbedaan ini, dengan keterangan apakah yang dapat diperoleh mengenai kata ini
bila kita mengkaji berbagai bahasa dan binatang di Timur Dekat?
Kata Ibrani yang digunakan adalah tahash. Para penulis Talmud menyetujui gagasan
bahwa kata tersebut berarti “badger” (semcam luka). Secara sepintas ada kesamaan antar
tahash dan kata Latin taxus dan kata bahasa Jerman Dachs, yang dua-duanya berarti’ badger.”
Asal mula kata ini diperhatikan oleh penerjemah KJV. Satu kesulitan dengan terjemahan ini
adalah bahwa binatang “badger” itu tidak mungkin diperoleh orang Israel ketika mereka
berada di padang gurun Sinai, karena binatang ini tampaknya tidak ditemukan di daerah Sinai
atau Mesir, meskipun cukup melimpah di Siria, dan didaerah Libanon di seblah utara
Palestina.
Kesulitan lain dengan terjamahn “badger” terletak pada kenyataan bahwa bahsa Latin
dan bahasa Jerman berasal dari rumpun bahasa yang berbeda dengan bahasa ibrani. Bahasa
Ibrani termasuk dalam rumpun yang dikenal sebagai bahasa-bahasa Semit, yang termasuk
bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, sebuah kata yang mirip dengan kata Ibrani tahash adalah
kata tuhas yang berrati “lumba-lumba”. Tristram mengatakan bahwa kata tuhas dalam bahasa
Arab digunakan juga untuk binatang laut lain yang dibeut dugong, atau ikan duyung, yang
secara lahir mirip dengan dolphin atau ikan lumba-lumba.
Ikan duyung rata-rata panjangnya 1,5 sampai 4,5 m. binatang ini sering ditemukan
sepanjang pantai, di mana ia memakan rumput laut. Karena ikan duyung tinggal di laut di
daerah Mesir dan Sinai, tampaknya mungkin bahwa kata Ibrani tahash mennujuk pada
binatang laut ini. Seorang ahli bahasa Ibrani, Geseniu, serta para wisatawan di Timur Dekat,
telah menunjukkan bahwa orang-orang Arab di Sinai memakao sandal dari kulit ikan duyung.
Ini adalah penting, karena kasut dari ‘kulit” (tahash) disebutkan dalm Yeh. 16:10.
Sementara anjing laut dan lumba-lumba, serta ikan duyung, semunaya ditemukan di
perairan dekat Sinai, dan mungkin adalah binatang yang di maksudkan dengan tahash, para
penulis akhir-akhir ini lebih menyetujui ikan duyung. Bukti yang diberikan di atas juga
cenderung menyetujui identifikasi ini.
Tembaga adalah salah satu bahan penting yang disumbangkan untuk membangun
kemah suci 9Kel. 25:3 35:5, 24). Kita di beri tahu bahwa bejana pembasuhan dibuat dari
perunggu, yang diperoleh dari sumbangan cermin-cermin para wanita (Kel. 38:8)
Penelitian Alkitab yang terkenal dari abad ke-19, Julius Wellhausen, menyatakan
bahwa catatan tentang pembuatan bejana pembasuhan dari cermin-cermin perunggu ini
kemudian di tambahkan pada bagian Alkitab ini ketika ia mengatakan bahwa ayat tersebut
tidak “termasuk isi naskah asli sumber P” (WPHI, 353). Para peneliti biasanya mencatat
tarikh dari bagian-bagian pentateukh yang disebut “sumber P” (bdg. Dokumen 3 “P”) pada
sekitar tahun 500 Sm. Dengan demikian Wellhausen menempatkan catatan tentang Kemah
Suci pada tarikh yang terlalu kemudian bagi zaman Musa (sekitar 1500-1400) dan
menempatkan rincian-rincian mengenai pembuatan bejana pembahusan pada periode yang
lebih kemudian lagi dari apa yang disebut Naskah P.
