Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS NASKAH DRAMA MUNTANGAN ALIF KARYA R.

HIDYAT
SURYALAGA: KAJIAN SRUKTURAL

Sitti Mai Sarah

Program Studi Sastra Indonesia

Universitas HaluOleo

Abstrak

Dalam bidang “seni sastra dan seni pertunjukan atau teater”, drama merupakan salah
satu genre sastra yang ada. Dalam karya ini, analisis struktural naskah teater diperiksa untuk
membahas struktur naskah drama secara lebih rinci, digunakan metode struktural. Metode
struktural digunakan untuk membahas struktur naskah drama secara lebih detail.Naskah
drama yang digunakan adalah naskah drama yang berjudul Muntangan Alif karya R. Hidayat
Suryalaga. Di dalamnya banyak menggambarkan nilai-nilai religi atau keagamaan yang
mengadopsi tulisan H. Hasan Mustofa yakni tentang tujuh tahapan hidup mencapai
kesempuranaan. Dimulai dari Islam, Iman, Ihsan, Soleh, Syahadat (tidak jadi orang yang
bersaksi palsu), Sidikiah, dan mencapai Alam Barokah. Analisis deskriptif adalah pendekatan
yang digunakan dalam penelitian kuliatatif. Fakta-fakta dalam naskah drama Muntangan Alif
dianalisis dan dideskripsikan dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif yang
didasarkan pada penyelidikan struktural.Hasil analisis naskah drama Muntangan Alif karya
R. Hidayat Suryalaga akan dibahas sebagai berikut. Sruktur Naskah Drama Muntangan Alif
karya R. Hidayat Suryalaga Penelitian ini dianalisis menggunakan teori Robert Stanton
(2012, 22-61) meliputi tema, fakta cerita (alur, pelaku, dan latar), dan saran sastra (sudut
pandang dan gaya bahasa). Hasil analisis unsur intrinsik yang terdapat dalam naskah drama
Muntangan Alif yaitu prolog, dialog, babak, adegan, wawacang, dan epilog. Tema drama
Muntangan Alif berpusat pada topik religius yang mencantumkan tujuh fase perkembangan
yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan. Delapan pemain memainkan peran kunci
Bapuh Rohmana (Jalaliyah Wa Rohmana) dan Ambu Rohimi (Jamaliyah Wa Rohimi) dalam
skenario teater ini. Ada 58 latar belakang yang ditemukan dalam naskah ini, yang dibagi
menjadi tiga kategori: latar belakang sosial (12, 20,7%), latar belakang geografis (65,5%),
dan latar waktu (8, 13,8%). Artinya, mayoritas latar belakang dalam naskah ini adalah latar
geografis, yang terkait dengan rutinitas sehari-hari, adat istiadat, kepercayaan, dan pandangan
dunia masyarakat.

