Anda di halaman 1dari 17

MUNASABAH AL QURAN, ILMU MAKKIYAH DAN MADANIYAH,

I’JAZ AL QURAN , AL MUHKAMUM WA AL MUTASYABIH

Program studi: Bahasa Indonesia Unit 1


Dosen Pembimbing : Yudi Arifn, S.Pd.M.Ag

Disusun Oleh: Kelompok 4


JUWITA PRATIWI ARITONANG (202328007)
RAHMA DIANA(202328019)

JURUSAN TADRIS BAHASA INDONESIA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
2023/2024
KATA PENGANTAR

Bissmilahirrahmanirrahim. Alhamdulillah segala puji syukur hanya untuk allah dan


telah mencurahkan rahmat serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaika tugas dalam
menyusun makalah ini yang berjudul “MUNASABAH AL QURAN, ILMU MAKKIYAH
DAN MADANIYAH, I’JAZ AL QURAN , AL MUHKAM WA AL MUTASYABIH’’

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada nabi muhammad saw. Dan keluarganya
juga para sahabatnya serta para pengikutnya yang serta sampai ahkir zaman.

Makalah ini adalah makalah yang dapat memotivasi dan untuk memperdalam tentang
“MUNASABAH AL QURAN, ILMU MAKKIYAH DAN MADANIYAH, I’JAZ AL
QURAN , AL MUHKAM WA AL MUTASYABIH’’ kami mencari isi yang tercantum
dalam makalah ini dari sumber-sumber yang temuka dan dari buku-buku yang membahas
tetang hal yang bersangkutan.

Dalam menyusun makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan dalam isi,
bentuk maupun susunan kalimatnya akan tetapi berkat bimbingan dan dorongan serta
do’adari berbagai pihak maka kesulitan-kesulitan yang kami hadapi,alhamdulillah dapat
teratasi. Namun,kami tetap menerima dan mengharapkan kritik serta saran dari pembaca yang
menuju kearah kebaikan dan kesempurnaan dalam makalah ini.

Semoga apa yang kami usahakan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kami khususnya
para pembaca.

LHOKSEUMAWE , 21 A GUSTUS 2023

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar................................................................................................................2
Daftar isi...........................................................................................................................3

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................................. 4
A. Latar belakang............................................................................................................. 4
B. Rumusan masalah.........................................................................................................5

BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................................6
A. Pengertian munasabah alqur’an................................................................................... 6
B. Ilmu makkiyah dan madaniyah.....................................................................................8
C. I’jaz alqur’an.............................................................................................................. 10
D. Al muhkam wa al mutasyabih................................................................................... 13

BAB III : PENUTUP.....................................................................................................14


Daftar pustaka..................................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Al-Qur’an, selain sebagai hudan (petunjuk), bayyināt (keteranganketerangan), dan furqān
(tolok ukur kebenaran) bagi seluruh manusia, juga merupakan sumber sistem kehidupan umat
Islam. Hal ini menjadikannya sebagai sentral kajian para cendikiawan, baik Muslim maupun
non-Muslim, baik karena dorongan keagamaan (seperti motivasi tafsir tahlîliy), maupun
karena dorongan tuntutan sejarah (sebagaimana motivasi tafsir maudû‟iy, misalnya). Dalam
mengkaji Al-Qur’an itulah lahir beratus-ratus buku tafsir. Sebagaian besar buku-buku tafsir
terdahulu, terutama yang bercorak tahlîliy produk ulama mutaqaddimîn, kebanyakan
melakukan pendekatan Al-Qur’an secara sepotong-sepotong, dan disibukkan dengan
pembahasan filologisgramatika, kemudian baru menganalisis segala aspek yang terkandung
dalam ayat, karenanya pembahasannya meluas dan berpindah-pindah, sehingga pesan-pesan
Al-Qur’an dipahami secara parsial, sektarian, dan terpilah-pilah. Pesan Al-Qur’an haruslah
difahami secara utuh dan padu, bukan secara ad hoc atau parsial. Namun untuk sampai
kepada pemahaman ini bukanlah tanpa masalah, karena dari sistematikanya, jika dilihat dan
dibaca secara sambil lalu, alur pemaparan Al-Qur’an terkesan melompat-lompat dan tidak
berhubungan.2 Untuk itulah, muncul pembahasan mengenai koherensi dan korelasi antar
ayat-ayat, kelompok-kelompok ayat, dan surat-surat dalam Al-Qur’an yang secara sepintas
tidak terlihat hubungan satu sama lainnya.