Tidak ada alasan yang sah untuk menarikhkan catatan tentang cermin-cermin
perunggu dalam periode kemudian, karena itu sesuai dengan kisah tersebut sebagai bagian
yang integral. Lagi pula, rincian yang dapat dibandingkan dengan bukti eksternal ternyata
sesuai dengan periode yang lebih awal. Ada bukti arkeologis khusu yang menunjukkan
pemakaian cermin-cermin perunggu semacam ini pada periode Kekaisaran dalam sejarah
Mesir (sekitar 1550-1100), periode yang sama dengan Musa dan peristiwa Keluaran.
Penggalian-penggalian di Mesir telah menghasilkan banyak cermin perunggu, yang
menunjukkan bahwa cermin itu banyak dipakai pada masa itu. Alasan mengapa wanita Israel
dapat memilki cermin-cermin semacam ini adalah bahwa mereka baru saja keluar dari Mesir
dan memiliki cermin-cermin itu sebagai bagiandari harta milik mereka. Mereka bahkan
memiliki lebih banyak cermin daripada yang biasanya dimiliki, karena orang-orangMesir
memberimereka banyak pemberian pada saat mereka keluar (Kel. 12:35-36), rupanya karena
orang Mesir menghendaki mereka pergi agar menghindari lebih banyak tulah. Cermin-cermin
perunggu semacam ini dari Mesir kuno dapat dilihat di banyak museum besar di dunia.
Pandangan kritis cenderung menganggap kemah suci sebagai “ciptaan” kemudian dari
para penulis imam dan sebagai akibatnya, mereka menyangkal keberadaannya pada masa
Musa. Wellhausen membentuk pola kritis dengan menyangkal keabsahan uraian tentang
kemah suci dalam Kitab Keluaran (AAPB, 159), dan para penulis yang belakangan yang
menganut pandangan kritis ini mencerminkan sikap yang sama.
Bahkan beberapa detail dari kemah suci dianggap sebagai gagasan yang kemudian.
Dalam beberapa dasawarsa akhir-akhir ini beberapa sarjana telah menganggap bahwa kaki
dian yang bercabang tujuh di kemah suci mencerminkan periode Babilonia (sekitar 600-500
Sm) atau periode Persia (sekitar 500-300) (AAPB. 161). Penjelasan ini sesuai dengan
pandangan kritis bahwa Kitab Keluaran dan Imamat adalah tulisan-tulisan kemudian dari
sekitar 500-450, bagian terbesar dapat dihubungkan dengan penulis atau kelompok penulis
yang disebut “P.”
Akan tetapi, penggalian-penggalian arkeologis tidak mendukung pemikiran kritis ini
bahwa kandil bercabang tujuh adalah sebuah gagasan yang kemudian. Pada penggalian di
Tell Beit Mirsim, tepatnya pada lapisan periode Zaman Besi I (1200-900 Sm), tidak pernah
sesudahnya, ditemukan lampu-lampu tanah liat dengan tujuh tempat untuk sumbu. Ketujuh
tempat untuk sumbu ini dibuat dengan menjepitkan bagian tepinya tujuh kali. Mengenai
gagasan bahwa kandil-kandil bercabang tujuh mencerminkan Zaman Persia atau Babilonia,
Albright menyatakan, “Sayangnya untuk konsepsi a priori ini… kandil-kandil semacam ini
ditemukan di Tell Beit Mirsim B, juga pada endapan-endapan dari periode yang sama di lain
tempat di Palestina” 9yakni, sekitar tahun 1200). Albright menambahkan bahwa ia “ingin
memprotes dengan giat” terhadap pemikiran bahwa sumber-sumber keimaman memberi
“kisah yang penuh fantasi mengenai kemah suci,” yang mencerminkan hanya “pemikiran-
pemikiran keimaman dari Masa Pembuangan” (AAPB, 159)
Selama masa keenam, ketujuh dan kedelapan saya di Dotan (1958,1960, dan 1962),
kegiatan kami mencakup penggalian dua makam yang dibuat pada Zaman Besi I (1200-
1100). Empat lampu yang berbeda dengan tujuh cerat ditemukan dalam makam-makam ini,
yang menegaskan lebih lanjut mengenai kekunoan gagasan kandil bercabang tujuh ini. Untuk
foto dari kandil bercabang tujuh ini, lihat BASOR (Desember 1960) 14, gambar 3.