Kata kunci: Naskah drama,Struktural, struktur


PENDAHULUAN
Salah satu bentuk ekspresi artistik dari pikiran, emosi, dan imajinasi seorang pengarang
adalah karya sastra. Menurut Luxemburg (dalam Dewi, 2008:2) “Sastra didefinisikan sebagai
suatu ciptaan, suatu kreasi yang merupakan luapan emosi yang spontan dan sastra itu bersifat
otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain, dan mempunyai koherensi antara unsur-
unsurnya. Sastra dapat didefenisikan sebagai gambaran fisik yang dapat membangkitkan rasa
yang dapat diekspresikan melalui bahasa, sastra menggambarkan manusia dalam bentuk
pengalaman, kegembiraan, ide, pelestarian, pemikiran, dan keyakinan. Dengan melihat karya
sastra yang indah, kita dapat menggetarkan jiwa, menimbulkan rasa gairah, kasih sayang,
kemarahan, atau tatapan hati, serta kekesalan bagi penikmatnya.
Karya sastra baik berupa puisi, prosa, maupun drama, telah kita ketahui bentuknya.
Puisi dan prosa memiliki kualitas berbeda yang mungkin langsung diapresiasi. Begitu juga
dengan prosa yang beragam bentuk dan juga membutuhkan pemahaman sendiri. Dan drama
merupakan salah satu karya sastra prosa.
Dalam bidang “seni sastra dan seni pertunjukan atau teater”, drama merupakan salah
satu genre sastra yang ada. Orang yang menganggap drama sebagai seni pertunjukan akan
membuang fokus itu sebab perhatiannya harus dibagi rata dengan unsur lainnya (Mulyana,
2006:144). Sastra drama, khususnya, mengandung tujuan yang dapat dipenuhi baik secara
kolektif maupun individual. Menurut Sadikin (2010:42) “Drama mengandung pandangan
yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin. Kontemplasi batin yaitu masalah
dengan keberadaan manusia yang dapat dipertimbangkan selama refleksi batin, termasuk
norma, nilai-nilai agama, pendidikan, dan budaya. Semua persoalan dalam drama ini
diringkas menjadi aspek intrinsik dan ekstrinsik yang menyusunnya.
Menurut Hasanudin (1996, hal 1) drama sebagai salah satu gendre sastra modern
mempunyai dua dimensi karakter yaitu sebagai gendre sastra dan gendre seni lakon, seni
peran,seni pertunjukan.
Dalam karya ini, analisis struktural naskah teater diperiksa untuk membahas struktur
naskah drama secara lebih rinci, digunakan metode struktural. Metode struktural digunakan
untuk membahas struktur naskah drama secara lebih detail.Naskah drama yang digunakan
adalah naskah drama yang berjudul Muntangan Alif karya R. Hidayat Suryalaga. Di
dalamnya banyak menggambarkan nilai-nilai religi atau keagamaan yang mengadopsi tulisan
H. Hasan Mustofa yakni tentang tujuh tahapan hidup mencapai kesempuranaan. Dimulai dari
Islam, Iman, Ihsan, Soleh, Syahadat (tidak jadi orang yang bersaksi palsu), Sidikiah, dan
mencapai Alam Barokah.
METODE
Analisis deskriptif adalah pendekatan yang digunakan dalam penelitian kuliatatif.
Menurut Ratna (2012, Hal. 53) metode deskriptif analisis adalah metode yang
mendeskripsikan fakta-fakta yang diteruskan oleh analisis. Fakta-fakta dalam naskah drama
Muntangan Alif dianalisis dan dideskripsikan dengan menggunakan pendekatan analisis
deskriptif yang didasarkan pada penyelidikan struktural.
Data yang pakai dalam penelitian ini adalah naskah drama Muntangan Alif karya R.
Hidayat Suryalaga (2011) cetakan pertama, tebal 38 halaman dan memiliki 203 dialog.
Mengumpulkan informasi dengan menggunakan metode studi pustaka, yang melibatkan
membaca dan mengevaluasi berbagai buku, makalah, dan bahan tertulis lainnya yang relevan
dengan topik. Strategi analitis deskriptif digunakan untuk menilai dan mengkarakterisasi data
dengan cermat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis naskah drama Muntangan Alif karya R. Hidayat Suryalaga akan dibahas
sebagai berikut.
Sruktur Naskah Drama Muntangan Alif karya R. Hidayat Suryalaga
Penelitian ini dianalisis menggunakan teori Robert Stanton (2012, 22-61) meliputi
tema, fakta cerita (alur, pelaku, dan latar), dan saran sastra (sudut pandang dan gaya bahasa).
Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna pengalaman manusia; suatu
hal yang menyebabkan suatu kejadian teringat dalam ingatan (Robert Stanton, 2012, hal. 36)
Berdasarkan temuan analisis drama Muntangan Alif tentang orang yang berusaha
mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi dalam kaitannya dengan religi atau agama.
Kutipan berikut ini membahas suatu pokok bahasan agama atau keagamaan.
Bapuh: Ari gawé urang téh kudu beberesih waé salawasna! Ti nalika kun faya kun tug
tepi ka inalilahi wa innailaihi rojiun!.... (Kitu lain Ambu? Kerja itu harus bersih selamanya,
dari mulai kun faya kun sampai inalilahi wa innailahi rojiun! Begitu bukan, Ambu?)
Ambu: Nya enya, éta pancen urang téh. kapan kudu mikanyaah ka anak jeung
turunan, sangkan maratuhna téh di latar bumi anu beresih. Diamparan ku silaturahmi....
( jeung rasa asih. Ya iya, itu tugas kita. Harus menyayangi anak dan keturunan, supaya
bertempat di bumi yang bersih. Didasari oleh silaturahmi dan kasih sayang).
Bapuh: Heueuh, sangkan pengkuh agamana, luhung élmuna, jembar budayana, jeung
rancagé gawéna. (Ya supaya teguh agamanya, tinggi ilmunya, luhur budayanya, dan kreatif
kerjanya)
Jelas dari kutipan di atas bahwa ada permasalah berkaitan dengan agama. Manusia yang
harus memahami tempatnya dalam lingkungan alam sejak pembuahan hingga kematian, serta
peran, tujuan, dan fungsinya di dalamnya.
Fakta-Fakta Cerita
Alur
Alur adalah aksi cerita dan disebut sebagai plot. Menurut temuan analisis alur dalam
naskah teater dengan alur progresif, peristiwa diawali dengan pendahuluan (merinci keadaan,
menonjolkan ketegangan, tengah cerita (konflik dan kesimpulan cerita serta penyelesaiannya
atas masalah yang belum terselesaikan, penutup cerita (selesainya persoalan yang ada).
Tokoh atau Pelaku
Tokoh atau pelaku adalah nama-nama yang menjadi lakon dalam cerita
(Iskandarwassid, 2003, hal 25). Berdasarkan hasil , ada delapan aktor dalam lakon ini, Bapuh
Rohmana (Jalaliyah Wa Rohmana) dan Ambu Rohimi (Jamaliyah Wa Rohimi) berperan
sebagai peran utama. Pelaku tambahannya diantaranya adalah Utun, Inji, Enok, Otong,
Samegost (Seperti Setan Ririwa), dan Samegeist (Seperti Gandarewo).
Latar
Latar adalah lingkungan yang menjadi tempat dan waktu berlangsungnya satu kejadian
dalam cerita (Robert Stanton, 2012, hal. 35). Berdasarkan hasil analisis, terdapat 58 latar
dalam naskah lakon Muntangan Alif, yang terdiri dari 12 (20,7%) latar sosial, 38 (65,5%)
latar geografis, dan 8 (13,8%) latar waktu. Oleh karena itu, latar yang paling sering muncul
dalam naskah lakon Muntangan Alif adalah latar geografis, yang melibatkan penggambaran
beberapa lokasi dan berpindah-pindah lokasi.
Sarana-Sarana Cerita
Sarana sastra adalah strategi yang digunakan oleh penulis untuk memilih dan mengatur
peristiwa dan komponen lain dari cerita mereka ke dalam pola yang bermakna. Sudut
pandang dan gaya bahasa adalah di antara banyak perangkat sastra. Sudut pandang adalah
pusat kesadaran yang membaca dalam memahami semua kejadian yang ada dalam cerita
(Robert Stanton, 2012, hal. 52-60). Berdasarkan hasil analisis sudut pandang dalam naskah
drama Muntangan Alif menggunakan sudut pandang orang ketiga karena dalam naskah
drama ini semua pelaku disebutkan namanya. Gaya basa adalah cara pengarang dalam
menggunakan bahasa (Robert Stanton, 2012, hal. 61). Berdasarkan pemeriksaan basa yang
digunakan dalam drama ini, terdapat tiga basa personifikasi (13%), lima basa alleogri (22%),
sembilan basa julukan (39%), empat basa hiperbola (17%), dan dua basa metafora. (9%)
Pendekatan Struktural
Untuk menganalisis unsur intrinsik serta hubungan antar unsur dalam drama diperlukan
pendekatan. Menurut Abrams (Fananie,2007) telaah karya sastra bisa dilihat dari empat
elemen utama dari total situasi yaitu yang melingkupi sebuah karya-karya. Pertama, telaah
dari sudut pandang karya itu sendiri merupakan produk pengarang; kedua telaah dari sudut
pengarangnya; ketiga telaah dari keterhubungan ide, perasaan, atau peristiwa peristiwa yang
mendasari akrya yang ditelaah baik secara langsung atau tidak langsung, keempat adalah
telaah dari sudut pembaca atau penerima.
Pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik adalah nama lain dari
pendekatan struktural. Cara ini mematahkan anggapan bahwa karya sastra adalah kreasi
kreatif yang mandiri yang harus dipandang berbeda dengan hal-hal lain yang berada di luar
dirinya.

