Anda di halaman 1dari 7

Davidson pada tahun 1974 menggunakan sistem skoring dengan skala REEDA untuk

mengevaluasi penyembuhan luka pada masa pascasalin. REEDA tool, alat ini untuk mengkaji
redness, edema, ecchymosis, discharge, dan approximation yang berhubungan dengan
trauma perineum setelah persalinan. REEDA menilai lima komponen proses penyembuhan
dan trauma perineum setiap individu (Nurbaeti, 2013).
Table 2.2 Skala REEDA
Ecchymosis Approximatio
Redness Oedema Discharger
Nilai (bercak n (penyatuan
(Kemerahan) (pembengkakan) (pengeluaran)
perdarahan) luka)
0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Kurang dari
Kurang dari 0,25cm
Pada perineum, Jarak kulit
0,25cm pada pada kedua
1 <1cm dari Serum 3mm atau
kedua sisi sisi atau
laserasi kurang
laserasi 0,5cm pada
satu sisi
0,25cm-
Kurang dari 1cm pada Terdapat jarak
Pada perineum,
0,5cm pada kedua sisi Serosanguinu antara kulit
2 1-2cm dari
kedua sisi atau 0,52cm s dan lemak
laserasi
laserasi pada satu subkutan
sisi
>1cm pada Terdapat jarak
Lebih dari
Pada perineum, kedua sisi antara kulit
0,5cm pada Berdarah,
3 >2cm dari atau 2cm dan lemak
kedua sisi purulent
laserasi pada satu subkutan dan
laserasi
sisi fasia
Sumber : Alvarega MB (2015)
Alat pengkajian ini digunakan untuk menilai kondisi luka jahitan perineum, dengan
score tertentu yang mengindikasikann seberapa baik kondisi penyembuhan luka perincum.
Skor paling tinggi untuk masing-masing aspek dari 5 aspek tersebut (REEDA) adalah 3,
sedangkan score terendah adalah 0. Dengan nilai 0 menunjukan kondisi luka perineum
sembuh (Chougala, 2013).
Faktor predisposisi terjadinya luka perineum pada ibu nifas antara lain partus
presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong, pasien tidak mampu berhenti
mengejan, edema dan kerapuhan pada perineum, vasikositas vulva dan jaringan perineum,
arkus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pulasehingga menekan kepala
bayi kearah posterior, dan perluasan episiotomi. Faktor penyebab dari aspek janin antara lain
bayi besar, posisi kepala yang abnormal, kelahiran bokong, ekstraksi forcep yang sukar, dan
distosia bahu (Wahyuningsih, 2018).
Derajat luka perineum terdiri dari 4 tingkat yaitu :
 Tingkat I: Robekan mengenai jaringan kulit dan subkutan dengan hanya sedikit atau
tanpa kerusakan otot. Robekan ini seringkali dibiarkan tanpa perlu dijahit. Meliputi
mukosa vagina, komisura posterior.
 Tingkat Il: Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selama mengenai selaput lendir
vagina juga mengenai muskulus perinei transversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani.
Robekan mengenai kulit dan lapisan otot (paling sering otot bulbokavernosus serta
transerversa superfisial dan profunda). Episiotomi termasuk dalam kategori ini karena
kulit dan otot digunting. Jika robekan terjadi secara spontan, dianjurkan bahwa beberapa
robekan derajat kedua tidak memerlukan jahitan. Meliputi mukosa vagina, komisura
posterior, kulit perineum dan otot.

 Tingkat Ml:Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot
sfingter ani. Meliputi mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum
dan otot sfingter ani.

 Tingkat IV: Robekan hingga epitel anus. Robekan mengenai sfingter internal dan
eksternal serta mukosa rektum sehingga lumen rektum. Meliputi mukosa vagina,
komisura posterior, kulit perineum, otot perineum, otot sfingter ani dan dinding depan
rectum (Wiknjosastro, 2016).

Tahapan penyembuhan luka jahitan perineum dapat dibagi sebagai berikut :


