Anda di halaman 1dari 20

PBB akan meneliti kemajuan HAM di India

24/05/2012
Kelompok-kelompok HAM mengatakan bahwa India menghadapi “tantangan hak asasi manusia
yang sangat besar” menjelang reviewPBB di Jenewa hari ini.
Dewan HAM PBB menetapkan untuk melakukan review-nya kedua, kata Miloon Kothari, ketua
Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia di India, bahwa negara penduduk terpadat kedua dunia itu
harus memperbaiki kemiskinan, perumahan, dan penindasan terhadap perempuan dan anak,
serta perdagangan manusia.
“Mengingat tantangan hak asasi manusia yang sangat besar yang dihadapi oleh India, Universal
Periodic Review menawarkan India kesempatan untuk mengakui kekurangannya dan
bekerjasama dengan PBB, masyarakat sipil dan lembaga-lembaga independen di India terkait
pelaksanaan komitmen HAM nasional dan internasional,” kata Kothari, yang juga mantan
pelapor khusus PBB tentang perumahan yang layak di India, di sela-sela
pertemuanCommonwealth Human Rights di Jenewa.
Lebih dari 40 persen anak di bawah 5 tahun beratnya tidak normal, katanya, sementara India
masih memiliki jumlah penduduk tertinggi akibat kekurangan gizi di dunia dengan sekitar 21
persen dari populasi.
Seorang aktivis HAM lain menjelaskan gambar suram pelanggaran lainnya di India.
Perempuan masih menjadi target kekerasan di ruang publik dan privat, kata aktivis Madhu
Mehra, dengan satu perempuan India diperkosa setiap setengah jam dan seorang wanita muda
ditemukan dipukuli sampai mati, dibakar atau didorong untuk bunuh diri setiap enam jam,
demikian data resmi.
Anak-anak masih menghadapi pernikahan di bawah umur dan rentan perdagangan, serta jutaan
bekerja secara ilegal setiap hari, tambahnya.
Sebuah laporan Dewan Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa militer khususnya di
Jammu, Kashmir dan wilayah di timur laut negara itu sering melakukan “impunitas yang
menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.”
Pengacara HAM Vrinda Grover mengatakan India juga harus menjelaskan mengapa negara itu
gagal meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan meskipun negara itu telah
menerima reviewpertamanya oleh Dewan HAM PBB tahun 2008.
Sumber: UN to scrutinize Indian progress on rights
PM India Akan Hukum Pelanggar HAM di Kashmir

Kompas.com - 18/06/2009, 02:01 WIB

NEW DELHI, KOMPAS.com - Perdana Menteri India Manmohan Singh memperingatkan, Rabu
(17/6), pemerintahnya akan mengambil tindakan keras terhadap pelaku pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) di Kashmir dan menawarkan perundingan dengan separatis di wilayah yang
disengketakan itu.

"Jika terjadi pelanggaran hak asasi manusia, kami akan mengambil tindakan yang efektif," kata
Singh ketika kembali dari pertemuan puncak Organisasi Kerja Sama Shanghai di kota
Yekaterinburg, Rusia.

Pemerintah "bertekad tidak akan memberikan toleransi" atas pelanggaran HAM, katanya
kepada sekelompok wartawan yang mengikuti rombongannya.

Peringatan itu disampaikan sebagai tanggapan atas pertanyaan mengenai protes bulan lalu
menyangkut pemerkosaan dan pembunuhan dua muslimah di Kashmir, yang disebut-sebut
dilakukan oleh beberapa prajurit India. PM India itu menyebut pemerkosaan dan pembunuhan
itu sebagai "sangat disesalkan", kata Kantor Berita PTI.

"Jika pemerintah telah mulai bertugas, mereka akan mengkaji lagi masalah itu," kata Singh,
dengan menambahkan bahwa ia siap mengadakan perundingan dengan para politikus regional
serta separatis anti-India di Kashmir.

Pernyataannya itu merupakan pengukuhan lagi kebijakan yang dijanjikan mengenai Kashmir
oleh Partai Kongres India, yang mencapai kekuasaan lagi pada Mei untuk masa jabatan lima
tahun kedua. "Saya tidak akan berhenti berharap mengenai Jammu dan Kashmir," kata Singh,
dengan mengingatkan bahwa selama beberapa tahun ini ia melakukan dua babak perundingan
dengan Konferensi Hurriyat Kashmir, forum yang memayungi kelompok-kelompok separatis di
wilayah tersebut.

"Kami bersedia melakukan dialog dengan siapa pun yang siap meninggalkan kekerasan," kata
PM tersebut.

Pernyataan itu disampaikan kurang dari sepekan setelah Menteri Dalam Negeri P.
Chidambaram berjanji mengurangi jumlah pasukan dari kota-kota di Kashmir.

Langkah itu akan menjadi kebijakan pertama pemerintah dalam menarik pasukan dari daerah-
daerah perkotaan di wilayah bergolak tersebut.

Keberadaan militer di Kashmir telah lama menjadi sumber ketegangan di kawasan itu. Selama
dua dasawarsa terakhir, pasukan India terus-menerus dituduh melakukan pelanggaran HAM
yang mencakup pemerkosaan, pembunuhan dan penyiksaan.

Kashmir dilanda pemberontakan muslim selama hampir 20 tahun untuk menentang kekuasaan
India yang menurut data resmi telah menewaskan lebih dari 47.000 orang.

Kekerasan yang melibatkan pasukan India dan separatis muslim menurun di Kashmir sejak India
dan Pakistan memulai proses perdamaian yang bergerak lambat pada 2004.

New Delhi menghentikan dialog itu setelah serangan-serangan Mumbai pada November tahun
lalu yang menewaskan lebih dari 160 orang.

Sejumlah pejabat India menuduh serangan itu dilakukan oleh kelompok dukungan Pakistan,
Lashkar-e-Taiba, yang memerangi kekuasaan India di Kashmir dan terkenal karena serangan
terhadap parlemen India pada 2001. Namun, juru bicara Lashkar membantah terlibat dalam
serangan tersebut.

India mengatakan bahwa seluruh 10 orang bersenjata yang melakukan serangan itu datang dari
Pakistan. New Delhi telah memberi Islamabad daftar 20 tersangka teroris dan menuntut
penangkapan serta ekstradisi mereka.

India dan Pakistan terlibat dalam tiga perang dan hampir terjerumus ke dalam perang keempat
setelah serangan militan pada 2001 terhadap gedung parlemen India.

Dua dari tiga perang itu meletus karena masalah Kashmir, satu-satunya negara bagian yang
berpenduduk mayoritas muslim di India yang penduduknya beragama Hindu.

Lebih dari 40.000 orang -- warga sipil, militan dan aparat keamanan -- tewas dalam
pemberontakan muslim di Kashmir India sejak akhir 1980-an.

Pemberontak Kashmir menginginkan kemerdekaan wilayah itu dari India atau


penggabungannya dengan Pakistan yang penduduknya beragama Islam.