Sebenarnya, orang tidak perlu menggali kemah suci dan perlengkapannya untuk
menghasilkan bukti bahwa pandangan kritis yang menegaskan tarikh yang kemudia itu tidak
benar. Argumentasi kritis adalah subyektif. Pada saat kita menemukan sebuah kandil
bercabang tujuh pada periode kuno, kita memiliki petunjuk yang obyektif yang
menunjukkanbahwa pandangan kritis tidak di dukung, paling tidak pada masalah ini.
BAB 9
GUNUNG SINAI DAN PADANG GURUN
(Imamat, Bilangan, Ulangan)
Kitab Imamat
Sementara orang-orang Israel berkemah di depan gunung sinai, Allah menyatakan
kepada Musa berbagai peraturan upacara agama yang terdapat dalam kitab Imamat. Tujuan
kitab Imamat adalah menyediakan suatu pedoman bagi penyembahan kepada Tuhan, dan
untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada para imam mengenai seluk-beluk
penyembahan. Pasal 1 sampai 7 memberikan petunjuk mengenai cara mempersembahkan
lima jenis korban-korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban penghapus
dosa, dan korban penebus salah, yang semuanya melambangkan berbagai aspek kematian dan
pelayanan Kristus. Setelah bagian ini terdapat berbagai petunjuk mengenai pentahbisan para
imam (Im. 8-10), dan hukum-hukum kesucian (ps, 11-15), yang berkenaan dengan makanan
yang boleh dimakan dan penanganan penyakit kusta. Pasal 16 memberikan petunjuk bagi tata
cara Hari Raya Pendamaian. Pada hari raya tersebut dua ekor kambing jantan dibawa ke
depan pintu kemah pertemuan, seekor kambing jantan harus dikorbankan dan yang seekor
dilepaskan dipadang gurun, dengan menanggung semua kejahatan Israel. Kedua kambing
jantan ini melambangkan kematian Kristus, yang menghapus segala kejahatan kita. Kitab
imamat selanjutnya (ps. 17-27) berbicara mengenai berbagai hukum kekudusan, termasuk
petunjuk-petunjuk untuk tempat korban, arti dari darah, hukuman atas bermacam-macam
dosa, berbagai hari raya Tuhan (ps. 23), Tahun Sabat, persyarata-persyaratan untuk menerima
berkat ditanah Perjanjian (ps. 26), dan berbagai hal yang dipersembahkan kepada Tuhan (ps.
27).
Suatu sensus yang terinci tentang Israel, yang dikisahkan pada awal kitab bilangan,
telah diadakan ketika bangsa itu masih berada di Sinai (ps. 1) dan yang lain menjelang
berakhirnya pengembaraan dipadang gurun ketika mereka berada di dataran Moab (ps. 26).
Musa barangkali mempelajari metode sensus yang sementara dia tinggal di Mesir, karena
berbagai penemuan arkeologi disana menunjukan bahwa Firaun suka sekali mengumpulkan
statistik yang tepat. Knight menjelaskan bahwa naskah-naskah papirus yang ditulis pada
tahun 3000 sM menunjukkan bahwa pada zaman purba itupun sudah dibuat daftar sensud
yang saksama dengan menyebutkan kepala keluarga, kerabat wanita yang tinggal bersama-
sama, budak-budak dan anak laki-laki yang kecil.
Robert Dick Wilson memperlihatkan bagaimana materi dalam kitab bilangan ini
cocok dengan awal periode zaman Musa (sekitar 1500-1400sm), dan bukan pada periode
yang kemudian (900-400), sebagaimana dinyatakan oleh para kritikus pentateukh. Dalam
kaitan ini mengatakan, “bentuk penghitungan dalam kitab keluaran 1-4 mempunyai
persamaan dengan banyak perhitungan di Tawarikh Tahutmes III” (sama denganThotmose III
atau Thotmose III; lihat ps. 7, bagian yang berjudul “The Pharooh of the Oppression hlm.79-
81).