 Hemostatis (0 - 3 hari), vasokontriksi sementara dari pembuluh darah yang rusak
terjadi pada saat sumbatan trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut
fibrinuntuk membentuk sebuah bekuan.
 Inflamasi, respon inflamasi akut terjadi beberapa jam elah cedera, dan efeknya
bertahan hingga 5 - 7 hari. Karakteristik Inflamasi yang normal antara lain
kemerahan,kemungkinan pembengkakan, suhu sedikit meningkat di area setempat
(atau padakasus luka yang luas, terjadi periksia sistematis), kemungkinan ada nyeri.
Selamaperalihan dari fase inflamasi ke fase proliferasi jumlah sel radang menurun dan
jumlah fibroblas meningkat.
 Proliferasi (3 - 24 hari), selama fase proliferasi pembentukan pembuluh darah
yangbaru berlanjut di sepanjang luka. Fibroblas mulai menginfiltrasi luka. Tanda
berkurang dan berwarna merah terang.
 Maturasi (24 - 1 bulan), bekuan fibrin awal digantikan oleh jaringan granulasi, setelah
jaringan granulasi meluas hingga memenuhi defek dan defek tertutupi oleh
permukaan epidermal yang dapat bekerja dengan baik, mengalami maturasi. Terdapat
suatu penurunan progesif dalam vaskularitas jaringan parut, yang berubah dari merah
kehitaman menjadi putih. Serabut-serabut kolagen mengadakan reorganisasi dan
kekuatan gantikan regangan luka meningkat.
 Parut maturasi jaringan granulasi menjadi factor kontributor yang paling
pentingdalam berkembangnya masalah parut. Setelah penyembuhan, jaringan ini lebih
tebal dibandingkan dengan kulit normal, tetapi tidak setebal jika dibandingkan dengan
luka tertutup yang baru saja terjadi. Folikel rambut dan sebasea ataukelenjar keringat
tidak tumbuh lagi pada jaringan parut.
Dalam Smeltzer (2013) disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
perineum meliputi factor internal dan eksternal yaitu:
a) Faktor – factor internal yang mempengaruhi penyembuhan luka
(1) Usia
Penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada usia muda dari pada orang tua. Orang
yang sudah lanjut usianya tidak dapat mentolelir stress seperti trauma jaringan
arau infeksi.
(2) Penanganan jaringan
Penanganan yang kasar menyebabkan cedera dan dapat memperlambat
penyembuhan.
(3) Haemoragi
Akumulasi darah menciptakan ruang juga sel-sel mati yang harus disingkirkan.
Area menjadi pertumbuhan untuk infeksi.
(4) Hipovolemia
Volume darah yang tidak mencukupi mengarah pada vasokontriksi dan penurunan
oksigen dan nutrisi yang tersedia untuk penyembuhan luka.
(5) Factor localedema
Penurunan suplai oksigen melalui Gerakan meningkatkan tekanan internstisial
pada pembuluh.
(6) Defisitnutrisi
Sekresi insulin dapat dihambat, sehingga menyebabkan glukosa darah
meningkat. Dapat terjadi penipisan protein - kalori.
Malnutrisi secara umum dapat mengakibatkan berkurangnya kekuatan luka,
meningkatnya dehisensi luka, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan parut
dengan kualitas yang buruk. Defisiensi nutrien tertentu dapat berpengaruh pada
penyembuhan, misalnya defisiensi zinc akan mengurangi kecepatan epitelialisasi
dan mengurangi sintesis kolagen sehingga mengurangi kekuatan luka. Selain itu,
vitamin C juga penting dikonsumsi karena kolagen yang dibentuk tanpa vitamin C
yang adekuat akan lemah. Obesitas menjadi faktor resiko yang mempengaruhi
keberhasilan penyembuhan luka. Faktor gizi terutama protein akan sangat
mempengaruhi terhadap proses penyembuhan luka pada perineum karena
penggantian sel yang rusak, untuk pertumbuhan jaringan sangat dibutuhkan
protein.
Jamhariyah (2017), Nutrisi juga sangat diperlukan oleh ibu nifas dalam
penyembuhan luka perincum. Martanti et al., (2017) melakukan penelitian
eksperimen post test only control group design selama 7 hari untuk mengetahui
efek pemberian zinc dan vitamin C terhadap penyembuhan luka perineum derajat.
Responden dalam penelitian ini adalah 50 Ibu postpartum dengan luka perineum
derajat Il. 24 responden diberikan Zinc dengan dosis 20 mg, 1x1 setiap hari
selama 7 hari dan 26 responden diberikan vitamin C dengan dosis 100 mg, 1x1
setiap hari selama 7 hari. Pada responden yang diberikan vitamin C Rata-rata
waktu penyembuhan lukanya 8.15 hari, waktu ini lebih cepat dibandingkan
