Teori
Implementasi tata kelola kolaboratif dalam Program Gandeng Gendong
berdasarkan teori George C. Edwards III dilihat dari empat variabel atau indikator,
yakni komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Analisis
masing-masing variabel dirinci sebagai berikut:
1. Komunikasi
Pelaksanaan Program Gandeng Gendong telah diatur dalam Perwali
Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Program Gandeng Gendong.
Regulasi tersebut telah memuat ketentuan peran masing-masing aktor 5K
(Pemerintah Kota, Komunitas, Korporasi, Kampung, dan Kampus).
Peraturan Walikota Yogyakarta tersebut menyebutkan bahwa tujuan dari
Program Gandeng Gendong pada dasarnya terdiri dari tiga hal, yakni:
1. Meningkatkan peran dan kerja sama stakeholders dalam pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat untuk percepatan pananggulangan
kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, dan kemajuan lingkungan.
2. Meningkatkan kerja sama dan mengoptimalkan potensi stakeholders
dalam meningkatkan kesejahteraan dan memajukan masyarakat.
3. Mendorong terwujudnya gerak bersama stakeholders pembangunan
dalam satu peta jalan (road map) untuk pengembangan kampung atau
kawasan atau masyarakat di Kota Yogyakarta.
2. Sumber Daya
Ketersediaan sumber daya baik sumber daya manusia (SDM) maupun
sumber daya finansial menjadi salah satu aspek penting dalam pelaksanaan
program pengentasan kemiskinan berbasis tata kelola kolaboratif dalam
Program Gandeng Gendong. Sumber daya meliputi empat aspek, yakni
kecukupan staf/stakeholders, kecukupan informasi, kecukupan
kewenangan guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta
kecukupan finansial (Akib, 2010; Kiwang et al., 2015). Kecukupan
staf/stakeholders pada pelaksanaan Program Gandeng Gendong yang
melibatkan aktor 5K masih perlu ditingkatkan mengingat peran media
massa belum terlibat aktif dalam pelaksanaan program tersebut.
3. Disposisi
Sikap pelaksanan atau disposisi dapat dilihat dalam bentuk komitmen
pelaksana program (Akib, 2010). Selain dilihat dari komitmen, disposisi
juga dapat dilihat dari keterbukaan/kejujuran dari aktor pelaksana
program. Idealnya program akan berjalan baik jika didukung dengan
adanya komitmen dan keterbukaan/kejujuran aktor pelaksananya. Perwali
Yogyakarta No. 23 Tahun 2018 Tentang Program Gandeng Gendong
menunjukan komitmen pelaksana program tersebut. Selain itu, dengan
diintegrasikannya Program Gandeng Gendong dalam dokumen
perencanaan strategis Kota Yogyakarta baik RPJMD maupun RKPD telah
menggambarkan bahwa pemerintah telah berupaya menjaga konsistensi
atau keterpaduan program dari tahun ke tahun.
Konsep tentang tata kelola kolaboratif (collaborative governance). Tata
kelola kolaboratif merupakan sebuah pemerintahan dimana satu atau lebih
lembaga publik secara langsung mengikutsertakan pemangku kepentingan dari
luar pemeritahan (non- state) dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang
formal, berorientasi konsensus, dilaksanakan melalui musyawarah, dan bertujuan
untuk membuat atau melaksanakan kebijakan publik ataupun mengelola program
pemerintah atau aset negara bersama-sama (Ansell and Gash 2008).(Prasetyo,
Utami, dan Amanda 2021)
Emerson et al memberikan definisi yang sedikit berbeda tentang
collaborative governance dilihat dari formalitas forum kolaborasi, inisiasi
penyusunan, dan engagement yang terjadi antara pemangku kepentingan
pemerintah dan non-pemerintah (Emerson et al., 2012). Jika Ansell dan Gash
memberikan batasan bahwa forum kolaborasi lebih state-oriented, Emerson et al
tidak membatasi forum kolaborasi sebagai inisiasi dari pemerintah saja tetapi juga
aktor di luar pemerintah.(Fajri et al. 2021)
Menurut Roderick Arthur William Rhodes, mengatakan bahwa governance
merujuk pada perubahan dari tata kelola pemerintahan yang bermakna lebih luas
meliputi sebuah proses baru pengaturan (new process of governing), perubahan
kondisi kaidah pengaturan (a changed condition ordered rule), atau sebuah metode
baru dimana masyarakat diatur (new method by which society is governed)
(Rhodes, 1996).