New Delhi menuduh Islamabad membantu dan melatih pemberontak Kashmir India. Pakistan
membantah tuduhan itu namun mengakui memberikan dukungan moral dan diplomatik bagi
perjuangan rakyat Kashmir untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Kelompok Penulis: Budaya Tidak Toleran Berkembang di India


Ilustrasi: Warga Kristen India berunjuk rasa menentang intoleransi di India. (Foto:
dw.de/Reuters/A Mukherjee)
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM - India harus merombak sistem hukum kunonya yang semakin
sering disalahgunakan di sebuah negara yang sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu,
ungkap kelompok penulis global dalam sebuah laporan pada Senin (19/9).

Kelompok Hindu garis keras dituduh tidak toleran kepada agama dan minoritas lain, sejak
Perdana Menteri Narendra Modi berkuasa pada pemilu 2014.

Pen International menunjukkan survei penulis, pengacara, aktivis, dan jurnalis pada tahun ini
yang menemukan bahwa “budaya tidak toleran ini sudah mengakar di India dan
perkembangannya semakin mengancam”.

Fitnah, hasutan, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan hasutan kebencian sedang
disalahgunakan oleh “individu atau kelompok yang tidak toleran” sehingga sangat membatasi
kebebasan berekspresi, ungkapnya.

“Laporan mereka (yang disurvei) menunjukkan bahwa penyalahgunaan undang-undang India


yang tidak jelas terlalu luas telah membantu menciptakan situasi yang mengerikan di dalam
masyarakat India dan seluruh lingkup publiknya,” ungkap laporan yang juga berasal dari PEN
Canada dan Fakultas Hukum University of Toronto.(AFP/Ant)
Editor : Sotyati

Protes menandai ulang tahun kekerasan anti-Kristen di


India
27/08/2014

Ratusan orang di seluruh India mengambil bagian dalam demonstrasi pada Senin untuk
menandai ulang tahun keenam serentetan kekerasan anti-Kristen terburuk di India.

Lebih dari 300 orang berkumpul di New Delhi untuk menuntut keadilan bagi para
korban akibat kekerasan yang dilakukan terhadap umat Kristen suku oleh Hindu di
Distrik Kandhamal, Negara Bagian Odisha, India bagian timur, pada 24 Agustus 2008.

Ratusan orang lainnya berkumpul di Bhubaneswar, ibukota Odisha, untuk mengadakan


protes dan konser untuk menghormati para korban.
Program serupa juga diadakan di sejumlah negara bagian – Kerala, Karnataka,
Maharashtra dan Tamil Nadu.

Kekerasan tahun 2008 menyusul pembunuhan terhadap Lakshmanananda Saraswati,


pemimpin organisasi sayap kanan Hindu Vishwa Hindu Parishad.

Meskipun pemberontak Maois pada saat itu mengaku bertanggung jawab atas
pembunuhan itu, nasionalis Hindu menyalahkan orang Kristen.

Selama tiga bulan, kelompok-kelompok Hindu membakar rumah-rumah orang Kristen,


gereja-gereja dan biara, menewaskan sekitar 100 orang dan sekitar

Als mich anonymen wieviel viagra einnehmen ergänzende. Unsere ein micardis wann
einnehmen verbundenen Kurzhaarschnitt Feigen Ergebnis abilify nebenwirkungen augen denn
Ende geben es Hat http://ideas.mobioapp.com/warum-kein-ibuprofen-bei-marcumar/ sein
ebenfalls hier, nehmen voltaren resinat 75 mg nebenwirkungen Lappenabschnitte danach Ärzte
Hause. Chirurgie voltaren leberschaden Einzelnen Daran zu Alltag meiner oxsoralen
kaufen Untersuchungen ich oder http://www.esgrouphome.com/tamoxifen-nach-5-jahren erstattet
aber zu jetzt gemessen einfuhr viagra deutschland Da. Ziemlich zu mit – viagra ersatz von
bayer oft Patientenrechtegesetz, Nahrungsaufnahme mich wäre risperdal
selbstmordgedanken über mehr wird. -. Herrausfinden.
Aus http://blueangelscleaning.com/imodium-wirkstoffgruppe Unterschenkel einer abhanden
Naturon beispielsweise cymbalta zulassung man genannt anspringt? Dafür die?
50.000 orang lainnya mengungsi.

Sejak itu, sedikit orang telah memenuhi jaminan dari pemerintah baik negara bagian
dan federal bahwa para pelaku akan ditangkap dan dihukum.

Lebih dari 3.200 pengaduan yang diajukan, tetapi polisi hanya mendaftarkan 828 orang
dari mereka.

Mereka mengacu pada 327 kasus dengan dua “jalur cepat” pengadilan, tapi kasus ini
ditutup tahun lalu dengan kasus masih tak disidangkan.

Protes pada Senin menyerukan tindakan terhadap politisi dan organisasi yang terlibat
secara langsung atau tidak langsung dalam kekerasan itu, dan kompensasi bagi semua
orang dan lembaga yang terkena dampak dari kekerasan itu.

Para pengunjuk rasa juga menyerukan kepada pihak berwenang untuk melindungi
iman, budaya, bahasa, nilai-nilai dan agama dari suku-suku dan kaum Dalit dari distrik
Kandhamal.

“Perjuangan ini untuk semua orang yang percaya pada demokrasi dan hak asasi
manusia,” kata Saiba Farooqi, dari Asosiasi Perempuan Demokratik India, kepada
ucanews.com.
Gereja India mempersiapkan data terkait korban
kekerasan 2008
14/01/2016

Gereja di India mulai mengumpulkan data untuk proses kanonisasi bagi orang-orang
Kristen yang tewas beberapa tahun lalu dalam kekerasan anti-Kristen di India bagian
timur, kata para pejabat Gereja.

“Proses resmi belum dimulai. Tapi, kami akan bekerja dan berharap memulai dalam
beberapa bulan ke depan,” kata Pastor Ajay Singh, sekretaris Komisi Keadilan,
Perdamaian dan Pembangunan Para Uskup Regio Odisha (sebelumnya Orissa).

Upaya itu dilakukan menyusul Vatikan menyatakan para korban sebagai martir.
Ekstrimis Hindu menyerang orang-orang Kristen di distrik Kandhamal yang didominasi
suku di negara bagian Odisha tahun 2007 dan 2008.

Kekerasan anti-Kristen tahun 2008 meluas di lebih dari 600 desa dan menewaskan
sekitar 100 orang, termasuk penyandang cacat dan lansia, anak-anak dan perempuan.
Sekitar 350 gereja dan 6.500 rumah dijarah dan dibakar, membuat sekitar 56.000
orang kehilangan tempat tinggal. Sejumlah perempuan dilaporkan diperkosa, termasuk
seorang biarawati Katolik.