Setelah bangsa Israel berkemah selama hampir satu tahun didepan gunung Sinai,
Tuhan memerintahkan bangsa itu untuk berangkat, kemudian menuntun mereka dengan awan
(Bil. 10:11-36). Israel mengadakan perjalanan ke utara, akhirnya sampai ke kadesy, atau
Kadesy Barnea, lokasi tradisionalnya terletak sekitar 64 km sebelah selatan setelah Bersyeba.
Agak lama para ahli berpendapat bahwa kadesy adalah sama dengan tempat yang
sekarang disebut Ain-Kadis (‘Ain Qedeis) dalam bahasa Arab 119 km disebelah barat daya
Bersyeba. H. Clay Trumbull, mantan editor Sunday School Times, telah menelaah soal ini
secara menyeluruh dan menulis sebuah buku hampir lima ratus halaman mengenai pokok ini.
Ia menyimpulkan bahwa kadesy lebih tepat dihubungkan dengan Ain-Kadis karena beberapa
alasan: (1) Ain-Kadis terletak didaerah yang merupakan benteng yang strategi diperbatasan
selatan Kanaan. (2) Letaknya digaris perbatasan alami di selatan Kanaan. (3) tempat ini
sesuai dengan petunjuk-petunjuk lain yang disebutkan dalam teks Alkitab. (4) Tempat ini
berintergrasi paling baik dengan perjalanan israel setelah meninggalkan Kadesy. (5) Ain-
Kadis paling cocok dengan acuan-acuan alkitab kepada Kadesy.
Dalam tahun-tahun belakangan tempat-tempat lain telah di anjurkan sebagai lokasi
Kadesy. Yang paling penting dari antara semua ini mencakup karya C. Leonard Woolley dan
T. E. Lawrence. Ketika mengeksplorasi padang gurun disekitar Palestina (1913-1914),
merekamenyimpulkan bahwa ‘Ain el-Qudeirat dan Tell el-Qudeirat yang berdekatan (8 km
sebelah barat laut ‘Ain qadeis) adalah lokasi Kadesy. Idenfikasi ini sekarang diterima secara
umum. “Ain el-Qudeirat memiliki sumber air terbaik di Sinai; summber air ini mengairi oasis
terbesar di Sinai Utara. Tahun 1956 M. Dothan melakukan penggalian eksplorasi penggalian
tersebut untuk departemen kepurbakalaan Israel. Penggalian tersebut menggali tiga periode
pendudukan: pertama, ditarikhkan oleh tembikar ke abad ke-10 sm; kedua, terdiri atas sebua
benteng penting, mungkin dari masa Yosafat sekitar pertengahan abad ke-9; dan ketiga,
periode Persia pada abad kelima dan keempat sM. Bahkan jika ‘Ain el-Qudeirat diterima
sebagai lokasi Kadesy, mungkin sumber air lain disekitar daerah sekitarnya (Ain-Kadis, dll)
memenuhi kebutuhgan orang-orang israel yang mengembara.