Pembahasan inilah yang kelak membentuk suatu ilmu yang di dalam Ulumul-Qur’ān
dikenal dengan „Ilmul- Munasabah. Dalam sejarahnya ilmu ini diperkenalkan oleh Imam
Abu Bakr an nisabury (w. 324 H),3 tetapi sampai pada abad 6 H., tak seorangpun ulama
tafsir yang membahas ilmu ini secara khusus. Ulama yang pertama kali membahasnya secara
tersendiri adalah Ahmad bin Ibrāhim bin Zubair asSaqāfy (628-708 H.) dalam bukunya Al-
Burhān fî Tanāsubi Suwaril-Qur’ān.

Kemudian seorang ulama tafsir abad ke 8 H., Burhānuddîn Muhammad bin Abdillāh
az-Zarkasyiy (745-794 H.), juga mencoba menerapkan pola ini dalam bukunya al Burhān fî
'Ulûmil-Qur’ān. Karena buku ini bukanlah kitab tafsir, az-Zarkasyiy hanya membahasnya
dalam satu bab. Perbedaan antara as-Saqāfiy dengan az-Zarkasyiy adalah, bahwa as-Saqāfiy
memaparkan keserasian hubungan antar surat, sedangkan az-Zarkasyiy lebih menekankan

4
kepada antar ayat. Selanjutnya pada abad ke 9 H. al-Biqā'i (w. 885 H.).

B.Rumusan masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Munasabah al qur’an?
2. Bagaimanakah ciri-ciri dari Ilmu makiyah dan madaniyah?
3. Apakah yang dimaksud dengan I’jaz al qur’an?
4. Apakah yang dimaksud dengan AL-muhkam wa al mutasyabih?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian munasabah alqur’an


Secara etimologi, kata "munāsabah" sering dipakai dalam tiga pengertian. Pertama,
Kata ini dipakai dengan makna "musyākalah atau muqārabah (dekat)". Jika dikatakan fulān
yunāsibu fulānan, maka hal itu berarti yuqāribu minhu wa yusyākiluhu (proses dekat atau
hampirnya seseorang kepada orang lain). Kata munasābah juga diartikan dengan "alnasîb"
(kerabat atau sanak keluarga). Sedangkan yang ketiga digunakan dengan term "al-
munāsabah fil-'illah fî bābil-qiyās", berarti sifat-sifat yang menyerupai bagi suatu hukum.

Sedangkan al-munāsabah dalam pengertian terminologisnya ialah ilmu yang


dengannya dapat diketahui sebab-sebab tertib susunan bagianbagian Al-Qur’an,atau seperti
yang diungkapkan oleh Ibnu „Arabiy adalah : “Koherensi ayat-ayat Al-Qur’an antara suatu
bagian dengan lainnya, sehingga bagaikan satu kalimat yang maknanya harmonis dan
strukturnya yang rapi.” Az-Zarkasyiy, menggarisbawahi bahwa al-munāsabah, merupakan
“amr ma‟qûl izā „urida „alal-‟uqûl talaqathu bil-qubûl”. Dengan kalimat lain bahwa al-
munāsabah adalah usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar ayat
atau surat yang dapat diterima oleh akal. Keterkaitan antar ayat tersebut kadang secara
khusus atau umum, baik ecara rasional ('aqly), indrawi (hissiy) ataupun imajenatif
(khayāliy)”. Hal ini bisa pula diperoleh selain cara yang demikian asalkan kedua unsur tadi
(antara ayat atau surah) bisa dihubungkan secara logis pada konteks internal, misalnya
dengan pola hubungan sebab akibat, 'illah dengan ma'lûl, hubungan setara, komparasi dan
sebagainya. Bisa pula hubungan itu dilihat dan difahami dari suatu konteks eksternal, seperti
konsistensi dan kronologis suatu peristiwa dalam berita, dengan demikian suatu kalimat atau
suatu ayat menjadi sangat erat hubungan dan susunannya seperti layaknya suatu bangunan
yang kokoh.