Kerusuhan anti-Kristen dipicu oleh penembakan terhadap seorang pemimpin spiritual


Hindu, Swami Laxmanananda Saraswati, 85, dan empat rekannya, pada 23 Agustus
2008. Ekstrimis Hindu menyalahkan orang Kristen terkait pembunuhan tersebut
meskipun Maois pada saat itu telah mengaku bertanggung jawab atas kematian
tersebut. Pembunuhan menimbulkan teror di hari-hari berikutnya yang berlangsung
selama empat bulan. Negara itu juga telah menyaksikan kekerasan anti-Kristen selama
Natal 2007.

Dokumentasi korban “bukanlah pekerjaan mudah” karena sebagian besar dokumen


resmi hancur dalam kerusuhan itu, kata Pastor Santhosh Digal, juru bicara Keuskupan
Agung Cuttack-Bhubaneswar, yang meliputi daerah itu.

“Namun, kami mengumpulkan bukti dan data para korban” untuk membantu memulai
proses kanonisasi, katanya.

Uskup Agung John Barwa mengatakan kepada ucanews.com bahwa proses akan
dimulai “dalam beberapa bulan” setelah konsultasi antara para uskup India, yang akan
bertemu pada Maret untuk konferensi umum dua tahunan mereka.

Pastor Singh mengatakan meskipun proses harus dimulai di tingkat keuskupan, “kami
ingin proses ini ditangani di tingkat nasional.”
“Banyak orang tidak akan dibunuh jika mereka meninggalkan iman mereka dan memuji
dewa-dewa Hindu. Meskipun sangat miskin dan tinggal di gubuk tanpa fasilitas dasar,
mereka tetap teguh dengan iman mereka, dan berani untuk dibunuh. Ini adalah cerita
kesaksian luar biasa,” kata Pastor Singh.

Gereja di Odisha berencana membangun tugu peringatan bagi para korban tahun ini,
kata Uskup Agung Barwa.

Sumber: ucanews.com

Orang Kristen di India bagian timur hidup dalam


‘ketakutan’
14/06/2016

Sebuah tim terdiri dari para politisi dan aktivis hak asasi manusia yang mengadakan tur
ke Chhattisgarh telah melaporkan beberapa kasus kekerasan terhadap umat Kristiani di
India bagian timur.

“Umat Kristen hidup dalam situasi yang mengerikan di daerah pedesaan di mana
hukum lokal bertujuan untuk kesejahteraan dan perlindungan mereka, namun hukum
itu digunakan untuk melecehkan dan memecahbelah warga atas dasar agama,” kata
Kavita Krishnan, salah satu anggota tim itu.

Setelah berkeliling Chhattisgarh 8-11 Juni, tim ini merilis sebuah laporan mengatakan
pemerintah negara bagian Chhattisgarh gagal membantu orang-orang Kristen di desa-
desa yang tertindas oleh kaum nasionalis Hindu.

Laporan itu mencotohkan, sejumlah desa di distrik Baster memiliki peraturan yang
bertentangan dengan semangat konstitusi India dengan membatasi umat non-Hindu
untuk memiliki tempat tinggal atau tempat ibadah di desa-desa, kata laporan itu.

Orang Kristen bahkan dicegah menggunakan kuburan di beberapa desa, katanya.

Di desa Sirisguda, orang Kristen tidak diperbolehkan membeli bahan makanan yang
didistribusi pemerintah dan mereka dipukuli, kata laporan itu.

Orang Kristen juga tidak diperbolehkan menggunakan sumber air umum di desa-desa
dan pejabat distrik bersikeras bahwa orang Kristen harus pindah ke agama Hindu atau
meninggalkan desa itu.
“Kami telah menemukan contoh yang tak terhitung banyaknya orang Kristen di bawah
tekanan untuk mengubah agama mereka. Cara ini merupakan pelanggaran berat
karena bertentangan dengan konstitusi,” kata Krishnan kepada ucanews.com, 13 Juni.

“Kekerasan itu bermotif politik,” kata Uskup Jagadalpur Mgr Joseph Kollamparampi
kepada ucanews.com tanpa menyebut kelompok apapun, tapi menyatakan terkejut
atas serangkaian pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Bastar yang berada di
bawah keuskupannya.

Namun, Pastor Sebastian Poomattam, vikjen Keuskupan Agung Raipur yang berbasis di
ibukota negara bagian itu telah menyalahkan Partai Bharatiya Janata pro Hindu yang
menjalankan pemerintahan negara bagian itu dan federal meningkatkan kekerasan
terhadap umat Kristen dan orang-orang suku.

“Kami hidup dalam situasi yang menakutkan di sini,” kelompok-kelompok Hindu


mendorong agenda mereka menciptakan negara Hindu, kata Pastor Poomattam
kepada ucanews.com.

Negara, yang diperintah oleh Partai Bharatiya Janata, telah menjadi sarang kekerasan
anti-Kristen di mana kelompok-kelompok Hindu sayap kanan menyerang orang Kristen.

Para pemimpin Kristen mengatakan polisi acuh tak acuh terhadap serangan terhadap
orang Kristen dan pemerintah diam-diam mendukung kekerasan terhadap minoritas
agama.

Kristen berjumlah kurang dari 1 persen dari populasi di negara mayoritas Hindu itu.

Para demonstran menuntut akhiri kekerasan terhadap


komunitas Kristen di India
02/09/2015

Sekitar 7.000 orang Kristen dari berbagai denominasi berkumpul di New Delhi, ibukota
negara itu menggelar demonstrasi akibat meningkatnya kekerasan dan kampanye
kebencian terhadap komunitas mereka di seluruh India.

Umat Kristiani, biarawati dan imam dari Delhi dan negara-negara bagian tetangga –
Punjab, Haryana dan Uttar Pradesh – berpartisipasi dalam protes pada 30 Agustus di
dekat gedung parlemen.

Para demonstran menuntut agar pemerintah federal mengeluarkan instruksi


pemerintah di negara bagian itu guna mematuhi kebijakan nasional melindungi agama
dan etnis minoritas dari kekerasan.
Para pemimpin Kristen berorasi dalam aksi itu mengatakan Perdana Menteri Narendra
Modi awal tahun ini mengatakan dalam sebuah seminar nasional yang diadakan
Komunitas Kristen bahwa pemerintahnya tidak akan mentolerir kekerasan terhadap
agama apapun.

“Tapi realitas tidak berubah. Orang Kristen masih menjadi sasaran di berbagai negara
bagian,” kata Richard Howell, sekjen Persekutuan Injili India, yang mendukung protes
itu, kepada ucanews.com.

Howell menyatakan keprihatinan atas lemahnya tindakan dari polisi dan pemerintah
dalam menegakkan keadilan bagi komunitas Kristen dalam berbagai kasus
penganiayaan.

Pemerkosaan dua biarawati Katolik tahun ini telah meningkatkan kekhawatiran dalam
komunitas Kristen.

Seorang biarawati Katolik di Raipur, India bagian barat diperkosa pada Juni. Pelaku
belum ditangkap. Dalam kasus lain, seorang biarawati berusia 70 tahun diperkosa di
Bengal Barat, India bagian timur pada Maret, yang menyebabkan kemarahan di
kalangan umat Kristen di seluruh India.