Unsur-Unsur Intrinsik Naskah Drama Muntangan Alif


Unsur intrinsik yang dianalisis dalam naskah drama Muntangan Alif karya R. Hidayat
Suryalaga menggunakan toeri Isnendes (dalam Firmansyah, 2013, hal 13-14) meliputi
prolog, dialog, babak, adegan, wawacang, solilokui, aside, episode, dan epilog. Hasil analisis
unsur intrinsik yang terdapat dalam naskah drama Muntangan Alif yaitu prolog, dialog,
babak, adegan, wawacang, dan epilog. Penjelasannya sebagai berikut.
Prolog
Prolog adalah pembuka drama yang menceritakan narasi awal. Prolog adalah cerita
awal yang disampaikan dalam pembukaan drama (Isnendes dalam Firmansyah, 2013, hal. 13-
14). Berdasarkan analisis terdapat dua prolog dalam naskah drama Muntangan Alif.
Penjelasannya sebagai berikut ini.
“Waktu layar muka, di latar anu panghareupna/deukeut layar, bapuh rohmana diuk
patukangtonggong jeung ambu rohimi, nyanghareup ka kénca-katuhu. Narundutan
salenyapeun rék saré. Bapuh leungeunn nyekel sapu nyéré, dina saku kamprétna aya isolasi
tape. Ari ambu ngeukeuweuk sapu injuk, nyampai serebét, dina cangkéngna nyelap
beungkeutan daun salam, suji, hanjuang jeung mayang jambé. Gawéna lalenggutan tunduh.
Waktu lagu sabrakan tamat bapuh heuay ni’mat naker diturutan ku ambu. Haré-haré saperti
teu engeuh aya batur. (Ketika layar dibuka, di latar depan/dekat layar, Bapuh Rohmana dan
Ambu Rohimi, menghadap ke kiri-kanan. Mengantuk ingin tidur. Bapuh tangannya
memegang sapu nyere, disaku pangsinya ada isolastipe. Ambu memegang sapu injuk, serbet,
dipinggangnya terselip beberapa ikat daun salam, suji, hanjuang dan mayang jambe. sedikit
mengantuk,. Ketika lagu sabarakan selesai Bapuh menguap dan dituruti oleh ambu. Tidak
peduli seperti dianggap tidak ada orang lain)”.