Di samping itu, ilmu ini juga menjelaskan bahwa susunan ayat atau surah
yangkadang secara lahir terlihat "tidak runtut" itu mengandung rahasia-rahasia yang bila
disibakkan menimbulkan suatu keindahan rangkaian yang tiada taranya dan bila dilakukan
secara terus-menerus maka Al-Qur’an akan mengeluarkan hikmah dan rahasia yang tidak
pernah kering untuk digali. Mungkin, inilah yang menyebabkan Quraish Shihab meletakkan

6
wacana ini dalam bukunya Mu'zijat Al-Qur’an, bukan pada bukunya yang lain. Ini artinya
bahwa sistematika yang penuh rahasia dan hikmah itu merupakan mu'zijat Al-Qur’an yang
tidak bisa ditandingi manusia.

 Segi-segi Munāsabah Al-Qur’an, dan Macam-macamnya


Pendekatan munasabah dalam kajian tafsir al-Qur'an didasarkan pada pandangan bahwa
setiap susunan Surat dan ayat al-Qur'an adalah tauqifi (berdasarkan petunjuk Allah dan
Rasul-Nya), walaupun ayat dengan Suratnya tidak disusun berdasarkan tertib nuzulnya
(sesuai dengan masa turunnya).

Menurut Quraish Shihab, paling tidak, ada enam tempat Almunāsabah yang bisa
ditemukan dalam Al-Qur’an, yakni pada:
1. Hubungan kata demi kata dalam satu ayat;
Pendekatan munasabah dalam kajian tafsir al-Qur'an didasarkan pada pandangan bahwa
setiap susunan Surat dan ayat al-Qur'an adalah tauqifi (berdasarkan petunjuk Allah dan
Rasul-Nya), walaupun ayat dengan Suratnya tidak disusun berdasarkan tertib nuzulnya
(sesuai dengan masa turunnya).

2. Hubungan antara kandungan ayat dengan fashilah (penutup ayat);


Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat dan akhirannya. Misalnya, dalam surat
al-Qasas dimulai dengan kisah Nabi Musa As. dan Fir’aun serta pasukannya, sedangkan
penutup surat tersebut menggambarkan pernyataan Allah Swt agar umat Islam jangan
menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah Swt lebih mengetahui tentang hidayah.

3. Hubungan ayat dengan ayat berikutnya;


Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah
ini misalnya dalam surat al-Mu’minun, ayat 1 yang berbunyi “qad aflaḥa al-mu’minun” lalu
di bagian akhir surat tersebut berbunyi “innahu la yufliḥu alkafirun”. Ayat pertama
menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang mukmin, sedangkan ayat kedua di
bagian akhir shalat tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.

4. Hubungan mukaddimah satu surat dengan surat berikutnya;

7
Misalnya antara surat al-Fatiḥah dan surat al-Baqarah. Dimana dalam surat al Fatiḥah berisi
tema global tentang aqidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman. Sedangkan dalam surat al-
Baqarah menjadikan penjelas yang lebih rinci dari isi surat al-Fatiḥah.

5. Hubungan penutup satu surat dengan mukaddimah surat berikutnya;


Misalnya permulaan surat Al-Hadid : 1 dengan penutupan surat Al-Waqi’ah : 96 memiliki
relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih

6. Hubungan kandungan surat dengan surat berikutnya.


Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang bagian-bagian strukturnya terkait secara utuh.
Pembahasan tentang munasabah antar surat dimulai dengan memposisikan surat al-Fatiḥah
sebagai Ummul Kitab (induk al-Qur`an), sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat
pembuka (al-Fatiḥah) adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi al-
Qur`an Surat al-Fatiḥah menjadi ummul kitab, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid,
peringatan dan hukum-hukum, yang dari masalah pokok itu berkembang sistemajaran Islam
yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat al-Fatiḥah.

Di antara hal penting mengenai al-munāsabah, pertama, bahwa hubungan antara kata atau
ayat kadang nyata, karena keduanya saling berkaitan, dalam arti bahwa ketiadaan salah
satunya menghilangkan kesempurnaan. Kedua, antara kata atau ayat dengan ayat kadang
tidak terlihat adanya hubungan, seakan setiap surat bebas dari ayat lain. Ini nampak dalam
dua model. Model pertama, hubungan itu ditandai dengan huruf ,(kata penghubung).