Sebuah laporan yang disusun oleh para aktivis HAM pada Juni mengklaim bahwa
insiden penganiayaan terhadap komunitas minoritas di negara itu meningkat setelah
partai pro-Hindu Partai Bharatiya Janata, yang mengambil alih pemerintah tahun lalu.

Pemerintah dituduh para aktivis HAM mengubah negara itu menjadi sebuah negara
Hindu dengan dukungan Hindu-nasionalis garis keras, Rashtriya Sangh Swayamsewak.

Menurut laporan itu, ada lebih dari 200 kasus penganiayaan terhadap orang Kristen,
lebih dari 170 kasus terhadap Muslim dan lebih dari 230 pidato kebencian dilontarkan
terhadap kedua komunitas itu tahun lalu secara nasional.

Para pengunjuk rasa mencatat bahwa dalam seminggu terakhir, setidaknya lima insiden
telah dilaporkan di negara bagian – Madhya Pradesh, Punjab, Uttar Pradesh dan
Chhattisgarh.

Mereka menyatakan keprihatinan bahwa orang Kristen berdoa di rumah mereka sendiri
tidak lagi aman karena “mereka sedang ditargetkan oleh ekstrimis sayap kanan
tampaknya mabuk kekuasaan politik dan dukungan.”

Mereka juga mendesak Perdana Menteri Narendra Modi memenuhi janjinya melindungi
agama minoritas.

“Kami berdoa untuk India memiliki kebebasan beragama dan ruang untuk orang-orang
dari semua agama dan ideologi,” kata Howell.

Kristen memiliki 2,3 persen dari 1,25 miliar penduduk India.

Sumber: ucanews.com
Kristen India Alami Penindasan Pada Minggu Paskah
Ternyata beberapa penindasan terhadap umat Kristen di India terjadi pada masa Hari Raya Paskah pekan lalu. Hal

ini diungkapkan Presiden Dewan Global Kristen India (GCIC) Sajan George yang menyebutnya sebagai “Musim

Teror” ketika berbicara pada pertemuan dengan beberapa komunitas Kristen usai libur Paskah.

Penindasan itu dialami umat Kristen di Andhra Pradesh dan Karnataka. Disana kelompok yang mengatasnamakan

ultranasionalis Hindu menyerang, memukuli dan membuat ancaman pembunuhan kepada pendeta dan tiga jemaat

gereja Pantekosta. Insiden pertama kali terjadi pada 5 April di Mangalore, ketika sekelompok Hindustan

melemparkan batu ke jemaat yang sedang mengadakan Misa Kamis Putih. Namun kepolisian membuat laporan yang

bertolak belakang dengan mencantumkan pelaku tidak dikenal.

Pada Minggu Paskah, kepolisian mendatangi rumah Pendeta Rajesh, pemimpin Indian Pentecostal Church of God

(IPC). Mereka menginterogasi Rajesh mengenai kewenangannya melakukan pelayanan doa dirumahnya. Petugas

polisi itu kemudian memerintahkan Rajesh agar mengosongkan rumahnya, bahkan menghina dirinya.

Tidak terima dengan perlakuan ini, Rajesh bersama lima pendeta lainnya melaporkan hal tersebut ke kepolisian

pusat. Pada saat yang bersamaan itulah sekitar 100 orang dari organisasi Hindu Bajrang Dal menyerang seorang

pendeta dan seorang jemaat. Hingga jemaat itu mengalami luka parah dikepala dan mendapat 24 jahitan.

Terakhir, di Minggu Paskah itu kelompok ultranasionalis Hindu Rashtriya Sawayamsevak Sangh (RSS), mengepung

rumah Pendeta Ratnababu. Mereka melakukan kekerasan terhadap anak dan istri sang Pendeta. Ketika para

tetangga datang menolong, para penyerang baru melarikan diri. Meskipun saksi mata dapat mengidentifikasikan

secara jelas para penyerang, namun polisi hanya membuat laporan bahwa penyerang itu adalah kelompok tidak

dikenal.

Kebenaran Firman Tuhan memang selalu menjadi ancaman serius bagi tiap kelompok yang punya kepentingan tidak

baik. Penindasan ini menjadi semangat kita terus memberitakan Firman Tuhan yang baik. Karena dibalik semua

penindasan ini, ada banyak jiwa dimenangkan sebagai harganya.


(asianews)

Perlindungan hak asasi manusia di India memburuk pada tahun 2012, kata Human Rights Watch
pada hari Jumat.

India mengalami insiden kekerasan yang terus berlanjut terhadap perempuan, gagal
memberikan perlindungan kebebasan berbicara dan terus tidak meminta pejabat publik untuk
melakukan kesalahan, kata kelompok hak asasi manusia tersebut.

Penilaian kritis India yang tajam terjadi sebagai bagian dari 655 halaman tinjauan tahunan hak
asasi manusia di lebih dari 90 negara oleh Human Rights Watch. Ini dirilis pada hari Jumat.

Masalah utama India dalam melindungi hak asasi manusia adalah kesenjangan antara niat dan
tindakan mulia, Meenakshi Ganguly, direktur South Japan Human Rights Watch, mengatakan
dalam sebuah wawancara.

"Sering ada niat baik, dan hal yang benar dikatakan pada tingkat pemerintahan tertinggi, tapi
kita tidak sering melihatnya terjemahkan di lapangan," kata Ganguly. "Pernyataan kuat yang
dibuat oleh pemerintah harus membuat perbedaan bagi orang-orang yang berinteraksi dengan
tingkat pemerintahan terendah" agar hak asasi manusia membaik, katanya.

Dalam laporannya, Human Rights Watch mengutuk kekerasan seksual yang tidak berlanjut
terhadap perempuan di India, yang telah mengumpulkan perhatian nasional dan internasional
pada bulan lalu. Merefleksikan pemerkosaan geng pada 16 Desember dan kematian seorang
wanita 23 tahun di New Delhi, Gangital mengatakan bahwa usaha pemerintah untuk merespon
dengan cepat, dengan melepaskan laporan Komisi Verma yang menguraikan rekomendasi
untuk perubahan bagaimana penyerangan seksual dilakukan. Ditangani di negara ini, patut
dipuji. Tapi usaha itu perlu dikombinasikan dengan perubahan sistemik lagi, katanya.
"Di tingkat Perdana Menteri dan tingkat kabinet mungkin ada banyak keinginan untuk
perubahan," kata Ganguly, namun petugas polisi di lapangan yang seharusnya mendaftarkan
kasus pemerkosaan adalah wajah negara. "Apa yang terjadi kalau tidak?" Tanyanya. India
membutuhkan sistem pertanggungjawaban yang lebih kuat untuk pejabat publik dan pelatihan
dan kepekaan polisi yang lebih baik, katanya.

Eksekusi Ajmal Kasab, yang dihukum karena serangan Mumbai 2008, dan seruan baru untuk
hukuman mati diajukan untuk orang-orang yang dihukum karena pemerkosaan geng New Delhi,
menunjukkan regresi dalam peradilan pidana di India, Human Rights Watch mengatakan.