“Dina biwir panggung hareup aya tambang dua gulungan, tungtung tambang anu
hijina deui ngambay ka luar panggung. (di depan panggung depan ada tambang dua gulung,
ujung tambang yang satunya lagi menggantung ke luar panggung)”.
Dialog
Hasanuddin (dalam Yurnelis dkk, 2013, hal. 29), menyebutkan bahwa dialog di dalam
drama merupakan bagian terpenting Dalam naskah drama Muntangan Alif terdapat 203
dialog yang semuanya diucapkan oleh tokoh. Hal ini terlihat dari kutipan di bawah ini.
Ambu : Tibalik buta kasari ngaranna. Yeuh ari mahluk mah diciriannana téh ku
NGARANNA. Éta ngaran, jadi tuduh laku lampahna di dunya. Napel dina tarangna! Nu
matak ngaran téh sanget pisan, sakral, suci, ngandung kakuatan daya spiritual. Ulah
dimomorékeun, pamali, katulah ku ngaran siah! (kaca 12)
(Ambu : Terbalik buta kasari namanya. Yeuh mahluk itu ditandainya oleh namanya.
Nama itu jadi cermin laku lampahnya di dunia. Menempel di jidatnya! Makanya nama itu
sangat sakral, suci, mengandung kekuatan daya spiritual. Jangan disepelekan, pamali!)
Bapuh : Ceuk béja ... ceuk béja ....cenah ieu ogé ... watek pasipatan wanoja mah –
awéwé, nyaéta féministik téa, sok ngaheulakeun sabab-akibat, alias kausalitas, terus mapay
ka puhu. Engkéna umpama nyarita reumbeuy ku kecap ... da ... da ... atuhda ... atuhda ari
urang mah ... da ari urang Sunda mah da ... da ... terus nyupata manéh, neluh manéh jaradi
fosil; lain kadua sukuran kuduna mah! Geus kitu ngabandingbanding ka jaman baheula, jadi
waé nyarandé kana kaagungan karuhun ... Hung-ahung paralun! Paralun! Lain salah, tapi
nyosok jero teuing. Antukna hirup di jaman karuhun.
(Bapuh: Katanya, watak sifat wanita itu feministik, suka mendahulukan sebab-akibat,
alias kausalitas, terus maju ke puhu. Banyak berkata da.... da... atuhda...atuhda kita mah,
urang Sunda. Setelah itu membanding-banding pada jaman dulu, jadi bersandar pada
keagungan kahurun. Hung-ahung paralun! Paralun! Bukan salah tapi terlalu dalam, jadinya
hidup di jaman kahurun.)
Enok : Enya jeung ngabahanan ieu kantong dina beuheung, bekel ngumbara cénah,
parejekian anu geus didu’um masingmasing. (Enok : Ya dan memberikan kantog yang ada di
leher, bekal untuk berpetualang katanya, rizky yang sudah diberi masing-masing).
(Enok : Ya dan memberikan kantog yang ada di leher, bekal untuk berpetualang
katanya, rizky yang sudah diberi masing-masing).
Percakapan pada informasi di atas berfungsi untuk menggambarkan pikiran, perasaan,
dan perilaku tokoh serta menjadi penghubung alur skenario drama.

Babak
Babak dalam naskah drama biasanya dibangun oleh 3-5 babak, tetapi ada juga naskah
drama yang tidak memakai babak atau dibangun oleh 1-2 babak (Isnendes dalam Firmansyah,
2013, hal. 13-14). Hasil analisis lakon, Muntangan Alif terdiri dari satu babak. Peristiwa
cerita ini masih termasuk dalam satu narasi yang kohesif.
Adegan
Adegan baru atau keadaan plot yang berubah mengidentifikasi adegan. Skenario drama
Muntangan Alif, menurut temuan analisis, terdiri dari 28 adegan yang terbagi menjadi bagian
berat/sulit, minor, mengikat, ringan/hiburan, terbuka, dan wajib.