B. ILMU MAKKIYAH DAN MADANIYAH


Makkiyah yaitu ayat yang diturunkan kepada rasulullah sebelum hijrah ke madinah.
Madaniyyah yaitu ayat yang diturunkan kepada rasulullah setelah hijrah ke madinah.Oleh
karena itu pada surat al maidah ayat 3 termasuk ayat madaniyyah walaupun turun kepada
rasulullah di mekkah ( pada haji wada’ di arafah ) Sejarah Perkembangan Maakkiyah dan
Madaniyyah Dikalangan ulama terdapat beberapa pendapat tentang dasar atau kriteria
yang dipakai untuk menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah suatu surat atau ayat.

Sebagian ulama menetapkan lokasi turunnya ayat-ayat atau surat sebagai dasar
penentuan Makkiyyah dan Madaniyyah, sehingga mereka membuat definisi Makkiyyah dan

8
Madaniyyah sebagai berikut: Yang diartikan sebagai berikut: “Makiyah ialah yang
diturunkan dimakkah sekalipun turunnya sesudah hijrah, madaniyah ialah yang diturunkan di
madinah” Agak sulit memang melacak dan mengidentifikasi secara pasti ayat-ayat
Makkiyyah dan Madaniyyah karena urutan tata tertib ayat tidak mengikuti kronologi waktu
turunnya ayat tetapi berdasarkan petunjuk nabi. Lagi pula pada mushaf usmani yang menjadi
acuan sejak semula disusun mengikuti petunjuk nabi.Koleksi mushaf para sahabat yang
diantaranya ada yang ditulis berdasarkan turunnya ayat, semuanya sudah dibakar setelah tim
penyusun al-Quran yang dibentuk Usman bin Affan menyelesaikan tugasnya. Jadi
pembakaran mushaf tersebut bisa juga berarti sebagai kerugian intelektual, karena dengan
demikian menjadi sulit melacak kronologi ayat berdasarkan waktu turunnya.

 Karakteristik Makkiyah dan Madaniyyah


Untuk mengetahui makkiyah dan madaniyyah dapat ditempuh dengan dua
metode :
1. Sima’ie Naqli
Maksudnya,mengetahui makkiyah dan madaniyyah dengan cara melalui riwayat.
2. Qiyasi Ijtihadi
Maksudnya, mengetahui Makkiyah dan madaniyyah dengan cara penerapan ijtihad yang di
dasarkan pada ciri-ciri makkiyah dan madaniyyah.

 Perbedaan Ciri-ciri Makkiyah dan Madaniyyah


Perbedaan ciri-ciri makkiyah dan madaniyyah dapat dilihat dari segi konteks kaimatnya
dan temanya.

1. Perbedaan dari segi konteks kalimat :


Diantara perbedaan makkiyah dan madaniyyah ditinjau dari segi konteksnya adalah :
a. Makkiyah.
1) Sebagian besar surat makkiyah dalam penyampaian dengan cara yang keras dalam
konteks pembicaraan sebab di tunjukkan kepada orang yang mayoritas pembangkang lagi
sombong seperti dalam surat al mudatsir.
2) Sebagian besar surat makkiyah pendek-pendek dan banyak mengandung
perdebatan( antara para rasul dengan kaumnya ), sebab kebanyakan ditujukan kepada orang-
orang yang memusuhi dan menentang, seperti dalam surat al- thur.

9
b. Madaniyyah.
1) Sebagian besar surat madaniyyah dalam peyampaian dengan cara yang lembut dalam
konteks pembicaraan, sebab ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima
dakwah, seperti dalam surat al –maidah.
2) Sebagian besar surat madaniyyah panjang-panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa
ada perdebatan, sebab ditujukan kepada orang-orang yang menerima dakwah, seperti ayat
dain (ayat tentang hutang ) padasurat al baqarah ayat 282.

 Perbedaan Dari SegiTema:


Diantara perbedaan makkiyah dan madaniyyah ditinjau dari segi temanya adalah:
a. Makkiyah :Sebagian besar surat makkiyah berisi pengokohan tauhid dan aqidah yang
benar, khususnya berkaiatan dengan tauhid uluhiyyah dan penetapannya iman kepada hari ke
bangkitan, sebab kebanyakan yang diajak bicara mengingkari halitu.
b. Madaniyyah :Sebagian besar surat madaniyyah berisi perincian ibadah-ibadah dan
mu’amalah, sebab kebayakan yang diajak bicara waktu itu jiwanya telah kokoh dengan
tauhid dan aqidah, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai Ibadan dan
mu’amalah.