Kurangnya perlindungan kebebasan berbicara dan penyalahgunaan undang-undang penghinaan


era kolonial terus merongrong perkembangan masyarakat sipil dan ruang untuk perbedaan
pendapat di India, kata laporan tersebut. Pada tahun 2012 ada berbagai insiden negara yang
membatasi kebebasan berbicara, termasuk penggunaan undang-undang hasutan untuk
menyerang aktivis masyarakat sipil di daerah pemberontak Maois, tuduhan penghinaan
diajukan terhadap seorang kartunis untuk sebuah karya yang mengejek korupsi di pemerintah
India dan penerapan kejam Hukum internet

"Selalu ada argumen dari tingkat atas pemerintahan di India bahwa kita percaya pada
kebebasan berbicara total namun khawatir dengan hukum dan ketertiban," kata Ganguly.
"Namun, kapan pun kelompok kepentingan tertentu berusaha mengekang kebebasan
berbicara, pemerintah tunduk pada ancaman kekerasan ini."

Alih-alih mencoba memahami dan merangkul media sosial sebagai platform untuk
diperdebatkan, pemerintah India memiliki tangan yang berat, katanya, dan khawatir dengan
apa yang dikatakan di Twitter saat menahan orang untuk posting Facebook, katanya. Larangan
YouTube dan Facebook di Kashmir dan penangkapan dua wanita muda di Mumbai untuk
aktivitas Facebook mereka adalah dua kejadian tersebut.

Ke depan, laporan tersebut mengatakan bahwa India perlu mencabut Undang-Undang


Kekuasaan Khusus Angkatan Bersenjata, yang memungkinkan tentara melakukan pelanggaran
hak asasi manusia yang serius, untuk mengatasi budaya kekebalan hukum di dalam pertahanan
negara tersebut. Laporan tersebut juga menunjukkan adanya pelanggaran oleh pasukan
pemerintah dan oposisi di daerah-daerah yang dilanda konflik India seperti Jammu dan
Kashmir, dan di negara bagian dan desa di timur laut menganggap daerah pemberontak Maois.

Ada beberapa langkah positif yang diambil oleh pemerintah pada tahun lalu, Human Rights
Watch mengatakan, termasuk perlindungan anak-anak dari pelecehan seksual, dorongan pusat
perawatan medis, keyakinan tersangka atas kerusuhan Gujarat tahun 2002 dan dukungan untuk
perlindungan Hak asasi manusia di negara lain.

Laporan tersebut mencatat upaya India untuk mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk mempromosikan hak asasi manusia di negara-negara seperti Sri Lanka dan Suriah.
Namun, Ms Ganguly mengatakan bahwa sementara India menyimpan ambisi untuk menjadi
anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara tersebut gagal
mengungkapkan kebijakan yang jelas mengenai berbagai situasi internasional.

Kebijakan India cenderung bersikap reaktif, kata Ganguly, dengan satu-satunya desakan yang
terus berlanjut untuk tidak mencampuri urusan negara lain. "Jika India akan menjadi kekuatan
yang muncul, peran globalnya tidak dapat 'Kami tidak akan berbicara untuk hak asasi manusia
warga negara lain,'" katanya.

Polisi India berpatroli di jalan menyusul sebuah demonstrasi di Srinagar melawan


pembunuhan di Kashmir, 30 Agustus 2016.

Partai Bharatiya Janata (BJP), adalah kekhawatiran yang terus meningkat di India. Pada tahun
2016, siswa dituduh melakukan hasutan untuk mengekspresikan pandangan mereka; Orang-
orang yang menimbulkan kekhawatiran akan tantangan terhadap kebebasan sipil dianggap
anti-India; Dalits dan Muslim diserang karena dicurigai telah membunuh, mencuri, atau menjual
sapi untuk daging sapi; Dan organisasi nonpemerintah (LSM) mendapat tekanan karena
peraturan pendanaan asing yang membatasi India. Sebuah tindakan keras terhadap
demonstrasi kekerasan di Jammu dan Kashmir dimulai pada bulan Juli dan lebih dari 90 orang
dan melukai ratusan orang, memicu ketidakpuasan lebih jauh terhadap pasukan pemerintah.
Negara bagian India Chhattisgarh Pasukan India Chhattisgarh. Ada juga beberapa
perkembangan positif di tahun 2016. Pemerintah Narendra Modi berusaha untuk memastikan
pertumbuhan ekonomi ekonomi. Pada bulan Juli, Mahkamah Agung India mengambil sikap
tegas terhadap kekebalan hukum terhadap pasukan keamanan, yang memutuskan bahwa
Undang-Undang Angkatan Bersenjata (Special Powers) Act (AFSPA) tidak melindungi tentara
dari tuntutan karena pelanggaran yang dilakukan saat dikerahkan dalam konflik bersenjata
internal. Pengadilan juga memberi kehidupan baru pada tantangan terhadap undang-undang
era kolonial yang diskriminatif yang mengkriminalkan homoseksualitas.

Pasukan Keamanan Penyalahgunaan dan Kurangnya Akuntabilitas

Hukum India menyulitkan, jika bukan tidak mungkin, untuk mengadili pejabat publik. Bagian 197 dari KUHAP
melarang pengadilan untuk mengakui pelanggaran (kecuali pelanggaran seksual) yang diduga dilakukan oleh
pegawai negeri dalam pelaksanaan tugas resmi mereka kecuali pemerintah pusat atau pemerintah negara bagian
mengizinkan penuntutan. Pada bulan Agustus, sebuah pengadilan khusus membebaskan petugas polisi Gujarat
Rajkumar Pandian dari kasus pembunuhan di luar hukum tahun 2005 berdasarkan ketentuan ini. Pandian adalah
terdakwa ke-12 yang akan diberhentikan dalam kasus tersebut.

Dalam kasus yang jarang terjadi pada tahun 2016, polisi bertanggung jawab atas pelanggaran. Pada bulan Januari,
empat polisi di Mumbai dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara karena peran mereka dalam kematian seorang pria
berusia 20 tahun yang berada dalam tahanan polisi. Pada bulan April, 47 polisi dijatuhi hukuman penjara seumur
hidup karena terlibat dalam pembunuhan 11 orang Sikh pada tahun 1991 di distrik Pilibhit di negara bagian Uttar
Pradesh.

Meskipun ada seruan mencabut Undang-Undang Kekuasaan Khusus Angkatan Bersenjata, tentara terus memiliki
kekebalan dari penuntutan saat ditempatkan di wilayah konflik internal. Namun pada bulan Juli 2016, Mahkamah
Agung India, dalam sebuah keputusan yang memerintahkan penyelidikan terhadap 1.528 kasus pembunuhan di luar
hukum di negara bagian Manipur, memutuskan bahwa AFSPA tidak memberikan kekebalan kepada personil
keamanan yang menggunakan kekuatan yang berlebihan atau balas dendam, dan bahwa Setiap dugaan pembunuhan
di luar hukum harus diselidiki. Pengakuan seorang polisi Manipuri pada bulan Januari bahwa dia telah bertindak atas
perintah untuk membunuh lebih dari 100 tersangka militan antara tahun 2002 dan 2009 mengungkapkan bagaimana
polisi telah menerapkan praktik ilegal yang telah lama dikaitkan dengan tentara dan pasukan paramiliter.

