Anda di halaman 1dari 4

CIMANDE, RIWAYATMU KINI

pencaksilat / Mei 23, 2008

Khasanah persilatan Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata Cimande. Sebuah
aliran pencak silat yang tergolong besar, terkenal dan memiliki pengaruh besar pada aliran
lainnya di Jawa, Indonesia hingga luar negeri. Bagi khalayak umum di JABODETABEK,
Cimande lebih dikenal sebagai ahli patah tulang yaitu memperbaiki tulang yang patah dengan
cara tradisional. Begitulah cimande yang dikenal umumnya.
Untuk lebh mengenal lebih dekat apa itu Cimande, sabagai aliran Pencak Silat, Forum
Pecinta dan Peletari Silat Tradisional (FP2ST) mengadakan kunjungan ke jantung Cimande
yaitu desa Tarikolot.

Talang Dua
Dengan menggunakan dua mobil yang ditumpangi 10 orang, kami berangkat dari
Jakarta ke arah Bogor/Ciawi. Hanya satu jam di jalan tol, kemudian keluar dan berbelok ke arah
jalan raya sukabumi. Tidak berapa lama, kita akan menemui talang satu yaitu talang air yang
melintang dan berada di atas jalan raya. Konon talang ini sudah ada sejak jaman Belanda dan
merupakan sarana pengairan baik untuk sawah maupun kebutuhan lainnya dari penduduk
setempat.
Agak jauh dari talang satu, kita akan menemui talang yang kedua (talang dua), biasanya
di sisi kiri jalan sudah mulai banyak papan nama yang bertuliskan ‘ahli mengobati patah tulang’.
Berjarak sekitar 3-5 meter dari talang dua ini, ada jalan raya ke kiri yang agak menanjak. Di
ujung jalan ini dipenuhi tukang ojek. Kondisi jalan sudah beraspal dan tidak berapa lebar
sehingga menyulitkan jika ada 2 mobil yang berpapasan dari arah yang berlawanan.

Tarikolot
Rombongan kemedian menyusuri jalan aspal yang agak sempit namun bisa dilalui satu
mobil ini. Melewati jalan yang berliku, naik turun, rumah penduduk, persawahan dan setelah
sekitar 2-3 kilometer akan bertemu dengan simpang 3, dengan papan penunjuk jalan
bertuliskan ‘Tarikolot’. Maka berbeloklah ke kiri, ke arah tarikolot, dengan jalan yang menurun
dan sempit. Berada di daerah yang tergolong cukup tinggi, hawa di tarikolot tergolong sejuk dan
menyegarkan.
Tidak jauh dari simpang tiga ini, di sebelah kiri jalan kita akan menemui rumah salah
seorang tokoh dan sesepuh pencak silat Cimande, Bpk Ace Sutisna.