Faedah mengetahui surat madaniyyah danmakkiyah. Diantara Faedah mengetahui


surat madaniyyah adalah:
1. Bukti ketinggian bahasa al qur’an. Sebab didalamnya Allah mengajak bicara setiap kaum
sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
2. Sebagian pelaksanaan syariat islam secara bertahap. Sebab al quran turun secara
berangsur-angsur sesuai keadaan dan kesiapan umat di dalam menerima dan melaksanakan
syariat yang diturunkan.
3. Sebagian pendidikan para da’i untuk mengikuti metode al quran dalam tata cara
penyampaian tema yaitu memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan
kekerasan dan kelembutan sesuai kondisi
4. Pembedaan atara nasikh dan mansub. Kalau ada dua ayat yaitu madaniyyah dan makkiyah
yang keduanya memenuhi syarat-syarat hukum nasikh, maka ayat madaniyyah menjadi
nasikh sebab ayat madaniyyah datang setelah ayat makkiyah.

C. I’JAZ AL QURAN

10
Secara etimologis kata ‫ (‘اعجاز‬jaz( berasal dari akar kata ‫ (’عجز‬ajun (artinya tidak
mampu/kuasa. Kata ‫ عجز‬adalah jenis kata yang tidak memiliki muatan aktifitas (pasif).
Kemudian kata ini dapat berkembang menjadi kata kerja aktif supaya dengan wajan (af’ala)
‫ )يعجز اعجز‬a`jaza-yu’jizu) berarti melemahkan, dengan demikian, Al-Qur`an sebagai
mukjizat bermakna bahwa AI-Qur`an merupakan sesuatu yang mampu melemahkan tentang
menciptakan karya yang serupa dengannya.Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “kata
mukjizat” diartikan sebagai kejadian yang luar biasa yang sukar dijangkau oleh akal pikiran
manusia. Pengertian ini punya muatan yang berbeda dengan pengertian i`jaz dalam perspektif
islam. I`jaz sesungguhnya menetapkan kelemahan ketika mukjizat telah terbukti, maka
yang nampak kemudian adalah kemampuan atau “mu`jiz” [yang melemahkan], oleh sebab
itu i`jaz AI-Qur`an menampakan kebenaran Muhammad SAW dalam pengakuannya sebagai
rosul yang memperlihatkan kelemahan manusia dalam menandingi mukjizatnya.

Kemukjizatan menurut persepsi ulama harus memenuhi keriteria 5 syarat sebagai


berikut:
1) Mukjizat harus berupa sesuatu yang tidak di sanggupi oleh makhluk sekalian alam.
2) Tidak sesuai dengan kebiasaan dan tidak berlawanan dengan hukum islam.
3) Mukjizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seorang mengaku membawa
risalah ilahi sebagai bukti atas kebenaran dan kebesarannya.
4) Terjadi bertepatan dengan penagakuan nabi yang mengajak bertanding menggunakan
5) mukjizat tersebut.
6) Tidak ada seorang pun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam
7) pertandingan tersebut.

Sedang yang di maksud dengan i`jaz secara terminology ilmu AI-Qur`an sebagaimana
yang dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
1. Menurut Manna’ Khalil Al-Qhatan
I`jaz adalah menampakkan kebenaran nabi SAW dalam pengakuan orang lain sebagai rasul
utusan Allah SWT dengan menampakan kelemahan orang-orang Arab untuk menandinginya
atau menghadapi mukjizat yang abadi. Yaitu AL Qur`an dan kelemahan-kelemahan generasi
sesudah mereka.

2. Menurut Ali Al-Shabuni

11
I`jaz ialah menetapkan kelemahan manusia baik secara kelompok maupun bersama-sama
untuk menandingi hal yang serupa dengannya, maka mukjizat merupakan buktiyang
datangnya dari Allah SWT yang di berikan kepada hamba-Nya. Mukjizat adalah perkara
yang luar biasa yang disertai dengan tsantangan yang tidak mungkin dapat ditandingi oleh
siapapun dan kapanpun. Muhammad Bakar ismail menegaskan, mukjizat adalah perkara luar
biasa yng di sertahin dan di ikuti tantangan yng di berikan oleh Allah Swt kepada nabi-nabi
sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran terhadap apa yang di embannyah
yang bersumber dari Allah swt.