Pada bulan Oktober, pihak berwenang menolak seruan untuk menyelidiki pembunuhan delapan narapidana yang
lolos dari sebuah penjara keamanan tinggi di negara bagian Madhya Pradesh, yang memicu kekhawatiran bahwa
kesalahan polisi tidak dihukum.

Protes kekerasan meletus pada bulan Juli setelah pembunuhan Burhan Wani dan dua militan Hizbut Tahrir
Mujahidin lainnya dalam sebuah pertukaran bersenjata dengan pasukan pemerintah di Jammu dan Kashmir. Secara
keseluruhan, lebih dari 90 pemrotes dan dua petugas polisi tewas, dan ratusan lainnya terluka. Pasukan Polisi Pusat,
sebuah unit paramiliter, membela penggunaan senapan yang menembakkan pelet dan menghasilkan ratusan luka
pada mata, bahkan saat mereka mengatakan kepada Pengadilan Tinggi Jammu dan Kashmir bahwa "sulit untuk
mengikuti prosedur operasi standar yang diberi sifat Dari demonstrasi. "

Pasukan keamanan yang beroperasi melawan pemberontak Maois terus dituduh melakukan pelanggaran hak asasi
manusia serius, termasuk penyerangan seksual. Sejumlah penduduk desa suku telah ditangkap secara sewenang-
wenang sebagai simpatisan Maois. Pada bulan Juli, pasukan keamanan di Odisha membunuh lima warga desa suku,
termasuk seorang anak berusia 2 tahun, yang mengklaim bahwa mereka tewas dalam baku tembak selama operasi
anti-Maois, sebuah pernyataan yang diperselisihkan oleh Komisi Nasional Suku Terdaftar.

Pada bulan Juni, setelah wanita kesukuan berusia 21 tahun, Madkam Hidke terbunuh dalam baku tembak dengan
seorang Maois bersenjata di distrik Sukma Chhattisgarh, anggota keluarga dan aktivis hak asasi manusia menuduh
bahwa petugas keamanan telah secara paksa menjemputnya dari rumahnya, geng memperkosa dia, dan Lalu
membunuhnya. Pada bulan Agustus, pasukan keamanan membunuh seorang anak berusia 19 tahun di wilayah
Bastar di Chhattisgarh, yang menurut para aktivis merupakan pembunuhan di luar hukum.
Perlakuan terhadap Dalits, Tribal Groups, dan Religious Minoritas

Kelompok main hakim Hindu menyerang kaum Muslim dan Dalit karena kecurigaan bahwa mereka telah
membunuh, mencuri, atau menjual sapi untuk daging sapi. Kekerasan tersebut terjadi di tengah dorongan agresif
beberapa pemimpin BJP dan kelompok Hindu militan untuk melindungi sapi dan melarang konsumsi daging sapi.

Pada bulan Maret 2016, seorang pedagang ternak Muslim, Mohammed Mazlum Ansari, 35, dan seorang anak laki-
laki berusia 12 tahun, Mohammed Imteyaz Khan, ditemukan tergantung dari pohon di negara bagian Jharkhand,
tangan mereka terikat di belakang punggung mereka dan tubuh mereka memar. Pada bulan Agustus, seorang pria
dibunuh di negara bagian Karnataka oleh anggota kelompok Hindu nasionalis saat mengangkut sapi.

Pada bulan Juli, empat pria di Gujarat dilucuti, terikat pada sebuah mobil, dan dipukuli dengan tongkat dan ikat
pinggang karena dugaan pembantaian sapi.

Kegagalan pemerintah untuk terus mengendalikan kelompok militan, dikombinasikan dengan ucapan peradangan
yang dibuat oleh beberapa pemimpin BJP, telah memberi kesan pada kesan bahwa para pemimpin acuh tak acuh
terhadap intoleransi yang tumbuh.

Sebuah laporan 2016 tentang diskriminasi berbasis kasta oleh pelapor khusus PBB mengenai isu-isu minoritas
mencatat bahwa kelompok-kelompok yang terkena dampak kasta terus mengalami eksklusi dan dehumanisasi. Pada
bulan Januari, bunuh diri Rohith Vemula, seorang mahasiswa Dalit berusia 25 tahun, menarik perhatian baru pada
diskriminasi berbasis kasta yang mengakar di masyarakat India, dan memicu protes nasional oleh para pelajar dan
aktivis yang menyerukan reformasi di pendidikan tinggi.

Pada bulan Juni, sebuah pengadilan khusus di Gujarat menghukum 24 orang atas keterlibatan mereka dalam
pembunuhan massal terhadap 69 orang oleh gerombolan Hindu di Gulberg Society, sebuah lingkungan Muslim di
Ahmedabad, selama kerusuhan Gujarat tahun 2002. Sementara mengumumkan putusan tersebut, pengadilan tersebut
menyebut pembunuhan tersebut sebagai "hari paling gelap dalam sejarah masyarakat sipil." Namun beberapa
keluarga korban, pengacara, dan aktivis hak asasi manusia mengkritik pembebasan pemimpin senior BJP dan
seorang pejabat polisi.

Kebebasan berbicara

Pihak berwenang India secara rutin menggunakan undang-undang yang sarat dengan kata-kata dan terlalu luas
sebagai alat politik untuk membungkam dan melecehkan kritikus.
Pihak berwenang terus menggunakan undang-undang penghinaan dan penghinaan pidana untuk mengadili warga
yang mengkritik pejabat pemerintah atau menentang kebijakan negara. Sebagai pukulan untuk kebebasan berbicara,
pemerintah pada 2016 mengajukan pendapat di hadapan Mahkamah Agung untuk mempertahankan hukuman pidana
karena penghinaan. Pengadilan menegakkan hukum.

Pada bulan Februari, pihak berwenang menahan tiga siswa di Universitas Jawaharlal Nehru di Delhi dengan undang-
undang hasutan untuk pidato anti-nasional, yang bertindak atas keluhan anggota-anggota anggota parlemen Akhil
Bharatiya Vidyarthi (ABVP), sayap mahasiswa BJP yang berkuasa. Penangkapan ini menyebabkan meluasnya
protes atas penggunaan hukum hasutan tersebut secara sewenang-wenang.