dengan responden yang diberikan Zinc yang rata-rata waktu penyembuhannya
9,13 hari. Pada hari ke 7 penelitian jumlah responden yang sembuh pada
responden yang diberikan Vitamin C sebanyak 16 (61,5%) lebih besar dari
responden yang diberikan Zinc 7 (29,2%).
Jamhariyah (2017) melakukan penelitian eksperimen Quasi experimental
Control group post-test only terhadap 26 ibu bersalin yang mengalami ruptur
perineum. 13 responden mendapatkan suplementasi zinc 1 tablet (20 mg) per hari
selama 7 hari. Dan 13 responden tidak mendapatkan suplementasi zinc. rata-rata
waktu penyembuhan luka perineum yang diberikan zinc adalah 5,85 hari,
sedangkan pada responden yang tidak mendapatkan suplementasi zinc adalah
7,38. Hasil uji test independent menunjukkan terdapat pengaruh suplementasi zine
terhadap waktu penyembuhan luka perineum dengan p value 0,000 (<0,05).
Purnani (2019), kelompok perlakuan yang diberikan putih telur sebanyak 139
gram perhari selama 5-6 hari dan kelompok perlakuan yang diberikan ikan gabus
sebanyak 100 gram perhari selama 5-6 hari bertujuan agar kebutuhan protein dan
albumin yang dibutuhkan dapat terpenuhi, sehingga membantu mempercepat
proses penyembuhan luka perineum sehingga hasil observasi yang diperoleh
setelah menunjukkan kondisi luka kering, perineum menutup dan tidak ada tanda
infeksi (merah, bengkak, panas, nyeri). Hasil analisa data menggunakan uji Mann
Whitney didapatkan hasil nilai Z = - 2,626 dan p-value 0,009 < α 0,05
menunjukkan adanya perbedaan efektifitas pemberian putih telur dan ikan gabus
terhadap penyembuhan luka perineum, dimana putih telur lebih efektif daripada
ikan gabus terhadap penyembuhan luka perineum pada ibu nifas. Jadi baik putih
telur dan ikan gabus sama mempunyai pengaruh dalam proses penyembuhan luka
perineum karena kandungan protein pada putih telur dan ikan gabus. Akan tetapi
putih telur lebih memberikan efek yang cepat bagi penyembuhan luka perineum.
Hal ini disebabkan karena putih telur mengandung lebih banyak protein albumin
(95%) dibandingkan kandungan albumin pada ikan gabus yang lebih sedikit
(21%), dimana kandungan albumin yang membantu proses pergantian dan
perbaikan fungsi jaringan yang rusak. Selain itu, nilai cerna protein putih telur
mencapai 100%, dimana kandungan protein putih telur sebagai protein bernilai
gizi tinggi diserap dan dimanfaatkan utuh oleh tubuh sebagai sumber nitrogen
untuk sintesis protein yang dimanfaatkan untuk pembentukan jaringan baru, serta
putih telur mempunyai kandungan asam amino esensial yang lengkap
dibandingkan ikan gabus dengan nilai cerna 90% (Purnani, 2019).
(7) Personal hygiene
Personal hygiene (kebersihan diri) dapat memperlambat penyembuhan, hal ini
dapat menyebabkan adanya benda asing seperti debu dan kuman.
Pengetahuan dan kemampuan ibu dalam dalam perawatan luka perineum akan
mempengaruhi penyembuhan perineum. Berdasarkan hasil penelitian yang
berjudul Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Perawatan Luka Terhadap Proses
Penyembuhan Luka Pada Ibu Nifas di Wilayah Pedesaan Percut, Sumatera Utara
menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dan
penyembuhan luka perineum (p value = 0.008). Hal ini menunjukan bahwa tingkat
pengetahuan sangat penting pada ibu nifas (Simanjutak dan Syafitri, 2019).
Budaya dan keyakinan akan mempengaruhi penyembuhan luka perineum,
misalnya adanya mitos-mitos yang mendukung atau bertentangan dengan
perawatan luka perineum, antara lain: kebiasaan makan, kadang terdapat mitos
yang menghindari makanan yang cenderung mengandung protein, misalnya ikan,
telur dan daging, padahalprotein justru dibutuhkan untuk regenerasi sel dan
pertumbuhan jaringan, asupan gizi ibu juga sangat mempengaruhi proses
penyembuhan luka. Contoh lain, misalnya adanya budaya memberikan ramuan-
ramuan tradisional tertentu yang dioleskan pada luka perineum, hal ini akan
menimbulkan potensi infeksi pada luka dan menghambat penyembuhan luka
perineum. Maka bidan mempunyai tugas untukmemberikan pendidikan kesehatan
pada ibu postpartum tentang perawatan luka perineum yang tepat (Wahyuningsih,
2018).
(8) Defisitoksigen
(a) Insufisien oksigenasi jaringan : oksigen yang tidak memadai dapat diakibatkan