Dari definisi di atas dapat di pahami antara i’jaz dan mukjizat itu dapat di katakan
melemakan. Hanya saja pengertian I’jaz di atas mengesankan Batasan yang lebih spesifik,
yaitu Al-Qur’an. Sedangkan pengertin mukjizat itu dapat, menegaskan Batasan yang lebih
luas, yakni bukan hanya berupa Al-Qur’an, tetapi juga perkaraperkara lain yang tidak mampu
di jangkau manusia secara keseluruhan. Dengan demikian dalam konteks ini antara
pengertian I’jaz dan mukjizat itu saling melengkapi, sehingga nampak jelas keistimewaan
dari ketetapan-ketetapan Allah yang khusus di berikan kapada Rasul-rasulnya pilihan-nya
sebagai salah satu bukti kebenaran misi kerasulan yang di bawanya.

Macam-macam Ijaz al-Qur’an Secara garis besarnya, i'jaz dapat dibagi ke dalam
dua bagian pokok, yaitu: Pertama, mukjizat yang bersifat material inderawi lagi tak kekal,
dan kedua, mukjizat immaterial, logis lagi dapat dibuktikan sepanjang masa”.10 Untuk lebih
jelas akan dijelaskan dari kedua bagian pokok berikut ini :

1. Mu’jizat material inderawi


Mukjizat para nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad saw. semuanya merupakan jenis
”Mukjizat material inderawi”. Mukjizat yang dimiliki oleh para nabi tersebut, dapat langsung
disaksikan oleh mata telanjang atau dapat ditangkap oleh indera mata, tanpa perlu dianalisa.
Namun peristiwa tersebut hanya ada dan terbatas pada kaum (masyarakat) di mana seorang
nabi tersebut diutus. Pada dasarnya, keluarbiasaan yang diberikan Allah kepada para nabi
terdahulu tersebut merupakan jawaban atas tantangan yang dihadapkan kepada mereka oleh
pihak-pihak lawan, misalnya: perahu Nabi Nuh as. yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga
mampu bertahan dalam situasi dalam ombak dan gelombang yang sedemikian dahsyat, tidak
terbakarnya Nabi Ibrahim as. dengan dilemparkan dalam kobaran api yang sangat besar,
tongkat Nabi Musa as. beralih wujud menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi

12
Isa as. terhadap berbagai macam penyakit atas izin Allah dan lain-lain.11 Semua mukjizat
tersebut hanya bersifat inderawi siapapun tidak bisa menolak, namun terbatas bagi
masyarakat di tempat para nabi menyampaikan risalahnya, dan berakhir dengan wafatnya
nabi-nabi tersebut.

2. Mu’jizat immaterial logis dan kekal


Adapun mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw yaitu mu’jizat yang bersifat
immaterial logis dan kekal, yaitu berupa al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan bahwa Nabi
Muhammad diutus kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Al-Qur’an sebagai
bukti kebenaran ajarannya, ia harus siap untuk disajikan kepada semua orang, kapanpun,
tanpa mengenal batas waktu, situasi, dan kondisi apapun. Hal ini seiring dengan berjalannya
waktu setiap manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Auguste Comte sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab tentang fase-
fase perkembangan pikiran manusia, yaitu:
a. Fase keagamaan, karena keterbatasan pengetahuan manusia tentang menafsirkan tentang
semua gejala yang terjadi, dikembalikan kepada kekuasaan Tuhan atau jiwa yang tercipta
dalam pikirannya masing-masing.
b. Fase metafisika, semua fenomena atau kejadian dikembalikan pada awal kejadian,
misalnya: manusia pada awal kejadiannya.
c. Fase ilmiah, manusia dalam menafsirkan fenomena melalui pengamatan yang teliti dan
penelitian sehingga didapat sebuah kesimpulan tentang hukum alam yang mengatur semua
fenomena alam ini. Bila alQur’an tidak logis dan tidak dapat diteliti kebenarannya melalui
metode ilmiah maka membuat manusia ragu akannya atau akan ada yan mengatakan bahwa
al-Qur’an tidak berguna lagi tidak bisa dipakai pada saat ini. Hal ini tidak boleh terjadi pada
sebuah mu’jizat yang disiapkan untuk sekarang sampai akhir zaman.