Para peneliti sering menunjukkan berbagai kesulitan dan kemustahilan yang menurut
dugaan mereka terdapat dalam Kitab Bilangan. Misalnya, mereka mengatakan bahwa
mustahil untuk mengatur bani Israel yang begitu besar (dua juta atau lebih) dalam formasi
untuk mengadakan perjalanan. Menurut keberatan ini, setengah juta orang israel dalam setiap
dari empat pembagian utama tidak dapat berkumpul dalam formasi barisan pada waktu yang
pantas, dan setelah formasi mereka terbentuk, barisan mereka mungkin akan memanjang
hingga sekitar 35 km menurut Colenso atau bahkan 965 km menurut Doghty. Hal ini berarti
bahwa diperlukan waktu sepanjang hari untuk membentuk formasi barisan dan kemudian
tidak ada waktu siang yang tersisa untuk mengadakan perjalanan. Namu, analisis tentang
situasi ini, menunjukan bahwa kesulitan semacam ini belum tentu ada. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Whitelaw, dua defisi dapat mulai membentuk formasi pada waktu pukul enam
pagi, siap untuk berangkat pukul 10 pagi, menempuh jarak sejauh 16 km dalam waktu empat
jam dan kemudian berhenti pada pukul dua siang. Dua difisi yang lain dapat membentuk pada
barisan pada pukul dua siang, tiba pukul 6 petang dan sudah beres untuk bermalam pada
pukul sepuluh malam. Lagipula, tidak ada bukti pasti bahwa bangsa israel membentuk
perkemahan secara teratur setiap malam, dan mungkin hal ini dilakukan jika mereka
mencapai suatu tempat dimana mereka akan berhenti untuk beberapa lama. Tambahan pula,
pengaturan empat devisi menjadi suatu barisan mungkin berlangsung secara serempak,
karena mereka terpisah cukup jauh satu dengan yang lain. Yehuda berada disisi timur
perkemahan, Ruben di sisi selatan, Efraim di sisi barat, serta Dan di sisi utara. Apabila
formasi serempak seperti ini terjadi, suatu jarak yang lebih jauh dari pada 16 km dapat
ditembuh dalam perjalanan sehari. Karena tidak ada rincian lain, seorang peneliti tidak
berhak untuk merekonstruksi situasi yang tampaknya tidak mungkin, terutama ketika catatan-
catatan yang ada di dalam Alkitab dapat dimengerti sehingga tidak menimbulkan masalah.
Kesulitan yang kedua berkaitan dengan burung puyuh; ketika Tuhan mengirim burung
puyuh kepada bani Israel di padang gurun, ia membiarkan burung-burung itu jatuh “ke atas
tempat perkemahan dan disekelilingnya, kira-kira sehari perjalanan jauhnya kesegala penjuru,
dan kira-kira dua hasta tingginya dari atas muka bumi” (Bil. 11:35). Paca agnostik yang
membaca ini segera menyimpulkan bahwa burung puyuh itu menumpuk setinggi dua hasta
(90 cm), memberikan kepada setiap orang Israel 2.888.463 gantang burung puyuh selama
sebulan, atau 69.620 gantang setiap kali makan! Mereka telah mengabaikan kenyataan bahwa
kata Ibrani yang diterjemahkan “atas” dalam ayat ini adalah kata ‘al, salah satu dari arti
umumnya adalah “di atas” (above) seperti dalam NIV (BDB, 752, bag. 2). Karena kata ibrani
ini berarti “atas” (upon), atau “di atas” (above), karena kata ini lebih cocok dari kata
konteksnya. Jadi burung puyuh melayang atau terbang sekita 90 cm di atas permukaan
tanah., dengan kata lain, mudah di capai oleh setiap orang Israel sehingga mereka dapat
mengambilnya untuk makanan mereka. Semua angka yang tak masuk akal yang menunjukan
bahwa menurut dugaan ada 69.620 gantang burung puyuh bagi setiap orang israel untuk tiap
kali makan telah didasarkan pada peranggapan yang salah dan sengaja menyesatkan. Analilis
yang pantas terhadap berbagai kesulitan dan kontradiksi lain dalam Kitab Bilangan
menunjukkan bahwa tidak adanya hal-hal yang tidak masuk akal.
DARI KADESY KE DATARAN MOAB (Bil. 13-36)
Setelah para pengintai diutus dari kadesy untuk meninjau Kanaan (Bil. 13:1-2, 17 dst.)
dan telah kembali dengan laporan tentang orang-orang raksasa dan kota-kota berkubu, orang
Israel mengeluh mengenai memasuki negeri tersebut (Bil. 14:1-3). Hanya dua (Yosua dan
Kaleb) dari antara dua belas pengintai itu yang ingin memasuki negeri tersebut, tetapi bangsa
itu menolak nasihat mereka (14:6-10). Karena ketidak percayaan umat ini dan kurangnya
keyakinan mereka, Tuhan berkata bahwa mereka akan berada di padang gurun selama empat
puluh tahun (Bil. 14:33). Beberapa ahli berpendapat bahwa sebagian terbesar periode ini
bangsa israel berada di sekita Kadesy, sekitar 38 tahun.