Cimande, Sungai yang mengalir


Gerimis menymabut rombongan, ketika keluar dari mobil dan bergegas menuju rumah
Pak Ace Sutisna yang sebelumnya sudah diberitahu via sms.
Iklan
Setibanya di rumah kami disambut oleh Pak Ace, juga anaknya Kang Asep. Bagi yang
pertama kali bertemu, sosok Pak Ace memang terkesan biasa saja. Tidak terlihat kesan sangar
bahwa dia seorang pendekar Cimande yang mumpuni. Tubuhnya malah tergolong kecil dan
kurus tanpa kumis atau jenggot yang menyeramkan. Tidak juga telihat akar bahar dan gelang
hitam di pegelangan tangnnya, sebagaimana citra dan kesan orang akan pendekar cimande nan
sakti.
Soal penampilannya ini, Pak Ace berkisah, pernah ada tamu dari jawa timur atau daerah
lainnya yang ketika bersalaman dengan beliau dengan ragu bertanya untuk memastikan apa
benar berhadapan dengan Pak Ace yang Pendekar Cimande. Kendati sudah dijawab bahwa
beliau sendiri adalah Pak Ace, tamu tersebut masih juga kurang percaya,sehingga dalam
pembicaraan selanjutnya tidak kurang hingga tiga kali tamu tersebut bertanya lagi memastikan
apa benar berhadapan dengan Pak Ace yang terkenal itu. Mungkin citra pendekar cimande yang
dibayangkan berbeda dengan kenyataan.
Sungguh, kita tidak bisa menilai orang sekedar dari penampilan lahiriah/luarnya. Kata
thukul “itu kan Chasing-nya”…
Lalu Pak Ace mulai bertutur soal Cimande. Menurut beliau, Desa Tarikolot dapat
dianggap sebagai sumber dan asal usul cimande. Di desa ini yang kebanyakan adalah keturunan
Eyang Rangga, yang memiliki murid berbakat yaitu Mbah Khair (Pencipta Cimande), yang di
kemudian hari terkenal dan diyakini sebagai pencak silat Cimande. Hingga saat ini ilmu warisan
karuhun tersebut masih dilestarikan dan terus dikembangkan khususnya di Kampung Tarikolot,
Desa Cimande.
“Bisa dikatakan setiap rumah berlatih dan memiliki tradisi cimande sendiri sendiri”, ujar
Pak Ace. Memang kendati Cimande diyakini diciptakan oleh Eyang (Mbah) Kahir, beliau
tidaklah memiliki keturunan, sehingga para muridnya dan keturunan dari Eyang Ranggalah
yang melestarikan dan meneruskan amanat leluhur ini.
Cimande sendiri adalah nama sungai di bawah desa yang mengalir dan di tepi sungai
itulah dulunya Eyang Khair tinggal sehingga aliran pencak silat yang diwariskan oleh beliau
dinamakan aliran cimande. Di dekat sungai inilah dulunya Eyang Khair bertempat tinggal dan
di sungai tempat murid-murid Cimande berlatih maenpo. Belakangan makna baru diberikan
bagi nama cimande baik dalam konteks bernuansa religi maupun budaya sunda.

Cimande sebagai sumber dan memiliki 5 aspek


Pak Ace menjelaskan bahwa cimande memiliki 5 aspek, dan bukan sekedar 4 aspek,
dalam maenpo-nya (pencak silat sunda) yaitu aspek olahraga, seni budaya/tradisi, beladiri,
spiritual dan pengobatan. Aspek terakhir yaitu pengobatan termasuk pijat/urut gaya cimande
dan pengobatan patah tulang.
Dalam proses pijat dan pengobatan ini biasanya digunakan minyak cimande.
Ditambahkan oleh Kang Asep, anak kandung dari Pak Ace, bahwa semuanya berasal dari
pencak (maenpo) cimande. Minyak cimande yang unsurnya pembuatnya terdiri dari minyak
kelapa dan sari tebu dan lainnya ini, dulunya dinamakan ‘minyak pencak’. Minyak ini
digunakan ketika berlatih sambut tangan dalam aliran cimande.
Demikian juga tehnik dan cara pengobatan patah tulang, yang belakangan berkembang
untuk pengobatan kesehatan lepas dari pencak silat, sebagai pelayanan kepada masyarakat.
Pengobatan patah tulang sebenarnya adalah bagian dari pelajaran pencak cimande akan
pengenalan anatomi tubuh; termasuk kekuatan dan kelemahannya serta bagaimana cara
memperbaiki atau merusaknya. Tentu saja dalam pengobatan patah tulang adalah bagaimana
cara memperbaikinya.
Dalam memberi pelayananan urut atau pengobatan patah tulang, umumnya ahli atau
pendekar cimande kurang mau mempublikasikan diri. Agar menghindari ria-takabur
sebagaimana diamanatkan oleh talek Cimande. Pada kesempatan yang langka ini, banyak juga
anggota rombongan, termasuk penulis, yang merasakan langsung pijatan dan urut-an khas
cimande lengkap dengan minyak cimande yang demikian cepat meresap ke kulit..
Pencak Silat Cimande
Dalam pandangan Pak Ace, pencak silat cimande sebenarnya bagian dan keseharian dari
kehidupan kita manusia. Misalnya jika ada yang mau memukul, secara refleks tangan kita
menagkis. Atau jika mau jatuh, maka tubuh dan kaki kita langsung menyesuaikan.
Hanya saja oleh Abah Khair, hal tersebut diramu dan dirumuskan dalam bentuk pelajaran yang
tersistematis dan gampang untuk dipelajari..Jadilah maenpo Cimande.
Seperti sudah banyak diketahui khalayak, aliran cimande terdiri dari 33 jurus kelid
cimande, pepedangan dan tepak selancar. Tangan adalah permainan dominan. Kaki lebih
merupakan pancer dan tempat berpijak yang harus dijaga keseimbangannya.
Menurut Kang Asep, saat ini cara berlatih cimande sedikit disempurnakan , yaitu dengan
cara menghapal jurus etrlebih dahulu dengan benar hingga 33 jurus, sambut berpasangan, lalu
belajar pepedangan dan diakhiri dengan tepak salancar.
Dengan hapal dulu jurus yang 33 itu diharapkan siswa dapat mengetahui gerakan yang benar,
cara menangkis, mengelak , memukul dan lain lain. Dalam satu jurus ada yang satu gerakan
atau 4-5 gerakan,.
“Sederhana dan tidak panjang-panjang sehingga gampang dihapal”, tukas Kang Asep.
Sesudah itu diolah lebih lanjut dalam rangkaian gerak baik dalam bentuk sambut berpasangan
dengan posisi duduk (atau kadangkala berdiri) yang disusul dengan pepedangan. Dalam
“sambut-tangan” dalam duduk berpasangan ‘mengadu tangan’, dengan tingkat kekuatan tenaga
yang semakin meningkat. Akhir semua pelajaranbaru diberikan tepak salancar.
Cara ‘adu tangan’ ini juga sebenarnya banyak tehnik dan menggunakan tenaga dengan
efektif. Hal inilah yang mengesankan bahwa praktisi Cimande memiliki tangan yang kuat
laksana besi dengan otot-otot kawat yang keras dan pejal. Tapi melihat tangan Pak Ace dan
Kang Asep, terlihat biasa saja, seperti tangan orang biasa, tidak tampak otot-otot menonjol bak
atlit binaraga. “Tangan yang kuat diperlukan untuk membendung serangan lawan”, kata Kang
Asep. Sebagai sarana pertahanan dan sekaligus alat serangan, tangan dalam cimande mendapat
latihan secara khusus, melalui sambut maupun latihan benturan lainnya.