D. AL MUHKAM WA AL MUTASYABIH
Secara etimologis (bahasa) muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya
tidak mungkin diganti atau di ubah. Muhkam juga berarti ( sesuatu ) yang dikokohkan, tidak
goyah dan tidak berubah. Dengan pengertian inilah Allah menjelaskan bahwa ayat-ayat al-
Quran seluruhnya adalah muhkam sebagaimana firman Nya dalam surat Hud ayat 1
Artinya :”Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya dimuhkamkan (disusun
dengan rapi,kokoh) serta dijelaskan secara terperinciyang diturunkan dari sisi (Allah) yang

13
Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”,maksudnya al-Quran itu katakatanya fasih ( indah
dan jelas ). Menurut Syadalimuhkamialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan
keterangan. Sedangkan mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan
keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan pula karena terjadinya perbedaan dalam
menakwilnya.
Ramli Abdul Wahid dalam bukunya mengemukakan bahwa Muhkam ialah ayat yang
jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh,dan mutasyabih
ialah ayat yang tersembunyi (maknanya),tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun
naqli(Ramli,1996:83), dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah SWT saja mengetahuinya,
seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awalawal surat. Pendapat
ini menurut Al-Alusi dibangsakan kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi. Sementara
itumenurut Al-Jurjanimutasyabihadalah ungkapan yang maksud Makna lahirnya samar,ada
tasyabuh yakni menyerupai yang lain, ada kemiripan diantara dua hal (A-Jurjani, tt:200). Jika
diperhatikan pendapat ini maka sesuai dengan pernyataan Allah yang menyatakan bahwa al-
Quran seluruhnya mutasyabih sebagaimana ditegaskan dalam surat Az-Zumar ayat 23
Artinya :”Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa
(mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang…”, maksudnya al-Quran itu sebagian kandungannya
serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya
membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan
at-tasyabuh al-‘am atau mutasyabih dalam arti umum.

Pengertian yang lebih terperinci tentang muhkam dan mutasyabihserta perbedaannya


dipaparkan secara panjang lebar oleh Al-Husni (1999:145), secara terminologis sebagai
berikut :
1. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara jelas dan tegas, baik melalui
takwil (metafora) ataupun tidak. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya
dapat diketahui oleh Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-
huruf muqaththa’ah. Definisi ini dikemukakan kelompok ahlussunnah.
2. Muhkam adalah ayat yang maknanya jelas dan mudah dipahami, sedangkan ayat-ayat
mutasyabih sebaliknya.
3. Muhkam adalah ayat yang tidak mungkin dapat diartikan dari sisi arti lain, sedangkan
ayat mutasyabih mempunyai kemungkinan muncul arti yang banyak. Definisi ini
dikemukakan Ibnu ‘Abbas.
4. Muhkam adalah ayat yang maknanya dapat dipahami akal, seperti bilangan raka’at

14
shalat, kekhususan bulan Ramadhan untuk pelaksanaan puasa wajib, sedangkan ayatayat
mutasyabih sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan Al-Mawardi.
5. Muhkam adalah ayat yang pemahaman maknanya dapat berdiri sendiri, sedangkan
ayat-ayat mutasyabih untuk memahaminya bergantung pada ayat lain.
6. Muhkam adalah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa ditakwil terlebih
dahulu, sedangkan ayat mutasyabih memerlukan penakwilan untuk mengetahui maksudnya.
7. Muhkam adalah ayat yang lafazh-lafazhnya tidak berulang-ulang, sedangkan ayat
mutasyabih sebaliknya.
8. Muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan janji, sedangkan
ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan.
9. Muhkam adalah ayat yang menghapus (nasikh), berbicara tentang halal, haram, ketentuan-
ketentuan (hudud), kefarduaan, serta yang harus diimani dan diamalkan.
10. Muhkam adalah ayat-ayat yang tidak dihapus, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat
yang dihapus. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah bin Hamid dalam sebuah
riwayat dari Adh-Dhahak bin al-Muzahim (w.105 H.).
11. Muhkamadalah ayat yang harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih
adalah ayat yang harus diimani tetapi tidak harus diamalkan. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu
Abi Hatim yang mengatakanbahwa Ikrimah (w.105 H.), Qatadah bin Du’amah (w.117 M.)
mengatakan demikian.
12. Ibnu Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Muqatil bin Hayyan yang mengatakan
bahwa ayat-ayat mutasyabih adalahseperti alif lam mim dan alif lam mim ra. Dari berbagai
pendapat yang dikemukakan para ulama terkait pengertian muhkam dan mutasyabih dapat
disimpulkan bahwa inti muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar
lagi. Termasuk dalam kategori muhkam adalah nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang
dimaksud dengan terang dan tegas, dan memang untuk makna itu ia disebutkan) dan zhahir
(makna lahir). Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Termasuk
kedalam kategori ini adalah mujmal (global), mu’awwal(harus ditakwil), musykil dan
ambigius.