Ketika Israel akhirnya meninggalkan Kadesy, orang Edom tidak mengizinkan mereka
melintasi tanah Edom (Bil. 20:14, 21). Maka orang israel membelok ke selatan, mengelilingi
tanah Edom (21:4), kemudian ke Utara ke dataran Moab, tempat mereka menghadapi nabi
Bileam (ps. 22). Setelah perlakuan Bileam terhadap Israel (ps. 22-24), Allah memberi
petunjuk melalui Musa kepada bangsa itu mengenai hukum hak waris (ps. 27), ketetapan
kurban-kurban (ps. 28), persiapan untuk memasuki tanah Kanaan (ps. 34), dan berbagai
ketetapan untuk kota-kota perlindungan (ps. 35). Kejadian-kejadian akhir dalam kitab
Bilangan ini terjadi ketika bangsa Israel berada di daratan Moab, didekat ujung utara Laut
mati. Mereka dikawasan itu selama Musa menyampaikan kepada mereka perkataan yang
tercatat dalam kitab Ulangan (Ul. 1:5dst.).
KITAB ULANGAN
Kitab ulangan terumata terdiri atas empat amanat Musa kepada bangsa israel ketika
mereka berkemah di daratan Moab beberapa mil sebelah timur sungai Yordan, agak ke
sebelah utara dari ujung utara Laut Mati. Amanat- amanat ini diberikan berturut-turut pada
1:5; 27:1 dan 29:1. Kata “Ulangan” (Deuteronomy) berasal dari dua kata Yunani yang berarti
“hukum kedua”, dan istilah ini digunakan dalam pengertian sebuah pengulangan hukum yang
sebelumnya telah diberikan dalam pentateukh. Tujuan kitab Ulangan adalah menyampaikan
ringkasan hukum yang telah diberikan dalam kitab Keluaran dan Imamat demi kepentingan
generasi yang telah dibesarkan di padang gurun, supaya mereka dapat dipersiapkan untuk
memasuki tanah Kanaan. Pokok-pokok yang diuraikan mencakup :
1. Perjalanan Israel dipadang gurun ditinjau kembali (ps. 1-3).
2. Sepuluh perintah Allah diulangi (ps. 5).
3. Berbagai peraturan yang berhubungan dengan makanan (ps. 14), beberapa hari
saya seperti paskah (ps. 16) ditinjau ulang.
4. Berbagai persyaratan untuk memperoleh berkat ditanah perjanjian (ps. 28).
5. Petunjuk-petunjuk akhir Musa, berkatnya atas suku-suku Israel, dan kematiannya
(ps. 31-34)
Menurut pandangan para peneliti Alkitab, kitab Ulangan tidak ditulis oleh Musa,
tetapi disusun jauh sesudah masa hidupnya. Pandangan ini mempengaruhi banyak staf
pengajar seminari dari berbagai denominasi utama dari Amerika Serikat selama paruhan
pertama abad ini. Misalnya, Otto Piper, profesor di Princeton Theological Seminary,
menunjukkan bahwa ia menerima pandangan higher criticihm ketika ia mengatakan bahwa
Kitab Ulangan tidak ditulis oleh Musa, tetapi “oleh nabi-nabi penulis setelah kematiannya. S.
A. Cartledg dari Columbia Seminary (Decatur, Georgia), dengan seenaknya
mengesampingkan kepengarangan Musa atas banyak bagian dari pentateukh ketika ia
mengatakan,”Musa dianggap sebagai pemberi hukum yang sangat unggul, jadi para imam
penulis jadi tidak ragu-ragu untuk menganggap bahwa hukum-hukum baru berasal dari Musa
selama mereka merasa bahwa hukum-hukum tersebut sejalan dengan roh Musda dan hukum-
hukum yang telah mereka peroleh dari Musa.