Prihatin
Menilik perkembangan Cimande sebagai aliran silat yang besar dan berpengaruh dalam
jagat persilatan dunia, Pak Ace sebenarnya turut berbesar hati. Namun hal tersebut kurang
diimbangi dengan kuatnya persatuan dan persaudaraan pada tubuh internal kelaurga cimande
khusunya mereka yang berada di desa tarikolot sebagai pusat dan sumber cimande. “iutlah
sebabnya saya tidak setuju nama cimande dibawa-bawa dalam kegiatan dukung mendukung
kontestan pilkada atau berpolitik lainnya”, tegas PakAce.
Sebagai suatu aliran, cimande hendaknya netral dan lebih menekankan faktor budaya
dan akhlak sesuai talek cimande, yang adalah semestinya pegangan utama para pelaku
Cimande. Belum lagi kalo mengalami ‘kejatuhan’ maka akan merusak cimande secara
keseluruhan.
Kendati demikian tetap saja, sebagai manusia, masih ada kelemahan. Ada yang silau
oleh kesaktian hingga mengklaim bahwa ilmu kanuragan adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari Cimande. Ada yang terperangkap oleh jeratan fulus alias duit sehingga mau melakukan apa
saja yang tidak ada hubungan dengan pencak silat ataupun semata demi komersialisasi
sehingga dengan mudah dimanfaatkan pihak luar untuk kepentingan mereka. Kendati kita
dapat menemui beberapa padepokan cimande yang ada di Desa Tarikolot, sayangnya antara
satu padepokan dengan yang lainnya terjalin hubungan yang agak longgar dan kurang rapat-
erat.
Sungguh suatu kondisi yang memprihatinkan, ungkap Pak Ace. Sambil berharap agar
keadaan dapat lebih baik dengan berbagai daya upaya untuk memperbaikinya.
==

Inilah Cimande dengan berbagai kelebihan dan masalahnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa
Cimande tetaplah kekayaan budaya bangsa Indonesia yang wajib kita lestarikan bersama.

Setelah ‘mengecap’ Cimande dan bersentuhan langsung dengan pendekar-nya, rombongan


FP2STI pun kembali ke Jakarta, ketika gelap mulai turun dan malam yang mendung datang
menjelang.

Jakarta, 27 Desember 2007


Ian Syamsudin
(edit 18 januari 2008)
Artikel ini pernah di Publikasi di Koran POSKOTA pada bulan Januari 2008

Anda mungkin juga menyukai