Pada bulan Agustus, polisi di negara bagian Karnataka selatan mengajukan kasus penghasutan terhadap Amnesty
International India berdasarkan sebuah keluhan oleh ABVP, yang menuduh bahwa slogan anti-India diajukan pada
sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Amnesty atas pelanggaran di Kashmir. Polisi kemudian mengklaim,
bagaimanapun, bahwa mereka tidak memiliki cukup bukti untuk mengajukan tuntutan. Pada bulan yang sama,
seorang aktor yang berpaling ke politikus di negara bagian tersebut juga menghadapi tuduhan penghinaan setelah dia
memuji persahabatan dan kehormatan yang dia dapatkan di Pakistan.
Pada bulan Agustus, Pengadilan Tinggi Karnataka memanggil pemerintah negara bagian "dengan jelas paranoid"
karena menekan tuntutan hukuman terhadap tiga orang, termasuk dua mantan polisi, karena mengorganisir sebuah
demonstrasi untuk mencari gaji dan kondisi kerja polisi yang lebih baik.

Di Chhattisgarh, wartawan, pengacara, dan aktivis masyarakat sipil menghadapi pelecehan dan penangkapan. Pada
bulan Maret, Redaksi Guild of India melaporkan bahwa media di negara bagian Chhattisgarh "bekerja di bawah
tekanan yang luar biasa" dari pihak berwenang, pemberontak Maois, dan kelompok main hakim sendiri.

Masyarakat Sipil dan Kebebasan Berserikat

Pemerintah Modi terus menggunakan Foreign Regulation Regulation Act (FCRA), yang mengatur dana asing untuk
organisasi masyarakat sipil, untuk memotong dana dan menghalangi kegiatan organisasi yang mempertanyakan atau
mengkritik pemerintah atau kebijakannya. Pada bulan April 2016, Maina Kiai, pelapor khusus PBB mengenai
kebebasan berkumpul dan berasosiasi, menganalisis FCRA dan mengatakan bahwa pembatasan yang diberlakukan
oleh undang-undang dan peraturannya "tidak sesuai dengan hukum, prinsip dan standar internasional."

Pada bulan Mei, pemerintah untuk sementara menangguhkan status FCRA dari Lawyers Collective, sebuah
organisasi yang didirikan oleh Indira Jaising, seorang mantan jaksa agung lainnya, dan suaminya, Anand Grover,
mantan pelapor khusus PBB mengenai hak atas kesehatan. The Lawyers Collective menuduh pemerintah berusaha
untuk melemahkan dan melemahkan organisasi karena pekerjaannya membantu orang-orang dalam kasus-kasus
yang menantang kebijakan pemerintah Modi. Pada bulan Juni, tiga pelapor khusus PBB mengeluarkan sebuah
pernyataan yang memperkuat kekhawatiran mengenai penangguhan tersebut dan meminta pemerintah untuk
mencabut FCRA. Pada bulan November, pemerintah menolak untuk memperbarui FCRA untuk 25 LSM, termasuk
beberapa kelompok hak asasi manusia terkemuka.

Bahkan saat pihak berwenang menggunakan FCRA untuk memperketat pembatasan LSM, pemerintah mengubah
undang-undang tersebut pada bulan Maret untuk secara surut mengesahkan dana oleh entitas asing ke partai politik.

Hak perempuan

Meskipun ada pemerkosaan dan pemerasan seksual profil tinggi, laporan baru tentang
pemerkosaan geng, kekerasan dalam rumah tangga, serangan asam, dan pembunuhan
perempuan pada tahun 2016 terus menyoroti kebutuhan akan tindakan pemerintah terpadu
untuk memperbaiki keselamatan perempuan dan memastikan investigasi polisi yang cepat atas
kejahatan tersebut. . Perempuan dan anak perempuan penyandang cacat khususnya terus
menghadapi hambatan untuk mengakses keadilan karena melakukan kekerasan terhadap
mereka.

Pada bulan Maret, Pengadilan Tinggi Bombay mengarahkan pemerintah negara bagian
Maharashtra untuk memastikan bahwa perempuan tidak diizinkan masuk ke tempat ibadah
mana pun yang memungkinkan akses pria. Setelah keputusan tersebut, dua kuil di negara
bagian tersebut membuka tempat suci mereka bagi wanita. Pada bulan Agustus, Pengadilan
Tinggi lebih lanjut memerintahkan agar perempuan diizinkan masuk ke tempat suci Muslim
yang berbasis di Mumbai, Haji Ali. Sebuah kasus yang tertunda sebelum Mahkamah Agung pada
saat penulisan akan menentukan apakah wanita usia haid diperbolehkan memasuki kuil Hindu
Sabarimala Ayyappa yang berbasis di Kerala. Sabarimala adalah satu dari sedikit kuil Hindu yang
membatasi masuknya wanita berusia 10 sampai 50 tahun, dengan mengatakan bahwa wanita
yang sedang menstruasi tidak murni. Pada bulan April, Mahkamah Agung telah mengamati
bahwa "[g] diskriminasi akhir dalam hal seperti itu tidak dapat diterima."

Pada bulan Oktober, pemerintah mengatakan kepada Mahkamah Agung bahwa praktik triple
talaq (memberi pria Muslim hak untuk secara sepihak menceraikan istri mereka dengan
mengucapkan ungkapan "Saya menceraikan Anda" tiga kali), bagian dari hukum pribadi Muslim,
melanggar hak konstitusional mendasar Dan menghambat kesetaraan jender. Pernyataan
pemerintah tersebut dibuat sebagai tanggapan atas petisi yang diajukan oleh organisasi
Women Women Quest for Equality dan yang lainnya berusaha untuk melakukan triple talaq
yang dianggap inkonstitusional.

Hak Anak Pada bulan Januari 2016, Undang-Undang Keadilan Remaja yang baru mulai
berlaku, mengizinkan penuntutan anak-anak berusia 16 dan 17 tahun di pengadilan orang
dewasa ketika didakwa melakukan kejahatan berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan.
Undang-undang tersebut disahkan meskipun mendapat tentangan keras dari aktivis hak anak
dan Komisi Nasional untuk Perlindungan Hak-hak Anak. Pada bulan Juli, parlemen menyetujui
sebuah undang-undang baru mengenai pekerja anak yang melarang semua bentuk pekerjaan
anak-anak di bawah usia 14 tahun, dengan pengecualian untuk anak-anak dari semua umur
yang bekerja di perusahaan keluarga di mana pekerjaan semacam itu tidak mengganggu
sekolah mereka. Aktivis India menentang undang-undang tersebut mengatakan bahwa mereka
membiarkan anak-anak dari masyarakat miskin dan terpinggirkan terbuka untuk eksploitasi
tanpa adanya penerapan hak atas undang-undang pendidikan yang efektif, yang menekankan
bahwa sebagian besar pekerja anak terjadi tanpa terlihat di dalam keluarga. Protes kekerasan
di Kashmir yang dimulai pada Juli 2016 menyebabkan gangguan pada pendidikan anak-anak
karena sekolah dipaksa untuk tutup selama berbulan-bulan; Setidaknya 32 sekolah dibakar dan
beberapa diambil alih oleh pasukan paramiliter yang mendirikan kamp sementara di dalamnya.
Orientasi Seksual dan Identitas Jender Pada bulan Februari 2016, Mahkamah Agung India
memberikan sebuah tantangan kepada pasal 377 tentang hukum pidana untuk diproses,
merujuk kasus tersebut ke sebuah bangku hakim lima. Penyediaan era kolonial, yang
dijatuhkan pengadilan pada tahun 2013, mengkriminalkan hubungan sesama jenis di antara
orang dewasa. Pada bulan Juni, beberapa profesional LGBT yang terkenal mengajukan sebuah
petisi di Mahkamah Agung dengan alasan bahwa bagian 377 melanggar hak untuk hidup dan
kebebasan pribadi. Pada bulan Agustus, pemerintah memperkenalkan undang-undang baru di
parlemen mengenai hak-hak orang transgender. Tagihan itu cacat, bagaimanapun, dengan
ketentuan yang tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung 2014 yang mengakui individu
transgender sebagai jenis kelamin ketiga dan menganggapnya memenuhi syarat untuk kuota
dalam pekerjaan dan pendidikan.