Wawacang
Wawancang adalah teks perintah untuk pelaku (Isnendes dalam Firmansyah, 2013, hal.
13-14. Ada 83 wawancang/teks sampingan dalam naskah drama Muntangan Alif, menurut
penelitian. Naskah drama Muntangan Alif memiliki 69 teks wawancara/sisi yang
menunjukkan arah pelaku, sedangkan 14 wawancang/teks sampingan lainnya menampilkan
suara atau menggambarkan peristiwa lain yang terkait dengan alur skenario drama
Muntangan Alif. Penjelasannya diuraikan di bawah ini.
“AMBU DICAMAHAN KU BAPUH BARI DITIUP EMBUNEMBUNANA”...
(Ambu diceramahi oleh Bapuh sembari ditiup embun-embunnya)
“BAPUH LUMPAT KA LEBAH LAWANG GAPURA IMAHNA” ...
(Bapuh lari ke sebelah pintu gapura rumahnya)
“ BAPUH JEUNG AMBU PAKEPUK NYORÉNDANGKEUN KOTAK KORÉK API KA
OROK TÉA”...
(Bapuh dan Ambu memasangkan korek api pada bayinya)
Data diatas dalam skenario drama Muntangan Alif dicatat dengan huruf kapital pada
data di atas, yaitu dari naskah drama.
Epilog
Epilog adalah pidato singkat di akhir cerita yang biasanya mengungkapkan dan
menjelaskan cerita utama atau teks tambahan.Epilog adalah pidato singkat diakhir cerita yang
biasanya mengungkapkan dan menjelaskan inti cerita atau teks tambahan (Isnendes dalam
Firmansyah, 2013, hal. 13-14). Dalam hasil analisis terdapat epilog yang mengakhiri cerita
dalam naskah drama Muntangan Alif. Penjelasanya seperti yang terdapat di bawah ini.
“Ngadadak dina gugunungan anu polos, aya lapad Allah. Jep répéh taya sora anu
kareungeu. Jempling pisan”.
(Mendadak di gugunungan yang polos, ada lapad Allah. Jep tentrem tidak ada sora
yang terdengar. Hening sekali).
Informasi di atas diambil dari epilog naskah lakon Muntangan Alif yang ditulis setelah
akhir cerita dan berisi penyelesaiannya.

KESIMPULAN
Naskah drama Muntangan Alif karya R. Hidayat Suryalaga (2011) cetakan pertama
tebal 38 halaman dan memiliki 203 dialog. Tema drama Muntangan Alif berpusat pada topik
religius yang mencantumkan tujuh fase perkembangan yang diperlukan untuk mencapai
kesempurnaan. Delapan pemain memainkan peran kunci Bapuh Rohmana (Jalaliyah Wa
Rohmana) dan Ambu Rohimi (Jamaliyah Wa Rohimi) dalam skenario teater ini. Ada 58 latar
belakang yang ditemukan dalam naskah ini, yang dibagi menjadi tiga kategori: latar belakang
sosial (12, 20,7%), latar belakang geografis (65,5%), dan latar waktu (8, 13,8%). Artinya,
mayoritas latar belakang dalam naskah ini adalah latar geografis, yang terkait dengan
rutinitas sehari-hari, adat istiadat, kepercayaan, dan pandangan dunia masyarakat..
Unsur intrinsik drama dalam naskah Muntangan Alif, prolog yang menggambarkan
para pemain, latar, dan gambaran awal perkembangan cerita, secara intrinsik merupakan
komponen dramatis dalam teks Muntangan Alif; Ada 203 percakapan yang diucapkan oleh
semua penampil; tidak ada putaran; 28 adegan; 83 wawancara; tidak ada silokui, samping,
atau episode yang ditemukan; dan lakon Muntangan Alif ditutup dengan sebuah epilog.

DAFTAR PUSTAKA

LISNAWATI, Iis; RUSLAN, Titin Setiartin; NURJAMILAH, Ai Siti. Drama “Lelakon


Raden Bei Surio Retno” Karya F. Wiggers Dalam Perspektif Pendekatan
Struktural dan Pendekatan Sosiologis. Metabasa: Jurnal Bahasa, Sastra, dan
Pembelajaran, 2019, 1.1.
MUSTAQIM, Farhan; KOSWARA, Dedi; PERMANA, Ruswendi. Naskah Drama
“Hutbah Munggaran di Pajajaran” Karya Yus Rusyana (Kajian Struktural dan
Semiotik). Jurnal Lokabasa Vol, 2019, 10.
PRATAMA, Tyas Agung. NASKAH DRAMA MUNTANGAN ALIF KARYA R.
HIDYAT SURYALAGA UNTUK BAHAN PEMBELAJARAN MEMBACA
DRAMA DI SMP/MTS (Kajian Struktural dan Semiotik). LOKABASA,
2018, 9.1: 95-106.

Anda mungkin juga menyukai