tidak adekuatnya fungsi paru dan kardiovaskuler juga vasokontriksisetempat.
(b) Penumpukan drainase : sekresi yang menumpuk mengganggu proses
penyembuhan.
(9) Medikasi
(a) Farmakologi
 Steroid : dapat menyamarkan adanya infeksi dengan mengganggu respon
inflamasi normal.
 Antibiotik spectrum luas / spesifik : efektif bila diberikan segera sebelum
pembedahan untuk patologi spesifik atau kontaminasi bakteri. Jika
diberikan setelah luka ditutup, tidak efektif karena koagulasi
intravaskuler.
(b) Non Farmakologi
(10) Overaktivitas
Menghambat perapatan tepi luka. Mengganggu penyembuhan yang
diinginkan.
b) Faktor - faktor eksternal yang mempengaruhi penyembuhan luka
(1) Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana ibu akan selalu merasa
mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat-nasihat khususnya orang
tua dalam merawat kebersihan pasca persalinan.
(2) Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca
persalinan masih banyak digunakan, meskipun oleh kalangan masyarakat
modern.
(3) Pengetahuan
Pengetahuan ibu tentang perawatan pasca persalinan sangat menentukan lama
penyembuhan luka perineum. Apabila ibu kurang terlebih masalah pengetahuan
kebersihan maka penyembuhan luka pun akan berlangsung lama.
(4) Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi ibu dengan lama penyembuhan perineum
adalah keadaan fisik dan mental ibu dalam melakukan aktifitas sehari-hari pasca
persalinan. Juga ibu memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, bisa jadi
penyembuhan luka perineum berlangsung lama karena timbulnya rasa malas
dalam merawat diri.
(5) Penanganan petugas
Pada saat persalinan, pembersihannya harus dilakukan dengan tepat oleh
penangan petugas kesehatan, hal ini merupakan salah satu penyebab yang dapat
menentukan lama penyembuhan luka perineum.
(6) Kondisi ibu
Kondisi kesehatan ibu baik secara fisik maupun mental, dapat menyebabkan
lama penyembuhan. Jika kondisi ibu sehat, maka ibu dapat merawat diri dengan
baik.
(7) Gizi
Makanan yang bergizi dan sesuai porsi akan menyebabkan ibu dalam keadaan
sehat dan segar. Daun akan mempercepat maka penyembuhan luka perineum.
Dalam Ambarwati (2020) dinyatakan bahwa ada pengaruh pemberian nugget
lele dengan lama waktu penyembuhan luka perineum pada ibu nifas di wilayah
Puskesmas Poncowarno tahun 2020. (Ambarwati, 2020)
4) Perubahan Payudara
Persiapan payudara untuk siap menyusu terjadi sejak awal kehamilan.
Laktogenesis sudah terjadi sejak usia kehamilan 16 minggu. Pada saat itu plasenta
menghasilkan hormon progesteron dalam jumlah besar yang akan mengaktifkan sel-
sel alveolar matur di payudara yang dapat mensekresikan susu dalam jumlah kecil.
Setelah plasenta lahir, terjadi penurunan kadar progesteron yang tajam yang kemudian
akan memicu mulainya produksi air susu disertai dengan pembengkakan dan
pembesaran payudara pada periode post partum (Kemenkes RI, 2019).
Proses produksi air susu sendiri membutuhkan suatu mekanisme kompleks.
Pengeluaran yang reguler dari air susu (pengosongan air susu) akan memicu sekresi
prolactin. Penghisapan puting susu akan memicu pelepasan oksitosin yang
menyebabkan sel-sel mioepitel payudara berkontraksi dan akan mendorong air susu
terkumpul di rongga alveolar untuk kemudian menuju duktus laktoferus. Jika ibu
tidak menyusui, maka pengeluaran air susu akan terhambat yang kemudian akan
meningkatkan tekanan intramamae (Kemenkes RI, 2019).
Jenis - Jenis ASI dalam Kemenkes (2015) :
a) Kolostrum : cairan pertama yang dikeluarkan oleh kelenjar payudara pada hari
pertama sampai dengan hari ke-3, berwarna kuning keemasan, mengandung
protein tinggi rendah laktosa.
b) ASI Transisi : keluar pada hari ke 3-8: jumlah ASI meningkat tetapi protein
rendah dan lemak, hidrat arangtinggi.
c) ASI Mature : ASI yang keluar hari ke 8-11 dan seterusnya, nutrisi terus berubah
sampai bayi 6 bulan.
b. Perubahan Sistem Pencernaan
Dalam Karjatin (2016) disebutkan bahwa adanya penurunan tonus otot
gastrointestinal dan motilitas usus setelah melahirkan dan fungsinya akan normal
Kembali dua minggu setelah melahirkan. Konstipasi, ibu postparfum berisiko
sembelit karena: (Karjatin,2016)

Anda mungkin juga menyukai