Ada beberapa alasan mengapa kelompok liberal menarikan kitab Ulangan pada abad-
abad kemudian, biasanya pada abad ketujuh sM, dan dengan demikian membantah
kepengarangan Musa. Mari kita memeriksa salah satu alasan ini. Pasal terakhir dari kitab
ulangan melaporkan kematian Musa (34:5dst.). para kritikus menunjukkan bahwa manusia
tidak dapat menulis kematiannya sendiri, maka Musa tidak dapat menjadi penulis buku
tersebut. Ini bukanlah argumentasi baru. Tiga ratus tahun yang lalu, seorang filsuf Belanda
bernama Spinoza (1632-1677) berkomentar mengenai kisah kematian Musa, “kesaksian
demikian tidak dapat diberikan oleh Musa sendiri... tetapi hal itu tentunya berasal dari
seseorang yang hidup beberapa abad sesudahnya.” Argumentasi ini telah diulang-ulang
hingga generasi sekarang.
Paling sedikit ada dua penjelasan yang mungkin untuk hal ini yang kelihatan sebagai
suatu tidakcocokan: (1) Musa adalah seorang nabi (Ul. 34:10) dan karenanya dapat menulis
tentang kematiannya sendiri sebelum hal itu terjadi, tetapi itu amatlah tidak mungkin. (2)
karena Yosua adalah pembantu atau”pelayan” Musa, bukankah wajar sekali baginya, sebagai
pengganti Musa, untuk menambahkan beberapa kata yang diceritakan kematian
pendahulunya?
Kita dapat mengutip sebuah contoh modern untuk menyebutkan bahwa penyebutan
kematian seorang penulis dalam batas-batas sebuah buku tidak perlu berarti bahwa penulis
tidak menulis buku tersebut. Pada tahun 1938, penerbit university of Chicago menerbitkan
sebuah buku yang berjudul They Wrote on Clay: The Babylonian Tablets Speak Today, ditulis
oleh Edward Chiera, profesor Assiriology di University of Chicago. Profesor Chiera adalah
pengarang buku tersebut, tetapi pada halaman vi kita membaca tentang “kematiannya yang
belum waktunya.” Apakah hal ini berarti bahwa Chiera tidak dapat dan tidak mungkin
menulis buku tersebut, sama seperti acuan pada kematian Musa tidak dapat dan tidak dapat
menulis kitab Ulangan? Pengetahuan yang lebih lengkap tentang fakta-fakta memberikan
jawaban “Tidak.”
Kita mendapati bahwa Chiera benar-benar menulis buku tersebut, tetapi ia meninggal
dunia sebelum buku itu selesai untuk diterbitkan, dan seorang ahli Assyriologi yang lebih
muda dan rekan Chiera, George C. Cameron, mempersiapkan buku tersebut untuk penerbitan
dan menulis kata pendahuluannya, yang menceritakan kematian Chiera. Rujukan kepada
kematian Chiera ditambahkan pada awal bukunya, sedangkan dalam Kitab Ulangan delapan
ayat yang memberi tahu kematian Musa ditambahkan pada bagian akhir. Jika pada zaman
Musa buku-buku diberikan halaman judul penuh, mungkin kita membaca sedemikian: “Kitab
Ulangan, oleh Musa, hamba Tuhan, dengan catatan riwarat hidup oleh Yosua, hamba Musa?”
Jika kita Ulangan hanya kelihatannya ditulis oleh Musa, tetapi sebenarnya tidak, maka
terjadi sebuah kasus penipuan; para kritikus dari generasi yang baru menyebutnya “penipuan
agamawi.” Penelitian Albright terhadap berbagai materi kuno meyakinkan dia bahwa teori
penelitian yang lama tentang “penipuan agama” tidak bertahan. Ia mengatakan mengenai
asumsi-asumsi aliran Wellhausen, “asumsi ketiga bahwa penipuan agamawi dan
pseudepigrafi umu terdapat di Israel, tidak mempunyai persamaan di kawasan Asia timur pra-
Helenistis... hampir-hampir tidak ada kasus tunggal yang diketahui tentang pia fraus.