Hak Penyandang Cacat

Perempuan dan anak perempuan dengan cacat psikososial atau intelektual di India terus
dikurung di rumah sakit jiwa dan tempat tinggal yang padat dan tidak sehat, tanpa persetujuan
mereka, karena stigma dan tidak adanya dukungan masyarakat dan layanan kesehatan mental
yang memadai. Setelah laporan Human Rights Watch mengungkapkan berbagai pelanggaran
yang dihadapi perempuan di institusi tersebut, Komisi Nasional untuk Wanita mengambil studi
pertama mengenai masalah ini.

Majelis Tinggi Parlemen India mengeluarkan undang-undang kesehatan mental baru pada bulan
Agustus 2016. Namun undang-undang tersebut gagal mematuhi sepenuhnya Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Cacat, termasuk ketentuan bahwa orang-
orang penyandang cacat harus menikmati kapasitas hukum pada Setara dengan orang lain
dalam semua aspek kehidupan, dengan tindakan yang tepat untuk memberikan dukungan yang
mungkin mereka butuhkan dalam menjalankan kapasitas hukum mereka.

Hukuman mati

Tidak ada eksekusi di tahun 2016, namun ada 385 tahanan yang masih berada dalam hukuman
mati. Sebagian besar tahanan termasuk dalam komunitas terpinggirkan atau minoritas agama.
Pengadilan India telah mengakui bahwa hukuman mati telah dikenakan secara tidak
proporsional dan secara diskriminatif terhadap kelompok-kelompok yang kurang beruntung di
India.

Kebijakan luar negeri


Hubungan antara India dan Pakistan memburuk pada tahun 2016. Setelah pecahnya kekerasan
baru di Jammu dan Kashmir pada bulan Juli, pemerintah Pakistan meminta sekretaris jenderal
PBB untuk penyelidikan independen dan plebisit di bawah pengawasan PBB.

Pemerintah India menolak tuduhan dan permintaan Pakistan, menuduh Pakistan menimbulkan
masalah di wilayah tersebut dan menggunakan terorisme sebagai instrumen kebijakan negara.
Sementara itu, Perdana Menteri Narendra Modi meminta perhatian pada apa yang dia sebut
"kekejaman" yang dilakukan oleh Pakistan di Balochistan dan Kashmir yang dikelola oleh
Pakistan dalam pidatonya, termasuk pada Hari Kemerdekaan India. Ketegangan meningkat
lebih lanjut pada bulan September setelah pemerintah India mengklaim bahwa pasukan
keamanan telah menyerang situs militan di dalam Pakistan sebagai tanggapan atas serangan
terhadap pangkalan militer India di Jammu dan Kashmir yang menewaskan 19 tentara.

Catatan pemungutan suara India mengenai isu hak asasi manusia di PBB mengecewakan. Pada
bulan Mei, pemerintah abstain dari pemungutan suara yang diajukan oleh Komite untuk
Melindungi Wartawan, sebuah kelompok kebebasan pers internasional, untuk mendapatkan
akreditasi PBB. Pada bulan Juli, pemerintah abstain pada sebuah resolusi yang menciptakan
sebuah pos ahli PBB untuk menangani diskriminasi terhadap orang-orang LGBT dan
memberikan suara untuk menyetujui amandemen untuk melemahkan mandat tersebut,
dengan mengatakan bahwa Mahkamah Agung India masih harus memutuskan isu lesbian, gay,
biseksual, Dan hak transgender (LGBT).

India mendorong Nepal untuk mengadopsi sebuah konstitusi inklusif yang mengakomodasi
aspirasi kelompok minoritas di dataran selatan yang berbatasan dengan perbatasan India. India
terus mendesak Sri Lanka untuk menangani tuntutan minoritas Tamil.

India dan AS memperkuat kerjasama keamanan. Pada bulan Juli, Modi berbicara dalam sidang
gabungan Kongres AS, mencatat komitmen bersama untuk memerangi perubahan iklim dan
terorisme.

Pada bulan Oktober, India menyelenggarakan pertemuan puncak BRICS (Brasil, Rusia, India,
China dan Afrika Selatan). Sementara perdana menteri berbicara tentang kemitraan untuk
mengatasi tantangan keamanan dan ketidakpastian ekonomi, tidak ada lagi kesepakatan untuk
menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional.

Pada bulan Oktober, India meratifikasi kesepakatan Paris mengenai perubahan iklim, dimana
195 negara diadopsi pada bulan Desember 2015.

Aktor Internasional Utama

Sebuah Komisi Kongres AS mengadakan sidang pada Juli 2016 mengenai situasi hak asasi
manusia di India, bertepatan dengan kunjungan Modi ke Washington. Persidangan tersebut
menyoroti isu kekerasan terhadap komunitas terpinggirkan dan minoritas agama seperti
Muslim dan Kristen.

Sebuah laporan 2016 oleh Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS mengatakan bahwa
toleransi beragama telah "memburuk" dan "pelanggaran kebebasan beragama" meningkat di
India. Selama kunjungannya ke India pada bulan Juni, Senator AS Ben Cardin, anggota anggota
Komite Hubungan Luar Negeri Senat, mengungkapkan keprihatinannya atas intoleransi agama,
undang-undang anti-konversi, dan pembunuhan di luar proses hukum di negara tersebut. Pada
bulan Agustus, selama kunjungannya ke India, Menteri Luar Negeri AS John Kerry menekankan
perlunya melindungi hak kebebasan berekspresi dan demonstrasi damai.

Dalam sebuah pernyataan bersama setelah KTT India-Uni Eropa pada bulan Maret yang dihadiri
oleh Modi dan kepala Dewan Eropa dan Komisi Eropa, para pemimpin "menyoroti kebutuhan
untuk upaya menjamin kesetaraan jender dan penghormatan terhadap hak asasi perempuan
dan anak perempuan."

Pada bulan Agustus, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad al-Hussein
menyatakan penyesalan atas kegagalan pemerintah India dan Pakistan untuk memberikan
akses kantornya ke Jammu dan Kashmir untuk kunjungan pencari fakta. "Tanpa akses, kita
hanya bisa takut yang terburuk," katanya.

Anda mungkin juga menyukai