Menurut O’Leary dan Bingham (Sudarmo, 2015) kolaborasi merupakan
konsep yang menggambarkan proses memfasilitasi dan pelaksanaan yang
melibatkan multi organisasi untuk memecahkan masalah yang tidak bisa atau
tidak dengan mudah dipecahkan oleh sebuah organisasi secara sendirian. Pendapat
ini didukung oleh Bardach (Sudarmo, 2015) yang mendefinisikan collaboration
sebagai bentuk aktivitas bersama oleh dua institusi atau lebih yang bekerja sama
ditujukan untuk meningkatkan “public value” ketimbang bekerja sendiri-sendiri.
(Sunu 2020). Konsep collaborative governance menurut Emerson, Nbatchi, &
Balogh, 2012 yang menggambarkan kerangka integrative menjadi tiga dimensi
yaitu ; (1) general system context,(2) collaborative governance regime(CGR); dan
(3) collaborative dynamics dan actions. (Salsabila dan Sadayi 2022)
Solusi
Program Gandeng Gendong adalah program untuk pengentasan kemiskinan yang
dilakukan di Kota Yogyakarta dengan menekankan adanya pemanfaatan potensi
lokal dan kegiatan pemberdayaan masyarakat serta melibatkan lima stakeholders
dalam pelaksanaannya (5K), yaitu Pemerintah Kota, komunitas, korporasi,
kampung, dan kampus. Sejauh ini implementasi tata kelola kolaboratif dalam
Program Gendeng Gendong telah dilaksanaan dengan baik sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan
untuk melengkapi dan mengoptimalkan implementasi program tersebut.
1. Implementasi variabel komunikasi masih harus ditingkatkan pada koordinasi
antar stakeholders dengan adanya Standard Operasional Prosedur (SOP) agar
proses koordinasi dapat berjalan lebih baik.
2. Perlu direncanakan dan dirumuskan strategi optimalisiasi pemanfaatan peran
media sosial sebagai sarana pelaksanaan sehingga tidak hanya dilakukan
dengan menggunakan media Jogja Smart Service pada sub menu Nglarisi.
3. Sumber daya manusia perlu ditingkatkan dengan melibatkan peran media
massa serta peran pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, mengingat
Program Gandeng Gendong merupakan program untuk pengentasan
kemiskinan, sehingga seluruh aktor perlu berperan aktif.
4. Alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan pada Program Gandeng
Gendong tahun 2018-2019 mengalami peningkatan. Namun ke depannya
perlu ditingkatkan melalui penyediaan nota kesepakatan atau MOU
(Memorandum of Understanding) kerja sama antar stakeholders dalam
penyediaan sumber daya finansial.
5. Perlu adanya konsistensi perencanaan program yang dituangkan dalam
Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah (RPKD)
6. Indikator struktur birokrasi perlu dilengkapi dengan ketersediaan Standard
Operasional Prosedur SOP dan pembentukan lembaga yang menjadi
koordinator pelaksanaan tata kelola kolaboratif dalam Program Gandeng
Gendong.
Daftar Pustaka
Diah Wulan Dari, D. A. (2022). Implementasi Pengentasan Kemiskinan di Kota
Yogyakarta Berbasis Tata Kelola Kolaboratif dalam Program Gandeng
Gendong . Jurnal Ilmu Administrasi Publik UMA, 2-6.
Fajri, Hidayatul, Karjuni Dt. Maani, Nila Wahyuni, dan Hasbullah Malau. 2021.
“Collaborative Governance Sebagai Solusi Dalam Tata Kelola
Pemberdayaan Nelayan.” Sosio Informa 7(2):73–88. doi:
10.33007/inf.v7i2.2713.
Prasetyo, E., P. Utami, dan T. A. Amanda. 2021. “Perancangan Model Tata
Kelola Kolaboratif Dalam Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Perdesaan di Kabupaten Pandeglang.” Kolaborasi: Jurnal Administrasi
Publik: Jurnal Administrasi Publik 7(2):1--21.
Salsabila, Lubna, dan Delila Putri Sadayi. 2022. “Collaborative Governance
dalam Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Kulon Progo.” Dialektika
Publik : Jurnal Administrasi Negara Universitas Putera Batam 6(1):28–34.
doi: 10.33884/dialektikapublik.v6i1.5452.
Sunu, Retno. 2020. “Sampul Collaborative Governance.” Collaborative
Govenance Dalam Perspefkit Publik 161.