Teori kitis berpandangan bahwa tingkat sosial dan moral hukum-hukum dalam kitab
Ulangan (serta dalam kitab Keluaran dan Imamat) terlalu maju untuk zaman Musa dan
seharusnya di tarikhkan pada masa kemudian dalam sejarah Israel. Teori kritis ini tampaknya
menyatu dengan alasan lain-lain yang dikemukakan untuk menyangkal bahwa Musa yang
menbulis kitab Ulangan dan buku-buku lainnya dalam pentateukh (lihat materi dibagian
sebelumnya).
Akan tetapi, berbagai temuan arkeologi menunjukkan bahwa hukum-hukum yang
dianggap maju i Kitab Ulangan dan buku-buku lain dalam pentateukh tidak harus diberi
tanggal yang kemudian sesuai dengan anggapan kelompok kritis. Kitab undang-undang
Hammurabi (mungkin ditulis pada abad ke-18 sm) ditemukan oleh sebuah ekspedisi
arkeologi dari perancis di bawah pimpinan M. Jaques de Morgan pada tahun 1901-1902
disitus susa kuno yang sekarang disebut Iran, sekira 241 km disebelah utara Teluk Persia.
Kitab undang-undang ini ditulis pada sepotong batu diorit hitam, tinggi sekirat 2,4m dan
terdiri dari atas 282 bagian atau paragraf. (lihat gambar pada hlm. 76; juga lihat PANET, 163-
80).
Kitab undang-undang Hammurabi ditulis beberapa ratus tahun sebelum zaman Musa
(sekitar 1500-1400 sm), namun beberapa hukum diantaranya sama dengan hukum yang
dicatat oleh Musa. Seperti yang tercatat dalam bab 4, sebenarnya kita undang-undang
Hammurabi itu muncul belakangan. Undang-undang ini dalam beberapa hal mirip dengan
undang-undang kuno lain yang ditulis beberapa ratus tahun sebelumnya. Sekarang ini kita
telah merunut sejarah kitab undang-undang Mesopotamia sampai ke masa Abraham.
Mengingat hal ini, kelompok liberal tidak berhak untuk berkata bahwa hukum-hukum Musa
terlalu maju untuk zamannya dan tidak ditulis olehnya. Hal ini diakui oleh Burrows, yang
mengatakan:
Para sarjana kadang-kadang beranggapan nahwa tingkah moral dan hukum-hukum
yang dihubungkan dengan Musa terlalu maju untuk zaman yang sedemikian purba. Standar-
standar yang digambarkan oleh kitab undang-undang kuno dari bangsa Babilonia, Asyur, dan
Het serta beberapa gagasan tinggi yang ditemukan dalam buku Kematian Bangsa Mesir,
Kesussastraan Kebijaksaaan orang Mesir zaman kuno secara efektif telah menyangkal
anggapan ini.
Beberapa orang liberal telah menyampaikan beberapa tahun belakangan bahwa
mungkin Musa mendapat hukum-hukumnya dari kitab undang-undang Hammurabi. Kan
tetapi, kajian terhadap kitab undang-undang ini selama dasawarsa yang awal dari abad ini
telah meyakinkan sebagian besar kelompok liberal, bahwa tidak ada hubungan yang nyata
antara hukum-hukum Musa dan kitab undang-undang Hammurabi. Pengakuan semcam ini
dibuat oleh G. A. Barton, profesor liberal dari University of Pennsylvania, yang mengatakan,
di ambang perang dunia II, “satu pertandingan antara kitab undang-undang Hammurabi
secara keseluruhan dengan hukum-hukum- pentateukh secara keseluruhan, yang menyatakan
kesamaan-kesamaan tertentu, telah meyakinkan si peneliti bahwa hukum-hukum perjanjian
lama pada dasarnya tidak tergantung pada hukum-hukum Babilonia” (Bab, 406). Kitab
undang-undang hammurabi mengandung banyak hukum yang khas terdapat dalam kitab itu
sendiri, termasuk hukum yang berhubungan dengan para prajurit, para pemungut pajak dan
pedagang anggur.