Paparan selanjutnyahanya akan dibahas hal yang menjadi perbincangan para ulama
yang difokuskan kepada ayat-ayat mutasyabihsaja. Sedangkan ayat-ayat muhkam tidak
akan diperbincangkan karena keberadaannya yang sudah jelas sebagaimana penjelasan
terdahulu.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu Al-munāsabah ternyata mampu menunjukkan bahwa sistematika Al-Qur‟an
mempunyai hubungan yang harmonis sekaligus menepis anggapan bahwa Al-Qur‟an itu
tidak sistematis. Enam katagori al-munāsabah pada pembahasan terdahulu paling tidak telah
membuktikan hal tersebut. Kenyataan ini membuat kita percaya bahwa kalam Tuhan itu
merupakan mukjizat yang tiada tandingan. Tetapi itu tidak berarti membuat kita terlena
sehingga memposisikan Al-Qur‟an pada tataran eksklusif.

Makkiyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SWT


sebelum hijrah ke Madinah, walaupun ayat tersebut turun di sekitar / bukan di kota
Makkah,yang pembicaraannya lebih ditujukan untuk penduduk Makkah. Sedangkan
Madaniyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya
walaupun turunnya di Makkah, dan pembicaraannya lebih ditujukan untuk penduduk
Madinah.

Adapun ayat-ayat yang turun tidak di kota makkah dan tidak pula di kota madinah
adalah Ayat yang di bawa dari makkah ke madinah, ayat yang di bawa dari madinah ke
makkah, Ayat yang turun di waktu dalam perjalanan, Ayat yang turun di Kota Arofah pada
haji wada’, Ayat yang turun di Kota Mina pada haji wada’.

Dalam upaya mengenal kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama,
khususnya yang berkaitan dengan aspek kebahasaanal-Qur’an, merekamenyajikan beberapa
bahasan antara lain: muhkam dan mutasyabih. Ayat-ayat mutasyabih dengan sifatnya yang
ambigu maka telah menjadi perdebatan panjang diantara para ulama alQuran.

Perbedaan pendapat para ulama tentang ayat-ayat mutasyabih pada dasarnya terletak
pada masalah apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui oleh manusia atau hanya
Allah saja yang mengetahuinya. Penyebab perbedaan pendapat itu berawal dari cara
menjelaskan struktur kalimat dalam ayat yang terdapat pada surat Ali Imran ayat 7.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Iman, Fauzul. "Munasabah al-Qur'an." Al Qalam 11.63 (1997): 45-55


2. Adlim, Ahmad Fauzul. "Teori Munasabah dan Aplikasinya dalam Al Qur’an." Al Furqan:
Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir 1.1 (2018): 14-30.
3. Nengsih, D., & Wahidi, R. (2020). Makki Dan Madani Sebagai Cabang Ulum Al-
Qur’an. SYAHADAH: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Keislaman, 8(1), 33-54.
4. Huda, M. M. (2020). Konsep Makkiyah dan Madaniyah Dalam Al-Qur’an (Sebuah
Kajian Historis-Sosiologis Perspektif Fazlur Rahman). Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian
Al-Qur'an dan Tafsir, 5(2), 61-81.
5. MAHRANI, Nana. I’jaz Al-Qur’an dan Relevansinya dengan Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Hikmah, 2021, 18.2: 131-149.
6. Thabrani, A. (2018). Nadzam Dalam I’jaz Al Quran Menurut Abdul Qahir Al Jurjani. Al
Mi'yar: Jurnal Ilmiah Pembelajaran Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, 1(1), 1-14.
7. Rohman, M. (2019). Konsep Muhkam Dan Mutasyabih Dalam Alqur’an Menurut
Muhammad ‘Abid Al-Jabiri’. Hermeneutik, 12, 175-88.
8. Nahar, Syamsu. "Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-
Quran." NIZHAMIYAH 6.2 (2016).

17

Anda mungkin juga menyukai